• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stereotype Perempuan dalam Masyarakat

Dalam dokumen REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM (Halaman 48-53)

TIPE LENSA

2.2.6. Stereotype Perempuan dalam Masyarakat

Dalam kajian feminis awal, representasi merupakan suatu ekspresi langsung realitas sosial dan atau distorsi potensial dan distorsi aktual atas realitas tersebut. Jadi, representasi perempuan merupakan misrepresentasi perempuan

“sejati”. Inilah yang dikenal dengan perspektif stereotype perempuan (Hanafi, 2012: 19). Adanya konsep stereotype menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Kata stereotype digunakan untuk mengindikasikan representasi yang keliru, tidak lengkap atau negatif terhadap sekelompok orang di masyarakat (Williams, 2003: 123). Suatu stereotype mereduksi pribadi menjadi serangkaian ciri karakter yang dilebih-lebihkan dan cenderung menuju ke arah negatif.

Pendekatan stereotype perempuan menyuguhkan masalah karena dia menyatakan kebenaran dan kepalsuan sebuah representasi (Barker, 2000: 267).

Hasil penelitian menunjukkan perempuan direpresentasikan dalam berbagai teks dan di stereotype-kan ke dalam dua hal, yaitu ideal dan “menyimpang” (Barker, 2000:268). Perempuan ideal mengasuh dan maternal. Dia menjadi pendukung laki-laki dalam mencapai ambisi mereka namun tidak memiliki apa pun, rela berkoran, berempati, dan berada di dalam rumah. Seorang istri/anak perempuan yang pasif, dia menerima kontrol laki-laki dan mengabdi kepada laki-laki dalam kehidupan mereka, mempertahankan suami yang menjengkelkan sekalipun tanpa bertanya dan menerima begitu saja. Sedangkan perempuan yang menyimpang mendominasi suami mereka dan tidak pernah berada di rumah untuk keluarganya.

Untuk mencapai ambisinya, para perempuan memutus ikatan dengan keluarga, lepas dari kekangan laki-laki dan tidak cukup memahami suami mereka (Hanafi, 2012: 19).

Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jika jenis kelamin adalah konsep biologis, gender merupakan pola perilaku yang melekat kepada laki-laki dan perempuan yag dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budayanya.

Bentukan sosial yang dimaksud seperti misalnya bahwa perempuan adalah sosok lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan, sedangkan laki-laki merupakan sosok yang rasional, kuat dan jantan. Sesungguhnya perbedaan konsep gender

yang ada bukanlah masalah jika perbedaan itu tidak menghasilkan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasikan dalam bentuk stereotype kepada perempuan seperti penjelasan di atas. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan juga terjadi, seperti subordinasi, marjinalisasi dan beban kerja lebih banyak (Handayani dan Sugiarti, 2008: 15).

Gender merupakan konsep sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Marginalisasi gender ini menimbulkan efek pada pemiskinan kaum perempuan yang salah satu bentuknya adalah pemiskinan ekonomi. Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak dapat terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan dianggap lebih mengandalkan emosi dan bersikap irasional, sehingga perempuan tidak dapat memimpin, sehingga perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang kurang penting (Handayani dan Sugiarti, 2008: 15).

Perempuan pun tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Banyak mitos yang membuat kedudukan perempuan berada di bawah atau lebih rendah dibandingkan laki-laki, sebab perempuan dipandang dari segi seks, bukan kemampuan, kesempatan dan aspek-aspek manusiawi secara universal yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan perperasaan. Berbicara mengenai hubungan perempuan dan laki-laki tidak bisa dilepaskan dari ideologi patriarki. Ideologi patriarkal melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan serta memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Ideologi ini begitu berkuasa sehungga sekilas terlihat bahwa perempuan menerima dengan lapang penindasan yang dialaminya. Keluarga dan masyarakat bahkan akademis pun menjustifikasi dan menguatkan subordinasi terhadap perempuan sehingga membuat perempuan secara internal merasa inferior terhadap laki-laki (Jurnal Filsafat Berperspektif Feminis, 2003). Ideologi gender berbasis patriarki pun menggeser wewenang perempuan.

Menurut Simone de Beauvoir, memang sudah sejak dahulu perempuan hidup sedemikian rupa dengan penindasan, hidup dengan kesadaran diri bahwa

mereka adalah objek penindasan para laki-laki. Kemudian dengan perempuan pada laki-laki, perempuan telah dibebaskan dari tanggungjawab atas hidupnya, karena semua telah ditentukan untuk dirinya. Perempuan pun tidak perlu berpikir selain apa yang sudah diberitahukan dan diajarkan kepadanya. Menurut Beauviour, sikap menghindar dari kebebasan inilah yang menjadi salah satu sumbangsih perempuan dalam melestarikan penindasan yang dilakukan budaya patriarkal (https://www.academia.edu).

Memang perempuan sudah mulai berkembang dan mulai memasuki ranah publik. Maksudnya sudah banyak perempuan yang bekerja, tetapi perkembangan perempuan tersebut tidak mengubah peranannya yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga/peran reproduktif. Akhirnya perempuan memiliki beban ganda, karena selain bekerja di rumah mengurus rumah tangga, ia pun masih harus bekerja mencari nafkah (Handayani dan Sugiarti, 2008: 22).

2.2.7. Representasi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, representasi berarti perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili dan perwakilan. Dapat juga memiliki pengertian sebagai cermin, citra, gambaran, pantulan, potret, wajah, deskripsi dan taswir. Dalam teori semiotika, representasi disebut sebagai proses perekaman gagasan, pengetahuan atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat didefinisikan sebagai penggunaan “tanda-tanda” (gambar, suara dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik (Danesi, 2010: 3).

Konsep representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya.

Beberapa orang juga mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil dalam media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subjektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media (Hermawan dalam Apriyanti, 2012: 16). Representasi merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, baik itu melalui kata-kata, bunyi, citra, maupun kombinasinya (Fiske, 2007: viii).

Menurut Danesi dalam bukunya pesan, tanda dan makna, dikatakan bahwa kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk ilmu pengetahuan yang dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua orang disebut representasi. Representasi dapat didefinisikan lebih jelas sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau mereproduksi yang dilihat, diindera, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain, proses menaruh X dan Y secara bersamaan itu sendiri. Menentukan makna X=Y bukanlah pekerjaan mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu tujuan dari pelbagai tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut. Charles Peirce menyebut bentuk fisik aktual dari representasi X, sebagai representamen (secara literal berarti “yang merepresentasikan”); Peirce mengistilahkan Y yang dirujuknya sebagai objek representasi; dan menyebut makna yang dapat diekstraksi dari representasi (X=Y) sebagai interpretan.

Keseluruhan proses menentukan makna representamen, tentu saja disebut interpretasi.

Sebagai contoh untuk hal-hal yang ditimbulkan representasi, perhatikan seks sebagai sebuah objek. Seks adalah sesuatu yan hadir di dunia sebagai fenomenon biologis dan emosional. Sebagai objek, seks dapat direpresentasikan (secara literal “presentasikan kembali”) dalam bentuk fisik tertentu. Misalnya dalam budaya kita, representasi umum seks meliputi: (1) foto dua orang yang sedang berciuma secara romantis; (2) puisi yang menggambarkan pelbagai aspek emosional seks atau; (3) film erotis yang menggambarkan aspek seks yang lebih fisik (Danesi, 2004: 25).

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan seterusnya. Secara singkat, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran konsep dan ide (Christandi, 2013: 15).

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media.

Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata “semestinya” ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan.

Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakan representasi itu ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat dan aksentuasi (Eriyanto, 2001: 113). “Representasi juga seharusnya tidak dilihat sebagai refleksi dari realita tetapi lebih kepada konstruksi sosial yang diproduksi dalam konteks kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi para individu dalam kehidupan sehari-hari mereka entah dengan mereka sadari atau tidak” (Williams, 2003: 136). Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru, juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.

Dalam dokumen REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM (Halaman 48-53)