• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN

TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR

ALTRI HARWANTO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Tepung Tapioka, di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.

Nilai ubi kayu akan meningkat bila diolah lebih lanjut menjadi berbagai bahan pangan, salah satunya dengan mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tapioka dapat dilakukan pada unit pengolahan tepung tapioka dengan skala yang berbeda. Pengolahan ubi kayu tentunya dapat meningkatkan nilai tambah, namun besarnya nilai tambah tersebut belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya nilai tambah dan keuntungan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Analisis dilakukan dengan membandingkan nilai tambah dan keuntungan per kilogram tepung tapioka pada skala unit pengolahan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan skala besar lebih tinggi yakni Rp 273.60 per kg dan Rp 285.23 per kg dibandingkan nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 206.74 per kg dan Rp 165.13 per kg. Biaya produksi pada unit pengolahan skala besar lebih kecil yakni Rp 1 352.27 per kg dibandingkan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 1 463.00 per kg.

Kata kunci: unit pengolahan tepung tapioka, keuntungan, nilai tambah, ubi kayu

ABSTRACT

ALTRI HARWANTO. Added Value and Profit Analysis of Tapoica Processing in Bogor. Supervised by DWI RACHMINA.

Cassava added value will be increased if it is processed to other varieties of food such us tapioca. Tapioca was processed by every level of processing unit. Though processing is certainly will increase the added value of tapioca, the certain amount of the added value increased is still unkown. This study aimed to analyze the added value and profit that was obtained from cassava processing. The analysis was conducted by comparing the added value and the profit per kilogram of tapioca for every scale of processing unit. The result indicated that the added value and the profit of large scale processing unit was higher, by Rp 273.60 per kg of added value and Rp 285.23 per kg of profit, than the added value and the profit of small scale processing unit, which were Rp 206.74 per kg added value and Rp 165.13 of profit. Production cost large scale processing unit had lower cost, which was Rp 1 352.27 per kg, than that of small scale processing unit which was 1 463.00 per kg.

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Altri Harwanto

(4)

ALTRI HARWANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM : H34114027

Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Ketua Departemen

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir dengan judul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Laporan ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu titik menuju masa depan, Dr Ir Dwi Rachmina MSi sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Pengusaha unit pengolahan tapioka kasar di Desa Pasir Laja dan Desa Cijujung yang telah memberikan data, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, Mei 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Karakteristik Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Unit pengolahan 5 Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah 7 Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan 9 Teknologi Pengolahan Tapioka 10

KERANGKA PEMIKIRAN 11

Kerangka Pemikiran Teoritis 11

Konsep Nilai Tambah 11

Hubungan Skala Unit Pengolahan dengan Biaya Produksi 12 Kerangka Pemikiran Operasional 14

METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Penentuan Sampel 17

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Gambaran Umum Kecamatan Sukaraja 19 Gambaran Umum Unit pengolahan Tapioka Kasar 21

Analisis Nilai Tambah 25

Keuntungan Total Unit pengolahan Tapioka Kasar 31

SIMPULAN DAN SARAN 38

Simpulan 38

Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

(8)

1 Produksi Tanaman Pangan di Jawa Barat Tahun 2008 - 2012 (Ton) 1 2 Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Pulau Jawa

Tahun 2012 1

3 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu di Jawa Barat

Tahun 2008-2012 2

4 Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Kabupaten Bogor

Tahun 2008-2011 3

5 Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami 18 6 Klasifikasi Penduduk Kecamatan Sukaraja Menurut Agama Tahun 2011 20 7 Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Sukaraja Berdasarkan Pekerjaan

Tahun 2011 20

8 Karakteristik Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar dan Skala Kecil Tahun 2013 24 9 Perhitungan Rata-Rata Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka Kasar

di Kabupaten Bogor Tahun 2013 27 10 Proporsi Penggunaan Tenaga Kerja Unit Pengolahan Tepung Tapioka

Berdasarkan Skala Produksi Tahun 2013 28 11 Sumbangan Input Lain Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka

Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 29 12 Biaya-Biaya Tetap Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor

Tahun 2013 32

13 Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Besar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 34 14 Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Kecil

di Kabupaten Bogor Tahun 2013 35 15 Perhitungan Keuntungan Unit Pengolahan Tepung Tapioka

di Kabupaten Bogor Tahun 2013 36 16 Perbandingan Nilai Tambah Dan Keuntungan Pengolahan Tapioka Kasar

(9)

DAFTAR GAMBAR

1 Rata-Rata Biaya Produksi Jangka Panjang 13 2 Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Nilai Tambah

Pengolahaan Ubi Kayu 15

3 Proses Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka Kasar 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar 41 2 Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil 41 3 Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar 42 4 Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil 42 5 Penyusutan Alat Pengolahan Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor

Tahun 2013 46

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Subsektor pertanian terdiri dari subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Subsektor pertanian memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia, namun yang paling utama adalah tanaman pangan. Tanaman pangan adalah tanaman yang diproduksi atau dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok atau pangan sampingan. Tanaman pangan dapat langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu agar manfaatnya lebih banyak dan memberikan nilai yang lebih tinggi. Tanaman pangan menurut Badan Pusat Statistik terdiri dari komoditas padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Produksi tanaman pangan di Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan yang cenderung positif berkisar antara 0.74% sampai 15.18% per tahun kecuali pada komoditas kacang hijau menurun sebesar 1.96% per tahun (Tabel 1).

Tabel 1 Produksi tanaman pangan di Jawa Barat tahun 2008 - 2012 (Ton)

Komoditi 2008 2009 2010 2011 2012 (%/thn) Laju

Padi 10 111 069 11 322 681 11 737 070 11 633 891 11 271 861 2.91

Ubi Kayu 2 034 854 2 086 187 2 014 402 2 058 785 2 131 123 1.20

Jagung 639 822 787 599 923 962 945 104 1 028 653 12.88

Ubi Jalar 376 490 469 646 430 998 429 378 436 577 4.45

Kacang Tanah 78 512 89 454 99 058 73 705 76 574 0.74

Kedelai 32 921 60 257 55 823 56 166 47 425 15.18

Kacang Hijau 12 187 16 195 14 624 14 221 10 198 -1.96

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)

Salah satu tanaman pangan yang dapat langsung dikonsumsi dan dapat juga diolah lebih lanjut adalah ubi kayu. Ubi kayu perlu diolah lebih lanjut untuk meningkatkan nilai ubi kayu. Jawa Barat menempati urutan ketiga sebagai propinsi yang memproduksi ubi kayu dengan tingkat produksi ketiga terbanyak di Pulau Jawa tahun 2012 terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Pulau Jawa tahun 2012

Provinsi Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (ton)

Jawa Tengah 168 501 205.29 345 923.5

Jawa Timur 194 142 165.12 320 576.8

Jawa Barat 108 678 202.85 220 454.2

Yogyakarta 61 769 148.77 91 890.7

(12)

Jawa Barat memiliki tingkat produktivitas ubi kayu kedua tertinggi di Pulau Jawa meskipun luas area panen yang dimiliki hanya berada pada urutan ketiga tertinggi. Tingkat produksi dan produktivitas tersebut menunjukkan bahwa ubi kayu di Jawa Barat masih memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi berbagai bahan makanan yang dapat menambah nilai ekonomi dari ubi kayu tersebut. Salah satu cara untuk menambah nilai ekonomi dari ubi kayu yakni dengan mengolah ubi kayu menjadi bahan pangan langsung atau bahan setengah jadi (bahan baku unit pengolahan). Bahan pangan langsung misalnya diolah menjadi berbagai macam makanan seperti kue atau keripik, sedangkan bahan baku unit pengolahan misalnya diolah menjadi tepung tapioka, tepung mokaf, dan bioethanol.

Luas panen ubi kayu di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang cenderung menurun. Laju pertumbuhan luas panen ubi kayu menurun sebesar 2.14% per tahun. Penurunan luas panen tersebut disebabkan karena adanya konservasi lahan atau alih fungsi lahan yang saat ini banyak terjadi pada lahan pertanian. Pertumbuhan luas panen ubi kayu di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008-2012

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2008 109 354.00 186.08 2 034 854.00

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)

Produksi ubi kayu di Jawa Barat memiliki kecenderungan pertumbuhan yang positif berdasarkan Tabel 3. Laju pertumbuhan produksi ubi kayu di Jawa Barat sebesar 1.20% per tahun. Laju pertumbuhan produksi yang positif memberikan arti bahwa ubi kayu adalah komoditas yang memiliki peluang untuk diolah lebih lanjut karena produksi yang meningkat. Ketersediaan ubi kayu yang meningkat memungkinkan para pengusaha pengolahan ubi kayu untuk mengembangkan usahanya. Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat memiliki kecenderungan yang meningkat, disebabkan karena teknik budidaya yang semakin berkembang walaupun luas panen ubi kayu semakin berkurang. Rata-rata pertumbuhan produktivitas ubi kayu di Jawa Barat sebesar 3.43% per tahun, menunjukkan bahwa ketersediaan ubi kayu di Jawa Barat semakin meningkat dan dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam olahan makanan.

(13)

Tabel 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton) 2008 10 073.00 197.16 198 597.00 2009 8 342.00 192.67 160 728.00 2010 8 357.00 202.36 169 113.00 2011 7 718.00 216.76 167 295.00 Laju (%/thn) -8.22 3.29 -4.98

Sumber : Departemen Pertanian 2008-2011 (Diolah)

Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang menurun sebesar 4.98% per tahun. Pertumbuhan produksi ubi kayu menurun disebabkan lahan ubi kayu yang semakin berkurang akibat pergantian komoditas pada lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Petani kurang tertarik untuk membudidayakan ubi kayu karena harga ubi kayu relatif murah walaupun produktivitas ubi kayu memiliki pertumbuhan yang positif.

Ubi kayu merupakan bahan baku industri pengolahan seperti gaplek dan tapioka. Pengolahan ubi kayu akan meningkatkan nilai tambah. Besarnya nilai tambah yang diciptakan tergantung dari pengolahan yang dilakukan terhadap ubi kayu. Ubi kayu dapat diolah menjadi bahan baku unit pengolahan seperti unit pengolahan tepung tapioka. Adanya unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka tentunya memberikan nilai tambah bagi ubi kayu itu sendiri. Teknologi yang diterapkan oleh masing-masing unit pengolahan tapioka akan menghasilkan nilai tambah yang bervariasi. Adanya variasi besarnya nilai tambah yang diciptakan oleh unit pengolahan tapioka dan perbedaan alokasi nilai tambah dari setiap unit pengolahan menjadi suatu yang unik untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah terlebih dahulu menjadi bentuk lain yang lebih awet salah satunya diolah menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih1. Unit pengolahan tapioka berperan penting untuk menghasilkan produk tepung tapioka yang berkualitas. Unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik yang pertama yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang menghasilkan tepung dengan tekstur yang masih kasar, sedangkan karakteristik yang kedua yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang menghasilkan tepung dengan tekstur yang halus.

1

(14)

Perumusan Masalah

Nilai tambah dipandang cukup penting dalam meningkatkan nilai ubi kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri pengolahan cenderung lebih besar dari pada permintaan sebagai bahan pangan langsung. Salah satu yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah yakni dengan mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tersebut dilakukan oleh unit pengolahan tapioka. Unit pengolahan tapioka terdiri dari unit pengolahan tapioka kasar dan unit pengolahan tapioka halus.

Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dapat dibedakan menjadi dua tahap pengolahan yaitu tahap pengolahan menjadi tepung tapioka kasar dan tahap pengolahan menjadi tepung tapioka halus. Masing-masing tahap diproses pada unit pengolahan yang berbeda. Perbedaan unit pengolahan tersebut menjadi karakteristik tersendiri bagi unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Masing-masing karakter juga memiliki skala produksi yang berbeda-beda. Unit pengolahan dengan karakteristik menghasilkan tepung tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka kasar yang dijalankan sebagai tahap awal proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pada unit pengolahan tapioka kasar, ubi kayu digiling menggunakan mesin penggiling yang tergolong sederhana dan akan diperoleh output berupa tepung tapioka kasar sesuai dengan skala produksi. Tepung tapioka kasar yang dihasilkan akan dijadikan bahan baku pada unit pengolahan tepung tapioka halus guna diolah lebih lanjut.

Unit pengolahan tepung tapioka halus merupakan unit pengolahan tapioka yang menghasilkan tepung tapioka halus. Unit pengolahan tapioka halus mengolah tepung tapioka kasar menggunakan mesin yang lebih canggih dari unit pengolahan tapioka kasar sehingga dihasilkan tepung tapioka yang lebih halus. Adanya karakteristik unit pengolahan tapioka yang berbeda, menghasilkan nilai tambah dan alokasi yang berbeda terhadap tenaga kerja dan pengusaha. Besarnya nilai tambah pengolahan tepung tapioka belum diketahui secara pasti. Skala unit pengolahan yang berbeda tentu akan menghasilkan nilai tambah yang berbeda. Untuk itu peneliti menganalisis besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka.

Pengolahan tepung tapioka selain meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh masing-masing skala unit pengolahan juga belum diketahui secara pasti. Keuntungan sebagai indikator keberhasilan unit pengolahan tepung tapioka juga perlu dianalisis demi keberlanjutan unit pengolahan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka muncul pertanyaan yang perlu dijawab pada penelitian ini yaitu :

1. Berapakah nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada masing-masing unit pengolahan ?

(15)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka.

2. Menganalisis keuntungan yang diperoleh unit pengolahan tapioka pada masing-masing skala.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi unit pengolahan ubi kayu sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang harus dijalankan serta keputusan pengembangan usaha yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah. Penelitian ini juga diharapkan sebagai penerapan ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan bagi penulis sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis. Penelitian ini memberikan informasi sebagai referensi atau literatur bagi pembaca mengenai nilai tambah dan keuntungan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka, selain itu juga sebagai masukkan bagi penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan batasan penelitian yang berjudul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, dikhususkan membahas mengenai analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada unit pengolahan tapioka kasar. Unit pengolahan tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka yang menghasilkan output berupa tepung tapioka kasar. Penelitian ini juga membandingkan nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan penggilingan per skala dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar. Nilai tambah dan keuntungan yang dibandingkan adalah nilai tambah dan keuntungan dari setiap kilogram tepung tapioka kasar yang dihasilkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Unit pengolahan

(16)

memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah2.

Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua varitas M. esculenta dapat dibudidayakan. Ketela pohon atau ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat dan dalam program diversifikasi pangan digunakan sebagai bahan pangan alternatif selain beras. Tanaman ubi kayu bukan merupakan tanaman pokok, namun selalu diusahakan petani untuk menunjang kebutuhan pangan sehari-hari, terutama masyarakat pedesaan. Tanaman ini juga dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis karena harga umbi yang rendah dan selera masyarakat dewasa ini yang kurang menyukai untuk mengkonsumsi umbinya. Selain diambil umbinya, ubikayu juga dipanen daunnya sebagai sayuran yang mempunyai nilai gizi3.

Menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian-Jakarta (2005), singkong merupakan bahan baku berbagai produk unit pengolahan seperti unit pengolahan makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Unit pengolahan makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam unit pengolahan makanan, pengolahan singkong dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011), singkong atau ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman ini merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2.5%, kadar protein 1%, kadar lemak, 0.5% dan kadar abu 1%, karenanya merupakan sumber karbohidrat dan serat makanan, namun sedikit kandungan zat gizi seperti protein. Singkong segar mengandung senyawa glokosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan bercak warna biru, akan menjadi toxin (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. Pengelompokan ubikayu berdasarkan kadar HCN menjadi 3 kelompok, yaitu (1) tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm (rasa pahit), seperti varietas Adira II, Adira IV dan Thailand, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN 40 – 100 ppm, seperti varietas UJ-5 dan (3) boleh dikonsumsi kadar HCN kurang dari 40 ppm (tidak pahit), seperti varietas Adira I dan Manado. Ada korelasi antara kadar HCN ubikayu segar dengan kandungan pati. Semakin tinggi kadar HCN semakin pahit dan kadar pati meningkat dan sebaliknya. Oleh karena itu, unit pengolahan tapioka umumnya menggunakan varietas berkadar HCN tinggi atau varietas pahit. Di

2

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=151 (Diakses 10 April 2013) 3

(17)

samping itu, ubikayu segar mengandung senyawa polifenol dan bila terjadi oksidasi akan menyebabkan warna coklat (browning secara enzimatis) oleh enzim fenolase, sehingga warna tepung kurang putih. Berdasarkan kadar

amilosa, ubikayu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ubikayu gembur (kadar

amilosa lebih dari 20%) yang ditandai secara fisik bila kulit ari yang berwarna coklat terkelupas dan kulit tebalnya mudah dikupas, dan ubikayu kenyal (kadar amilosa kurang dari 20%) yang ditandai bila kulit ari warna coklat tidak terkelupas atau lengket pada kulit tebalnya dan kulit tebalnya sulit dikupas.

Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah

Nilai tambah merupakan nilai yang tercipta akibat adanya proses pengubahan input dengan berbagai perlakuan sehingga meningkatkan nilai output yang dihasilkan. Perlakuan tersebut meliputi pengubahan bentuk, waktu, dan tempat. Nilai tambah yang diciptakan dari hasil pengolahan input pertanian menjadi berbagai macam output berbeda-beda. Salah satu contoh penelitian Pertiwi (2013) mengenai analisis nilai tambah dan pemasaran minyak Gaharu pada CV. Aromindo. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah dan balas jasa terhadap faktor-faktor produksi akibat adanya aktivitas yang terjadi mulai dari pengadaan bahan baku gaharu sampai produk jadi minyak gaharu. Metode perhitungan nilai tambah yang digunakan adalah metode Hayami.

(18)

terhadap tenaga kerja langsung dan keuntngan perusahaan pengolah. Imbalan bagi tenaga kerja langsung sebesar Rp 8 800 per kilogram dengan bagian tenaga kerja terhadap nilai tambah sebesar 13.265%. Nilai imbalan tenaga kerja langsung diperoleh dari perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan satu kilogram gaharu menjadi minyak gaharu sekitar Rp 57 542 per kilogram bahan baku, dimana nilai tersebut merupakan nilai tambah bersih karena telah dikurangi dengan imbalan tenaga kerja langsung.

Pengolahan minyak gaharu menghasilkan nilai tambah sebesar 51.032%, dimana 86.735% dialokasikan untuk keuntungan bagi pengusaha dan 13.26% dialokasikan untuk imbalan tenaga kerja. Hasil alokasi nilai tambah tersebut menunjukkan bagaimana karakteristik CV. Aromindo. Alokasi terbesar dari nilai tambah yakni untuk keuntungan pengusaha, artinya bahwa CV. Aromindo sebagai unit pengolahan minyak gaharu merupakan unit pengolahan yang memiliki karakteristik padat modal. Sedangkan jika alokasi nilai tambah terbesar untuk imbalan tenaga kerja CV. Aromindo merupakan unit pengolahan dengan karakteristik padat karya.

Penelitian mengenai nilai tambah bahan pangan dilakukan oleh Tunggadewi (2009). Penelitian bertujuan menganalisis profiitabilitas dan nilai tambah usaha tahu di Kelurahan Tegal Gundil dan usaha tempe di Kelurahan Cilendek Timur. Tunggadewi (2009) menganalisis profitabilitas dengan menghitung pendapatan, titik impas, marginal income ratio (MIR), serta

marginal of safety (MOS) dan juga menganalisis nilai tambah menggunakan metode Hayami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahsa tahu melakukan produksi sebanyak 300 kg per hari, sedangkan usaha tempe memproduksi 400 kg per hari. Faktor konversi usaha tahu sebesar 2.7 sedangkan usaha tempe sebesar 2.17 yang menunjukkan bahwa setiap mengolah satu kg bahan baku akan menghasilkan output sebesar nilai faktor konversi. Harga tahu yang ditentukan sebesar Rp 4 972 per kg dan harga tempe sebesar Rp 5 283 per kg.

(19)

tambah yang diperoleh usaha tahu dan tempe sama yaitu satu % dengan besar imbalan yang diperoleh tenaga kerja pada masing-masing usaha per hari sebesar Rp 500 untuk usaha tahu dan Rp 360 untuk usaha tempe. Imbalan untuk tenaga kerja pada masing-masing usaha terlihat kecil, namun kedua Pengusaha usaha telah mengatasinya dengan memberikan fasilitas seperti tempat tinggal dan makanan sehari-hari.

Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan

Skala unit pengolahan input bisa jadi mempengaruhi nilai tambah yang diciptakan, semakin besar skala unit pengolahan maka akan semakin besar nilai tambah yang diciptakan. Pengaruh skala unit pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan input telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh Munawar (2010) yang menganalisis nilai tambah dan pemasaran kayu sengon gergajian. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dengan mengambil sampel sebanyak 13 pengelola kayu gergajian, distributor dua orang, pedagang material dua orang, dan pedagang pengecer kayu sengon sebanyak satu orang. Penggolongan skala unit pengolahan berdasarkan banyaknya mesin utama gergajian yang digunakan, skala kecil menggunakan satu mesin utama, skala menengah menggunakan dua mesin utama, dan skala besar menggunakan tiga mesin utama. Dasar perhitungan nilai tambah pada kegiatan pengolahan kayu sengon gergajian menggunakan per satuan meter kibuk kayu gergajian sebagai bahan baku utama. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah pengolahan bahan baku kayu menjadi produk kayu olahan, serta mengetahui distribusi marjin kepada faktor-faktor produksi yang digunakan.

Munawar (2010) juga membandingkan nilai tambah yang diperoleh berdasarkan skala unit pengolahan. Masing-masing skala memiliki perbedaan nilai pada komponen perhitungan nilai tambah. Nilai pada perhitungan nilai tambah tidak selalu berbanding lurus dengan skala unit pengolahan, terkadang terdapat nilai unit pengolahan menengah yang lebih besar dari skala unit pengolahan kecil dan besar. Nilai tersebut terdapat pada komponen koefisien tenaga kerja, harga output, harga input bahan baku, nilai produk, rasio tenaga kerja, dan imbalan tenaga kerja. Perbedaan nilai tersebut disebabkan oleh kualitas dan ukuran kayu, serta biaya transportasi pada masing-masing skala unit pengolahan.

(20)

dilakukan Munawar (2010) pada unit pengolahan kayu gergajian skala kecil, menengah, dan besar, menunjukkan bahwa adanya pengaruh skala indusri pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Semakin besar skala unit pengolahan gergajian maka akan semakin meningkatkan nilai tambah.

Skala unit pengolahan tidak selalu berbanding lurus dengan nilai tambah. Rochaeni et al (2003) meneliti tentang prospek pengembangan unit pengolahan kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Tujuan penelititan untuk mengkaji kondisi umum, nilai tambah, dan prospek pengembangan unit pengolahan kecil tapioka. Penelitian dilakukan dengan menganalisis profitabilitas, nilai tambah, dan SWOT dari unit pengolahan kecil tapioka. Unit pengolahan tapioka dibagi menjadi tiga skala yaitu skala besar, sedang, dan kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala sedang memiliki nilai tambah dan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan skala besar dan kecil. Rochaeni et al (2003) menggabungkan produk utama dengan produk sampingan yakni tepung kasar dan onggok, sehingga perhitungan nilai tambah yang dilakukan dengan menghitung nilai tambah tepung kasar dan onggok. Skala unit pengolahan berbanding terbalik dengan biaya rata-rata per kilogram yang dikeluarkan. Semakin besar skala unit pengolahan tapioka maka semakin menurun biaya rata-rata per kilogram yang dikeluarkan. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis terletak pada perlakukan produk sampingan. Produk sampingan pada penelitian terdahulu diperlakukakn sebagai tambahan pendapatan produk utama, sedangkan penulis memperlakukan produk sampingan sebagai pengurang biaya produk utama.

Teknologi Pengolahan Tapioka

Pada unit pengolahan tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama tradisional, yaitu unit pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim. Kedua semi modern, yaitu unit pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan. Ketiga full otomate, yaitu unit pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Unit pengolahan tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian 2005).

(21)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan teori-teori yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai tambah dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dan pengaruh skala unit pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Hayami et al. (1987) mengenai nilai tambah yang diciptakan dari hasil kegiatan pengolahan input pada unit pengolahan.

Konsep Nilai Tambah

Menurut Hayami et al (1987), definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditas tersebut. Input fungsional tersebut berupa proses perubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility), maupun penyimpanan (time utility). Nilai tambah dapat dihitung dengan dua cara yaitu menghitung nilai tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran. Tujuan dari analisis nilai tambah untuk mengukur besarnya balas jasa yang diterima pelaku sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh sistem tersebut.

Menurut Rahardjo (1986), definisi nilai tambah adalah selisih nilai produk bruto dengan pengeluaran. Nilai produk bruto yang dimaksud adalah nilai output ditambah dengan nilai jasa yang diberikan. Total pengeluaran yang dimaksud meliputi gaji atau upah, bahan baku, bahan bakar, dan biaya lainnya.

Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input yang diperlukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan bentuk, tempat, dan waktu. Semakin banyak perubahan yang diperlakukan terhadap komoditas maka akan semakin besar nilai tambah yang diperoleh. Salah satu perubahan bentuk dapat dilakukan dengan cara mengolah komoditas agar dapat dikonsumsi.

(22)

Hubungan Skala Unit pengolahan dengan Biaya Produksi

Penggolongan unit pengolahan menurut Hayami et al (1987) didasarkan pada tempat berlangsungnya kegiatan pengolahan, yaitu: a) dalam rumah tangga (home processing) yang dilakukan sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga dengan bahan baku yang berasal dari pertanian mereka sendiri, b) dalam bangunan yang menempel atau terpisah dari rumah tempat tinggal tetapi masih dalam satu pekarangan dengan bahan baku yang dibeli dari pasar dan terutama menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, c) dalam perusahaan kecil, menengah, atau besar yang menggunakan tenaga kerja upahan dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 12 orang,tetapi tenaga kerja dalam keluarga juga digunakan secara intensif.

Penggolongan unit pengolahan berdasarkan jumlah tenaga kerja menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terdiri dari empat golongan yaitu:

1. Unit pengolahan Besar, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih.

2. Unit pengolahan Sedang, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 20-99 orang.

3. Unit pengolahan Kecil, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang.

4. Unit pengolahan Rumah Tangga, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 1-4 orang.

Hoselitz dalam Rahardjo (1986) mengemukakan bahwa nampaknya ada korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi atau unit pengolahan suatu negara dengan kriteria kuantitatif yang ditentukan oleh negara bersangkutan untuk mengukur besar kecilnya perusahaan, ini bisa berdasarkan ukuran modal (fixed assets), jumlah buruh, dan nilai produksi dalam satu tahun.

(23)

Kurva biaya jangka pendek atau Sort Run Average Cost (SRAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka pendek. Kurva biaya jangka panjang atau Long Run Average Cost (LRAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan perusahaan dalam jangka panjang. Kondisi dari nol sampai Q* merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi decreasing cost. Sedangkan kondisi dari Q* sampai Q merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi increasing cost.

Produk Gabungan dan Produk Sampingan

Proses produksi dalam suatu perusahaan tidak akan terhindar dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Perusahaan adakalanya menghasilkan produk secara serentak dalam satu kali proses produksi, hal ini disebut produksi gabungan. Perbedaan produk yang dihasilkan biasanya disebut dengan produk utama dan produk sampingan. Menurut Charles, Srikant, dan George (2008) produk utama adalah jika proses produksi gabungan menghasilkan satu produk dengan total nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan total nilai jual produk lainnya dari proses tersebut, sedangkan produk sampingan adalah produk yang dihasilkan dari proses produksi gabungan yang memiliki total nilai jual lebih rendah dibandingkan total nilai jual produk utama. Mulyadi (2005) mengemukakan pengertian produk gabungan dan produk sampingan. Produk gabungan atau bersama adalah dua produk atau lebih yang diproduksi secara serentak dengan serangkaian proses atau dengan proses gabungan. Produk sampingan adalah satu produk atau lebih yang nilai jualnya relatif lebih rendah, yang diproduksi bersama dengan produk lain yang nilai jualnya lebih tinggi. Perbedaan antara produk gabungan dan produk sampingan didasarkan pada nilai jual relatifnya. Metode akuntansi yang digunakan untuk memperlakukan produk sampingan dibagi dalam dua golongan yakni metode

Gambar 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang Q Rp

0

LRAC

SRAC

Q*

(24)

tanpa harga pokok (non-cost methods) dan metode dengan harga pokok ( cost method).

Perlakuan produk sampingan menggunakan metode tanpa harga pokok (non-costs method) dibedakan menjdai empat macam yaitu:

1. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pendapatan di luar usaha.

2. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai tambahan pendapatan penjualan produk utama.

3. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang harga pokok penjualan.

4. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang total biaya produksi.

Ronny (1990) juga mengemukakan pengertian produk gabungan atau bersama adalah produk yang dihasilkan bersamaan dari suatu proses atau melalui tahapan proses produksi. Pengertian ini menekankan bahwa dari suatu proses tercipta beberapa jenis produk yang memiliki hubungan kuantitas tertentu, namun hubungan ini tidak naik atau turun secara proporsional dalam arti penambahan dalam satu jenis produk tidak secara otomatis menambah atau mengurangi produk lain dengan jumlah yang selaras. Produksi sampingan adalah satu atau lebih produk dalam jumlah yang relatif kecil yang dihasilkan secara bersama, dengan produk utama yang memiliki nilai relatif besar.

Terdapat tiga jenis produk sampingan yakni pertama, produk sampingan yang terjadi akibat dari pembersihan produk utama. Kedua, produk sampingan merupakan sisa pembuangan yang tidak terpakai lagi. Ketiga, produk sampingan yang tidak diperoleh dari suatu proses pengolahan, melainkan timbul dari pengolahan bahan baku sebelum diproses ke dalam pabrik untuk memproduksi produknya. Produk sampingan juga dapat dapat dikelompokkan dalam dua kategori sesuai dengan kondisi pemasarannya pada saat dipisahkan yakni produk sampingan yang dapat dijual dalam bentuk seadanya tanpa memerlukkan proses pengolahan dan produk sampingan yang dapat dijual apabila telah selesai proses pengolahan lebih lanjut.

Kerangka Pemikiran Operasional

Ubi kayu merupakan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan langsung atau sebagai bahan baku industri pengolahan. Ubi kayu atau singkong sebagai bahan baku industri pengolahan memiliki banyak manfaat yang dapat dijadikan bioethanol, mokaf, tepung tapioka, dan berbagai macam olahan makanan dari ubi kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri pengolahan lebih besar dibandingkan permintaan ubi kayu sebagai bahan pangan langsung. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki tambahan manfaat atau kegunaan yang dihitung melalui besarnya nilai tambah.

(25)

mendapatkan nilai output. Nilai output dikurangi dengan sumbangan input lain dan harga bahan baku akan menghasilkan nilai tambah. Nilai tambah yang dihitung adalah nilai tambah pada masing-masing skala unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Kemudian akan dibandingkan besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada masing-masing skala unit pengolahan. Dari nilai tambah tersebut dapat dicari rasio nilai tambah, bagian tenaga kerja, dan keuntungan, setelah itu dapat juga dicari nilai balas jasa dari masing-masing faktor produksi yaitu imbalan tenaga kerja, sumbangan input lain dan keuntungan. Secara umum kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional analisis nilai tambah pengolahaan ubi kayu

Unit Pengolahan Tapioka Kasar

Nilai Tambah Skala

Industri Pengolahan

Keuntungan Bagian

Tenaga Kerja

Rekomendasi Industri Pengolahan Tapioka

(26)

Input produksi merupakan berbagai faktor produksi yang mempengaruhi besarnya nilai tambah yang diciptakan. Penggunaan input produksi berupa singkong, tenaga kerja, bahan pembantu lainnya dengan jumlah yang berbeda akan berpengaruh terhadap besarnya nilai tambah yang diciptakan dan besarnya nilai tambah yang dialokasikan kepada pekerja dan pengusaha. Selain itu teknologi yang digunakan juga berpengaruh pada besarnya nilai tambah yang diciptakan. Teknologi yang digunakan berhubungan dengan faktor konversi. Penggunaan teknologi yang relatif sama akan menghasilkan faktor konversi dengan nilai yang sama. Penggunaan input produksi dengan jumlah yang berbeda juga akan menghasilkan jumlah output produksi yang berbeda. Output produksi berupa tepung tapioka memiliki tekstur yang kasar dengan warna putih bersih dan kering.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelititan dilakukan pada unit pengolahan pengolahaan ubi kayu menjadi tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor tepatnya di Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja. Pengumpulan data dimulai dari bulan September hingga November 2013. Lokasi tersebut dipilih karena pertimbangan sebagai berikut:

1. Bogor merupakan salah satu daerah penghasil tepung tapioka di Jawa Barat. 2. Kecamatan Sukaraja merupakan daerah sentra penghasil tepung tapioka di

Bogor.

3. Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja merupakan desa yang memiliki unit pengolahan tapioka terbanyak di Kecamatan Sukaraja.

Penelitian ini menganalisis besarnya nilai tambah yang diciptakan dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Sukaraja. Kondisi alam wilayah Kabupaten Bogor sangat mendukung adanya pembudidayaan ubi kayu. Dengan adanya lahan ubi kayu yang tersebar di wilayah Kabupaten Bogor tentunya juga akan memicu adanya unit pengolahan tapioka di wilayah tersebut, karena dekat dengan bahan baku. Kecamatan Sukaraja merupakan daerah yang memiliki unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dan juga sebagai daerah sentra penghasil tepung tapioka di Bogor.

Jenis dan Sumber Data

(27)

input dan output, biaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perunit pengolahanan dan Perdagangan, buku literatur, Jurnal, dan sumber lain yang menunjang penelitian.

Metode Penentuan Sampel

Metode penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan metode sampling sederhana secara proporsional dengan populasi adalah unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka di Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja yang terdapat di Kecamatan Sukaraja, kemudian menghitung jumlah populasi di masing-masing Desa. Total populasi sebanyak 53 unit pengolahan tapioka kasar yakni 33 unit pengolahan di Desa Cijujung dan 20 unit pengolahan di Desa Pasir Laja. Jumlah sampel pada masing-masing Desa ditentukan secara proporsional agar sampel yang terpilih dapat mewakili populasi. Penetuan sampel pada populasi dilakukan secara acak sehingga didapat 10 pengusaha yang bersedia memberikan informasi terdiri dari enam sampel di Desa Cijujung dan empat sampel di Desa Pasir Laja.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data primer melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung dengan responden. Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan mengenai pemakaian input, jumlah input, harga input, tenaga kerja, jam kerja, harga output, dan pertanyaan lain yang dapat membantu menjawab tujuan penelitian. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan metode Hayami untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software yakni Microsoft Exel 2010. Metode Hayami memiliki beberapa kelebihan yakni lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian, dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga kerja), dapat diketahui balas jasa bagi Pengusaha-Pengusahai faktor produksi, dan dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan.

Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan pada unit pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan keterampilan, serta kualitas bahan baku. Apabila penerapan teknologi cenderung padat karya makan proporsi bagian tenaga kerja akan lebih besar daripada proporsi bagian keuntungan bagi pengusaha, sedangkan apabila diterapkan teknologi padal modal maka besarnya proporsi bagian manajemen lebih besar daripada proporsi bagian tenaga kerja.

(28)

Tabel 5 Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami

No. Variabel Nilai

Output, Input dan Harga

1. Output (kg/bulan) A

2. Bahan baku (kg/bulan) B 3. Tenaga kerja (HOK/bulan) C 4. Faktor konversi D = A/B 5. Koefisien tenaga kerja E = C/B

6. Harga output F

7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) G

Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg)

8. Harga bahan baku H

9. Sumbangan input lain I 10. Nilai output J = D x F 11. a. Nilai tambah K = J-I-H

b. Rasio nilai tambah L% = (K/J) x 100% 12. a. Imbalan tenaga kerja M = E x G

b. Bagian tenaga kerja N% = (M/K) x 100% 13. a. Keuntungan O = K-M

b. Tingkat keuntungan P% = (O/K) x 100%

Balas Jasa dari Masing-masing Faktor Produksi

14. Marjin Q% = (J/H) x 100% 15. a. Imbalan teaga kerja R% = (M-Q) x 100%

b. Sumbangan input lain S% = (I-Q) x 100% c. Keuntungan T% = (O-Q) x 100%

Sumber: Hayami, 1987

Melalui analisis nilai tambah metode Hayami akan diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Perkiraan besarnya nilai tambah (Rp).

2. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yang dihasilkan (%), menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk.

3. Imbalan bagi tenaga kerja (Rp), menunjukkan besarnya upah yang diterimaoleh tenaga kerja langsung.

4. Bagian tenaga kerja dari nilai tambah yang dihasilkan (%), menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah.

5. Keuntungan pengolahan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima pengusaha karena menanggung risiko usaha.

6. Tingkat keuntungan pengusaha terhadap nilai output (%), menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai tambah.

7. Marjin pengolahan (Rp), menunjukkan kontribusi Pengusaha faktor produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

8. Persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%). 9. Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin (%).

(29)

Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka menghasilkan dua macam output berupa tepung tapioka kasar sebagai produk utama dan produk sampingan berupa onggok. Onggok sebagai produk sampingan memberikan penerimaan lebih bagi pengusaha, selain itu juga dapat mengurangi biaya produksi untuk tepung kasar sebagai produk utama. Metode penetapan biaya produksi sampingan menurut Mulyadi (2005) terdiri dari empat cara. Cara pertama yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pendapatan lain. Cara kedua yakni penjualan produk sampingan dinyatakan sebagai penambah penjualan produk utama. Cara ketiga yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pengurang harga pokok penjualan produk utama. Cara keempat yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pengurang biaya produksi produk utama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Mulyadi dengan cara kedua yakni penjualan produk sampingan dinyatakan sebagai penambah penjualan produk utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kecamatan Sukaraja

Kondisi Goegrafis

Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dengan luas wilayah seluas ± 42 km2 dan berbatasan di sebelah Utara dengan Kecamatan Cibinong, sebelah Selatan dengan Kecamatan Ciawi, Sebelah Timur dengan Kecamatan Babakan Madang, dan sebelah Barat dengan Kota Bogor. Kecamatan Sukaraja mencakup 13 Desa yakni Desa Cibanon, Gunung Geulis, Nagrak, Sukatani, Sukaraja, Cikeas, Cadas Ngampar, Pasirlaja, Cijujung, Cimandala, Pasir Jambu, Cilebut Timur, dan Cilebut Barat. Kecamatan Sukaraja memliki hari hujan rata-rata sebanyak 7.33 hari per bulan dangan curah hujan rata-rata 151 mm per bulan.

Kondisi Demografi

Pekerjaan penduduk di kecamatan Sukaraja cukup beragam. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai pegawai berbagai lembaga atau perusahaan seperti perusahaan di bidang jasa, perdagangan, hotel dan restoran, serta lembaga keuangan. Selain itu sebagian masyarakat di kecamatan Sukaraja juga bekerja di bidang unit pengolahan, pertanian, dan konstruksi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor tahun 2012, tercatat jumlah penduduk di Kecamatan Sukaraja berjumlah 159 421 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 81 525 jiwa dan perempuan sebanyak 77 896 jiwa.

Sosial Budaya

(30)

dapat menerima kehadiran masyarakat baru yang ingin hidup berdampingan dan saling menghormati.

Masyarakat Kecamatan Sukaraja mayoritas beragama Islam, selain itu juga terdapat masyarakat dengan agama-agama lain. Data klasifikasi penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Klasifikasi penduduk Kecamatan Sukaraja menurut Agama tahun 2011 No. Agama Jumlah (Jiwa) %tase (%)

1. Islam 156 550 98.20

2. Katolik 1 020 0.64

3. Protestan 1 058 0.66

4. Hindu 481 0.30

5. Budha 312 0.20

Sumber : Sukaraja Dalam Angka, 2012

Berdasarkan data klasifikasi penduduk menurut agama pada Tabel 6, penduduk Kecamatan Sukaraja yang beragama Islam sebanyak 156.550 jiwa atau sekitar 98.20%. Sebagian penduduk lainnya menganut agama Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Kecamatan Sukaraja sangat terbuka bagi pendatang baru.

Kondisi Ekonomi

Mayoritas penduduk Kecamatan Sukaraja bermata pencaharian sebagai pegawai pada lembaga atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Sebagian penduduk Kecamatan Sukaraja juga bekerja di bidang lain. Data jumlah rumah tangga berdasarkan pekerjaan atau mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah rumah tangga Kecamatan Sukaraja berdasarkan pekerjaan tahun 2011

No. Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) %tase (%)

1. Pertanian 4 147 9.21

2. Unit pengolahan 4 719 10.48

3. Konstruksi 2 143 4.76

4. Perdagangan 7 630 16.95

5. Angkutan 3 849 8.55

6. BPR 144 0.32

7. Jasa-jasa 17 320 38.47

8. Lembaga Keuangan Lainnya 5 074 11.27

Sumber : Sukaraja Dalam Angka, 2012

(31)

Gambaran Umum Unit pengolahan Tapioka Kasar

Penyediaan bahan baku

Bahan baku yang digunakan adalah ubi kayu yang diperoleh dari pemasok di Sukabumi dan petani ubi kayu disekitar unit pengolahan. Namun pada umumnya bahan baku diperoleh dari pemasok yang menjadi langganan Pengusaha unit pengolahan. Pemasok akan mengirimkan bahan baku sesuai dengan permintaan Pengusahai unit pengolahan. Harga yang diberikan pemasok rata-rata sebesar Rp 1 200 per kilogram untuk unit pengolahan skala besar dan Rp 1 250 per kilogram untuk skala kecil. Harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi untuk pengiriman sampai ke unit pengolahan. Sistem pembayaran yang dilakukan yakni secara tunai. Ubi kayu yang diperoleh dari pemasok merupakan ubi kayu yang telah dikupas kulitnya. Jenis ubi kayu yang dikirim pada umumnya berwarna kuning atau putih. Berdasarkan pengalaman unit pengolahan, ubi kayu kuning memiliki kandungan aci atau pati ubi kayu yang lebih banyak dibandingkan ubi kayu putih.

Bahan lain yang digunakan pada unit pengolahan tapioka kasar adalah air, pemutih, karung, dan listrik. Air diperoleh dari sumur yang digunakan khusus untuk unit pengolahan tapioka kasar. Air yang digunakan harus air yang jernih agar menghasilkan tepung yang bersih. Rata-rata unit pengolahan tapioka kasar masih menggunakan pemutih untuk mendapatkan tepung yang putih bersih. Pemutih ini diperoleh dari pasar tradisional yang berada disekitar unit pengolahan penggilingan dengan harga Rp 30 000 sampai Rp 40 000 per kilogram. Perbandingan pemutih yang digunakan yakni setengah kilogram pemutih untuk satu ton bahan baku singkong. Unit pengolahan penggilingan menggunakan karung sebagai kemasan tepung kasar. Karung yang digunakan berukuran 50 kilogram yang dibeli dari pasar dengan harga Rp 1 000 sampai Rp 2 500 per buah.

Mesin dan Peralatan

Mesin yang digunakan pada unit pengolahan tapioka kasar yakni mesin diesel sebagai motor penggerak utama. Mesin diesel ini digunakan pada proses pencucian, penggilingan, dan pengayakan. Selain mesin diesel, pompa air juga diperlukan untuk mengalirkan air dari sumur ke unit pengolahan karena proses pengolahan membutuhkan air. Peralatan lain yang digunakan yakni keranjang, tampah atau tampir, dan serokan. Keranjang digunakan untuk wadah pati ubi kayu setelah diendapkan, tampir digunakan sebagai wadah untuk menjemur tepung kasar, sedangkan serokan digunakan untuk mengangkat ubi kayu dari bak pencucian ke bak penggilingan.

Proses produksi

(32)

Gambar 3 Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar

1. Pencucian

Pencucian ubi kayu dilakukan pada bak pencucian yang telah diisi dengan air kurang lebih setengah bagian, kemudian ubi kayu dicuci dengan cara diputar menggunakan alat berupa kayu berbentuk baling-baling yang dihubungkan ke mesin diesel sebagai tenaga pemutar. Ubi kayu dicuci sampai kotoran yang menempel pada ubi kayu hilang.

2. Penggilingan

Setelah dicuci, ubi kayu dimasukkan ke bak penggilingan dan mulai digiling satu persatu. Ubi kayu digiling menggunakan alat parut berbentuk tabung yang dihubungkan ke mesin diesel sebagai tenaga pemutar sambil diberi air. Tujuan penggilingan untuk memudahkan pengambilan pati ubi kayu pada proses pengayakan.

3. Pengayakan

Ubi kayu yang telah digiling akan berbentuk halus dan langsung disalurkan ke pengayak yakni alat berbentuk segi empat dengan permukaan berupa saringan halus berukuran 1 x 1 m sebanyak empat buah dan disusun memanjang. Pengayak ini juga terhubung dengan mesin diesel sebagai penggerak maju dan mundur. Pada proses pengayakan ini air diberikan secara terus menerus dengan semprotan air yang kecil. Tujuan dari pengayakan adalah untuk memisahkan pati ubi kayu dengan ampasnya, ciri-cirinya bila ampas kita peras maka tidak ada air putih yang keluar tetapi air bening.

4. Pengendapan

(33)

air sisa pengendapan dibuang melalui saluran pembuangan dan endapan berupa aci siap untuk di angkat dan dihancurkan.

5. Penghancuran

Proses penghancuran dilakukan dengan memarut pati ubi kayu yang telah padat pada saringan kawat berbentuk persegi panjang hingga berbentuk remahan-remahan atau tepung kasar. Tepung kasar tersebut diletakkan dalam tampir atau tampah kemudian dijemur.

6. Penjemuran

Dibutuhkan tampir dalam jumlah banyak untuk menjemur tepung kasar karena tepung yang dimasukkan ke dalam tampir tidak boleh tebal. Hal ini bertujuan agar kadar air yang terkandung dalam tepung cepat mengering. Proses penjemuran dilakukan rata-rata selama enam jam. Lamanya penjemuran dipengaruhi oleh cuaca.

7. Pengepakan

Tepung kasar akan kering setelah dijemur selama enam jam, kemudian tepung tersebut diangkat dan dikemas dalam karung berukuran 50 kilogram. Setelah dikemas, tepung kasar tersebut dikirim ke unit pengolahan tapioka halus guna dihaluskan lebih lanjut hingga berbentuk tepung dengan tekstur yang lebih halus.

Pemasaran

Tepung dikemas dalam karung berukuran 50 kilogram tanpa diberi label. Tepung kasar diberi harga rata-rata sebesar Rp 5 000 sampai Rp 6 500 per kilogram. Harga tersebut disesuaikan dengan kualitas tepung, bila tepung berwarna putih bersih maka harga akan tinggi, namun bila tepung berwarna putih pudar maka harga akan lebih rendah. Penentuan harga dilakukan oleh unit pengolahan tapioka halus, sedangkan unit pengolahan tapioka kasar mengikuti harga yang telah ditentukan. Unit pengolahan tapioka halus juga turut mempengaruhi keberlangsungan proses produksi pada unit pengolahan tapioka kasar karena unit pengolahan tapioka halus tidak akan menerima semua tepung kasar bila persediaan tepung tapioka unit pengolahan tapioka halus masih banyak, sehingga unit pengolahan unit pengolahan tapioka kasar juga harus menyesuaikan proses produksi dengan persediaan tepung yang ada di unit pengolahan tapioka halus. Ketika hal ini terjadi maka unit pengolahan tapioka kasar mengurangi produksi hingga pihak unit pengolahan tapioka halus memberikan informasi lebih lanjut. Pengiriman tepung kasar ke unit pengolahan tapioka halus menggunakan kendaraan berupa mobil pick up. Tepung kasar dikirim ke unit pengolahan tapioka halus yang telah menjadi langganan bagi masing-masing unit pengolahan tapioka kasar.

Kendala Usaha

(34)

Masalah lain yang juga dihadapi adalah penentuan harga yang ditetapkan oleh unit pengolahan tapioka halus. Pengusaha tapioka kasar membeli ubi kayu mentah dari tengkulak dengan harga rata-rata yakni Rp 1 200 sampai Rp 1 250 per kilogram, namun harga di unit pengolahan tapioka halus tidak stabil sehingga mempengaruhi pendapatan unit pengolahan tapioka kasar. Ketika harga tepung kasar menurun maka pendapatan pengusaha tapioka kasar juga mengalami penurunan. Pengusaha tapioka kasar tidak memiliki posisi tawar yang kuat sehingga harga ditentukan oleh unit pengolahan tapioka halus. Hingga saat ini, masalah tersebut masih berlangsung dan belum menemukan solusi. Unit pengolahan tapioka kasar selalu berada pada posisi tawar yang lemah.

Karakteristik produsen

Jumlah produksi pada masing-masig unit pengolahan berbeda. Pembagian skala produksi dihitung berdasarkan rata-rata produksi dari 10 unit pengolahan. Rata-rata produksi unit pengolahan tapioka kasar sebesar 1.7 ton per hari, sehingga unit pengolahan yang berproduksi lebih dari 1.7 ton per hari termasuk dalam skala besar dan unit pengolahan yang berproduksi kurang dari 1.7 ton per hari termasuk dalalm skala kecil. Berdasarkan penggolongan skala tersebut maka didapat skala besar sebanyak dua unit pengolahan dan skala kecil sebanyak delapan unit pengolahan. Tenaga kerja yang digunakan oleh masing-masing unit pengolahan tapioka kasar diambil dari tenaga kerja luar keluarga.

Rata-rata volume produksi pada unit pengolahan skala besar sebanyak 3.6 ton per hari dengan tenaga kerja sebanyak tujuh orang. Pengusaha unit pengolahan skala besar merupakan orang yang memiliki pengalaman yang baik dalam menjalankan usaha pengolahan tepung tapioka kasar. Pengetahuan mengenai tapioka didapat dari orang-orang terdahulu yang telah melakukan pengolahan tapioka kasar. Jumlah produksi pada unit pengolahan skala kecil rata-rata sebanyak 1.2 ton per hari dengan tenaga kerja yang digunakan rata-rata sebanyak tiga orang. Pengusaha tapioka kasar skala kecil memperoleh pengalaman dari pengusaha tapioka kasar skala besar.

(35)

Usia mempengaruhi seseorang dalam melakukan pekerjaan. Pengusaha unit pengolahan yang relatif muda biasanya memiliki fisik yang kuat sehingga dapat melakukan pekerjaan yang berat. Pengusaha unit pengolahan yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman yang lebih baik dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka kasar. Terlihat pada Tabel 8 yang menunjukkan umur Pengusaha unit pengolahan skala besar yang lebih tua dibandingkan umur Pengusaha unit pengolahan skala kecil yang menggambarkan pengalaman skala besar yang lebih lama dalam melakukan pengolahan tapioka kasar dibandingkan pengalaman skala kecil. Pengalaman unit pengolahan juga dapat dilihat dari umur usaha pengolahan pada masing-masing skala. Unit pengolahan skala besar lebih lama melakukan pengolahan tapioka kasar dibandingkan skala kecil. Dapat dikatakan bahwa pengusaha skala kecil merupakan pengikut dari pengusaha skala besar. Pengusaha skala kecil menerapkan teknologi yang sama dengan skala besar, yang menjadi pembeda adalah volume produksi yang diterapkan.

Sebagian besar pengusaha unit pengolahan tapioka kasar hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Hanya 10% yang menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini disebabkan latar belakang keluarga yang tergolong pada ekonomi rendah sehingga tidak mampu membiayai sekolah. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dalam mengambil suatu keputusan. Tingkat pendidikan yang baik merupakan salah satu faktor yang mempermudah pengusaha untuk menerima informasi teknologi guna pengembangan usaha.

Analisis Nilai Tambah

Kegiatan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar merupakan kegiatan pengubahan bentuk sehingga menimbulkan nilai tambah. Manfaat dari kegiatan tersebut dapat dinikmati oleh pengusaha, dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah dapat dihitung menggunakan metode nilai tambah. Adapun jenis bahan baku yang digunakan dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar adalah ubi kayu berwarna putih atau kuning. Ubi kayu tersebut dibeli dari pemasok atau tengkulak yang berada di Sukabumi dan di sekitar wilayah unit pengolahan tapioka kasar. Ubi kayu yang dikirim pemasok adalah ubi kayu yang telah dikupas dengan harga rata-rata sebesar Rp 1 200 per kilogram utnuk skala besar dan Rp 1 250 per kilogram untuk skala kecil.

Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dapat meningkatkan nilai tambah, oleh karena itu harga tepung tapioka kasar lebih tinggi dibandingkan dengan harga ubi kayu. Harga tepung tapioka kasar dengan kualitas terbaik dapat mencapai Rp 6 500 per kilogram, lebih tinggi sekitar enam kali lipat dari harga ubi kayu mentah. Hal tersebut membuktikan adanya penambahan nilai dengan melakukan proses pengolahan terhadap ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar.

(36)

digunakan dalam perhitungan nilai tambah, antara lain output tepung tapioka kasar, bahan baku, tenaga kerja langsung, dan sumbangan input lain. Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar menggunakan per satuan kilogram ubi kayu sebagai bahan baku utama selama periode produksi rata-rata satu tahun. Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan membandingkan unit pengolahan penggilingan skala besar dan unit pengolahan penggilingan skala kecil.

(37)

Tabel 9 Perhitungan rata-rata nilai tambah pengolahan tepung tapioka kasar di Kabupaten Bogor tahun 2013

No. Variabel Skala Besar Skala Kecil

Output, Input dan Harga

1. Tepung Kasar (kg/tahun) 283 500.00 96 075.00 2. Ubi Kayu (kg/tahun) 1 134 000.00 384 300.00 3. Tenaga Kerja (HOK/tahun) 2 422.71 1 039.05 4. Faktor Konversi (1)/(2) 0.25 0.25 5. KoefisienTenaga Kerja (3)/(2) 0.002 0.003 6. Harga Tepung Kasar 5 950.00 5 912.50 7. Upah Rata-rata Tenaga Kerja (Rp/HOK) 38 606.87 40 286.71

Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg)

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 1 200.00 1 250.00 9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 13.90 21.39 10. Nilai Tepung Kasar (4)x(6) (Rp/kg) 1 487.50 1 478.13 11. a. Nilai tambah (10-8-9) (Rp/kg) 273.60 206.74 b. Rasio Nilai Tambah ((11/10)x100) (%) 18.39 13.99 12. a. Imbalan Tenaga Kerja (5x7) (Rp/kg) 90.80 119.98 b. Bagian Tenaga Kerja ((12a/11a)x100) (%) 33.19 58.03 13. a. Keuntungan (11a-12a) (Rp/kg) 182.80 86.76 b. Tingkat Keuntungan ((13a/11a)x100) (%) 66.81 41.97

Balas Jasa dari Masing-masing Faktor Produksi

14. Marjin (10-8) (Rp) 287.50 228.13 15. a. Imbalan Tenaga Kerja ((12a/14)x100) (%) 31.58 52.59 b. Sumbangan input lain ((9/14)x100) (%) 4.84 9.38 c. Keuntungan ((13a/14)x100) (%) 63.58 38.03

Berdasarkan perhitungan nilai tambah pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai faktor konversi dihitung berdasarkan pembagian antara nilai output yang dihasilkan dengan nilai input yang digunakan. Nilai faktor konversi yang diperoleh pada unit pengolahan tapioka kasar relatif sama, hal ini disebabkan karena teknologi yang digunakan oleh pengusaha juga sama. Nilai faktor konversi yang diperoleh sebesar 0.25%, artinya dengan mengolah ubi kayu sebanyak satu kg maka akan memperoleh hasil berupa tepung kasar sebanyak 0.25 kg sehingga tepung kasar yang dihasilkan unit pengolahan tapioka kasar sebanyak 283 500 kg pada unit pengolahan skala besar dan 96 075 kg pada unit pengolahan skala kecil. Jumlah tepung kasar yang diperoleh berasal dari perkalian antara jumlah ubi kayu yang diolah dalam satu tahun dengan faktor konversi pada masing-masing skala unit pengolahan penggilingan. Nilai faktor konversi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jumlah bahan baku yang diolah dengan skala unit pengolahan yang dijalankan.

(38)

kerja dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar adalah 312 hari, pengolahan satu kilogram ubi kayu menjadi tepung kasar pada unit pengolahan skala besar, sedangkan pada unit pengolahan skala kecil dibutuhkan waktu selama 0.003 hari atau empat menit 19 detik untuk melakukan pengolahan satu kilogram ubi kayu menjadi tepung kasar. Koefisien tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar lebih kecil karena adaya penghematan penggunaan tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar dibandingkan penggunaan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil. Penggunaan tenaga kerja pada indusutri tapioka kasar pada masing-masing skala produksi dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Proporsi penggunaan tenaga kerja unit pengolahan tepung tapioka berdasarkan skala produksi tahun 2013 Total Tenaga Kerja (HOK/tahun) 2 422.71 1 039.05 Total Produksi per Tahun (kg/tahun) 1 134 000.00 384 300.00 Efisiensi Tenaga Kerja (HOK/kg) 0.002 0.003

Perhitungan hari orang kerja (HOK) diperoleh dari perkalian antara jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk mengerjakan satu proses dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan kemudian dibagi dengan jumlah jam kerja dalam satu hari. Hasil perhitungan HOK tersebut merupakan jumlah HOK per hari. Jumlah HOK per tahun diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah HOK per hari dengan jumlah hari yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi dalam satu tahun seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hasil perhitungan nilai koefisien tenaga kerja menunjukan bahwa proses pengolahan ubi kayu pada unit pengolahan skala kecil belum tepat dalam penggunaan tenaga kerja karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengolah ubi kayu menjadi tepung kasar dibandingkan waktu yang dibutuhkan unit pengolahan skala kecil.

Gambar

Tabel 1  Produksi tanaman pangan di Jawa Barat tahun 2008 - 2012 (Ton)
Tabel 4  Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011
Gambar 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang
Gambar 2  Kerangka pemikiran operasional analisis nilai tambah pengolahaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis nilai tambah dari pengolahan ubi jalar segar menjadi tepung dapat dilihat secara menyeluruh dari mulai penggunaan bahan baku ubi jalar segar hingga menjadi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi proses pengolahan tepung mocaf dan tepung tapioka di daerah penelitian, untuk menganalisis pendapatan pelaku usaha

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan, efisiensi, nilai tambah dan perbedaan nilai tambah pada saat musim panen raya ubi kayu maupun paceklik

Faktor konversi ini dapat diartikan sebagai dari pengolahan 100 kg ubi kayu diperoleh 20 kg tapioka kasar (20%) dan 6 kg ampas kering (6%). Koefisien tenaga kerja adalah jumlah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan, efisiensi, nilai tambah dan perbedaan nilai tambah pada saat musim panen raya ubi kayu maupun paceklik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi bahan mentah keripik singkong, efisiensi dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi

Dari hasil matriks internal-eksternal yang diperoleh dari nilai total skor pembobotan pada usaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka adalah untuk

Limbah ubi kayu dari sisa pengolahan tepung tapioka di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati efektif menjadi bahan adsorben untuk penjernih air dengan lama waktu