DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI
TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI
SULAWESI TENGGARA
3
N
N
U
U
R
R
I
I
R
R
A
A
W
W
A
A
T
T
I
I
M
M
A
A
Y
Y
O
O
R
R
P
P
E
E
N
N
G
G
E
E
L
L
O
O
L
L
A
A
A
A
N
N
S
S
U
U
M
M
B
B
E
E
R
R
D
D
A
A
Y
Y
A
A
P
P
E
E
R
R
A
A
I
I
R
R
A
A
N
N
S
S
E
E
K
K
O
O
L
L
A
A
H
H
P
P
A
A
S
S
C
C
A
A
S
S
A
A
R
R
J
J
A
A
N
N
A
A
I
I
N
N
S
S
T
T
I
I
T
T
U
U
T
T
P
P
E
E
R
R
T
T
A
A
N
N
I
I
A
A
N
N
B
B
O
O
G
G
O
O
R
R
2
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutib dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Nur Irawati
Relationship between phytoplankton primary productivity and nutrient availability on different levels of clarity in waters off Kendari Bay, Southeast Sulawesi. By Nur Irawati, under supervision of ENAN M. ADIWILAGA and NIKEN T.M. PRATIWI.
The relationship between primary productivity of phytoplankton to the availability of nutrients in the waters of the Bay of Kendari was implemented on April-June 2009 at three sites. The purpose of this research is to examine the relationship between primary productivity of phytoplankton with the abundance and biomass of phytoplankton, and the relationship between primary productivity of phytoplankton with nutrient availability and light intensity at various levels of brightness in the waters of the Bay of Kendari. Based on the data description and laboratory analysis, net primary productivity values during the survey period varied from 2,54 to 11,13 mgC/m3/hour with ranges of average value of NPP from 5,10 to 7,30 mgC/m3/hour. Sampling station located at the middle of the bay had the highest NPP value followed by sampling station positioned at the mouth of the bay and the lowest was found at sampling station located near the river mouth of the upper part of the bay. Relationship between primary productivity and sunlight intensity depicted a strong correlation at the three sampling stations. Relationship of primary productivity to nutrient and light intensity showed that the relationship high on all three stations. The three stations showed similar patterns between the three research stations. At the station mouth of the bay, the three nutrients N (ammonia, nitrate, and nitrite) and light intensity are also factors that provide a real influence on the high and low NPP values while at the middle station and inside the bay, nutrient nitrate with ICM provides a real influence against high and low NPP values in the waters.
NUR IRAWATI. Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Di bawah bimbingan ENAN M. ADIWILAGA dan NIKEN T.M. PRATIWI.
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Teluk Kendari pada bulan April – Juni 2009 dengan menempatkan 3 stasiun penelitian. Tujuan penelitian adalah mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton, serta hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer selama penelitian pada perairan Teluk Kendari yaitu pada stasiun luar teluk berkisar 2,54-8,98 mgC/m3/jam, pada stasiun tengah teluk 2,77-11,13 mgC/m3/jam, dan 3,33-9,19 mgC/m3/jam pada stasiun dalam teluk. Hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya memperlihatkan keeratan hubungan yang tinggi pada ketiga stasiun penelitian. Ketiga stasiun penelitian menunjukkan pola yang hampir sama antara ketiga stasiun penelitian. Pada stasiun luar teluk, ketiga unsur hara N (amonia, nitrat, dan nitrit) dan intensitas cahaya menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP, sedang pada stasiun tengah dan dalam teluk, unsur hara nitrat bersama ICM memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di perairan.
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI
TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI
SULAWESI TENGGARA
3
N
N
U
U
R
R
I
I
R
R
A
A
W
W
A
A
T
T
I
I
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
M
M
A
A
Y
Y
O
O
R
R
P
P
E
E
N
N
G
G
E
E
L
L
O
O
L
L
A
A
A
A
N
N
S
S
U
U
M
M
B
B
E
E
R
R
D
D
A
A
Y
Y
A
A
P
P
E
E
R
R
A
A
I
I
R
R
A
A
N
N
S
S
E
E
K
K
O
O
L
L
A
A
H
H
P
P
A
A
S
S
C
C
A
A
S
S
A
A
R
R
J
J
A
A
N
N
A
A
I
I
N
N
S
S
T
T
I
I
T
T
U
U
T
T
P
P
E
E
R
R
T
T
A
A
N
N
I
I
A
A
N
N
B
B
O
O
G
G
O
O
R
R
2
P
Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara Nama : Nur Irawati
NRP : C251070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan penelitian pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Ketersediaan Unsur Hara Pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara”.
Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, atas segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., selaku penguji luar komisi, yang telah memberikan saran dan masukannya.
3. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan FPIK yang telah memberikan ijin tugas belajar serta bantuan moril kepada penulis.
4. Dirjen Dikti dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang telah diberikan.
5. Program Mitra Bahari-COREMAP II atas pemberian bantuan beasiswa penulisan tesis.
6. Suamiku tercinta Hatim Albasri, S.Pi., M.A. dan kedua buah hatiku tersayang Zafira Najwa Aurelia dan Zaky Khalfani El’Syarif atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, dukungan, pengorbanan, perhatian, dan pengertiannya selama masa pendidikan.
7. Ayahanda Drs. Gusarmin Sofyan, M.P. dan Ibunda Yamtini serta saudara-saudaraku yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat tiada henti kepada penulis.
atas tali persaudaraan yang diberikan selama kita bersama.
10.Mahasiswa LDC atas bantuan dan kerjasamanya selama di penelitian.
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis hargai, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Bogor, April 2011
Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1978 dari pasangan ayah Gusarmin Sofyan dan ibu Yamtini. Penulis merupakan putri ketiga dari 5 bersaudara.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxiii
DAFTAR GAMBAR ... xxv
DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii
1. PENDAHULUAN ...………... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Produktivitas Primer ... 5
2.1.1. Fotosintesis ... 5
2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton ... 7
2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga ... 8
2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer ... 9
2.2.1. Suhu ... 9
2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan ... 10
2.2.3. Salinitas ... 11
2.2.4. Intensitas Cahaya ... 12
2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si ... 13
2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas ... 17
2.4. Perairan Teluk Kendari ... 18
3. METODE PENELITIAN ... 21
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling ... 21
3.3. Pengukuran Parameter ... 22
3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton ……….. 22
3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) ……….. 25
3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton ... 26
3.3.4. Analisis Unsur Hara ... 27
3.3.5. Intensitas Cahaya ……….. 28
3.3.6. Penentuan Rasio N : P……… 29
3.4. Analisis Data ………. 29
3.4.1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) ……….. 29
3.4.2. Analisis Regresi ……… 29
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
4.1. Hasil ... 33
4.1.1. Parameter Penunjang ... 33
4.1.2. Intensitas Cahaya Matahari ……… 36
4.1.3. Unsur Hara ………. 41
4.1.6. Produktivitas Primer Fitoplankton ……… 54
4.2. Pembahasan ……… 57
4.2.1. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Perairan ………. 57
4.2.2. Faktor Biologi yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Fitoplankton ……….. 62
4.2.3. Produktivitas Primer Fitoplankton ... 65
6. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 75
5.1. Kesimpulan ……… 75
5.2. Saran ………... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 73
Halaman
1. Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari ... 21
2. Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian ... 22
3. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan ... 23
4. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran parameter fisika-kimia selama penelitian ………... 34
5. Rata-rata kedalaman dan zona eufotik di lokasi penelitian ……….. 39
6. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara selama penelitian ……….. 41
7. Rata-rata dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara pada kedalaman inkubasi selama penelitian ………... 43
8. Indeks biologi pada stasiun dan substasiun penelitian ………. 51
9. Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi ……… 51
10. Nilai produktivitas primer bersih (mgC/m3/jam)………... 55
11. Hubungan produktivitas primer bersih dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ………... 66
Halaman
1. Diagram pendekatan perumusan masalah... 4 2. Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas
cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn =
Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006) …………... 14 3. Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton.
Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai
dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006) ... 15 4. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Kendari ... 24 5. Grafik kekeruhan, kecerahan dan TSS pada masing-masing stasiun dan
substasiun pada setiap kedalaman intensitas cahaya ……… 36 6. Rata-rata nilai intensitas cahaya matahari di udara dan permukaan
perairan selama pengamatan ………... 37 7. Persentase intensitas cahaya matahari selama waktu inkubasi …………. 38 8. Pola distribusi cahaya pada kolom perairan pada setiap
stasiun/substasiun ………..
40
9. Rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan persentase
masing-masing unsur hara ………... 42 10. Rata-rata jenis genera fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun
penelitian ………... 46
11. Jumlah rata-rata genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada
setiap stasiun dan substasiun penelitian ……… 47 12. Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun
penelitian ………... 48 13. Rata-rata kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi
pada setiap stasiun dan substasiun penelitian ……… 49 14. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun ... 52 15. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun pada
16. Hubungan klorofil-a dan kelimpahan plankton pada masing-masing
stasiun dan substasiun ………... 54 17. Sebaran NPP pada masing-masing stasiun di setiap
kedalaman inkubasi……… 56
18. Hubungan NPP dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ……….. 67 19. Hubungan NPP dengan intensitas cahaya ………. 69 20. Grafik hubungan produktivitas primer (NPP) dengan kedalaman
Halaman
1. Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan (udara) …………. 85
2. Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan perairan ………... 87
3. Parameter-parameter Penunjang dan Utama Penelitian ……….. 89
4. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan I ... 92
5. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan II ... 93
6. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan III ... 94
7. Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan IV ... 95
8. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Stasiun ... 96
9. Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Kedalaman Inkubasi pada Masing-masing Stasiun ... 97
10. Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi ………... 99
11. Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun B Selama Waktu Inkubasi ………... 100
1.1. Latar Belakang
Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002). Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu fitoplankton.
Sebagai salah satu organisme dalam ekosistem perairan fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi. Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan. Kondisi hidrodinamika suatu perairan juga akan mempengaruhi pola penyebaran atau distribusi fitoplankton baik secara horisontal maupun secara vertikal, sehingga akan berpengaruh pada kelimpahan dan struktur populasi fitoplanktonnya yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai produktivitas primernya.
organisme yang hidup di dalamnya, antara lain ikan, organisme makrofita dan mikrofita, organisme dasar (bentos), hutan mangrove, maupun padang lamun. Berbagai kegiatan baik jasa kelautan seperti pelabuhan untuk pelayaran dan perikanan, maupun kegiatan-kegiatan lain di sekitar pantai seperti permukiman, perindustrian, pertambakan, dan sebagainya merupakan bagian dari faktor pendukung kehidupan manusia.
Kegiatan penduduk yang meningkat di sekitar teluk umumnya akan memberikan dampak pada kualitas maupun produktivitas perairan di teluk karena limbah dari semua kegiatan tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung, akan masuk ke perairan teluk. Peningkatan unsur hara yang berasal dari aktivitas manusia dapat mengakibatkan peningkatan produktivitas primer perairan serta akan mempengaruhi kelimpahan dan struktur komunitas di perairan Teluk Kendari. Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut.
Melihat fenomena-fenomena tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari.
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang timbul di perairan Teluk Kendari berdasarkan kondisi kualitas perairan yang mengalami penurunan adalah tingkat kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh beban masukan baik yang berasal dari hasil aktivitas manusia (unsur hara dan polutan) maupun partikel tersuspensi dari berbagai sistem aliran sungai (sedimen) serta plankton. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel tersuspensi dan plankton akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan perairan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan. Sehingga dengan adanya kekeruhan yang tinggi akan akan menurunkan nilai produktivitas primer fitoplankton pada perairan.
Selain itu beban masukan juga mempengaruhi ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Kendari. Ketersediaan unsur hara tersebut mengalami peningkatan akibat masukan materi yang berasal dari hasil aktivitas manusia, sehingga diduga keberadaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor pembatas di perairan. Peningkatan unsur hara ini dapat mengakibatkan peningkatan terhadap produktivitas primer perairan. Selain itu terjadinya peningkatan terhadap unsur hara akan mempengaruhi kelimpahan dan stuktur komunitas fitoplankton di perairan Teluk Kendari. Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut.
Gambar 1. Diagram perumusan masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton.
2. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari.
2.1. Produktivitas primer
2.1.1. Fotosintesis
Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa
organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada
umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun
sejumlah kecil produktivitas dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik
(Nybakken 1992). Odum (1996) menambahkan produktivitas primer di suatu
sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas
fotosintesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan
hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan.
Sejalan dengan Nontji (2006) produktivitas primer dalam artian umum adalah laju
produksi bahan organik (dinyatakan dalam C= karbon) melalui reaksi fotosintesis
per satuan volume atau luas suatu perairan tertentu, yang dapat dinyatakan dengan
satuan seperti mg C/m3/hari atau g C/m2/tahun. Besarnya produksi itu sendiri
dikenal sebagai produksi primer, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti
gC/m3. Tetapi dalam prakteknya, kedua istilah ini sering digunakan dengan saling
tukar.
Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung
pigmen klorofil, dan dengan adanya cahaya matahari. Cahaya matahari
merupakan sumber dari segala energi yang menggerakan seluruh fungsi ekosistem
di bumi. Di laut, tumbuhan berklorofil dapat berupa rumput laut (seaweed),
lamun (seagrass), fitoplankton atau mikroflora bentik (benthic microflora).
Rumput laut, lamun dan mikroflora bentik, hanya terdapat di perairan tertentu
saja, yakni pada pesisir yang dangkal. Sebaliknya, fitoplankton terdapat diseluruh
laut, dari permukaan sampai dengan kedalaman yang dapat ditembus cahaya
matahari, kira-kira sampai kedalaman sekitar 100 meter. Oleh sebab itu,
kontribusi fitoplankton dalam produktivitas primer global adalah yang terbesar.
Menurut Steemann-Nielsen (1975) diacu dalam Nontji (2006) kurang lebih 95%
produktivitas primer dilaut disumbangkan oleh fitoplankton. Sejalan dengan
primer dilakukan fitoplankton, dimana bantuan cahaya matahari melalui proses
fotosintesis yang hasilnya disebut dengan produksi primer.
Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis
dari organisme autotrof yang mampu mentransformasikan karbondioksida
menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu pendugaan
produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang
terutama dilakukan oleh alga. Menurut Sumich (1994) aliran energi dalam
ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses
fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang
diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih
spesifik disebut produksi primer.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi
tanaman termasuk fitoplankton. Reaksi fotosintesis secara sederhana dapat
diringkas dalam persamaan umum sebagai berikut (Wetzel 1983) :
2 6 12 6 2
2 12 6
6CO + H O→C H O + O
dari reaksi di atas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa
organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya
beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat
diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini dalam
prakteknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Nybakken
1992).
Pada umumnya profil vertikal penyebaran produktivitas primer
mempunyai kurva yang menunjukkan adanya suatu nilai maksimum pada
kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam
bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan,
karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan
kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Selanjutnya profil
penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh
kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila
kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar,
Selama 35 tahun terakhir, pengukuran produktivitas primer di estuari
berkisar pada 6,8 – 530 gC/m2/tahun (Kennish, 1990). Nilai produktivitas yang
lebih kecil dari kisaran ini diperoleh dari estuari yang keruh dan sebaliknya.
Boyton dalam Kennish (1990) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas
fitoplankton dari 45 estuari yang diteliti adalah 190 gC/m2/tahun, yang melebihi
rata-rata produktivitas perairan laut yaitu 100 gC/m2/tahun, namun nilai tersebut
kurang dari produktivitas daerah upwelling yang bernilai 300 gC/m2/tahun.
Besarnya produktivitas primer juga dapat menentukan tingkat kesuburan perairan.
Menurut Mason dalam Novotny dan Olem (1994) perairan yang memiliki
produktivitas primer antara 7-25 gC/m2/hari tergolong oligotrofik, produktivitas
primer antara 75-250 gC/m2/hari tergolong mesotrofik dan produktivitas primer
antara 350-700 gC/m2/hari tergolong eutrofik.
2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton
Struktur komunitas merupakan susunan individu dari beberapa jenis atau
spesies yang terorganisir membentuk komunitas, yang dapat dipelajari dengan
mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organisasi komunitas yang
bersangkutan seperti indeks diversitas jenis, zona (stratifikasi) dan kelimpahan
(Brower et al. 1990; Odum, 1996).
Struktur komunitas fitoplankton ditentukan oleh keragaman jenis
fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas
cahaya dan nutrien. Fitoplankton disusun oleh berbagai jenis yang berbeda, baik
secara taksonomik maupun morfometrik. Secara taksonomi fitoplankton terdiri
dari 10 filum alga baik yang prokariotik (Cyanophyceae dan Chlorophyceae)
maupun eukariotik (Bacillariophyceae dan Chrysophyceae) (Boney 1975; Moss
1993). Parson et al. (1984) menyatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton
yang terdapat di laut, yaitu Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga
merah), Bacillariophyceae (Diatom), Cryptophyceae (Cryptomonads),
Dinophyceae (Dinoflagellata), Crysophyceae (Crysomonads, Silicoflagellata),
Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads),
Raphidiophyceae (Choromonadea), Xanthophyceae (alga kuning hijau),
Eustigmatophyceae, Euglenophyceae (Euglenoids), Prasinophyceae
Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang
memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan
tetapi kelompok fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem
laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993).
Jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah
Diatom dan Dinoflagellata (Nybakken 1992). Sejalan dengan hal tersebut Kilham
dan Hecky (1988) menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi sejumlah
jenis Chrysophyta yaitu Diatom, Cocolithophore, dan Silicoflagelata, serta
Pyrrhophyta (Dinoflagellata). Selain itu pula terdapat beberapa kelompok lain
dari fitoplankton yang kadang-kadang melimpah , tetapi mereka diwakili oleh
jenis yang sangat sedikit. Jenis tersebut meliputi Cyanophyta (cyanobacteria,
seperti contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus
atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria (Trichodesmium). Dari hasil
penelitian Asriyana (2004) mengemukakan bahwa di perairan Teluk Kendari kelas
yang mendominasi dari fitoplankton yaitu kelas Bacillariophyceae dan
Dinophyceae, sejalan dengan Alianto (2006) mendapatkan bahwa jenis
fitoplankton yang mendominasi di perairan Teluk Banten adalah
Bacillariophyceae.
Pada suatu perairan, dominasi suatu jenis fitoplankton dapat diganti oleh
jenis yang lain, disebabkan berubahnya kondisi fisika-kimia perairan (Goldman
dan Horne 1983; Wetzel 1983). Kondisi lingkungan yang merupakan faktor
penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, cahaya matahari, pH, kekeruhan,
konsentrasi nutrien dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1992). Laju
pertumbuhan fitoplankton di perairan estuari maupun perairan pantai
menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika serta kimia
perairan. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa flushing (Ferreira et
al. 2005), salinitas (Ferreira et al. 2005; Caroco et al. 1987), cahaya, unsur hara
(Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky dan Kilham 1988; Howarth 1988)
maupun pemangsaan (Ferreira et al. 2005; Levinton 1982).
2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga
Menurut Parson et al. (1984); Geider dan Osborne (1992), biomassa dapat
materi tumbuhan per unit volume (gm-3) atau per unit area (gm-2). Biomassa
biasanya diukur sebagai berat basah, berat kering, berat pengabuan atau karbon
organik. Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai
produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang
mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam
mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965
diacu dalam Alianto 2006). Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada
fitoplankton (Harbone 1987), sehingga sering digunakan untuk mengukur
biomassa fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006).
Pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh proses fotosintesis.
Grazing, ekspor dan ekskresi merupakan parameter lainnya yang mempengaruhi
biomassa fitoplankton pada perairan (Geider dan Osborne 1992; Cebrian dan
Valiela 2002). Hal ini dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan sebagai
berikut :
Hasil = Fotosintesis bersih – Ekskresi – Pemangsaan – Ekspor
Biomassa fitoplankton biasanya diukur dengan cara mengukur jumlah
klorofil-a di perairan yang merupakan pigmen fotosintesis sehingga dapat
digunakan sebagai parameter untuk mengukur produksi fitoplankton. Rata-rata
kandungan klorofil-a adalah 1,5% dari total bahan organik pada alga. Oleh karena
itu, jika kandungan klorofil-a diketahui maka biomassa fitoplankton di perairan
yang bersangkutan dapat diduga dengan mengalikannya dengan faktor 67 (Soil &
Water Conservation Society of Metro Halifax 2000 diacu dalam Kartamihardja
dan Adriani 2003).
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada
konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan
berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya
kedalaman (Millero dan Sohn 1991).
2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer
2.2.1. Suhu
Suhu secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap
berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis.
Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax),
sedangkan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi
kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal
fitoplankton.
Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu.
Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum.
Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara
25-40oC. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk
kemunitas fitoplankton (Harper 1992).
Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer
fitoplankton di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lainnya seperti
cahaya dan nutrien. Valiela (1995) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan
produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor
lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah
dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan
karbon yang besar. Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton
menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila
sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju
penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan
terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat
sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat
pada suhu yang lebih tinggi.
2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan
Kedalaman secchi dapat digunakan sebagai estimator penetrasi cahaya
pada lokasi perairan yang mempunyai kedalaman secchi rendah (Cervetto et al.
2002). Ketersediaan cahaya diperhatikan sebagai bagian yang penting pada
lingkungan yang kekeruhannya tinggi. Adanya pasang surut menyebabkan
tersuspensinya kembali (resuspensi) sedimen sehingga dapat meningkatkan
kekeruhan dan berkurangnya kedalam zona eufotik pada daerah pesisir yang
Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu
perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan
diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh
bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut (APHA 2005). Dengan
adanya kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan
selanjutnya akan menurunkan produktivitas primer fitoplankton pada perairan.
Wofsy (1983) dalam Cloern (1987) menyatakan cahaya dapat menjadi faktor
pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50
mg/l. Menurut Lloyd (1985) diacu dalam Effendie (2003), peningkatan nilai
turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi
13%-50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau
dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan
3%-13%.
2.2.3. Salinitas
Salinitas yang bervariasi adalah ciri paling khas dari daerah estuari.
Salinitas berubah setiap hari mengikuti pasang surut dan berubah secara drastic
mengikuti musim. Bagian estuary yang paling dekat ke sungai memiliki salinitas
yang paling rendah, namun pada musim panas, ketika aliran air dari sungai lambat
maka banyak air laut yang masuk ke bagian ini (Goldman dan Horne, 1983).
Sebagaimana, suhu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi
fitoplankton melalui pengaruh terhadap densitas air dan stabilitas kolom air
(Kennish, 1990). Salinitas secara langsung mempengaruhi laju pembelahan sel
fitoplankton, juga keberadaan, distribusi dan produktivitas fitoplankton. Salinitas
dapat mengubah karakter fotosintesis melalui perubahan sistem karbon dioksida
atau perubahan tekanan osmotic (Nielsen, 1975 diacu dalam Kennish, 1990). Oleh
karena itu fitoplankton hidup di perairan estuary yang salinitasnya sangat
bervariasi, organisme ini umumnya akan mengalami fluktuasi tekanan osmotic
yang sangat tinggi. Seiring perubahan osmotic dan komposisi ion dalam sel,
proses-proses selular (seperti sintesis klorofil dan laju fotosintesis) dapat juga
2.2.4. Intensitas Cahaya
Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di
perairan cahaya memiliki dua fungsi utama yaitu pertama memanasi air sehingga
terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya percampuran massa dan kimia air, dan yang kedua cahaya merupakan
sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan air. Apabila penetrasi
cahaya dalam perairan semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya
daerah berlangsungnya fotosintesis, sehingga kandungan oksigen terlarut masih
relatif tinggi pada lapisan air yang lebih dalam (Jeffries dan Mills 1996).
Proses fotosintesis di dalam perairan berlangsung jika ada cahaya sampai
pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya
matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk
aktifitas proses fotosintesis. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada
tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light)
yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400-720 nm yang diabsorpsi
dan digunakan untuk melakukan aktifitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993).
Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan
sangat nyata, dimana peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding
dengan peningkatan produktivitas primer. Semakin meningkatnya intensitas
cahaya akan mengakibatkan proses fotosintensis juga semakin meningkat sampai
mencapai puncak dimana cahaya dalam kondisi jenis (Riley dan Chester 1971;
Parson et al. 1984).
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai
ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti
bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas
dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman
penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi
fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara
lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air,
pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim (Nybakken
1992). Hasil fotosintesis yang relatif besar dihasilkan dari lapisan permukaan
dari cahaya yang berada pada permukaan perairan yang disebut zona eufotik
(Parson et al. 1984). Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan
bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya
saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya merupakan pembatas bagi fotosintesis
(cahaya inhibisi). Semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin
berkurang dan merupakan penghambat sampai pada suatu kedalaman dimana
fotosintesis sama dengan respirasi (Neale 1987). Pada kedalaman perairan
dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman
kompensasi yang intensitas cahayanya tinggal 1% dari intensitas di permukaan
perairan. Hubungan antara intensitas cahaya dan laju fotosintesis atau
produktivitas fitoplankton di laut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2).
2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si
Istilah umum yang digunakan secara luas untuk bahan organik adalah
senyawa-senyawa yang disintesis secara biologi yang menghasilkan C, H,
biasanya O, sedikit Nitrogen (N) dan fosfor (P), dan trace elemen lain yang
penting untuk memelihara kehidupan tumbuhan. Protein, karbohidrat dan lemak
adalah tipe-tipe senyawa organik yang banyak di dalam sistem kehidupan.
Masing-masing mengandung karbon, hidrogen dan oksigen dalam rasio yang
bervariasi. Dapat ditambahkan, bahwa lemak sering meliputi P, sedangkan
protein mengandung N dan P (Basmi 1995).
Suplai unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan,
khususnya Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Silikat (Si) sering dilihat sebagai faktor
pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan
komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dan Pomeroy (1991) menyatakan bahwa
dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan
sebagai faktor pembatas. Penggunaan nutrien sebagai faktor pembatas dapat
dibedakan sebagai :
1. Nutrien sebagai faktor pembatas pertumbuhan populasi yang dominan.
Perubahan atau pertukaran populasi yang dominan terjadi di bawah batas
2. Nutrien sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi primer
bersih. Perubahan populasi melebih batas populasi dominan yang ada,
ditentukan oleh perubahan spesies yang dominan.
3. Nutrien sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih, populasi primer
kotor melebihi total respirasi ekosistem. Perubahan populasi ini berdampak
[image:31.595.65.488.28.753.2]pada meningkatknya kandungan organik bersih atau hasil dari ekosistem.
Gambar 2. Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn = Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006)
• Produktivitas mempunyai hubungan yang linear dengan cahaya hanya pada intensitas cahaya yang rendah;
• Pada intensitas tertentu (Iopt), produktivitas akan mencapai maksimum (Pmax);
• Intensitas cahaya yang terlampau kuat akan menyebabkan produktivitas
menurun (photo inhibition);
• Titik kompensasi adalah intensitas dimana produktivitas adalah sama dengan laju respirasi (P = R). Berdasarkan hal-hal di atas maka dalam sebaran
Gambar 3. Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton. Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006)
• Produktivitas di permukaan biasanya kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlampau kuat akan menghambat produktivitas;
• Semakin dalam, produktivitas semakin meningkat, hingga mencapai
maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan;
• Di bawah Pmax produktivitas akan berkurang secara proporsional terhadap
intensitas cahaya;
• Produktivitas akan bersifat positif jika nilainya lebih besar dari respirasi (P>R)
• Kedalaman dimana produktivitas dan respirasi seimbang disebut kedalaman
kompensasi, dan intensitas cahaya pada kedalaman ini disebut intensitas
kompensasi
• Zona dari permukaan hingga kedalaman kompensasi disebut zona eufotik
• Di bawah zona eufotik intensitas cahaya sudah tak dapat menghasilkan
produksi yang positif.
Unsur-unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor
pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari
ketiga nutrien unsur utama tersebut yakni N, P dan Si, di perairan air tawar fosfat
unsur yang lain, sedangkan di perairan laut ketiga unsur tersebut bersama-sama
bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan terutama nitrogen. Caroco et al.
(1987) berdasarkan hasil penelitiannya tentang pengaruh pengkayaan N dan P di
perairan estuari hingga perairan pantai (perairan laut) dengan salinitas 32o/oo
menyatakan bahwa fitoplankton pada perairan dengan salinitas 0 – 6,5 o/oo
merespon terhadap penambahan konsentrasi P dan biomassanya meningkat hingga
2 – 6 kali, sedangkan penambahan nitrogen merangsang pertumbuhan
fitoplankton di perairan bersalinitas yang lebih tinggi (31 o/oo). Smith (1984)
mendapatkan bahwa fosfat dan silikat secara potensial merupakan faktor pembatas
bagi pertumbuhan fitoplankton pada musim dingin sedangkan nitrat bersifat
sebagai faktor pembatas pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi. Pada
perairan dengan tingkat salinitas sedang, pertumbuhan fitoplankton tidak
merespon terhadap penambahan N atau P. Peningkatan biomassa secara drastis
terjadi bila penambahan N dan P dilakukan secara bersamaan.
Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan
nutrien di dalam badan perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis
nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung pada klas atau jenis fitoplankton itu
sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Dengan
demikian nitrogen secara signifikan berpengaruh terhadap struktur komunitas
fitoplankton (Piehler et al. 2004). Namun demikian laju pertumbuhan
fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut
Pomeroy (1999), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan
meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang
saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi
pada konsentrasi nutrien.
Nitrogen dibutuhkan untuk mensintesa protein. Menurut Parson et al.
(1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen
dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia dan beberapa
senyawa nitrogen organik. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton
dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak
menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di
penggunaan N-NO3 membutuhkan penambahan energi seperti adanya enzim nitrat
reduktase.
Pada umumnya konsentrasi nitrogen di perairan laut berkisar 0,01-50 μg/l
untuk nitrat, 0,01-5 μg/l untuk nitrit dan 0,1-5 μg/l untuk amonia serta 0,2-2 μg/l
untuk asam amino (Clark et al. 1972; Riley dan Segar 1970 dalam Parson et al.
1984). Sedang untuk pertumbuhan optimal fitoplankton menurut Mackenthum
(1969) dalam Tambaru (2008) memerlukan kandungan nitrat berkisar 0,9-3,5
mg/l. Secara lebih khusus Ketchum (1939) dalam Parson et al. (1984)
menjelaskan bahwa kebutuhan minimum nitrat yang dapat diserap oleh diatom
berkisar 0,001-0,007 mg/l.
Dalam bentuk fosfor, fitoplankton menggunakan fosfat (PO4) untuk
pertumbuhannya (Goldman dan Horne 1983). Fosfat mempengaruhi penyebaran
fitoplankton khususnya diatom (Vollenweider 1968 diacu dalam Tambaru 2008).
Fosfat menjadi faktor pembatas baik secara spasial maupun temporal.
Konsentrasi fosfor di perairan umum berkisar 0,001-0,005 mg/l (Boyd 1982 diacu
dalam Effendie 2003). Kandungan fosfat yang optimum untuk pertumbuhan
fitoplankton berkisar 0,09-1,80 mg/l (Mackenthum 1969 diacu dalam Tambaru
2008). Pada perairan yang memiliki konsentrasi fosfat yang rendah (0,00-0,02
mg/l) akan didominasi oleh diatom, pada perairan dengan konsentrasi fosfat
sedang (0,02-0,05 mg/l) akan dijumpai jenis Chlorophyceae yang berlimpah dan
perairan yang memiliki konsentrasi fosfat tinggi (>0,10 mg/l) maka jenis
Cyanophyceae menjadi dominan (Prowse 1946 dalam Tambaru 2008).
2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas
Pentingnya dalam menentukan atom N:Si:P di perairan estuari adalah
untuk keperluan dalam menentukan mana yang menjadi faktor pembatas dalam
produktivitas primer dan apa yang akan menjadi produktivitas dalam mendukung
perairan estuari. Nutrien terlarut utama di perairan adalah inorganik nitrogen
terlarut (DIN), fosfat (DIP) dan silikat, ketiga nutrien tersebut merupakan
komponen utama dalam membantu perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton
(Montes et. Al 2002). Menurut Howarth et al. (1988) diacu dalam Montes et.
Al (2002) terdapat korelasi antara nitrogen dengan produktivitas primer, hal ini
konsentrasi yang besar. Perbandingan nilai N:P digunakan sebagai indikator
dalam menentukan nilai N dan P sebagai faktor pembatas di perairan.
Perbandingan tersebut didasarkan atas nilai molar N dan P yaitu 16:1 (Redfield,
1958 diacu dalam Sin et al.1999). secara menyeluruh perbandingan antara N:Si:P
adalah 16:15:1 (Redfield 1958 diacu dalam Sin et al. 1999). Nilai perbandingan
N:P menunjukkan nilai fosfat sebagai faktor pembatas apabila perbandingan
molar N:P > 16 dan nilai nitrogen menjadi pembatas bilai N:P < 16 (Redfield
1958 diacu dalam Lehmann, 2000). Sedangkan nilai Si/N > 1 menunjukkan
silikat bukan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan diatom (Montes et. Al
2002).
2.4. Perairan Teluk Kendari
Teluk Kendari merupakan wilayah pesisir yang dikategorikan perairan
tertutup (closed area) yang dikelilingi oleh perbukitan terjal di bagian utara dan
wilayah dataran di bagian barat dan selatan dan di bagian timur terdapat Pulau
Bungkutoko yang berhadapan dengan Laut Banda. Perairan Teluk Kendari
diperkirakan memiliki luas ± 10,84 km2 dan memiliki panjang garis pantai ±
35,85 km, berbentuk pantai melingkar dan melebar ke arah daratan yang ada di
bagian barat. Mulut teluk menyempit dan menghadap perairan Laut Banda. Pada
bagian depan mulut teluk terdapat pulau kecil Bungkutoko, dengan demikian
bentuk perairan Teluk Kendari menjadi relatif tertutup.
Sepanjang wilayah teluk mempunyai tipe pasang surut semidiurnal,
dengan dua kali pasang dan dua kali surut setiap hari. Kisaran amplitudo untuk
wilayah teluk berkisar antara 40-70 cm. Pasang naik di pantai Teluk Kendari
dapat mendesak air laut masuk ke wilayah sungai dan daerah-daerah konservasi
rawa serta kawasan penduduk di sekitar tepi Teluk Kendari.
Perairan Teluk Kendari termasuk perairan yang relatif tenang dilihat dari
kondisi oseanografinya, oleh sebab itu abrasi pantai tidak terlalu nyata menjadi
masalah pada perairan teluk. Sebaliknya masalah sedimentasi merupakan
masalah yang serius pada perairan teluk. Indikasi sedimentasi ini dapat dilihat dari
perubahan garis pantai, dimana pada tahun 1987 luas Teluk Kendari yang dihitung
dari panjang garis pantai mencapai 1.186,166 ha, dan mengalami penurunan
tahun 1987 sampai tahun 2000 telah terjadi sedimentasi seluas 101.495 ha.
Sehingga diperkirakan sedimetasi terjadi setiap tahunnya ± 78.884,23 m2 atau ± 8
ha/tahun. Selain itu dari hasil pengamatan di lapang menunjukkan kondisi
sedimentasi yang nampak terlihat jelas berupa warna perairan yang tampak
kecoklatan terutama pada pesisir bagian barat perairan teluk di mana Sungai
Wanggu, Sungai Kambu, dan Sungai Anggoeya bermuara.
Potensi sumber pencemaran air di kawasan Teluk Kendari dapat berasal
dari berbagai lokasi seperti industri pengolahan ikan di Kambu dan Mata, dan
juga akibat kegiatan pertanian, permukiman dan lain-lain. Sebagian besar industri
berlokasi di tengah Kota Kendari dan sebagian berada di sekitar Teluk Kendari.
Kegiatan-kegiatan ini memiliki potensi mencemari lingkungan jika limbahnya
tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya. Walaupun pemerintah telah
menyediakan atau menentukan suatu kawasan industri, namun sampai saat ini
pendirian industri yang baru tidak sesuai seperti telah ditetapkan oleh pemerintah.
Limbah industri sebagian besar mengalir ke teluk dan sebagian mengalir ke arah
pantai timur Laut Banda. Limbah yang terbuang ke dalam air terdiri dari cairan
organik, pengelolaan pertanian, plastik, kaleng, pestisida, dan sampah alami
(debris) yang dihasilkan penduduk sekitar pantai Laut Banda dan Teluk Kendari.
Di daerah permukiman khususnya di sekitar tepi Teluk Kendari banyak ditemukan
sampah dan limbah rumah tangga yang berpotensi mencemari lingkungan.
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari bagian dalam yang
secara geografis terletak pada 3o57’50”-3o5’30” lintang selatan dan 122o
31’50”-122o36’30” bujur timur dengan luas ± 18,75 km2 dan panjang garis pantai ± 35,85
km (Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan yang
dimulai pada bulan April – Juni 2009 (musim peralihan-kemarau). Pengukuran
dilakukan sebanyak 4 kali dengan frekuensi setiap pengukuran selama 2 minggu
(Tabel 1).
Tabel 1. Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari
Pengamatan Waktu sampling Keterangan
1 25-27 April 2009 Musim hujan-kemarau (peralihan) 2 9-11 Mei 2009 Musim kemarau
3 23-25 Mei 2009 Musim kemarau 4 6-8 Juni 2009 Musim kemarau
3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling
Dalam menentukan lokasi dan titik sampling penelitian dilakukan kegiatan
yang dibagi atas 2 tahapan yaitu :
Tahapan Prapenelitian
Pada tahap prapenelitian dilakukan pengukuran pola sebaran kecerahan
perairan dengan menggunakan transek yang ditempatkan secara membujur dan
melintang di sepanjang perairan teluk, dengan jarak antara sampling baik
membujur maupun melintang ± 500 m. Pengukuran ini dilakukan sebagai dasar
untuk menentukan lokasi sampling penelitian (stasiun) secara horisontal.
Didasarkan pada pola sebaran kecerahan perairan serta dengan
mempertimbangkan pasang surut dan kedalaman perairan, maka penentuan lokasi
sampling secara horisontal dibagi menjadi 3 stasiun yaitu stasiun A pada bagian
luar dari teluk, stasiun B di tengah teluk, dan zona C pada bagian dalam teluk,
dimana pada setiap stasiun dibagi menjadi 2 titik sampling (substasiun) (Tabel 2,
Tahapan Penelitian
Titik pengukuran dan pengambilan sampel secara vertikal ditentukan
dengan mengukur tingkat kedalaman perairan pada tiap titik sampling
(substasiun) dan membaginya menjadi beberapa kedalaman dengan
mempertimbangkan intensitas cahaya matahari dan pola umum dari produktifitas
primer fitoplankton pada lapisan perairan. Pengukuran sampel secara vertikal ini
dimaksudkan untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya yang semakin
berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman pada setiap stasiun
dibagi atas empat berdasarkan intensitas cahaya matahari di kolom perairan yaitu
pada kedalaman dengan intensitas cahaya matahari 100%, 50%, 25%, dan 1% dari
intensitas cahaya permukaan perairan.
Tabel 2. Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian
Stasiun Substasiun Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) A A1 122o35’27.455” 3o58’25.5756”
A2 122o35’11.094” 3o58’41.8728” B B1 122o34’38.499” 3o58’25.5756” B2 122o34’05.966” 3o58’41.8578” C C1 122o33’33.389” 3o58’25.5036” C2 122o33’00.813” 3o58’58.1268”
3.3. Pengukuran Parameter
Parameter yang diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi, yang
dibagi menjadi parameter utama dan penunjang. Alat dan metode pengukuran
parameter kualitas perairan yang akan diukur disajikan pada Tabel 3.
3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol
terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan
kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air
setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada
pukul 10.00-14.00 WITA.
Pada masing-masing stasiun dan kedalaman digunakan 3 botol oksigen
berukuran 250 ml, dengan perincian 1 botol terang, 1 botol gelap, dan 1 botol
tembus cahaya. Pengambilan contoh air dilakukan pada setiap stasiun dan
kedalaman dengan menggunakan Van dorn water sampler, kemudian dimasukkan
ke dalam botol-botol inkubasi dan botol awal. Kemudian, botol awal diukur
[image:39.595.100.516.194.654.2]sebagai oksigen terlarut awal dan botol lainnya diinkubasi.
Tabel 3. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan
Parameter Satuan Alat/Metode Lokasi
Penunjang
• Suhu oC Thermometer, pemuaian In situ
• TSS mg/L Timbangan, gravimetri Laboratorium
• Kekeruhan NTU Turbidimeter, absorpsi cahaya
Laboratorium
• Salinitas o/oo Conductivity Temperatur Depth
In situ
• pH - pH meter In situ
• Kecepatan arus m/det Pelampung dan Stop watch In situ
Utama
• Kecerahan m Secchi disk, visual In situ
• Intensitas cahaya Lux Luxmeter, photocell In situ
• N-Nitrat mg/L Spektrofotometer, Brucine Laboratorium
• N-Nitrit mg/L Spektrofotometer, Sulfanilamide
Laboratorium
• N-Amonia mg/L Spektrofotometer, Phenate Laboratorium
• Ortofosfat mg/L Spektrofotometer, Amonium molybdate
Laboratorium
• Silikat mg/L Spektrofotometer, molybdosilicate
Laboratorium
• Kelimpahan sel/L Mikroskop elektronik binokuler, Sedgwick-Rafter
Laboratorium
• Produktivitas Primer
mgC/m3/jam Titrasi, Oksigen In situ
• Klorofil-a mg/m3 Spektrofometer, aseton 90% Laboratorium
Fotosintesis Bersih (mgC/m3/jam) = Fotosintesis Kotor (mgC/m3/jam) =
Perhitungan produktivitas primer fitoplankton dilakukan menurut Umaly
dan Cuvin (1988), yaitu
(
) (
)
( ) ( )
PQ t BG O BT O × × ×− 2 1000 0,375
2
(
) (
)
( ) ( )
PQ t BA O BT O × × ×− 2 1000 0,375
Keterangan :
O2BT = Oksigen terlarut botol terang (mg/l)
O2BG = Oksigen terlarut botol gelap (mg/l)
O2BA = Oksigen terlarut botol awal (mg/l)
1000 = Konversi liter menjadi m3
PQ = Photosintetic Quotient : 1,2 dengan asumsi hasil metabolisme dari
fitoplankton
t = Lama inkubasi (jam)
0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)
Photosintetic Quotient adalah perbandingan O2 terlarut yang dihasilkan dengan
CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut Parson et.al (1984),
nilai PQ berkisar 1,1 – 1,3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1,2
diperoleh dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi
oleh fitoplankton.
3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a)
Biomassa fitoplankton ditentukan dengan kandungan klorofil-a.
Pengambilan sampel air laut untuk analisis klorofil-a sebanyak 1 liter pada setiap
kedalaman inkubasi dan dimasukan dalam botol sampel yang ditutup dengan
plastik hitam, dan disimpan dalam kotak es yang bersuhu dingin, untuk kemudian
dianalisis di laboratorium. Penghitungan konsentrasi klorofil-a dengan
menggunakan persamaan menurut APHA (2005), yaitu
Klorofil-a, mg/m3 =
(
)
L V
V
a b
×
× −
2
1 665 664
7 , 26
Keterangan :
V1 = Volume yang diekstrak (l)
V2 = Volume sampel (m3)
L = panjang kuvet (cm)
664b = Absorben pada 664 nm-abs pada 750 nm, sebelum pengasaman
3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton
Sampel air laut diambil sebanyak 25 liter dengan menggunakan Van dorn
water sampler bervolume 2 liter pada tiap-tiap kedalaman inkubasi dan disaring
dengan menggunakan plankton net no. 25 dengan porositas antara 35-45 μ.
Sampel air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel yang
bervolume 100 ml kemudian diawetkan dengan larutan lugol pekat 1 ml/100 ml
sampel air laut, untuk kemudian diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton
dilakukan dengan menggunakan literatur dari Davis (1955), Prescott (1970),
Yamaji (1979) dan Tomas (1997).
Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan metode penyapuan (sensus)
dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) menggunakan formula dari
APHA (1998), yaitu
cg t
d V
V V n
N = × 1 ×
Keterangan :
N = Kelimpahan fitoplankton (sel/l)
n = Jumlah sel yang tercacah
Vd = Volume air contoh yang disaring (l)
Vt = Volume air contoh yang tersaring (ml)
Vcg = Volume Sedwick Rafter Cell (SRC) (ml)
Analisis komunitas fitoplankton dilakukan dengan menggunakan
indeks-indeks biologi yaitu indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan
indeks dominansi (D). Hasil identifikasi dan perhitungan fitoplankton digunakan
untuk menentukan indeks keaneragaman Shannon-Wienner, yaitu
∑
⎢⎣⎡ ⎥⎦⎤ ⎢⎣⎡ ⎥⎦⎤− =
N ni N
ni
H' ln
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = jumlah sel jenis ke-i
N = jumlah total sel
Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dapat dikategorikan
H’ < 2,3062 = keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2,3062<H’<6,9078 = keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang
H’ < 6,9078 = keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap
pengambilan sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E), yaitu
maks H
H E
' '
=
Keterangan :
E = indeks keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
H’maks = ln S
S = jumlah taksa
Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E, semakin
kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap
spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari
jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis
yang ada (Odum 1996).
Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi
digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu :
∑
⎢⎣⎡ ⎥⎦⎤=
2
N ni D
Indeks dominansi berkisar 0-1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur
komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim
mendominasi spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur
komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies
lainnya (Odum 1996).
3.3.4. Analisis Unsur Hara
Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel berkapasitas 250 ml
untuk keperluan analisis amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat dan silikat. Botol sampel
dimasukkan ke dalam kotak pendingin sebelum dianalisis. Sebelum dianalisis
lanjutan di laboratorium, terlebih dahulu dilakukan filtrasi terhadap air sampel
Selanjutnya analisis kandungan unsur-unsur hara tersebut dilakukan mengacu
pada APHA (2005).
3.3.5. Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan luxmeter
tipe Lutron LX-101 (Digital Luxmeter Takemura Elektric Work. Ltd).
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap 10 menit sekali yang dimulai pada
jam 06.00 – 17.30 WITA di wilayah daratan tempat pengambilan sampel. Prinsip
kerja alat ini adalah menangkap energi cahaya melalui sensor berupa photoelectric
cell dan merubahnya menjadi sinyal yang terbaca melalui lux selector. Untuk
memperoleh nilai intensitas cahaya yang berada pada lapisan permukaan perairan,
nilai intensitas cahaya yang diperoleh dari pengukuran di daratan dikurangi 10%
dengan asumsi intensitas cahaya mengalami refleksi oleh permukaan air laut (Kirk
1994; Damar 2003). Sedang untuk menilai distribusi intensitas cahaya matahari
pada setiap kedalaman kolom air ditentukan menurut Hukum Beer-Lambert (Cole
1988), yaitu
kz z I e I = 0 −
Keterangan :
Iz = Intensitas cahaya pada suatu kedalaman z
I0 = Intensitas cahaya pada permukaan perairan
e = Bilangan dasar logaritma (2,70)
k = Koefisien peredupan
z = Kedalaman
Koefisien peredupan pada kolom perairan dihitung dengan pembacaan
kedalaman keping secchi disk (Sd (m)) dengan menggunakan persamaan empiris
(
0,853)
/ 242 , 1 191 ,
0 + 2 =
= S r
k d (Tillman et al. 2000).
3.3.6. Penentuan Rasio N : P
Penentuan rasio N : P dalam perairan sering digunakan sebagai ukuran
untuk menentukan batas potensial pertumbuhan fitoplankton (Damar 2003).
Rasio ini dapat berubah jika suplai unsur hara N dan P yang memasuki perairan
bervariasi. Dalam tubuh fitoplankton, rasio molar N : P berkisar 16 : 1. Rasio
nitrit + amonia) dengan ortofosfat. Jika rasio ini lebih kecil dari 16 maka unsur
hara jenis nitrogen menjadi faktor pembatas pertumbuhan, sebaliknya jika rasio
lebih besar dari 16 maka unsur hara yang menjadi faktor pembatas adalah jenis
fosfor. Menurut Howarth (1988) molar rasio inorganik N (nitrat + nitrit +
ammonium) terhadap ortofosfat dapat memberikan gambaran yang sangat baik
dalam menentukan batas potensial dari nutrien sebagai faktor pembatas.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Analisis sidik ragam (ANOVA)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
distribusi terhadap parameter-parameter yang diukur baik antara stasiun dan
kedalaman. Jika hasil analisis sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang nyata,
maka dilanjutkan dengan uji t-Tukey untuk mengetahui perbedaan tersebut.
Sebelum dilakukan pengujian, semua parameter terlebih dahulu diuji dengan
distribusi normal berdasarkan Kolmogorov-Smirnov.
3.4.2. Analisis regresi a. Analisis regresi linier
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kelimpahan sel dan
biomassa fitoplankton (klorofil-a) terhadap produktivitas primer fitoplankton pada
setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana.
Persamaan umum regresi linier sederhana adalah sebagai berikut (Mattjik dan
Sumertajaya 2000) :
Y = α + βX
Keterangan :
Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas
X = Peubah bebas berupa kelimpahan sel dan biomassa fitoplankton (klorofil-a) α = Interseps
β = kemiringan
Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya
peranan dari peubah x terhadap Y. Nilai R2 berkisar antara 0-1. Apabila nilainya
lebih besar dari 0.9 atau mendekati 1 maka dapat diartikan bahwa x memiliki
b. Regresi kuadratik
Regresi non linier digunakan untuk mengetahui hubungan antara intensitas
cahaya dengan produktivitas primer pada setiap stasiun dilakukan analisis regresi
non linier dengan pola kuadratik dengan model persamaan sebagai berikut :
Y = β0 + β1X + β2X2
Keterangan :
Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas
X = Peubah bebas berupa intensitas cahaya β = koefisien regresi
c. Regresi linier berganda
Untuk analisis data hubungan keseluruhan unsur hara dan intensitas
cahaya perairan terhadap produktivitas primer fitoplankton pada setiap stasiun
dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda (Mattjik dan Sumertajaya
2000). Model hubungan fungsional tersebut disajikan sebagai hubungan unsur
hara dengan produktivitas primer fitoplankton.
YPP : f(amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat, silikat, intensitas cahaya)
i ki p i
i
pp X X X
Y =β0 +β1 1 +β2 2 +...+β +ε
Keterangan :
Ypp = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas
X1,X2,X3,...,Xp = Peubah bebas berupa amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat,silikat,
intensitas cahaya
b0 = Koefisien regresi
b1, b2,..., bp = Interseps
Nilai F dari uji Anova terhadap hasil perhitungan regresi berganda
tersebut digunakan untuk menguji kepastian dari persamaan regresi secara
keseluruhan, dengan hipotesis yang diajukan adalah :
Ho : variable independen (peubah bebas) tidak secara linier berhubungan
dengan variable dependen (peubah tidak bebas)
H1 : variable independen (peubah bebas) secara linier berhubungan dengan
Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel pada tingkat kepercayaan
95%, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sebaliknya apabila nilai F hitung lebih
kecil dari nilai F tabel maka Ho dit