• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus Porosus) Dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata Di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Bekasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus Porosus) Dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata Di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Bekasi."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

HULTRELDA WAYORI

DEPARTEMENKONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Bekasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Hultrelda Wayori

(4)

ABSTRAK

HULTRELDA WAYORI. Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Pemanfaatannya sebagai Jasa Wisata di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Bekasi. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan LIN NURIAH GINOGA.

Taman Buaya Indonesia Jaya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Bekasi, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengelolaan kesejahteraan satwa, menganalisis indikator keberhasilan penangkaran, mengkaji pemanfaatan buaya muara sebagai produk dan jasa wisata serta persepsi dan minat pengunjung mengenai pengelolaan buaya muara muara sebagai obyek wisata. Penilaian Pengelolaan kesejahteraan buaya muara di penangkaran TBIJ memiliki rataan nilai terbobot sebesar 63.1 sampai 71.2 sehingga termasuk dalam kategori cukup sampai baik. Indikator keberhasilan penangkaran di TBIJ dilihat dari aspek reproduksi satwa, terdiri dari persentasi daya tetas telur 33.67% (kategori sedang), angka kematian 88.46% (kategori tinggi), dan tingkat perkembangbiakan 44.67% (kategori sedang). Untuk aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran cukup berhasil karena adanya keikutsertaan masyarakat sekitar terhadap kegiatan penangkaran. Jasa wisata yang ditawarkan di Penangkaran TBIJ adalah pertunjukan atraksi buaya muara. Persepsi pengunjung terhadap pengelolaan buaya muara yaitu kurang sejahtera, sedangkan persepsi pengunjung terkait fasilitas dan pelayanan cukup memuaskan.

Kata kunci: buaya muara, keberhasilan, kesejahteraan satwa,penangkaran.

ABSTRACT

HULTRELDA WAYORI. Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus) Welfare Management and its utilization as Tourism Services in Taman Buaya Indonesia Jaya Captivity, Bekasi. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and LIN NURIAH GINOGA.

Taman Buaya Indonesia Jaya (TBIJ) is one of the crocodile captivity located in Bekasi, West Java. This research purposes are to study the animal welfare management, analyze the captivity success indicator, and to study the utilization of saltwater crocodile as a product and tourism services (visitor perception and preference). Scoring of saltwater crocodile welfare management in TBIJ captivity had resulted an average score between 63,1 to 71,2 and categorized as medium to good. Captivity success indicator in TBIJ was seen from animal reproduction aspect, consists of egg-hatching rate 33,67% (medium), mortality rate 88,46% (high), reproduction rate 44,67% (medium). Social economy aspect is categorized to good because the involvement of local people is quite high. Tourism services provided are crocodile show. The visitor perception of this saltwater crocodile is that those crocodile is less prosperous, but they are quite attracted, while the perception of facility and service is quite satisfying.

(5)

PENGELOLAAN KESEJAHTERAAN BUAYA MUARA (

Crocodylus porosus

)

DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI JASA WISATA DI PENANGKARAN

TAMAN BUAYA INDONESIA JAYA, BEKASI

HULTRELDA WAYORI

Skripsi

sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah serta rahmat Nya, sehingga penyusunan skripsi dengan

judul “Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata di Penangkaran Taman Buaya Indonesia

Jaya, Bekasi” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2014 bertempat di Taman Buaya Indonesia Jaya, Bekasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MSdan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan, nasehat serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS serta Ibu Eva Rachmawati, S. Hut, M.Si sebagai dosen penguji di ujian skripsi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ayahanda Yoel Wayori dan Ibunda Martha Abrawi, kakak Maikel Wayori dan adik Widelmina Watopa atas partisipasi, doa, kasih sayang, dan dukungannya. Tak lupa juga terimakasih penulis ucapkan kepada pengelola, yakni bapak Sudrajat Arifin, ibu Linda, pegawai TBIJ dan semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung. Keluarga Nephentes rafflesiana 47 terimakasih atas persahabatan, bantuan, dukungan, kerjasama, dan kebersamaannya selama ini.

Pada akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat dan kebaikan bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 3

Lokasi dan Waktu 3

Alat dan Bahan 3

Jenis Data 3

Metode Pengumpulan Data 4

Pengolahan dan Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara di Penangkaran TBIJ 8

Indikator Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara di Penangkaran TBIJ 17 Pemanfaatan Penangkaran Buaya Muara Sebagai Jasa Wisata 18

Karakteristik, Minat dan Persepsi Pengunjung Terhadap Wisata di Penangkaran TBIJ 20

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

(10)

DAFTAR TABEL

1 Kategori responden sebagai contoh pengunjung dalam penelitian 5

2 Bobot parameter kesejahteraan satwa 6

3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan buaya muara di Penangkaran Taman

Buaya Indonesia Jaya 7

4 Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran TBIJ 9

5 Cara penyajian dan pemberian pakan berdasarkan kelas umurbuaya 10 6 Jenis, ukuran, fungsi kandang buaya muara di penangkaran TBIJ 11 7 Gambaran kondisi pengelolaan buaya muara di TBIJ untuk aspek bebas

dari rasa sakit, luka, dan penyakit 14

8 Capaian implementasi kesejahteraan buaya muara di TBIJ 16

9 Persentasi indikator keberhasilan penangkaran buaya muara di TBIJ

tahun 2014 17

10 Produk yang dihasilkan dari bagian tubuh buaya muara yang pernah

dijual di Penangkaran TBIJ 19

11 Minat pengunjung yang datang di penangkaran TBIJ 22

12 Persepsi pengunjung terhadap pengelolaan buaya muara di TBIJ 23

DAFTAR GAMBAR

1 Pakan buaya muara (a) ayam, (b) ikan, (c) daging sapi, (d) kambing 10 2 Jenis kandang buaya muara (a) kandang pertunjukkan, (b) kandang

anakan 12

3 Kandang pembesaran 13

4 Kandang induk 13

5 Pagar pengaman 15

6 Buaya muara menyendiri dan tidak aktif bergerak 15

7 (a) Sari rendaman tangkur buaya; (b) tangkur buaya muara; (c) dompet;

(d) tas; (e) kulit buaya muara 19

8 Atraksi pawang buaya bercengkrama dengan buaya muara 20

9 Karakteristikpengunjung berdasarkan kelompok umur pengunjung di

Taman Buaya Indonesia Jaya 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penilaian kriteria capaian implementasi kesejahteraan satwa di TBIJ 28

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buaya muara merupakan salah satu jenis reptil di Indonesia yang termasuk hampir punah. Berdasarkan data IUCN (2008) populasinya di dunia terus menurun dan dimasukkan ke dalam satwa yang terancam punah, sedangkan berdasarkan CITES (2010), buaya muara termasuk dalam Appendix II CITES yang artinya secara internasional perdagangan buaya muara hanya dapat dibenarkan jika berasal dari hasil penangkaran. Menurut IUCN Red List of Threatened Speciesversion2010, diperkirakan populasi buaya muara yang hidup liar di alam sekitar 20.000 hingga 30.000 ekor. Keberadaan buaya muara (Crocodylus porosus) di alam terancam punah yang diakibatkan oleh adanya kerusakan habitat, berkurangnya habitat dan perburuan secara liar (Ariantiningsih 2008). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan agar kelestariannya dapat terus terjaga.

Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam nomor P.9/IV-SET/2011 pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa kesejahteraan satwa adalah keberlangsungan hidup satwa yang perlu diperhatikan oleh pengelola agar satwa hidup sehat, cukup pakan, dapat mengekspresikan perilaku secara normal, serta tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dalam lingkungan yang aman dan nyaman. Adapun standar minimum prinsip kesejahteraan satwa yang terdapat pada pasal 6 ayat 3 antara lain (1) Bebas dari rasa lapar dan haus, (2) Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, (3) Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, (4) Bebas dari rasa takut dan tertekan, (5) Bebas untuk berperilaku alami. Kelima standar tersebut merupakan kriteria yang menjadi indikator terhadap ketercukupan kesejahteraan hidup satwa di suatu lembaga konservasi.

Pemanfaatan buaya memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber ekonomi. Produk yang dihasilkan dari buaya dapat berupa kulit, daging, dan bagian lain seperti empedu, tangkur, lemak, kuku, dan gigi. Kulit buaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tas, ikat pinggang, dompet, sepatu dan sebagainya. Daging dapat digunakan sebagai sumber protein. Bagian organ lain seperti empedu, tangkur, dan lemaknya banyak digunakan sebagai obat tradisional, sedangkan kuku dan giginya dapat digunakan untuk asesoris.Harga kulit buaya berkisar antara US$ 500 sampai US$ 1.000 per ekor tergantung ukuran (Suara Media 2010). Nilai ekonomi tinggi inilah yang menyebabkan permintaan terhadap buaya muara terus meningkat setiap tahunnya dan menimbulkan rangsangan kepada masyarakat untuk mengeksploitasi buaya muara sebanyak mungkin dari alam.

(12)

penting penangkaran buaya adalah untuk menjaga kelestarian populasi buaya di alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi, antara lain menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan lapangan pekerjaan.

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (TBIJ) merupakan salah satu penangkaran yang terletak di Kecamatan Serang, Bekasi, Jawa Barat.TBIJ juga melakukan upaya konservasi terhadap buaya muara. Bentuk pemanfaatan buaya muara di TBIJ adalah sebagai jasa wisata dan juga sebagai satwa peraga yang dapat menjadi obyek wisata bagi pengunjung. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam (UU No. 9 Tahun 1990) merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam untuk dijadikan sebagai sasaran wisata. Selain itu, dalam PP No.8 Tahun 1999 pasal 27 dijelaskan bahwa peragaan jenis satwa liar dapat berupa koleksi hidup serta hasil dari padanya. Terkait dengan pemanfaatannya sebagai jasa wisata dan satwa peragaan, maka perlu adanya pengelolaan yang tepat untuk menjamin kesejahteraan satwa dalam hal ini buaya muara, sehingga berada pada keadaan yang mampu mendukung kehidupannya walaupun dikelola secara ex-situ.

Indikator keberhasilan penangkaran, yakni aspek reproduksi dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran juga sangat penting untuk menghasilkan keturunan jenis buaya yang ditangkarkan dan memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar penangkaran TBIJ. Pengembangan pemanfaatan satwa sebagai jasa wisata di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya selaras dengan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa serta persepsi pengunjung

mengenai pengelolaan satwa khususnya buaya muara, sehingga

pengembangannya sebagai satwa peraga menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut baik terkait dengan pengelolaan kesejahteraan satwa yang dilakukan oleh pengelola, indikator keberhasilan penangkaran, pemanfaatannya sebagai jasa wisata serta persepsi pengunjung yang dapat digunakan sebagai salah satu pertimbanganperlindungan dan pelestarian satwa dalam audit pengelolaan Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya kedepannya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pengelolaan buaya muara berdasarkan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa di Penangkaran TBIJ.

2. Menganalisis indikator keberhasilan penangkaran buaya muara di Penangkaran TBIJ.

3. Mengkaji pemanfaatan buaya muara sebagai jasa wisata, meliputi jenis atraksi wisata, karakteristik, minat, dan persepsi pengunjung di Penangkaran TBIJ.

Manfaat

(13)

prinsip-prinsip kesejahteraan satwa serta memperhatikan persepsi pengunjung di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (TBIJ), Desa Suka Ragam Kecamatan Serang, Bekasi, Jawa Barat. Penangkaran TBIJ didirikan pada tahun1993 dengan luas 1.5 hektar. Jenis buaya yang ditangkarkan di TBIJ antara lain buaya supit (Tomistoma schlegelii), buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae). Jumlah populasi buaya yang terdapat di penangkaran ini ± 500 ekor buaya, untuk buaya supit (Tomistoma schlegelii) berjumlah 60 ekor, buaya muara (Crocodylus porosus) 438 ekor dan buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae) 2 ekor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2014.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah kamera, termometer dry-wet, meteran. Bahan yang digunakan yaitu pH indikator, tallysheet, panduan wawancara, dan alat tulis menulis. Objek yang dijadikan penelitian adalah buaya muara (Crocodylus porosus).

Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pengelolaan buaya muara di TBIJ, indikator keberhasilan penangkaran dan minat serta persepsi pengunjung. Jenis data pengelolaan kesejahteraan buaya muara di TBIJ meliputi:

1. Aspek bebas dari rasa lapar dan haus: frekuensi pemberian pakan dan minum, waktu pemberian pakan dan minum, jenis pakan dan minum yang diberikan kepada satwa, kebersihan pakan dan minum, kontrol pakan dan minum, jumlah pakan, letak dan bentuk tempat penyimpanan pakan.

2. Aspek bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan: ketersediaan tempat berlindung atau beristirahat, bentuk tempat berlindung atau beristirahat, bentuk kandang, luas kandang, jenis material kandang, jumlah satwa/kandang, kondisi suhu dan kelembaban, jenis kandang untuk fungsi lain (misal: kandang karantina).

(14)

5. Aspek bebas dari rasa takut dan tertekan: pengaturan sex ratio, bulan-bulan kawin dan lahir, manajemen reproduksi, ketersediaan staf ahli, tanda-tanda perilaku satwa yang menunjukkan stress, penanganan satwa yang baru dipindahkan ke kandang baru.

Jenis data indikator keberhasilan penangkaran meliputi: 1. Aspek reproduksi satwa: persentasi daya tetas telur buaya muara, angka

kematian anakan buaya muara dan tingkat perkembangbiakan induk betina buaya muara.

2. Aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran: jumlah dan asal pekerja, persepsi masyarakat sekitar penangkaran TBIJ, jumlah warung di sekitar penangkaran TBIJ serta dampak keberadaan penangkaran TBIJ.

Jenis data pemanfataan penangkaran berupa produk dan jasa wisata meliputi:

1. Pemanfaatan penangkaran berupa produk: bagian tubuh yang dimanfaatkan.

2. Pemanfaatan penangkaran sebagai jasa wisata: atraksi wisata, karakteristik pengunjung, minat dan persepsi pengunjung terkait pengelolaan buaya muara di TBIJ sebagai obyek wisata.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data asal-usul buaya muara yang ditangkarkan, populasi buaya muara, sejarah kegiatan penangkaran TBIJ dan struktur organisasi penangkaran serta jumlah tenaga kerja (sumberdaya manusia).

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi (pengamatan), pengukuran, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi.

Metode pengamatan

Kegiatan pengamatan yang dilakukan mencakup 5 aspek kesejahteraan satwa (Lampiran 1).Pengamatan dilakukan dengan mengikuti secara langsung pengelolaan buaya muara di penangkaran meliputi: pemberian pakan, pembersihan kandang, pemberian obat, kegiatan lain yang bersinggungan langsung dengan kesejahteraan satwa.Waktu pengamatan dilaksanakan pada pagi sampai sore hari. Pagi dimulai pukul 08.00 WIB sampai sore pukul 16.00 WIB selama penelitian berlangsung.

Pengukuran

Kegiatan pengukuran yang dilakukan mencakup: pengukuran pH air, pengukuran suhu dan kelembaban, serta pengukuran kandang.

a. Pengukuran pH air dengan mencelupkan kertas lakmus (pH indikator) ke dalam kolam (sumber air) yang digunakan untuk pengairan ke kandang atau kolam buaya.

b. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dengan menggunakan termometer

(15)

yang dilakukan pada pagi hari pukul 08.00 WIB, siang hari pukul 13.00 WIB, dan sore hari pukul 16.00 WIB selama penelitian berlangsung.

c. Pengukuran kandang dengan mengukur panjang, tinggi, dan lebar kandang menggunakan meteran.

Wawancara

Kegiatan wawancara dilakukan dengan pendekatan purposive sampling. Responden yang diwawancarai yakni pengelola (pemilik penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, staf administrasi penangkaran, kepala bagian umum penangkaran, karyawan khususnya petugas (animal keeper) penangkaran, masyarakat sekitar lokasi penangkaran dan pengunjung.

a. Wawancara kepada pemilik penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya mengenai sejarah, tujuan dan manfaat didirikan penangkaran.

b. Wawancara kepada staf administrasi penangkaran berkaitan dengan surat-surat ijin yang dikeluarkan penangkaran dan laporan pengelolaan penangkaran. c. Wawancara kepada kepala bagian umum penangkaran mengenai seluruh aspek

pengelolaan penangkaran.

d. Wawancara kepada karyawan khususnya petugas penangkaran (animal keeper) mengenai 5 aspek pengelolaan kesejahteraan buaya di penangkaran, dan pengelolaan pemanfaatan hasil penangkaran sebagai produk dan jasa wisata. e. Wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penangkaran yang terkena

dampak positif (ekonomi, kenyamanan) maupun dampak negatif (bau, sampah, limbah) dari keberadaan penangkaran (Lampiran 4). Jumlah responden yang diwawancarai adalah 20 orang.

f. Wawancara pengunjung dilakukan melalui penyebaran kuesioner di Penangkaran TBIJ (Lampiran 3). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan Stratified Random Sampling, yaitu pengunjung dikelompokkan berdasarkan strata umur dengan jumlah yang sama. Kelompok umur diacu dalam Wibowo (1987) yang disajikan pada Tabel 1. Jumlah responden pengujung yang diambil pada tiap kelas umur masing-masing adalah 30 orang. Hal ini didasarkan pada jumlah responden yang dikehendaki tergantung pada kemampuan peneliti (Nasution 2007). Responden dari masing-masing kelas umur berjumlah 30 orang, selanjutnya akan dibedakan kembali sesuai jenis kelaminnya dan diambil sample masing-masing 15 orang. Proporsi untuk setiap kelompok umur secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori responden sebagai contoh pengunjung dalam penelitian

Kategori Responden Strata Umur Jumlah Responden (orang)

Remaja 13-19 tahun 30

Dewasa muda 20-24 tahun 30

Dewasa 25-55 tahun 30

Tua >55 tahun 30

(16)

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis pengelolaan kesejahteraan satwa

Metode yang digunakan dalam menganalisis pengelolaan data kesejahteraan satwa di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya yaitudengan memberikan nilai pada setiap variabel yang ditetapkan.Nilai untuk setiap variabel yaitu 1= buruk, 2= kurang, 3= cukup, 4= baik, 5= memuaskan. Nilai tersebut diberikan pada parameter yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan lima prinsip kesejahteraan satwa (Lampiran 1).Penilaian dilakukan oleh pengamat dan pengelola agar didapatkan hasil penilaian yang objektif. Total nilai dari setiap parameter dimasukkan ke dalam kolom skoring (Tabel 3) dan untuk mendapatkan nilai terbobot menggunakan rumus:

Nilai terbobot = bobot x skoring

Penentuan bobot komponen dilakukan berdasarkan tingkat

kepentingannya. Komponen bebas dari rasa lapar dan haus memiliki bobot yang paling tinggi karena pakan merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan hidup satwa. Menurut Thohari (1987) faktor makanan merupakan pemegang peran kunci dalam suatu usaha penangkaran.Aspek kesehatan merupakan faktor yang memiliki bobot tertinggikedua setelah aspek pakan dan minum, hal ini dikarenakan aspek penyakit sangat berpengaruh terhadap kehidupan satwa dan apabila tidak segera dilakukan penanganan secara cepat dan tepat maka dapat memicu timbulnya penyakit dan ancaman transmisi penyakit baik bagi satwa lain bahkan manusia. Pada aspek kenyamanan merupakan aspek dengan bobot yang setara dengan aspek kesehatan. Aspek kenyamanan berkaitan dengan respon satwa berupa stres atau tekanan sehingga berpengaruh pula terhadap kemampuannya untuk berperilaku alami di habitatnya. Berdasarkan prinsip tersebut maka penetapan besar bobot untuk kelima komponen kesejahteraan satwa seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa

No. Komponen Bobot Skoring Nilai

terbobot

1. Bebas dari lapar dan haus 30 1-5 30-150

2. Bebas dari ketidaknyamanan 20 1-5 20-100

3. Bebas dari rasa sakit, penyakit, dan luka

20 1-5 20-100

4. Bebas berperilaku alami 15 1-5 15-75

5. Bebas dari rasa takut dan tertekan 15 1-5 15-75

Rataan 100

Nilai kesejahteraan satwa menggunakan rumus:

(17)

Hutan dan Konservasi Alam nomor P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi.

Tabel 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan buaya muara di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya

No Klasifikasi penilaian Skor

1 Sangat baik 80,00 ─ 100

2 Baik 70,00 ─ 79, 99

3 Cukup 60, 00 ─ 69,99

4 Kurang < 60

Sumber: Peraturan Dirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011

Indikator keberhasilan penangkaran

Analisis untuk menentukan keberhasilan pengelolaan penangkaran, dilakukan dengan menggunakan kriteria utama, yakni (i) aspek reproduksi satwa dan (ii) aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dengan indikator keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penangkaran, seperti menjadi tenaga kerja, dan mendirikan warung makan di areal penangkaran maupun di sekitar penangkaran.

Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu:

a. Berhasil apabila penangkaran dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan.

b. Tidak berhasil apabila penangkaran belum dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan.

Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu:

a. Berhasil apabila penangkaran dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

b. Tidak berhasil apabila penangkaran tidak dapat atau belum memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

Data mengenai indikator keberhasilan penangkaran juga dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung faktor reproduksi satwa yang meliputi daya tetas telur buaya muara, angka kematian anakan buaya muara dan tingkat perkembangbiakan buaya muara dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran dan Tumbuhan Satwaliar.

Rumus yang digunakan untuk menghitung reproduksi satwa yaitu: a. Presentasi daya tetas telur

Keterangan:

DTT = daya tetas telur

(18)

b. Presentasi angka kematian

Keterangan:

MR = Mortalitas

M = ∑ anak yang mati Mt = ∑ total anak

c. Presentasi tingkat perkembangbiakan

Keterangan:

PR = Tingkat perkembangbiakan

I = ∑ induk yang bertelur It = ∑ total induk

Kriteria :

0% -30% = Rendah 31%-60% = Sedang

≥ 61% = Tinggi

Pemanfaatan penangkaran sebagai jasa wisata

Data wawancara kepada pengelola mengenai pengelolaan pemanfaatan hasil penangkaran sebagai produk dan jasa wisata akan dianalisis secara deskriptif.

Karakteristik, minat dan persepsi pengunjung

Data hasil wawancara karakteristik, minat dan persepsi pengunjung mengenai pengelolaan buaya muara di Penangkaran TBIJ dapat disajikan dalam bentuk presentasi dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara di Penangkaran TBIJ

Gambaran kondisi pengelolaan kesejahteraan Aspek bebas dari rasa lapar dan haus

(19)

Tabel 4 Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran TBIJ

2.590-4.550 777-1.365 400-1000 Kurang

Remaja umur 2-4 tahun**

10.689-16.438

3.206,7-4.931,4 2.000-4.000 Kurang

Induk >8 tahun***

> 9.400 > 28.200 > 4.000 Kurang

Sumber: *Gumilar (2007), **Elmir (2008), ***Web dan Manolis (1989).

Jumlah pakan yang diberikan kepada buaya muara di TBIJ disesuaikan dengan kelas umur buaya dan ketersediaan pakan dari sumber pakan. Pada saat ketersediaan pakan dari sumber pakan melimpah maka pakan yang diberikan tiap kandang juga banyak, pada saat ketersediaan pakan terbatas maka pakan yang diberikan tiap kandang diperkirakan merata.Semakin besar ukuran tubuhnya makin banyak pula kebutuhan makannya (Iskandar 2009).Cara penyajian dan pemberian pakan berdasarkan kelas umur buaya muara di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (Tabel 5).

Tabel 5 Cara penyajian dan pemberian pakan berdasarkan kelas umur buaya

Kelas umur Jenis pakan Waktu

pemberian

(20)

Jenis pakan di penangkaran ini terdiri dari dua macam yaitu mangsa hidup dan mangsa mati yang terdiri dari ikan, ayam, daging sapi dan daging kambing (Gambar 1). Untuk mangsa hidup, biasanya ayam, sedangkan yang lain diberikan dalam keadaan mati seperti daging sapi dan daging kambing.

(a)(b)

(c)(d)

Gambar 1 Pakan buaya muara (a) Ayam, (b) Ikan, (c) Daging sapi, (d) Kambing

Di penangkaran ini buaya muara anakan yang baru menetas sampai berumur 1-2 minggu tidak diberi makan karena di dalam tubuhnya masih mengandung persediaan makanan yakni kuning telur yang terdapat dalam tubuhnya, setelah berumur di atas 2 minggu barulah buaya anakan diberi makan (Gumilar 2007). Pengontrolan pakan dilakukan setiap pagi hari, apabila pakan yang diberikan tidak dimakan oleh buaya maka akan dipindahkan ke kandang buaya lainnya. Air yang digunakan untuk minum satwa merupakan air tanah yang dipompa dengan bantuan diesel kemudian disalurkan ke kolam tiap kandang. Kualitas air yang terdapat pada kolam setiap kandang memiliki pH 6,3 yang berarti kualitas air cukup baik bagi kehidupan buaya muara yang terdapat di penangkaran. Pada aspek ini yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan pakan yang masih kurang karena keterbatasan sumber dana dalam usaha penangkaran.

Aspek bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan

(21)

Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Frye (1991) bahwa suhu optimal untuk reptil di daerah tropis berkisar 29.5-37°C dan kelembabannya berkisar antara 80-90%. Di penangkaran ini terdapat 5 jenis kandang antara lain kandang pertunjukkan, kandang anakan, kandang buaya muda, kandang pembesaran dan kandang induk atau pembiakan (Tabel 6).

Tabel 6 Jenis, ukuran, fungsi kandang buaya muara di Penangkaran TBIJ

(22)

Berdasarkan Tabel 5 bahwa ukuran kandang pertunjukkan buaya muara di penangkaran TBIJ sudah sesuai dengan kebutuhan buaya muara sehingga sudah ideal dalam memberi ruang gerak pada buaya muara (Gambar 2). Kandang anakan buaya muara terletak di ruang terbuka berukuran 3,33 m x 1,40 m x 1 m untuk anakan buaya muara yang berumur 3 minggu - 6 bulan (Gambar 2). Kondisi ini tidak sesuai karena kandang anakan buaya terletak di ruangan terbuka seharusnya kandang anakan buaya harus terletak di ruangan tertutup karena anakan buaya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta mempunyai resiko kematian yang tinggi. Menurut Bolton (1989), anakan buaya bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman, dalam hal ini desain kandangnya sebaiknya terletak di tempat yang tersembunyi sehingga mengurangi tingkat stress oleh gangguan manusia dan kendaraan.

(a)

(b)

Gambar 2 Jenis kandang buaya muara (a) Kandang pertunjukkan, (b) Kandang anakan

Kandang pembesaran atau kandang remaja pada penangkaran ini digunakan untuk membesarkan buaya muara berumur 2-4 tahun yang siap dipotong karena telah memiliki kriteria tertentu dan kandang ini juga digunakan untuk membesarkan calon indukan. Kandang ini berisi buaya muara berjumlah 70 ekor sehingga sangat melebihi kapasitas ukuran kandang (Gambar 3). Hal ini menimbulkan terjadinya kompetisi makanan dan satwa tidak bebas bergerak. Pada kandang ini dilengkapi dengan kolam, tempat berjemur, sarang dan tempat berteduh sehingga sudah mencukupi kebutuhan hidup satwa. Kedalaman kolam dan tinggi pada kandang ini sudah ideal karena buaya tidak bisa keluar dari kolam kandang. Namun, pada kandang ini ditemukan buaya muara yang luka akibat perkelahian karena luas lantai kandang terlalu sempit sehingga buaya tidak bebas bergerak, berendam dan berjemur.

(P x l x t : 22 m x 5 m x 3 m)

(23)

Gambar 3 Kandang pembesaran

Kandang induk atau pembiakan adalah kandang yang digunakan oleh induk buaya muara yang berumur > 8 tahun (Gambar 4). Kandang ini juga memiliki luas lantai dengan ukuran yang sudah ideal sehingga memudahkan induk buaya muara melakukan kegiatan kawin, bersarang, bertelur, berendam dan berjemur. Dalam kandang ini perbandingan jantan dan betina 1:2, sehingga satu ekor jantan dapat mengawini lebih dari satu ekor betina.

Gambar 4 Kandang induk

Selain itu, terdapat kandang khusus yang berfungsi untuk jenis buaya muara putih dan buaya muara buntung. Di dalam kandang ini buaya putih dan buaya buntung mendapatkan perlakuan khusus karena pada buaya ini terdapat nilai spiritual. Kondisi shelter dan cover yang terdapat di dalam kandang buaya sangat baik dan sudah mencukupi sehingga dapat digunakan oleh satwa sebagai tempat bernaung dan berjemur. Penentuan bahan material kandang penting dilakukan karena akan berdampak pada satwa yang ada dalam kandang. Kontruksi kandang buaya muara di TBIJ terdiri dari tembok beton dan kawat ram. Pagar kandang berupa tembok beton juga dilengkapi dengan kawat ram agar memudahkan pengunjung untuk melihat buaya dan kawat ram tersebut berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara. Jenis lantai kolam buaya terbuat dari semen agar air yang terdapat di dalam kolam tidak mudah meresap ke dalam tanah dan memudahkan dalam membersihkan kolam kandang. Kegiatan pembersihan kolam kandang dilakukan setiap 2 bulan sekali. Kolam yang kotor dan kurang bersihnya saat pembersihan kandang sangat mempengaruhi kesehatan buaya muara. Pembersihan di luar kandang dilakukan setiap hari. Perawatan kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang agar buaya muara dapat hidup dengan sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit.

(P x l x t : 8 m x 8 m x 1,5 m)

(24)

Aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit

Sakit, luka, dan penyakit merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam pengelolaan satwa di penangkaran. Berdasarkan hasil pengamatan kesejahteraan satwa di TBIJ terdapat beberapa buaya muara yang mengalami sakit, luka, dan penyakit berupa jamur, luka-luka, cacat tubuh dan stress karena pengelolaan perawatan kandang yang masih kurang baik. Terbukti dengan adanya kematian buaya muara pada bulan Juli 2014 berjumlah 4 ekor. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 7.

Pemeriksaan kesehatan dan pengendalian penyakit pada buaya muara belum dapat dilakukan secara intensif karena kurangnya pengetahuan pengelola terhadap jenis penyakit buaya dan cara pengobatannya, selain itu juga keterbatasan dana yang merupakan hambatan untuk memeriksakan buaya yang sakit pada dokter hewan. Biasanya apabila terdapat buaya yang sakit akan segera dipindahkan ke daratan. Pemeriksaan rutin atau pemeriksaan yang dilakukan setiap hari adalah dengan mengamati tingkah laku, nafsu makan, dan kenampakan fisik luar buaya muara. Pengelolaan kesehatan buaya muara di TBIJ seperti ketersediaan kandang karantina, obat-obatan yang disesuaikan dengan jenis penyakit, vaksinasi yang belum ada serta pelatihan kepada perawat satwa di TBIJ untuk meminimalkan stress pada satwa merupakan beberapa faktor yang perlu di perhatikan untuk perbaikan aspek kesehatan satwa.

Aspek bebas untuk menampilkan perilaku alami

Aspek bebas berperilaku alami merupakan kebebasan satwa untuk berperilaku seperti di habitat alaminya. Di penangkaran TBIJ pengkayaan kandang seperti kolam, tempat berjemur dan pohon peneduh sebagai tempat bernaung sudah memenuhi kebutuhan biologis satwa sehingga buaya muara dapat Tabel 7 Gambaran kondisi pengelolaan buaya muara di TBIJ untuk aspek bebas

dari rasa sakit, luka, dan penyakit

Aspek Deskripsi

Kondisi satwa Terdapat buaya buntung, buaya cacat,

buaya yang luka pada saat perkelahian. Frekuensi pemeriksaan kesehatan Tidak ada pemeriksaan terhadap satwa

yang sakit. Tindakan kontrol dan pencegahan

penyakit

Kalau ada buaya yang sakit segera dipindahkan ke daratan.

Jenis obat Tidak ada obat untuk satwa yang sakit,

biasanya satwa yang sakit dibiarkan saja nanti akan sembuh sendiri.

Kondisi fasilitas dan peralatan medis Tidak ada fasilitas dan peralatan medis Ketersediaan ruang/kandang medis Tidak ada ketersediaan ruang/kandang

medis

Jumlah tenaga medis Tidak ada tenaga medis

Pemeriksaan kesehatan pada betina yang lagi bunting

Tidak ada pemeriksaan kesehatan pada betina yang lagi bunting.

(25)

mengekspresikan perilaku seperti di habitat alaminya. Keamanan kandang bagi satwa adalah keamanan yang dilakukan pengelola agar satwa dan pengunjung merasa aman. Pengamanan kandang yang dilakukan yaitu pagar kandang terbuat dari beton dan dilapisi kawat, pintu kandang selalu tertutup, kemudian dibuat parit dan pagar besi sebagai pembatas antara pengunjung dengan satwa (Gambar 5).

Gambar 5 Pagar pengaman

Aspek bebas dari rasa takut dan tertekan

Ketersediaan staf ahli di penangkaran TBIJ adalah 4 orang animal keeperterdiri dari 1 orang animal keeper tetap dan 3 orang animal keepertidak tetap, artinya 1 orang animal keeper tetap bertugas merawat satwa setiap hari sedangkan 3 orang animal keepertidak tetap bertugas apabila ada pertunjukkan atraksi buaya. Penanganan satwa yang lepas dari kandang dilakukan yaitu dengan mengikat mulutnya, didiamkan biar tenang lalu digotong ke dalam kandang. Sedangkan penanganan satwa yang baru dipindahkan ke kandang baru juga sama halnya dengan penanganan satwa yang lepas. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara kepada animal keeper di TBIJ pernah terjadi buaya muara yang lepas/kabur dari kandang karena pada saat membersihkan kandang animal keeper

lupa mengunci pintu kandang. Hal ini membuat para pengunjung merasa takut dan tidak nyaman ketika berkunjung ke TBIJ.

Upaya pencegahan rasa takut dan tertekan dari gangguan yang ditimbulkan pengunjung adalah pengelola menyediakan papan himbauan kepada pengunjung agar tidak melempari buaya dengan batu, kaleng, botol dll serta dilarang memberi makan buaya.Tanda-tanda perilaku satwa yang menunjukkan stress antara lain suka menyendiri, tidak nafsu makan dan tidak aktif bergerak (Gambar 6) .

(26)

Buaya muara di TBIJ telah mampu menghasilkan beberapa keturunan sehingga bisa dikatakan bahwa buaya muara di TBIJ telah mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Pada penangkaran ini sering dijumpai buaya yang mengalami stress akibat perkelahian sesama buaya dalam memperebutkan makanan. Ecclestone (2009), upaya untuk mengatasi buaya muara yang mengalami rasa takut dan tertekan adalah memberikan kondisi dan perlakuan satwa dengan baik agar menghindari satwa dari ancaman takut, stress, dan kesusahan.

Menurut Ratnani (2007) stress diakibatkan oleh jumlah populasi buaya dalam kandang yang sangat banyak, adanya keramaian, perebutan wilayah, perebutan makanan, perebutan pasangan. Apabila buaya mengalami stress yang tinggi dapat menyebabkan kematian. Buaya yang sedang mengalami stress biasanya tidak aktif bergerak dan cenderung selalu menyendiri (Gambar 6). Cara pencegahan yang dilakukan dengan tidak menempatkan buaya ke dalam kandang yang penuh dengan buaya dan diberikan vitamin anti stress yaitu noptressa yang dicampur dengan pakan dengan dosis 1 gram : 1 kg pakan (Ratnani 2007).

Hasil Penilaian Kesejahteraan Buaya Muara di Penangkaran TBIJ

Berdasarkan hasil pengamatan lapang dan wawancara yang dilakukan, TBIJ telah mencapai beberapa tahapan dalam implementasi kesejahteraan buaya muara dalam (Lampiran 1). Implementasi kesejahteraan buaya muara di TBIJ dapat digambarkan melalui pembobotan tiap komponen yang mengacu pada lima prinsip kesejahteraan satwa dan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Capaian implementasi kesejahteraan buaya muara di Penangkaran TBIJ

No Komponen Bobot Skoring Nilai terbobot Kategori

1 Bebas dari rasa lapar dan

(27)

ini kurang dijalankan secara optimal, hal ini terjadi karena pencatatan kesehatan, penanggulangan penyakit, investigasi wabah penyakit, penyediaan fasilitas kesehatan, serta tenaga medis yang belum dikelola dengan baik. Selanjutnya pada aspek bebas dari rasa takut dan tertekan memiliki kategori cukup dengan nilai 4 menurut peneliti dan pengelola. Praktik pengelolaan pada aspek ini perlu mendapat perhatian juga karena pada saat pengamatan terdapat beberapa buaya muara yang mengalami stress akibat perkelahian dalam memperebut makanan. Eccleston (2009) menjelaskan bebas dari rasa takut dan tertekan adalah menjamin kondisi dan perlakuan satwa dengan baik untuk menghindari stress dari ancaman takut, stress dan kesusahan. Hal yang perlu diperbaiki dari aspek ini adalah tindakan preventif dalam mengatasi satwa yang terlihat tertekan seharusnya dilakukan oleh pengelola. Hasil rataan dari penilaian capaian implementasi kesejahteraan buaya muara di Penangkaran TBIJ menurut peneliti dan pengelola sebesar 67.2 termasuk kategori cukup.

Indikator Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara di Penangkaran TBIJ Berkaitan dengan analisis untuk menentukan keberhasilan pengelolaan penangkaran, dilakukan dengan menggunakan kriteria utama, yakni aspek reproduksi dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dengan indikator keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penangkaran.

Aspek reproduksi satwa

Aspek reproduksi satwa meliputi persentase dan kriteria tingkat perkembangbiakan induk betina, daya tetas telur buaya muara dan angka kematian anakan buaya muara yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Persentasi indikator keberhasilan penangkaran buaya muara di TBIJ tahun 2014

Aspek reproduksi Jumlah Persentase

(%) Kriteria

Daya tetas telur ∑ Total telur 150

34.67 Sedang

∑ Telur yang menetas 52

Angka kematian ∑ Total anak 52

88.46 Tinggi

∑ Anakan mati 46 Tingkat

perkembangbiakan ∑ Total indukan 30 46.67 Sedang

∑ Induk yang bertelur 14

(28)

sekali sampai telur menetas. Angka kematian anakan buaya muara di penangkaran ini cukup tinggi dikarenakan anakan buaya muara yang baru berumur 2 bulan diberi makan ikan yang tidak dipotong kecil-kecil, letak kandang anakan buaya muara di luar ruangan dan terbuka sehingga meningkatkan stress oleh gangguan manusia dan kendaraan. Bolton (1989), anakan buaya muara yang masih kecil mempunyai senitifitas yang tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta mempunyai resiko kematian yang tinggi.

Aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran

Berdasarkan hasil wawancara keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran cukup berhasil hal ini dapat dilihat dengan adanya keikutsertaan masyarakat sekitar terhadap kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran. Masyarakat di sekitar penangkaran juga dapat menerima dampak positif dan negatif dengan adanya kegiatan penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia Jaya. Di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terdapat 2 kios yang menjual makanan dan 1 kios pedagang souvenir di dalam lokasi penangkaran, sedangkan di luar penangkaran terdapat 8 unit warung makan, 4 kios penjual bensin dan 2 bengkel motor. Berdasarkan hasil wawancara para pedagang yang berjualan di areal penangkaran merupakan warga asli daerah setempat. Dengan kondisi seperti itu keberadaan penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya secara tidak langsung memberikan manfaat positif, karena dengan bekerja di penangkaran dan mendirikan berbagai usaha, masyarakat dapat mensejahterakan keluarganya.

Pemanfaatan Penangkaran Buaya Muara Sebagai Jasa Wisata

Pengelolaan pemanfaatan penangkaran buaya muara sebagai jasa wisata ini lebih diutamakan dalam hal pemanfaatan komersial berupa produk dan jasa wisata berupa tempat rekreasi bagi para pengunjung. Bentuk pemanfaatan penangkaran buaya di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dibedakan menjadi dua bagian berupa barang dan jasa wisata. Uraian singkat masing-masing bentuk pemanfaatan sebagai berikut:

Pemanfaatan buaya muara sebagai produk atau barang

Buaya muara merupakan salah satu jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena hampir seluruh bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan. Di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terdapat beberapa produk yang diperlihatkan kepada pengunjung dengan tujuan agar pengunjung dapat mengetahui manfaat dari bagian tubuh buaya muara.

(29)

Tabel 10 Produk yang dihasilkan dari tubuh buaya muara yang pernah dijual di Penangkaran TBIJ

No Jenis Produk Harga (Rp) Keterangan

1 Kulit 500.000/inchi Dipajang

2 Sari rendaman tangkur 75.000/botol (±150 ml) Dipajang

3 Tangkur buaya 227.000/1cm Dipajang

4 Tas 3.725.000/buah Dipajang

5 Dompet 1.060.000/buah Dipajang

6 Sate 70.000/porsi -

Bagian organ tubuh buaya muara yang sering dimanfaatkan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya adalah tangkur buaya yang berfungsi dapat meningkatkan stamina pria dewasa. Hal ini disebabkan karena orang-orang mempunyai kepercayaan bahwa buaya bertubuh kuat dan tangkur merupakan alat kelamin jantan pada buaya sehingga dipercaya dapat memperkuat stamina. Produk yang dihasilkan dari bagian organ tubuh buaya muara dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b) (c) (d) (e) Gambar 7 (a) Sari rendaman tangkur buaya; (b) Tangkur buaya muara; (c)

Dompet; (d) Tas (e) Kulit buaya muara

Pemanfaatan buaya muara sebagai produk jasa wisata

Kegiatan pemeliharaan buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dijadikan sebagai objek wisata dengan tujuan untuk pendidikan, pengetahuan, sebagai tempat hiburan dan menambah pendapatan baik bagi pihak pengelola penangkaran maupun masyarakat sekitar penangkaran. Program-program wisata yang ditawarkan oleh penangkaran ini antara lain: atraksi Joko Tingkir, atraksi debus dan ular. Hasil penelitian Nuryanti (2013) juga melaporkan bahwa produk-produk jasa wisata yang ditawarkan di penangkaran ini antara lain pertunjukkan atraksi joko tingkir, atraksi debus dan atraksi ular. Ketiga atraksi ini masih dijadikan sebagai produk andalan wisata di penangkaran TBIJ. Jenis produk wisata yang dikaji dalam penelitian ini hanya berupa atraksi joko tingkir.

Atraksi Joko Tingkir

(30)

secara langsung tanpa ada pelatihan khusus oleh pawang buaya (Nuryanti 2013). Atraksi Joko Tingkir ini mengingatkan kita akan cerita Joko Tingkir yang bisa menaklukan semua jenis buaya pada zaman dahulu. Atraksi Joko Tingkir disaksikan pada hari minggu dan hari libur nasional mulai pukul 11.00 dan pukul 14.00 WIB. Untuk melihat pertunjukkan ini pengunjung cukup dengan membeli tiket sesuai dengan umur, dewasa dikenakan biaya sebesar Rp 20.000,00 sedangkan untuk anak-anak dikenakan biaya sebesar Rp 10.000,00. Harga tiket tersebut masih dapat dijangkau pengunjung. Atraksi Joko Tingkir dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Atraksi pawang buaya bercengkrama dengan buaya muara

Karakteristik, Minatdan Persepsi Pengunjung Terhadap Wisata di Penangkaran TBIJ

Karakteristik pengunjung di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya Berdasarkan hasil wawancara karakteristik asal pengunjung paling banyak berasal dari Kecamatan Serang yaitu sebanyak 34.75%. Hal ini dikarenakan akses yang baik untuk menuju lokasi dan jarak yang ditempuh sangat dekat. Pengujung TBIJ paling banyak adalah perempuan (51.75%) dengan pekerjaannya sebagai ibu rumahtangga (30.50%) (Lampiran 4). Kondisi ini menunjukkan bahwa kebanyakan kaum perempuan yang didominasi para ibu yang berkunjung ke TBIJ ingin mengajak anaknya untuk mengenal satwa serta jarak yang tidak terlalu jauh dari kota membuat perempuan untuk mudah memutuskan berwisata. Pendidikan pengunjung paling banyak adalah SMA (35.25%), ini menggambarkan bahwa hubungan antara obyek wisata alam dengan pendidikan. Menurut Keliwar (2011), orang yang berkunjung ke obyek wisata alam biasanya didominasi oleh pengunjung yang berasal dari latar belakang pendidikan tinggi, karena ingin mempelajari kehidupan flora dan fauna yang tersedia di kawasan tersebut.

(31)

kesempatan, pemanfaatan kesempatan yang sesuai dan kemapuan fisik. Karakteristik pengunjung sesuai kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Karakteristik pengunjung berdasarkan kelompok umur pengunjung di Penangkaran TBIJ

Minat pengunjung

Sebagian besar pengunjung dari masing-masing kelas umur menjawab bahwa tujuan mereka datang ke TBIJ adalah untuk melihat satwa. Intensitas kunjungan pengunjung di TBIJ adalah sekali yang menandakan bahwa pengujung baru pertama kali mengunjungi TBIJ. Alasan berkunjung kembali adalah karena ingin mengajak anak mengenal satwa. Berdasarkan hasil wawancara pengujung secara umum tertarik untuk melihat satwa karena menurut mereka buaya muara merupakan satwa yang sulit ditemui di alam, sehingga untuk melihat buaya tersebut maka mereka berwisata ke TBIJ atau ke kebun binatang lainnya.

Ketertarikan pengunjung terhadap buaya muara berdasarkan kelompok umur adalah rata-rata setiap kelompok umur lebih tertarik pada buaya muara dengan nilai rata-rata 65% sedangkan 35% rata-rata dari setiap kelompok umur mengatakan biasa saja. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kelompok umur dengan minatnya terhadap suatu obyek wisata. Obyek wisata menurut Siregar (2001) merupakan sesuatu yang dapat dilihat dan dinilai sehingga menjadi suatu daya tarik bagi orang-orang yang berkunjung ke suatu tempat atau kawasan wisata tersebut. Kelompok umur akan menggambarkan pengalaman hidup seseorang, semakin tinggi umur seseorang maka semakin banyak pengalaman dan informasi yang diketahui terhadap suatu obyek yang mempengaruhi minat dan persepsinya (Apriyanti 2011). Oleh karena itu, ketertarikan pengunjung terhadap buaya muara berhubungan dengan pengetahuan dan persepsinya.

(32)

Persepsi pengunjung

Effendy (1984) persepsi adalah pengindraan terhadap kesan yang timbul dari lingkungannya, sedangkan Surata (1993) mengatakan bahwa tingkat pengertian atau pemahaman seseorang sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut. Persepsi pengunjung terhadap pengelolaan buaya muara di penangkaran TBIJ terdiri dari tiga kriteria utama, yakni (i) persepsi mengenai kondisi pengelolaan buaya muara, (ii) persepsi mengenai fasilitas dan pelayanan di TBIJ, serta (iii) persepsi terkait atraksi buaya muara sebagai obyek wisata.

Kenyamanan para pengunjung yang datang untuk melihat buaya, pengelola penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya menyediakan fasilitas pendukung. Fasilitas pendukung yang diberikan oleh pihak pengelola antara lain

Tabel 11 Minat pengunjung yang datang di penangkaran TBIJ

Minat Kelompok umur (%) Rata-rata

f. Tempat yang enak untuk

berkumpul 0 0 7 3 2.50

f. Tempat yang enak untuk

(33)

loket, gazebo, halaman parkir, toko souvenir, warung makan, papan interpretasi, toilet, mushola, sarana bermain anak (ayunan, jungkat-jungkit, perosotan), tempat sampah yang masih dalam kondisi baik. Berikut ini persepsi pengunjung dari masing-masing kelas umur (Tabel 12).

Tabel 12 Persepsi pengunjung terhadap pengelolaan buaya muara di TBIJ

Persepsi Kelompok umur (%) Rata rata (%)

Remaja Dewasa muda Dewasa Tua I. Kondisi pengelolaan buaya muara

a. Sejahtera 37 27 63 57 46

b. Kurang sejahtera 63 73 37 43 54

II. Fasilitas dan pelayanan

a. Sangat memuaskan 0 0 0 0 0

b. Memuaskan 3 7 27 13 12.5

c. Cukup memuaskan 57 40 40 34 42.75

d. Kurang

memuaskan 17 30 33 10 22.5

e. Tidak memuaskan 23 23 0 43 22.25

III. Atraksi buaya muara sebagai obyek wisata

a. Sangat tertarik 0 6 10 3 4.75

b. Tertarik 73 67 53 60 63.25

c. Cukup tertarik 27 17 20 20 21

d. Kurang tertarik 0 10 10 17 9.25

e. Tidak tertarik 0 0 7 0 1.75

Hasil rataan persentasi dari setiap kelompok umur pengunjung menunjukkan sebanyak 54% pengunjung mengatakan buaya muara di TBIJ kurang sejahtera dan 46% pengunjung mengatakan buaya muara di TBIJ sudah sejahtera. Pengunjung mengatakan bahwa kondisi buaya muara di TBIJ kurang sejahtera karena melihat kolam kandang buaya muara yang berlumut, kotor, dan kurang terawat. Penilaian pengunjung terkait kesejahteraan buaya muara tidak dimasukkan ke dalam kriteria penilaian kesejahteraan buaya muara karena penilaian pengunjung hanya berdasarkan kondisi satwa dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa.

Penilaian pengunjung terhadap pelayanan TBIJ yang terdiri dari pelayanan pengelola dan fasilitas pelayanan. Hasil rataan persentasi dari setiap klasifikasi umur pengunjung menunjukkan sebanyak 42.75% cukup memuaskan dan 22.25% pengunjung mengatakan fasilitas dan pelayanan di TBIJ kurang maupun tidak memuaskan. Hal ini dikarenakan kurangnya kebersihan dan perawatan fasilitas yang ada di TBIJ, terutama kebersihan lingkungan dan perawatan fasilitas taman bermain anak. Selain itu ada beberapa hal yang harus diperbaiki dan ditambahkan seperti penambahan papan interpretasi pada setiap kandang dan penambahan fasilitas, hiburan lain yang dapat menarik pengunjung.

(34)

dalam wisata minat khusus karena tidak semua pengunjung berminat terhadap jenis atraksi yang ditawarkan sebagai contoh, diketahui bahwa pengunjung ada yang memiliki ketertarikan khusus terhadap kegiatan lain seperti berbelanja produk yang dihasilkan dari buaya dan menikmati kuliner sate buaya (Susanti 2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengelolaan kesejahteraan buaya muara di TBIJ memiliki rataan nilai terbobot menurut peneliti dan pengelola termasuk dalam kriteria cukup (67.2). Tetapi ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki antara lain aspek bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan, aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit serta aspek aspek bebas dari rasa takut dan tertekan.

Tingkat keberhasilan penangkaran buaya muara di TBIJ kurang berhasil karena persentasi daya tetas telur termasuk kategori sedang (34.67%), persentasi tingkat perkembangbiakan kategori sedang (46.67%), dan persentasi angka kematian cukup tinggi (88.46%). Secara sosial ekonomi masyarakat dinyatakan berhasil dengan adanya keterlibatan masyarakat sekitar penangkaran dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran.

Pemanfaatan penangkaran buaya muara di TBIJ adalah sebagai jasa wisata. Jenis wisata yang ditawarkan kepada pengunjung adalah atraksi Joko Tingkir. Persepsi pengunjung terkait pengelolaan kesejahteraan buaya muara di penangkaran TBIJ masih kurang sedangkan pengelolaan fasilitas dan pelayanan pengunjung cukup memuaskan.

Saran

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Appleby MC, Hughes BO. 1997. Animal Welfare. London (UK): Oxford University Press.

Apriyanti, H. 2011. Persepsi dan sikap pengunjung Kebun Raya Bogor terhadap koleksi tumbuhan obat. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Ariantiningsih FA. 2008. Suaka Marga Satwa Singkil, Mutiara di Pantai BaratAceh. Program Kampanye Bangga. Medan.

Ayudewanti AN. 2013. Pengelolaan dan tingkat kesejahteraan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Taman Margasatwa Ragunan. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Bolton M. 1989. Monitor Lizard (Natural History. Biology, and Husbandry). Thomas. W and Breck. B, editor. Germany: Warlich Druck, Meckenheim. Brockman CF, Merriam. 1973. Recreational Use Of Wild Lands (2ed Edition).

New york: McGraw-Hill Book Company.

Britton A. 2001. Crocodilian Captive Care F.A.Q. www.Crocodile.com [8 Oktober 2010].

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora. 2010. Appendices I, II, and III valid from 14 October 2010. http://www.cites.org/eng/app/Appendices-E.pdf. [2 Desember 2010]. Direktorat Jenderal PHPA. 1985. Proceeding Diskusi : Penangkaran Buaya

Sebagai Salah Satu Bentuk Pemanfaatan Untuk Menunjang Perekonomian

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal PHPA, Balai Konservasi Sumberdaya Alam III. Bogor.

Eccleston KJ. 2009. Animal Walfare di Jawa Timur: Model kesejahteraan binatang di Jawa Timur. [skripsi]. Malang (ID): Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Universitas Muhammadiyah Malang.

Effendy OU. 1984. Hubungan Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Karya.

Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.

Gumilar F. 2007. Studi penetasan dan pertumbuhan telur hatchlingbuaya muara (Crocodylus porosus) di penangkaran PT Ekanindya Karsa Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Gustina I. 2010. Kajian pengelolaan kesejahteraan satwa dan pengembangan pemanfaatannya sebagai obyek wisata di Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang Sumatera Selatan. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

(36)

[IUCN]. 2008. Red List of Threatened Species. http://www. Iucnredlist. Org. [27 Mei 2008].

Keliwar S. 2011. Studi pengembangan Kebun Raya UNMUL Samarinda sebagai salah satu obyek wisata alam di Samarinda. J EKSIS. Vol.7 No.2:1267-2000. Laela A. 2013. Pengelolaan kesejahteraan musang luwak dan pemanfaatannya

sebagai satwa peraga di Taman Margasatwa Ragunan. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Majid AA. 2009. Sebaran spasial dan karakteristik habitat buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae Schmidt, 1928) di Taman Nasional Wasur. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Moos R. 1992. Definition of Health and Welfare. Di dalam: Moss R. Livestock Health and Welfare. Essex: Longman.

Nasution S. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Nuryanti RY. 2013. Teknik penangkaran buaya muara (Crocodylus porosus) di

Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID):Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

[PHKA] Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. [PHKA] Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Nomor: P.9/IV-SET/2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konservasi.

Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999

Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.

http://bksdadiy.dephut.go.id//images/data/PP71999.pdf. [16 November 2010].

____. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. http://www.ksda-bali.go.id/wp-content/uploads/2009/05/pp-no8-tahun-1999-tentang-pemanfaatan-tsl.pdf. [ 2 Desember 2010].

Ratnani B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya pada PT Ekanindya Karsa di Cikande Kabupaten Serang. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.

REI [Redaksi Ensiklopedi Indonesia]. 2008. Reptilia dan Amfibia. PT. Intermasa. Jakarta.

Siregar S. 2001. Analisis persepsi pengunjung terhadap strategi pemasaran Taman Bunga Nusantara. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Surata SPK. 1993. Persepsi seniman lukis tradisi bali terhadap konservasi burung [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Susanti Arie. 2011. Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

(37)

Suara Media. 6 Maret 2010. Ekonomi dan bisnis: Wow, kulit buaya hasilkan omzet puluhan miliar tiap bulan! http://www.suaramedia.com/ekonomi- bisnis/strategi-bisnis/18296-wow-kulit-buaya-hasilkan-omzet-puluhan-miliar-tiap-bulan.html. [10 Desember 2010].

Thohari M. 1987a. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi I (3): 23-25. _____. 1987b. Gejala Inbreeding dalam penangkaran satwaliar. Media Konservasi

IV (1): 3.

(38)

Lampiran 1 Penilaian kriteria capaian implementasi kesejahteraan satwa di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya

Skor Keterangan

1 Buruk, apabila tidak ada pengelolaan

2 Kurang, apabila sudah ada pengelolaan tetapi tidak sesuai

3 Cukup, apabila sudah ada pengelolaan, sesuai dan belum dilaksanakan 4 Baik, apabila sudah ada pengelolaan dan sebagian sudah dilaksanakan 5 Memuaskan, apabila sudah ada pengelolaan dan sudah dilaksanakan

No Komponen Kesejahteraan satwa

Nilai

1 2 3 4 5

A. Bebas dari rasa lapar dan haus o

1. Apakah daftar pakan tersedia o o

2. Apakah air bersih tersedia setiap saat untuk minum dikandang 3. Apakah bentuk pakan sesuai dalam bentuk dan kualitasnya? 4. Apakah terdapat suplemen vitamin dan mineral? 

5. Apakah jumlah pakan mencukupi? o

6. Apakah pakan yang telah rusak dibuang? o 7. Apakah terdapat pemberian pakan khusus bagi betina yang

bunting?

o

8. Apakah dalam penentuan pakan mempertimbangkan palatabilitas pakan satwa?

o

9. Apakah pakan dan minum disimpan dalam kondisi yang dapat terjaga kualitasnya?

o

10. Apakah dilakukan kontrol terhadap pakan yang diberikan? o Total skor = 6.8

Rata-rata skor = 3.4

B. Bebas dari rasa tidak nyaman 1 2 3 4 5

1. Apakah daftar deskripsi peragaan, fasilitas yang berkaitan dengan perawatan satwa tersedia ?

o

2. Apakah ukuran kandang cukup memadai (dari segi jumlah, kelamin, dan umur)?

o

3. Apakah tipe pagar kandang sesuai ?  O

4. Apakah pagar kandang dapat mencegah satwa lepas ?  O

5. Apakah permukaan tanah cocok ? o

6. Apakah peneduh memadai ? o

7. Apakah satwa dapat menghindari pengunjung secara bebas? o 8. Apakah area luar dan dalam kandang dibersihkan setiap hari ? o 9. Adakah kandang khusus bagi betina yang bunting ? o

10. Apakah kandang lain tersedia (misal karantina, peralihan, reproduksi, dll)

2. Apakah kondisi kesehatan dan pertumbuhan satwa diperiksa secara rutin ?

 O

3. Apakah satwa yang menderita atau sakit segera mendapat pertolongan ?

 O

4. Apakah ada tindakan preventif untuk mencegah serangan penyakit ?

o

5. Apakah pelayanan dokter hewan cukup tersedia ? o 6. Apakah ada investigasi wabah penyakit ? o 7. Apakah obat yang diberikan pada satwa sesuai dengan dosis

dan jenis penyakitnya ?

o

8. Apakah peralatan medis dalam melakukan pemeriksaan kesehatan satwa sudah memadai (jumlah dan kualitas) ?

o

9. Apakah kondisi penyimpanan peralatan medis dan obat-obatan ada pada kondisi yang sesuai?

(39)

Lampiran 1 Penilaian kriteria capaian implementasi kesejahteraan satwa di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (lanjutan)

No Komponen Kesejahteraan satwa

Nilai

1 2 3 4 5

10. Apakah satwa yang sakit segera dipisahkan dengan satwa lain dan dipindahkan kedalam kandang karantina?

 o

Total skor = 4.1 Rata-rata skor = 2.1

D. Bebas untuk menampilkan perilaku alami 1 2 3 4 5

1. Apakah terdapat pengkayaan kandang disesuaikan dengan habitat alaminya (kolam, pohon, semak) ?

o

2. Apakah penyediaan pakan disesuaikan dengan perilaku satwa di habitat aslinya ?

o

3. Apakah satwa bertingkah laku tidak normal?

4. Apakah ada tindakan dalam mengubah perilaku yang abnormal agar menjadi normal ?

5. Apakah terdapat enrichment kandang sehingga satwa mampu terangsang untuk berperilaku alami?

o

6. Apakah ada pagar pembatas antara pengunjung dengan kandang?

o

7. Apakah ukuran kandang memenuhi untuk satwa berperilaku alami?

o

8. Apakah kandang dirancang dan disesuaikan dengan satwa di habitat alaminya?

o

9. Bagaimana manajemen reproduksi dan breeding yang dilakukan (pemilihan bibit, determinasi sex ratio, pilihan teknik/ cara perkawinan, alami/buatan, bulan kawin dan lahir) ?

o

10. Apakah satwa pernah lepas/kabur, bagaimana cara penanganan? interaksi yang mengakibatkan stress ?

o 

2. Apakah ada tindakan pemisahan kandang terhadap satwa bunting untuk menghindari stress?

 o

3. Apakah terdapat kandang adaptasi sebelum satwa diletakkan kedalam kandang peragaan ?

 o

4. Apakah dalam pemeliharaannya staf atau keeper membuat satwa stress ?

o

5. Apakah terdapat penjagaan atau tindakan dari pihak pengelolaa terkait gangguan yang diberikan pengunjung terhadap satwa ?

 o

6. Apakah pengelola segera melakukan studi tingkah laku dan fisiologi bila terdapat satwa yang menunjukkan perilaku stress ?

 o

7. Bagaimana kondisi satwa buaya muara yang ada di TBIJ (pasif, pola makan, pola tidur) ?

o 

8. Apakah ada satwa yang stress, bagaimana penanganannya? o 9. Apabila ada pengkayaan, pengkayaan apa saja yang diberikan

(kandang, makanan, struktural, obyek) ?

o

(40)

Lampiran 2 Karakteristik pengunjung di Penangkaran TBIJ

Karakteristik Kelompok umur (%) Rata-rata

Remaja Dewasa muda Dewasa Tua (%)

Asal

a. Serang 63 43 3 30 34.75

b. Jakarta 7 17 34 23 20.25

c. Cikarang 23 17 13 4 14.25

d. Karawang 0 10 23 7 10

e. Bekasi 7 6 17 3 8.25

f. Cibarusah 0 0 3 30 8.25

g. Depok 0 0 7 3 2.50

h. Cileungsi 0 7 0 0 1.75

Jenis Kelamin

a. Perempuan 47 57 53 50 51.75

b. Laki- laki 53 43 47 50 48.25

Pendidikan

a. SD 7 17 30 34 22

b. SMP 30 17 10 27 21

c. SMA 56 46 36 3 35.25

d. SMK 7 10 10 33 15

e. Diploma 0 3 7 0 2.50

f. S1 0 7 7 3 4.25

Pekerjaan

a. Ibu Rumah tangga 0 40 45 37 30.5

b. Karyawan Swasta 17 37 35 7 24

c. Pelajar 83 0 0 0 20.75

d. Wiraswasta 0 3 7 43 13.25

e. Buruh 0 17 3 3 5.75

f. Petani 0 0 7 7 3.50

(41)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kokas, Kabupaten Fakfak pada tanggal 8 Juli 1991 dari pasangan Bapak Yoel Wayori dan Ibu Martha Abrawi. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara.

Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis adalah SD Inpres Kokas lulus pada tahun 2003, SMP Negeri 1 Kokas lulus pada tahun 2006, SMA Negeri 1 Kokas lulus pada tahun 2009. Pada Tahun 2009 pula penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan memilih program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Pada Tahun 2009 penulis dimasukan ke sekolah Prauniversitas IPB dan lulus tahun 2010. Pada Tahun 2010 pula penulis lulus Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan masuk ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH) di Leuwing Sancang - Kamojang, Jawa Barat pada tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat pada tahun 2013 serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Wisata Alam Panelokan, Bali pada tahun 2014.

Penulis juga aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) periode 2012/2013, pengurus Ikatan Mahasiswa Papua di Bogor periode 2010/2013 dan pengurus Komisi Pelayanan Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB periode 2011/2012. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi

diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Pengelolaan Kesejahteraan

Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata di

Gambar

Tabel 1 Kategori responden sebagai contoh pengunjung dalam penelitian
Tabel 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan buaya muara di Penangkaran Taman    Buaya Indonesia Jaya
Tabel 4 Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran TBIJ
Gambar 1 Pakan buaya muara (a) Ayam, (b) Ikan, (c) Daging sapi, (d) Kambing
+7

Referensi

Dokumen terkait

sehingga gaji dapat diberikan pada pegawai sesuai dengan haknya. Prosedur-prosedur yang berkaitan dengan sistem penggajian terdiri dari :.. a) Prosedur pencatatan waktu hadir.

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

• Contoh : Pembelian alat pemotong pada UKM keripik apel senilai 7 juta dapat memberikan keuntungan selama empat tahun : 1 juta; 1,75 juta; 2,5 juta; 3,25 juta. Hitunglah

PUSKESMAS KECAMATAN GAMBIR KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT TAHUN ANGGARAN

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

[r]

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

 It is important to improve access to quality drinking water by children, familly, school, working palce, and community.  Efforts should be made to educate