• Tidak ada hasil yang ditemukan

. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ". Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA

AHMAD SYARIFUL JAMIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Ahmad Syariful Jamil

(4)

RINGKASAN

AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia. Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA dan SUHARNO.

Garam merupakan komoditas strategis yang permintaannya akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, peningkatan kebutuhan garam domestik tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi garam domestik. Produksi domestik seakan tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan garam domestik. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan produksi garam domestik mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam dengan tren yang positif. Lebih jauh lagi, saat ini kebijakan impor telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi kebutuhan garam domestik.

Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia belum mampu mengelola potensi kelautannya yang besar. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk memberikan gambaran secara umum mengenai keragaan permintaan impor garam Indonesia. Tujuan utama tersebut diakomodasi kedalam beberapa tujuan penelitian yaitu: (1) menganalisis keragaan kebijakan impor garam di Indonesia; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia; serta (3) menganalisis kerentanan permintaan impor garam Indonesia dari perspektif negara sumber impor garam. Pendekatan ekonometri digunakan untuk menjawab tujuan tersebut, dimana terdapat dua model perdagangan yaitu model regresi data panel dan model Almost Ideal Demand System (AIDS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabels yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume permintaan impor garam Indonesia yaitu: produksi garam domestik, harga garam impor, Produk Domestik Bruto riil (PDB) Indonesia, PDB riil negara sumber impor dan nilai tukar riil. Hanya variabel produksi garam domestik dan harga garam impor yang memiliki hubungan negatif terhadap permintaan impor garam Indonesia. Berdasarkan perhitungan elastisitas menunjukkan diketahui bahwa Indonesia sangat tergantung secara spesifik terhadap garam impor dari Australia dan India. Selain itu, garam yang berasal dari Australia dan India saling berkomplemen sehingga akan terus mendominasi pangsa impor garam Indonesia. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa tidak diperlukan untuk menerapkan kebijakan tarif impor. Pemerintah sebaiknya lebih menekankan dan fokus dalam meningkatkan produksi garam domestik. Implikasi kebijakan yang seharusnya dapat diterapkan oleh pemerintah yaitu melakukan sinronisasi data, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.

(5)

SUMMARY

AHMAD SYARIFUL JAMIL. Analysis of Salt Import Demand. Supervised by NETTI TINAPRILLA and SUHARNO.

Salt is a commodity which has an increasing demand of Indonesian population. However, the increasing of domestic salt necessity has not been fullfilled yet by domestic salt production. Domestic production seemsuncapable to make the increasing of domestic salt necessity balance. The imbalance between salt necessity and domestic salt production pushes the government to import salt with positive trend. Moreover, import policy has been inseparable to fullfill domestic salt necessity.

Those facts gives an overview that Indonesia is still uncapable to manage its big ocean potential. therefore, it is required an analysis to give a common overview about the demand performance of salt import in Indonesia. That main purpose is accomodated into some purposes, there are: (1) to analyze the policy performance of salt import in Indonesia; (2) to analyze some factors which influence the demand of salt import in Indonesia; and (3) to analyze the sensitivity on the demand of salt import in Indonesia from salt exporter countries perspective. Econometrics approachment is used to answer those purposes which have two trade models, there are panel data regression model and Almost Ideal Demand System (AIDS) model.

The research result shows that the variables which influence significantly to demand volume of salt import in Indonesia, there are: domestic salt production, import salt price, gross domestic product (GDP) of Indonesia, real GDP of exporter countries, and real exchange value. There are only two variables which have a negative relation, between domestic salt production and import salt price with salt import demand in Indonesia. Based on elasticity calculation shows, it is knownthat Indonesia is too dependent specifically on imported salt from Australia and India. Beside that, salt which is originated from Australia and India are complement each other so that they will keep dominating salt import share in Indonesia. Those facts show that it is not needed to apply import tariff policy. The government should put more emphasis and focus on increasing domestic salt production. The policy implication that should be implemented by government are to do data synchronization, land intensification and extension effort.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR GARAM INDONESIA

AHMAD SYARIFUL JAMIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia Nama : Ahmad Syariful Jamil

NIM : H351140476

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Netti Tinaprilla, MM Ketua

Dr Ir Suharno, MADev Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia ini dapat terselesaikan. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaiakan terima kasih dan penghargaan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Netti Tinaprilla, MM dan Dr Ir Suharno, MADev selaku dosen pembimbing, Dr Amzul Rifin, SP MA dan Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen penguji tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Program Studi Magister Sains Agribisnis IPB dan kepada pihak beasiswa yang telah membantu terkait pendanaan selama perkuliahan, yaitu Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BU BPKLN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak dan ibu yang telah bersabar dan senantiasa mendoakan penulis selama ini, khususnya selama proses penyelesaian tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari teman-teman MSA 4 khususnya mahasiswa program sinergi (fast track) angkatan 2 selama menempuh pendidikan magister.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan pengembangan sektor pertanian khususnya industri pergaraman nasional.

Bogor, September 2015

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Permintaan Impor 6

Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS) 7

3 KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Data Panel 18

Kerangka Pemikiran Operasional 23

4 METODE PENELITIAN 24

Waktu Penelitian 24

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Analisis Data 25

Model Regresi Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor

Garam 26

Analisis Data Menggunakan Almost Ideal Demand System 30

5 GAMBARAN UMUM IMPOR GARAM INDONESIA 33

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 36

Keragaan Kebijakan Impor Garam Indonesia 36

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Impor Garam Indonesia 40 Tingkat Persaingan Impor Australia, India dan Selandia Baru 46

Implikasi Kebijakan Impor Garam Indonesia 52

7 SIMPULAN DAN SARAN 54

Simpulan 54

Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 60

RIWAYAT HIDUP 69

LAMPIRAN 57

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011 2 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun

2008-2011 3

3 Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun

2005-2014 3

4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 25 5 Ukuran-ukuran elastisitas model Almost Ideal Demand System

(AIDS) 32

6 Kebijakan mengenai penetapan harga garam rakyat di titik

pengumpul 38

7 Model estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor

garam Indonesia 41

8 Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk Masing-Masing Peubah

Bebas dalam Model FE 42

9 Hasil estimasi model faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan

impor garam Indonesia yang baru 43

10 Nilai VIF untuk masing-masing faktor independen dalam model

Fixed Effect 44

11 Pengaruh spesifik individu model Fixed Effect terpilih 44 12 Hasil estimasi model tingkat persaingan diantara negara sumber

impor utama 47

13 Pangsa impor dan elastisitas pengeluaran negara sumber impor 48 14 Hasil perhitungan elastisitas harga sendiri pada sumber impor

garam Indonesia 50

15 Perbandingan harga garam dan pangsa impor garam India tahun

2010-2011 51

16 Hasil perhitungan elastisitas harga silang 52

DAFTAR GAMBAR

1 Keseimbangan konsumen 11

2 Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga 13

3 Kerangka Pemikiran Operasional 24

4 Perkembangan produksi garam Indonesia tahun 2000-2014 (ton) 33 5 Perkembangan kebutuhan garam gomestik tahun 2000-2014 (Ton) 34 6 Perkembangan volume impor terhadap ketersediaan domestik

(persen) 35

7 Perkembangan volume impor garam (HS2501) Indonesia berdasarkan

asal impor tahun 2000-2013 (ton) 36

8 Grafik perkembangan harga garam domestik (harga riil dan harga

dasar) Tahun 2004-2014 (Rp/kg) 39

9 Perkembangan garam nasional tahun 2000-2014 (ton) 40 10 Perkembangan impor garam Indonesia yang berasal dari India dalam

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1

Estimasi regresi data panel 61

2 Uji asumsi klasik pada model 63

3 FEM dengan transformasi 65

4 Uji asumsi pada model terpilih 66

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian sebagai sektor unggulan tidak dapat diragukan seberapa besar kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Beberapa kontribusinya dapat diamati dari penyerapan tenaga kerja, pemasok bahan baku industri, penyedia pangan dan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Peran sektor pertanian khsusnya pada pembentukan PDB nasional menunjukkan kontribusinya yang cenderung menurun. Aviliani (2009) menyatakan bahwa kontribusi sektor pertanian pada kisaran tahun 1998 mencapai 51.6 persen terhadap PDB nasional sedangkan industri pengolahan hanya mencapai 8.5 persen. Kondisi tersebut terjadi pada saat masa pemerintahan Orde Baru (Orba) yang ditunjang oleh berbagai kebijakan yang sangat mendukung peningkatan peran sektor pertanian seperti kebijakan swasembada, bimas, pembentukan koperasi dan lain-lain. Dominansi masa lalu sektor pertanian pada PDB cenderung menurun, kondisi tersebut terjadi sejak tahun 1995, bahkan pada era tahun 2000-an kontribusi sektor pertanian tidak lebih dari 15 dari total PDB Indonesia.

Kondisi penurunan peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dikhawatirkan dapat menganggu ketahanan pangan yang sekaligus akan berimbas pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan, kelaparan, penurunan produktivitas dan sebagainya. Hal ini diduga disebabkan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi sektor pertanian. Pada sisi internal penurunannya disebabkan rendahnya insentif yang diterima oleh petani sehingga ada keengganan peningkatan produksi komoditi pertanian. Pada sisi eksternal sektor pertanian menghadapi ancaman yang berasal dari adanya gelombang globalisasi dan kekuatan pasar bebas. Beberapa ancaman diantaranya adalah semakin terbukanya pasar nasional yang menyebabkan peningkatan persaingan, semakin meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan pada mekanisme pasar dan semakin berperannya selera konsumen (demand driven) dalam menentukan aktivitas di sektor pertanian.

(16)

2

Secara umum garam di Indonesia diproduksi oleh petani garam dan PT Garam. PT Garam merupakan satu-satunya badan usaha milik negara (BUMN) yang membidangi komoditi garam. Perusahaan yang hanya memiliki lahan produksi di Madura tersebut menguasai lahan garam sekitar 5 130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319 000 ton atau sebesar 30 persen dari total produksi garam nasional (Ihsannudin, 2012). Sementara itu, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011 petani garam memiliki lahan yang tersebar di beberapa wilayah seperti Nanggroe Aceh Darussalam (279 ha), Jawa Barat (3 700 ha), Jawa Tengah (6 148 ha), Jawa Timur (5 184 ha), Bali (114 ha), Nusa Tenggara Timur (221 ha), Nusa Tenggara Barat (2 290 ha), Sulawesi Tengah (18 ha) dan Sulawesi Selatan (1 513 ha). Dengan kata lain, total luas lahan yang dimiliki oleh petani mencapai 70 persen dari total luas lahan garam domestik.

Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi garam nasional yang diproduksi dari luasan lahan tersebut selama lima tahun (2007-2011) mengalami fluktuasi. Hal ini salah satunya disebabkan masih sangat tergantungnya kegiatan produksi garam dengan kondisi alam seperti cuaca dan iklim, sehingga produksi garam domestik cenderung berfluktuatif. Kondisi tersebut disebabkan karena seluruh produksi garam di Indonesia berasal dari penguapan air laut di meja garam, sehingga sangat tergantung terhadap iklim dan cuaca. Oleh karena itu, adanya fenomena anomali iklim dimana cuaca dan iklim tidak dapat diprediksi akan sangat mempengaruhi produksi garam nasional. Kondisi tersebut terjadi pada tahun 2010, dimana produksi nasional hanya mencapai sekitar 30 600 ton.

Tabel 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011

Tahun Produksi Garam Nasional (Ton)

2007 1 352 400

Adanya fluktuasi produksi garam domestik mengindikasikan Indonesia belum mampu mempertahankan tingkat produksinya. Bahkan menurut Sucofindo (2012) menyatakan bahwa dari total sekitar 240 juta ton garam yang diproduksi oleh berbagai negara di dunia, Indonesia hanya mampu memproduksi garam rata-rata sebesar 1.2 juta ton per tahun. Dengan kata lain, proporsi produksi garam Indonesia terhadap total produksi garam dunia tidak mencapai 1 persen. Kondisi tersebut berkebalikan dengan Thailand yang hanya memiliki panjang pantai jauh lebih pendek daripada Indonesia mampu memproduksi garam rata-rata sebesar 3 juta ton per tahun. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara maritim dengan panjang pantai terpanjang di dunia.

(17)

3 terutama di sumbang oleh peningkatan garam industri Chlor Alkali Plant (CAP). Proporsi kebutuhan garam industri untuk industri CAP saja pada tahun 2011 mencapai 55 persen atau sebesar 1 600 000 ton garam dari total kebutuhan nasional. Industri tersebut membutuhkan garam dengan tingkat kemurnian yang sangat tinggi yaitu memiliki kandungan NaCl lebih besar dari 97 persen. Sementara produksi garam domestik hanya mampu memproduksi garam dengan kandungan NaCL 80-95 persen. Dengan kata lain, produksi domestik hanya mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi.

Tabel 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 2008-2011

Jenis garam Tahun

2008 2009 2010 2011

Garam konsumsi

Rumah tangga 687 000 700 000 720 000 750 000

Aneka pangan 154 920 160 150 165 800 250 000

Pengasinan ikan 299 000 300 000 315 000 100 000

Garam industri

Industri CAP 1 320 000 1 560 000 1 575 000 1 600 000

Industri non CAP 198 000 200 000 202 750 200 000

Total 2 658 920 2 920 150 2 978 550 2 900 000

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perindustrian 2012

Ketidakseimbangan antara kebutuhan garam dengan kapasitas produksi garam nasional mendorong pemerintah untuk melakukan impor garam. Produksi garam Indonesia seakan tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya untuk garam industri yang hampir 100 persen kebutuhannya dipenuhi oleh garam impor. Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2006-2011 total volume impor garam tercatat mengalami fluktuasi dengan kecenderungan semakin meningkat. Dimana berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 impor garam Indonesia mengalami peningkatan menjadi 2.8 juta ton.

Tabel 3 Perkembangan volume dan nilai impor garam Indonesia tahun 2005-2014

Tahun Volume Impor Garam (Ton) Nilai Impor Garam (Ribu Dollar)

2006 1.552.749.628 50.571.315

2007 1.661.487.589 56.300.047

2008 1.657.548.411 71.448.554

2009 1.701.417.709 91.066.878

2010 2.083.342.568 109.245.226

2011 2.835.870.797 146.490.557

2012 2.223.005.755 107.957.552

2013 1.922.929.710 88.711.470

2014* 1.883.617.405 87.317.454

*

data bulan November dan Desember belum tersedia Sumber: Badan Pusat Statistik (2015)

(18)

4

garam domestik. Namun apabila lebih dicermati, persoalan fenomena besarnya impor garam tidak hanya berkaitan dengan faktor penawaran dan permintaan semata. Hal tersebut dapat diamati dari berbagai data neraca garam nasional pada tahun 2011, dimana kebutuhan garam domestik pada tahun tersebut sebesar 1 800 000 ton untuk garam industri dan 1 100 000 ton untuk garam konsumsi. Produksi domestik yang mencapai 1 113 118 ton pada tahun tersebut seharusnya telah dapat memenuhi kebutuhan garam konsumsi, sehingga kebutuhan impor garam untuk memenuhi kebutuhan domestik hanya didasarkan pada kebutuhan garam industri. Namun, realisasi impor garam Indonesia pada tahun tersebut mencapai 2 835 870 ton, dimana besarnya volume tersebut menunjukkan adanya kelebihan (excess) impor sekitar 1 juta ton. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa faktor produksi garam domestik bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi besarnya volume impor garam Indonesia. Oleh karena itu, orientasi penggunaan dan faktor yang mempengaruhi impor garam masih perlu untuk dipertanyakan.

Rumusan Masalah

Fenomena besarnya impor garam Indonesia juga dipengaruhi dari sisi negara sumber impor. Hal ini disebabkan adanya dinamika hubungan tertentu diantara negara-negara sumber impor. Australia merupakan satu-satunya negara yang memiliki pangsa impor terbesar di pasar garam Indonesia, terutama sejak adanya kampanye Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 1980an (Imran 2006). Hal tersebut dibuktikan dengan data UN Comtrade (2015) yang menunjukkan bahwa pada tahun 1989 Australia telah memiliki pangsa impor garam ke Indonesia sebesar 99.6 persen. Namun, kondisi dominansi Australia terhadap pasar Indonesia mulai menghadapi persaingan dari produsen garam dunia lainnya. Hal ini disebabkan semakin terbukanya pasar Indonesia yang ditandai dengan ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO). Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO menyebabkan pangsa impor garam Australia di pasar Indonesia terus mengalami penurunan dan mulai terdapat beberapa negara lain seperti India dan Selandia Baru yang mulai merebut pangsa impor garam Australia.

Pada tahun 2010, Australia mengalami penurunan pangsa impor hingga menjadi 76.9 persen, sementara pangsa India dan Selandia Baru masing-masing meningkat menjadi 21.8 persen dan 0.05 persen (UN Comtrade 2015). Bahkan pada tahun 2011 pangsa impor Australia turun menjadi 63 persen. Kondisi tersebut diduga disebabkan adanya penurunan tarif bea masuk garam impor tahun 2003 sebesar 5 persen. Untuk menanggapi penurunan pangsa impornya, Australia bersama Selandia Baru melakukan inisiasi pembentukan Free Trade Agreement

(19)

5 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan semakin tumbuhnya pasar garam Indonesia terdapat kompetisi antara negara sumber impor dalam pasar impor garam Indonesia. Dimana persaingan tersebut didominasi hanya oleh 3 negara utama yaitu Australia, India dan Selandia baru dengan rata-rata total pangsa impor garam Indonesia mencapai 98 persen (UN Comtrade 2015). Selain itu, dinamika persaingan tersebut juga mencerminkan bahwa produsen dalam negeri akan menghadapi persaingan dari negara sumber impor lainnya dengan berbagai keunggulannya baik dalam hal harga mupun kualitas. Persaingan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan harga garam lokal turun serta adanya kecenderungan pengutamaan garam impor sebagai upaya pemenuhan kebutuhan garam domestik. Oleh karena itu, adanya kompetisi dalam memperebutkan pangsa impor garam di Indonesia antara negara sumber impor tersebut dapat menjadi sebuah isu penelitian (Solomon 2004).

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa dibalik kepraktisannya, kebijakan impor memiliki dampak jangka panjang yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia dalam bidang pangan khususnya garam. Selain itu, besarnya permintaan garam Indonesia tersebut pada akhirnya menyebabkan ketergantungan terhadap garam impor. Buruknya lagi, apabila ketergantungan tersebut bukan hanya pada besarnya volume garam impor tetapi lebih spesifik pada ketergantungan spesifik terhadap garam suatu negara sumber impor tertentu. Dengan kondisi tersebut, memunculkan sejumlah pertanyaan sebagai permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun pertanyaan penelitian tersebut antara lain: (1) Bagaimana keragaan kebijakan industri pergaraman di Indonesia?; (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia?; (3) Bagaimana tingkat persaingan diantara negara sumber impor di pasar impor garam Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan peneltian ini adalah:

1 Menganalisis keragaan kebijakan industri pergaraman di Indonesia

2 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor garam Indonesia

3 Menganalisis tingkat persaingan diantara negara sumber impor garam utama Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sisi permintaan impor garam Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyususn kebijakan impor garam. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi impor garam yang dilakukan oleh Indonesia dengan pendekatan negara pengekspor sebagai pilihan impor.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

6

Ideal Demand System (AIDS). Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dibedakannya jenis garam yang diimpor oleh Indonesia dengan kode HS 2501. Keterbatasan tersebut didasarkan pada ketidakjelasan kode pos tarif/ HS untuk garam konsumsi dan garam konsumsi pada Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI N0.58/M-DAG/PER/9/2012. Selain itu, akibat adanya keterbatasan data mengenai kebijakan perdagangan negara sumber impor, sehingga yang dianalisis hanya kebijakan negara pengimpor yaitu Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Permintaan Impor

Penelitian mengenai analisis permintaan impor komoditi telah dilakukan oleh para peneliti yang dikhususkan untuk mempelajari pemintaan impor baik di negara maju maupun negara berkembang. Analisis permintaan tersebut umumnya menggunakan pendekatan multi-negara seperti yang dilakukan Bahmani-Oskooee (1998) untuk enam negara berkembang, Gafar (1998) untuk Trinidad and Tobago, Gafer untuk 3 negara Karibian atau lebih spesifik pada satu negara yaitu Malaysia (Mohammad and Tang 2000) dan Indonesia (Maraya 2013; Manik 2012; Hutabalian 2009 dan Ilham 1998). Penelitian mengenai permintaan impor juga relatif penting untuk diteliti mengingat fenomena semakin tingginya permintaan pangan sebagai dampak atas pertumbuhan populasi penduduk khususnya di negara berkembang dan berkurangnya suplai sebagai dampak perubahan iklim. Selain itu, hasil dari penelitian tersebut mengenai keragaan impor memberikan pedoman dan masukan bagi pemerintah untuk dapat menghasilkan kebijakan yang tepat, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kedaulatan pangan suatu negara.

Selain beragam pada penggunaan dilihat dari sisi negara yang dianalisis, penelitian mengenai analisis permintaan impor juga beragam dalam bentuk model estimasi. Beberapa diantaranya dapat berupa model regresi linier berganda seperti yang dilakukan Hapsari (2007), model regresi data panel dengan penggunaan data panel (Maraya 2013 dan Manik 2012) model persamaan simultan (Tseuoa et al 2012) dan model almost ideal demand system (AIDS) (Wan et al, 2010; Boonsaeng et al 2010; Satyanarayana et al 1999; Andayani dan Tilley 1997; dan Wang et al 1998). Masing-masing model tersebut diestimasi menggunakan metode ordinary Least Square (OLS), Two Stage Least Squares (2SLS) atau dan

Three Stage Least Squares (3SLS) dan untuk model AIDS diestimasi menggunakan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR).

(21)

7 yang telah ditunjukkan oleh Granfer and Newbold (dalam Chang et al 2005) yang menyatakan bahwa asumsi stasioner belum terpenuhi sebagai hasil dari metode OLS sehingga cenderung menghasilkan regresi palsu dan inferensia statistik yang tidak reliabel. Sehingga untuk mengakomodasi kelemahan tersebut digunakan

error correction model (ECM) seperti yang telah dilakukan oleh Mah (2000). Maksud dimasukkannya ECM untuk dapat menyesuaikan (adjustment) untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang (Juanda 2012).

Berbagai model serta perkembangannya tersebut pada dasarnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara. Pada umumnya para peneliti yang melakukan analisis impor menggunakan dua variabel utama (variabel bebas) yaitu harga impor dan pendapatan negara (Kalyoncu 2006; Chang 2005 danVegh 1941). Hal ini sejalan dengan pendapat Chani (2011) bahwa permintaan impor merupakan suatu fungsi dari aggregate income dan harga relatif. Sebagian besar studi tersebut menemukan hubungan yang negatif antara volume impor dengan harga impor dan positif dengan income. Selain itu, dampak dari pendapatan riil dan harga relatif dari permintaan impor telah dilakukan oleh Adler (1945). Dengan menggunakan data dari periode 1922 hingga 1937, studi tersebut telah menemukan hubungan positif dan signifikan dari pendapatan nasional sementara variabel harga tidak signifikan.

Selain itu, beragam faktor-faktor secara umum dapat dilihat dari perspektif negara yang secara umum dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi permintaan impor yaitu GDP riil (Manik 2012), jumlah dan luas produksi dalam negeri (Hutabalian 2009; Anggsari 2008) kebijakan perdagangan (Ilham 1998), harga komoditi domestik dan nilai tukar (Anggsari 2008), pendapatan per kapita (Surifanni 2004), jumlah poulasi (Purnamasari 2006), konsumsi domestik (Purnamasari 2006), cadangan devisa (Cahyono 2009). Sementara variabel eksternal berupa harga kooditi impor dan GDP negara pengekspor (Hutabalian 2009). Dari variabel-variabel penjelas tersebut hanya variabel jumlah produksi, harga impor, luas produksi dan kebijakan perdagangan (tarif dan kuota) yang memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan impor. Dengan kata lain apabila terjadi peningkatan misalnya pada kebijakan tarif maka volume impor akan berkurang, begitu juga sebaliknya. Sementara variabel-variabel lainnya menunjukkan hubungan yang positif.

Kajian Mengenai Model Almost Ideal Demand System (AIDS)

(22)

8

berdasarkan model AIDS tersebut maka harga merupakan jembatan yang menghubungkan antara sisi permintaan dan penawaran.

Menurut Deaton (1980) dalam Nugraha (2001) mengajukan beberapa karakteristik spesifik dari model AIDS sebagai berikut, (1) model AIDS merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat membuat agregasi dari konsumen tanpa menerapkan kurva engel yang linier dan sejajar, (4) mempunyai bentuk fungsi yang konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang dimiliki, (5) mudah disetimasi (tidak perlu menggunakan pendugaan non linier), dan (6) dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetri melalui hambatan linier terhadap parameter tetapnya. Pada dasarnya karakteristik-karakteristik tersebut juga terdapat pada model permintaan sebelumnya, namun masing-masing model tersebut tidak ada yang memuat secara keseluruhan karakteristik di atas secara keseluruhan.

Berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh model tersebut menyebabkan model AIDS banyak digunakan dalam mengstimasi fungsi permintaan dan sekaligus banyak dilakukan modifikasi terhadap model dasarnya. Pada dasarnya model AIDS merupakan model non linier yang disebabkan oleh adanya penggunaan indeks harga P pada modelnya. Model AIDS nonlinier tersebut telah digunakan dalam penelitian Hermanto et al (1995), Rahutami (2005), Sari (2014), Aldila (2014). Namun juga terdapat beberapa pengembangan dari model AIDS yaitu melalui pendekatan nilai indeks P dengan mengeksploitasi hubungan kolinieritas antar harga melalui penggunaan Indeks Stone (log P*= ΣkWk log Pk)

seperti yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2002) Pusposari (2012), Hindawati (2014) dan Fujii et al (1985). Dalam perkembangannya model AIDS dapat dimodifikasi menjadi model invers atau kebalikan yang identik dengan model AIDS (Eales dan Unnevhr 1994; Grant and Foster 2005, Dedah et al 2007 dan Grant 2006) serta juga perngembangan model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUADS) dimana model ini digunakan untuk menjaga sifat-sifat positif model AIDS dan memelihara kekonsistenan kurva Engel (ketidaklinieran kurva Engel) dan pengaruh harga relatif dengan menambahkan bentuk kuadrat dari log pendapatan ke dalam model AIDS (Virgantari 2012).

(23)

9 dan Grenger untuk mengakomodasi kelemahan tersebut (Wan et al 2010). Bebebrapa penelitian yang mengaplikasikan model AIDS secara dinamis seperti yang dilakukan oleh dengan penggunaan data time series yaitu Eakins (2003), Hassan (2007) melalui pendekatan multi stage, Zhou, Yu and Herfeld (2014).

Dari beberapa penjelasan di atas mengenai model AIDS tersebut, model AIDS telah banyak digunakan sebagai alat analisis penelitian yang umumnya digunakan untuk mengestimasi parameter penelitian. Hal ini disebabkan kelebihan yang ditawarkan model tersebut, sehingga model tersebut secara umum dapat digunakan untuk menganalisis sistem permintaan baik mikro maupun makro (Henneberry 2007). Penerapan secara mikro salah satunya dapat mengakomodasi keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara simultan (nugraha, 2001). Beberapa penelitian lainnya yang pernah dilakukan oleh Dey (2000), Nugraha (2001), Piumsonbun et al (2003), Kahar (2010), Jabarin (2011), Jiumpanyarach (2011) dan Virgantari (2012). Beberapa penelitian tersebut bertujuan untuk mengestimasi permintaan secara simultan dari berbagai jenis komoditi di tingkat konsumen. Selain itu, parameter yang telah diestimasi dapat digunakan untuk menganalisis elastisitas masing-masing komoditi yang diestimasi. Dimana model AIDS dapat menganalisis elastisitas pengeluaran, elastisitas sendiri dan elastisitas silang. Seperti hasil penelitian Jabarin (2011) yang menunjukkan elastisitas pengeluaran, untuk komoditas tomat, timun dan kentang adalah barang normal, sedangkan untuk elastisitas sendiri bersifat elastis atau responsif terhadap harga.

Pada umumnya penelitian mengenai konsumsi dengan menggunakan model AIDS dapat menggunakan ketiga jenis data yaitu data cross section, time series dan panel. Penelitian yang menggunakan data cross section telah dilakukan oleh Ramdhiani (2008), Teklu and Johnson (1987) dan Wardani (2007). Penggunaan data time series digunakan telah dilakukan oleh Jung and Koo (2005), Rahutami (2005) dan Deaton dan Muelbauer (1980) yang melakukan estimasi 8 kelompok komoditi yaitu makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British dengan data tahun 1954-1974. Sedangkan untuk data panel telah digunakan oleh Nurkhayani (2009) dan Yuliana (2008).

(24)

10

itu beberapa penelitian menggunakan variabel independen kebijakan yang di aproksimasi menggunakan dummy (Wan et al; Sari 2014 dan Rosiana 2014). Dimana hasil dari estimasi parameter variabel tersebut dapat digunakan untuk menghitung beberapa elastisitas seperti elastisitas pengeluaran, sendiri dan silang. Sama halnya pada kasus penggunaannya untuk mengestimasi permintaan konsumen, untuk tujuan perdagangan dapat juga digunakan perbedaan model statis dan dinamis.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Permintaan

Teori permintaan merupakan teori yang menerangkan karakteristik dari permintaan konsumen terhadap suatu komoditas yang sekaligus mencerminkan hubungannya terhadap harganya. Lipsey et al (1995) mendefinisikan permintaan sebagai jumlah komoditi yang diminta oleh konsumen pada harga tertentu. Pada dasarnya permintaan menunjukkan hubungan multivariate yaitu hubungan antara beberapa variabel (harga komoditas, pendapatan, selera, populasi, harga komoditas terkait dan faktor-faktor lainnya) yang mempengaruhi satu variabel (jumlah yang diminta). Hubungan tersebut secara fungsional disebut sebagai fungsi permintaan yang dinyatakan sebagai berikut:

Qx = f ( Px, I, S, Pop, Py, U)

Keterangan:

Qx = jumlah komoditas X yang diminta

I = tingkat pendapatan Px = harga komoditas X

S = selera Pop = populasi

Py = harga komoditas terkait (substitusi atau komplemen)

U = faktor lainnya

(25)

11 sepanjang kurva hanya terjadi akibat perubahan harga, sedangkan pergeseran kurva terjadi akibat adanya perubahan variabel lain selain harga komoditi itu sendiri.

Teori Utilitas

Pada dasarnya permintaan timbul karena konsumen memerlukan manfaat dari komoditi yang dibeli. Manfaat tersebut secara ekonomi disebut sebagai utilitas (utility). Dengan kata lain, permintaan suatu komoditas merupakan penurunan dari utilitas yang diberikan oleh komoditi tersebut yang secara grafis ditunjukkan oleh kurva indiferen. Kurva indiferen merupakan kurva yang menghubungkan keseimbangan konsumsi dua jenis barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang sama. Kurva indiferen menggambarkan tingkat kepuasan yang sama sepanjang kurva tersebut, menyebabkan kurva indiferen tidak dapat saling berpotongan satu sama lain. Selain itu, semakin jauh dari titik nol mencerminkan utilitas konsumen tersebut semakin tinggi. Konsumen memiliki keinginan untuk memaksimumkan utilitasnya namun dengan cara yang rasional. Rasionalitas konsumen dicerminkan dengan batasan anggaran (garis anggaran) yang dimiliki oleh masing-masing konsumen. Seacara grafis kedua konsep tersebut ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 1 Keseimbangan konsumen

Sumber: Varian 2010

Gambar 1 menunjukkan dua jenis kurva yaitu kurva indiferen dan garis anggaran dimana keduanya memiliki slope yang negatif. Kurva indiferen menunjukkan kombinasi dari komoditi X dan Y yang menghasilkan kepuasan yang sama bagi konsumen. Dengan kata lain, masing-masing kurva indiferen di atas merupakan tingkat kepuasan konsumen, dimana semakin jauh dari titik asal maka konsumen tersebut memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh konsumen ditunjukkan oleh garis anggaran. Seorang konsumen berada dalam keseimbangan atau mencapai utilitas maksimum apabila kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran (pada titik A).

A

0 Komoditi X

Garis anggaran

Kurvaa indiferen Keseimbangan Konsumen

(26)

12

Permintaan Marshallian dan Hicksian

Secara umum teori ekonomi menyatakan bahwa permintaan konsumen dibedakan menjadi dua jenis yaitu permintaan marshallian dan Hicksian. Permintaan Hicksian atau disebut juga sebagai compensated demand merupakan permitaan yang hanya mengakomodasi efek substitusi akibat dari perubahan harga. Permintaan Marshallian atau uncompensated demand merupakan permintaan yang mengakomodasi efek substitusi dan efek pendapatan akibat perubahan harga. Kedua konsep permintaan tersebut dapat dijelaskan oleh dua mekanisme sebagai berikut:

1. Mekanisme perubahan harga terhadap kurva indiferen dan garis anggaran Menurut Varian (2010) pengaruh perubahan harga terhadap keseimbangan kepuasan konsumen secara konseptual dapat dianalisis dengan memisahkan efek pendapatan dan substitusi. Pengaruh perubahan harga terhadap jumlah yang diminta secara grafis digambarkan pada gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa konsumen berada dalam titik keseimbangan (titik A), dimana kurva indiferen bersinggungan dengan garis anggaran. Apabila terdapat penurunan harga x, maka hal tersebut membuat daya beli meningkat dan sekaligus menyebabkan garis anggaran bergerser serta menghasilkan keseimbangan konsumen baru yaitu pada titik B. Kondisi perubahan keseimbangan tersebut merupakan efek total yang terjadi akibat perubahan harga. Pengaruh total tersebut dapat dipecah menjadi dua efek yaitu dari A ke C merupakan efek substitusi dan dari C ke B merupakan efek pendapatan. 2. Teori dualitas

(27)

13

Gambar 2 Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga

Sumber: Varian 2010

Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional diartikan sebagai transaksi dagang antara subjek ekonomi negara yang satu dengan subjek negara yang lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara, perusahaan swasta dan perusahaan negara ataupun pemerintah yang dapat digambarkan dari neraca perdagangan. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara (Salvatore 1998). Hal ini disebabkan dengan adanya perdagangan internasional, perekonomian akan meningkat dan tercipta hubungan atau kerjasama yang saling menguntungkan diantara negara yang melakukan perdagangan. Pada hakikatnya perdagangan internasional merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Pada umumnya suatu negara melakukan perdagangan didasarkan pada beberapa alasan seperti hasrat ingin menguasai, kebijakan pemerintah dan perbedaan sumberdaya yang dimiliki.

Faktor yang pertama adalah hasrat ingin mengusai tersebut diartikan sebagai keinginan suatu negara untuk menciptakan negaranya menjadi negara yang kuat tanpa menghiraukan mitra dagangnya. Konsep ini merupakan konsep perdagangan perdagangan pra klasik yang disebut sebagai teori merkantilisme. Pembentukan negara yang kuat diperoleh ketika suatu negara memiliki surplus neraca perdagangan. Oleh karena itu, kegiatan ekspor-impor diletakkan sebagai lokomotif utama yang dipacu oleh suatu negara. Dimana keuntungan negara yang kuat dapat secara langsung merugikan negara lain (zero sum game). Selain itu, cara untuk mendapatkan keunggulan tersebut umumnya melalui penjajahan. Secara umum dalam sektor perdagangan luar negeri, kebijakan merkantilis berpusat pada dua ide pokok (Salvatore 1998), yaitu:

Pemupukan logam mulia. Logam mulia dianggap identik dengan kemakmuran. Pemilikan logam mulia berarti kemakmuran dan juga kekuasaan.

A

C B Komoditi Y Garis anggaran

Komoditi X Kurvaa indiferen

(28)

14

Merkantilisme juga menganjurkan akumulasi emas, karena emas dianggap sebagai kekayaan negara yang sebenarnya. Pada tingkat analisa yang lebih canggih, ada alsan-alasan yang lebih rasional. Dengan emas, raja dapat melengkapi serdadu-serdadu, membeli persediaan-persediaan dan mempertahankan angkatan laut yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memperoleh koloni-koloni. Lebih banyak emas berarti lebih banyak mata uang emas dalam sirkulasi dan lebih besar aktivitas perekonomian. Untuk mengakumulasikan emas, negara harus mendorong ekspornya dan membatasi/melarang impor, dengan demikian merangsang produksi nasional dan memperluas lapangan kerja.

Mempertahankan kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Bagi negara-negara yang tidak memiliki tambang-tambang logam mulia sendiri, sumber logam mulia adalah kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Karena itu suatu negara wajib berusaha untuk memperoleh suatu neraca perdagangan yang menguntungkan (favourable balance of trade). Untuk memperoleh neraca perdagangan yang menguntungkan, ekspor harus didorong, sedangkan impor harus dibatasi. Ekspor logam mulia harus dilarang, karena tujuan utama perdagangan luar negeri ini adalah untuk memperoleh tambahan logam mulia.

Faktor kedua menurut Markussen (1995) adalah kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah dapat mendorong atau bahkan dapat menghambat perdagangan internasional. Salah satu instrumen yang umumnya digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan hambatan perdagangan yang dapat secara langsung dapat menghambat perdagangan internasional. Kebijakan pajak dan subsidi yang diterapkan oleh pemerintah kepada komoditas atau produk ekspor dapat mendorong adanya perdagangan internasional khususnya ekspor. Kebijakan pajak konsumsi yang dikenakan ke konsumen dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi domestik yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ekspor. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan tersebut dapat menimbulkan efek distorsi pada kesejahteraan masyarakat yang akhirnya akan menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat.

Faktor yang terakhir adalah adanya perbedaan dalam sumberdaya baik berupa sumberdaya manusia, alam maupun teknologi. Perbedaan sumberdaya dapat mendorong perdagangan yang dijelaskan oleh konsep keunggulan absolut, komparatif dan disempurnakan oleh teori Heckscher-Ohlin. Dimana konsep-konsep tersebut didasarkan pada konsep-konsep dasar keunggulan absolut yang dikembangkan oleh Adam Smith. Adam Smith mengemukakan bahwa suatu negara memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu produk apabila memiliki keunggulan dalam hal sumberdaya (input) dibandingkan dengan negara lain dan negara tersebut melakukan spesialisasi atas produk tersebut. Namun teori ini digantikan akibat adanya asumsi yang menyatakan bahwa suatu negara hanya akan unggul akibat adanya faktor input pada negara tersebut. Maka muncullah konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo yang menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan perdagangan internasional meskipun negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut untuk memproduksi produk tersebut. Dalam hal ini, suatu negara akan mengekspor komoditas atau produk yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor produk yang memiliki kerugian komparatif terkecil dibandingkan dengan negara lain.

(29)

15 perbedaan sumberdaya tersebut diasumsikan sebagai perbedaan faktor endowment yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Onkvisit (2007) faktor endowment adalah keunggulan dari faktor produksi yang dimiliki suatu negara adalah pemberian alam. Perdagangan menurut teori ini menekankan pada perbedaan faktor endowment antar negara, dimana perbedaan tersebut akan mencerminkan perbedaan biaya komparatif memproduksi suatu produk dan menjadi keunggulan komparatif suatu negara. Perbedaan kelimpahan tersebut secara umum dikelompokkan menjadi 2 yaitu antara modal dan tenaga kerja yang dimiliki suatu negara. Suatu negara yang memiliki perbedaan kelimpahan faktor endowment akan mempunyai keunggulan relatif atau komparatif pada produk yang diproduksi menggunakan input yang melimpah tersebut. Negara tersebut akan mengekspor komoditi yang dalam produksinya memerlukan penggunaan intensif dari faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut dan mengimpor komoditi dimana proses produksinya memerlukan penggunaan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Diharapkan negara-negara tersebut dapat melakukan spesialisasi yang didasarkan pada keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing negara.

Permintaan Impor

Kegiatan impor merupakan kegiatan pembelian sekaligus pemasukan produk yang dilakukan umumnya oleh sebuah pihak (importir dalam negeri) dari luar negeri ke dalam suatu negara. Pada dasarnya alasan utama dilakukannya impor oleh suatu negara akibat adanya kesenjangan antara kebutuhan dan produksi dalam negeri akan produk tertentu. Dimana cenderung produksi dalam negeri tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri. Namun seiring dengan semakin terintegrasinya pasar suatu negara telah memicu perkembangan latar belakang impor dipilih sebagai alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa diantaranya adalah harga impor yang lebih kompetitif, kualitas lebih baik hingga peraturan yang mengikat sebagai konsekuensi suatu negara bergabung membentuk suatu integrasi ekonomi.

Berbagai alasan tersebut dapat dipastikan bahwa permintaan impor suatu komoditi pada negara tertentu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi impor komoditi oleh suatu negara antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara matematik, fungsi permintaan impor dapat digambarkan sebagai berikut (Purwanti dalam Purnamasari, 2006):

Mt = f(Ct , Qt, St-1)

Dimana:

Mt : jumlah impor pada tahun ke-t

(30)

16

Selain faktor-faktor domestik di atas, fungsi impor suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchange rate (ERt) dan harga impor (Pigt). Dengan demikian, secara teoritis fungsi impor Komoditas pertanian suatu negara dapat ditulis:

Mt = f (Qt, Ct, St-1, ERt, Pigt)

Produk Domestik Bruto (PDB)

Mankiw (2007) menyatakan bahwa produk domestik bruto dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara. Kinerja perekonomian tersebut umumnya dapat dilihat melalui dua pendekatan yaitu pada satu sisi dilihat sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam perekonomian dan sisi lainnya dipandang sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian. Dimana jumlah keduanya benar-benar sama untuk perekonomian secara keseluruhan. Pracoyo (2005) menambahkan bahwa pada prinsipnya PDB merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi, atau jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah (negara). Para ahli ekonomi membagi PDB menjadi tiga yaitu (Mankiw 2007):

1. PDB Nominal

PDB nominal merupakan PDB yang diukur berdasarkan harga berlaku yang menggambarkan nilai barang dan jasa akhir yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Ukuran PDB nominal tidak secara akurat mencerminkan sejauh mana perekonomian dapat memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini diakibatkan ukuran ini tidak memeasukkan adanya inflasi yang terjadi (peningkatan harga).

2. PDB Riil

PDB riil dapat dikatakan sebagai ukuran ekonomi yang lebih baik untuk menghitung output barang dan jasa perekonomian dibandingkan dengan PDB nominal. Hal ini disebabkan, ukuran ini telah mengakomodasi kelemahan akibat perubahan harga. Dengan kata lain, PDB riil diukur dengan menggunakan data konstan.

3. PDB Deflator

PDB deflator disebut juga sebagai deflator harga implisit untuk PDB yang didefinisikan sebagai rasio antara PDB nominal terhadap PDB riil. PDB deflator mencerminkan apa yang sedang terjadi pada seluruh tingkat harga dalam perekonomian.

(31)

17

Nilai Tukar

Menurut Mankiw (2006) kurs (exchange rate) antara dua negara merupakan tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Lipsey (1995) menambahkan bahwa kurs merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam bentuk mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual. Selain itu, secara lebih sederhana kurs merupakan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan untuk ditukarkan dengan satu unit mata uang asing. Berdasarkan jenisnya kurs dibedakan menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal merupakan harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain.

Oleh karena itu, kurs merupakan faktor penentu yang mempengaruhi perdagangan internasional. Dengan kata lain, kurs akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Nilai kurs secara langsung (positif) mempengaruhi besarnya volume perdagangan khsusnya impor. Apabila kurs tinggi maka harga barang/ jasa dalam negeri seolah-olah relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga produk impor, sehingga masyarakat domestik memiliki keinginan untu mengkonsumsi barang impor. Sebaliknya apabila kurs rendah maka barang-barang impor luar negeri seolah-olah relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang/jasa dalam negeri, sehingga masyarakat domestik lebih memilih untuk mengkonsumsi produk/ jasa dalam negeri.

Produksi Domestik

Produksi merupakan aktivitas ekonomi yang mengkobinasikan beberapa input untuk menghasilkan suatu produk atau jasa yang bernilai dimata konsumen. Pada dasarnya produksi suatu komoditi dalam suatu negara diduga dapat mempengaruhi permintaan impor produk tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa umumnya suatu negara mengimpor komoditi akibat adanya excess demand, dimana kelebihan permintaan tersebut akibat adanya kesenjangan antara kebutuhan yang lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu, dapat disumpulkan bahwa faktor produksi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan impor suatu produk. Dengan kata lain, adanya peningkatan produksi domestik akan menyebabkan penurunan permintaan impor produk tersebut dan juga sebaliknya.

Harga Domestik dan Harga Impor

(32)

18

Harga impor bersama dengan harga domestik merupakan salah satu komponen faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi impor pada suatu negara. Perubahan harga impor akan berdampak pada permintaan produk impor suatu negara. Hal ini karena keterkaitan produk yang akan diperdagangkan atau diimpor suatu negara. Dalam menganalisis perdagangan internasional khsusunya permintaan impor bukan hanya besarnya salah satu harga yang mempengaruhi permintaan impor, tetapi juga perlu diperhatikan mengenai hubungan antara harga domestik dan harga impor. Apabila harga impor lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik maka permintaan impor akan semakin tinggi (positif). Sebaliknya tingginya harga impor akan secara langsung mengurangi permintaan impor suatu produk.

Pembentukan Harga Dunia

Harga terbentuk karena adanya perpotongan antara kurva penawaran-permintaan antara kedua negara yang terlibat dalam perdagangan, sehingga harga relatif menggambarkan kuantitas impor yang diinginkan sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan. Oleh sebab itu, harga komoditi yang diperdagangkan di dunia (secara internasional) juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi permintaan impor, penawaran ekspor, atau karena pengaruh kedua-duanya secara bersama-sama. Selain itu, harga komoditi di pasar dunia juga dipengaruhi oleh harga tahun sebelumnya. Persamaan harga komoditi di pasar internasional (dunia) dapat ditulis sebagai berikut:

PWt = f(XWt, MWt, PWt-1)

Dimana: PWt=Harga komoditi tertentu di pasar dunia pada tahun ke t

XWt,=Jumlah ekspor negara pengekspor komoditi tertentu tahun ke t

MWt = Jumlah impor negara pengekspor komoditi tertentu tahun ke t

PWt-1= Harga komoditi tertentu di pasar dunia pada tahun ke t-1 Data Panel

Data panel merupakan data sebagai hasil dari penggabungan data deret waktu (time series) dan data kerat lintang (cross section) atau sebagai studi terhadap suatu unit objek/ individu.yang sama dari waktu ke waktu. Penggunaan data panel umumnya dilakukan untuk mengakomodasi kekurangan atau keterbatasan dari kedua data tersebut apabila digunakan secara terpisah. Penggunaan data cross section saja yang diamati pada satu titik waktu tidak dapat menangkap suatu perkembangan misalnya ekonomi suatu wilayah. Sebaliknya, apabila hanya menggunakan data time series mempunyai kelemahan tersendiri bahwa peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu tertentu tersebut yaitu menimbulkan bias (Firdaus 2011). Oleh karena itu, dengan menggunakan data panel akan diperoleh hasil estimasi yang lebih baik. Menurut Baltagi dalam Gujarati (2013) terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan data panel:

1. Mampu mengatasi heterogenitas suatu seubjek

2. Mampu memberikan lebih banyak informasi, sedikit kolinieritas antarvariabel, lebih banyak degree of freedom dan lebih efisien.

(33)

19 4. Data panel paling baik untuk mendeteksi dan mengukur dampak yang secara sederhana tidak bisa dilihat pada data cross section murni atau time series murni.

5. Data panel memudahkan untuk mempelajari model perilaku yang rumit 6. Mampu meminimumkan bias akibat keterbatasan atau kurangnya data.

Sama halnya dengan data cross section atau time series, data panel juga dapat menggunakan pendekatan regresi dengan yang disebut model regresi data panel. Dalam melakukan analisis regresi menggunakan data panel terdapat tiga kemungkinan model yang akan terbentuk: Model OLS pooled, model fixed effects

(FEM), dan model random effect (REM). Namun sebelum membahas mengenai beberapa model tersebut perlu untuk memahami model umum regresi panel. Model umum regresi data panel adalah sebagai berikut (Juanda 2012):

Yit = α + βXit + µit...(1)

Dimana:

i = 1, 2,. . ., N menunjukkan data cross section (dimensi subjek) t = 1, 2, . . ., N menunjukkan dimensi waktu

α =koefisien intersep yang merupakan skalar

β =koefisien slope dengan dimensi K x 1, dimana K adalah banyaknya peubah bebas

Yit =Peubah tak bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t

Xit: =Peubah bebas untuk unit individu ke-i dan unit waktu ke-t

Umumnya dalam mengaplikasikan data panel digunakan komponen sisaan satu arah (one way error component model) untuk ganguan (disturbance) dengan

µit = µi + ʋit ...(2)

dimana µi menunjukkan efek spesifik individu yang tidak terobservasi

(unobservable) dan ʋit menunjukkan faktor gangguan (disturbance) sisanya. Model Koefisien Konstan (Pooled Least Square/PLS)

Model ini merupkan model regresi data panel yang paling sederhana. Dimana dalam analisis ini data time series dan cross section digabungkan menjadi suatu kesatuan pengamatan dan mengestimasi model tersebut dengan metode

(34)

20

Fixed Effect Model (FEM)

Keunikan atau heterogenitas antarsubjek baru dapat diakomodasi pada model Fixed Effect. Hal ini sejalan dengan Gujarati (2013) dan Juanda (2012) yang menyatakan bahwa heterogenitas antar subjek tersebut dicerminkan dari nilai intersep yang unik dari masing-masing subjek. Dimana dalam membedakan masing-masing intersep tersebut digunakan peubah dummy, sehingga model ini juga dikenal sebagai model Least Square Dummy Variable (LSDV). Oleh karena dalam model ini menggunakan variabel dummy sebanyak unit cross section

dikurangi satu (n-1) maka hal ini menyebabkan berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) sehingga akan mengurangi efisiensi parameter. Bentuk Model

Fixed Effect sebagai berikut:

Yit = β0i + β1X1it+ β2X2it + µit...(3)

i = 1,2 ,3,....,N (sebanyak jumlah unit cross section) t = 1, 2, 3,..., N (sebanyak jumlah unit time series) Random Effect Model (REM)

Model Random Effect muncul salah satunya disebabkan oleh tanggapan dari Kemnta dalam (Gujarati 2013) yang menyatakan bahwa penggunaan variabel dummy dan konsekuensinya dengan berkurangnya degree of freedom benar-benar memiliki dampak yang berarti salah satunya adalah menurunnya tingkat efisiensi dari parameter yang akan diestimasi. Sehingga hal tersebut memunculkan suatu saran untuk mewakili keterbatasan pengetahuan bukan dengan dummy tetapi dengan menyatakannya dalam bentuk galat. Dimana Juanda (2012) menyatakan bahwa β0i pada persamaan (3) tidak lagi dianggap konstan, namun dianggap

sebagai peubah random dengan suatu nilai rata-rata dari β1 (tanpa subscript i).

Nilai masing-masing individu dapat dinyatakan sebagai:

β0i= β0 + ℮i ...(4)

dimana ℮i adalah sisaan acak (error term) dengan rata = 0 dan ragam = �2. Dengan

mensubtitusikan persamaan (4) ke persamaan (3) maka menjadi:

Yit = β0 + β1X1it+ β2X2it + ℮it + µit...(5)

= β0 + β1X1it+ β2X2it + wit

Dimana

wit = ℮it + µit ...(6)

error gabungan wit terdiri atas dua komponen: ℮it yaitu komponen error yang cross section atau spesifik individu dan µit yaitu komponen error gabungan antara time series dan cross section.

Model Almost Ideal Demand System

(35)

21 pendapatan (yang didekati dari pengeluaran) dengan tingkat konsumsi, dengan fungsi awal sebagai berikut:

Wi =αi + βi log x ...(1)

Selain itu, Model ini merupakan pendekatan orde pertama dari suatu fungsi permintaan dengan titik awalnya adalah sebuah kelas preferensi individu yang spesifik. Dimana dimungkinkan pengagregasian yang tepat dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan pasar yang merupakan hasil pengambilan keputusan konsumen secara rasional. Kelas preferensi tersebut dikenal sebagai PIGLOG Class yang ditunjukan melalui fungsi biaya atau pengeluaran, yang menentukan pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas khusus pada tingkat harga tertentu. Dengan kata lain, model tersebut didasarkan pada fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimumkan utilitasnya pada tingkat harga tertentu. Kita dapat menotasikan fungsi tersebut c(u,p) untuk u adalah utilitas dan p adalah vektor harga, dan mendefinisikan PIGLOG Class sebagai berikut:

Log c (u,p) = (1-u) log [a(p)] + u log [b(p)]...(2) Dengan syarat bahwa u berada di antara 0 (subsisten) dan 1 (kemewahan) sehingga fungsi linier positif homogen dari a(p) dan b(p) dapat dikatakan sebagai biaya subsisten dan kemewahan. Selanjutnya digunakan bentuk fungsi yang khusus dari fungsi log a(p) dan log b(p). Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan (2)tersebut dapat ditulis :

Log c (u, p) = α0 + αj log pj +

1

2 yij * log pilogpj + uβ0 Ԥj pj

β ....(3)

Dimana α, βdan y adalah parameter

Agar fungsi biaya yang dihasilkan menjadi bentuk fungsi yang fleksibel, fungsi tersebut harus memiliki sejumlah parameter yang mencukupi, sehingga pada semabarang titik, turunan ∂c/∂p, ∂c/∂u, ∂2c/∂pipj, ∂2c/∂u2 dapat dianggap sama dengan fungsi-fungsi biaya yang berubah. Dengan kata lain dilakukan derivasi parsial terhadap harga

�ln c (u, p) / �ln pi = qi ...(4)

Dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan pi /

c(u,p) maka pi qi / c(u,p) = wi, sehingga persamaan (3) menghasilkan fungsi

permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi:

Wi = αi + yij log pj + βiuβ0 Ԥj pj β ...(5)

(36)

22

Log P = αi + yij log pj + βilog ( )... (6)

keterangan: x/p adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P. Dimana dengan bentuk dungsional sebagai berikut:

log P = α0+ αj log pi +

1

2 yij log pi log pj ...(7)

Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks :

Log P = i log pi ...(8)

Dengan demikian persamaan (6) menjadi model Linier Approximation AIDS:

Log P = αi + yij log pj + βilog x - βi i log pi ...(9)

Dimana secara umum model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan. Tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model agar asumsi maksimasi kepuasan dapat terpenuhi adalah :

1. Aditivitas/ Adding Up

Suatu syarat yang menunjukkan bahwa total pengeluaran pada fungsi permintaan sama dengan total pendapatan. Secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut:

ai= 1, Yij=0, βi= 0 ...(10)

Dimana pi adalah harga komoditi ke-i, qi adalah kuantitas komoditi ke-i dan

I adalah pendapatan. 2. Homogenitas

Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan permintaan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut:

Yij = 0 ...(11)

Keterangan :

�ij = elastisitas harga silang komoditas ke–i terhadap harga komoditas ke–j

℮iI = elastisitas pendapatan komoditas ke–i

3. Simetris

Yij = Yji ...(12)

(37)

23 kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum.

Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini didasarkan pada fakta bahwa selama manusia membutuhkan pangan maka kebutuhan garam akan terus meningkat. Garam merupakan salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai mineral esensial yang sangat dibutuhkan tubuh sehingga kebutuhan garam tidak dapat disubtitusi dan pada akhirnya meningkat positif sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri yang membutuhkan garam.

Peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan produksi garam domestik. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan atau gap antara kebutuhan dan produksi garam domestik. Produksi garam domestik hanya mampu memasok kebutuhan garam konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan impor garam untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebijakan impor garam tersebut pada awalnya telah berlangsung cukup lama dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Namun fakta yang mengemuka adalah adanya ketidaksinkronan antara volume selisih antara kebutuhan dan produksi garam domestik dengan volume garam yang di impor oleh Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor produksi nasional bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi permintaan impor Indonesia. Dengan kata lain, masih banyak faktor lain yang dapat menjelaskan besarnya volume permintaan impor garam Indonesia. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan garam impor disintesis dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu GDP Indonesia, GDP riil Negara sumber impor, harga impor, produksi garam domestik dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara sumber impor.

Fakta lain menunjukkan bahwa semakin tumbuhnya pasar garam Indonesia akibat peningkatan kebutuhan juga mencerminkan adanya kompetisi diantara negara eksportir garam. Permintaan impor garam Indonesia sebagian besar didominasi oleh 3 negara pengekspor utama dengan share ekspor lebih dari 95 persen. Dimana ketiga negara tersebut secara stabil mengekspor garamnya ke Indonesia sejak tahun 1997. Sehingga kedua hal tersebut menimbulkan suatu pertanyaan penelitian yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini yaitu mengapa Indonesia tidak mampu berdaulat akan garam?

(38)

24

Analisis tingkat persaingan diantara negara sumber impor garam utama

1. Harga garam impor (Australia, India dan Selandia Baru)

2. Pangsa impor

3. Total pengeluaran impor garam Indonesia Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan impor garam Indonesia 1. Produksi garam domestik 2. GDP riil Indonesia

3. GDP riil negara sumber impor 4. Harga garam impor

5. Nilai tukar riil rupiah terhadap mata uag negara sumber impor

Keragaan kebijakan impor garam Indonesia

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional

4 METODE PENELITIAN

Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul Analisis Permintaan Impor Garam Indonesia ini sebagian besar menggunakan pendekatan ekonometri, dimana pendekatan ekonometri digunakan untuk menangkap fenomena impor garam kedalam sebuah model ekonometri. Pendekatan tersebut dimungkinkan dengan melakukan analisis

Mengapa Indonesia sebagai negara maritim dengan panjang pantai terpanjang keempat did unia belum mampu berdaular akan garam atau masih mengandalkan impor garam?

Permasalahan Sektor Pergaraman Indonesia 1. Kebutuhan garam akan terus meningkat

2. Produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri

3. Impor garam telah menjadi bagian penting dari pemenuhan kebutuhan garam Indonesia 4. Swasembada garam konsumsi tahun 2012, Indonesia tetap mengimpor

5. Kompetisi diantara negara eksportir menunjukkan pola pengeluaran impor Indonesia

Keragaan permintaan impor garam Indonesia

Gambar

Tabel 1 Perkembangan produksi garam nasional tahun 2007-2011
Tabel 2 Perkembangan kebutuhan garam nasional (dalam ton) tahun 2008-2011
Gambar 2 Efek substitusi dan efek pendapatan terhadap perubahan harga
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari uraian latar belakang serta perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Diduga,

Untuk mengetahui dan menentukan apakah implementasi Islamic work ethic dan komitmen organisasional memiliki perbedaan ditinjau dari umur, gender, status perkawinan, jumlah

Jenis kelamin adalah perbedaan fisik dan karakter antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Secara tegas jenis kelamin manusia dibedakan menjadi dua, yaitu laki-laki

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengecualian Jaminan Kesehatan Bpjs Bagi Penderita Gangguan Kesehatan Akibat Wabah Penyakit Maupun Bencana Alam: Suatu Kajian Berdasarkan

pembelajaran peneliti menyadari masih kekurangan pada siklus II yang harus diperbaiki oleh peneliti mencakup perbaikan pada tahap praberbicara, saat berbicara,

Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya kewajiban sebagai direksi dengan penuh tanggungjawab (fiduciary duty) oleh seorang direksi, yang

Terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik dengan luaran klinis pada pasien rawat inap balita penderita pneumonia di RSUD Kota Bogor Tahun 2017.. Kata kunci : metode

Dalam mekanisme legislasi di Indonesia Presiden selaku lembaga Eksekutif dan Dewan Penvakilan Rakyat selaku lembaga legislatif yang benvenang untuk merumuskan