ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
(Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA
H14101011
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
M. FAHREZA. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A)
Sejak repelita I pemerintah menaruh perhatian khusus pada pengembangan industri pangan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat, terjangkau secara fisik dan ekonomis setiap saat untuk meningkatkan status gizinya, guna meningkatkan kualitas sumber daya dan taraf hidupnya. Untuk memenuhi sasaran tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain pengadaan bahan pangan pokok (program ketahanan pangan), termasuk tepung terigu.
Penyediaan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok adalah untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan pasokan beras di pasar dunia sangat terbatas, sementara itu pasokan tepung terigu dan gandum di pasar dunia cukup berlimpah bahkan bantuan luar negeri pun diberikan dalam bentuk tepung terigu atau gandum.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor harga tepung terigu, harga barang substitusi tepung terigu, dan perubahan pendapatan per kapita masyarakat terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data tahunan dari tahun 1982 sampai tahun 2003. Sumber data berasal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data diperoleh juga dari referensi studi kepustakaan yang diperoleh dari buku, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, APTINDO, perpustakaan LSI IPB, dan internet. Data-data yang digunakan adalah data jumlah permintaan tepung terigu (Q), harga tepung terigu (PT), harga beras (PB) dan pendapatan masyarakat perkapita (Y). Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software e-views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Squares (OLS).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi permintaan tepung terigu adalah pendapatan per kapita, harga tepung terigu, dan dummy krisis ekonomi, karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Sedangkan variabel harga tepung beras secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menjelaskan bahwa tepung beras bukan merupakan barang substitusi bagi tepung terigu.
Variabel PT yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.05 menunjukkan bahwa PT berpengaruh negatif, sehingga sesuai hipotesis bahwa PT bersifat inelastis. Variabel PB yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.03 mempunyai hubungan negatif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan hipotesis yaitu tepung terigu dan beras bersubsidi. Hasil estimasi yang diperoleh koefisien elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan tepung beras dan tepung terigu tidak bersifat substitusi. Jadi tepung beras bukan merupakan alternatif bahan substitusi tepung terigu untuk menekan laju impor gandum, sehingga perlu dicari alternatif bahan substitusi lain untuk menekan laju impor gandum. Variabel Y yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.68 menunjukkan bahwa pendapatan mempunyai hubungan positif. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tepung terigu adalah barang normal.
Variabel dummy krisis berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0.36 menunjukkan bahwa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menurunkan permintaan akan tepung terigu di Indonesia, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi akan berdampak negatif terhadap permintaan tepung terigu. Hal ini disebabkan situasi politik dan makroekonomi yang semakin tidak menentu setelah terjadinya krisis berakibat pada konsumsi.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
(Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA
H 14101011
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : M. FAHREZA
Nomor Registrasi Pokok : H14101011 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (Periode 1982-2003)
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Findi A, S.E, M.E. NIP. IPB 030507
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama M. FAHREZA lahir pada tanggal 27 Juni 1983 di Bireun, yang tepatnya berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penulis lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Marzuki dan Nurhayati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 5 Bireun pada tahun 1995 dan melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bireun dan lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Bireun dan lulus pada tahun 2001.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia (Periode 1982-2003)”. Industri tepung terigu merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena tepung terigu merupakan komoditi pangan yang semakin penting di Indonesia, sehingga untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Bapak Muhammad Findi A, S.E., M.E. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Bapak Dr. M. P. Hutagaol selaku penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Fifi D. Thamrin, M.Si. selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Marzuki H Budiman dan Ibu Nurhayati serta kakak-kakak dan adik-adik penulis yang telah memberikan dorongan dan doa untuk kesehatan, kelancaran dan keselamatan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
5. Esi Dewi Tirtayasi, SE yang telah memberikan motivasi dan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Le Granson T.L., SE. sebagai teman curhat terutama dalam pengolahan data skripsi ini.
8. Teman-teman IE’38 dan IE’39 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kelemahan serta kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, namun demikian semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Umum Ekonomi Industri ... 9
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 10
2.2.1. Teori Permintaan ... 10
2.2.2. Elastisitas ... 17
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 24
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 27
2.5. Hipotesis Penelitian ... 29
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data ... 30
3.2. Metode Analisis Data ... 30
3.3. Model Dasar Penelitian ... 31
3.4. Uji Ekonometrika ... 31
3.5. Uji Statistik Model ... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Industri Tepung Terigu di Indonesia ... 37
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
(Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA
H14101011
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
M. FAHREZA. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A)
Sejak repelita I pemerintah menaruh perhatian khusus pada pengembangan industri pangan. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat, terjangkau secara fisik dan ekonomis setiap saat untuk meningkatkan status gizinya, guna meningkatkan kualitas sumber daya dan taraf hidupnya. Untuk memenuhi sasaran tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain pengadaan bahan pangan pokok (program ketahanan pangan), termasuk tepung terigu.
Penyediaan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok adalah untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan pasokan beras di pasar dunia sangat terbatas, sementara itu pasokan tepung terigu dan gandum di pasar dunia cukup berlimpah bahkan bantuan luar negeri pun diberikan dalam bentuk tepung terigu atau gandum.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor harga tepung terigu, harga barang substitusi tepung terigu, dan perubahan pendapatan per kapita masyarakat terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data tahunan dari tahun 1982 sampai tahun 2003. Sumber data berasal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data diperoleh juga dari referensi studi kepustakaan yang diperoleh dari buku, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, APTINDO, perpustakaan LSI IPB, dan internet. Data-data yang digunakan adalah data jumlah permintaan tepung terigu (Q), harga tepung terigu (PT), harga beras (PB) dan pendapatan masyarakat perkapita (Y). Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan bantuan software e-views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least Squares (OLS).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi permintaan tepung terigu adalah pendapatan per kapita, harga tepung terigu, dan dummy krisis ekonomi, karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Sedangkan variabel harga tepung beras secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menjelaskan bahwa tepung beras bukan merupakan barang substitusi bagi tepung terigu.
Variabel PT yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.05 menunjukkan bahwa PT berpengaruh negatif, sehingga sesuai hipotesis bahwa PT bersifat inelastis. Variabel PB yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar -0.03 mempunyai hubungan negatif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan hipotesis yaitu tepung terigu dan beras bersubsidi. Hasil estimasi yang diperoleh koefisien elastisitas silang menunjukkan bahwa hubungan tepung beras dan tepung terigu tidak bersifat substitusi. Jadi tepung beras bukan merupakan alternatif bahan substitusi tepung terigu untuk menekan laju impor gandum, sehingga perlu dicari alternatif bahan substitusi lain untuk menekan laju impor gandum. Variabel Y yang signifikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai koefisien sebesar 0.68 menunjukkan bahwa pendapatan mempunyai hubungan positif. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tepung terigu adalah barang normal.
Variabel dummy krisis berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf nyata 5 persen terhadap jumlah permintaan terigu di Indonesia dengan nilai koefisien sebesar -0.36 menunjukkan bahwa setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menurunkan permintaan akan tepung terigu di Indonesia, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi akan berdampak negatif terhadap permintaan tepung terigu. Hal ini disebabkan situasi politik dan makroekonomi yang semakin tidak menentu setelah terjadinya krisis berakibat pada konsumsi.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
(Periode 1982-2003)
OLEH M. FAHREZA
H 14101011
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : M. FAHREZA
Nomor Registrasi Pokok : H14101011 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia (Periode 1982-2003)
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Findi A, S.E, M.E. NIP. IPB 030507
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama M. FAHREZA lahir pada tanggal 27 Juni 1983 di Bireun, yang tepatnya berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penulis lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Marzuki dan Nurhayati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 5 Bireun pada tahun 1995 dan melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bireun dan lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Bireun dan lulus pada tahun 2001.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas segala Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Permintaan Tepung Terigu di Indonesia (Periode 1982-2003)”. Industri tepung terigu merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena tepung terigu merupakan komoditi pangan yang semakin penting di Indonesia, sehingga untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Bapak Muhammad Findi A, S.E., M.E. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Bapak Dr. M. P. Hutagaol selaku penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Fifi D. Thamrin, M.Si. selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Marzuki H Budiman dan Ibu Nurhayati serta kakak-kakak dan adik-adik penulis yang telah memberikan dorongan dan doa untuk kesehatan, kelancaran dan keselamatan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
5. Esi Dewi Tirtayasi, SE yang telah memberikan motivasi dan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Le Granson T.L., SE. sebagai teman curhat terutama dalam pengolahan data skripsi ini.
8. Teman-teman IE’38 dan IE’39 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kelemahan serta kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, namun demikian semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Umum Ekonomi Industri ... 9
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 10
2.2.1. Teori Permintaan ... 10
2.2.2. Elastisitas ... 17
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 24
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 27
2.5. Hipotesis Penelitian ... 29
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data ... 30
3.2. Metode Analisis Data ... 30
3.3. Model Dasar Penelitian ... 31
3.4. Uji Ekonometrika ... 31
3.5. Uji Statistik Model ... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Industri Tepung Terigu di Indonesia ... 37
xi
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 51
5.2. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 2.1. Kombinasi Harga dan Jumlah Barang ... 10 4.1. Perkembangan Permintaan dan Harga Tepung Terigu di Indonesia
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan industri merupakan salah satu jalur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih bermutu. Pembangunan industri bertujuan pokok untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan merupakan kegiatan yang mandiri untuk hanya sekedar mencapai kemapanan fisik saja. Hal ini disebabkan produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini karena Industri mempunyai peranan sebagai leader sector (sektor pemimpin). Sektor pemimpin ini adalah sektor yang dapat memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lain seperti, sektor pertanian, sektor jasa, dan lain-lain. Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri.
2
Tepung terigu dianggap dapat menjadi pelengkap atau pengganti sumber karbohidrat yang cukup penting di Indonesia. Kenyataan bahwa tepung terigu telah menjadi bahan pangan penting di Indonesia telah diakui sejak lama. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah melalui program ketahanan pangan tersebut.
Penyediaan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok adalah untuk mengurangi ketergantungan pada beras yang pada saat itu produksinya sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan juga pasokan beras di pasar dunia sangat terbatas. Sementara itu pasokan tepung terigu dan gandum di pasar dunia cukup berlimpah bahkan bantuan luar negeri pun diberikan dalam bentuk tepung terigu atau gandum.
3
Sumber: Biro Analisis Harga dan Pasar, BULOG (2003)
Gambar 1.1. Perkembangan Harga Tepung Terigu Tingkat Konsumen di Indonesia.
Perubahan peran itu tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang telah berpengaruh terhadap keputusan konsumen atau tingkat konsumsi terigu, serta pesatnya perkembangan industri penggilingan gandum. Peralihan pola konsumsi kelompok berpendapatan bawah dan menengah begitu cepat ke makanan yang berasal dari gandum, terutama mie instan dan roti, telah mendorong peningkatan impor gandum atau tepung terigu, serta berkurangnya permintaan pangan yang berasal dari sumberdaya dalam negeri.
Cepatnya pertumbuhan permintaan terhadap makanan berasal dari terigu untuk kelompok tersebut tidaklah lazim di negara-negara Asia. Umumnya yang terjadi adalah laju peningkatan permintaan terigu dan tingginya tingkat konsumsi terigu per kapita untuk kelompok berpendapatan tinggi. Seperti yang terjadi di banyak negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia.
4
kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan terendah. Tidak saja tepung terigu, tetapi juga mie instan, mie lainnya, roti tawar atau roti manis.
Indonesia telah menjadi negara ke dua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mie instan. Tingkat konsumsi mi instan masyarakat Indonesia telah mencapai 8,9 milyar bungkus per tahun. Dibandingkan dengan Thailand dan Filipina, masing-masing hanya 1,5 dan 1,4 milyar bungkus per tahun. Penelitian di 4 kota di Jawa terungkap bahwa mie instan telah menjadi makanan siap saji yang populer. Enam puluh empat persen responden mengaku sebagai makanan mendadak, 32 persen sebagai makanan selingan, dan hanya 4 persen sebagai makanan pokok sehari-hari. Sebagian besar mie instan dihasilkan oleh industri besar, yang terbesar adalah Indofood Sukses Makmur yang menguasai 85-90 persen dari total produksi mi instan dalam negeri, dan dominan menguasai pasar dalam negeri. Diperkirakan ada 50 merek dagang mie instan, mampu berproduksi 8,2 milyar bungkus pada tahun 2000 (Majalah Asian Week, 25 Mei 2001).
1.2. Perumusan Masalah
5
Menurut data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) pada tahun 2003, penggunaan tepung terigu di Indonesia antara lain untuk bahan dasar pembuatan mie basah dan mie kering sebesar 30 persen, pembuatan roti sebesar 25 persen, mie instan sebesar 20 persen, makanan kecil dan biskuit sebesar 15 persen, industri kecil pembuatan gorengan sebesar 5 persen dan untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 5 persen (lihat Gambar 1.2.).
Mie Basah dan
Sumber: APTINDO, 2003
Gambar 1.2. Penggunaan Tepung Terigu di Indonesia Tahun 2003 Tepung terigu merupakan komoditi pangan yang penting di Indonesia, karena tepung terigu banyak diperlukan oleh masyarakat. Secara umum diketahui bahwa tepung terigu merupakan bahan dasar bagi mie, roti dan berbagai jenis kue yang dikonsumsi hampir di setiap rumah tangga dan meliputi segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah.
6
tahun disebabkan karena tingginya permintaan terhadap tepung terigu. Peningkatan permintaan yang berbahan baku tepung terigu akan berdampak pada peningkatan impor gandum.
0
1988 1989 1990 1991 1992 1993 199 4
1995 1996 199 7
1998 1999 2000 200 1
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002.
Gambar 1.3. Perkembangan Impor Gandum di Indonesia Tahun 1985-2003 Peningkatan impor gandum sebagai dampak lanjutan dari peningkatan permintaan gandum di Indonesia akan berakibat pada peningkatan permintaan terhadap devisa. Pada saat sebelum krisis peningkatan permintaan devisa untuk membiayai impor gandum kemungkinan tidak menjadi masalah. Namun dengan terjadinya krisis moneter, peningkatan impor gandum sangat berpengaruh terhadap neraca pembayaran serta akan membebani keuangan negara.
7
geografis, selera, pendapatan masyrakat, dan lain-lain. Permintaan barang yang bersubtitusi akan menurun dengan meningkatnya harga barang tersebut dan sebaliknya, permintaan barang tersebut akan meningkat jika harga barang subtitusinya meningkat.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh faktor harga tepung terigu (elastisitas harga), harga barang subtitusi tepung terigu/tepung beras (elastisitas silang), dan perubahan pendapatan perkapita masyarakat (elastisitas pendapatan) terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 terhadap permintaan tepung terigu di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor harga tepung terigu, harga barang subtitusi tepung terigu, dan perubahan pendapatan perkapita masyarakat terhadap tingkat permintaan tepung terigu di Indonesia
8
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini tidak hanya dapat dipergunakan untuk penulis, tetapi juga dapat dipergunakan oleh pihak lain yang terkait, seperti pemerintah. dimana penelitian ini dapat dijadikan dasar, evaluasi, dan arah kebijakan industri tepung terigu di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Ekonomi Industri
Pengertian industri sangat luas, baik dalam lingkup mikro maupun dalam
lingkup makro. Secara mikro, industri adalah kumpulan dari
perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang homogen atau mempunyai sifat
saling mengganti yang sangat erat, misalnya industri sepatu, walaupun sepatu
yang lain tidak sama tetapi kita tetap menyebutnya sebagai industri sepatu.
Namun demikian dari segi pembentukan pendapatan, yakni yang cenderung
bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah
(Hasibuan, 1993).
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2002 menyebutkan
bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan
baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang
lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan
perekayasaan industri. Menurut Sumarni (1998) industri merupakan kegiatan
pengadaan suatu barang ekonomi (economic goods) untuk keperluan dan
kesejahteraan manusia dari orang-orang tertentu di suatu tempat tertentu.
Barang ekonomi dapat berupa bahan atau barang, misalnya tekstil, mobil,
hasil pertanian atau dapat pula berupa jasa seperti perbankan. Jadi pengertian
industri secara luas merupakan suatu unit usaha yang melakukan kegiatan
ekonomi dimana barang dan jasa tersebut mempunyai tujuan untuk menghasilkan
10
lokasi tertentu serta mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi
dan struktur biaya. Selain itu, ada seseorang atau yang lebih bertanggung jawab
atas resiko usaha tersebut.
Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi.
Ekonomi industri membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan
bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri.
Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih
menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
pasar, perilaku dan kinerja pasar. Koch dalam Jaya (2001) mendefinisikan
ekonomi industri sebagai studi teoritis dan empiris tentang bagaimana struktur
pasar dan tingkah laku penjual-pembeli mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan
ekonomi.
2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis 2.2.1. Teori Permintaan
Kurva permintaan adalah garis menunjukkan berbagai kombinasi harga
dan jumlah barang yang diminta atau berbagai kemungkinan harga per satuan
waktu tertentu, misalnya per hari, per bulan, atau per dekade. Sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Kombinasi Harga dan Jumlah Barang
Harga (Rp) Jumlah Barang Kombinasi (unit)
41 100 E
42 80 D
43 60 C
44 44 B
45 20 A
11
Dari Tabel 2.1 diatas nampak bahwa adanya kenaikan harga barang akan
menyebabkan jumlah barang yang diminta menurun, dengan anggapan ceteris
paribus. Hubungan tersebut diatas dapat digambarkan pada Gambar 2.2:
Sumber: Iswardono, 1994
Gambar 2.1. Kurva Permintaan Individu
Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada
berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu. Permintaan juga merupakan
pokok bahasan dalam ekonomi mikro. Meskipun ekonomi mikro yang analisisnya
bersifat individual, akan tetapi bukan hal yang sederhana dan mudah untuk
mengetahui konsep-konsep dasar permintaan secara individual. Permintaan
individual menggambarkan permintaan orang perorang terhadap suatu barang
tertentu. Sedangkan gabungan dari seluruh permintaan perorangan tersebut
disebut permintaan pasar. Kurva permintaan pasar didapat dengan menjumlahkan
(secara horinzontal) kurva permintaan individu-individu yang ada di pasar,
misalnya ada 2 individu (konsumen) di pasar yang membeli suatu barang
mempunyai bentuk kurva permintaan sebagai berikut:
12
Sumber : Iswardono, 1994.
Gambar 2.2. Kurva Permintaan Pasar
Cara mendapatkan kurva permintaan pasar yang diperlihatkan dalam
Gambar 2.1 yaitu titik A didapat dari titik B pada permintaan individu 1, karena
pada harga tersebut belum ada jumlah yang diminta baik oleh individu 1 maupun
oleh individu 2. Titik C didapat dengan menjumlah barang X yang diminta oleh
individu 1 dan 2, dimana individu 1 meminta sejumlah X1 sedangkan individu 2
belum meminta barang X. Titik F didapat dari titik H dan G dimana pada harga itu
individu 1 dan 2 meminta sejumlah X2 + X3 = X4. Sehingga kalau titik A, C dan F
dihubungkan akan didapat kurva permintaan pasar DD yang merupakan
penjumlahan horizontal dari kurva permintaan yang ada di pasar.
Hukum permintaan berbunyi “pada tingkat harga yang lebih tinggi, jumlah
barang yang diminta akan semakin berkurang, atau sebaliknya pada harga yang
lebih rendah, jumlah barang yang diminta akan semakin bertambah, dengan
asumsi cateris paribus atau hal-hal lain yang mempengaruhi dianggap konstan”
(Iswardono, 1994). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah yang diminta
berhubungan terbalik (inverse) dengan harga barang tersebut dengan anggapan
bahwa hal-hal lain dianggap konstan pada berbagai kemungkinan harga.
13
Harga tidak merupakan satu-satunya yang menentukan berapa banyak
masyarakat mau membeli barang-barang dan jasa. Disamping harga permintaan
dipengaruhi oleh pendapatan. Misalnya, jika harga barang sesuatu meningkat,
tetapi pendapatan juga meningkat tidak dapat diketahui bagaimana perubahan
jumlah barang yang diminta. Akan tetapi kalau harga konstan dan parameter
non-price juga konstan maka dapat ditentukan arah perubahan jumlah barang yang diminta.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan akan suatu barang,
diantaranya yaitu harga barang sendiri, pendapatan konsumen, harga terkait baik
yang bersifat substitusi maupun komplementer terhadap barang tersebut, selera
atau kebiasaan konsumen, jumlah penduduk, dan perkiraan harga di masa
mendatang. (Iswandono, 1994 )
1. Perubahan Harga Barang Itu Sendiri
Perubahan harga barang sendiri akan menyebabkan perubahan jumlah
barang yang diminta dengan asumsi cateris paribus. Ini dicerminkan oleh
pergerakkan pada satu kurva permintaan. Pada Gambar 2.2 nampak adanya
perubahan jumlah barang yang diminta jika ada perubahan harga. Perubahan dari
titik A ke B atau ke C disebabkan karena perubahannya harga barang itu sendiri.
Ini berarti bahwa setiap kurva permintaan, jumlah barang yang diminta berubah
sebagai akibat dari perubahan harga barang itu sendiri. Semakin tinggi harga suatu
barang, semakin sedikit jumlah barang yang diminta, dan semakin rendah harga
suatu barang semakin banyak jumlah barang yang diminta. Pernyataan ini sering
14
Hal yang perlu diingat bahwa perubahan harga akan menyebabkan pergerakan
sepanjang kurva permintaan.
2. Pendapatan Konsumen
Adanya perubahan faktor lain selain harga barang itu sendiri akan
menimbulkan terjadinya perubahan permintaan yang ditunjukkan oleh
bergesernya kurva permintaan ke kanan atau ke kiri.
Sumber: Iswardono, 1994
Gambar 2.3. Perubahan Permintaan
Dalam Gambar 2.3 diatas, nampak bahwa kurva permintaan mula-mula
adalah DD, kemudian berubah menjadi D1D1 dan D2D2. Perubahan ini yang
disebut sebagai perubahan permintaan. Permintaan bertambah (meningkat)
dicerminkan oleh D1D1 dan permintaan berkurang (menurun) ditunjukkan oleh
D2D2.
Oleh karena itu, kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan
permintaan. Ini berarti bahwa kurva permintaan menunjukkan kuantitas (jumlah)
yang diminta lebih besar pada setiap harga. Sehingga kenaikan pendapatan akan
menggeser kurva permintaan kekanan (DD-D1D1) dan sebaliknya menurunnya
HARGA RP
JUMLAH (UNIT) 0
D1
D
D2
15
pendapatan akan menggeser kurva permintaan kekiri (DD-D2D2). Kenaikan
permintaan mungkin disebabkan meningkatnya pendapatan dan sebaliknya
menurunnya permintaan karena menurunnya pendapatan. Ini berarti ada hubungan
positif antara pendapatan dengan permintaan.
3. Harga Barang Terkait : Substitusi dan Komplementer
Adanya perubahan harga barang lain juga akan menyebabkan perubahan
permintaan. Dalam menggambarkan kurva permintaan selalu dianggap bahwa
harga barang itu sendiri yang berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta
sedangkan harga barang tersebut (prices of related goods) dianggap konstan.
Ada dua macam barang terkait yaitu barang substitusi dan barang
komplementer. Kedua macam barang tersebut dapat didefinisikan dalam
kaitannya dengan perubahan harga tersebut terhadap permintaan akan sesuatu
barang. Misalnya, ada 2 (dua) barang X dan Y. Jika barang X dan barang Y
substitusi, maka jika harga barang Y turun dan harga barang X tetap, kurva
permintaan barang X akan bergeser kekiri atau ada penurunan permintaan.
Contohnya: beras dan jagung. Dengan perkataan lain hubungannya positif artinya
kenaikan harga beras (barang Y) cenderung meningkatkan permintaan akan
jagung (barang X) dan sebaliknya.
Sedang barang X dan barang Y komplementer, maka hubungannya
negatif. Ini berarti bahwa jika harga barang Y naik cenderung akan menurunkan
permintaan akan barang dan sebaliknya. Contohnya raket tenis dengan bola tenis.
16
tenis menurun dan sebaliknya kalau harga raket tenis menurun maka permintaan
akan bola tenis meningkat.
4. Selera atau Kebiasaan Konsumen
Selera atau kebiasaan juga dapat mempengaruhi permintaan suatu barang.
Misalnya, selera wanita berubah, tidak menyukai rok mini lagi, ini akan berakibat
bergesernya kurva permintaan rok mini kekiri dalam. Dan sebaliknya kalau selera
wanita terhadap rok mini meningkat maka kurva permintaan rok mini akan
bergeser kekanan atas.
Para ekonom tidak banyak membicarakan peranan selera pada perubahan
permintaan. Hal ini disebabkan karena para ekonom tidak mampu mendefinisikan
dan memberi tolak ukur terhadap selera serta tidak menjelaskan faktor-faktor apa
yang menentukan selera. Ringkasnya, karena ada kesulitan dalam pengukuran dan
teori tentang perubahan selera maka dianggap bahwa selera konstan, walaupun
sebenarnya tidak, khususnya kalau ada pengenalan produk baru di pasar.
5. Jumlah Penduduk
Robert Malthus dalam Sukirno (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan
penduduk merupakan deret geometri (ukur) sedangkan pertumbuhan pangan
adalah merupakan deret aritmetika (hitung). Artinya adalah bahwa pertumbuhan
pangan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang pesat. Semakin
banyak jumalah penduduk maka pangan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup
akan semakin meningkat pesat (permintaan pangan meningkat) sedangkan
persediaan pangan relatif meningkat secara perlahan. Kelemahan teori ini kurang
17
6. Perkiraan Harga di Masa Mendatang
Teory of Rational Expectation atau teori perkiraan yang rasional yang
dikemukakan olh Lucas dalam The economics of Money, Banking, and Financial
Markets menyatakan bahwa masyarakat umumnya berperilaku berjaga-jaga dalam mengantisi kondisi yang akan terjadi di masa mendatang. Artinya adalah kejadian
yang diperkirakan terjadi pada masa yang akan datang akan mempengaruhi situasi
saat ini.
Sebagai contoh harga suatu barang yang diperkirakan akan naik di masa
yang akan datang yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi
makroekonomi dan politik yang kurang stabil maka masyarakat akan menambah
stok sebagai persediaan di masa yang akan datang. Keadaaan ini mendorong
masyarakat untuk membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa
yang akan datang.
Apabila kita memperkiraan bahwa harga suatu barang akan naik, adalah
lebih baik membeli barang itu sekarang. Keadaaan ini mendorong orang untuk
membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa mendatang.
2.2.2. Elastisitas
Ekonom sering ingin mengetahui bagaimana perubahan harga
mempengaruhi permintaan akan suatu barang tertentu, atau bagaimana pengaruh
perubahan pendapatan terhadap pengeluaran. Suatu hal yang menghambat untuk
mengetahui hal tersebut adalah kedua unsur tersebut tidak menggunakan ukuran
18
yang ditimbulkannya adalah B. Padahal A dan B tidak diukur dalam ukuran yang
sama. Padahal A dan B tidak diukur dalam ukuran yang sama.
Sebagai contoh, jumlah tepung terigu dalam ton, sedangkan harganya
diukur dalam rupiah. Naiknya harga tepung terigu Rp 50.000,- per ton
mengakibatkan turunnya permintaan akan tepung terigu tersebut sebanyak 2 ton
per minggu. Turunnya harga beras Rp 10.000,- per ton menyebabkan naiknya
permintaan akan beras tersebut sebanyak 3 ton per minggu. Dalam hal ini tidaklah
mudah untuk menjawab mana yang lebih responsif antara tepung terigu dan beras
tersebut. Hal ini disebabkan karena tepung terigu dan beras tidak diukur dalam
unit ukur yang sama.
Untuk mencari jalan keluarnya, para ahli ekonomi telah mengembangkan
sebuah konsep yang dikenal dengan konsep elastisitas. Anggap suatu variabel B
tergantung pada variabel lain (A). Hal ini bisa ditulis sebagai:
B = f(A...),
dimana titik dalam tanda kurung menunjukkan bahwa B juga tergantung dari
variabel atau faktor-faktor peubah lainnya. Elastisitas B terhadap A adalah:
A
Persamaan diatas menunjukkan bagaimana respons B jika terjadi
perubahan dalam peubah A. Dari contoh tepung terigu dan beras diatas, misalkan
19
menyebabkan terjadinya perubahan sebanyak 20 persen dalam pembelian tepung
terigu tersebut, sedang perubahan sebesar 10 persen dalam harga beras
menyebabkan berubahnya permintaan akan beras sebanyak 15 persen. Sehingga
dapat diperoleh kesimpulan bahwa respons terhadap perubahan harga tepung
terigu lebih besar (20 persen) daripada respons perubahan harga beras (15 persen)
(Nicholson, 2001).
Elastisitas merupakan berapa persen suatu variabel akan berubah, bila satu
variabel lain berubah satu persen. Angka elastisitas adalah bilangan yang
menunjukkan berapa persen satu variabel tak bebas akan berubah, sebagai reaksi
karena satu variabel lain (variabel bebas) berubah satu persen. Elastisitas
permintaan mengukur perubahan relatif dalam jumlah unit barang yang dibeli
sebagai akibat perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya (ceteris
paribus). Pada uraian diatas telah dibahas bahwa ada tiga faktor penting yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu barang, yaitu barang itu sendiri disebut
elastisitas harga, harga barang lain disebut elastisitas silang, dan pendapatan
disebut elastisitas pendapatan.
1. Elastisitas Harga
Konsep elastisitas harga menunjukkan bahwa perubahan harga akan
menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta. Konsep ini disebut juga
sebagai elastisitas harga permintaan yang didefinisikan sebagai derajat kepekaan
perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga. Elastisitas
merupakan angka murni (pure number), sehingga tidak ada satuannya. Adapun
20
Ep = Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan harga
Ep = elastisitas harga,
Δqx = perubahan jumlah barang x yang diminta,
ΔPx = perubahan harga barang x,
P = harga barang x,
q = kuantitas barang x.
Hukum permintaan menunjukan bahwa adanya hubungan negatif (inverse)
antara harga dengan jumlah barang yang diminta. Ini berakibat bahwa elastisitas
harga bertanda negatif artinya kenaikan harga suatu barang ceteris paribus, akan
menurunkan jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, penurunan harga suatu
barang, asumsi ceteris paribus, akan menaikkan jumlah barang yang diminta.
Persentase perubahan jumlah barang yang diminta merupakan variabel
yang dipengaruhi (dependent variable), sedangkan persentase perubahan harga
(per unit) adalah variabel mempengaruhi (independent variable). Suatu perubahan
dalam harga menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta dalam arah
yang berlawanan.
Angka elastisitas harga merupakan nilai mutlak. Artinya elastisitas harga
Ep = 2 sama artinya dengan elastisitas harga Ep = -2. Begitu juga sebaliknya.
Semakin besar nilai negatifnya, semakin elastis permintaannya, sebab perubahan
permintaan jauh lebih besar dibanding perubahan harga. Angka-angka elastisitas
21
a) Inelastis (Ep < 1)
Perubahan permintaan (dalam persentase) lebih kecil daripada perubahan
harga. Jika harga naik sebesar 10 persen menyebabkan permintaan turun sebesar 6
persen. Permintaan barang kebutuhan pokok umumnya inelastis. Misalnya
perubahan harga beras di Indonesia, tidak berpengaruh besar terhadap perubahan
permintaan terhadap beras.
b) Elastis (Ep > 1)
Permintaan terhadap suatu barang dikatakan elastis bila perubahan harga
suatu barang menyebabkan perubahan permintaan yang besar. Misalnya, bila
harga turun 10 persen menyebabkan permintaan naik 20 persen. Karena itu nilai
Ep lebih besar daripada satu. Barang mewah seperti mobil umumnya permintaan
elastis.
c) Elastis unitari (Ep = 1)
Jika harga naik sebesar 10 persen, menyebabkan permintaan turun sebesar
10 persen juga.
d) Inelastis sempurna (Ep = 0)
Berapapun harga suatu barang, orang akan tetap membeli jumlah yang
dibutuhkan. Contohnya adalah permintaan terhadap garam.
e) Elastis tak terhingga (Ep = ∞)
Perubahan sedikit saja menyebabkan perubahan permintaan tak terhingga
besarnya.
Secara grafis tingkat elastisitas harga terlihat dari slope (kemiringan) kurva
22
permintaan inelastis sempurna. Artinya perubahan harga tidak mempengaruhi
jumlah barang yang diminta. Bila kurva sejajar sumbu datar, permintaan elastis
tak terhingga. Artinya perubahan harga sedikit saja menyebabkan perubahan
jumlah barang yang diminta tak terhingga besarnya. Permintaan dikatakan elastis
unitari, bila slope kurvanya minus satu (kurvanya membentuk sudut 45°). Artinya
bahwa semakin datar kurva maka semakin elastis permintaan akan suatu barang.
Sumber: Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2002
Gambar 2.4. Bentuk-bentuk Kurva Permintaan (Berkaitan Dengan Elastisitas Harga) 2. Elastisitas Harga Silang
Dampak perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan
harga barang lain diukur dengan elastisitas harga silang yang menunjukkan derajat
kepekaan perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga
barang lain. Adanya perubahan harga barang lain, misalnya penurunan harga
barang lain, akan menyebabkan pergeseran kekiri atas atau kekanan bawah kurva
permintaan suatu barang.
Dari definisi elastisitas harga silang akan dapat diklasifikasikan hubungan
antara suatu barang dengan barang lainnya, apakah substitusi (saling mengganti) Harga
Kuantitas 0
Ep = 1 Ep = ∞ Ep = 0
23
atau komplementer (sama-sama dipakai bersama). Rumus Umum yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Ec = Persentase perubahan jumlah barang X yang diminta Persentase perubahan harga Y
Ec = elastisitas harga silang,
Δqx = perubahan jumlah barang x yang diminta,
ΔPy = perubahan harga barang y,
P = harga barang y,
q = kuantitas barang x.
Jika elastisitasnya bertanda positif, maka hubungan kedua barang tersebut
X dan Y adalah substitusi (Ec > 0), artinya kenaikan harga barang Y
menyebabkan harga relatif X lebih murah, sehingga permintaan terhadap X
meningkat. Misalkan, bila harga daging ayam naik, maka permintaan terhadap
daging sapi akan meningkat (cateris paribus), karena harga daging sapi relatif
menjadi lebih murah dibandingkan harga daging ayam. Dan sebaliknya jika
elastisitasnya bertanda negatif, maka hubungan kedua barang tersebut X dan Y
adalah komplementer (Ec < 0), artinya X hanya bisa digunakan bersama-sama Y.
Penambahan atau pengurangan terhadap X, menyebabkan penambahan atau
pengurangan terhadap Y. Kenaikan harga Y menyebabkan permintaan terhadap Y
menurun, yang menyebabkan permintaan terhadap X ikut menurun. Misalkan, bila
harga BBM naik (cateris paribus), maka dapat diduga permintaan terhadap mobil
24
3. Elastisitas dan Total Pendapatan
Elastisitas pendapatan mengukur berapa persen permintaan terhadap suatu
barang berubah bila pendapatan berubah sebesar satu persen.
Ei = Persentase perubahan jumlah barang yang diminta Persentase perubahan pendapatan
Ei = elastisitas pendapatan,
Δq = perubahan jumlah barang x yang diminta,
Δi = perubahan pendapatan,
Pada umumnya nilai Ei positif, karena kenaikan pendapatan (nyata) akan
meningkatkan permintaan. Makin besar nilai Ei, elastisitas pendapatannya makin
besar. Barang dengan Ei > 0 merupakan barang normal. Bila nilai Ei antara 0
sampai 1, barang tersebut merupakan kebutuhan pokok. Barang dengan nilai Ei >
1 merupakan barang mewah. Barang dengan Ei < 0, permintaan terhadap barang
tersebut justru menurun pada saat pendapatan nyata meningkat, sehingga barang
ini disebut barang inferior.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Tepung terigu merupakan olahan dari gandum. Permintaan teoung terigu
di Indonesia mempunyi tren yang meningkat dari tahun 1982 hingga tahun 1997,
25
terigu di Indonesia turun pada tahun 1998 dan tahun 1999, tetapi pada akhirnya
meningkat tajam pada tahun 2000 dan berikutnya.
Sumber: APTINDO, 2003
Gambar 2.5. Permintaan Tepung Terigu Di Indonesia tahun 1982:2003
Teori permintaan dalam ekonomi mikro dijelaskan bahwa permintaan
dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang substitusi, dan tingkat
pendapatan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis melihat apakah
permintaan tepung terigu di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut
diatas. Sedangkan kerangka pemikiran konseptualnya dijelaskan dalam Gambar
2.5 berikut ini:
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
tahun
r
ibu t
o
26
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual
Dari Gambar 2.5 dapat dijelaskan bahwa penawaran tepung terigu (AS)
sama dengan permintaan tepung terigu (AD) di Indonesia. Permintaan tepung
terigu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya dalam penelitian ini
adalah harga tepung terigu itu sendiri, harga tepung beras sebagai subtitusi dari
tepung terigu, perubahan pendapatan perkapita masyarakat, dan dummy krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Untuk meramalkan
faktor-faktor yang telah disebutkan diatas terhadap jumlah permintaan tepung terigu di
indonesia maka digunakan analis regresi. Dari hasil output regresi dengan
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) akan di analisis secara
statistik dan ekonomi yang akan didapatkan kesimpulan. Dari hasil kesimpulan
akan ditarik saran yang relevan.
Permintaan Tepung Terigu di Indonesia
(AD)
Harga Tepung Terigu
Harga Tepung Beras
Pendapatan Dummy
Krisis
Regresi (OLS)
Interpretasi
27
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Achmad Kusasi (1982) dengan melakukan analisa permintaan tepung
terigu yang dipergunakan untuk memperkirakan harga tepung terigu lima tahun ke
depan untuk menekan laju konsumsi (1983-1987). Variabel dummy dan selera
tidak dimasukkan dalam model karena dianggap tidak berpengaruh. Data yang
digunakan adalah data time series tahun 1971-1980. Dari analisis tersebut
diperoleh elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 4.926,
elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.2593, dan elastisitas silang terhadap
harga beras adalah 2.495. Dengan demikian pada periode tahun 1971-1980 tepung
terigu termasuk barang mewah, inelastis permintaannya dan mempunyai
hubungan substitusi erat dengan beras.
Bambang Djanuwardi (1988) melakukan penelitian tepung terigu, dengan
judul “Analisis Permintaan Tepung Terigu di Indonesia”, dengan menitikberatkan
pada elastisitas permintaan tepung terigu dengan menggunakan data time series
tahun 1967-1986. Dalam penelitiannya menyimpulkan adanya peningkatan nilai
elastisitas tepung terigu. Dibandingkan dengan perhitungan sebelumnya yang
dijadikan acuan Djanuwardi, perhitungan Bambang Djanuwardi (1967-1986)
menunjukkan nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan terigu adalah 1.767,
elastisitas harga permintaan terigu adalah -0.9296, dan elastisitas silang terhadap
harga beras adalah 0.6435. Dengan demikian pada periode tahun 1967-1986
tepung terigu masih tergolong barang mewah, kurang inelastis permintaannya dan
28
ini terdapat kekurangan yaitu tidak diperhatikannya upaya meminimalkan
terjadinya autokorelasi.
Andy Harfa (1996) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan permintaan tepung terigu di Indonesia beserta arah perubahannya
(pada analisis kwantitatifnya) dengan periode tahun 1983-1994. Dari persamaan
perhitungan menunjukkan bahwa nilai elastisitas pendapatan terhadap permintaan
terigu adalah 5.0169, elastisitas harga permintaan terigu adalah -1.3836, dan
elastisitas silang terhadap harga beras adalah 0.61187.
Dengan demikian pada periode tahun 1983-1994 tepung terigu di masa
mendatang mengalami peningkatan konsumsinya seiring dengan peningkatan
pendapatan, permintaannya yang semakin elastis dan hubungan substitusi dengan
beras mulai berkurang. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa permintaan
tepung terigu telah mengalami perubahan pola yaitu dari pola konsumsi langsung
menuju pola konsumsi tidak langsung/bentuk olahannya (seperti dalam bentuk
mie, roti).
Sawit (2003) meneliti tentang kebijakan gandum/tepung terigu yang harus
menumbuhkembangkan industri pangan dalam negeri. Dalam penelitiannya Sawit
menjelaskan kebijakan tepung terigu orde baru, kebijakan liberalisasi, dan
skenario pembatasan impor tepung terigu. Menurutnya kebijakan penerapan bea
masuk beras, akan berdampak pada peningkatan permintaan impor gandum,
karena eratnya substitusi antara tepung terigu dan beras. Semakin efektifnya
penerapan bea masuk beras akan membuat harga beras dalam negeri menjadi
29
Oleh karena itu, menurut Sawit (2003) agar bea masuk untuk gandum
diberlakukan juga, paling tidak setengah dari tingkat bea masuk ditetapkan untuk
beras. Apabila bea masuk beras ditetapkan Rp 400/kg, mungkin tepat bila bea
masuk gandum atau tepung terigu sekitar Rp 200/kg. Dengan cara ini diharapkan
dapat membendung impor gandum/tepung terigu yang terlalu berlebih dan
harganya akan tinggi, sehingga akan mengurang/memperlambat laju konsumsi
tepung terigu, dan masyarakat akan beralih ke pangan produksi dalam negeri yang
lebih murah seperti ubi-ubian, jagung, atau sagu.
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penelitian,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Harga tepung terigu berpengaruh negatif terhadap permintaan tepung terigu di
Indonesia.
2. Harga tepung beras berpengaruh positif terhadap permintaan tepung terigu di
Indonesia.
3. Pendapatan perkapita masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap
permintaan tepung terigu di Indonesia.
4. Dummy krisis berpengaruh yang negatif terhadap permintaan tepung terigu di
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang didapat dari hasil penelitian lain atau organisasi yang sudah jadi dan
dipublikasikan. Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data Time Series
tahunan pada rentang waktu antara 1982 sampai tahun 2003.
Sumber data berasal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Badan
Pusat Statistik (BPS). Data diperoleh juga dari referensi studi kepustakaan yang
diperoleh dari buku, perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
APTINDO, perpustakaan LSI IPB, dan internet. Data-data yang digunakan adalah
data jumlah permintaan tepung terigu (Q), harga tepung terigu (PT), harga tepung
beras sebagai harga barang substitusi (PB), dan pendapatan masyarakat perkapita
(Y).
3.2. Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika. Model
ekonometrika yang digunakan adalah model regresi linier dengan menggunakan
31
1. Variasi unsur sisa menyebar normal, dimana OLS cenderung akan mendekati
distribusi normal apabila sampel semakin besar, yaitu n mendekati tak hingga
(∞).
2. Nilai rata-rata dari unsur sisa sama dengan nol. Maksudnya adalah kesalahan
pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0.
3. Ragam merupakan bilangan tetap (homoskedastisitas).
4. Tidak ada autokolerasi antara kesalahan pengganggu.
5. Tidak ada kolinier sempurna antara viriabel bebas (multikolinearitas).
3.3. Model Dasar Penelitian
Model ekonometrika yang dipakai dalam menjelaskan penelitian mengenai
“Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Terigu Di Indonesia
(Periode 1982-2003)” adalah sebagai berikut:
LQ = c + a1LPT +a2LPB + a3LYper kapita + a4Dummy + et
Dimana :
LQ = Logaritma Jumlah Permintaan Tepung Terigu di Indonesia
LPT = Logaritma Harga Tepung Terigu
LPB = Logaritma Harga Tepung Beras
LY = Logaritma Pendapatan per Kapita
Dummy = Dummy Krisis Ekonomi ( 0 untuk sebelum krisis ekonomi, 1 untuk setelah krisis ekonomi)
et = error term
ai = Parameter dugaan
3.4. Uji Ekonometrika 1. Multikoliniearitas
Multikoliniearitas dapat diartikan sebagai hubungan linear diantara
32
suatu model terbebas dari masalah multikoliniearitas yaitu kondisi dimana
terdapat hubungan yang linier sempurna diantara beberapa atau semua variabel
bebas dalam sebuah model regresi. Multikoliniearitas dapat dideteksi apabila
terjadi korelasi yang sangat kuat antara variabel-variabel bebas. Hal ini akan
menyebabkan kesimpulan cenderung menyatakan terima H0 atau pengaruh
variabel bebas tidak signifikan meskipun nilai R2 sangat tinggi.
Untuk melihat masalah multikoliniearitas dalam penelitian ini
dipergunakan uji correlation matrix hasil perhitungan dengan E-views. Semakin
besar correlation matrix, maka hubungan antara variabel-variabel bebas tersebut
semakin erat atau multikoliniearitas yang terjadi akan semakin tinggi. Demikian
juga sebaliknya jika nilai correlation matrix semakin kecil atau kurang dari
│0.8│maka tidak ada multikoliniearitas (Gujarati, 1995).
2. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika ragam atau varians tidak konstan. Akibat
dari heteroskedastisitas ini menyebabkan sifat BLUE (best linier unbiased
estimate) tidak tercapai atau pengujiannya tidak valid. Selain itu, jika digunakan untuk prediksi maka hasilnya tidak efisien. Pengujian heteroskedastisitas pada
penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai probabilitas yang terdapat pada
uji value heterkedasticity (cross term) dengan menggunakan program E-views. Sebuah hasil regresi dikatakan homokedastisitas (tidak mengandung
heteroskedastisitas) jika nilai probabilitas dari uji white heteroskedasticity lebih
33
3. Autokolerasi
Autokolerasi terjadi jika nilai error tidak bersifat bebas antara yang satu
dengan yang lainnya. Artinya terjadi kolerasi antar error sehingga model yang
baik menghasilkan error yang acak, tidak lagi berpola. Akibatnya varians yang
kita peroleh under estimate. Pengujian autokolerasi dilakukan dengan
menggunakan uji Breausch-Godfrey serial correlation LM hasil perhitungan
dengan E-views. Jika nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata (α) terbesar
yang dipakai pada model maka hasil regresi tidak mengandung autokolerasi.
3.5. Uji Statistik Model
1. Uji Koefisien Determinasi R2
Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat seberapa besar
keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas yang terpilih terhadap
variabel tidak bebas (Q). Koefisien determinan dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2 = 1 - (3.1)
SST = jumlah kuadrat total
SSE = jumlah kuadrat galat
SSR = jumlah kuadrat regresi
Koefisien determinasi (R2) memiliki dua sifat (Gujarati, 1995). Pertama,
R2 merupakan besaran non negatif, dan kedua besarnya nilai R2 adalah 0 ≤ R2≤ 1,
dimana bila R2 semakin mendekati 1 berarti model tersebut dapat dikatakan
semakin baik karena semakin dekat hubungan antar variabel bebas terhadap
34
2. Uji t-Statistik
Nilai t-hitung digunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien
regresi dari masing-masing variabel bebas yang digunakan yaitu harga tepung
terigu (PT), harga beras (PB), dan pendapatan masyarakat (Y) yang dipakai secara
terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas yaitu jumlah
permintaan tepung terigu perkapita (Q). Pengujian secara statistik sebagai berikut:
Hipotesis:
H0 : Variabel bebas tidak signifikan
H1 : Variabel bebas signifikan
Uji statistik yang digunakan adalah uji-t ;
t-hitung = (3.2)
bi* = nilai koefisien regresi dugaan
S(bi*) = simpangan baku koefisien dugaan
(n) = jumlah sampel
k = jumlah koefisien regresi dugaan (termasuk konstan)
Kriteria uji :
t-hitung > tα/2(n-k), maka tolak H0
t-hitung < tα/2(n-k), maka terima H0
Jika nilai mutlak t-hitung lebih besar dari t-tabel (tolak H0) maka variabel
bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (permintaan tepung
terigu). Sebaliknya jika nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel (terima H0) berarti
35
Uji ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan probabilitas
t-statistiknya dengan taraf nyata yang digunakan. Jika probabilitas t-statistik > taraf
nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut
signifikan berpengaruh terhadap variabel terikatnya.
3. Uji F-Statistik
Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan dari
pergerakan seluruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap pergerakan dari
variabel tidak bebasnya dalam suatu persamaan. Kemudian dari hasil regresi juga
diperoleh nilai F yang akan memberikan informasi apakah semua variabel bebas
secara serempak atau bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas.
Pengujian terhadap model penduga secara statistik sebagai berikut:
Hipotesis :
H0 : α = β = 0
H1 : α≠β≠ 0
Uji statistik yang digunakan adalah uji F
F-hitung = (3.3)
Apabila nilai mutlak F-hitung lebih besar dari F-tabel (tolak H0) berarti
secara bersama-sama variabel bebas (PT, PB, Y, dan Dummy) dalam jumlah
permintaan tepung terigu mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel tidak
36
secara bersama-sama variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel
tidak bebas.
Uji F juga dapat dilakukan dengan membandingkan probabilitas
F-statistiknya dengan taraf nyata yang digunakan. Jika probabilitas F-statistik > taraf
nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa keabsahan suatu model
dapat diterima atau dengan kata lain paling tidak ada satu variabel bebas
IV. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA
4.1. Industri Tepung Terigu di Indonesia
Tepung terigu sebagai bahan pangan yang sangat penting di Indonesia
merupakan satu alasan bagi pokok untuk pemerintah untuk terlibat dalam industri
tepung terigu di Indonesia. Keterlibatan pemerintah dalam industri tepung terigu
di Indonesia dimulai sejak tahun 1966 dengan tujuan untuk menjaga kontuinitas
ketersediaan dan kestabilan harga tepung terigu di Indonesia.
Secara garis besar kondisi industri tepung terigu Indonesia dapat dibagi
dalam dua periode yang berbeda yakni: masa monopoli Bulog (sebelum tahun
1998) dan masa liberalisasi perdagangan (sejak tahun 1998). Industri tepung
terigu di Indonesia pada masa sebelum liberalisasi tahun 1998, gandum dan
tepung terigu sepenuhnya dikuasai atau diatur oleh Bulog. Bulog merupakan
satu-satunya yang berhak melakukan pembelian gandum dan atau tepung terigu di
Indonesia atau dengan kata lain bahwa Bulog mengatur semua tata niaga industri
tepung terigu di Indonesia, sedangkan swasta hanya berperaan sebagai jasa
penggilingan gandum menjadi tepung terigu. Perlu diketahui bahwa pembelian
gandum oleh bulog sampai tahun 1997 di subsidi oleh pemerintah.
Pada tahun 1998, dengan berbagai pertimbangan dengan melihat dampak
buruk dari monopoli yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap industri tepung
terigu di Indonesia, pemerintah mengeluarkan surat Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan NO.21/MPP/Kep/1/1998 mengenai pencabutan
38
Indonesia. Maka sejak dikeluarkannya surat keputusan tersebut maka pengadaan
dan penyaluran tepung terigu di dalam negeri dilakukan secara bebas dan tanpa
campur tangan pemerintah. Pasar tepung terigu yang tadinya merupakan monopoli
yang dikuasai oleh Bulog secara teori berubah menjadi pasar persaingan
sempurna, dimana setiap pihak menpunyai hak yang sama untuk impor gandum
dan tepung terigu dari luar negeri (pengadaan dan penyediaan tepung terigu di
Indonesia dilakukan secara bebas).
Kebijakan pencabutan monopoli oleh Bulog, membawa suasana yang
berbeda bagi industri tepung terigu di Indonesia. Pasar yang sebelumnya kaku
menjadi pasar yang sangat terbuka dan kompetitif. Hal ini dikarenakan masuknya
pelaku-pelaku baru dalam pasar tepung terigu, sehingga mendorong inovasi pada
produk, kualitas, merek, promosi, pelayanan dan efisiensi pada produsen. Menurut
data pada APTINDO, 2003 empat perusahaan terbesar yang mengusai pangsa
pasar adalah Bogasari dengan 71.1 persen, Berdikari sebesar 8.2 persen, Sriboga
dengan 6 persen, Panganmas sebesar 4.2 persen. Jumlah total empat perusahaan
yang menguasai pangsa pasar tersebut adalah sebesar 89.5 persen. Pangsa pasar.
lainnya sebesar 9.9 persen tepung terigu Impor dan sisanya oleh perusahaan
lainnya.
Permintaan tepung terigu di Indonesia dari tahun ke tahun relatif
meningkat. Dari tahun 1982 sampai tahun 1997 permintaan tepung terigu
meningkat pesat. Tercatat bahwa pada tahun tahun 1982 permintaan tepung terigu
39
meningkat hingga pada tahun 1997 permintaan tepung terigu pada puncaknya
yakni sebesar 3.212.309 ton.
Tabel 4.1. Perkembangan Permintaan dan Harga Tepung Terigu di Indonesia Tahun 1982-2003
Tahun Permintaan
Tepung Terigu (Ton)
Harga Tepung Terigu (Rp)
1982 746891 274,34
1983 794650 317,17
1984 812649 379,94
1985 952426 432,07
1986 1156731 460,82
1987 1199943 533,13
1988 1273180 600,60
1989 1335751 694,27
1990 1298071 776,41
1991 1720912 795,91
1992 1642264 807,59
1993 2029203 832,17
1994 2463262 836,08
1995 3158006 872,62
1996 3062969 904,45
1997 3212309 992,65
1998 2534380 2464,20
1999 2409238 2807,30
2000 3606380 2532,30
2001 3789504 2905,50
2002 4025648 3122,90
2003 4560856 3431,60
Sumber: APTINDO, 2003 dan Biro Analisis Harga dan Pasar (BULOG), 2003
Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1997 berdampak
pada perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun
1997 kwartal ke III dan puncaknya pada tahun 1998. Ketidakstabilan
40
permintaan tepung terigu di Indonesia. Permintaan tepung terigu turun menjadi
2.534.380 ton pada tahun 1998 dan 2.409.238 pada tahun 1999. Namun seiring
dengan membaiknya perekonomian Indonesia permintaan tepung terigu
meningkat tajam pada tahun berikutnya dan mencapai 4.560.856 ton pada tahun
2003.
Harga tepung terigu di Indonesia dari tahun 1982 sampai dengan tahun
1997 meningkat perlahan dan relatif stabil pada level ratusan Rupiah. Tetapi
setelah krisis ekonomi yang berdampak pada terjadinya krisis moneter yang
berkepanjangan di Indonesia, dimana nilai tukar Rupiah yang melemah tajam
(terdepresiasi) terhadap mata uang asing terutama mata uang Dollar Amerika
Serikat berpengaruh terhadap harga tepung terigu di Indonesia. Inflasi yang
membumbung tinggi meningkatkan harga-harga sebagai dampak lanjutan dari
krisis moneter yang terjadi. Harga-harga komoditi di Indonesia secara keseluruhan
meningkat tajam tak terkecuali harga tepung terigu. Harga tepung terigu
meningkat sangat tajam dari tahun sebelumnya yakni pada tahun 1997 sebesar Rp
992 perkilogram menjadi Rp 2464 perkilogram pada tahun 1998. Demikian tahun
berikutnya harga tepung terigu meningkat pada level yang tinggi. Namun perlu di
ketahui bahwa peningkatan harga yang sangat tinggi ini tidak hanya semata-mata
disebabkan oleh krisis ekonomi tetapi juga di pengaruhi oleh dicabutnya subsidi
yang diberikan oleh pemerintah pada gandum dan tepung terigu di Indonesia sejak
tahun 1998.
Gandum sebagai bahan dasar tepung terigu tidak terlepas dari industri