• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Kitosan Dan Nanokitosan Dari Karapas Udang Dalam Mereduksi Kadar Trigliserida Tikus Sprague-Dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Kitosan Dan Nanokitosan Dari Karapas Udang Dalam Mereduksi Kadar Trigliserida Tikus Sprague-Dawley"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK KITOSAN DAN NANOKITOSAN DARI KARAPAS

UDANG DALAM MEREDUKSI KADAR TRIGLISERIDA

TIKUS Sprague-dawley

MIA RISKY SEPTIWI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Efek Kitosan

dan Nanokitosan dari Karapas Udang dalam Mereduksi Kadar Trigliserida Tikus Sprague-dawley ” adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada IPB (Institut Pertanian Bogor).

Bogor, September 2015

Mia Risky Septiwi NIM C34110002

(4)
(5)

ABSTRAK

MIA RISKY SEPTIWI. Efek Kitosan dan Nanokitosan dari Karapas Udang dalam Mereduksi Kadar Trigliserida Tikus Sprague-dawley. Dibimbing oleh ELLA SALAMAH dan PIPIH SUPTIJAH.

Kitosan merupakan suatu produk hasil deasetilasi kitin yang dapat digunakan untuk mereduksi kadar trigliserida. Kitosan nanopartikel memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga lebih efektif dalam mereduksi kadar trigliserida. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik kitosan dan mempelajari pengaruh kitosan, nanokitosan dan dosisnya dalam mereduksi kadar trigliserida tikus yang diberi diet pakan tinggi lemak. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus Sprague-dawley. Hewan percobaan dikelompokkan dalam enam perlakuan, yaitu kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan yang diberikan kitosan dan nanokitosan dengan dosis berturut-turut 225 mg/kg bb dan dosis 450 mg/kg bb. Pengukuran kadar trigliserida dilakukan dengan menggunakan metode kolorimetri enzimatik-gliserol-3-fosfat oksidase. Pengukuran kadar trigliserida dilakukan setelah masa adaptasi, setelah pemberian pakan tinggi lemak dan setelah masa perlakuan. Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap satu minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar trigliserida dan berat badan tikus mengalami peningkatan setelah pemberian pakan tinggi lemak selama dua minggu. Pemberian kitosan dan nanokitosan selama dua minggu dapat menurunkan kadar trigliserida tikus. Perlakuan pemberian nanokitosan dengan dosis 450 mg/kg bb (NK2) mampu menurunkan kadar trigliserida tikus dengan persen penurunan paling tinggi daripada perlakuan K1, K2 dan NK1, yaitu sebesar 23,42 % dari 111,00 ± 13,29 menjadi 85,00 ± 32,93 mg/dL.

Kata kunci: Kitosan, dosis, nanokitosan, Sprague-dawley, trigliserida

ABSTRACT

MIA RISKY SEPTIWI. The Efect of Chitosan and Nanochitosan from Shrimp Shells in Reducing Triglyceride Levels of Rats Sprague-dawley. Supervised by ELLA SALAMAH and PIPIH SUPTIJAH.

(6)

weeks. Application of chitosan and nanochitosan for two weeks reduced triglyceride levels. Nanochitosan treatment with dose of 450 mg/kg bw was able to lower triglyceride levels of rats with the highest percent decrease than the treatment of K1, K2 and NK1, amounting 23.42 % from 111.00 ± 13.29 to 85.00 ± 32.93 mg/dL.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

EFEK KITOSAN DAN NANOKITOSAN DARI KARAPAS

UDANG DALAM MEREDUKSI KADAR TRIGLISERIDA

TIKUS Sprague-dawley

MIA RISKY SEPTIWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi sebagai tugas akhir yang berjudul

“Efek Kitosan dan Nanokitosan dari Karapas Udang dalam Mereduksi Kadar

Trigliserida Tikus Sprague-dawley”, dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, yaitu:

1 Ibu Dra Ella Salamah MSi dan Ibu Dr Dra Pipih Suptijah MBA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran kepada penulis selama penyusunan tugas akhir ini.

2 Ibu Safrina Dyah Hardiningtyas SPi MSi selaku dosen penguji, atas bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.

3 Prof Dr Ir Joko Santoso MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan nasihat, kritik dan saran dalam penulisan tugas akhir.

4 Ibu Dr Ir Iriani Setyaningsih MS selaku Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan, dorongan dan semangat dalam menyelesaikan pembuatan tugas akhir ini.

5 Dosen dan Staff Tata Usaha Departemen Teknologi Hasil Perairaan atas semua bantuan kepada penulis.

6 Mama, papa, kakak, adik serta semua keluarga yang telah memberikan arahan, semangat dan doa.

7 Laboran di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi, Laboratorium PAU IPB, Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB, Laboratorium Analisis Bahan, Departemen Fisika IPB, Laboratorium klinik YASA, Bogor dan Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

8 Bayu Aditya, Siska Amalia, Tisyah, Maharani, Fitria dan Aisyah yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa.

9 Teman-teman seperjuangan, yaitu Arini, Wekson, Arman dan Iman yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa.

10 Teman-teman THP 48 yang telah memberikan dukungan dan semangat. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2015

(14)
(15)
(16)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi pakan standar dan pakan tinggi lemak yang diformulasikan 5

2 Jumlah pakan, kitosan dan nanokitosan selama masa perlakuan ... 6

3 Karakteristik kitosan ... 11

4 Kandungan gizi pakan tikus standar dan pakan tinggi lemak ... 15

5 Kadar trigliserida serum darah tikus ... 19

6 Data hasil analisis kandungan gizi pakan tikus standar ... 27

7 Data hasil analisis kandungan gizi pakan tikus tinggi lemak ... 27

8 Data hasil analisis kandungan gizi kitosan ... 27

9 Standar mutu kitosan ... 27

10 Rata-rata konsumsi pakan tikus per minggu ... 28

11 Rata-rata berat badan tikus per minggu ... 28

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pembuatan nanokitosan ... 4

2 Diagram alir uji in vivo ... 5

3 Struktur kitosan ... 10

4 Spektra IR kitosan ... 12

5 Rata-rata konsumsi pakan tikus per minggu ... 16

6 Rata-rata berat badan tikus per minggu ... 17

7 Hasil analisis ukuran partikel nanokitosan ke-1 ... 30

8 Hasil analisis ukuran partikel nanokitosan ke-2 ... 30

9 Hasil analisis ukuran partikel nanokitosan ke-3 ... 31

10 Analisis proksimat pakan ... 31

11 Analisis proksimat kitosan ... 32

12 Pembuatan nanokitosan dan pengujian ukuran partikel nanokitosan .... 32

13 Kondisi masa perlakuan tikus ... 33

14 Analisis kadar trigliserida ... 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kandungan gizi pakan tikus standar, pakan tinggi lemak dan kitosan .. 27

2 Standar mutu kitosan (SNI 7949 : 2013) ... 27

3 Data konsumsi pakan tikus dan berat badan tikus per minggu ... 28

4 Contoh perhitungan dosis... 28

5 Perhitungan derajat deasetilasi ... 29

6 Ukuran partikel nanokitosan ... 30

7 Dokumentasi penelitian ... 31

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi. Produksi udang di Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Produksi udang mengalami peningkatan hingga 32,87%, dari 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012 (KKP 2013). Sebanyak 80-90% ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit, sehingga limbah yang dihasilkan mencapai 50-60% dari bobot udang utuh (Sugita et al. 2009).

Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekor. Kulit udang mengandung sebesar 15-20% kitin. Hingga saat ini, limbah karapas udang di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, hidrolisat protein, bahan baku terasi, petis, dan kerupuk udang (Sugita et al. 2009). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, limbah karapas udang dapat dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi, yaitu kitosan.

Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli

(2-amino-2-dioksi-β-(1,4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari proses deasetilasi kitin (Sugita et al. 2009). Kitosan merupakan bahan alam yang bersifat biocompatible dan biodegradable sehingga banyak diaplikasikan dalam bidang pertanian dan lingkungan, biomedis serta pangan (Toharizman 2007). Salah satu kegunaan kitosan di bidang kesehatan adalah sebagai pereduksi kadar trigliserida.

Hipertrigliseridemia merupakan suatu kondisi tingginya kadar trigliserida dalam darah. Konsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar trigliserida. Konsumsi alkohol berlebih, diet tinggi karbohidrat (>60% energi), beberapa penyakit (diabetes, gagal ginjal, nefrosis), dan obat-obatan (steroid) merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar trigliserida (NCEP 2002). Obesitas juga dapat memicu terjadinya hipertigliseridemia dan dapat meningkatkan resiko penyakit arteri koroner (Mostaza et al. 1998).

Terapi gaya hidup, termasuk pengaturan pola makan untuk mencapai komposisi diet yang tepat dan aktivitas fisik adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hipertrigliseridemia (Berglund et al. 2012). Hipertrigliseridemia juga dapat diatasi dengan konsumsi serat atau dengan konsumsi kitosan.

(18)

2

Kitosan memiliki viskositas yang tinggi dan tidak larut dalam air sehingga dapat menurunkan penyerapan dalam usus, karena sebagian usus binatang, terutama saluran pencernaan tidak memiliki enzim kitinase dan kitosanase (Fukamizo dan Brzezinski 1997). Kitosan nanopartikel memiliki viskositas yang rendah sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh (Tao et al. 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2012) menunjukkan bahwa pemberian nanokitosan pada tikus selama 4 minggu dengan dosis 450 mg/kg bb dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah tikus lebih baik daripada kitosan.

Penelitian mengenai aplikasi kitosan dan nanokitosan sangat penting dan menarik untuk dilakukan guna untuk memberikan informasi mengenai pengaruh kitosan dan nanokitosan dalam aplikasinya sebagai pereduksi kadar trigliserida.

Rumusan Masalah

Hipertrigliseridemia merupakan suatu kondisi tingginya kadar trigliserida. Kadar trigliserida dapat meningkat akibat konsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi. Kitosan yang berasal dari hasil hidrolisis kitin dapat digunakan untuk mereduksi kadar trigliserida. Penelitian mengenai aplikasi kitosan dan nanokitosan sebagai pereduksi kadar trigliserida diperlukan untuk menentukan pengaruh kitosan dan nanokitosan sebagai pereduksi kadar trigliserida.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik kitosan dan mempelajari pengaruh kitosan, nanokitosan dan dosisnya dalam mereduksi kadar trigliserida tikus yang diberi diet pakan tinggi lemak.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai efek kitosan dan nanokitosan dalam aplikasinya sebagai pereduksi kadar trigliserida.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah karakterisasi kitosan, pembuatan dan pengukuran ukuran partikel nanokitosan, serta analisis kadar trigliserida serum darah tikus yang diberi pakan tinggi lemak.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(19)

3

dilakukan di Laboratorium PAU IPB. Analisis gugus fungsi kitosan dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM, IPB. Analisis ukuran partikel nanokitosan dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Analisis kadar trigliserida dilakukan di klinik YASA, Bogor. Perlakuan hewan percobaan dilakukan pada bulan April 2015 di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kitosan yang diperoleh dari CV. Bio Chitosan Indonesia, tikus galur Sprague-dawley (bobot badan 200-250 g dan umur 3 bulan) sebagai hewan percobaan yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, pakan tikus dan kuning telur. Bahan yang digunakan dalam pembuatan nanokitosan adalah kitosan, asam asetat 1%, tween 80 0,1%, tripoliposfat (TPP) 0,1% dan akuades. Bahan yang digunakan untuk analisis proksimat pakan tikus, karakterisasi kitosan dan nanokitosan adalah pelarut heksana, H2SO4, NaOH 30%, asam borat 2%, HCl 0,01 N dan akuades. Bahan yang digunakan dalam pengambilan darah tikus adalah ketamine hydrochloride injection 200 mg/20 ml. Bahan yang digunakan dalam analisis kadar trigliserida adalah serum darah tikus, reagen trigliserida (Triglicerides enzyme reagent) dan akuades.

Alat yang digunakan dalam pembuatan nanokitosan adalah beaker glass (pyrex), spinbar, stirrer, batang pengaduk, alumunium foil dan alat pengering spray dryer (Buchi 190). Alat untuk analisis proksimat pakan tikus, karakterisasi kitosan dan nanokitosan adalah oven (Yamato DV-41), desikator, timbangan (Sartorius 64), alat soxhlet, pemanas listrik, kompor listrik (Maspion), buret, labu ukur, enlenmeyer (pyrex), beaker glass (pyrex), pipet, cawan porselin, tanur (Muffle Furnace 38), sudip, kapas, alumunium foil, spektrofotometer infra-red (Bruker Tensor 37) dan alat Particle Size Analyzer (Vasco). Alat yang digunakan dalam pengambilan darah tikus adalah spluit 1 cc, pipet mikro hematokrit (Nesco lab), tabung vacutainer plain (Nesco lab), cool box (Marina) dan alat sentrifuge (Health H-C-8 Centrifuge). Alat yang digunakan dalam analisis kadar trigliserida adalah tabung reaksi, pipet dan spektrofotometer (Mindray BA-88A).

Prosedur Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahapan, yaitu karakterisasi kitosan untuk mengetahui mutu kitosan yang digunakan, pembuatan dan pengukuran ukuran partikel nanokitosan, serta uji in vivo terhadap tikus jantan galur Sprague-dawley sebagai hewan percobaan.

Pembuatan nanokitosan (Suptijah et al. 2011)

(20)

4

kemudian distabilisasi dengan tripoliphospat (TPP) 0,1% sebanyak 200 ml, lalu distirrer selama 60 menit. Larutan nanokitosan diuji ukuran partikelnya, dan selanjutnya dikeringkan dengan spray dryer. Pembuatan nanokitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir pembuatan nanokitosan

Pengujian secara in vivo terhadap hewan percobaan (tikus Sprague-dawley)

Pengujian secara in vivo terdiri dari masa adaptasi, masa induksi pakan tinggi lemak dan kuning telur, serta masa perlakuan. Penelitian diawali dengan masa adaptasi terhadap tikus selama tujuh hari dengan memberikan pakan standar sebanyak 20 g/ekor/hari, kemudian tikus dikelompokkan ke dalam enam kelompok perlakuan, yaitu kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP), kelompok K1 (kitosan dosis 225 mg/kg bb), K2 (kitosan dosis 450 mg/kg bb), NK1 (nanokitosan dosis 225 mg/kg bb) dan NK2 (nanokitosan dosis 450 mg/kg bb). Selanjutnya darah tikus diambil dan diuji kadar trigliseridanya untuk mengetahui kadar trigliserida awal.

(21)

5

kadar trigliseridanya kembali untuk mengetahui efek kitosan dan nanokitosan terhadap kadar trigliserida tikus.

Berat badan tikus ditimbang setiap 1 minggu sekali selama 4 minggu untuk mengetahui efek pemberian pakan tinggi lemak dan kuning telur terhadap berat badan tikus. Penimbangan pakan dan sisa pakan tikus juga dilakukan setiap hari untuk mengetahui banyaknya konsumsi pakan tikus. Diagram alir uji in vivo terhadap hewan percobaan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir uji in vivo

Pemberian pakan, kitosan dan nanokitosan pada tikus

Pakan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari pakan standar dan pakan tinggi lemak yang diformulasi. Komposisi pakan standar dan pakan tinggi lemak yang diformulasikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi pakan standar dan pakan tinggi lemak yang diformulasikan

Komponen Standar Tinggi lemak

Tepung jagung 590 150

Polard 190 200

CGM (Corn Gluten Meal) 150 250

Tapioka 20 30

CaCO3 15 15

DCP (Dicalcium phosphate) 10 10

CPO (Crude Palm Oil) 23 0

Lemak sapi 0 340

Garam 1 2

Premix 1 3

Total (g) 1000 1000

Pengelompokan tikus ke dalam enam perlakuan (kontrol negatif, kontrol positif, K1, K2, NK1 dan NK2)

Adaptasi selama 7 hari

Penimbangan berat badan tikus setiap 1 minggu sekali selama 4 minggu, penimbangan pakan dan sisa pakan setiap hari

Pengambilan darah dan pengujian

(22)

6

Tabel 1 menunjukkan komposisi pakan standar dan pakan tinggi lemak yang digunakan pada penelitian. Pakan tinggi lemak yang digunakan terdiri dari pakan standar yang ditambah dengan lemak sapi sebagai sumber lemak. Pakan standar dibuat dengan cara mencampurkan semua komponen (Tabel 1) dan kemudian dicetak. Sedangkan pembuatan pakan tinggi lemak dilakukan dengan cara memanaskan lemak sapi terlebih dahulu, lalu lemak dicampurkan dengan komponen lainnya dan kemudian dicetak. Jumlah pakan, kitosan dan nanokitosan yang diberikan selama masa perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah pakan, kitosan dan nanokitosan selama masa perlakuan

Jumlah pakan, kitosan (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Saat masa adaptasi, semua kelompok perlakuan diberikan pakan standar sebanyak 20 g/ekor/hari dan air secara ad libitum pada pagi hari. Setelah masa adaptasi, kelompok kontrol positif, K1, K2, NK1 dan NK2 diberikan pakan tinggi lemak sebanyak 20 g/ekor/hari dan kuning telur (secara oral 1 ml/ekor/hari) selama dua minggu untuk meningkatkan kadar trigliserida tikus. Saat masa perlakuan selama 2 minggu, jumlah pakan, kitosan dan nanokitosan yang diberikan sesuai dengan Tabel 2. Banyak pakan yang diberikan dan sisa pakan yang tersisa ditimbang setiap hari untuk mengetahui banyaknya konsumsi pakan tikus.

Penimbangan berat badan tikus

Salah satu efek dari pemberian pakan tinggi lemak adalah meningkatnya cadangan lemak dalam tubuh tikus, sehingga dapat mempengaruhi berat badan tikus. Selama masa penelitian dilakukan penimbangan dan pencatatan berat badan tikus 1 minggu sekali selama 4 minggu untuk melihat pengaruh konsumsi pakan tinggi lemak terhadap peningkatan berat badan tikus.

Pengambilan darah tikus (Hoft et al. 2000)

Pengambilan darah tikus dilakukan pada minggu ke-0, minggu ke-2 dan minggu ke-4. Pengambilan darah dilakukan dengan cara membius tikus dengan menggunakan ketamine dengan dosis 10 mg/kg bb secara intraperitonial. Darah diambil melalui vena retro orbitalis mata menggunakan pipet mikro hematokrit sebanyak 1-1,5 ml. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacutainer plain dan disentrifugasi selama 10 menit untuk diambil serumnya. Serum darah diambil dengan menggunakan pipet, kemudian dianalisis kadar trigliseridanya.

Prosedur Analisis

(23)

7

gugus fungsi kitosan. Analisis ukuran partikel nanokitosan juga dilakukan untuk mengetahui ukuran partikel nanokitosan yang digunakan serta analisis pakan tikus yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat (by different)

Analisis kadar Air (BSN 1992)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 30 menit. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan hingga beratnya konstan, kemudian ditimbang. Sampel seberat 2 g ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan porselen. Selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 °C selama 3 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air sampel adalah sebagai berikut.

Kadar air (%)

=

B−C

B−A x 100%

Keterangan: A = berat cawan kosong (g) B = berat cawan dan sampel (g)

C = berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis kadar abu (BSN 1992)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan yang terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105°C, lalu dimasukkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 3 g dimasukkan ke dalam cawan abu porselen, kemudian diarangkan di atas kompor listrik hingga tidak berasap. Cawan tersebut kemudian ditanur pada tungku 550 °C. Proses pengabuan dilakukan selama 6 jam sampai abu berwarna putih. Setelah suhu tungku pengabuan turun, cawan abu porselen didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang beratnya. Perhitungan kadar abu sampel adalah sebagai berikut.

Kadar abu (%)=C−A

B−A x 100%

Keterangan: A = berat cawan kosong (g) B = berat cawan dan sampel (g)

C = berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis kadar protein (BSN 1992)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

Tahap destruksi

(24)

8

Tahap destilasi

Setelah tahap destruksi, larutan yang telah berwarna hijau bening didinginkan dan diencerkan hingga 100 ml dengan menggunakan akuades. Kemudian larutan diambil sebanyak 5 ml dan ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator phenolphthalein (PP). Selanjutnya dilakukan destilasi selama 10 menit dengan penampung berupa 10 ml asam borat 2 % yang telah dicampur dengan indikator. Destilasi dilakukan hingga terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi biru.

Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Perhitungan kadar protein pada sampel adalah sebagai berikut. dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan heksana. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 80 °C selama 6 jam. Larutan heksana yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua heksana menguap. Pada saat destilasi, heksana akan tertampung di ruang ekstraktor, heksana dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu dimasukkan ke dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada sampel adalah sebagai berikut.

(25)

9

Perhitungan derajat deasetilasi kitosan (Domszy dan Roberts 1985)

Derajat deasetilasi ditentukan dengan metode garis dasar menggunakan grafik FTIR. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

A = log PO

1655dengan A3450 pada DD sebesar 100%

Analisis ukuran partikel nanokitosan (Burgess et al. 2004)

Analisis ukuran partikel nanokitosan dilakukan dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA). Sampel larutan diambil dengan pipet, kemudian dimasukkan ke dalam alat PSA. Hasil pengujian akan muncul pada layar komputer.

Analisis kadar trigliserida darah tikus (Winder et al. 1997)

Kadar trigliserida serum darah ditetapkan dengan metode kolorimetri enzimatik menggunakan gliserol-3-fosfat oksidase (GPO).

Prinsip : Sebanyak 10 µ l serum darah dicampurkan dengan 1000 µ l larutan reagen kit trigliserida, kemudian diinkubasi selama 10 menit. Campuran tersebut kemudian diukur konsentrasi trigliseridanya menggunakan spektrofotometer. Absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 500 nm.

Rancangan Percobaan

(26)

10

sampel yang digunakan pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus Federer (Federer 1991).

(n-1) x (t-1) ≥ 15 Keterangan :

n = jumlah sampel tiap kelompok t = jumlah kelompok

Tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 24 ekor dan 6 ekor tikus sebagai cadangan. Tikus dibagi dalam 6 kelompok perlakuan (t=6).

Sehingga didapatkan n≥4, artinya tikus yang digunakan adalah sebanyak 4 ekor

tikus per kelompok perlakuan dan 1 ekor tikus sebagai cadangan untuk setiap perlakuan.

Analisis Data

Data konsumsi pakan, berat badan dan kadar trigliserida tikus dianalisis secara deskriptif. Data diolah menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan disajikan dalam bentuk grafik (konsumsi pakan dan berat badan tikus) dan tabel (kadar trigliserida tikus). Data perubahan kadar trigliserida tikus dihitung dari selisih kadar trigliserida darah tikus minggu ke-2 dan minggu ke-4 dan kemudian dihitung persentase perubahan kadar trigliseridanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kitosan

Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli

(2-amino-2-dioksi-β-(1,4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari proses deasetilasi kitin. Kitosan dapat dibuat melalui tiga tahapan proses, yaitu deproteinasi (proses penghilangan protein), demineralisasi (proses penghilangan mineral) dan deasetilasi (proses penghilangan gugus asetil). Dinamakan kitosan apabila lebih dari 70% gugus asetil dari kitinnya telah dihilangkan (Sugita et al. 2009). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kitosan

(27)

11

dan didapatkan dari CV. Bio Chitosan Indonesia. Untuk mengetahui mutu kitosan, dilakukan karakterisasi kitosan yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar nitrogen) dan analisis gugus fungsi menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra-Red). Karakteristik kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik kitosan

No Parameter Hasil penelitian SNI 7949:2013 (BSN 2013)

1 Kadar air (%) 11,58 ± 0,10* maks 12

Analisis kadar air menunjukkan jumlah air yang terkandung pada kitosan yang digunakan. Semakin rendah kadar air kitosan, maka dapat memperpanjang daya simpan kitosan. Tabel 3 menunjukkan bahwa kitosan yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air sebesar 11,58 ± 0,10 %. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan kadar air kitosan dari penelitian yang dilakukan Zahiruddin et al. (2008), yaitu sebesar 9,55 % dan kadar air kitosan dari penelitian Sanusi (2004), yaitu sebesar 6,25 %. Kadar air kitosan yang digunakan pada penelitian ini tidak melebihi batas maksimum dari standar mutu kadar air kitosan yang telah ditetapkan menurut SNI 7949: 2013, yaitu maksimum 12 % (BSN 2013).

Kadar air yang terkandung pada kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan dan lama pengeringan yang dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas permukaan tempat kitosan dikeringkan (Saleh et al. 1994). Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap kadar air kitosan adalah kondisi penyimpanan kitosan. Tingginya kadar air pada kitosan memungkinkan terjadinya proses penggelembungan pada kitosan, mengingat sifat kitosan yang higroskopis karena kemampuan gugus amina kitosan yang dapat mengikat molekul air (Kurniasih dan Kartika 2011).

Kadar abu adalah indikator keefektifan proses demineralisasi. Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral-mineral yang terdapat dalam kulit udang. Asam klorida dalam proses demineralisasi akan melarutkan garam-garam kalsium (Kurniasih dan Kartika 2011). Faktor yang mempengaruhi kadar abu kitosan adalah konsentrasi asam yang digunakan pada proses demineralisasi saat pembuatan kitosan. Semakin besar konsentrasi HCl pada tahap demineralisasi, maka kadar mineral yang terkandung pada kitosan semakin sedikit (Budiutami et al. 2012).

(28)

12

Kadar nitrogen merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan mutu kitosan. Semakin rendah kadar nitrogen, maka kitosan yang digunakan memiliki kemurnian yang semakin tinggi. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar nitrogen kitosan yang digunakan pada penelitian ini sebesar 6,36 ± 0,05 %. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan nitrogen yang cukup tinggi dibandingkan dengan kadar nitrogen kitosan dari penelitian yang dilakukan oleh Rachmania (2011), yaitu sebesar 4,73 %. Kitosan yang digunakan pada penelitian ini tidak sesuai dengan standar mutu kadar nitrogen kitosan yang telah ditetapkan oleh SNI 7949: 2013, yaitu maksimum 5 % (BSN 2013).

Faktor yang mempengaruhi kadar nitrogen pada kitosan adalah konsentrasi NaOH dan suhu operasi (Budiutami et al. 2012). Saleh et al. (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu yang digunakan maka reaksi antara protein dengan larutan pembentuk ester (Na-proteinat) akan semakin sempurna, sehingga protein yang dihilangkan akan semakin banyak. Budiutami et al. (2012) juga menyatakan bahwa semakin besar suhu operasi, maka kecepatan reaksi akan berjalan semakin cepat sehingga semakin kecil protein yang terkandung di dalam kitosan.

Analisis gugus fungsi kitosan dengan menggunakan Fourier Transform Infra-Red (FTIR) juga dilakukan untuk mengetahui pita serapan dari kitosan dan derajat deasetilasi kitosan. Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Sebagian dari radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu fibrasi spesifik sama dari frekuensi radiasi IR yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absoprsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari molekular suatu sampel (Kencana 2009). Analisis spektra IR berfungsi untuk mengetahui gugus fungsional dari suatu bahan, sehingga dapat diketahui bahwa senyawa yang dianalisis tersebut merupakan senyawa yang diharapkan, yaitu dalam penelitian ini adalah kitosan. Spektra IR kitosan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

(29)

13

Gambar 4 menunjukkan adanya serapan IR beberapa gugus fungsi dari senyawa kitosan. Gambar 4 menunjukkan bahwa terdapat serapan pada bilangan gelombang 3433,50 cm-1 yang menunjukkan adanya serapan dari gugus –OH. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2007) menujukkan bahwa terdapat serapan pada bilangan gelombang 3452,49 cm-1 yang menunjukkan adanya serapan dari gugus –OH. Nur (1989) menyatakan bahwa gugus fungsi –OH terdapat pada bilangan gelombang 3600-3300 cm-1.

Spektra IR pada Gambar 4 juga menunjukkan bahwa terdapat serapan pada bilangan gelombang 2923,86 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-H. Hasil penelitian yang dilakukan Rakhmawati (2007) menunjukkan bahwa terdapat serapan pada bilangan gelombang 2922,65 cm-1 yang mengindikasikan adaya gugus C-H. Nur (1989) menyatakan bahwa gugus fungsi C-H stretching terdapat pada kisaran bilangan gelombang 2962-2853 cm-1.

Pita serapan pada spektra IR juga terdapat pada bilangan gelombang 1655,64 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus N-H. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriah et al. (2012) menunjukkan bahwa terdapat gugus fungsi N-H pada bilangan gelombang 1658 cm-1. Nur (1989) menyatakan bahwa gugus N-H terdapat pada bilangan gelombang 1690-1630 cm-1.

Serapan pada bilangan gelombang 1382,83 cm-1 juga terdapat pada spektra IR (Gambar 4) yang menunjukkan adanya gugus C-C. Penelitian yang dilakukan oleh Pitriani (2010) juga menunjukkan bahwa terdapat gugus C-C pada bilangan gelombang 1380,14 cm-1.

Gambar 4 juga menunjukkan bahwa terdapat serapan pada bilangan gelombang 1066,06 cm-1 yang menunjukkan bahwa terdapat gugus C-O. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriah et al. (2012) menunjukkan bahwa terdapat gugus fungsi C-O pada bilangan gelombang 1072 cm-1. Penelitian ini sesuai dengan Nur (1989) yang menyatakan bahwa gugus C-O terdapat pada bilangan gelombang 1300-1000 cm-1.

Gambar 4 menunjukkan bahwa senyawa yang digunakan pada penelitian ini memiliki gugus fungsi yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2007), Fitriah et al. (2012) dan Pitriani (2010) yaitu kitosan memiliki gugus –OH, -CH, N-H, C-C dan C-O. Hasil analisis gugus fungsi dengan menggunakan FTIR pada penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan.

Tingkat kemurnian kitosan dapat dilihat dari nilai derajat deasetilasi (DD) kitosan. Deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil. Proses deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina (–NH2) (Azhar et al. 2010). Banyaknya gugus asetil yang hilang disebut sebagai derajat deasetilasi (Prasetyaningrum et al. 2007). Nilai DD dapat ditentukan dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared). Perhitungan nilai DD berdasarkan perbandingan nilai absorbansi pita serapan dari spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan bilangan gelombang 3450 cm-1 (Khan et al. 2002).

(30)

14

perbedaan nilai derajat deasetilasi dari kitosan, yaitu konsentrasi NaOH, suhu pada proses deasetilasi dan lama waktu proses. Semakin tinggi suhu yang digunakan dan semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai derajat deasetilasinya (Prasetyaningrum et al. 2007). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka jumlah gugus asetil yang hilang akan semakin banyak. Konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan menyumbangkan gugus –OH yang semakin banyak, sehingga gugus CH3COO -yang tereleminasi juga akan semakin banyak dan menghasilkan gugus amina pada molekul kitosan yang semakin banyak sehingga derajat deasetilasi akan meningkat (Budiutami et al. 2012).

Ukuran Partikel Nanokitosan

Nanopartikel merupakan butiran atau partikel padat dengan kisaran ukuran 10-1000 nm (Mohanraj dan Chen 2006). Nanokitosan pada penelitian ini dibuat dengan prinsip gelasi ionik melalui sizing menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 3700 rpm. Mekanisme pembentukan nanopartikel kitosan dengan prinsip gelasi ionik ini didasarkan pada interaksi elektrostatik antara grup amina kitosan dan grup muatan negatif polianion seperti tripolifosfat (TPP). Adanya kompleksasi atara muatan yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik dan presipitasi membentuk partikel bulat seperti bola (Tiyaboonchai 2003).

Pembuatan nanokitosan pada penelitian ini dilakukan dengan prinsip gelasi ionik menggunakan magnetic stirrer. Pembuatan nanokitosan diawali dengan penimbangan kitosan sebanyak 3 g. Kitosan lalu dilarutkan menggunakan 100 ml asam asetat 1% dan distirer selama kurang lebih 2 jam. Setelah kurang lebih 2 jam, kitosan kemudian akan larut sempurna dalam asam asetat 1% yang ditandai dengan terbentuknya kitosan cair yang berwarna kuning dan agak kental, serta tidak terdapat lagi serpihan kitosan yang tersisa. Setelah kitosan larut sempurna dalam asam asetat, selanjutnya ditambahkan akuades hingga 1000 ml, lalu disizing selama 2 jam dengan kecepatan 3700 rpm menggunakan magnetic stirer.

Setelah disizing, larutan kitosan diemulsifikasi dengan tween 80 0,1 % sebanyak 20 µL dengan cara disemprotkan dan distirer selama kurang lebih 1 jam. Setelah diemulsifikasi dengan tween 80, selanjutnya dilakukan stabilisasi menggunakan TPP 0,1% sebanyak 200 ml dengan cara diteteskan menggunakan pipet tetes dan distirer selama kurang lebih 1 jam. Tripolifosfat berperan sebagai zat pengikat silang sehingga dapat memperkuat matriks nanopartikel kitosan (Wahyono 2010). Setelah penambahan TPP, campuran kemudian perlahan-lahan akan berubah warna menjadi bening. Tiyaboonchai (2003) menyatakan bahwa pada saat larutan kitosan ditambahkan dengan TPP, maka akan terjadi interaksi elektrostatik antara grup amina kitosan dan grup muatan negatif polianion TPP. Akibat kompleksasi antara muatan yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik dan presipitasi membentuk partikel bulat seperti bola.

(31)

15

nanokitosan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2014), yaitu 273,36 nm. Ukuran nanokitosan yang lebih kecil ini disebabkan karena adanya perbedaan waktu proses. Semakin tinggi kecepatan dan semakin lama waktu proses maka partikel yang dihasilkan semakin kecil. Chang (2005) menyatakan bahwa semakin cepat gerakan suatu molekul, maka semakin besar energi kinetiknya. Energi kinetik yang besar menyebabkan molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat sehingga memutuskan beberapa ikatan kimianya. Semakin cepat putaran dapat memperbesar intensitas bersentuhan molekul pelarut dengan kitosan, sehingga semakin besar intensitas kecepatan putaran dari magnetic stirrer maka partikel yang dihasilkan semakin kecil. Kurniawati (2014) juga menyatakan bahwa perbedaan waktu proses sizing, aktivitas bahan emulsifier dan bahan stabilizer dapat mempengaruhi variasi ukuran partikel.

Kandungan Gizi Pakan Tikus

Pakan tikus yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari pakan standar dan pakan tinggi lemak. Saat masa adaptasi selama 1 minggu, tikus diberikan pakan standar dan air secara ad libitum, selanjutnya tikus diberi pakan tinggi lemak untuk meningkatkan kadar trigliseridanya selama 2 minggu. Pakan standar dan pakan tinggi lemak yang digunakan memiliki kandungan gizi yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan gizi pakan tikus standar dan pakan tinggi lemak

No Analisis Pakan standar (%) Pakan tinggi lemak (%) lemak yang digunakan untuk meningkatkan kadar trigliserida tikus sebelum masa perlakuan mengandung kadar lemak yang lebih tinggi, yaitu 23,94 ± 0,94 %. Selain pakan tinggi lemak, tikus juga diberikan kuning telur sebanyak 1 ml/ekor/hari (diberikan secara oral) untuk meningkatkan kadar trigliserida sebelum masa perlakuan. Sudaryani (2006) menyatakan bahwa kuning telur ayam mengandung 32% lemak.

Konsumsi Pakan Tikus

Pakan yang diberikan pada tikus terdiri dari pakan standar dan pakan

tinggi lemak. Jumlah pakan yang diberikan pada tikus adalah sebanyak 20 g/ekor/hari. Jumlah pakan dan sisa pakan yang tidak dimakan oleh tikus

(32)

16

Gambar 5 Rata-rata konsumsi pakan tikus per minggu

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada minggu pertama, perlakuan kontrol negatif memiliki rata-rata konsumsi pakan tertinggi, yaitu 14,82 ± 0,04 g, sedangkan perlakuan NK2 memiliki rata-rata konsumsi pakan terendah, yaitu sebesar 9,50 ± 3,71 g (Lampiran 3). Hasil pengamatan pada minggu kedua, minggu ke-3 dan minggu keempat menunjukkan bahwa perlakuan K2, NK1 dan kontrol positif memiliki rata-rata konsumsi pakan tertinggi berturut-turut sebesar 14,40 ± 0,81 g, 15,36 ± 1,57 g dan 18,14 ± 1,25 g (Lampiran 3).

Konsumsi pakan tikus (Gambar 5) pada minggu pertama lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi pakan pada minggu keempat, hal ini disebabkan karena pada minggu pertama tikus masih menyesuaikan diri dengan pakan yang diberikan sehingga konsumsi pakan tikus pada minggu pertama lebih rendah. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum pada tikus dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban kandang, kesehatan dan kualitas makanan.

Gambar 5 menunjukkan bahwa konsumsi pakan tikus secara umum mengalami peningkatan seiring meningkatnya berat badan tikus. Peningkatan konsumsi pakan tikus disebabkan karena kapasitas lambung yang semakin besar seiring dengan meningkatnya berat badan tikus, sehingga daya tampung pakan pada lambung juga semakin besar. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa konsumsi pakan dapat meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan akan meningkat pula, sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah yang lebih banyak. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa konsumsi pakan tikus mengalami penurunan pada perlakuan KN (minggu ke-2), K1 dan K2 (minggu ke-3). Penurunan konsumsi pakan ini disebabkan karena adanya efek penyondean akuades pada perlakuan KN, penyondean kitosan pada perlakuan K1 dan K2, serta juga disebabkan karena proses pengambilan darah tikus pada minggu ke-2, sehingga tikus mengalami stress dan menyebabkan konsumsi pakan menurun. Balcombe et al. (2004) menyatakan bahwa stress pada tikus dapat disebabkan oleh cara pemegangan, pengambilan darah dan proses penyondean.

(33)

17

Berat Badan Tikus

Salah satu efek dari pemberian pakan tinggi lemak dan kuning telur pada hewan percobaan adalah meningkatnya cadangan lemak di dalam tubuh tikus, sehingga dapat mempengaruhi berat badan tikus. Penimbangan berat badan tikus setiap satu minggu sekali bertujuan untuk mengetahui perubahan berat badan tikus akibat konsumsi pakan tinggi lemak dan kuning telur. Rata-rata berat badan tikus per minggu penimbangan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Rata-rata berat badan tikus per minggu

Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata berat badan tikus mengalami peningkatan setiap kali penimbangan pada semua perlakuan. Berat badan tikus pada perlakuan kontrol negatif mengalami peningkatan yang lebih sedikit daripada perlakuan lainnya yang diberi pakan tinggi lemak dan kuning telur. Pemberian pakan tinggi lemak dan kuning telur selama 2 minggu (minggu ke-0 hingga minggu ke-2) dapat meningkatkan cadangan lemak dalam tubuh tikus sehingga menyebabkan berat badan tikus meningkat.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan berat badan tikus yang disebabkan adanya pemberian pakan tinggi lemak dan kuning telur ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Octavia dan Widyastuti (2014) yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang diberi kuning telur bebek sebanyak 2 ml/200 g bb tikus dapat meningkatkan berat badan tikus. Tsalissavrina et al. (2006) menyatakan bahwa asupan lemak yang tinggi dapat meningkatkan berat badan tikus. Lemak yang berlebih akan dimetabolisme menjadi trigliserida dalam tubuh dan disimpan di dalam jaringan adiposa, sehingga menyebabkan peningkatan berat badan.

Perlakuan kontrol positif mengalami peningkatan berat badan paling besar daripada perlakuan K1, K2, NK1 dan NK2 selama masa induksi pakan tinggi lemak (minggu ke-0 hingga minggu ke-2). Hal ini disebabkan karena tingginya konsumsi pakan tikus pada perlakuan kontrol positif (Lampiran 3), sehingga

(34)

18

asupan lemak dari pakan juga tinggi dan menyebabkan tikus perlakuan kontrol positif mengalami peningkatan berat badan paling besar.

Gambar 6 juga menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif mengalami peningkatan berat badan yang paling besar daripada perlakuan lainnya selama masa perlakuan (minggu ke-2 hingga minggu ke-4). Hal ini disebabkan karena selama masa perlakuan, perlakuan kontrol positif diberi pakan tinggi lemak, sedangkan perlakuan kontrol negatif, K1, K2, NK1 dan NK2 diberi pakan standar. Perlakuan kontrol positif juga memiliki tingkat konsumsi pakan yang tinggi pada masa perlakuan (Lampiran 3) sehingga berat badan tikus perlakuan kontrol positif mengalami peningkatan berat badan yang paling besar. Penelitian yang dilakukan oleh Tsalissavrina et al. (2006) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian diet tinggi lemak selama 12 minggu memiliki kenaikan berat badan sebesar 166 ± 19,9 g. Kenaikan berat badan akibat diet tinggi lemak dikarenakan besarnya asupan lemak berpengaruh terhadap tingginya energi hasil metabolisme yang kemudian disimpan sebagai lemak dan akhirnya berimplikasi terhadap penambahan berat badan hewan coba (Tsalissavrina et al. 2006).

Peningkatan berat badan tikus selama induksi pakan tinggi lemak dan kuning telur pada perlakuan K1, K2, NK1 dan NK2 (Gambar 6) mengalami peningkatan berat badan yang lebih tinggi daripada peningkatan berat badan tikus pada masa perlakuan pemberian kitosan dan nanokitosan selama 2 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kitosan dan nanokitosan dapat mengganggu peningkatan berat badan tikus. Kitosan memiliki kemampuan dalam mengikat partikel yang bermuatan negatif seperti asam empedu, sehingga dapat menghambat laju peningkatan berat badan tikus. Ali (2014) menyatakan bahwa pemberian kitosan mempengaruhi pengikatan lipid dalam metabolisme lemak tikus sehingga dapat menghambat laju kenaikan berat badan tikus.

Kadar Trigliserida Serum Darah

Trigliserida adalah komponen utama asam lemak dalam makanan, yang dibentuk oleh reaksi katalisa gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Hampir seluruh lemak yang terdapat dalam bahan makanan, kurang lebih 90% merupakan lemak yang terdapat dalam bentuk trigliserida, sedangkan 10% sisanya terdapat dalam bentuk kolesterol dan fosfolipid (Piliang dan Al Haj 2006).

(35)

19

panjang akan bergabung dengan protein untuk membentuk lipoprotein chylomicron. Chylomicron akan masuk ke dalam sistem lymph dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah (Piliang dan Al Haj 2006).

Konsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar trigliserida. Kadar trigliserida dapat direduksi dengan menggunakan kitosan (Tao et al. 2011). Untuk mengetahui pengaruh konsumsi pakan tinggi lemak dan kuning telur terhadap kadar trigliserida dan pengaruh kitosan dan nanokitosan dalam menurunkan kadar trigliserida, maka dilakukan pengukuran terhadap kadar trigliserida pada serum darah tikus. Kadar trigliserida serum darah tikus dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kadar trigliserida serum darah tikus

Perlakuan

Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata kadar trigliserida pada minggu ke-0 berkisar antara 54 ± 7,12 mg/dL hingga 101,25 ± 18,79 mg/dL. Hal ini menunjukkan bahwa kadar trigliserida awal tikus setelah masa adaptasi tergolong normal. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa kadar trigliserida tikus normal sebesar 26-145 mg/dL.

Tabel 5 juga menunjukkan bahwa rata-rata kadar trigliserida minggu ke-2 pada kelompok kontrol negatif tidak mengalami peningkatan kadar trigliserida. Hal ini disebabkan karena kelompok kontrol negatif tidak diberikan asupan pakan tinggi lemak, sehingga kadar trigliserida tikus tidak mengalami peningkatan. Sedangkan kelompok kontrol positif, K1, K2, NK1 dan NK2 mengalami peningkatan kadar trigliserida karena adanya pemberian asupan pakan tinggi lemak dan kuning telur.

(36)

20

Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar trigliserida kelompok K1, K2, NK1 dan NK2 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif. Penurunan kadar trigliserida tikus akibat perlakuan pemberian kitosan dan nanokitosan pada perlakuan K1, K2, NK1 dan NK2 sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zhang et al. (2012) yang menunjukkan bahwa pemberian kitosan secara oral pada tikus selama 4 minggu dengan dosis 450 mg/kg bb dapat menurunkan kadar trigliserida darah tikus. Penelitian yang dilakukan oleh Tao et al. (2010) juga menunjukkan bahwa pemberian kitosan dan nanokitosan pada tikus selama 4 minggu dapat menurunkan kadar trigliserida darah tikus. Park et al. (2007) menyatakan bahwa keberadaan gugus amino pada kitosan menyebabkan kitosan memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat substrat bermuatan negatif seperti lipid dan asam empedu.

Penurunan kadar trigliserida tikus yang tinggi terdapat pada kelompok perlakuan pemberian kitosan dan nanokitosan dengan dosis tinggi (450 mg/kg bb). Semakin tinggi dosis yang digunakan maka semakin banyak gugus amino pada kitosan yang memiliki muatan positif, sehingga semakin besar kemampuannya dalam mengikat substrat yang bermuatan negatif seperti lipid dan asam empedu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Martati dan Lestari (2008) menunjukkan bahwa penurunan kadar trigliserida yang paling drastis adalah pada perlakuan pemberian kitosan dengan konsentrasi paling tinggi, yaitu sebesar 5 %.

Perbedaan jenis ukuran kitosan (kitosan dan nanokitosan) dengan pemberian dosis yang sama menunjukkan tingkat penurunan kadar trigliserida yang tidak jauh berbeda (Tabel 5). Hal ini mungkin disebabkan karena ukuran partikel nanokitosan meningkat setelah proses pengeringan dengan menggunakan spray dryer. Tingginya suhu yang digunakan pada pengeringan dengan spray dryer (180 °C) dapat menyebabkan nanokitosan mengalami aglomerasi, sehingga ukuran partikel nanokitosan meningkat. Suptijah et al. (2011) menyatakan bahwa pengeringan semprot dapat menyebabkan partikel nanokitosan mengalami aglomerasi dan menyebabkan peningkatan ukuran partikel. Ukuran partikel nanokitosan yang dikeringkan dengan spray dryer tergantung pada ukuran nozel, kecepatan aliran semprot, tekanan atomisasi, suhu udara inlet, dan tingkat ikatan silang nanokitosan (Agnihotri et al. 2004).

Perlakuan nanokitosan dengan dosis 450 mg/kg bb (NK2) mampu menurunkan kadar trigliserida paling tinggi daripada perlakuan K1, K2 dan NK1, yaitu sebesar 23,42 % dari 111,00 ± 13,29 menjadi 85,00 ± 32,93 mg/dL. Hasil penelitian Zhang et al. (2012) menunjukkan bahwa pemberian kitosan nanopartikel pada tikus selama 4 minggu dengan dosis 450 mg/kg bb terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida darah tikus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(37)

21

penelitian ini secara umum telah memenuhi standar mutu kitosan, namun kadar nitrogen kitosan yang digunakan belum memenuhi standar mutu kitosan menurut SNI 7949:2013.

Pemberian kitosan dan nanokitosan memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar trigliserida tikus yang telah diberi pakan tinggi lemak dan kuning telur. Perlakuan pemberian nanokitosan dengan dosis 450 mg/kg bb (NK2) mampu menurunkan kadar trigliserida tikus dengan persen penurunan paling tinggi daripada perlakuan K1, K2 dan NK1, yaitu sebesar 23,42 % dari 111,00 ± 13,29 menjadi 85,00 ± 32,93 mg/dL.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kitosan dan nanokitosan dengan dosis dan nilai derajat deasetilasi yang bervariasi terhadap kadar High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) darah tikus yang diberi diet pakan tinggi lemak.

DAFTAR PUSTAKA

[skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Azhar M, Efendi J, Syofyeni E, Lesi RM, Novalna S. 2010. Pengaruh konsentrasi NaOH dan KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari limbah kulit udang. Jurnal EKSAKTA. 1: 1-8.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. SNI 7949: 2013. Kitosan-Syarat Mutu dan Pengolahan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

Balcombe JP, Barnard ND, Sandusky C. 2004. Laboratory rounties cause animal stress. American Association for Laboratory Animal Science. 43(6): 42-51.

Berglund L, John DB, Anne CG, Ira JG, Frank S, Mohammad HM, Anton FHS. 2012. Evaluation and treatment of hypertriglyceridemia: an endocrine society clinical practice guideline. Journal Clinical Endocrinology Metabolism. 97(9): 2969-2989.

(38)

22

Burgess DJ, Duffy E, Etzler F, Hickey AJ. 2004. Particle size analysis: AAPS workshop report, cosponsored by the food and drug administrations and the united state pharmacopeia. American Association of Pharmaceutical Scientists Journal 20. 6(3): 1-12.

Chang R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga.

Domszy JG, Roberts GAF. 1985. Evaluation of infrared spectroscopic techniques for analyzing chitosan. Macromolecular Chemistry. 186: 1671-1677.

Federer WT. 1991. Statistics and Society: Data Collection and Interpretation. New York (USA): Marcel Dekker Inc.

Fitriah H, Mahatmanti FW, Wahyuni S. 2012. Pengaruh konsentrasi pada pembuatan membran kitosan terhadap selektivitas ion Zn (II) dan Fe (II). Indonesian Journal of Chemical Science. 1(2): 104-109.

Fukamizo, Brzezinski. 1997. Chitosanase from Streptomyces sp. strain N174: a comparative review of its structure and function. Biochemistry and Cell Biology. 75(6): 687–696.

Gani N, Momuat LI, Pitoi MM. 2013. Profil lipida plasma tikus wistar yang hiperkolesterolemia pada pemberian gedi merah (Abelmoschus manihot L.). Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi Online. 2(1): 44-49.

Hoft J, LVT, RLATG. 2000. Methods of blood collection in the mouse. Laboratory Animal. 29(10): 47-53.

Indrasti NS, Suprihatin, Setiawan WK. 2012. Kombinasi kitosan-ekstrak pala sebagai bahan antibakteri dan pengawet alami pada filet kakap merah (Lutjanus sp.). Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22(2): 122-130.

[KKP] Kementerian Kelautan Perikanan. 2013. Data produksi udang. http://www. kkp.go.id. [21 Januari 2014].

Kencana A. 2009. Perlakuan sonikasi terhadap kitosan: viskositas dan bobot molekul kitosan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Khan TA, Peh KK, Hung SC. 2002. Reporting degree of deasetylation value of chitosan: The influence of analytical methods. Journal Pharmacy Pharmaceutical Sciences 5(3): 205-212

Kurniasih M, Kartika D. 2011. Sintesis dan karakterisasi fisika-kimia kitosan. Jurnal Inovasi. 5:42-48.

Kurniawati N. 2014. Enkapsulasi nanokitosan pada ekstrak daun tapak darah (Catharanthus roseus) sebagai anti hiperglikemia [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Tekologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(39)

23

Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticle-A Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 5(1): 561-573.

Mostaza JM, Vega GL, Snell P, Grundy SM. 1998. Abnormal metabolism of free fatty acids in hypertriglyceridaemic men: apparent insulin resistance of adipose tissue. Internal Medicine. 243: 265−74.

[NCEP] National Cholesterol Education Prog. 2002. Final Report Circulation: Adult Treatment Panel III. 106: 3143-3421.

Nur MA. 1989. Spektroskopi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.

Octavia ZF, Widyastuti N. 2014. Pengaruh pemberian jus daun ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam) terhadap kadar trigliserida tikus wistar jantan (Rattus norvegicus) yang diberi pakan tinggi lemak. Nutrition College. 3(4): 838-847.

Park GY, Mun S, Park Y, Rhee S, Decker EA, Weiss J, McClements DJ, Park Y. 2007. Influence of encapsulation of emulsified lipids with chitosan on their in vivo digestibility. Food Chemistry. 104(2): 761-767.

Pebriani RH, Yetria R, Zulhadjri. 2012. Modifikasi komposisi kitosan pada proses sintesis komposit TiO2 kitosan. Jurnal Kimia Universitas Andalas. 1(1): 40-47.

Piliang WG, Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.

Pitriani P. 2010. Sintesis dan aplikasi kitosan dari cangkang rajungan (Portunus

pelagicus) sebagai penyerap ion besi (Fe) dan mangan (Mn) untuk

pemurnian natrium silikat [skripsi]. Jakarta (ID): Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Prasetyaningrum A, Rokhati N, Purwintasari S. 2007. Optimasi derajat deasetilasi pada proses pembuatan chitosan dan pengaruhnya sebagai pengawet pangan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 1(1): 39-46.

Rachmania D. 2011. Karakteristik nanokitosan cangkang udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan metode gelasi ionic [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rakhmawati E. 2007. Pemanfaatan kitosan deasetilasi kitin cangkang bekicot sebagai adsorben zat warna remazol yellow [skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret.

Rokhati N. 2006. Pengaruh derajat deasetilasi kitosan dari kulit udang terhadap aplikasinya sebagai pengawet makanan. Jurnal Reaktor. 10(2): 54-58.

(40)

24

Sanusi M. 2004. Transformasi kitin dari hasil isolasi limbah industri udang beku menjadi kitosan. Jurnal Marina Chimica Acta. 5(2): 28-32.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Sudaryani T. 2006. Kualitas Telur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono D. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.

Suptijah P, Jacoeb AM, Rachmania D. 2011. Karakterisasi nanokitosan cangkang udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan metode gelasi ionik. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 14(2): 78-84.

Tao Y, Hongliang Z, Bing G, Jiao G, Yinming H, Zhengquan S. 2011. Water soluble chitosan nanoparticls inhibit hypercholesterolemia induced by feeding a high- fat diet in male Sprague-dawley rats. Nanomaterials. 1(1): 1-5.

Tiyaboonchai W. 2003. Chitosan nanoparticles: A promising system for drug delivery. NaresuanUniversity Journal. 11 (3): 51–66.

Tsalissavrina I, Wahono D, Handayani D. 2006. Pengaruh pemberian diet tinggi karbohidrat dibandingkan diet tinggi lemak terhadap kadar trigliserida dan HDL darah pada Rattus novergicus galur wistar. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 22(2): 80-89

Toharizman A. 2007. Peluang kitinase dalam industri gula. www.researchgate.net [6 Otober 2014].

Tolaimate A, Desbrieresb J, Rhazia M, Alaguic A. 2003. Contribution to the preparation of chitins and chitosan with controlled physic-chemical properties. Polymer Journal. 44: 7939-7952.

Wahyono D. 2010. Ciri nanopartikel kitosan dan pengaruhnya pada ukuran partikel dan efisiensi penyaluran ketoprofen [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winder AF, Richmond W, Vallance DT. 1997. Investigation of dyslipidaemias. Clinical Pathology. 50: 721-734.

Zahiruddin W, Ariesta A, Salamah E. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan kitosan dari ampas silase kepala udang windu (Penaeus monodon). Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 11(2): 140-151.

(41)

25

(42)
(43)

27

Lampiran 1 Kandungan gizi pakan tikus standar, pakan tinggi lemak dan kitosan

Tabel 6 Data hasil analisis kandungan gizi pakan tikus standar

Ulangan Hasil analisis (%)

Kadar air Kadar lemak Kadar abu Kadar protein

1 12.00

Tabel 7 Data hasil analisis kandungan gizi pakan tikus tinggi lemak

Ulangan Hasil analisis (%)

Kadar air Kadar lemak Kadar abu Kadar protein

1 9.05

Tabel 8 Data hasil analisis kandungan gizi kitosan

Ulangan Hasil analisis (%)

Kadar air Kadar abu Kadar protein

1 11.5088

Lampiran 2 Standar mutu kitosan (SNI 7949:2013)

Tabel 9 Standar mutu kitosan

Jenis uji Satuan Persyaratan

(44)

28

Lampiran 3 Data konsumsi pakan tikus dan berat badan tikus per minggu

Tabel 10 Rata-rata konsumsi pakan tikus per minggu

Keterangan:

KN = Kontrol negatif KP = Kontrol positif

K1 = Kitosan dosis rendah (225 mg/kg bb) K2 = Kitosan dosis tinggi (450 mg/kg bb) NK1 = Nanokitosan dosis rendah (225 mg/kg bb) NK2 = Nanokitosan dosis tinggi (450 mg/kg bb)

Tabel 11 Rata-rata berat badan tikus per minggu

Lampiran 4 Contoh perhitungan dosis

Berat badan tikus yang digunakan adalah berat badan tikus setalah induksi pakan tinggi lemak (berat badan minggu ke-2).

K1 = 260,25 g K2 = 270,75 g NK1 = 274,00 g NK2 = 255,25 g

Perhitungan dosis yang diberikan pada hewan percobaan

K1 = 260,25

1000 x 450 mg/kg bb = 115 mg/ekor/hari

Perlakuan Rata-rata konsumsi pakan per minggu (g)

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Rata-rata berat badan tikus minggu ke- (g)

(45)

29

Lampiran 5 Perhitungan derajat deasetilasi (DD)

�1655 ,64 = log

�0

= log 4,2 – log 5,3

= 0,62 - 0,72

= - 0,1

�3433 ,5 = log

�0

= log 3,4 – log 8,9

= 0,53 - 0,95

= - 0,42

DD (%) =

1

�1655 ,64

�3433 ,5

×

1

1,33

x 100 %

=

1

−0,1

−0,42

×

1

1,33

x 100 %

=

1

0,24 ×

1

1,33

x 100 %

= 1 - 0,18 x 100 %

(46)

30

Lampiran 6 Ukuran partikel nanokitosan

Gambar 7 Hasil analisis ukuran partikel nanokitosan ke-1

(47)

31

Gambar 9 Hasil analisis ukuran partikel nanokitosan ke 3

Lampiran 7 Dokumentasi penelitian

(48)

32

Gambar 11 Analisis proksimat kitosan

(49)

33

Gambar 13 Kondisi masa perlakuan tikus

(50)

34

(51)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Syamsudin dan Ibu Maisyaroh, yang lahir pada tanggal 21 September 1993 di Karang Agung, Sumatera Selatan. Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi Kayuagung pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan di SDN 17 Kayu Agung pada tahun 1999. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kayuagung pada lulus pada tahun 2008 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Kayuagung dan lulus pada tahun 2011. Setelah menempuh pendidikan SMA, penulis berhasil diterima di IPB melalui jalur undangan pada tahun 2011 dan diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai anggota ADC (Art Dormitory Club) pada tahun 2011-2012, anggota divisi HRD (Human Resource Development) Emulsi Magazine tahun 2012-2013, pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) bagian divisi Pengembangan Sumber Daya Masyarakat (PSDM) tahun 2013-2014 dan asisten praktikum mata kuliah Pengolahan Bahan Baku Hasil Perairan (PBBHP) tahun 2015. Penulis juga aktif dalam kepanitian acara. Penulis pernah menjadi panitia acara mega outbond TPB (Tingkat Persiapan Bersama) pada tahun 2011, panitia divisi Humas PORIKAN (Pekan Olahraga Perikanan) pada tahun 2012-2013 dan panitia acara Himasilkan Night pada tahun 2014. Penulis juga pernah melakukan praktik lapang di UKM Bandeng Juwana Elrina, Semarang dengan judul makalah praktik lapang “Perencanaan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada Pembuatan Bandeng Presto di Perusahaan Bandeng Juwana Elrina, Semarang, Jawa Tengah”.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul “Efek

Gambar

Gambar 1 Diagram alir pembuatan nanokitosan
Tabel 1 Komposisi pakan standar dan pakan tinggi lemak yang diformulasikan
Tabel 3 Karakteristik kitosan
Gambar 4 Spektra IR kitosan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut efek ekstrak daun kemuning terhadap penurunan kadar trigliserida darah tikus yang diinduksi pakan tinggi lemak

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui efek ekstrak etanol 96% anggur merah (Vitis Vinifera ) Terhadap penurunan kadar trigliserida darah

Dari latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai PENGARUH PEMBERIAN KOMBUCHA TEA PER ORAL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus

Dari hasil uji tersebut, Perubahan kadar kadar trigliserid dosis kitosan 3500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan kontrol positif

Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian jus buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap trigliserida darah dan regenerasi sel adiposa pada tikus diabetes

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan uji kandungan kafein dan kafestol dalam bubuk kopi robusta sehingga kadar zat yang mempengaruhi kadar trigliserida

Penurunan trigliserida juga terjadi pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan dengan kefir sehingga hasil dalam penelitian ini tidak terbukti bahwa perlakuan

Penurunan trigliserida juga terjadi pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan dengan kefir sehingga hasil dalam penelitian ini tidak terbukti bahwa