ABSTRAK melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sebagaimana manusia yang lainnya. Orang tua, kelompok masyarakat, aparat penegak hukum, serta pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai regulator kebijakan dan pengawasan kehidupan bernegara, khususnya dalam upaya melindungi hak-hak hidup anak. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diharapkan mampu mengakomodasikan semua hak-hak anak yang secara mutlak harus diberikan padanya, terkhususnya dalam hal perlindungan hukum. Masih terjadinya berbagai tindak pidana pencabulan terhadap anak, secara jelas membuktikan bahwa anak masih rentan terhadap berbagai tindak kekerasan. Seperti yang terjadi di daerah Bandar Lampung dan telah di putus oleh hakim dengan putusan Nomor 267/Pid/B/2012/PNTK. Dengan demikian, timbul pertanyaan sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan anak pada perkara No.267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002. Dan apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis empiris dan yuridis normatif , dengan jenis data primer berupa hasil wawancara dengan hakim dan jaksa di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Sedangkan jenis data sekunder berupa aturan perundang-undangan putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK dan kepustakaan lainnya. Dari data-data ini, selanjutnya penulis melakukan analisis data-data dengan menggunakan analisis kualitatif.
diajukan dipersidangan, c. keyakinan hakim d. melihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, dan e. akibat langsung bagi korban. Adapun saran yang disampaikan antara lain: seorang tersangka tindak pidana kesusilaan yang korbannya adalah anak-anak haruslah mendapatkan pidana yang setimpal agar efek penjeraan dapat berjalan secara maksimal dan diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan yang sama dikemudian hari. Pemerintah perlu membentuk badan yang mengurusi rehabilitasi (crisis center) terhadap anak yang menjadi korban perkosaan atau pencabulan untuk meminimalisir akibat negatif yang mungkin timbul pada diri korban.
Kata Kunci : Penerapan Sanksi Pidana, Pencabulan, Pencabulan Anak.
ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK
(Skripsi)
Oleh: Sulis Trianto
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan ... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana ... 13
B. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak... . 20
C. Pengertian Anak ... 22
D. Pengertian Perlindungan Anak ... 25
E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 28
F. Keadilan yang sesuai dengan Hukum ... 30
III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 32
B. Sumber Data dan Jenis Data ... 33
C. Penentuan Populasi dan Sample... 34
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35
E. Analisis Data ... 36
IV.METODE PENELITIAN A. Karakteristik Responden ... 38
C. Kesesuaian Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pencabulan Anak
Perkara No 267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Pasal 82 ... 42
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana
Pencabulan Anak pada Putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK ... 48
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 54
B. Saran ... 57
MOTO
Janganlahkaujadikankemungkinankecewamusebagaipenghambatkerjamu.
Ketahuilahbahwakegelisahandalampenundaan
karena rasa takutakankekecewaan, adalahperasaan yang
lebihburukdaripadakekecewaan yang sebenarnya.
(Mario Teguh)
Tiga pilihan dalam hidup:
Pilihan, Perbedaan, dan Perubahan.
Kamu harus membuat suatu perbedaan untuk menentukan sebuah pilihan, jika
tidak hidupmu tidak akan mengalami perubahan.
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini untuk:
Kedua Orang Tuaku
Dua Insan Manusia Yang Begitu Sangat Kusayangi Dan Kucintai, Berkat
Didikan, Bimbingan Dan Doa Mereka Dalam Membesarkanku Sehingga Aku
Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil
Adik Kandungku Yang
Membuatku Semakin Yakin Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat
Susah Maupun Senang
Seluruh Keluarga Besar
Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam
Menjalani Hidup Ini
Almamater Universitas Lampung
Tempat Aku Menimba Ilmu, Disinilah Aku Mendapatkan Ilmu Dan Pengetahuan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Madu pada tanggal 25 April
1989. Anak Pertama dari dua bersaudara buah cinta dari
pasangan Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri.
Pendidikan Formal ditempuh penulis yaitu di Taman
Kanak-Kanak Gunung Madu dan diselsaikan pada tahun 1996, Pendidikan Sekolah Dasar
Negeri 1 Terusan Nunyai dan diselesaikan tahun 2002. Penulis melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Satya
Dharma Sudjana Gunung Madu dan selesai tahun 2005 dan Sekolah Menengah
Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 melalui proses seleksi Penelusuran Kemampuan Akademik dan
Bakat (PKAB) penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Reguler Universitas Lampung. Pada tahun 2011, Penulis mengikuti program
pengabdian kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31 Juni
sampai 9 Agustus 2011 di desa Waspada, Kecamatan Sekincau Lampung Barat
selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam Himpunan
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil ’alamin.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya
dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Analisis Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan
Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun
penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun
penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini. Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri
akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril
maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima
kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Ibu DR. Erna Dewi, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Uiversitas Lampung sekaligus Pembimbing I (satu) yang telah
atas kebaikan hati, kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk
membimbing penulis;
3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II (dua) atas
ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan, dan memberi masukan agar
terselesaikannya skripsi ini;
4. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Pembahas I (satu) yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan saran, bimbingan dan bantuan yang
sangat berarti dalam penulisan skripsi ini;
5. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah
memberikan waktu, masukan, dan kritik dalam penulisan skripsi ini;
6. Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H.,M.H., yang telah menjadi pembimbing
akademik penulis selama penulis menimba ilmu di fakultas hukum
universitas lampung;
7. Seluruh Dosen Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
8. Ibu Ida Ratnawati, S.H.,M.H., dan Ibu Eka Septiana Sari, S.H, selaku jaksa di
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang telah memberikan sedikit waktunya
pada saat penulis melakukan penelitian;
9. Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri tercinta, serta Adikku tersayang Dani
Setiawan terima kasih telah memberikan dukungan, perhatian, doa, dan
semangat serta pengorbanannya.
10. Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Hukum, Ferdy Ardiyansah, S.H,
Alvin Ananta, S.H, Cristianto Sitinjak, S.H, Ahadi Fajri Prastya, S.H, Eko
Wahyudi, S.H, Asrul Septian Malik, S.H, Jusya Hadi, S.H, Immanuel Tobing,
SH, Kamal Putra Tamrin, S.H, Bambang Wardoyo, S,H, Devi Santoso, S.H,
Aditya Ilham, S,H, Dandi, S.H, Herdi SDA, S.H, Abdi, S.H, Febri Andela,
S.H, Syendro S.H, Fyar Fahturomi, S.H, Agung Waluyo, S.H, Rangga
Canvarianda, S.H, Fajar Aprilianto, S.H, Gagan Ghautama, S.H, thanks
banget udah mau bantuin gw selama ini kalian memang the best friend. 11. Kepada Babe Narto, Mbak sri, Mbak Yanti, Kiyay Basir, terima kasih doanya
dan dukungannya serta bantuannya selama ini
12. Almamater tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman
berharga
13. Serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang
lebih baik dan bermanfaat bagi semua. Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha
dan ketulusan yang diberikan kepada penulis, segala kritik dan saran yang bersifat
membangun penulis akan terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi yang membaca. Amin
Bandar Lampung, Oktober 2014
Penulis,
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Laju kehidupan dalam bermasyarakat mengakibatkan setiap orang tidak dapat
melepaskan diri dari berbagai hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling
terkait antara yang satu dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai
segi, misalya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi
hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik
kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa yang di namakan tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu fenomena yang menghambat pelaksanaan
pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus
benar-benar diprioritaskan. Sumber tindak pidana banyak dijumpai dalam masyarakat
modern dewasa ini, sehingga tindak pidana justru berkembang dengan cepat baik
kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu
aturan dan atau norma hukum yang wajib di taati. Terhadap orang yang
melenggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan di
ambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah
melakukan tindak pidana akan di jatuhi sanksi pidana berupa hukuman badan baik
2
Salah satu bentuk tindak pidana yang begitu marak terjadi belakangan ini adalah
tindak tindak pidana kesusilaan yang mengarah pada tindak tindak pidanaseksual
(sexual offense) dan lebih khususnya lagi yaitu tindak pidana pencabulan yang terjadi pada anak-anak. Pencabulan merupakan pengalaman yang paling
menyakitkan bagi seorang anak, karena selain mengalami kekerasan fisik, ia juga
mengalami kekerasan emosional.
Tindak pidana pencabulan anak menjadi sangat istimewa dari tindak pidana
pencabulan biasa karena korbannya adalah anak-anak. Pengertian anak senditri
tertera dalam penjelasan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa:
“Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat dan martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak masih memerlukan bimbingan orang tua/ keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.”
Para pelaku dari tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak seringkali adalah
orang-orang yang dikenal oleh korban bahkan ada juga yang masih mempunyai
hubungan keluarga. Tidak menutup kemungkinan sang pelaku adalah orang luar
dan tidak dikenal oleh korban. Reaksi yang timbul, masyarakat memandang
bahwa kasus tindak pidana terhadap anak harus diproses dan diadili
seadil-adilnya. Para pelaku harus dipidana seberat-beratnya karena telah merusak masa
depan anak bahkan dapat menimbulkan akibat buruk secara psikologis terhadap
3
Pengertian pencabulan sendiri menurut kamus hukum mengandung makna
suatuproses atau perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh karena melanggar
kesopanan dan kesusilaan.1. Ini secara umum diatur didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 serta Pasal 282.
Pencabulan terhadap anak sendiri telah diatur dalam Pasal 81 dan 82
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan
bahwa:
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
2. Ketentuan pidana sebagaina dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkai kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menjelaskan bahwa,
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
4
Nomor267/Pid/B/2012/PNTK. Adapun kronologis singkat dalam perkara tersebut
terjadi di daerah Tanjung Karang Bandar Lampung yaitupada saat terdakwa
menjemput saksi korban pulang dari sekolah dan menaikkan kesepedah motor
milik terdakwa dengan posisi saksi korban duduk di depan terdakwa, ketika
sampai di perkebuanan singkong terdakwa menghentikan sepedah motornya di
pinggir jalan dan saat itulah jari telunjuk terdakwa dimasukkan kedalam kemaluan
korban agak lama lalu korban menepuk tangan terdakwa dan berkata “ngapain
kek”, lalu terdakwa menjawab “diem deh ini lagi di pijitin” lalu jari telunjuk
dikeluarkan kemudian membawa sepedah motor pulang, sesampainya di rumah,
saksi korban menceritakan hal tersebut kepada orang tunya, mendengar cerita
korban orang tua saksi korban melaporkan kejadiaan tersebut kepada pihak yang
berwajib.
Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak,
yang diancam pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun. Majelis hakim sepakat menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun
dan denda 100 juta rupiah subsider kurungan 1 (satu) bulan, dikurangi oleh masa
tahanan yang telah di jalani oleh terdakwa.
Penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak seharusnya
memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu perbuatan tersebut
baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari korban, sehingga dalam
5
Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan
sanksi yang setimpal bagi pelaku tindak pidana tersebut sehingga supremasi
hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat.
Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku
tindak pidana sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang
serta mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana tersebut karena
suatu ancaman sanksi yang cukup berat.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis berkeinginan untuk
mengangkat permasalahantersebut dalam sebuah skripsi dengan judul :“Analisis Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan
UUPerlindungan Anak”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latarbelakang diatas, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai
berikut :
a. Sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan anak
pada perkara No 267/Pid/B/2012/Pntkdengan Undang-Undang No.23 Tahun
2002 Pasal 82?
b.Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
tindak pidana pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PNTK?
6
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pencabulan anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku sebagaimana terdapat pada putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK. ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun
2013 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahuidan menganalisissecara jelas tentang kesekuaian penerapan sanksi
pidana terhadap pelaku pencabulan anak pada perkara
No.267/Pid/B/2012/PNTKdengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal
82;
b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana
pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan
7
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala
berpikir dan menambah ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai tindak
pidana pencabulan anak.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan
untuk menambaha wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukumkhususnya
mengenai tindak pidana pencabulan anak
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.2
Setiap penelitian selalu disertaidengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini
karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegitan
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.
2
8
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang tercela dalam masyarakat dan harus di
pertanggungjawabkan oleh si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah
dilakukannya.3
Pertanggungjawaban pidana berakibat pada penerapan sanksi pidana yang harus
bercermin pada asas legalitas (Principle Of Legality), asa yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevie lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlenbih dahulu), dengan demikian maka penerapan sanksi pidana
harus seiring sejalan denagn perturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Walaupun telah ada peraturan perundang-undangan dalam penerapan sanksi
pidana, aspek pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan
merupakan konteks penting dalam penerapan sanksi pidana. Karena pertimbangan
yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah
perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana
yang di dakwakan oleh jaksa atau penuntut umum, dapat dikatakan lebih jauh
bahwa pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh
terhadap amar/dictum putusan hakim sebagai tolak ukur kesesuaian penerapan
sanksi pidana dengan undang-undang yang mengaturnya.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis tersebut merupakan kewajiban hakim dalam
pemutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat(1) Undang- Undang
3
9
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus di tafsirkan secara
sistematis dengan Pasal No 28 Ayat (1) dan Pasal (2) Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 yang menyatakan sebagai berikut:
a. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat;
b. Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dengan demikian maka hakim akan terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta
dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa dipersidangan.
Walaupun telah ada fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah
berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara (voor onderzoek), sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang (gerechtelijk onderzoek) yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.4 Selanjutnya
setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim
kemudian akan di pertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestandeelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dan pledoi dari
terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Setelah melalui proses tersebut maka
penerapan sanksi pidana baru dapat dijalankan.
4
10
Seberapa jauh kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara
didasarkan pada dua hal:
a. Dalam mengadili dan memutus perkara pidana, hakim tetap terikat sepenuhnya
pada undang-undang, digolongkan kebebasan hakim yang bersifat formalistik
kon (konservatif);
b. Kebebasan realistik (progresif), yaitu kebebasan hakim yang bertujuan untuk
merespon kebutuhan atau kepentingan masyarakat dalam masa pembangunan
ini, artinya hakim di beri kebebasan menerapkan kaidah teks UU dalam
perspektif nilai-nilai keadilan masyarakat pada saat ini.5
2. Konseptual
Demi memperoleh penjelasan yang relevan bagi pemahaman pengkajian
ilmiah di dalam penulisan skripsi ini, maka ada beberapa definisi hukum
yang sesuai dengan judul skripsi ini yaitu adalah:
a. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana;6
b. Pencabulan adalah perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan
yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya: ciuman,
5
J.Pajar widodo, Menjadi Hakim Progresif. (Bandar Lampung: Indepth Publishing 2013), hlm 46
6
11
meraba-raba bagian kemaluan, meraba-raba buah dada, dan termasuk pula
bersetubuh.7
c. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungan terhadap pemidanaan
petindak yang telah melakukan tindak pidana dan memenuhi
unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.8
d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.9
E. Sistematika Penulisan
I. Pendahuluan:
Bab ini berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan
penelitian dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika
penulisan.
II. Tinjauan pustaka:
Bab ini berisi pengertian tindak pidana dan sanksi pidana, pengertian tindak
pidana pencabulan anak,pengertian anak, dan pengertian perlindungan anak.
III. Metode penelitian:
Bab ini berisi pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, penentuan
populasi dan sample, metode pengumpulan dan pengolahan data dan analisis
data.
7
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,( Bogor: Politeia, 1996), hlm. 25.
8
E.Y. Kanter dan S.R. SianturiOp.cit, hlm. 249.
9
12
IV. Hasil penelitian dan pembahasan:
Bab ini berisi karakteristik responden, gambaran umum perkara
No267/Pid/B/2012/PNTK, kesesuaian penerapan sanksi pidana terhadap
pelaku pencabulan anak perkara No 267/Pid/B/2012/PN.TKdengan
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal 82 dan dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No.
267/pid/b/2012/PN.TK.
V. Penutup:
Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan pokok
permasalahan yang diajukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak
pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan
masalah deliquensi, deviasi, kualitas tindak pidana berubah-ubah, proses
kriminisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat
tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan
pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan
kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).10
Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dapat
atau boleh dihukum, perbuatan pidana, sedangkan dalam bahasa Belanda
disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia mengistilahkan
strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan
istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa larangan tersebut”.11
10
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.cit, hlm. 204.
11 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,
14
Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik.
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat
yang dianggap adil.12
Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat
disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan
masyarakat diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat
tercelanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa
melakukannya.
Pokok pikiran dalam tindak pidana adalah diletakkan pada sifatnya orang yang
melakukan tindak pidana. Hal ini perlu dijelaskan karena beberapa penulis
Belanda dalam pengertian strafbaar feit mencakup juga strafbaarhied orang yang melakukan feit tersebut.
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian tindak pidana. Secara umum
dijelaskan bahwa pengertian tindak pidana menurut Moeljatno merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar peraturan-peraturan
pidana, yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat seringkali melihat tindak tindak pidana, akan
12 Moeljatno,
15
tetapi ada sebagian masyarakat yang belum mengetahui arti yang sebenarnya
tentang pengertian tindak pidana.13
Walaupun para pembentuk Undang-Undang telah menterjemahkan kata
“strafbaarfeit” dengan istilah tindak pidana antara lain dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi di dalamnya tidak memberikan
rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian strafbaarfeit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memunculkan berbagai pendapat
tentang arti istilah strafbaarfeit yang dirumuskan oleh berbagai kalangan ahli hukum pidana, antara lain:
itubukan perbuatannya, melainkan pelaku perbuatannya atau manusia selaku
persoon.15 Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 85.
14
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: PT. Eresco, 2004), hlm. 1.
15 P.A. F. Lamintang,
16
terhadap ketertiban umum, baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak
sengaja oleh seorang pelaku, dalam mana penjatuhan sanksi pidana
tersebut dimaksudkan untuk tetap terpeliharanya ketertiban hukum dan
terjaminnya kepentingan umum. 16
d. Menurut Simon, pengertian “Tindak Pidana” yaitu sejumlah aturan-aturan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, yang berupa
larangan, keharusan dan disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar
timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan.17
e. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara pengertian tindak pidana adalah
setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi
hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau
tidak langsung terkena tindakan itu disebut tindak pidana.
Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat perlu
ditentukan mengenai tindakan yang dilarang dan diharuskan, sedangkan
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana.18 Adapun unsur
yang terdapat dalam tindak pidana tersebut antara lan:
1). Perbuatan manusia baik aktif atau pasif;
17
2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;
3). Melawan hukum;
4). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan;
5). Orang yang berbuat dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional atau dikenal BPHN, tindak pidana
adalah yang mempunyai unsur sebagai berikut:
1). Perbuatan Manusia;
2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;
3). Melawan Hukum.
Apabila tidak terpenuhi salah satu unsur di atas maka dibebaskan,
sebaliknya apabila terpenuhi maka akan terkena pertanggungjawaban pidana
yang unsurnya adalah:
1). Orang yang berbuat mampu bertanggung jawab;
2). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan.
Apabila tidak terpenuhi salah satu dari unsur tersebut maka yang
bersangkutan dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan apabila terpenuhi maka
dapat dipidana.
Tindak pidana menghasilkan sanksi pidana pengertian adalah suatu nestapa atau
18
perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut
diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.19
2. Pengertian Sanksi Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk
pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman,
penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan
hukuman pidana.
Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari "straf" dan istilah "dihukum" yang berasal dari "wordt gestraf" merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan
istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata "wordt gestraf". Menurut Moeljatno , kalau "straf" diartikan "hukuman" maka "strafrecht" seharusnya diartikan sebagai "hukum hukuman".
Istilah "hukuman" yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan
dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,
moral, agama dan sebagainya. Oleh karena "pidana" merupakan istilah yang lebih
khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
19
19
Dalam kamus "Black`s Law Dictionary" dinyatakan bahwa pidana atau istilah bahasa inggrisnya punishment adalah: "any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime of offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law"20 (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi
tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya
terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum). dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah mekakukan tindak pidana
menurut undang-undang;
d. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang
karena telah melanggar hukum.
Berdasarkan ciri-ciri diatas maka dapat diartikan bahwa pengertian sanksi pidana
adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah
melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian
proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk
20
20
hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak
melakukan tindak pidana lagi.
B.Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas seksual dengan
orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai berikut:
”Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun (tidak sonoh), tidak susila, ber-cabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan)21”.
Sedangkan definisi pencabulan yang diberikan oleh R. Sugandhi adalah
segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang
berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.22 Definisi yang diungkapkan R.
Sugandhi lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana langsung atau tidak langsung
merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.
21
”Pencabulan berasal dari kata cabul yang diartikan; keji dan kotor; tidak senonoh karena melanggar kesopanan, kesusilaan, hal ini secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 dan 282, yaitu: diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”.23
Seperti yang diuraikan di atas, pencabulan adalah tindak pidana seksual yang
dilakukan seorang pria atau perempuan terhadap anak di bawah umur baik pria
maupun perempuan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan. Pencabulan memiliki
pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa
memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra-remaja. Ciri utamanya
adalah berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual dengan cara yang paling
sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual.24 Mengenai tindak pidana
pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang itu melakukannya
dengan kesalahan, dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu
tindak pidana pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu
terdapat kesalahan. Adapun mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana
pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 82, adalah:25
a. Setiap orang;
22
b. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Kemudian dari situ hakim bisa memutuskan sanksi pidana apa yang akan
dikenakan bagi Terdakwa yang melakukan tindak pidana pencabulan.
C. Pengertian Anak
Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda
ada yang disebut juga remaja dan dewasa. Generasi muda , dibatasi sampai
seorang anak berumur 25 tahun. Generasi muda terdiri dari atas masa
anak-anak umur 0-12 tahun, masa remaja 13-20 tahun dan masa dewasa muda umur
21-25 tahun.
Masa kanak–kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0-menjelang 2 tahun, masa kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa
kanak-kanak terakhir 5-12. pada masa bayi keadaan fisik anak sangat lemah dan
kehidupannya masih sangat tergantung pada pemeliharaan orang tuanya, terutama
dari ibunya.
Kemudian pada masa kanak-kanak pertama, sifat anak suka meniru apa yang
dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam, anak mulai mencari teman
sebaya, ia mulai berhubungan dengan orang-orang dalan lingkungannya,
23
terakhir, pada tahap ini terjadi tahap pertumbuhan kecerdasan yang cepat,
suka bekerja, lebih suka bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka
menolong, suka menyayangi, menguasai dan memerintah.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Kriminalisasi anak” yang berjudul
“Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan”,
mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal26. Pada masa remaja merupakan masa anak
mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan,
kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja adalah masa goncang
karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang
kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan perbuatan yang oleh orang
tua dinilai sebagai perbuatan yang nakal, sehingga kenakalan tersebut dapat
membuat emosi orang tua sehingga dapat menyebabkan kekerasan terhadap anak.
Selain kenakalan yang bisa mengakibatkan kekerasan orang tua terhadap anak,
belum siapnya orang tua untuk mempunyai anak bisa juga menyebabkan
kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu diberikan pelindungan hukum bagi anak
untuk mencegah adanya kekerasan yang menimbulkan kekerasan fisik bagi anak.
Untuk memberikan pelindungan yang baik terhadap anak-anak di Indonesia
maka diperlukan peraturan-peraturan yang memberikan jaminan pelindungan
hukum bagi anak-anak yang ada di negara Republik Indonesia. Pengertian anak
26 Satjipto Rahardjo,
24
menurut hukum yang berlaku di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan
yaitu:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) tentang
Peradilan Anak Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Penetapan usia anak pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini memang
tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menunjukan
bahwa pembentuk undang-undang menganggap pada usia demikian
seseorang telah dapat dipertanggunjawabkan secera emosional, mental dan
intelektual walaupun tidak seperti orang dewasa;
2. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak
Asasi Manusia Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi:“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya”27
3. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang
Perlindungan Anak“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) Tahun, termasuk anak masih dalam kandungan”;28
25
4. Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang
Kesejahteraan dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian anak adalah: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.29 Selain itu juga dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 anak
bukanlah seorang manusia mini/kecil. Memang antara orang dewasa dan anak
ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaannya (mental, fisik, sosial).
Selain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dalam
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 53k/SIP/ 1952 tanggal 1
Juni 1955 juga mengatur tentang pengertian anak. Dalam amarnya
menentukan bahwa “15 (lima belas) tahun adalah suatu umur yang umum di Indonesia menurut hukum adat dianggap sudah dewasa”.
D. Pengertian Perlindungan Anak
Perlindungan anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai
dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan bagi
anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;
2. Perlindungan anak dalam proses peradilan;
3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan
lingkungan sosial);
4. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan;
29
26
5. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan
anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan,
memperalat anak dalam melakukan tindak pidana dan sebagainya);
6. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;
7. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
8. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.30
Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin
terlaksananya perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan anak dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan anak.
Menurut Pasal 1 Butir 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Sedangkan ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat
dibedakan dari menjadi:
30
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan
27
1. Perlindungan yang bersifat yuridis
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan
hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.31
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47
KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang
secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu
antara lain Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal
305, Pasal 308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.
Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak.
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada
prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,
yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.
31
28
2. Perlindungan yang bersifat non-yuridis
Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi
sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya
peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan
melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang
lebih lengkap dan canggih.
E. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
Dalam mengambil pertimbangan penjatuhan putusan pidana, hakim harus
memiliki dasar pengambilan keputusan yang berasal dari teori-teori tertentu
yaitu:32
a. Teori keseimbangan
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
bersangkutan atau berkaitan dengan perkara, yaitu kepentingan antara
terdakwa, korban dan masyarakat;
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Pendekatan seni di pergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan
agar sesuai dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak
pidana, hakim akan melihat kedalian bagi pihak terdakwa dan keadilan bagi
32Ahmad Rifai,
Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
29
pihak penuntut umum, pnjatuhan putusan seperti itu menuntut intuisi dan
pengetahuan dari seorang hakim;
c. Teori pendekatan keilmuan
Pendekatan keilmuan ini merupak semacam peringatan bahwa dalam memutus
suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi
harus didasarkan pula pada ilmu pengetahuan dan juga wawasan keilmuan
hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya;
d. Teori pendekatan pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapi sehari-hari, dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang
berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;
e. Teori ratio decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara sebagai dasar hukum penjatuhan putusan, serta
pertimbangan hakim harus didasari pada motivasi yang jelas untuk
menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
30
F. Keadilan yang sesuai dengan hukum (Keadilan Substantif)
Keadilan subtantif secara konseptual berkaitan dengan isi atau substansi keadilan
itu sendiri.33 Secara teoritik, terdapat beberapa pandangan tentang keadilan
substantif, antara lain keadilan diukur dari kriteria pencapaian kepuasan para
pencari keadilan, ada juga mengidentifikasikan keadilan dipandang dari sudut
kemanfaatan, atau bahkan diukur dari pelaksanaan hukum itu sendiri. Untuk
mengukur secara tepat konsep keadilan substantif haruslah dibedakan antara
keadilan individual (individual justice) dan keadilan sosial (social justice).
Selanjutnya, keadilan ini melekat dengan isi atau substansi itu sendiri, yang
berarti bahwa keadilan substantif berorientasi pada out comes yaitu nilai-nilai dasar dari hukum meliputi nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan,
diharapkan dan diterima individu dan masyarakat. Keadilan substantif
mengutamakan pencapaian tujuan hukum dari pada formalitas prosedur hukum,
sehingga apabila terjadi pertentangan antara nilai kepastian hukum dengan nilai
keadilan yang didasarkan pada asas legalitas material.
Keadilan substantif dapat didefinsikan sebagai the truth justice (sebenar keadilan, yaitu keadilan yang sebenarnya). Pertimbangan utama pencari keadilan
substansial bukan lagi aspek formal (state law) dan materiil (living law),
33 J. Pajar widodo,
31
melainkan aspek hakikat hukum, yakni dilibatkannya pertimbangan moral, ethic
dan religion.
Pada dasarnya, keadilan ini bersumber dari hukum yang berfungsi memberikan
keadilan dalam aspek moral, sosial, etik, religi dapat diterima masyarakat. Apabila
hukum dipandang sebagai usaha manusia bersaranakan ilmu pengetahuan hukum
(teori hukum, ajaran dan doktrin hukum), maka usaha pencarian makna keadilan
melalui ilmu hukum akan bersentuhan dengan religi dan moral dalam usaha
memberikan nilai-nilai keadilan.
Untuk itu, makna keadilan substantif yang bersentuhan dengan moral dan religi,
pada dasarnya telah diterima dalam sistem hukum nasional,terutama dalam Pasal
2 Ayat (1) UU. No.48 tahun 2009, bahwa peradilan dilakukan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan UU. No.48 tahun 2009
tersebut bersifat mengikat seluruh penegak hukum dalam proses peradilan,
sehingga tidak ada pembedaan dalam penegakan hukum di Indonesia.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin, maka peneliti perlu mengadakan
pendekatan masalah. Adapaun yang dimaksud dengan pendekatan masalah yaitu
langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan dan mengkaji
yang ada pada objek penelitian, untuk itu penulis menggunakan dua cara yaitu:
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pensekatan yuridis normatif yaitu: pendekatan dengan cara studi kepustakaan
dengan menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai
literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu: pendekatan dengan melakukan penelitian dalam
praktek dilapangan guna mendapatkan data dan informasi yang dapat dipercaya
kebenarannya mengenai penegakan hukum tindak pidana yaitu tindak pidana
pencabulan anak di bawah umur.
B. Sumber dan Jenis Data
Dalam melakukan penelitian, penulis memerlukan data-data yang terkait dengan
33
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara
langsung pada objek penelitian yang dilakukan secara observasi dan wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada
penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip,
mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada.
Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum bersifat mengikat.Dalam penulisan
ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :
1). Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
4).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia;
5). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak;
6). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
34
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti, buku-buku literatur dan karya ilmiah yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
C. Penentuan Populasi dan Sample
Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.34
Sample adalah sekelompok kecil individu yang dilibatkan langsung dalam
penelitian. Sampel terdiri dari sekelompok individu yang dipilih dari kelompok
yang lebih besar dimana pemahaman dari hasil penelitian akan di gunakan atau
diberlakukan.35
Populasi dalam penelitian ini yaitu jaksa pada Kejaksaan Negri Tanjung Karang,
hakim pada pengadilan Negri Tanjung Karang dan dosen bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Peneliti untuk mendapatkan data yang
34
Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif. (jakarta: Grafindo Persada, 2000) Hlm.152.
35Ibid
35
diperlukan dari populasi menggunakan metode wawancara kepada responden
yang telah dipilih sebagai sample yang dapat mewakili seluruh responden.
Metode penentuan sample dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan
metode proposional purposive sampling, yaitu penarikan sample yang dilakukan berdasarkan penunjukkan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan
sample.36
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan
Metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif dapat menggunakan dua cara,
yaitu:
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan dengan maksud untuk
memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari
berbagai literatur, perundang-perundangan, buku-buku, media massa, dan bahan
tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
36
36
b. Studi Lapangan
Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara
yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan lisan,
maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.
2. Pengolahan Data
Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Seleksi data, yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban, kejelasannya, dan
relevansi dengan tujuan penelitian.
b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan jawaban para koresponden menurut
jenisnya, klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan
dalam menganalisis data.
c. Sistematika Data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan
menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistmatis sehingga
mempermudah pembahasan.
E. Analisis Data
Adapun guna analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang
diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Peneliti dalam proses analisis data ini
menggunakan metode analisis kualitatif yaitu menginterprestasikan rangkaian
data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian
37
terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan
sehingga hal tersebut benar-benar menyatakan pokok permasalahan yang ada dan
disusun dalam bentuk kalimat ilmiah secara sistematis selanjutnya ditarik suatu
kesimpulan yang menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarikan
kesimpulan berdasarkan pada hal-hal yang khusus untuk ditarik kesimpulan
V. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan Anak Perkara No
267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 82,
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada
tedakwa dengan ancaman sanksi penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Sanksi pidana yang di terima oleh terdakwa lebih ringan di bandingkan
tuntutan jaksa sebab dianggap tidak sesuai karena pelakunya orang dewasa
yaitu penjara selama 6 enam tahun, menjadi selama 4 tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan, dan denda Rp.100.000.000 (seratus juta
rupiah) subsider 3 tiga bulan, menjadi denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan diganti
dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan hal tersebut dikarenakan ada
pertimbangan-pertimbangan yang di ambil oleh hakim sebagai penjatuh
55
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana
Pencabulan Anak pada Putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK adalah:
a. Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana
Melalui unsur-unsur tersebut hakim mempertimbangkan apakah Terdakwa
telah memenuhi seluruh atau sebagian unsur dari tindak pidana pencabulan
terhadap anak. Unsur-unsur tindak pidana pencabulan yang dimksud adalah
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 82 Udang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
b. Pembuktian di persidangan berdasarkan kesesuaian alat bukti yang sah yang
diajukan dipersidangan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan Terdakwa. Dari 5
alat bukti tersebut harus ada minimal 2 alat bukti yang diajukan ke dalam
persidangan.
c. Keyakinan hakim
Keyakinan hakim menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi
pidana bagi terdakwa. Keyakinan ini dibangun dari fakta-fakta yang terjadi
dalam persidangan. Jika hakim tidak yakin atau ada keragu-raguan dari suatu
56
d. Melihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa
Pertimbangan ini dibentuk hakim untuk mewujudkan suatu keadilan bagi
terdakwa, korban, dan masyarakat. Hal-hal yang memberatkan dan
meringankan tersebut melihat dari perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat,
perbuatan terdakwa menimbulkan trauma mendalam dan rasa takut yang
dirasakan korban, terdakwa menunjukkan sikap yang baik selama di
persidangan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
e. Akibat langsung bagi korban
Melihat pula dari kesalahan dan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan
Terdakwa, apakah terdapat akibat langsung yang diterima korban seperti terjadi
trauma yang mendalam atau depresi pada korban akibat dari tindak pidana
pencabulan.
B. saran
1. Seorang tersangka tindak pidana kesusilaan yang korbannya adalah anak-anak
haruslah mendapatkan pidana yang berat agar efek penjeraan dapat berjalan
secara maksimal dan diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan
yang sama dikemudian hari.
2. Pemerintah perlu membentuk badan yang mengurusi rehabilitasi (crisis center) terhadap anak yang menjadi korban perkosaan atau pencabulan untuk
DAFTAR PUSTAKA
Literaratur:
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Black Henry, Campbell , Black's Law Dictionary 8th, (US Gov, 2004).
Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif , Jakarta: Grafindo Persada, 2000.
Kansil, C.S.T. dan S.T, Christine, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Kusumo, Sudikno, metro, Penemuan Hukum Sebuah Penganta. Jogja: Lliberty, 2009.
Kanter, E.Y. dan Sianturi S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2001.
Lamintang, P.A. F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 2000.
Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 2001.
Poernomo, Bambang , Dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 2004.
Rahardjo, Satjipto, Perspektif Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: UI Press, 1986.
Soekamto, Soerjono dan Soerjono Purnadi X, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Sudarsono, Kamus Hukum, PT Rineka Citra, Jakarta 1992.
Sugandhi, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1998.
Widodo, Pajar, Menjadi Hakim Progresif. Bandar Lampung: Indepth Publishing 2013.
Tim Penyususn:
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II-IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2004
Undang- undang:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP). UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.