• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ABSTRAK melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sebagaimana manusia yang lainnya. Orang tua, kelompok masyarakat, aparat penegak hukum, serta pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai regulator kebijakan dan pengawasan kehidupan bernegara, khususnya dalam upaya melindungi hak-hak hidup anak. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diharapkan mampu mengakomodasikan semua hak-hak anak yang secara mutlak harus diberikan padanya, terkhususnya dalam hal perlindungan hukum. Masih terjadinya berbagai tindak pidana pencabulan terhadap anak, secara jelas membuktikan bahwa anak masih rentan terhadap berbagai tindak kekerasan. Seperti yang terjadi di daerah Bandar Lampung dan telah di putus oleh hakim dengan putusan Nomor 267/Pid/B/2012/PNTK. Dengan demikian, timbul pertanyaan sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan anak pada perkara No.267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002. Dan apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis empiris dan yuridis normatif , dengan jenis data primer berupa hasil wawancara dengan hakim dan jaksa di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Sedangkan jenis data sekunder berupa aturan perundang-undangan putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK dan kepustakaan lainnya. Dari data-data ini, selanjutnya penulis melakukan analisis data-data dengan menggunakan analisis kualitatif.

(4)

diajukan dipersidangan, c. keyakinan hakim d. melihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, dan e. akibat langsung bagi korban. Adapun saran yang disampaikan antara lain: seorang tersangka tindak pidana kesusilaan yang korbannya adalah anak-anak haruslah mendapatkan pidana yang setimpal agar efek penjeraan dapat berjalan secara maksimal dan diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan yang sama dikemudian hari. Pemerintah perlu membentuk badan yang mengurusi rehabilitasi (crisis center) terhadap anak yang menjadi korban perkosaan atau pencabulan untuk meminimalisir akibat negatif yang mungkin timbul pada diri korban.

Kata Kunci : Penerapan Sanksi Pidana, Pencabulan, Pencabulan Anak.

(5)
(6)

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN ANAK

(Skripsi)

Oleh: Sulis Trianto

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana ... 13

B. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak... . 20

C. Pengertian Anak ... 22

D. Pengertian Perlindungan Anak ... 25

E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 28

F. Keadilan yang sesuai dengan Hukum ... 30

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber Data dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sample... 34

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35

E. Analisis Data ... 36

IV.METODE PENELITIAN A. Karakteristik Responden ... 38

(8)

C. Kesesuaian Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pencabulan Anak

Perkara No 267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 Pasal 82 ... 42

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana

Pencabulan Anak pada Putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK ... 48

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 54

B. Saran ... 57

(9)
(10)
(11)

MOTO

Janganlahkaujadikankemungkinankecewamusebagaipenghambatkerjamu.

Ketahuilahbahwakegelisahandalampenundaan

karena rasa takutakankekecewaan, adalahperasaan yang

lebihburukdaripadakekecewaan yang sebenarnya.

(Mario Teguh)

Tiga pilihan dalam hidup:

Pilihan, Perbedaan, dan Perubahan.

Kamu harus membuat suatu perbedaan untuk menentukan sebuah pilihan, jika

tidak hidupmu tidak akan mengalami perubahan.

(12)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini untuk:

Kedua Orang Tuaku

Dua Insan Manusia Yang Begitu Sangat Kusayangi Dan Kucintai, Berkat

Didikan, Bimbingan Dan Doa Mereka Dalam Membesarkanku Sehingga Aku

Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil

Adik Kandungku Yang

Membuatku Semakin Yakin Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat

Susah Maupun Senang

Seluruh Keluarga Besar

Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam

Menjalani Hidup Ini

Almamater Universitas Lampung

Tempat Aku Menimba Ilmu, Disinilah Aku Mendapatkan Ilmu Dan Pengetahuan

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Madu pada tanggal 25 April

1989. Anak Pertama dari dua bersaudara buah cinta dari

pasangan Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri.

Pendidikan Formal ditempuh penulis yaitu di Taman

Kanak-Kanak Gunung Madu dan diselsaikan pada tahun 1996, Pendidikan Sekolah Dasar

Negeri 1 Terusan Nunyai dan diselesaikan tahun 2002. Penulis melanjutkan

jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Satya

Dharma Sudjana Gunung Madu dan selesai tahun 2005 dan Sekolah Menengah

Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 melalui proses seleksi Penelusuran Kemampuan Akademik dan

Bakat (PKAB) penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

Reguler Universitas Lampung. Pada tahun 2011, Penulis mengikuti program

pengabdian kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31 Juni

sampai 9 Agustus 2011 di desa Waspada, Kecamatan Sekincau Lampung Barat

selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam Himpunan

(14)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya

dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Analisis Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan

Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun

penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun

penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang

membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan

kesempurnaan skripsi ini. Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri

akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril

maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di

dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima

kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

2. Ibu DR. Erna Dewi, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Uiversitas Lampung sekaligus Pembimbing I (satu) yang telah

(15)

atas kebaikan hati, kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk

membimbing penulis;

3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II (dua) atas

ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan, dan memberi masukan agar

terselesaikannya skripsi ini;

4. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Pembahas I (satu) yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan saran, bimbingan dan bantuan yang

sangat berarti dalam penulisan skripsi ini;

5. Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah

memberikan waktu, masukan, dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H.,M.H., yang telah menjadi pembimbing

akademik penulis selama penulis menimba ilmu di fakultas hukum

universitas lampung;

7. Seluruh Dosen Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu

dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi

Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Ibu Ida Ratnawati, S.H.,M.H., dan Ibu Eka Septiana Sari, S.H, selaku jaksa di

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang telah memberikan sedikit waktunya

pada saat penulis melakukan penelitian;

9. Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri tercinta, serta Adikku tersayang Dani

Setiawan terima kasih telah memberikan dukungan, perhatian, doa, dan

semangat serta pengorbanannya.

10. Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Hukum, Ferdy Ardiyansah, S.H,

(16)

Alvin Ananta, S.H, Cristianto Sitinjak, S.H, Ahadi Fajri Prastya, S.H, Eko

Wahyudi, S.H, Asrul Septian Malik, S.H, Jusya Hadi, S.H, Immanuel Tobing,

SH, Kamal Putra Tamrin, S.H, Bambang Wardoyo, S,H, Devi Santoso, S.H,

Aditya Ilham, S,H, Dandi, S.H, Herdi SDA, S.H, Abdi, S.H, Febri Andela,

S.H, Syendro S.H, Fyar Fahturomi, S.H, Agung Waluyo, S.H, Rangga

Canvarianda, S.H, Fajar Aprilianto, S.H, Gagan Ghautama, S.H, thanks

banget udah mau bantuin gw selama ini kalian memang the best friend. 11. Kepada Babe Narto, Mbak sri, Mbak Yanti, Kiyay Basir, terima kasih doanya

dan dukungannya serta bantuannya selama ini

12. Almamater tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman

berharga

13. Serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang

lebih baik dan bermanfaat bagi semua. Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha

dan ketulusan yang diberikan kepada penulis, segala kritik dan saran yang bersifat

membangun penulis akan terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi yang membaca. Amin

Bandar Lampung, Oktober 2014

Penulis,

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Laju kehidupan dalam bermasyarakat mengakibatkan setiap orang tidak dapat

melepaskan diri dari berbagai hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling

terkait antara yang satu dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai

segi, misalya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi

hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik

kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa yang di namakan tindak pidana.

Tindak pidana merupakan suatu fenomena yang menghambat pelaksanaan

pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus

benar-benar diprioritaskan. Sumber tindak pidana banyak dijumpai dalam masyarakat

modern dewasa ini, sehingga tindak pidana justru berkembang dengan cepat baik

kualitas maupun kuantitasnya.

Untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu

aturan dan atau norma hukum yang wajib di taati. Terhadap orang yang

melenggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan di

ambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah

melakukan tindak pidana akan di jatuhi sanksi pidana berupa hukuman badan baik

(18)

2

Salah satu bentuk tindak pidana yang begitu marak terjadi belakangan ini adalah

tindak tindak pidana kesusilaan yang mengarah pada tindak tindak pidanaseksual

(sexual offense) dan lebih khususnya lagi yaitu tindak pidana pencabulan yang terjadi pada anak-anak. Pencabulan merupakan pengalaman yang paling

menyakitkan bagi seorang anak, karena selain mengalami kekerasan fisik, ia juga

mengalami kekerasan emosional.

Tindak pidana pencabulan anak menjadi sangat istimewa dari tindak pidana

pencabulan biasa karena korbannya adalah anak-anak. Pengertian anak senditri

tertera dalam penjelasan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,

tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa:

“Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat dan martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak masih memerlukan bimbingan orang tua/ keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.”

Para pelaku dari tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak seringkali adalah

orang-orang yang dikenal oleh korban bahkan ada juga yang masih mempunyai

hubungan keluarga. Tidak menutup kemungkinan sang pelaku adalah orang luar

dan tidak dikenal oleh korban. Reaksi yang timbul, masyarakat memandang

bahwa kasus tindak pidana terhadap anak harus diproses dan diadili

seadil-adilnya. Para pelaku harus dipidana seberat-beratnya karena telah merusak masa

depan anak bahkan dapat menimbulkan akibat buruk secara psikologis terhadap

(19)

3

Pengertian pencabulan sendiri menurut kamus hukum mengandung makna

suatuproses atau perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh karena melanggar

kesopanan dan kesusilaan.1. Ini secara umum diatur didalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 serta Pasal 282.

Pencabulan terhadap anak sendiri telah diatur dalam Pasal 81 dan 82

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan

bahwa:

1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

2. Ketentuan pidana sebagaina dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkai kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak menjelaskan bahwa,

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

(20)

4

Nomor267/Pid/B/2012/PNTK. Adapun kronologis singkat dalam perkara tersebut

terjadi di daerah Tanjung Karang Bandar Lampung yaitupada saat terdakwa

menjemput saksi korban pulang dari sekolah dan menaikkan kesepedah motor

milik terdakwa dengan posisi saksi korban duduk di depan terdakwa, ketika

sampai di perkebuanan singkong terdakwa menghentikan sepedah motornya di

pinggir jalan dan saat itulah jari telunjuk terdakwa dimasukkan kedalam kemaluan

korban agak lama lalu korban menepuk tangan terdakwa dan berkata “ngapain

kek”, lalu terdakwa menjawab “diem deh ini lagi di pijitin” lalu jari telunjuk

dikeluarkan kemudian membawa sepedah motor pulang, sesampainya di rumah,

saksi korban menceritakan hal tersebut kepada orang tunya, mendengar cerita

korban orang tua saksi korban melaporkan kejadiaan tersebut kepada pihak yang

berwajib.

Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak,

yang diancam pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)

tahun. Majelis hakim sepakat menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun

dan denda 100 juta rupiah subsider kurungan 1 (satu) bulan, dikurangi oleh masa

tahanan yang telah di jalani oleh terdakwa.

Penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak seharusnya

memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu perbuatan tersebut

baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari korban, sehingga dalam

(21)

5

Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan

sanksi yang setimpal bagi pelaku tindak pidana tersebut sehingga supremasi

hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat.

Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku

tindak pidana sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang

serta mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana tersebut karena

suatu ancaman sanksi yang cukup berat.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis berkeinginan untuk

mengangkat permasalahantersebut dalam sebuah skripsi dengan judul :“Analisis Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan

UUPerlindungan Anak”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latarbelakang diatas, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai

berikut :

a. Sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan anak

pada perkara No 267/Pid/B/2012/Pntkdengan Undang-Undang No.23 Tahun

2002 Pasal 82?

b.Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara

tindak pidana pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PNTK?

(22)

6

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya

yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

pencabulan anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap pelaku sebagaimana terdapat pada putusan Pengadilan Negeri Tanjung

Karang N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK. ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun

2013 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung

Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahuidan menganalisissecara jelas tentang kesekuaian penerapan sanksi

pidana terhadap pelaku pencabulan anak pada perkara

No.267/Pid/B/2012/PNTKdengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal

82;

b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana

pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

(23)

7

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala

berpikir dan menambah ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai tindak

pidana pencabulan anak.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan

untuk menambaha wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukumkhususnya

mengenai tindak pidana pencabulan anak

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan

oleh peneliti.2

Setiap penelitian selalu disertaidengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini

karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegitan

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

2

(24)

8

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang tercela dalam masyarakat dan harus di

pertanggungjawabkan oleh si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah

dilakukannya.3

Pertanggungjawaban pidana berakibat pada penerapan sanksi pidana yang harus

bercermin pada asas legalitas (Principle Of Legality), asa yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam

perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevie lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlenbih dahulu), dengan demikian maka penerapan sanksi pidana

harus seiring sejalan denagn perturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Walaupun telah ada peraturan perundang-undangan dalam penerapan sanksi

pidana, aspek pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan

merupakan konteks penting dalam penerapan sanksi pidana. Karena pertimbangan

yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah

perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana

yang di dakwakan oleh jaksa atau penuntut umum, dapat dikatakan lebih jauh

bahwa pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh

terhadap amar/dictum putusan hakim sebagai tolak ukur kesesuaian penerapan

sanksi pidana dengan undang-undang yang mengaturnya.

Pertimbangan-pertimbangan yuridis tersebut merupakan kewajiban hakim dalam

pemutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat(1) Undang- Undang

3

(25)

9

No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus di tafsirkan secara

sistematis dengan Pasal No 28 Ayat (1) dan Pasal (2) Undang-Undang No. 4

Tahun 2004 yang menyatakan sebagai berikut:

a. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan dalam masyarakat;

b. Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula

sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Dengan demikian maka hakim akan terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta

dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa dipersidangan.

Walaupun telah ada fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah

berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara (voor onderzoek), sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang (gerechtelijk onderzoek) yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.4 Selanjutnya

setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim

kemudian akan di pertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestandeelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dan pledoi dari

terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Setelah melalui proses tersebut maka

penerapan sanksi pidana baru dapat dijalankan.

4

(26)

10

Seberapa jauh kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara

didasarkan pada dua hal:

a. Dalam mengadili dan memutus perkara pidana, hakim tetap terikat sepenuhnya

pada undang-undang, digolongkan kebebasan hakim yang bersifat formalistik

kon (konservatif);

b. Kebebasan realistik (progresif), yaitu kebebasan hakim yang bertujuan untuk

merespon kebutuhan atau kepentingan masyarakat dalam masa pembangunan

ini, artinya hakim di beri kebebasan menerapkan kaidah teks UU dalam

perspektif nilai-nilai keadilan masyarakat pada saat ini.5

2. Konseptual

Demi memperoleh penjelasan yang relevan bagi pemahaman pengkajian

ilmiah di dalam penulisan skripsi ini, maka ada beberapa definisi hukum

yang sesuai dengan judul skripsi ini yaitu adalah:

a. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana;6

b. Pencabulan adalah perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan

yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya: ciuman,

5

J.Pajar widodo, Menjadi Hakim Progresif. (Bandar Lampung: Indepth Publishing 2013), hlm 46

6

(27)

11

meraba-raba bagian kemaluan, meraba-raba buah dada, dan termasuk pula

bersetubuh.7

c. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungan terhadap pemidanaan

petindak yang telah melakukan tindak pidana dan memenuhi

unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.8

d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.9

E. Sistematika Penulisan

I. Pendahuluan:

Bab ini berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan

penelitian dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika

penulisan.

II. Tinjauan pustaka:

Bab ini berisi pengertian tindak pidana dan sanksi pidana, pengertian tindak

pidana pencabulan anak,pengertian anak, dan pengertian perlindungan anak.

III. Metode penelitian:

Bab ini berisi pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, penentuan

populasi dan sample, metode pengumpulan dan pengolahan data dan analisis

data.

7

R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,( Bogor: Politeia, 1996), hlm. 25.

8

E.Y. Kanter dan S.R. SianturiOp.cit, hlm. 249.

9

(28)

12

IV. Hasil penelitian dan pembahasan:

Bab ini berisi karakteristik responden, gambaran umum perkara

No267/Pid/B/2012/PNTK, kesesuaian penerapan sanksi pidana terhadap

pelaku pencabulan anak perkara No 267/Pid/B/2012/PN.TKdengan

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal 82 dan dasar pertimbangan hakim dalam

memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No.

267/pid/b/2012/PN.TK.

V. Penutup:

Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan pokok

permasalahan yang diajukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan

oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak

pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan

masalah deliquensi, deviasi, kualitas tindak pidana berubah-ubah, proses

kriminisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat

tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan

pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan

kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).10

Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dapat

atau boleh dihukum, perbuatan pidana, sedangkan dalam bahasa Belanda

disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia mengistilahkan

strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan

istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa larangan tersebut”.11

10

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.cit, hlm. 204.

11 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,

(30)

14

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang

melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam

bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat

yang dianggap adil.12

Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat

disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan

masyarakat diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat

tercelanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa

melakukannya.

Pokok pikiran dalam tindak pidana adalah diletakkan pada sifatnya orang yang

melakukan tindak pidana. Hal ini perlu dijelaskan karena beberapa penulis

Belanda dalam pengertian strafbaar feit mencakup juga strafbaarhied orang yang melakukan feit tersebut.

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian tindak pidana. Secara umum

dijelaskan bahwa pengertian tindak pidana menurut Moeljatno merupakan suatu

perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar peraturan-peraturan

pidana, yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dalam

kehidupan sehari-hari, masyarakat seringkali melihat tindak tindak pidana, akan

12 Moeljatno,

(31)

15

tetapi ada sebagian masyarakat yang belum mengetahui arti yang sebenarnya

tentang pengertian tindak pidana.13

Walaupun para pembentuk Undang-Undang telah menterjemahkan kata

strafbaarfeit” dengan istilah tindak pidana antara lain dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi di dalamnya tidak memberikan

rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian strafbaarfeit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memunculkan berbagai pendapat

tentang arti istilah strafbaarfeit yang dirumuskan oleh berbagai kalangan ahli hukum pidana, antara lain:

itubukan perbuatannya, melainkan pelaku perbuatannya atau manusia selaku

persoon.15 Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 85.

14

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: PT. Eresco, 2004), hlm. 1.

15 P.A. F. Lamintang,

(32)

16

terhadap ketertiban umum, baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak

sengaja oleh seorang pelaku, dalam mana penjatuhan sanksi pidana

tersebut dimaksudkan untuk tetap terpeliharanya ketertiban hukum dan

terjaminnya kepentingan umum. 16

d. Menurut Simon, pengertian “Tindak Pidana” yaitu sejumlah aturan-aturan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang

berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, yang berupa

larangan, keharusan dan disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar

timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan.17

e. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara pengertian tindak pidana adalah

setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan

hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi

hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau

tidak langsung terkena tindakan itu disebut tindak pidana.

Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat perlu

ditentukan mengenai tindakan yang dilarang dan diharuskan, sedangkan

pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana.18 Adapun unsur

yang terdapat dalam tindak pidana tersebut antara lan:

1). Perbuatan manusia baik aktif atau pasif;

(33)

17

2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;

3). Melawan hukum;

4). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan;

5). Orang yang berbuat dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional atau dikenal BPHN, tindak pidana

adalah yang mempunyai unsur sebagai berikut:

1). Perbuatan Manusia;

2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;

3). Melawan Hukum.

Apabila tidak terpenuhi salah satu unsur di atas maka dibebaskan,

sebaliknya apabila terpenuhi maka akan terkena pertanggungjawaban pidana

yang unsurnya adalah:

1). Orang yang berbuat mampu bertanggung jawab;

2). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan.

Apabila tidak terpenuhi salah satu dari unsur tersebut maka yang

bersangkutan dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan apabila terpenuhi maka

dapat dipidana.

Tindak pidana menghasilkan sanksi pidana pengertian adalah suatu nestapa atau

(34)

18

perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut

diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.19

2. Pengertian Sanksi Pidana

Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk

pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman,

penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan

hukuman pidana.

Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari "straf" dan istilah "dihukum" yang berasal dari "wordt gestraf" merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan

istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata "straf" dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata "wordt gestraf". Menurut Moeljatno , kalau "straf" diartikan "hukuman" maka "strafrecht" seharusnya diartikan sebagai "hukum hukuman".

Istilah "hukuman" yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat

mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan

dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,

moral, agama dan sebagainya. Oleh karena "pidana" merupakan istilah yang lebih

khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.

19

(35)

19

Dalam kamus "Black`s Law Dictionary" dinyatakan bahwa pidana atau istilah bahasa inggrisnya punishment adalah: "any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime of offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law"20 (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi

tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya

terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum). dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri sebagai

berikut :

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah mekakukan tindak pidana

menurut undang-undang;

d. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang

karena telah melanggar hukum.

Berdasarkan ciri-ciri diatas maka dapat diartikan bahwa pengertian sanksi pidana

adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah

melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian

proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk

20

(36)

20

hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak

melakukan tindak pidana lagi.

B.Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas seksual dengan

orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan

kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai berikut:

”Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun (tidak sonoh), tidak susila, ber-cabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan)21”.

Sedangkan definisi pencabulan yang diberikan oleh R. Sugandhi adalah

segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang

berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.22 Definisi yang diungkapkan R.

Sugandhi lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang

yang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana langsung atau tidak langsung

merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.

(37)

21

”Pencabulan berasal dari kata cabul yang diartikan; keji dan kotor; tidak senonoh karena melanggar kesopanan, kesusilaan, hal ini secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 dan 282, yaitu: diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah”.23

Seperti yang diuraikan di atas, pencabulan adalah tindak pidana seksual yang

dilakukan seorang pria atau perempuan terhadap anak di bawah umur baik pria

maupun perempuan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan. Pencabulan memiliki

pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa

memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra-remaja. Ciri utamanya

adalah berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual dengan cara yang paling

sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual.24 Mengenai tindak pidana

pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang itu melakukannya

dengan kesalahan, dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu

tindak pidana pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu

terdapat kesalahan. Adapun mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana

pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 82, adalah:25

a. Setiap orang;

(38)

22

b. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Kemudian dari situ hakim bisa memutuskan sanksi pidana apa yang akan

dikenakan bagi Terdakwa yang melakukan tindak pidana pencabulan.

C. Pengertian Anak

Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena

anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda

ada yang disebut juga remaja dan dewasa. Generasi muda , dibatasi sampai

seorang anak berumur 25 tahun. Generasi muda terdiri dari atas masa

anak-anak umur 0-12 tahun, masa remaja 13-20 tahun dan masa dewasa muda umur

21-25 tahun.

Masa kanak–kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0-menjelang 2 tahun, masa kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa

kanak-kanak terakhir 5-12. pada masa bayi keadaan fisik anak sangat lemah dan

kehidupannya masih sangat tergantung pada pemeliharaan orang tuanya, terutama

dari ibunya.

Kemudian pada masa kanak-kanak pertama, sifat anak suka meniru apa yang

dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam, anak mulai mencari teman

sebaya, ia mulai berhubungan dengan orang-orang dalan lingkungannya,

(39)

23

terakhir, pada tahap ini terjadi tahap pertumbuhan kecerdasan yang cepat,

suka bekerja, lebih suka bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka

menolong, suka menyayangi, menguasai dan memerintah.

Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Kriminalisasi anak” yang berjudul

“Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan”,

mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun

kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa

usia dewasa dicapai lebih awal26. Pada masa remaja merupakan masa anak

mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan,

kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja adalah masa goncang

karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang

kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan perbuatan yang oleh orang

tua dinilai sebagai perbuatan yang nakal, sehingga kenakalan tersebut dapat

membuat emosi orang tua sehingga dapat menyebabkan kekerasan terhadap anak.

Selain kenakalan yang bisa mengakibatkan kekerasan orang tua terhadap anak,

belum siapnya orang tua untuk mempunyai anak bisa juga menyebabkan

kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu diberikan pelindungan hukum bagi anak

untuk mencegah adanya kekerasan yang menimbulkan kekerasan fisik bagi anak.

Untuk memberikan pelindungan yang baik terhadap anak-anak di Indonesia

maka diperlukan peraturan-peraturan yang memberikan jaminan pelindungan

hukum bagi anak-anak yang ada di negara Republik Indonesia. Pengertian anak

26 Satjipto Rahardjo,

(40)

24

menurut hukum yang berlaku di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan

yaitu:

1. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) tentang

Peradilan Anak Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Penetapan usia anak pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini memang

tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menunjukan

bahwa pembentuk undang-undang menganggap pada usia demikian

seseorang telah dapat dipertanggunjawabkan secera emosional, mental dan

intelektual walaupun tidak seperti orang dewasa;

2. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak

Asasi Manusia Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi:“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan

belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut demi kepentingannya”27

3. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang

Perlindungan Anak“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) Tahun, termasuk anak masih dalam kandungan”;28

(41)

25

4. Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang

Kesejahteraan dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian anak adalah: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.29 Selain itu juga dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 anak

bukanlah seorang manusia mini/kecil. Memang antara orang dewasa dan anak

ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaannya (mental, fisik, sosial).

Selain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di atas dalam

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 53k/SIP/ 1952 tanggal 1

Juni 1955 juga mengatur tentang pengertian anak. Dalam amarnya

menentukan bahwa “15 (lima belas) tahun adalah suatu umur yang umum di Indonesia menurut hukum adat dianggap sudah dewasa”.

D. Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai

dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan bagi

anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;

2. Perlindungan anak dalam proses peradilan;

3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan

lingkungan sosial);

4. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan;

29

(42)

26

5. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan

anak, pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan,

memperalat anak dalam melakukan tindak pidana dan sebagainya);

6. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;

7. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;

8. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.30

Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin

terlaksananya perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan anak dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan anak.

Menurut Pasal 1 Butir 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak disebutkan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.

Sedangkan ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat

dibedakan dari menjadi:

30

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan

(43)

27

1. Perlindungan yang bersifat yuridis

Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan

hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap

berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.31

Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47

KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang

secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu

antara lain Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal

305, Pasal 308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak.

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada

prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak.

Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,

yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai

pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

31

(44)

28

2. Perlindungan yang bersifat non-yuridis

Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi

sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya

peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan

melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang

lebih lengkap dan canggih.

E. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

Dalam mengambil pertimbangan penjatuhan putusan pidana, hakim harus

memiliki dasar pengambilan keputusan yang berasal dari teori-teori tertentu

yaitu:32

a. Teori keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

bersangkutan atau berkaitan dengan perkara, yaitu kepentingan antara

terdakwa, korban dan masyarakat;

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Pendekatan seni di pergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan

agar sesuai dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak

pidana, hakim akan melihat kedalian bagi pihak terdakwa dan keadilan bagi

32Ahmad Rifai,

Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.

(45)

29

pihak penuntut umum, pnjatuhan putusan seperti itu menuntut intuisi dan

pengetahuan dari seorang hakim;

c. Teori pendekatan keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupak semacam peringatan bahwa dalam memutus

suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi

harus didasarkan pula pada ilmu pengetahuan dan juga wawasan keilmuan

hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya;

d. Teori pendekatan pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapi sehari-hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;

e. Teori ratio decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan pokok perkara sebagai dasar hukum penjatuhan putusan, serta

pertimbangan hakim harus didasari pada motivasi yang jelas untuk

menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

(46)

30

F. Keadilan yang sesuai dengan hukum (Keadilan Substantif)

Keadilan subtantif secara konseptual berkaitan dengan isi atau substansi keadilan

itu sendiri.33 Secara teoritik, terdapat beberapa pandangan tentang keadilan

substantif, antara lain keadilan diukur dari kriteria pencapaian kepuasan para

pencari keadilan, ada juga mengidentifikasikan keadilan dipandang dari sudut

kemanfaatan, atau bahkan diukur dari pelaksanaan hukum itu sendiri. Untuk

mengukur secara tepat konsep keadilan substantif haruslah dibedakan antara

keadilan individual (individual justice) dan keadilan sosial (social justice).

Selanjutnya, keadilan ini melekat dengan isi atau substansi itu sendiri, yang

berarti bahwa keadilan substantif berorientasi pada out comes yaitu nilai-nilai dasar dari hukum meliputi nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan,

diharapkan dan diterima individu dan masyarakat. Keadilan substantif

mengutamakan pencapaian tujuan hukum dari pada formalitas prosedur hukum,

sehingga apabila terjadi pertentangan antara nilai kepastian hukum dengan nilai

keadilan yang didasarkan pada asas legalitas material.

Keadilan substantif dapat didefinsikan sebagai the truth justice (sebenar keadilan, yaitu keadilan yang sebenarnya). Pertimbangan utama pencari keadilan

substansial bukan lagi aspek formal (state law) dan materiil (living law),

33 J. Pajar widodo,

(47)

31

melainkan aspek hakikat hukum, yakni dilibatkannya pertimbangan moral, ethic

dan religion.

Pada dasarnya, keadilan ini bersumber dari hukum yang berfungsi memberikan

keadilan dalam aspek moral, sosial, etik, religi dapat diterima masyarakat. Apabila

hukum dipandang sebagai usaha manusia bersaranakan ilmu pengetahuan hukum

(teori hukum, ajaran dan doktrin hukum), maka usaha pencarian makna keadilan

melalui ilmu hukum akan bersentuhan dengan religi dan moral dalam usaha

memberikan nilai-nilai keadilan.

Untuk itu, makna keadilan substantif yang bersentuhan dengan moral dan religi,

pada dasarnya telah diterima dalam sistem hukum nasional,terutama dalam Pasal

2 Ayat (1) UU. No.48 tahun 2009, bahwa peradilan dilakukan “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan UU. No.48 tahun 2009

tersebut bersifat mengikat seluruh penegak hukum dalam proses peradilan,

sehingga tidak ada pembedaan dalam penegakan hukum di Indonesia.

(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin, maka peneliti perlu mengadakan

pendekatan masalah. Adapaun yang dimaksud dengan pendekatan masalah yaitu

langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan dan mengkaji

yang ada pada objek penelitian, untuk itu penulis menggunakan dua cara yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pensekatan yuridis normatif yaitu: pendekatan dengan cara studi kepustakaan

dengan menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai

literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu: pendekatan dengan melakukan penelitian dalam

praktek dilapangan guna mendapatkan data dan informasi yang dapat dipercaya

kebenarannya mengenai penegakan hukum tindak pidana yaitu tindak pidana

pencabulan anak di bawah umur.

B. Sumber dan Jenis Data

Dalam melakukan penelitian, penulis memerlukan data-data yang terkait dengan

(49)

33

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara

langsung pada objek penelitian yang dilakukan secara observasi dan wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada

penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip,

mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada.

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum bersifat mengikat.Dalam penulisan

ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1). Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia;

5). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak;

6). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

(50)

34

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti, buku-buku literatur dan karya ilmiah yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.

C. Penentuan Populasi dan Sample

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.34

Sample adalah sekelompok kecil individu yang dilibatkan langsung dalam

penelitian. Sampel terdiri dari sekelompok individu yang dipilih dari kelompok

yang lebih besar dimana pemahaman dari hasil penelitian akan di gunakan atau

diberlakukan.35

Populasi dalam penelitian ini yaitu jaksa pada Kejaksaan Negri Tanjung Karang,

hakim pada pengadilan Negri Tanjung Karang dan dosen bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung. Peneliti untuk mendapatkan data yang

34

Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif. (jakarta: Grafindo Persada, 2000) Hlm.152.

35Ibid

(51)

35

diperlukan dari populasi menggunakan metode wawancara kepada responden

yang telah dipilih sebagai sample yang dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sample dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan

metode proposional purposive sampling, yaitu penarikan sample yang dilakukan berdasarkan penunjukkan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan

sample.36

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan

Metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif dapat menggunakan dua cara,

yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan dengan maksud untuk

memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari

berbagai literatur, perundang-perundangan, buku-buku, media massa, dan bahan

tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

36

(52)

36

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan lisan,

maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Seleksi data, yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban, kejelasannya, dan

relevansi dengan tujuan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan jawaban para koresponden menurut

jenisnya, klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan

dalam menganalisis data.

c. Sistematika Data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan

menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistmatis sehingga

mempermudah pembahasan.

E. Analisis Data

Adapun guna analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas

pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang

diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Peneliti dalam proses analisis data ini

menggunakan metode analisis kualitatif yaitu menginterprestasikan rangkaian

data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian

(53)

37

terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan

sehingga hal tersebut benar-benar menyatakan pokok permasalahan yang ada dan

disusun dalam bentuk kalimat ilmiah secara sistematis selanjutnya ditarik suatu

kesimpulan yang menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarikan

kesimpulan berdasarkan pada hal-hal yang khusus untuk ditarik kesimpulan

(54)

V. Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan Anak Perkara No

267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 82,

sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepada

tedakwa dengan ancaman sanksi penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta

rupiah).

Sanksi pidana yang di terima oleh terdakwa lebih ringan di bandingkan

tuntutan jaksa sebab dianggap tidak sesuai karena pelakunya orang dewasa

yaitu penjara selama 6 enam tahun, menjadi selama 4 tahun dikurangi selama

terdakwa berada dalam tahanan, dan denda Rp.100.000.000 (seratus juta

rupiah) subsider 3 tiga bulan, menjadi denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus

juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan diganti

dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan hal tersebut dikarenakan ada

pertimbangan-pertimbangan yang di ambil oleh hakim sebagai penjatuh

(55)

55

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana

Pencabulan Anak pada Putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK adalah:

a. Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana

Melalui unsur-unsur tersebut hakim mempertimbangkan apakah Terdakwa

telah memenuhi seluruh atau sebagian unsur dari tindak pidana pencabulan

terhadap anak. Unsur-unsur tindak pidana pencabulan yang dimksud adalah

unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 82 Udang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

b. Pembuktian di persidangan berdasarkan kesesuaian alat bukti yang sah yang

diajukan dipersidangan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan Terdakwa. Dari 5

alat bukti tersebut harus ada minimal 2 alat bukti yang diajukan ke dalam

persidangan.

c. Keyakinan hakim

Keyakinan hakim menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi

pidana bagi terdakwa. Keyakinan ini dibangun dari fakta-fakta yang terjadi

dalam persidangan. Jika hakim tidak yakin atau ada keragu-raguan dari suatu

(56)

56

d. Melihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa

Pertimbangan ini dibentuk hakim untuk mewujudkan suatu keadilan bagi

terdakwa, korban, dan masyarakat. Hal-hal yang memberatkan dan

meringankan tersebut melihat dari perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat,

perbuatan terdakwa menimbulkan trauma mendalam dan rasa takut yang

dirasakan korban, terdakwa menunjukkan sikap yang baik selama di

persidangan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.

e. Akibat langsung bagi korban

Melihat pula dari kesalahan dan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan

Terdakwa, apakah terdapat akibat langsung yang diterima korban seperti terjadi

trauma yang mendalam atau depresi pada korban akibat dari tindak pidana

pencabulan.

B. saran

1. Seorang tersangka tindak pidana kesusilaan yang korbannya adalah anak-anak

haruslah mendapatkan pidana yang berat agar efek penjeraan dapat berjalan

secara maksimal dan diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan

yang sama dikemudian hari.

2. Pemerintah perlu membentuk badan yang mengurusi rehabilitasi (crisis center) terhadap anak yang menjadi korban perkosaan atau pencabulan untuk

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Literaratur:

Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Black Henry, Campbell , Black's Law Dictionary 8th, (US Gov, 2004).

Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif , Jakarta: Grafindo Persada, 2000.

Kansil, C.S.T. dan S.T, Christine, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Kusumo, Sudikno, metro, Penemuan Hukum Sebuah Penganta. Jogja: Lliberty, 2009.

Kanter, E.Y. dan Sianturi S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 2001.

Lamintang, P.A. F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 2000.

Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 2001.

Poernomo, Bambang , Dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 2004.

Rahardjo, Satjipto, Perspektif Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif.

Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

(58)

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.

Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: UI Press, 1986.

Soekamto, Soerjono dan Soerjono Purnadi X, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Sudarsono, Kamus Hukum, PT Rineka Citra, Jakarta 1992.

Sugandhi, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1998.

Widodo, Pajar, Menjadi Hakim Progresif. Bandar Lampung: Indepth Publishing 2013.

Tim Penyususn:

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II-IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2004

Undang- undang:

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP). UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Referensi

Dokumen terkait

24 perancangan antarmuka halaman daftar kategori kerja versi mobile 61. 25 perancangan antarmuka halaman detail project

Kotler (2002 : 18) mengemukakan definisi bauran pemasaran (marketing mix) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan dalam

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kebiasaan atau pembiasaan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi seseorang dalam menulis. Seperti telah disampaikan di atas, bahwa pada dasarnya setiap

Pertanggungjawaban pidana bagi anak yang melakukan tindak pencabulan kepada anak berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia apabila pelaku berusia

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat

(2) Negara-negara anggota, yang menyadari bahwa negara anggota lain tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian ini yang menghasilkan pengurangan keuntungan bagi