• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Waktu Kerja Lembur dan Jenis Tugas Terhadap Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek Pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Waktu Kerja Lembur dan Jenis Tugas Terhadap Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek Pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WAKTU KERJA LEMBUR DAN JENIS TUGAS TERHADAP

TINGKAT KELELAHAN PEKERJA PROYEK PEMBANGUNAN

GEDUNG TELKOMSEL DI KOTA MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh:

ARI PURNOMO

NIM. 111021118

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH WAKTU KERJA LEMBUR DAN JENIS TUGAS TERHADAP TINGKAT KELELAHAN PEKERJA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG TELKOMSEL DI

KOTA MEDAN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

ARI PURNOMO NIM. 111021118

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Pekerjaan konstruksi di proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan menggunakan waktu kerja melebihi waktu kerja normal yang ditetapkan di Indonesia yakni 8 jam/hari dan 40 jam seminggu (kerja lembur). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap tingkat kelelahan pekerja proyek pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan.

Penelitian ini bersifat analitik survei dengan desain cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja tahap struktur bangunan yaitu sebanyak 42 responden. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara menggunakan Kuesioner alat Ukur Perasaan kelelahan Kerja (KUPK2). Data sekunder diperoleh dari kantor proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pekerja dengan kerja lembur < 3 jam/hari yaitu 13 pekerja yang mengalami lelah (31,0%) dan 11 pekerja yang mengalami sangat lelah (26,2%). Sedangkan pada pekerja yang kerja lembur > 3 jam/hari terdapat 2 pekerja mengalami lelah (4,8%) dan 16 pekerja mengalami sangat lelah (38,1%), hasil uji menunjukkan (p-value = 0,004). Untuk pekerja yang melaksanankan tugas sesuai standar kerja terdapat 11 pekerja mengalami lelah (26,2%), 9 pekerja mengalami sangat lelah (21,4%). Untuk pekerja yang melaksanakan tugas melebihi standar kerja terdapat 4 pekerja (9,5%) mengalami lelah dan 18 pekerja mengalami sangat lelah (42,9%), hasil uji menunjukkan (p-value = 0,015). Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa waktu kerja lembur memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kelelahan kerja (nilai p = 0.009).

Disarankan kepada pihak SHE (Safety Health and Environment) proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan agar memberikan penyuluhan dan melaksanakan manajemen kelelahan kerja.

(5)

ABSTRACT

Construction activity in the building project of Telkomsel building in Medan, use working time beyond normal working time that has been determined in Indonesia those are 8 hours/ day and 40 hours a week. This research has purposes to know about the influences of overtime and sort of assignment at level of worker fatigue in building project of Telkomsel building in Medan.

This research is analytic survey with cross sectional design. Population and the samples

of this research are all workers at the stage of building’s structure those were 42 respondents. Primary data was obtained from observation result and interview that used questioner that named work fatigue measuring instrumen fatique feeling (KAUPK2). Secondary data was obtained from the office of building project of Telkomsel building in Medan.

The results showed that workers to work overtime < 3 hours / day at 13 workers feel tired (31.0 %) and 11 workers who are very tired (26.2 %). While the workers who work overtime > 3 hours / day , there are 2 workers feel tired (4.8 %) and 16 workers feel very tired (38.1 %), the test results showed (p -value = 0.004). For workers who implement the tasks according to work standards are 11 workers feel tired (26.2 %), 9 workers have very tired (21.4 %). For workers who do assignments according with working exceed the standards are 4 workers (9.5 %) feel tired and 18 workers feel very tired (42.9 %), the test results showed (p -value = 0.015). Results of multiple logistic regression analysis showed that overtime has a significant relationship with the level of fatigue (p = 0.009).

It is suggested to the Safety Health and Environment (SHE) department in the building project of Telkomsel building in Medan in order to give elucidation and implement the working fatique management.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ari Purnomo

Tempat/Tanggal Lahir : Asahan, 30 Oktober 1990

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Saudara : 5 (Lima) orang

Alamat Rumah : Jl. Teratai No.59 Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Asahan, Sumatera Utara

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1996-2002 : SDN 010133 Aek Songsongan

Tahun 2002-2005 : SLTPN 1 Bandar Pulau

Tahun 2005-2008 : SMAN 1 Bandar Pulau

Tahun 2008-2011 : DIII Keperawatan USU

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

‘Pengaruh Waktu Kerja Lembur dan Jenis Tugas Terhadap Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek Pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013’

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan

Kerja sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan

dan masukan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

3. Ibu Ir. Kalsum, M.Kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan waktu

dan fikiran dalam membimbing penelitian ini hingga dapat diselesaikan.

4. Bapak dr. Mhd Makmur Sinaga, MS selaku penguji ujian skripsi

5. Ibu Isyatun Mardiyah Syahri, S.KM, M.Kes selaku penguji ujian skripsi

6. Ibu Lita Sri Andayani, S.KM, M.Kes selaku Dosen Penasehat Akademik.

7. Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

khususnya di Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

8. Kepada Ayahanda Sukatno dan Ibunda Partiah tercinta yang telah memberika doa, semangat,

(8)

9. Kakak dan abang saya: H. Baharuddin, Barinah, Tri Wantuti S.Pdi, Ahmad Syamsuri

Hasibuan S.Pdi, Eni Yamyamah S.Pdi, Abu Bakar Purba S.Pd dan Adik saya Nurul

Fahruddin, terima kasih atas perhatian, doa dan semangat yang telah diberikan sehingga saya

dapat menyelesaikan pendidikan dan skripsi ini.

10.Kepada Adinda Citra Hutri Anggryani S.Kep yang telah menjadi semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

11.Kepada teman-teman seperjuangan di Medical Emergency Rescue Cab. Medan, Rumah

Peduli Indonesia dan Ponpes. PELMAHA Padang Bulan yang banyak memberikan doa,

waktu dan motivasinya.

12.Kepada teman-teman seperjuangan di FKM USU, bang Sogirin, Juna, Alex, Parta, Ulya,

Marlina, Rizky, Nadillah, kak Iska, kak Ainal, kak Febri, bang Fentra, kak Dessy, bang Cuan,

bang Fauzy, kak Yuli, Dunter, Mareza, Ayu, Sri, Rizka, Arif, Philip,dll.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan masih diperlukan penyempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua dan peleliti selanjutnya.

Medan, Februari 2014

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

2.1.2. Pengukuran Waktu Kerja... 13

2.2. Jenis Tugas ... 15

2.3. Jenis Tugas Dalam Proyek Pembangunan Gedung... 18

2.4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan... 21

2.4.1. Pengendalian Hygiene dan Kesehatan Kerja... 21

2.4.2. Identifikasi Bahaya terhadap Kesehatan... 21

2.4.3. Pengendalian Bahaya... 21

2.4.4. Pedoman Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerja Konstruksi... 22

2.4.5. Mesin-mesin dan Peralatan... 22

2.4.6. Pekerjaan Pencetakan dan Pengecoran Beton... 23

2.4.7. Pekerjaan Atap... 24

2.4.8. Alat Pelindung Diri (APD) Pekerjaan Konstruksi... 25

2.4.9. Program K3 di Proyek Konstruksi... 27

2.4.10. Peralatan Standar K3 di Proyek Konstruksi... 28

2.5. Metode Standar Pelaksanaan Kerja Konstruksi... 29

2.5.1. Pekerjaan Beton... 29

(10)

2.5.4. Pekerjaan Finish dan Plesteran... 30

2.5.5. Pekerjaan Pengecatan... 31

2.5.6. Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal... 32

2.6. Kelelahan Kerja ... 33

2.6.1. Jenis Kelelahan Kerja ... 34

2.6.2. Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Kelelahan Kerja... 36

2.6.3. Proses Terjadinya Kelelahan Kerja ... 38

2.6.4. Akibat Kelelahan Kerja ... 41

2.6.5. Penanggulangan Kelelahan Kerja ... 42

2.6.6. Pengukuran Kelelahan Kerja... 43

2.7. Kerangka Konsep Penelitian ... ... 47

2.8. Hipotesis Penelitian... 47

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 48

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 48

3.3. Populasi dan Sampel ... 48

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5. Definisi Operasional ... 49

3.6. Aspek Pengukuran Kelelahan Kerja... 52

3.7. Teknik Analisa Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan ... 54

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.1.2. Data Proyek ... 56

4.1.3. Data Bangunan ... 56

4.1.4. Struktur Organisasi Proyek ... 57

4.1.5. Profil Perusahaan ... 58

4.2. Hasil Penelitian ... 59

4.2.1. Analisis Univariat ... 59

4.2.1.1. Karakteristik Pekerja ... 59

4.2.2. Analisis Bivariat ... 63

4.2.2.1. Hubungan Waktu Kerja Lembur dengan Kelelahan Pekerja... 63

4.2.2.2. Hubungan Jenis Tugas dengan Kelelahan Pekerja... 64

4.2.2.3. Hubungan Standar Kerja Dengan Kelelahan Pekerja 64 4.2.3. Analisis Multivariat... 65

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Pekerja Lembur Proyek Pembangunan Gedung Telkomsel 69

5.2. Gambaran Kelelahan pekerja Proyek Pembangunan Gedung Telkomsel 71 5.3. Pengaruh Waktu Kerja Lembur dengan Tingkat Kelelahan Pekerja ... 72

(11)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 76 6.2. Saran ... 77

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Thun 2013 pada Proses Struktur Bangunan...59

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur

Bangunan……….. 60

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Perkawinan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur

Bangunan... ...……...60

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jam Kerja Lembur Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur Bangunan ... ………61

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur Bangunan ... ………61

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Tugas Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur Bangunan ... ………62

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Thun 2013 pada Proses Struktur

(13)

Tabel 4.8. Hubungan Waktu Kerja Lembur Dengan Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Thun 2013 pada Proses Struktur

Bangunan ... ... 63

Tabel 4.9. Hubungan Jenis Tugas Dengan Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur Bangunan ...……….64

Tabel 4.10. Hubungan Jenis Pekerjaan Dengan Tingkat Kelelahan Pekerja Proyek pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 pada Proses Struktur Bangunan ...…...65

Tabel 4.11. Hasil Uji Analisis Bivariat ...……….66

Tabel 4.12. Hasil Uji Analisis Regresi Logistik Berganda ... ………66

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Lokasi Proyek ... ... 54

Gambar 4.2 Rencana Hasil Akhir Proyek ... 55

Gambar 4.3 Proses Struktur Proyek ... 55

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Master Data... 81

Lampiran 2 : Hasil Analisis Univariat... 83

Lampiran 3 : Hasil Analisis Bivariat (Uji chi square)... 85

Lampiran 4 : Hasil Multivariat... 91

Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian... 94

Lampiran 6 : Lembar Observasi... 96

Lampiran 7 : Gambar Penelitian... 98

Lampiran 8 : Surat izin penelitian... 103

(16)

ABSTRAK

Pekerjaan konstruksi di proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan menggunakan waktu kerja melebihi waktu kerja normal yang ditetapkan di Indonesia yakni 8 jam/hari dan 40 jam seminggu (kerja lembur). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap tingkat kelelahan pekerja proyek pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan.

Penelitian ini bersifat analitik survei dengan desain cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja tahap struktur bangunan yaitu sebanyak 42 responden. Data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara menggunakan Kuesioner alat Ukur Perasaan kelelahan Kerja (KUPK2). Data sekunder diperoleh dari kantor proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pekerja dengan kerja lembur < 3 jam/hari yaitu 13 pekerja yang mengalami lelah (31,0%) dan 11 pekerja yang mengalami sangat lelah (26,2%). Sedangkan pada pekerja yang kerja lembur > 3 jam/hari terdapat 2 pekerja mengalami lelah (4,8%) dan 16 pekerja mengalami sangat lelah (38,1%), hasil uji menunjukkan (p-value = 0,004). Untuk pekerja yang melaksanankan tugas sesuai standar kerja terdapat 11 pekerja mengalami lelah (26,2%), 9 pekerja mengalami sangat lelah (21,4%). Untuk pekerja yang melaksanakan tugas melebihi standar kerja terdapat 4 pekerja (9,5%) mengalami lelah dan 18 pekerja mengalami sangat lelah (42,9%), hasil uji menunjukkan (p-value = 0,015). Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan bahwa waktu kerja lembur memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kelelahan kerja (nilai p = 0.009).

Disarankan kepada pihak SHE (Safety Health and Environment) proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan agar memberikan penyuluhan dan melaksanakan manajemen kelelahan kerja.

(17)

ABSTRACT

Construction activity in the building project of Telkomsel building in Medan, use working time beyond normal working time that has been determined in Indonesia those are 8 hours/ day and 40 hours a week. This research has purposes to know about the influences of overtime and sort of assignment at level of worker fatigue in building project of Telkomsel building in Medan.

This research is analytic survey with cross sectional design. Population and the samples

of this research are all workers at the stage of building’s structure those were 42 respondents. Primary data was obtained from observation result and interview that used questioner that named work fatigue measuring instrumen fatique feeling (KAUPK2). Secondary data was obtained from the office of building project of Telkomsel building in Medan.

The results showed that workers to work overtime < 3 hours / day at 13 workers feel tired (31.0 %) and 11 workers who are very tired (26.2 %). While the workers who work overtime > 3 hours / day , there are 2 workers feel tired (4.8 %) and 16 workers feel very tired (38.1 %), the test results showed (p -value = 0.004). For workers who implement the tasks according to work standards are 11 workers feel tired (26.2 %), 9 workers have very tired (21.4 %). For workers who do assignments according with working exceed the standards are 4 workers (9.5 %) feel tired and 18 workers feel very tired (42.9 %), the test results showed (p -value = 0.015). Results of multiple logistic regression analysis showed that overtime has a significant relationship with the level of fatigue (p = 0.009).

It is suggested to the Safety Health and Environment (SHE) department in the building project of Telkomsel building in Medan in order to give elucidation and implement the working fatique management.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian dari upaya pembangunan sumber daya

manusia perlu terus ditingkatkan karena kualitas sumber daya manusia mempunyai peranan yang

strategis dalam menggerakkan dan melaksanankan pembangunan nasional dan sekaligus

menentukan keberhasilan. Oleh karena itu dalam melaksanankan pembangunan unsur tenaga

kerja yang merupakan bagian sumber daya manusia perlu mendapatkan perhatian terutama

dalam perlindungan terhadap bahaya potensial yang dapat timbul karena proses pelaksanaan

pembangunan tersebut (Depnaker RI, 1995).

Dalam era keterbukaan sekarang ini masalah perlindungan tenaga kerja akan menghadapi

tantangan yang semakin berat berupa derasnya arus tuntutan tentang penerapan hak dasar pekerja

di tempat kerja. Pekerja sebagai sumber daya dalam lingkungan kerja perusahaan atau industri

harus dikelola dengan baik, sehingga dapat memacu produktivitas yang tinggi. Keinginan untuk

mencapai produktivitas yang tinggi harus memperhatikan segi keselamatan kerja, seperti

memastikan bahwa pekerja dalam kondisi kerja aman. Untuk itu pemerintah telah mengantisipasi

hal tersebut dengan meratifikasi 15 Konvensi International Labour Organization (ILO). Delapan

dari konvensi tersebut mengatur tentang perlindungan terhadap pekerja yang dilakukan dengan

mengarahkan pada pemenuhan hak-hak dasar meliputi perlindungan upah, jaminan sosial tenaga

kerja, waktu kerja dan waktu istirahat, perlindungan tenaga kerja wanita, anak dan orang muda,

(19)

Menurut data PT Jamsostek tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta Jamsostek yang

meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, sementara total kecelakaan kerja pada tahun yang sama

103.074 kasus karena di Indonesia hanya 2,1 persen dari 15.000 perusahaan berskala besar yang

menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam

bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan

infrastruktur pada suatu atau pada beberapa area. Suatu pekerjaan konstruksi merupakan

gabungan atau rangkaian dari banyak pekerjaan. Pekerjaan konstruksi umumnya diatur oleh

seorang manajer konstruksi (construction manager), serta dilaksanakan dan diawasi oleh

manajer proyek, tenaga teknik perancangan (design engineer) atau arsitek lapangan (project

architect) (Ervianto, 2005).

Ada beberapa tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perencanaan konstruksi atau proyek

pembangunan gedung. Tahapan pelaksanaan proyek ini harus disusun sedemikian rupa mulai

dari pengerjaan awal hingga finishing (jika pengerjaan proyek hingga finishing). Semuanya ini

disusun didalam Time Schedule. Tahapan-tahapan dan berapa lama pengerjaan proyek tersebut

disusun dahulu sebelum pelaksanaan, sehingga proyek tersebut dapat berjalan sesuai rencana dan

tepat waktu (Husen, 2009).

Pelaksanaan dalam pembangunan sebuah proyek gedung tidak terlepas dari sistem

manajemen proyek. Pengelolaan sumber daya yang dibutuhkan dan digunakan selama

menjalankan proses seperti material, machine, man, method dan money. Pekerja adalah salah

satu sumber daya yang sangat sulit pengontrolanya, dalam pemberian tanggung jawab atau

(20)

pembangunan sebuah gedung, dimulai dari proses awal yaitu pekerjaan pembersihan, pekerjaan

pondasi, pekerjaan struktur bangunan dan tahap akhir yaitu finishing (Ervianto, 2005).

Dalam pelaksanaan proyek konstruksi dikenal tiga faktor yaitu waktu, biaya dan kualitas,

ketiganya membentuk tata hubungan yang saling bergantung dan berpengaruh erat. Seperti

diketahui, penyelenggaraan konstruksi selalu ditujukan untuk menghasilkan suatu bangunan

yang bermutu dengan pembiayaan tidak boros, dan kesemuanya harus dapat diwujudkan dalam

rentang waktu yang terbatas mengingat besarnya investasi biaya yang harus dikeluarkan

(Ervianto, 2005).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan pasal 77 ayat 2, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu

kerja sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat:

1. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan

14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah

kerja lembur.

4. Ketentuan waktu kerja lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

5. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur dalam pasal 1,

waktu lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1

(21)

40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau

waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan

pemerintah.

Menurut pasal 7 Peraturan Menteri No.102/MEN/VI/2004, perusahaan yang

mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban membayar upah kerja

lembur, memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya, memberikan makanan dan minuman

sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih

(pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud tidak boleh diganti dengan uang).

Kerja lembur merupakan salah satu rencana kerja proyek dimaksudkan untuk

menyelesaikan operasi yang tidak mungkin diselesaikan dalam hari kerja normal. Dengan kerja

lembur ini akan menggunakan tenaga kerja yang lebih ekstra, baik dalam kualitas maupun

kuantitas. Berat ringannya suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang pekerja akan dapat

ditentukan oleh gejala-gejala perubahan yang tampak baik secara fisik maupun mental, salah

satunya adalah terjadinya kelelahan pada pekerja.

Menurut Nasution dalam Putra (2011), kelelahan kerja merupakan masalah yang sangat

penting perlu ditanggulangi secara baik. Kelelahan kerja ditandai oleh adanya penurunan

kekuatan otot, rasa lelah yang merupakan gejala subjektif dan penurunan kesiagaan.

Pada dasarnya semua jenis pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja. Kelelahan kerja

akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja

akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri (Nurmianto, 1998).

Kelelahan merupakan gejala yang wajar dialami oleh setiap orang yang diakibatkan oleh

faktor psikis maupun fisik. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa faktor individu dalam

(22)

hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja. Faktor individu seperti umur dan status seseorang

mempunyai hubungan yang signifikan tehadap terjadinya kelelahan (Oentoro, 2004).

Banyak faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja cepat terjadi yaitu faktor internal

seperti : usia, jenis kelamin, kesehatan, pengetahuan, sikap, keterampilan,dan lain-lain dan faktor

eksternal seperti : suhu, cahaya, ventilasi, kebisingan, sifat pekerjaan, postur kerja (Suma’mur,

2009).

Kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun,

fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak disamping semangat

kerja yang menurun. Perasaan kelelahan kerja cenderung meningkatkan terjadinya kecelakaan

kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena adanya

penurunan produktivitas kerja. Kelelahan kerja terbukti memeberikan kontribusi lebih dari 60%

dalam kejadian kecelakaan kerja ditempat kerja (Gilmer dan Suma’mur dalam Setyawati, 2010).

Pembangunan Proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan yang beralamat di Jalan Putri

Hijau No. 1 Medan saat ini umumnya membutuhkan waktu pelaksanaan yang cepat. Waktu

pelaksanaan yang cepat ini antara lain mempunyai tujuan untuk mengejar target pelaksanaan

sesuai kontrak kerja atau atas permintaan dari pemilik proyek atau karena suatu alasan tertentu.

Untuk mengimbangi hal ini biasanya dilakukan kerja lembur.

Kerja lembur pada proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan di Jalan Putri

Hijau No. 1 Medan, merupakan atas permintaan pemilik terhadap pihak kontraktor. Berdasarkan

hasil survei pendahuluan, adapun waktu penyelesaiannya ditargetkan selama 210 hari dan jumlah

seluruh pekerja yaitu sebanyak 230 orang. Sebagian besar pekerja melakukan kerja lembur untuk

(23)

Jam kerja untuk para pekerja di proyek pembangunan gedung Telkomsel Kota Medan di

Jalan Putri Hijau No. 1 Medan ini rata-rata mulai dari jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 sore

dikurangi istirahat siang hari jam 11.30 s/d 13.00. jadi ketika pengerjaan diluar jam tersebut

maka dihitung sebagai lembur. Pada pukul 20.00 malam hingga pukul 04.00 pagi merupakan

waktu lembur yang dijalani para pekerja atau jam kerja lembur yang dijalani 2 hingga 3 jam

dalam sehari bahkan ada yang melebihi dari 3 jam, sedangkan purna waktu yang ditentukan

tergantung kemauan pekerja itu sendiri semakin banyak waktu lembur yang dapat dijalani maka

semakin cepat proses pembangunan dan upah akan semakin bertambah. Sebagian besar pekerja

bersemangat untuk mengejar jam kerja lembur dan upah lembur tanpa memperhatikan

kemampuan fisiknya, hal ini terjadi sejak mulai awal pembangunan.

Jenis pekerjaan yang dilakukan para pekerja proyek pembangunan gedung Telkomsel di

Kota Medan yang beralamat di Jalan Putri Hijau No. 1 ini mulai dari pengerjaan pembersihan

area yang akan dibangun gedung, pengerjaan pondasi, pengerjaan struktur bangunan dan

finishing. Pada tahap pengerjaan struktur bangunan terdiri dari dua tahap yaitu struktur bawah

dan struktur atas, pada pengerjaan struktur bawah yaitu pemancangan tiang pondasi dan hanya

berlangsung relatif cepat, sedangkan pada tahap struktur atas terbagi menjadi beberapa elemen

pekerjaan meliputi pembuatan kolom, balok dan plat. beberapa elemen tersebut juga dapat dibagi

lagi menjadi pengerjaan tulangan (pembesian), pengerjaan bekisting dan pengecoran. Dari sekian

banyak tahapan demi tahapan pekerjaan pada proses struktur maka seharusnya jumlah tenaga

kerja yang melakukan haruslah sebanding dengan pekerjaan yang diberikan, hal ini terkait

dengan target waktu penyelesaian dan biaya yang dibutuhkan untuk proses pengerjaan.

Proses struktur bangunan pada proyek pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan

(24)

dari masing-masing tahapan dapat dibagi lagi hingga pekerjaan tersebut berkelanjutan sampai

selesai tahap struktur. Pada pelaksanaan proses kerja harus berkelanjutan sehingga para pekerja

melakukan tahapan demi tahapan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh kepala proyek.

Dalam hal ini pekerja juga harus melakukan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai

standar.

Jenis tugas yang dilakukan para pekerja proyek pembangunan gedung Telkomsel di Kota

Medan pada proses struktur harus sesuai standar yang telah ditetapkan oleh kepala proyek.

Standar kerja tersebut harus dilaksanankan sesuai urutan pekerjaan pada masing-masing tugas

seperti proses pembesian, bekisting dan pengecoran. Pada tahap struktur ini pihak proyek

mempekerjakan sebanyak 42 orang pekerja dengan masing-masing tugas yang berbeda

diantaranya dibagi dalam tiga bagian proses struktur yaitu pembesian, bekisting dan pengecoran.

Jumlah pekerja tersebut harus disesuaikan dengan banyaknya elemen pekerjaan yang akan

dilaksanankan pada tahap struktur pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan mengingat

akan mengejar waktu target penyelesaian secepat mungkin hingga selesainya tahap struktur.

Adanya waktu yang terbatas dan sumber daya yang tersedia seperti jumlah tenaga kerja

yang terbatas juga serta adanya pemendekan durasi aktivitas/ percepatan pekerjaan, maka dengan

kondisi pembangunan yang seperti ini dampak dari waktu kerja lembur dan jenis tugas yang

dibebankan kepada pekerja akan menimbulkan suatu masalah baik terhadap kemampuan fisik

maupun mental pekerjanya.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh waktu kerja

lembur dan jenis tugas terhadap tingkat kelelahan pekerja pembangunan proyek Gedung

(25)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka perumusan masalah yang dapat

dikembangkan adalah bagaimana pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap tingkat

kelelahan pekerja pembangunan proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap tingkat

kelelahan pekerja pembangunan proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran kerja lembur dan tingkat kelelahan pekerja pembangunan

proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui jenis tugas pekerja pembangunan proyek Gedung Telkomsel di Kota

Medan.

3. Untuk mengetahui pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas terhadap kelelahan

pekerja pembangunan proyek Gedung Telkomsel di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan sumbangsih pemikiran bagi pengelola proyek pembangunan

gedung Telkomsel di Kota Medan tentang pengaruh waktu kerja lembur dan jenis tugas

(26)

2. Sebagai bahan wawasan pengetahuan dan masukan bagi para pekerja proyek

pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan tentang pengaruh waktu kerja lembur

bagi kesehatan dan terhadap tingkat kelelahan.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Waktu Kerja

Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan pekerjaan, yang

dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan

penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu kerja

yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat beban kerja yang

diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu

kerja sebenarnya maka akan mengurangi beban kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa

aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan

baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu (pagi,

sore, dan malam hari).

Menurut Wignjosoebroto (2003), waktu standar secara defenitif dinyatakan sebagai

waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu standar tersebut sudah mencakup kelonggaran waktu

(allowance time) yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang harus

diselesaikan.

Menurut Husen (2009), dalam konteks penjadwalan terdapat perbedaan antara waktu

(time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam, sedangkan kurun

waktu atau durasi menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam melakukan suatu

kegiatan, seperti lamanya waktu kerja dalam satu hari adalah 8 jam. Menentukan durasi atau

kegiatan biasanya dilandasi volume pekerjaan dan produktivitas kelompok pekerja dalam

(28)

Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam, sisanya 16

jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat,istirahat, tidur, dan

lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi,

efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas.

Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan

kesehatan, penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang

umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam (Rizahirfan, 2008).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap

pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam

seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja.

Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang

mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur.

Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.

Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam,

setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk

jam kerja, istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, dan cuti

tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12

bulan secara terus menerus.

2.1.1. Waktu Kerja Lembur

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Pasal 77 ayat 2

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud

(29)

6. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

7. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan

14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

8. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah

kerja lembur.

9. Ketentuan waktu kerja lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

10. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur dalam pasal 1,

waktu lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1

(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari dan

40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau

waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan

pemerintah.

2.1.2. Pengukuran Waktu Kerja

Menurut Wignjosoebroto (2003), pengukuran waktu kerja (time study) adalah suatu

aktivitas untuk menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki skill

rata-rata dan terlatih baik) dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja dalam kondisi dan tempo

kerja yang normal. Tujuan pokok dari aktivitas ini dengan sendirinya akan berkaitan erat dengan

usaha menetapkan waktu baku (standard time). Secara historis dijumpai dua macam pendekatan

didalam menetapkan waktu baku ini, yaitu pendekatan dari bawah keatas (bottom-up) dan

(30)

Untuk menjelaskan prosedur penentuan waktu baku dengan pendekatan bottom-up maka

perlu dipahami beberapa definisi seperti berikut:

1. Waktu normal (normal time) adalah waktu yang diperlukan oleh seorang operator yang terlatih

dan memiliki keterampilan rata-rata untuk melaksanankan suatu aktivitas dibawah kondisi dan

tempo kerja normal. Waktu normal disini tidak termasuk waktu longgar yang diperlukan untuk

melepas lelah (fatique), personal need ataupun delay yang diperlukan bilamana kegiatan kerja

tersebut harus dilaksanankan dalam waktu sehari penuh (8 jam/hari).

2. Tempo kerja normal (normal pace). Merupakan tempo kerja atau perfomansi kerja yang

ditunjukkan oleh seorang operator yang memiliki keterampilan rata-rata, terlatih baik dan dengan

kesadaran tinggi mau bekerja secara normal (tidak terlalu cepat tetapi juga tidak terlalu lambat)

selama 8 jam/hari (1 shift kerja).

3. Waktu pengamatan adalah waktu pengamatan yang diperoleh dari hasil pengamatan dan

pengukuran waktu yang diperlukan seorang operator untuk menyelesaikan sebuah aktivitas atau

elemen kerja.

4. Kelonggaran waktu, merupakan sejumlah waktu yang harus ditambahkan dalam waktu normal

untuk mengantisipasi terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu guna melepaskan lelah (fatique),

kebtuhan-kebutuhan yang bersifat pribadi dan kondisi-kondisi menunggu baik yang tidak dapat

dihindarkan maupun yang dapat dihindarkan.

Pengukuran waktu kerja akan menghasilkan waktu ataupun output standar yang mana hal

tersebut dapat bermanfaat untuk:

1. Men power planning.

2. Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja.

(31)

4. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan atau pekerja yang

berprestasi.

5. Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.

Ada beberapa macam cara untuk mengukur dan menetapkan waktu standar. Dalam

beberapa kasus seringkali industri hanya sekedar membuat estimasi waktu dengan berdasarkan

pengalaman historis. Umumnya penetapan waktu standar dilaksanankan dengan cara pengukuran

kerja seperti:

1. Stopwatch Time study

2. Sampling kerja

3. Standar data

4. Predetermined motion time system (Wignjosoebroto, 2003).

2.2. Jenis Tugas

Tugas atau kewajiban merupakan satu bagian integral atau satu elemen dari suatu

pekerjaan. Tugas merupakan suatu kewajiban khusus dalam suatu pekerjaan. Tugas juga

merupakan suatu maksud atau tujuan tertentu. Jenis tugas erat kaitanya dengan uraian pekerjaan,

rincian pekerjaan yang berisi informasi yang menyeluruh tentang tugas atau kewajiban, tanggung

jawab, dan kondisi-kondisi yang diperlukan apabila pekerjaan tersebut dikerjakan yang

memberikan informasi menyeluruh dimana pekerjaan tersebut dilakukan (Sastrohadiwiryo,

2003).

Menurut Dipohusodo (1996), salah satu faktor yang bersifat menentukan untuk dapat

mencapai keberhasilan proyek ialah disediakanya rincian peranan dan tangung jawab yang jelas

dan disetujui oleh seluruh pelakunya, tanpa adanya kesepakatan yang jelas akan menimbulkan

(32)

menimbulkan terganggunya mekanisme kegiatan, kelambatan, dan akhirnya terjadi peningkatan

biaya.

Bagan tanggung jawab yang jelas dan terinci merupakan salah satu perangkat sistem

manajemen proyek untuk menetapkan kesepakatan peranan dan tanggung jawab masing-masing

individu atau satuan organisasi yang terlibat dalam proyek. Didalam bagan diperlihatkan

hubungan antara tugas dan jabatan secara jelas, dan membantu memastikan bahwa semua tugas

dan personil telah ditentukan untuk pelaksanaanya. Dengan demikian bagan tanggung jawab

mencantumkan semua tugas atau kegiatan, dan pelaku-pelaku (satuan organisasi atau

perorangan) proyek, kesemuanya diwujudkan dalam bentuk matriks yang memperlihatkan:

1. Semua orang atau organisasi yang terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas proyek.

2. Semua tugas dan kegiatan.

3. Jenis keterlibatan semua orang dalam tugas-tugas proyek (Dipohusodo, 1996).

Menurut Husen (2009), informasi tentang jenis serta deskripsi pekerjaan pada proyek

perlu diidentifikasi sedemikian hingga tugas, tanggung jawab dan wewenang masing-masing

pihak dapat dijalankan sesuai rencana dan aturan-aturan perusahaan.

Tugas dikaitkan dengan kedudukan pekerjaan, berdasarkan tugas pokok, tugas tidak

pokok, serta tugas tambahan yang dibebankan pada sekelompok personel sedemikian hingga

pekerjaan itu dapat dilaksanankan dengan pencapaian maksimal (Husen, 2009).

Tanggung jawab dikaitkan dengan memegang kendali pekerjaan yang diberikan

berdasarkan kemampuan yang dimiliki personel dengan segala risiko pekerjaan yang dihadapi.

Wewenang dikaitkan dengan otoritas seseorang dalam memikul suatu tugas dan kewajiban

(33)

Deskripsi suatu pekerjaan merupakan dokumen tertulis yang lengkap, yang menunjukkan

pekerjaan yang dilkukan beserta tanggung jawab dan wewenangnya, hubungan dengan

pihak-pihak lain, persyaratan pelaksanaan serta ruang lingkup pekerjaan. Informasi jenis pekerjaan

digunakan untuk mengenali jenis-jenis pekerjaan beserta jabatan yang akan diemban, sebagai

acuan input dan output dari jabatan yang bersangkutan, serta metode pelaksanaan yang akan

dilakukan, juga sebagai informasi kondisi pekerjaan serta hubungan antar jabatan dan lain

sebagainya ( Husen, 2009).

Menurut Ervianto (2005), salah satu pendekatan manajemen yang digunakan untuk

mempelajari produktivitas pekerja adalah work study. Metode ini menyejajarkan dua metode

lain, yaitu method study dan work measurement. Metode ini secara sistematik dapat digunakan

untuk mengetahui dan memeperbaiki/mengingatkan kinerja penggunaan sumber daya dalam

proyek. Work study adalah teknik manajemen yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas

dengan cara menyempurnakan penggunaan sumber daya secara tepat. Work study dapat

diaplikasikan dalam berbagai kasus, harapan yang igin dicapai pada umumnya adalah sebagai

berikut:

1. Menentukan metode konstruksi yang tepat dalam suatu proses produksi.

2. Menyempurnakan penggunaan metode pelaksanaan dengan cara mengeliminasi kegiatan yang

tidak diperlukan, mengoptimalkan penggunaan pekerja, alat dan material.

3. Meningkatkan produktivitas dari suatu pekerjaan.

2.3 Jenis Tugas Dalam Proyek Pembangunan Gedung

Menurut Rizahirfan (2008), ada beberapa jenis tugas yang dibebankan kepada pekerja

proyek sebuah gedung, termasuk didalamnya tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perencanaan

(34)

rupa mulai dari pengerjaan awal hingga finishing (jika pengerjaan proyek hingga finishing).

Semuanya ini disusun didalam Time Schedule. Tahapan-tahapan dan berapa lama pengerjaan

proyek tersebut disusun dahulu sebelum pelaksanaan, sehingga proyek tersebut dapat berjalan

sesuai rencana dan tepat waktu.

1. Pekerjaan Pembersihan

Pengerjaan dimulai dari pembersihan lapangan dan pemerataan permukaan tanah seperti

yang telah direncanakan. Bahkan kalau perlu dilakukan pengerukan dan pengurugan tanah,

setelah itu tanah dipadatkan.

2. Pekerjaan Pondasi

Setelah tanah bersih dan rata, dilanjutkan kemudian dengan pemancangan tiang pondasi,

yang biasa disebut dengan Tiang Pancang. Sebelum pemancangan ini, perlu ditentukan dahulu

titik-titik pondasi tersebut. Setelah titik-titik pondasi ditentukan, barulah proses pemancangan

dapat dilakukan. Proses pemancangan ini harus sangat diperhatikan, karena saat proses

pemancangan, dapat terjadi berbagai kesalahan. Operator mesin pancang diharapkan terus

mengontrol posisi tiang pancang. Dalamnya pondasi tiang pancang yang tertanam di dalam tanah

tergantung dari jenis dan kondisi tanah tersebut, karena pondasi tiang pancang harus berdiri di

atas tanah yang keras. Jika proyek berada di daerah tanah rawa, pondasi tiang pancang tertanam

lebih dalam. Sebagai contoh jika proyek berada di daerah Jakarta Utara, yang merupakan tanah

rawa, pondasi tiang pancang akan tertanam sangat dalam. Lain halnya jika berada di sekitar

Jakarta Selatan, yang mempunyai tanah lebih keras, pondasi tiang pancang tertanam tidak terlalu

dalam.

Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Pile Cap dan Sloof. Pile Cap ini berfungsi

(35)

ini juga dihubungkan satu sama lain oleh Sloof, sehingga semua tiang pancang mempunyai satu

ikatan struktur.

3. Pekerjaan Struktur Atas

Setelah pekerjaan struktur bawah, yaitu pemancangan selesai, dilanjutkan kembali

dengan pengerjaan bagian struktur atas. Struktur atas terdiri dari kolom, balok dan pelat.

Pengerjaan struktur atas dimulai dari pengerjaan kolom. Tapi terlebih dahulu, titik-titik kolom

harus ditentukan posisinya dan dengan bantuan alat, sehingga titik-titik kolom tersebut sejajar

satu sama lain.

Dalam proses pengerjaan kolom, hal yang pertama dilakukan adalah pengerjaan

tulangan-tulangan kolom seperti yang telah didisain. Sebelum pengecoran kolom, terlebih dahulu

dibuat bekisting yang dibentuk seperti kolom sehingga beton dapat dicor di dalamnya. Bekisting

harus dibuat kokoh dan kuat, sehingga hasil cor-an diperoleh dengan baik dan bentuk kolom

sesuai perencanaan. Ketika proses pengecoran harus dilakukan teliti, dan cor-an beton yang

masuk itupun harus dipadatkan,sehingga cor beton dapat masuk semuanya sampai kebawah dan

penuh mengisi bekisting.

Pengerjaan berikutnya adalah bagian balok dan pelat. Balok dan pelat memang

dikerjakan bersamaan, Sama seperti pengerjaan kolom, pertama kali juga dilakukan pengerjaan

bekisting. Agar waktu yang dibutuhkan seminimal mungkin, pengerjaan bekisting dan

penganyaman tulangan dapat dilakukan secara bersamaan. Setelah pembuatan bekisting dan

penulangan selesai, baru dilanjutkan dengan pengecoran beton. Hal yang terpenting adalah

semua beton yang di-cor itu harus berada dalam satu ikatan, yang berarti proses pengecoran pelat

dan balok harus serempak selesainya dan beton pun akan kering bersamaan, sehingga

(36)

dengan sebelumnya. Dan selama proses pengecorannya pun juga harus dipadatkan, sehingga cor

beton penuh mengisi bekisting.

4. Pekerjaan Finishing

Jika struktur telah berdiri kokoh, baru dapat dilanjutkan dengan pengerjaan finishing,

yaitu pengerjaan dinding, elektrikal dan sanitasi, pemasangan keramik, pengecatan dan

sebagainya. Namun, pengerjaan finishing inilah yang membutuhkan waktu paling lama, karena

pengerjaannya harus hati-hati sehingga didapat bentuk yang rapi dan sesuai perencanaan.

2.4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan.

2.4.1. Pengendalian Hygiene dan Kesehatan Kerja

Yang dimaksud dengan pengendalian kesehatan dan higiene adalah semua kegiatan yang

dilakukan untuk melindungi kesehatan pekerja dan yang lainya dari bahaya yang mungkin timbul

sehubungan dengan operasi perusahaan. Kegiatan ini tidak hanya terbatas pada diagnosis dan

pengobatan penyakit akibat kerja, tetapi juga upaya yang diperlukan untuk melindungi pekerja

dari penyakit (Rijanto, 2010).

2.4.2. Identifikasi Bahaya Terhadap Kesehatan

Pekerjaan untuk mengidentifikasi bahaya terhadap kesehatan ditempat kerja harus

dilakukan dengan resmi, terencana, menyeluruh dan dengan teknik yang akurat. Metodanya

dapat melalui inspeksi, pengamatan pekerjaan, survai dan penilaian teknis, serta pengawasan

terhadap pengadaan bahan-bahan dan kontrak pekerjaan (Rijanto, 2010).

(37)

Apabila diketahui adanya bahaya, tindakan harus segera dilakukan untuk mengendalikan

dampaknya terhadap pekerja, yang terbaik adalah dengan cara menghilangkan sumber

bahayanya. Sebagai contoh, mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan yang kurang

berbahaya, menambah penerangan lampu, rekayasa untuk menghilangkan bahaya kebisingan dan

getaran. Sebagai upaya terakhir apabila apabila tidak mungkin menghilangkan bahayanya sampai

pada batas aman, maka harus disediakan alat pelindung diri yang khusus dirancang untuk

melinduginya (Rijanto, 2010).

2.4.4. Pedoman Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pekerjaan Konstruksi

Pada pekerjaan konstruksi kebanyakan bahaya-bahayanya adalah nyata. Sebagian besar

dapat ditemukan hampir disetiap lokasi. Penyebab dari kecelakaan-kecelakaan dapat diketahui

dengan baik dan sering kali terulang lagi. Terlalu seringnya terjadinya kecelakaan biasanya

hanya dilihat sebagai bagian dari pekerjaan yang tidak terelakkan , dengan demikian tidak ada

tindakan yangdilakukan untuk mengontrol resiko-resiko yang timbul. Akibatnya, angka

kecelakaan dan sakit akibat pekerjaan tetap tinggi (Rijanto, 2010).

2.4.5. Mesin-mesin dan Peralatan

Pekerjaan konstruksi modern memerlukan berbagai mesin: peralatan penanganan bahan

untuk persiapan lokasi, alat menggali, pengaduk beton atau truk pengangkut bahan-bahan

struktur, dan lainya. Hanya petugas yang berwenang yang boleh mengoperasikan mesin-mesin

dan peralatan, operator harus mengoperasikan mesin-mesin dan peralatan dengan tidak

membahayakan orang-orang dan harta benda, selalu mengamati kecepatan dan batas beban yang

aman, tidak boleh meninggalkan mesin-mesin atau peralatan yang sedang beroperasi tanpa

pengawasan, memberikan pelindung untuk sabuk mesin, puli, roda gigi, rantai, piringan dan

(38)

2.4.6. Pekerjaan Pencetakan dan Pengecoran Beton

Menurut Rijanto (2010), resiko utama pada pekerjaan pencetakan dan pengecoran beton

adalah:

1. Orang jatuh selama merangkai besi dan mendirikan cetakan beton.

2. Robohnya cetakan beton atau cetakan beton yang salah.

3. Bahan-bahan yang jatuh.

4. Debu silika dari pekerjaan pembersihan.

5. Lengan dan punggung terkilir karena mengencangkan baja.

Untuk mencegah dan sekaligus pengamanan maka perlu diperhatikan:

1. Ketentuan tentang metode keselamatan dan kesehatan kerja telah disetujui sebelum pekerjaan

dimulai dan diikuti.

2. Pagar pengaman atau penghalang lain yang sesuai untuk mencegah terjatuh dipasang sesuai

rencana kerja.

3. Para pekerja mempunyai jalan ketempat kerja yang aman.

4. Tangga atau perancah digunakan untuk sarana.

5. Peralatan dalam kondisi baik sebelum digunakan.

6. Sedapat mungkin beban dibuat merata pada struktur sementara, jangan meletakkan beban

yang berat seperti kayu, balok-balok jadi atau beton cair pada suatu area terbatas.

2.4.7. Pekerjaan Atap

Menurut Rijanto (2010), hampir satu dari lima pekerja yang meninggal akibat

(39)

korban adalah pekerja khusus konstruksi atap, sebagian lagi pekerja pemeliharaan dan

pembersihan atap. Beberapa dari pekerja ini meninggal setelah terjatuh dari pinggiran dan atap

yang miring. Banyak pekerja yang meninggal setelah terjatuh melalui bahan-bahan yang mudah

pecah. Pada atap yang mudah pecah atau yang sangat miring, dapat menggunakan tangga atap

yang dibuat khusus atau papan geser untuk membagi beban pekerja dan bahan. Pagar pengaman

dan papan pelindung atau penghalang yang sesuai dipasang pada pinggiran atau bagian dari atap

biasanya diperlukan untuk menahan pekerja dan bahan-bahan terjatuh.

Menurut Rijanto (2010), sebagai tindakan pengamanan pada pekerjaan atap yaitu:

1. Jalan yang aman ke dan dari atap, contohnya suatu perancah.

2. Suatu sarana yang aman untuk bergerak melintasi atap, contohnya tangga atap yang sesuai

atau papan geser.

3. Suatu sarana yang aman untuk bekerja ditas atap atau suatu anjungan yang berpagar

pengaman, contohnya suatu perancah atau anjungan bergerak.

4. Jangan melemparkan bahan-bahan seperti kepingan atap bekas, puing-puing ubin dan

sebagainya, gunakan kantong peluncur atau turunkan dengan menggunakan tempat tersendiri.

2.4.8. Alat Pelindung Diri (APD) Pekerjaan Konstruksi

Menurut Rijanto (2010), pada hampir semua lokasi ada resiko cedera akibat benda-benda

yang jatuh dan resiko cedera kaki. Minimalkan resiko ini dengan menyediakan penghalang yang

sesuai, dan papan penahan kaki atau peralatan lain pada pinggiran suatu anjungan kerja untuk

mencegah benda-benda jatuh. Jaga keteraturan lokasi dan jaga jalanan tetap bersih. Terhadap

(40)

Menurut Rijanto (2010), kebijakan tentang APD meliputi:

1. Diupayakan untuk menghilangkan sumber bahaya ditempat kerja.

2. Apabila tidak memungkinkan untuk menghilangkan semua sumber bahaya, APD akan

disediakan bagi seluruh pekerja untuk melindungi, baik dari cedera maupun bahaya terhadap

kesehatan.

3. Perlindungan dengan APD ini akan diberikan juga kepada para pekerja kontraktor dan tamu,

sama seperti yang diberikan kepada pekerja perusahaan.

4. Semua APD yang disediakan harus dibuat sesuai standar yang berlaku, sesuai dengan

kebijakan mitra kerja, yang disetujui oleh perusahaan.

5. APD akan diberikan kepada pekerja berdasarkan kebutuhan, dengan pengertian bahwa

beberapa pekerjaan mungkin memerlukan standar yang berbeda dengan lainya, dan beberapa

pekerjaan mungkin memerlukan penggantian yang lebih sering dari yang lainya.

6. Penggunaan APD didalam operasi perusahaan secara terus-menerus dimonitor oleh atasannya,

didata dan dilaporkan kepada pimpinan.

a. Alat Pelindung Diri Untuk Pelindung Kepala

Topi pelindung kepala diperlukan bila seseorang kemungkinan akan kejatuhan

benda-benda atau terbentur kepalanya terbentur/terantuk.

Beberapa bahaya yang perlu diperhitungkan:

1. Bahan yang runtuh saat pekerjaan penggalian.

(41)

3. Benda yang jatuh saat diangkat dengan derek/alat angkat, saat atau dimuat atau dibawa

oleh kendaraan.

4. Bagian perancah yang jatuh saat membangun atau membongkarnya.

b. Alat Pelindung Diri Untuk Pelindung Kaki

Melindungi kaki dari resiko:

1. Benda yang jatuh ke kaki.

2. Paku, atau benda tajam lainya yang menusuk telapak kaki

3. Benda tajam yang melukai urat nadi kaki.

c. Alat Pelindung Mata

Ini diperlukan untuk melindungi terhadap:

1. Benda-benda beterbangan, misalnya bila menggunakan alat penanam paku.

2. Percikan, misalkan saat memotong dengan piringan.

3. Radiasi ultra violet saat pengelasan diperlukan pelindung atau penutup khusus.

4. Percikan bahan kimia.

5. Pekerjaan pengelasan, pemotongan logam, menggerinda.

d. Alat Pelindung Diri Pakaian Kerja

Banyak kecelakaan terjadi saat pekerja posisi berbahaya tetapi tidak kelihatan. Penting

untuk merencanakan pekerjaan juga untuk menghindarkan orang pada posisi yang demikian. Bila

memungkinkan sdiakan pakaian yang terlihat cerah, mudah terlihat. Pakaian yang terlihat cerah

diperlukan antara lain bila pekerja:

1. Berhubungan dengan kendaraan, misalnya harus memberi tanda membantu pergerakan

(42)

2. Agar mudah terlihat oleh sesama pekerja, misalnya pada pekerjaan membantu operasi

pengangkatan agar mudah terlihat oleh operator alat angkatnya.

e. Alat Pelindung Diri Sarung Tangan

Sarung tangan yang sesuai dapat melindungi terhadap debu (misalnya semen), beton cair

dan bahan pelarut yang dapat menyebabkan penyakit kulit. Jjuga akan melindungi terhadap

teriris dan tergores saat menangani batu bata, besi dan kayu (Rijanto, 2010).

2.4.9. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Proyek Konstruksi

Dalam penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja dibidang konstruksi,

diperlukan pendekatan-pendekatan agar lebih mudah dijalankan, terutama dalam proses

pelaksanaanya. Bentuk-bentuk pendekatan dalam menjalankan program ini adalah pendekatan

perilaku dan pendekatan fisik. Pendekatan perilaku mengarah pada peranan masing-masing

peserta program keselamatan dan kesehatan kerja dalam menciptakan dan menerapkan kondisi

kerja yang aman. Pendekatan fisik dalam program keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi

dapat dilakukan diantaranya dengan cara pendidikan dan latihan mengenai metoda dan prosedur

yang benar, perhatian atas perawatan/pemanfaatan peralatan yang dapat membahayakan

keselamatan kerja, pemakaian pelindung yang telah ditetapkan. Inspeksi rutin dan teliti

dilaksanakan dilokasi proyek oleh pihak yang bertanggung jawab (Ervianto, 2005).

2.4.10.Peralatan Standar K3 di Proyek Konstruksi

Menurut Ervianto (2005), keselamatan dan kesehatan kerja adalah dua hal yang sangat

penting. Oleh karenanya, semua perusahaan kontraktor berkewajiban menyediakan semua

keperluan peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal protective equipmen (PPE)

untuk semua karyawan yang bekerja yaitu:

(43)

2. Sepatu kerja

3. Kacamata kerja

4. Penutup telinga

5. Sarung tangan

6. Helm (helmet)

7. Masker

8. Jas hujan

9. Sabuk pengaman, tangga dan kotak P3K.

2.5. Metode Standar Pelaksanaan Kerja Konstruksi Tahap Struktur

2.5.1 Pekerjaan Beton

Pekerjaan beton secara garis besarnya dapat dibagi menjadi beberapa elemen, yaitu:

1. Acuan beton, dihitung dalam meter persegi luas permukaan.

2. Perancah acuan, dihitung dalam meter persegi luas permukaan yang ditopang.

3. Baja tulangan, dihitung dalam berat baja tulangan terpasang.

4. Pekerjaan beton, dihitung dalam meter kubik volume beton jadi.

Masing-masing bagian pekerjaan tersebut masih harus dibagi lagi menjadi beberapa

sub-bagian. Pekerjaan baja tulangan dapat diuraikan menjadi pekerjaan pemotongan, pembengkokan,

pengangkutan, merakit dibengkel kerja dan merangkai dilokasi struktur. Pada pekerjaan beton

(44)

dan merapikan permukaan, membuat benda uji, perawatan pengerasan dan mengerjakan

perbaikan yang diperlukan (Dipohusodo, 1995).

2.5.2. Pekerjaan Struktur Baja

Menurut Dipohusodo (1995), pelaksanaan pekerjaan struktur baja biasanya

dikelompokkan menjadi empat bagian penting yaitu:

1. Menyiapkan material dasar.

2. Pekerjaan fabrikasi.

3. Pekerjaan merakit atau memasang dilapangan.

4. Pelaksanaan finish akhir pada pekerjaan pemasangan.

2.5.3. Pekerjaan Pemasangan Batu Bata

Sesuai dengan fungsinya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan,

yakni pasangan batu keperluan struktural dan fungsi arsitektural. Berfungsi secara struktural

seperti penggunaan untuk fondasi, talud penahan tanah, fondasi jalan raya dan sebagainya.

Sedangkan fungsi arsitektural biasanya diwujudkan sebagai bentuk hiasan seperti lempengan

batu rai tempel (veneer), batu palimanan, lapis batu granit dan sebagainya. Kemudian pada

teknik pemasangannya dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu pasangan batu kosongan dan

pasangan menggunakan perekat spesi adukan. Pasangan batu kosongan biasanya digunakan

untuk upaya stabilisasi tanah seperti lapis penutup kelandaian permukaan tanah, perkerasan jalan

tanah atau pada struktur rip-rap dengan memasangnya dalam bentuk dibronjong dengan kawat

(Dipohusodo, 1995).

(45)

Pekerjaan finish merupakan upaya untuk mempercantik kinerja bangunan sehingga

memenuhi syarat untuk mencapai nilai estetika yang diharapkan. Pekerjaan finish pada umumnya

merupakan pekerjaan kerajinan yang memerlukan keterampilan tukang ditunjang dengan

ketekunan, telaten, cermat, dan teliti. Salah satu darinya adalah pekerjaan plesteran, berupa

upaya memberi lapisan penutup bidang permukaan dengan meggunakan spesi adukan. Plesteran

umumnya dipasang langsung pada permukaan beton. Pasangan batu, bata, batako, papan plester

dari gypsum (plasterboard), atau jaringan kawat kasa atau kawat ayam. Volume pekerjaan

plesteran diukur berdasarkan pada satuan luas meter persegi dengan tebalnya bervariasi

tergantung pada kebutuhan, biasanya sekitar 15-25 mm. Seyogyanya tidak terlalu tebal untuk

menghindari rontok atau mengelupas. Sebagaimana spesi adukan yang dipakai untuk pekerjaan

pasangan, campuran materialnya dapat terdiri dari pasir dan semen, atau campuran pasir, semen,

dan ditambah kapur. Apabila plesteran dipasang pada permukaan batu, bata, beton, atau papan

plester, biasanya dilakukan dalam dua tahap membentuk dua lapis. Lapis pertama adalah

plesteran kasar dengan ketebalan 10 mm, sedang yang kedua merupakan lapis halus tebalnya 5

mm sering disebut lapis acian. Jika dipasang dengan kawat kasa dikerjakan menjadi tiga lapis

(Dipohusodo, 1995).

2.5.5. Pekerjaan Pengecatan

Pekerjaan pengecatan dapat dibedakan berdasarkan pada beberapa faktor atau keadaan,

antara lain material yang dicat seperti kayu, plat atau gelagar baja, plesteran, dan sebagainya.

Kemudian macam permukaan rata, halus, bergelombang, jenis material cat yang digunakan,

biasanya tiga kali pengecatan yaitu lapis dasar, pengecatan pertama, dan lapisan finish

(46)

Volume pekerjaan pengecatan pada umumnya dihitung berdasarkan satuan luas meter

persegi kecuali untuk elemen-elemen khusus misalnya pegangan tangga serta tiangnya, lis-lis

tepi plafon atau dibagian bawah dinding partisi dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk

mengecat adalah kuas sikat, kuas gelinding atau semprotan. Mengecat dengan semprotan lebih

cepat akan tetapi membutuhkan keterampilan untuk menjamin hasil yang rata, disamping

penggunaan materialnya cenderung lebih boros karena banyak terbuang (Dipohusodo, 1995).

2.5.6. Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal.

Menurut Dipohusodo (1995), segi penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan

pekerjaan mekanikal dan elektrikal ialah dalam koordinasinya dengan pekerjaan sipil. Diantara

pekerjaan itu ialah instalasi listrik dan instalasi plambing serta instalasi pengatur udara.

1. Instalasi Listrik.

Secara garis besar dibagi menjadi pekerjaan instalasi jaringan, pengamanan dan

pentanahan (grounding). Penataan daya untuk penerangan dan alat-alat serta penyambungan dari

jaringan utama. Pekerjaan instalasi jaringan dimulai dengan menggambar rancangan teliti

keseluruhan sistem jaringan dalam bentuk diagram garis. Kemudian dengan berpijak pada

gambar tersebut setiap pelaksanaan pekerjaan struktural tahap tertentu harus dikoordinasikan dan

diserasikan dengan bagian pekerjaan elektrikal terkait (Dipohusodo, 1995).

2. Instalasi Plambing.

Instalasi plambing mencakup pengelolaan sistem jaringan terpisah untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan air bersih, air limbah, gas, atau keperluan instalasi proses lainya. Untuk

(47)

seperti pipa tembikar, pipa timah hitam, pipa besi cor, pipa baja dan besi tempa, pipa tembaga,

pipa kuningan, pipa PVC (Dipohusodo, 1995).

3. Instalasi Pengatur Udara.

Pengatur udara (Air Conditioner) merupakan elemen bangunan yang mahal baik dari segi

instalasi maupun biaya operasinya, Suhu udara yang dikeluarkan oleh AC akan sangat

tergantung dari panas ruangan. Faktor yang mempengaruhi panas ruangan antara lain luas

ruangan, luas dinding, bahan pembuat dinding, jumlah lampu, jumlah penghuni ruangan, arah

kedatangan sinar matahari dsb. Untuk prinsip pemasangannya butuh penguasan khusus dan

perawatan lebih lanjut menjaga alat agar tetap dapat digunakan dalam waktu yang lama

(Dipohusodo, 1995).

2.6. Kelelahan Kerja

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh, agar tubuh terhindar dari

kerusakan lebih lanjut, semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja. Kelelahan diartikan

sebagai proses menurunnya efisiensi, performans kerja, dan berkurangnya kekuatan atau

ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009).

Menurut Tarwaka dalam Rosanti (2011), kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan

tubuh, agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah

istirahat. Selanjutnya Budiono dkk, (2003) terdapat dua jenis kelelahan meliputi, kelelahan otot

dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai dengan gejala tremor atau rasa nyeri yang terdapat

pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja.

Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai cara, dengan

pengelolaan waktu bekerja dan lingkungan tempat kerja. Banyak hal dapat dicapai dengan

(48)

yang tepat, penyelenggaraan tempat istirahat yang memperhatikan kesegaran fisik dan

keharmonisan mental-psikologis. Pemanfaatan masa libur, rekreasi, kecukupan gizi, penerapan

ergonomi yang bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, adalah merupakan upaya

yang sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).

Menurut Suma’mur (2009), kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi

semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Salah satu

keluhan yang paling sering dan umum di antara pekerja adalah rasa letih, baik karena kurang

tidur malamnya, terlalu banyak bekerja atau suatu masalah emosional lainnya. Bila rasa letih

sedemikian menonjol dan terus menerus sehingga menggangu kerja dan kegiatan lainnya ini

disebut kelelahan (fatique).

Mengingat kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas tetapi dapat dirasakan

sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi yang menonjol maka

indikator perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi dapat dipergunakan untuk mengetahui

adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang

dikeluhkan pekerja yang merupakan semua perasaan yang tidak menyenangkan (Setyawati,

2010).

Banyak definisi tentang kelelahan kerja yang telah dikemukakan, namun secara garis

besar dapat dikatakan bahwa kelelahan merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan,

secara umum terjadi pada setiap individu yang telah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya

(Sutalaksana, 1979).

2.6.1. Jenis Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja dapat dibedakan yang berdasarkan :

Gambar

Gambar 4.1 Lokasi Proyek
Gambar 4.2 Rencana Hasil Akhir Proyek
Gambar 4.4 Struktur Organisasi Proyek
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Pekerja Proyek      Pembangunan Gedung Telkomsel di Kota Medan Tahun 2013 Pada Proses Struktur Bangunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGENDALIAN BIAYA DAN WAKTU PROYEK DENGAN MENGGUNAKAN METODE EARNED VALUE (STUDI KASUS PADA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG.. BEDAH SENTRAL TERPADU RUMAH SAKIT BETHESDA

Sedangkan hasil dari analisis ranking menunjukkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan proyek pembangunan gedung yaitu faktor keuangan dengan mean 3.32 dan standar deviasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Kerja Dan Kenyamanan Pekerja Pada Proyek Pembangunan Gedung Di Probolinggo adalah Faktor Keadaan

Mengetahui gambaran umum pelaksanaan penerapan SMK3 pada proyek pembangunan gedung Telkomsel Pekanbaru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang

Jenis tugas yang dilakukan para pekerja proyek pembangunan gedung Telkomsel di Kota Medan pada proses struktur harus sesuai standar yang telah ditetapkan oleh kepala

Hasil dari Percepatan dengan metode alternatif berupa penambahan jam kerja (lembur) pada proyek pembangunan kost ekslusif chrisna didapat durasi percepatan selama 53 hari atau

Berdasarkan karakteristik tanah pada lokasi Proyek Pembangunan Gedung Bungasari Flour Mills Medan diperoleh karakteristik lapisan tanah pasir dan terdapat 3660 kejadian yang telah

Untuk menghitung struktur gedung dan gaya pada proyek pembangunan Gedung Santo Thomas II dengan beban-beban yang direncanakan3. Untuk menghitung dimensi struktur pada proyek pembangunan