• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik sosial dalam novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik sosial dalam novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh: Anisah Utari NIM 1110013000036

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Karya sastra merupakan bentuk ekspresi pengarang tentang keadaan di sekitarnya. Lewat karya sastra, pengarang ingin menyampaikan protes atas kondisi masyarakat yang menurutnya tidak normal. Novel Memang Jodoh

membicarakan tentang tradisi masyarakat Minangkabau seputar pernikahan. Lewat bentuk fiksi, pengarang ingin menyampaikan realitas yang ada di masyarakat Minangkabau.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bentuk kritik yang ingin disampaikan pengarang lewat novel Memang Jodoh. Lewat karya fiksi, pengarang ingin menyampaikan jika tradisi hendaknya dipertahankan dengan mempertimbangkan manfaat yang akan didapat bagi masyarakat yang menjalankannya. Tanpa alasan logis, tradisi yang dipertahankan justru akan menghancurkan suku pemegang adat itu sendiri.

Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskripsi. Penulis juga menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan dokumen-dokumen yang terikat dengan penelitian. Dokumen-dokumen itu untuk memperkuat informasi dalam menganalisis data, sebelum akhirnya ditarik kesimpulan.

Novel Memang Jodoh mengandung kritikan seputar tradisi adat Minangkabau. Bagi seorang laki-laki bangsawan, maka wajib menjalankan tradisi menikah sesama suku, dilamar oleh banyak perempuan, dan tidak memberi nafkah bagi keluarganya. Marah Rusli sebagai pengarang memenangkan kritik yang disampaikannya dengan membuat tokoh utama tidak tunduk dalam adat tersebut. Jika seorang laki-laki hanya berpangku tangan dengan istrinya, maka poligami lebih baik tidak dilakukan. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, siswa diharapkan dapat mengetahui unsur ekstrinsik karya sastra dan hubungannya dengan unsur intrinsik.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, karena atas rahmat dan ridhaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Skripsi ini merupakan gerbang akhir dari perjuangan penulis selama empat tahun menyelesaikan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ke depan, gerbang itu juga merupakan langkah awal untuk memulai kehidupan baru di dunia yang lebih luas.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat bekerja seorang diri. Banyak orang telah membantu penullis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik secara moral, materil, maupun ilmu pengetahuan. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Orang tua penulis yang selalu sabar menunggu penulis menyelesaikan kuliah ini. Tidak lupa kepada adik-adik penulis atas diskusi dan obrolan santai di rumah.

2. Keluarga besar Bapak Abdul Karim, terima kasih atas dukungannya

3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

4. Dra. Hindun, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

5. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing penulis merampungkan penelitian ini.

6. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku dosen penasihat yang bersedia memberikan saran kepada penulis.

7. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.

(8)

9. Teman-teman PBSI A angkatan 2010, pengalaman luar biasa bersama kalian selama empat tahun.

10. Teman-teman PBSI angkatan 2010, momen berharga bersama kalian selama perkuliahan.

Jakarta, 05 Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metodelogi Penelitian ... 5

BAB II HAKIKAT NOVEL DAN SOSIOLOGI SASTRA ... 7

A. Pengertian Novel ... 7

B. Unsur-unsur Intrinsik Novel ... 7

1. Tema ... 8

2. Alur ... 9

3. Latar ... 11

4. Penokohan ... 12

5. Sudut Pandang ... 13

6. Amanat ... 15

7. Gaya Bahasa ... 15

C. Pengertian Sosiologi Sastra ... 15

D. Pengertian Mimetik ... 21

E. Pengertian Kritik Sosial ... 23

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 24

(10)

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS ... 27

A. Riwayat Hidup Marah Rusli... 27

B. Karya-karya Marah Rusli ... 29

C. Sinopsis Novel Memang Jodoh ... 31

BAB IV UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH RUSLI ... 36

A. Unsur Intrinsik dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli ... 36

B. Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli ... 61

1. Laki-laki Jemputan ... 62

2. Nikah Sesama Suku ... 65

3. Menikahi Banyak Perempuan ... 68

4. Hubungan Mamak dan Kemenakan ... 70

C. Relevansi Novel Memang Jodoh dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 72

BAB V PENUTUP ... 74

A. Simpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN ... 78

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah seni pengungkapan pikiran, pengalaman hidup, dan imajinasi manusia yang tertuang melalui media bahasa. Sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena pengarangnya tumbuh dari masyarakat. Pengembangan karakter dalam lingkungan masyarakat dapat membuat seorang pengarang menciptakan "cerita" tentang masyarakat.

Sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri

kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.1 Dalam karya sastra, ada pengungkapan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Di dalamnya, kenyataan sosial dapat ditunjukkan lewat konflik yang dialami tokoh-tokohnya. Penciptaan karakter tokoh dalam cerita dapat melukiskan kehidupan masyarakat. Karakter tokoh dipadu dengan peristiwa yang berbentuk konflik akan menghasilkan keselarasan cerita.

Kehidupan manusia sebagai objek utama karya sastra tidak pernah terlepas dari kondisi masyarakat tempat manusia itu berpijak. Manusia yang menjadi bagian masyarakat seringkali terpaku pada kondisi lingkungan yang membuatnya hanyut dalam kondisi sosial di sekitarnya. Mengatasnamakan tradisi dan kebiasaan, manusia selalu mengikuti aturan main lingkungan masyarakat tanpa mau mencari tahu akibatnya.

Di dalamnya konfrontasinya dengan realitas, kesadaran manusia dapat mengambil dua pilihan, yaitu menolak atau menerima. Menerima berarti bergembira dan menyetujui, sedangkan menolak berarti menyanggah dan dapat lewat tindakan protes.2 Dalam hal menolak, berbagai jenis karya sastra dibuat sastrawan sebagai bentuk "pemberontakan" dari tradisi yang menurutnya "tidak normal”. Salah satunya adalah novel. Penggunaan novel

1

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 109.

2

(12)

sendiri dapat dikarenakan bentuknya yang lebih panjang sehingga dapat membuat permasalahan menjadi lebih kompleks. Novel dengan karakter dan konflik dijadikan pengarang sebagai "senjata" untuk melawan arus

Memang Jodoh adalah karya terakhir dari penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli. Novel yang juga semi autobiografi ini diterbitkan pertama kali pada 2013 atau hampir lima puluh tahun setelah kematian penulisnya. Dalam pengantar bukunya, Rully Roesli, yang merupakan cucu dari Marah Rusli mengatakan kalau buku ini pertama kali diperlihatkan penulisnya saat ulang tahun pernikahan Marah Rusli kelima puluh. Hanya saja, pesan Marah Rusli agar novel ini diterbitkan ketika tokoh-tokoh di dalamnya sudah meninggal dunia agar tidak menyakiti keluarganya di Padang.

Novel ini menceritakan kehidupan percintaan antara Marah Hamli dan Nyai Radin Asmawati. Berbeda dengan Sitti Nurbaya, Memang Jodoh justru mengisahkan kisah cinta berbeda suku, yakni pemuda dari Padang dengan gadis dari Bogor.

Dalam bukunya, novel ini menampilkan kehidupan sosial masyarakat di Padang yang masih begitu menjunjung tinggi pernikahan dengan sesama suku. Bahkan, masyarakat di sana menganggap pernikahan dengan seseorang di luar suku Minangkabau adalah sebuah aib besar. Marah Rusli melalu novel

Memang Jodoh, mencoba mengkritisi kehidupan sosial masyarakat di Padang yang masih terbelenggu oleh adat istiadat hingga menampik perubahan zaman. Melalui tokoh Hamli, Marah Rusli mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kehidupan sosial di Padang sehingga membuat pemuda-pemuda berpendidikan di tanah tersebut pergi meninggalkan Padang karena merasa tidak nyaman.

(13)

Pengarang yang melihat keanehan ini akan muncul dengan kritikannya lewat media bahasa. Marah Rusli muncul dengan kritikannya ketika menemui kebiasaan yang tidak lazim di lingkungan masyarakat tempatnya tinggal mengenai perkara pernikahan. Dengan sedikit menaburkan realita lewat imajinasi, pengarang menuangkan kritikannya lewat bentuk cerita fiksi.

Marah Rusli dilahirkan dan besar di Padang sebelum akhirnya meneruskan pendidikannya di Kota Bogor. Ia begitu apik menggambarkan keadaan sosial masyarakat Padang pada zaman itu lewat novel Memang Jodoh. Realitas sosial yang dimunculkan Marah Rusli membuat pembaca menyadari kalau saat zaman itu, perjodohan dan hidup bersuku-suku masih begitu kental terasa di Padang. Novel di era modern yang membuat pembaca memutar kembali waktu ke puluhan tahun silam.

Alasan penulis meneliti kritik sosial dalam novel Memang Jodoh adalah untuk mengetahui tradisi adat Minangkabau yang disampaikan oleh penulis Minangkabau. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli dan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat Minangkabau di novel ini.

Penelitian ini memiliki relevansi terhadap pendidikan yaitu membuat siswa menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel ini. Selain menemukan tema, alur, latar, penokohan, gaya bahasa, dan amanat, siswa dapat menemukan unsur ekstrinsik, berupa latar belakang budaya. Oleh karena itu, melalui penelitian novel ini, siswa dapat menemukan unsur latar belakang budaya di Padang yang begitu kental dalam membentuk karakter seseorang.

(14)

"Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia."

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini membahas mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang diidentifikasikan adalah sebagai berikut:

1. Masih terbelenggunya tokoh-tokoh adat dengan adat istiadat Minangkabau.

2. Kurangnya perhatian siswa pada objek latar belakang karya sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini fokus, maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti agar nantinya lebih terarah, spesifik, dan sistematis. Ruang lingkup yang penulis batasi ada pada kritik sosial masyarakat Padang yang ada dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli dan relevansinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana wujud kritik sosial yang terkandung dalam novel Memang Jodoh

karya Marah Rusli?

2. Bagaimana relevansi kritik sosial novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kritik sosial yang terkandung dalam novel Memang Jodoh

(15)

2. Mendeskripsikan relevansi kritik sosial novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Mengingat sepengetahuan penulis belum ada satu penelitian yang membahas novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca mengenai kondisi sosial masyarakat di Padang yang bersifat matrilineal. Penelitian ini juga diharapkan membantu mengungkap kondisi kekeluargaan di Padang yang mengagung-agungkan pernikahan sesama suku lewat kritik yang disampaikan pengarang.

2.Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahun sastra bagi siswa dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu membuat siswa memahami nilai sosial dalam wujud kritik dalam kaitannya dengan unsur ektrinsik novel.

G.

Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode kualitatif yaitu temuan data terhadap kondisi sosial dari sudut pandang satu individu. Dalam peneltian kualitatif, bukan berdasarkan hipotesis sehingga tidak ada pengujian hipotesis. Metode ini hanya menjelaskan dan menggambarkan suatu kondisi yang terjadi di masyarakat.

(16)

data non-angka.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terbitan 1961 dan pertama kali diterbitkan pada 2013 oleh Qanita. Sementara objek dalam penelitian ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam novel

Memang Jodoh.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah teknik dokumentasi. Dalam teknik ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen untuk memperkuat informasi terkait dengan objek penelitian. Penulis dalam penelitian ini mencari kutipan yang berhubungan dengan analisis, mengkatagorikan, dan mengidentifikasi. Setelah identifikasi, maka penulis mulai menjabarkan sesuai bagian dengan disertai analisis.

4. Langkah-langkah Pengumpulan Data

(17)

A.

Pengetian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Italia, novella, yang artinya sebuah barang baru yang kecil. Novel sendiri diartikan sebagai karya sastra berbentuk prosa. Novel berupa karya yang bersifat imajinatif yang isinya menceritakan sisi utuh problematika kehidupan satu atau beberapa orang tokoh. Cerita dalam novel muncul karena adanya masalah yang dialami tokoh hingga tahap penyelesaian. Di dalam novel, cara eksplorasi cerita cenderung kepada eksplorasi ekstensif (horizontal) sehingga latar tempat dan waktunya lebih lama.3

Istilah novel sebenarnya sama dengan istilah roman. Bahwa novel berasal dari bahasa Italia, roman berasal dari genre romance. Di abad pertengahan, roman merupakan cerita panjang mengenai kepahlawanan dan percintaan. Kemudian, istilah roman berkembang di daratan Eropa. Jelas bahwa bentuk novel lebih sedikit dibandingkan roman, namun keluasan unsur cerita keduanya sama.4

Novel tidak dapat membentuk kesatuan cerita yang padat seperti cerpen. Namun, novel dapat menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan dengan banyak karakter, dan peristiwa rumit yang lebih mendetail. Ciri khas novel adalah mampu menciptakan satu semesta rumit yang lengkap.5 Secara keseluruhan novel dapat berarti karya imajinatif yang menceritakan sisi kehidupan dengan situasi sosial dalam peristiwa yang kompleks dan saling keterkaitan antarunsurnya.

B.

Unsur-unsur Intrinsik Novel

3

E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia. 2008), h. 54.

4

Jacob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta:Gramedia, 1986), h. 2.

5

(18)

Intrinsik merupakan unsur-unsur rohani dari karya sastra mengenai tema dan arti tersirat di dalamnya yang harus diangkat. Unsur intrinsik ada yang masuk ke dalam intrinsik inti, intrinsik ulasan, dan intrinsik impresif.6 Burhan Nurgiantoro menjelaskan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra. Unsur-unsur ini secara faktual akan ditemukan seorang pembaca karya sastra. Intrinsik merupakan unsur langsung dari sebuah karya sastra. Keterpaduan antarunsur intrinsik yang akan membuat novel berwujud sehingga karya sastra hadir sebagai karya sastra.7 Novel dibangun atas unsur-unsur hingga terbentuk satu kesatuan yang saling terpadu.

Unsur intrinsik novel adalah sebagai berikut. a. Tema

Tema merupakan gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Segala persoalan yang ada dalam cerita diangkat dalam tema. Penggambaran tema cerita dapat terletak di unsur cerita seperti penokohan, alur, atau latar.8 Robert Stanton mengungkapkan tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna pengalaman manusia, artinya sesuatu pengalaman yang mudah diingat. Beberapa cerita yang dialami manusia dimaksudkan untuk memberi label baik atau buruk kepada tindakan karakter-karakter di dalam.9 P.Suparman Natawidjaja mengungkapkan tema merupakan bagian dari unsur intrinsik inti bersama dengan maksud dan tujuan.10

Identitas tema haruslah sejalan dengan maksud dan tujuan dari cerita yang ditulis pengarang. Seperti yang diungkapkan Robert Stanton bahwa tema seperti makna pengalaman manusia yang membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Dengan tema, bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas.11

6

P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: Intermasa. 1982), h.102.

7

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 23.

8

E. Kosasih, op. cit., h. 55.

9

Robert Stanson, op. cit., h. 36.

10

P. Suparman, op. cit.,h. 102.

11

(19)

E. Kosasih menjabarkan cara-cara penemuan tema. Setidaknya ada empat unsur intrinsik yang digunakan pengarang untuk menjabarkan tema ceritanya. 1.Melalui Alur Cerita

Alur cerita kerap kali dipakai oleh pengarang untuk membimbing pembaca dalam mengenali tema dalam cerita yang ditulisnya.

2.Melalui Tokoh Cerita

Tokoh cerita dengan bermacam-macam sifat dan wataknya sengaja diciptakan oleh pengarang untuk dimuati tema. Tokoh jahat (antagonis) biasanya dipertentangkan dengan tokoh baik (protagonis). Jika pengarang hendak menunjukkan kepada pembaca bahwa kebaikan tidak selamanya benar, pengarang dapat saja mengalahkan pemain dengan watak baik. Akan tetapi, bahwa pengarang bertujuan menyatakan bahwa kejahatan pasti punah, pengarang tentu akan memenangkan tokoh protagonis.

3.Melalui Bahasa yang Digunakan oleh Pengarang

Melalui dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokoh cerita dan komentar pengarang terhadap peristiwa-peristiwa, pengarang dapat menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan rumusan tema.12

Hampir sama dengan E. Kosasih, Robert Stanton juga mengungkapkan cara mengenali tema sebuah cerita. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Tema dan konflik memiliki hubungan yang sangat erat. Konflik utama biasanya mengandung sesuatu yang sangat berguna dan benar-benar dirunut.13 Hal ini menjelaskan bahwa tema dan konflik merupakan satu kesatuan yang sejalan. Tema tidak mungkin terlepas dari konflik yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita. Sementara konflik juga tidak mungkin berada jauh dari tema cerita.

b. Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa kausal, artinya

12

E. Kosasih, op. cit., h. 56-57.

13

(20)

tidak terbatas pada ujaran dan tindakan tetapi juga perubahan sikap, pandangan, dan keputusan karakter tokoh. Setiap adegan yang dilakukan tokoh, akan mempengaruhi hubungannya dengan karakter-karakter lain. Akhirnya, reaksi yang ditimbulkan karakter lain itu akan balik mempengaruhinya.14

E. Kosasih memaparkan alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Dalam novel, jalan ceritanya terkadang berbelit-belit dan penuh kejutan, sehingga novel memiliki jalan cerita yang lebih panjang.15

Alur merupakan tulang punggung cerita. Ia dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang dalam analisis. Tanpa adanya pemahaman-pemahaman yang mempertautkan alur, sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti.16 Keberadaan alur dapat dikatakan elemen penting dalam sebuah cerita karena alur dapat menjelaskan isi keseluruhan cerita tersebut.

Secara umum jalan cerita terbentuk atas bagian-bagian berikut ini. 1. Pengenalan Situasi Cerita (exposition)

Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh serta menata adegan dan hubungan antartokoh.

2. Pengungkapan Peristiwa (complication)

Dalam bagian ini disebutkan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. 3. Menuju pada Adanya Konflik (rising action)

Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, atau pun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

4. Puncak Konflik (turning point)

14Ibid

., h. 26.

15

E. Kosasih, op. cit., h. 58.

16

(21)

Bagian ini disebut pula klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya berhasil-tidaknya menyelesaikan masalah. 5. Penyelesaian (ending)

Sebagai akhir cerita, bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Namun, ada pula novel yang menyelesaikan akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir cerita dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.17

Setidaknya berdasarkan bagian-bagian alur di atas, Robert Stanton menjelaskan dua elemen dasar yang membangun alur, yaitu konflik dan klimaks. Konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya setidaknya dimiliki dalam karya fiksi.18

Konflik utama selalu terikat teramat intim dengan tema cerita. Seperti yang diungkapkan dalam bagian tema, bahwa konflik dan tema merupakan satu kesatuan yang sejalan. Sementara klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga akhir cerita tidak dapat dihindarkan lagi. Klimaks muncul dari perkumpulan konflik dalam cerita. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler.19

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Biasanya latar dilukiskan dengan menggunakan kalimat-kalimat deskriptif. Latar dapat merangkum oang-orang yang menjadi karakter dalam cerita.20 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini dapat

17

E. Kosasih, op. cit., h. 58.

18

Robert Stanton, op. cit., h. 31.

19Ibid

., h. 32.

20Ibid

(22)

memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana yang sungguh-sungguh ada.21

1. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berhubungan dengan kondisi ruang dan bentuk. Pengunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual dan kaitannya dengan peristiwa sejarah.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.22

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan ketiga latar di atas dalam penelitian. Ketiga latar tersebut erat kaitannya dengan objek penelitian, yakni kritik sosial.

d. Penokohan

Penokohan adalah salah satu cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh dalam cerita.23 Aminudin menjelaskan penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku.24 Dalam penokohan, pembaca dapat menemukan karakter-karakter dari tokoh yang ditampilkan pengarang di ceritanya.

Untuk menggambarkan karakter tokoh, pengarang dapat menggunakan teknik berikut.

1. Penggambaran Cakapan

21

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 217.

22Ibid

., h. 227-233.

23

E. Kosasih, op. cit., h. 61.

24

(23)

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. 2. Penggambaran Fisik atau Perilaku Tokoh

Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang menunjukkan reaksi, sifat, dan sikap yang mencerminkan dirinya. Sedangkan perlukisan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan itu.

3. Penggambaran Lingkungan Kehidupan Tokoh

Pelukisan suasana latar dapat mengidentifikasikan sifat kedirian tokoh. Lingkungan kehidupan tokoh dapat menjelaskan secara tersirat seperti apa tokoh tersebut. Seseorang yang sering berada dalam lingkungan masjid, biasanya digambarkan sebagai tokoh yang baik.

4. Pengungkapan Jalan Pikiran Tokoh

Merupakan teknik pikiran dan perasaan yang tak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Jalan pikiran tokoh dapat juga hal yang terlintas dalam benak si tokoh tersebut.

5. Penggambaran oleh Tokoh Lain

Merupakan teknik reaksi yang diberikan tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.25

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya.26 Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana mejadikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang berbentuk cerita dalam karya fiksi.27 Sudut pandang menjadi bagian yang tidak dapat terlepas dari cerita. Hal ini dapat menjelaskan kedudukan pengarang dalam cerita yang dibuatnya.

Macam-macam sudut pandang dijelaskan oleh Burhan Nurgiantoro.

25

Burhan Nurgiantoro, op. cit., 201-209.

26

E. Kosasih, op. cit., h. 62.

27

(24)

1. Orang pertama sebagai tokoh utama

Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menggunakan istilah aku atau saya dalam menarasikan ceritanya. Tokoh aku atau saya menjadi pusat cerita. Hanya ada orang-orang di luar tokoh si “aku” yang

berhubungan dengan si “aku” yang diceritakan. Tokoh si “aku” menjadi

tokoh utama dalam ceritanya sehingga pembaca hanya akan mengetahui tokoh utama dari dalam sedangkan tokoh lain dari luar. Si "aku" mengisahkan peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah maupun fisik. Ia menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita.

2. Orang pertama sebagai tokoh tambahan

Tokoh aku tidak selalu menjadi tokoh utama dalam cerita. Pengarang dapat juga menggunakan tokoh aku tetapi hanya sebagai tokoh pembantu dalam cerita. Tokoh "aku" hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh aku hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang dialami tokoh lain. Tokoh aku hanya muncul sebagai bingkai cerita.

3. Orang ketiga mahatahu

(25)

4. Orang ketiga sebagai pengamat

Di sini, pengarang tidak mengganggu dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, atau tokoh-tokoh yang diceritakan. Pengarang hanya dapat menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dijangkau oleh indera. Pengarang juga hanya melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh tokoh sebagai pusat kesadaran.28

f. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya.29 Pengarang bisa menaruh pesan yang ingin disampaikan di salah satu bagian pembangun novel. Pembaca bisa mengetahui pesan dari pengarang lewat karakter tokoh atau konflik yang dimunculkan dalam cerita. Terkadang, amanat juga bisa dimunculkan secara implisit sehingga pembaca harus lebih jeli menemukan amanatnya.

g. Gaya Bahasa

Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan nada atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antartokoh30. Bahasa menjadi media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan pesan lewat ceritanya. Bahasa dalam dialog atau narasi dapat menjelaskan karakter tokoh yang ada dalam cerita.

C.

Pengertian Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi muncul pertama kali dalam buku karangan August Comte yang berjudul Cours De Philosophie Positive. Kata socius berasal dari bahasa Latin yang artinya teman dan logos dari bahasa Yunani yang berarti cerita atau berbicara. Dapat diartikan bahwa sosiologi berarti teman bercerita atau berbicara.31

28

Ibid., h.256-265.

29

E. Kosasih, op. cit., h. 64.

30Ibid

., h. 64.

31

(26)

Berbeda dengan sosiologi, sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kata sas

berarti mengarahkan atau memberi petunjuk, sedangkan akhiran tra berarti alat atau sarana. Sastra berarti alat, sarana, atau buku petunjuk untuk mengajar atau pengajaran yang baik. Ketika terbentuk kata jadian,

kesusastraan, maka makna sastra menjadi lebih spesifik, yakni karya yang baik.32

Objek dalam ilmu sosiologi dan sastra memiliki kesamaan, yaitu manusia dalam masyarakat. Arti masyarakat sendiri adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, sosiologi meneliti kehidupan manusia dalam masyarakat dengan analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastra menelitinya dengan subjektif melalui gambaran emosi dan perasaan. 33 Jadi, sosiologi meneliti masyarakat dengan objektivitas sedangkan sastra dengan subjektivitas.

Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono, jika diadakan penelitian suatu masyarakat yang sama oleh dua orang sosiolog, maka hasil penelitiannya besar kemungkinan menunjukkan persamaan. Sedangkan bahwa dua orang novelis yang melakukan penelitian di suatu masyarakat yang sama, hasilnya akan cenderung berbeda. Cara manusia meneliti masyarakat dengan perasaannya tergantung dari sudut pandang seseorang yang menyebabkan perbedaan itu.34

Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Sebagai produk budaya, sastra tidak dapat lepas dengan genesisnya, yaitu manusia sebagai pengarang. Eksistensi sastra dikarenakan ada manusia sebagai pengarang yang hidup dalam sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. 35 Hal serupa

h. 2.

32

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1.

33Ibid

., h. 3-4.

34

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Depdikbud, 1978), h. 8.

35

(27)

diungkapkan M. Atar Semi bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.36

Pengarang karya sastra yang merupakan anggota masyarakat membuat karya sastra yang menampilkan kultur zamannya dengan sifat-sifat yang ditentukan oleh masyarakatnya. Interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat di mana pengarang hidup muncul karena adanya kegelisahan keduanya. Ini yang menyebabkan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra. Jacob Sumardjo juga mengungkapkan hal serupa bahwa karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya.37

Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Bahkan masyarakat seringkali menentukan nilai karya sastra di zamannya.38 Kehidupan masyarakat yang berada di zamannya dapat mempengaruhi penulis dalam proses pembuatan karya sehingga esensi nilai tergantung dari sistem nilai masyarakat itu sendiri. Seperti yang Faruk katakan bahwa karya sastra dimaksudkan pengarang sebagai cerminan masyarakat dan alat perjuangan sosial untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi.39

Seperti yang diungkapkan Nyoman Kutha Ratna bahwa hubungan sastra dan masyarakat terjadi sepanjang masa. Maka, sebagai kreativitas estetis maupun renspons kehidupan sosial, sastra yang baik akan mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan manusia. Pengarang melukiskan sikap dan kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Jadi, sastra yang ditulis pengarang bukan sekadar melukiskan tokoh secara fisik saja.40

Sebagai sebuah dunia miniatur, Nyoman Kutha Ratna mengungkapkan fungsi karya sastra sebagai dokumentasi kejadian–kejadian yang

36

M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung, Angkasa, 1993), h.73.

37

Jacob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia, (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982), h. 15.

38

M. Atar Semi, op. cit., h. 73.

39

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 45.

40

(28)

dikerangkakan dalam kreativitas dan imajinasi. Sastra memiliki kemungkinan untuk mengalihkan kejadian alam semesta yang beragam dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Sastra secara keseluruhan mengambil bahan dari masyarakat. Seperti karya-karya dari ilmu kemanusiaan lain yang mengambil bahan dari masyarakat, karya sastra memberikan cara pandang yang berbeda. Dengan medium bahasa, karya sastra dapat menunjukkan maksud yang sama meskipun menggunakan cara yang bertentangan.41 Hal senada diungkapkan Laurenson dan Swingewood dalam Endaswara yang melihat persepektif sosiologi sastra dengan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial di mana refleksi situasi sastra tersebut diciptakan, sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan sastra sebagai manifes peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.42

Rene Wellek dan Austin Waren memberikan gambaran mengenai hubungan deskriptif antara sastra dan masyarakat. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status dan ideologi pengarang menjadi masalah yang berkaitan di sini. Sebagai warga masyarakat, pengarang dapat dikatakan makhluk sosial. Latar sosial tertentu juga dapat menentukan keterikatan pengarang terhadap ideologi tertentu pula. Oleh karena itu, mengumpulkan informasi pengarang merupakan sumber utama dalam mengkaji sosiologi sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, dan hal lain dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah masalah pembaca dan dampak sosial.43

Sementara Ian Watt dalam Heru Kurniawan menyebutkan tiga klasifikasi dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini meliputi analisa mata pencaharian, profesionalisme pengarang dengan profesi kepengarangannya, dan hubungan pengarang dengan masyarakat yang ingin dituju dalam bentuk isi karya sastra. Lebih lanjut, analisis ini memaparkan

41

Ibid., h. 35

42

Suwardi Edraswara, Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi, (Yogyakarta: Medpress, 2008), h. 79

43

(29)

hubungan pengarang dengan suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan sedekat apa hubungan sastra dalam mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep cerminan ini tentu saja berbeda karena keadaan masyarakat sebenarnya tidak akan sama dengan penggambaran dalam karya sastra karena pandangan dunia pengarang. Cerminan di sini hanya sebatas keadaan masyarakat yang digambarkan pengarang atau mempresentasikan semangat zamannya. Ketiga adalah fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra berfungsi sebagai perombak dan mengajarkan nilai dengan cara menghibur. Akhirnya, sastra memiliki nilai sosial, yaitu berperan dalam terjadinya proses perubahan sosial.44

Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono dalam Heru Kurniawan mengenai relasi sosiologi dan sastra. Relasi pertama dimediasi oleh pengarang. Pikiran dan perasaan pengarang selalu merepresentasikan pandangannya terhadap kondisi sosial masyarakat di tempat pengarang tinggal. Pandangan dunia dalam karya sastra muncul sebagai nilai-nilai yang terbentuk dalam diri pengarang sebagai konsekuensi di kehidupan bermasyarakat. Pengarang memotret anggota dan kehidupan masyarakat sesuai dengan pandangan dan ideologinya. Hal ini yang menegaskan bahwa pengarang merupakan faktor utama dalam dunia yang digambarkan dalam sastra karena pengarang merupakan bagian dari anggota masyarakat.45

Relasi kedua dimediasi oleh fakta sastra. Sastra merepresentasikan kehidupan yang dibangun lewat kata-kata. Kehidupan yang berupa peristiwa-peristiwa terbentuk dengan bantuan aspek tokoh, tempat, dan latar yang menjadi padu. Meskipun sastra merupakan hasil rekaan, peristiwa yang ada dalam karya sastra merupakan relasi dengan kondisi sosial masyarakatnya. Dunia rekaan hanyalah desain pengarang untuk

44

Heru Kurniawan, op. cit., h. 11.

45Ibid

(30)

merepresentasikan dengan dunia sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dinilai dan dianalisis dengan seperangkap teori dan konsep sosiologi.46

Ketiga adalah relasi yang dimediasi oleh pembaca. Pada dasarnya, karya sastra adalah produk budaya berupa benda mati yang akan bermakna bila terjalin komunikasi melalui interpretasi dengan pembaca. Pembaca karya sastra adalah individu yang hidup di suatu kondisi masyarakat tertentu. Maka, kondisi budaya dan sosial tempat tinggal pembaca dapat mempengaruhi interpretasi mereka terhadap karya sastra. Nantinya, nila-nilai sosial karya sastra yang mempengaruhi pembaca yang dapat menyebabkan perubahan sosial pembaca.47

Relasi keempat dimediasi oleh kenyataan. Seperti salah satu pendekatan analisis karya sastra yang diungkapkan Abrams, mimetik, yang memandang karya sastra sebagai cermin kenyataan. Kenyataan sosial dalam rekaan karya sastra merupakan kenyataan yang sebenarnya.48

Relasi terakhir dimediasi oleh bahasa. Penggunaan bahasa menjadi media paling umum dalam sastra karena secara konsep estetika sastra masih dimediakan dalam bahasa. Dalam sastra, bahasa merupakan media sirkulasi dan komunikasi sosial yaang universal. Dalam hubungannya antara sosiologi dan sastra bahasa dijadikan media komunikasi utama dalam relasi antarindividu di masyarakat. Penggunaan bahasa dalam sastra mencerminkan kondisi masyarakat karena eksistensi bahasa menunjukkan keberadaan suatu kelompok masyarakat.49

Dalam hubungan sosiologi dengan sastra yang dimediasi oleh kenyataan ada unsur realitas yang dibangun pengarang di atas karya fiksinya. Ini sejalan dengan penuturan Umar Junus yang mengatakan bahwa imajinasi selalu terikat kepada realitas sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi.50

46Ibid

., h. 7

47Ibid

., h. 8

48

Ibid., h. 9

49Ibid

., h. 9-10.

50

(31)

Tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd.51

Karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya.52 Kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret.53 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya.

Analisis karya sastra dengan sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas sosial di masyarakatnya.

D.

Pengertian Mimetik

Abrams membagi pendekatan kajian karya sastra ke dalam empat bagian, mimetik, objektif, ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan mimetik merupakan pengkajian karya sastra yang menitikberatkan hubungan karya sastra dengan kenyataan. Istilah mimetik sendiri bermula dari perdebatan filsuf Plato dengan muridnya, Aristoteles. Plato berpendapat bahwa karya sastra hanya peneladanan, bayangan, atau tiruan dari dunia kenyataan. Sebab, dunia emprik tidak mewakili kenyataan, dan hanya mampu menirunya lewat mimesis. Dijelaskan Plato bahwa mimesis hanya terikat pada ide pendekatan bukan menghasilkan kopian yang sesungguhnya. Karya sastra yang merupakan bagian seni hanya dapat meniru dan membayangkan kenyataan. Seni berbeda dengan dunia kenyataan. Tataran seni lebih rendah dari kenyataan. Seorang tukang menjadi lebih tinggi dari seniman karena dapat menciptakan sebuah benda secara mutlak.54 Hal senada juga diungkapkan Yudiono K.S. yang mengatakan seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di

51

Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 43.

52

Jacob Sumardjo, op. cit., h. 15.

53

Umar Junus, op. cit., h. 6.

54

(32)

bawah realitas sosial dan ide.55 Seni hanyalah meniru dan membayangkan hal yang tampak, sehingga berdiri di bawah kenyataan.56

Menurut Plato, pendekatan seni terbaik adalah dengan mimesis karena dalam seni tidak ada pertentangan realisme dan idealisme. Maka seni harus benar. Seniman juga harus tahu bahwa lewat seni, ia mencoba mendekati yang idel dari jauh.57

Aristoteles menyanggah Plato. Ia mengatakan justru seni menyucikan jiwa manusia lewat katharsis. Dampak karya seni lewat pemuasan estetik, membuat keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan. Selanjutnya, Aristoteles juga menyanggah pendapat Plato dengan mengatakan bahwa seniman tidak meniru kenyataan. Seniman justru membuat dunianya sendiri. Apa yang diciptakan di keseluruhan dunianya itu masuk akal karena berdasarkan unsur-unsur dunia nyata. Jelas bahwa seniman menilai karyanya lebih tinggi dari pada tukang. Karena, karya seni merupakan sarana pengetahuan untuk membayangkan pemahaman terhadap aspek yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain.58

Karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan. Teori mimetik muncul dengan menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan, ataupun bayangan realitas. A. Teeuw menyebutnya dunia kenyataan saling berjalinan dengan dunia rekaan.59 Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya khayal.60 Umar Junus mengatakan bahwa kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret.61 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya.

55

Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 42.

56

Partini, Pengantar Pengkajian Sastra, (Bandung: Yayasan Pustaka Wina, 1992), h. 66.

57

A. Teeuw. op. cit., h. 220-221.

58

Ibid., h. 222.

59Ibid

., h. 231.

60

Jacob Sumardjo dan Saini K.M., op. cit., h. 13.

(33)

Kenyataan bukanlah sesuatu yang diberikan secara objektif, dapat ditinjau dan tafsirkan secara individual tanpa pra anggapan.62 Penafsiran tidak dapat ditentukan dengan melihat kenyataan. Oleh karena itu, pembaca harus berhati-hati dalam mengambil data faktual dalam sebuah karya sastra meskipun karya tersebut terlihat sangat realis.

Problematika kehidupan yang dipaparkan pengarang dalam cerita itu bukan merupakan problem yang asing dalam kehidupannya, namun problem yang akrab dan sangat dikuasainya. Ada keterikatan relitas yang alami pengarang dengan imajinasi dalam cerita fiksinya. Problem cerita yang menjadi dasar penulisan cerita rekaan tidak dapat direka-reka pengarang dan merupakan kenyataan yang menjadi sumber penciptaan cerita rekaan.63

E.

Pengertian Kritik Sosial

Kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang artinya mengamati, membanding, dan menimbang.64 Kata kritikos dalam bahasa Yunani kuno pada mulanya dipergunakan oleh kaum Pergamon pimpinan Crates untuk membedakan dengan kaum ahli tata bahasa (bahawasan). Kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian nilai-nilai sastra.65 Bahwa memandang kritik sebagai ilmu, maka sifat dari kritik adalah objektif dan idealis.66

Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu.67 Stendal dalam Endaswara mengatakan karya sastra merupakan cermin perjalanan "jalan raya" dan "biru langit" hidup manusia mekipun kadang-kadang mencerminkan "lumpur dalam kubangan". Maksudnya karya sastra kadang-kadang mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia.68

62

A. Teeuw, op. cit., h. 227.

63

Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, (Salatiga: Widia Sari Press, 2002), h. 53.

64

Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, (Jakarta: N.V. Nusantara, 1958), h. 10.

65

Yudiono K.S., op. cit., h. 29-30.

66

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 238.

67

Suwardi Edraswara, op. cit., h. 78.

68Ibid

(34)

Jadi karya sastra merupakan ekspresi baik dan buruk manusia dalam kehidupan sosial di periode tertentu.

Ideologi sastrawan diperuntukan untuk mengkritisi kondisi sosial di masyarakat yang tidak sejalan dengan pemikiran sastrawan. Pengarang harus mendokumentasikan keadaan sosial budaya masyarakat karena karyanya adalah dokumentasi sosial budaya69. Sastrawan diharapkan tampil sebagai pengontrol atau pengecek pelbagai kecenderungan negatif dalam masyarakat.70

Kritik sosial dalam novel merupakan bagian dari sejarah yang disampaikan pengarang. Lewat tulisannya, sastrawan ingin memprotes kultur sosial di masyarakat yang menurut sastrawan "berbelok" dari semestinya. Selain menjadi karya seni, novel bisa dijadikan alat protes dari sistem yang salah.

F.

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak pernah dilepaskan dari pembelajaran sebuah karya sastra. Tulisan berbentuk karya sastra yang menjadi sumber belajar siswa adalah bentuk apresiasi terhadap karya sastra itu sendiri. Jika siswa memandang karya sastra tidak bermanfaat, maka ia akan menafsirkan bahwa karya sastra bukanlah sebuah tulisan yang patut dipelajari. Oleh karena itu, siswa harus ditunjukkan bahwa karya sastra memiliki relevansi terhadap masalah di dunia nyata sehingga pengajaran sastra akan dipandang sebagai sesuatu yang penting.71

B. Rahmanto memaparkan empat manfaat dari pengajaran sastra di sekolah, yaitu:

a. Membantu keterampilan berbahasa

Dengan mempelajari sastra, siswa dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa

69

Herman J. Waluyo, op. cit., h. 53.

70

Sapardi Djoko Damono, Politik Ideologi, dan Sastra Hibrida, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 72.

(35)

dapat menyimak dan berbicara sebuah karya sastra yang dibicarakan guru atau temannya. Dalam keterampilan membaca, siswa dapat meningkatkannya dengan membaca sebuah karya sastra. Setelahnya, ia dapat mendiskusikan unsur-unsur karya sastra lewat keterampilan menulis. b. Meningkatkan pengetahuan budaya

Sastra bukanlah sesuatu yang menghadirkan pengetahuan secara langsung. Pengetahuan yang berbentuk budaya disajikan secara implisit dalam karya sastra. Lewat pengajaran sastra, siswa dapat dirangsang untuk mencari tahu apa yang ada secara tersirat dalam karya sastra yang erat kaitannya dengan pengetahuan budaya.

c. Mengembangkan cipta dan rasa

Dalam hal ini, sastra bermanfaat agar siswa dapat mengembangkan penalarannya yang bersifat indera, sosial, dan agama. Siswa dapat menggunakan inderanya untuk mengungkap apa yang ada dalam karya sastra. Penalaran sosial dan agama dapat merangsang kepekaan rasa siswa terhadap yang yang telah diterima oleh indera.

d. Menunjang pembentukkan watak

Karya sastra dapat membuat siswa membentuk kepribadian yang lebih baik. Siswa dapat mengambil contoh dari tokoh-tokoh dalam karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya. Jika tokoh tersebut dapat memberi tauladan, maka dapat ditiru perbuatan, dan juga sebaliknya.72

G.

Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini pernah dilakukan oleh Silvy Riana, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan judul Hubungan Mamak terhadap Kemenakan dalam Dijemput Mamaknya Karya Hamka. Penelitian ini memaparkan kekuatan mamak atas kemenakannya lewat pandangan Hamka sebagai penulisnya.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Yanutisa Ananta, mahasiswa Universitas Padjadjaran dengan judul Penerjemahan Pantun

72Ibid

(36)

dalam Roman Sitti Nurbaya Karya Marah Rusli. Yanutisa meneliti mengenai perubahan tone atau nada pada pantun terkait dengan intensitas emosi penutur pantun. Perubahan pantun akan dikaitkan dengan aspek-aspek cerita, seperti kompleksitas, kerumitan, dan kedekatan kedua tokoh utama.

Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Prima Yulia Nugraha, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul

Kritik Sosial dengan Pendekatan Mimetik pada Kumpulan Puisi Potret Pembangungan dalam Puisi Karya W.S. Rendra. Prima meneliti puisi Sajak Seorang Tua dan Sajak Sebotol Bir di dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan. Penelitian ini mengkritisi kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat dalam puisi tersebut dengan latar belakang zaman orde baru.

(37)

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS NOVEL

MEMANG JODOH

KARYA MARAH RUSLI

A.

Riwayat Hidup

Marah Rusli lahir di Padang pada 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar adalah seorang bangsawan dari keturunan raja Pagarruyung Minangkabau. Ibunya berasal dari Jawa Tengah yang telah masuk keluarga Minangkabau. Menurut adat Kota Padang, bahwa bangsawan (sutan) yang menikah dengan orang daerah lain yang bukan bergelar Sutan, maka anaknya harus memakai gelar yang lebih rendah, yaitu Marah. Oleh sebab itu Sutan Abu Bakar menamai anaknya dengan Marah Rusli.73

Menurut cerita Rully Roesli, cucu Marah Rusli, awalnya, ejaan nama Marah Rusli adalah Marah Roesli, namun Balai Pustaka, penerbit yang menerbitkan Sitti Nurbaya menuliskan namanya Marah Rusli. Ini disesuaikan dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan. Namun, hingga saat ini

keluarganya tetap menggunakan kata “Roesli” sebagai nama keluarga

mereka.

Pendidikan Marah Rusli dimulai di Sekolah Dasar pada 1897 sampai 1903, kemudian dilanjutkan di Hoofden School pada 1904 sampai 1909. Selulusnya dari sana, Marah Rusli melanjutkan ke Sekolah Guru pada 1904 sampai 1910. Marah Rusli sebenarnya ditawari untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, namun diurungkan karena tidak mendapat izin dari ibunya karena ia anak semata wayang. Sebagai gantinya, yang dikirim pemerintah ke Belanda adalah Tan Malaka. Marah Rusli kemudian meneruskan sekolah dokter hewan di Nederlands Indisch Veearsen School pada 1910 sampai 1915.74

73

Izarwisma Mardanas, Marah Rusli; Hasil Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), h. 13.

74

(38)

Berbeda dengan Taufiq Ismail yang meninggalkan profesi dokter hewannya dan sepenuhnya beralih menjadi sastrawan, Marah Rusli tetap menjalankan profesinya hingga ia pensiun. Jabatan terakhirnya adalah Dokter Hewan Kepala pada 1952.75 Sumbangsihnya terhadap dunia kedokteran hewan bukan hanya di Bogor atau Pulau Jawa saja tetapi juga mencapai luar Pulau Jawa. Pada 1915 selepas lulus dari sekolah dokter hewan di Bogor, Marah Rusli mendapat tugas sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar sebelum akhirnya dipindahkan di Bima sebagai Kepala Daerah Perhewanan pada 1916. Selanjutnya, Marah Rusli kembali dipindahkan sebagai Kepala Peternakan Hewan Kecil di Bandung pada 1919. Setelah itu, ia hilir mudik kota-kota di Pulau Jawa sebagi dokter hewan. Setelah ke Cirebon, Blitar, Jakarta, Semarang, dan Tegal, Marah Rusli akhirnya kembali bertugas di Bogor.

Selain pengalaman dalam bidang kedokteran hewan, Marah Rusli juga memiliki pengalaman dalam bidang musik dan sandiwara. Ia mengajarkan musik serta mengadakan perkumpulan musik dan sandiwara.

Kehidupan Marah Rusli di zaman penjajahan membuatnya masuk menjadi tentara Angkatan Laut di Tegal. Di sana, Marah Rusli mengurus keperluan pertanian, perhewanan, dan perikanan bagi Angkatan Laut Republik Indonesia. Pangkat terakhirnya adalah Mayor. Sebelumnya, ia melatih pegawai-pegawai dan pekerja kehewanan Balai Kota Semarang.76

Mengenai kehidupan pribadi, Marah Rusli menikahi seorang gadis Sunda yang bernama Raden Ratna Kancana. Pernikahan kedua orang bangsawan ini tidak mendapat restu dari ayah Marah Rusli karena perbedaan suku. Pada 2 November 1911, Marah Rusli nekat menikahi Raden Ratna Kancana di Bogor tanpa sepengetahuan keluarganya. Akibatnya, ia dibuang secara adat oleh keluarganya di Padang.

Ketika sakit, Marah Rusli sempat mengungkap keinginannya

75

Anonim, Tokoh Sastra Indonesia

http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/node/429 diakses pada 27 Desember 2014 pukul 9.19 WIB

76

(39)

mengunjungi Padang meskipun telah dibuang. Kecintaan pada tanah kelahirannya memang belum hilang. Namun, keinginanya tidak pernah terwujud karena Marah Rusli meninggal dalam sakitnya pada 17 Januari 1968. Ia dimakamkan di makam keluarga di Bogor dan di samping makam istri satu-satunya, Raden Ratna Kancana.77

B.

Karya-karya Marah Rusli

H.B. Jassin menjuluki Marah Rusli sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Hal ini dikarenakan Marah Rusli dianggap sebagai sastrawan pertama yang memperkenalkan bentuk roman dalam kesusastraan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia hanya mengenal sastra lewat cerita-cerita legenda tentang dewa-dewa yang jauh dari unsur realita. Berikut adalah deskripsi singkat megenai karya-karya Marah Rusli.

1. Sitti Nurbaya

Sitti Nurbaya pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1922. Roman ini menceritakan tentang percintaan tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Ayah Sitti Nurbaya, Baginda Sulaiman meminjam uang pada Datuk Maringgih. Ketika ayah Sitti Nurbaya terjerat hutang dengan Datuk Maringgih, Sitti Nurbaya terpaksa menebusnya dengan menerima pinangan Datuk Maringgih.

2. Tesna Zahara

Setelah Sitti Nurbaya, Marah Rusli menulis roman Tesna Zahara. Naskah tersebut dikembalikan oleh Balai Pustaka dan tidak pernah diterbitkan hingga sekarang. Ketika Marah Rusli berada di Sumbawa, naskah tersebut hilang.78 3. Anak dan Kemenakan

Seperti Sitti Nurbaya, cerita ini seputar adat yang terjadi di Padang. Muhammad Yatim, Aziz, Puti Bidasari, dan Siti Nurmala adalah empat orang yang sudah menjalin persahabatan sejak kecil. Persahabatan itu memunculkan

77

Pengantar yang disampaikan Rully Roesli, cucu Marah Rusli dalam novel Memang Jodoh, h. 13

78

(40)

percintaan antara Yatim dan Puti Bidasari serta Aziz dan Siti Nurmala. Dua pasang kekasih yang menghadapi rintangan ketika ingin menikah karena di Padang, kaum bangsawan harus menikah dengan kaum bangsawan pula. Namun, di akhir cerita keempat orang tersebut dapat menikah dan hidup bahagia.

4. La hami

Berbeda dengan Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan, La Hami

merupakan romah sejarah tentang bangsawan di Sumbawa. La Hami adalah anak raja Bima yang dibuang oleh Mangkubumi yang berkeinginan merebut gelar raja darinya. Setelah besar, La Hami memperjuangkan agar dapat bertemu kembali dengan orang tua dan menikahi kekasihnya yang seorang raja. Di akhir cerita, La Hami dapat bertemu dengan keluarganya dan menikah dengan kekasihnya.79

5. Memang Jodoh

Novel ini menceritakan Marah Hamli yang menikah dengan Din Wati, gadis keturunan Sunda. Ia mendapat penolakan dari keluarganya karena menurut adat Minangkabau, ia hanya boleh menikahi gadis Padang. perlawanan Hamli terhadap adat istiadat Padang membuatnya dibuang secara adat oleh keluarganya.

Pembeda antara novel Memang Jodoh dan karya-karya Marah Rusli sebelumnya adalah karena ini merupakan novel terakhir Marah Rusli yang baru diterbitkan pada 2013. Berbeda dengan novel lainnya, novel Memang Jodoh diterbitkan hampir lima puluh tahun setelah kematian Marah Rusli. Novel ini sebenarnya sudah diperkenalkan Marah Rusli pada keluarga dan kerabatnya di hari ulang tahun pernikahannya ke lima puluh tahun. Namun, pengarangnya sendiri melarang penerbitan novel ini sebelum tokoh-tokoh di dalamnya meninggal. Ini dikarenakan Marah Rusli tidak ingin melukai hati keluarganya di Padang. Hal ini yang membuat banyak orang berspekulasi bahwa novel ini semacam semi autobiografi Marah Rusli.

79

(41)

C.

Sinopsis

Memang Jodoh

Karya Marah Rusli

Memang Jodoh bercerita tentang Marah Hamli, seorang pemuda bangsawan dari Padang. Ketika baru saja lulus dari Sekolah Raja di Bukittinggi, Hamli ditawari gurunya untuk meneruskan sekolah ke Belanda. Ia tidak mendapat restu dari ibunya karena ia merupakan anak satu-satunya dari ibunya. Sebagai gantinya, Hamli akhirnya meneruskan sekolahnya ke sekolah pertanian di Bogor.

Di Bogor, Hamli bertemu dengan Din Wati, gadis bangsawan sunda. Ketika itu Hamli sedang menjemput bibinya sementara Din Wati menjemput kerabat yang dulunya tinggal bersebelahan dengannya di Bogor. Ternyata, orang yang mereka jemput sama, yaitu Bibi Kalsum.

Sejak pertemuan itulah keduanya menjadi semakin akrab. Apalagi ketika Din Wati mendengar penyakit pilu Hamli yang diceritakan neneknya, Khatijah. Rasa belas kasihan yang awalnya timbul dalam diri Din Wati berubah menjadi perasaan cinta. Hamli pun merasakan penyakit pilunya hilang ketika ia bersama Din Wati. Maka, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.

Hanya saja, meskipun keduanya berasal dari keluarga bangsawan, bukan perkara mudah menyatukan mereka dalam pernikahan. Baik dari keluarga Hamli maupun Din Wati menentang pernikahan mereka. Keluarga Din Wati memiliki riwayat buruk dengan orang Sumatera. Sementara keluarga Hamli enggan meninggalkan tradisi di Padang yang mengharamkan menikahi orang di luar suku Minangkabau.

Dengan berbekal restu dari ayah Hamli dan Din Wati, keduanya akhirnya melangsungkan pernikahan secara sederhana dan hanya dihadiri kerabat terdekat. Berita pernikahan mereka akhirnya terdengar sampai ke Padang. Keluarga Hamli seperti mendapat tamparan keras akibat pernikahan itu. Mereka melakukan segala cara untuk melepaskan tali pernikahan Din Wati dan Hamli.

(42)

adat terus berupaya agar Hamli mau menceraikan istrinya. Saat Hamli tidak menolak, mereka memaksa agar Hamli mau berpoligami dengan menikahi gadis Minangkabau untuk melepaskan tuntutan adat. Hamli tetap menolak poligami di kalangan bangsawan Padang. Akhirnya ia dibuang dari tanah kelahirannya.

(43)

BAB IV

UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL

NOVEL

MEMANG JODOH

A.

Unsur-unsur Intrinsik Novel

Memang Jodoh

Karya Marah

Rusli

1. Tema

Tema dalam novel ini adalah masalah adat pernikahan dalam kebudayaan Minangkabau. Seperti yang diungkapkan E. Kosasih bahwa salah satu cara menemukan tema adalah dengan memperhatikan dialog para tokoh dan komentar pengarang terhadap peristiwa. Pengungkap tema cerita dikemukakan lewat dialog yang diucapkan tokoh Marah Hamli.

“Sebab, saya tak bisa dan tak suka beristri banyak,” sahut Hamli dengan

suara gagah.80

“..., dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya, karena menurut bangun tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak yang harus dilindungi. Jadi, bukan istrinya yang harus memelihara suaminya, dan bukan pula orang

lain yang harus memelihara anaknya.”81

Ucapan tokoh Marah Hamli menjadi semacam jembatan pemikiran Marah Rusli yang ingin disampaikan kepada pembaca untuk menentang adat pernikahan di sana. Sesuai dengan adat istiadat di sana, maka dalam ikhwal pernikahan, posisi laki-laki dilamar sedangkan perempuan melamar. Apalagi bahwa laki-laki itu dari kalangan bangsawan, ia bukan hanya dilamar tapi juga tidak wajib menafkahi anak dan istrinya. Perannya sebagai pemberi nafkah digantikan bibi istri atau mertua, sedangkan ia sendiri juga dinafkahi mereka.

Di Padang, laki-laki keturunan bangsawan begitu dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, banyak orang berlomba untuk menikahkan anak

80

Marah Rusli, Memang Jodoh, (Bandung, Qanita, 2013), h. 353.

81Ibid

(44)

perempuan mereka dengan laki-laki bangsawan. Mereka melamar dengan uang dan harta yang melimpah agar laki-laki bangsawan mau menikahkan anak mereka. Tujuannya hanya satu, yaitu memberi keturunan kepada istrinya.

Hamli yang merupakan laki-laki bangsawan Padang menentang keras adat seperti itu. Baginya, adat seperti itu akan membuat suami hanya sebagai tamu dan tidak memilki hak apa-apa terhadap anak istrinya. Suami yang dipandang sebagai kepala keluarga harus dinafkahi oleh keluarga istrinya. Padahal, sifat perempuan adalah mengandung dan melahirkan anak sedang suami melindungi anak dan istrinya.

Masalah adat pernikahan di Padang bukan sekadar peran laki-laki dalam keluarga tetapi juga tentang kewajiban menikah dengan sesama suku Padang. Hamli diwajibkan menikah dengan perempuan Padang. Hal ini semacam tugas penjunjungan adat istiadat Padang bagi keluarga. Bahwa ada laki-laki yang menikah dengan perempuan di luar suku Padang, maka akan dianggap pembawa aib bagi keluarga. Laki-laki tersebut juga harus menerima hukuman sosial, yaitu dibuang dari tanah airnya.

Masyarakat Padang begitu menjunjung tinggi pernikahan sesuku karena dianggap memperkuat jalinan kekeluargaan suku Padang. Sebaliknya, pernikahan dengan di luar suku justru akan merenggangkan kekeluargaan suku Padang.

“Kami (keluarga Hamli di Padang) minta kau kawin di Padang ini karena kami ingin melepaskan utang kami kepada bangsa kami; sebab kalau kau tak kawin dengan perempuan Padang, niscaya kamilah yang akan mendapat malu, karena seakan-akan kami tak dapat mengawinkan kau. Asal kau sudah kawin di Padang ini, tak dapatlah orang berkata, bahwa kami telah menyia-nyiakan kau dalam kewajiban kami, karena tak dapat dan tak kuasa membujuk kau. Itu suatu aib yang amat besaar bagi kami.”82

Banyak masyarakat Padang yang tetap mempertahankan pusaka nenek moyang tidak memikirkan baik buruk adat yang mereka junjung tinggi tersebut. Akibatnya, orang-orang, khususnya pemuda yang sudah terbuka

82Ibid.,

(45)

pemikirannya lewat pendidikan, akan memilih meninggalkan negerinya karena tidak mau terikat dengan adat yang menyusahkan itu. Hingga akhirnya, yang tersisa di Padang adalah orang-orang tua dan masyarakat yang justru tidak berpendidikan sehingga tidak akan ada yang mengolah tanah Padang lagi.

2. Alur

Marah Rusli menggunakan alur campuran dalam menceritakan Memang Jodoh. Alur campuran dimulai dengan menjabarkan keadaan yang dialami tokoh utama dan dilanjutkan dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Peristiwa-peristiwa lain yang dialami tokoh juga muncul hingga diakhiri dengan selesainya konflik yang dialami tokoh utama.

Cerita Memang Jodoh dibuka dengan pidato Marah Hamli di hadapan keluarga dan para sahabatnya. Ia berbicara dalam rangka peringatan ulang tahun pernikahannya ke lima puluh. Isi pidato Marah Hamli berupa lika-likunya menjalani pernikahan hingga tahun emas.

“.... Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak

mengalami kesukaran, penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam. Tapi, Tuhan telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami berdua, dengan usia panjang dan jodoh yang kekal, sehingga masa perkawinan kami yang panjang itu dapat kami

lalui dengan rukun dan damai, penuh kasih sayang.”83

Pidato Marah Hamli itu menjelaskan penyelesaian cerita yang dialami tokoh aku, yaitu hidup bahagia bersama istrinya selama lima puluh tahun. Munculnya penyelesaian cerita di awal novel dibuat pengarang agar pembaca dapat menerka-nerka konflik apa yang dialami si tokoh utama hingga cerita berakhir demikian. Kata-kata berkonotasi negatif yang diucapkan Hamli dalam pidatonya: kesukaran, penderitaan, kesengsaraan, dan maut yang mengancam, menjadi kunci untuk membuka gambaran mengenai konflik-konflik tokoh Hamli. Sementara kata-kata berkonotasi positif yang diucapkan Hamli: rukun, damai, dan penuh kasih sayang, diletakkan setelah kata-kata negatif. Hal demikian digunakan pengarang untuk memaparkan

83Ibid

(46)

bahwa kebahagiaan muncul setelah melewati cobaan.

Setelahnya, cerita tidak langsung memasuki babak konflik, tetapi awal cerita di mana pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Dengan memundurkan waktu ke lima puluh tahun lalu, pengarang pertama kali mendeskripsikan tokoh utama, Marah Hamli. Pendeskripsian tokoh Hamli dilakukan dengan teknik dramatik lewat dialog tokoh. Di sini, pengarang seperti ingin menjawab pertanyaan tentang sosok Hamli di awal cerita. Penyelesaian yang dilakukan tokoh Hamli dengan menulis autobiografi pernikahannya bersama sang istri akan membuat pembaca bertanya, seperti apa sosok Hamli hingga mampu menulis sebuah autobiografi.

“Ayahku setuju dengan rencana ini dan sanggup membiayaiku di negeri

Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk

hidup di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedangkan

mamakku Baginda Raja telah pula menggadaikan sawahnya Rp1.000,- untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain-lain....”84

Selain memperkenalkan tokoh Hamli, Marah Rusli juga mendeskripsikan tokoh Din Wati. Perempuan ini yang menjadi tokoh protagonis bersama Hamli. Tokoh perempuan yang kelak menjadi istri Hamli inilah yang di awal cerita membuat Hamli menulis autobiografi Memang Jodoh.

Tatkala Radin Asmaya melihat kemenakannya keluar dengan dandanan seperti itu, tak disengajanya keluar pujian dari mulutnya. “Din Wati, jika berdandan seperti ini, memang susah mencari bandingannya. Cantik jelita, molek manis. Sedap dipandang mata, senang dipandang

hati,” katanya.85

Selain memperkenalkan tokoh Hamli dan Din Wati, di babak perkenalan, Marah Rusli juga memperkenalkan tokoh-tokoh lain. Uniknya, tokoh-tokoh yang dideskripsikan Marah Rusli di awal cerita adalah tokoh-tokoh yang mendukung tokoh utama. Tokoh bibi Kalsum, nenek Hamli, dan orangtua Din Wati yang merupakan tokoh-tok

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Lahirnya novel berjudul Memang Jodoh dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli ini pada dasarnya adalah sebuah kritik sosial terhadap budaya perkawinan msyarakat Minangkabau

Aspek Sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli; Siti Fatimah, 100110201054; 2015: 123 halaman; Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember.. Memang

2) Lapisan Kelas Menengah Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli yang termasuk dalam lapisan kelas menengah adalah Burhan, sepupu Hamli. Golongan menengah

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa (1) pandangan dunia pengarang dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rulsi dapat ditinjau dari tiga hal yang meliputi pandangan

Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli tidak terdapat lapisan kelas bawah, karena tidak ada masyarakat atau individu yang berasal dari lain suku datang ke Padang

Oleh sebab itu, telah ditanggungnya segala keperluan Hamli, lebih daripada yang biasa dilakukan mamak- mamak yang lain.” (Memang Jodoh: 231) Siti Anjani di tengah-tengah

2) Lapisan Kelas Menengah Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli yang termasuk dalam lapisan kelas menengah adalah Burhan, sepupu Hamli. Golongan menengah