• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Keterangan Saksi Di Penyidikan Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Keterangan Saksi Di Penyidikan Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FEBRI SRI UTAMI 100200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FEBRI SRI UTAMI NIM : 100200033

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetuji Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr.Muhammad Hamdan, SH, MH. NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Syafruddin, SH, MH, DFMNIP

: 196303311987031001 NIP : 196305111989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DI PENGADILAN”

disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Skripsi ini membahas tentang bagaimanakah penerapan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana, bagaimanakah kedudukan keterangan saksi sebgaai alat bukti dalam KUHAP, dan bagaimana kedudukan saksi dalam BAP kepolisian sebagai alat bukti yang di persidangan.Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini.Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya.Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

(4)

1. Allah SWT telah memberikan ridho sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Sucipto dan Ibunda Lina Ginting yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendukung setiap langkah penulis dalam mencapai cita-cita.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H M.Hum., DMF., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini, Bapak Dr. OK Saidin., S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

8. Kepada seluruh keluarga besar Mbah Suwarno yang telah memberikan dukungan dan doanya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada seluruh keluarga besar Nenek Karo yang selalu memberikan doa kepada penulis.

10.Kepada Aditya Pratama, yang telah memberikan waktu, dukungan, dan semangat kepada penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11.Kepada kak Icha, Kak Lia, Mia, Prihartini, yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis.

12.Kepada Sahabat-sahabatku, Eldayani Sirait S.H, Mentari Yolanda, Syarifah S.H, Hanny Luvika Silalahi yang telah memberikan motivasi, semangat, serta doa kepada penulis.

13.Teman-teman seangkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

14.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

(6)

bagi kita semua.Akhir kata dengan kerendahan hati penulis mengharpkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua, Amin ya rabbal alamin.

Medan, Juni 2014 Penulis

(7)

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Saksi ... 9

2. Pengertian Penyidikan ... 11

3. Pengertian Alat Bukti ... 14

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA .... 21

A. Penegertian, asas dan tujuan hukum acara pidana ... 21

B. Pengertian hukum pembuktian ... 31

C. Teori - teori pembuktian ... 34

D. Macam- macam alat bukti menurut KUHAP ... 38

E. Tujuan Pembuktian ... 47

BAB III : KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI... ... 49

(8)

B.Jenis- jenis saksi ... 51

C.Tata cara pemeriksaan saksi di pengadilan ... 58

BAB IV : KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI STABAT NO.752/ PID.B/ 2012/ PN.STB) ... 71

A. Kasus ... 71

B. Analisa Kasus ... 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 89

(9)

Pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana, hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan dimuka sidang pengadilan. Dengan kata lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).

Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dengan penelitian hukum normatif dalam mewujudkan tulisan ini, penulis melakukan penelitian terhadap pustaka. Selanjtnya penelitian empiris dilakukan dengan melakukan peneitian secara langsung dengan mengadakan wawancara dengan ketua Pegadilan Negeri Stabat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang, bukan sebuah keharusan yang tidak dapat ditolerir. KUHAP memberi alternatif peneyelesaian masalah jikapada suatu hal jaksa penuntut umum atau hakim tidak dapat menghadirkan saksi ke persidangan karena alasan tertentu.Jika karena suatu alasan yang sah saksi berhalangan atau tidak dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di persidangan maka keterangan saksi tersebut ketika di penyidikan di bacakan di muka sidang, dan keterangan yang dibacakan itu berlaku sebagai alat bukti yang sah asalkan keterangan itu sebelumnya dilakukan dibawah sumpah.

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.

(11)

terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus sebagai tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan.Jadi, meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidikan.

(12)

3

Saksi sebagai orang yang memberikan keterangan berdasarkan peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sangat diperlukan keterangannya dalam proses pembuktian. Keterangan saksi yang diberikan kepada penyidik harus bebas dari tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan (bukan dengan mengingat sumpah jabatan) kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi yang memberikan keterangan setelah ia menyetujui isinya (Pasal 75 jo 118 ayat (1) KUHAP). Dalam hal saksi tersebut tidak mau membubuhkan tanda tangannya maka penyidik tidak perlgu memaksa, akan tetapi cukup memberikan catatan dalam BAP disertai dengan alasannya1

Keterangan saksi di penyidikan sangat penting untuk proses pembuktian dalam persidangan, karena dari BAP kepolisian (berkas perkara) dan kemudian oleh penuntut umum dimuat dalam dakwaannya, menjadi pedoman dalam pemeriksaan sidang. Hakim mempertimbangkan berita acara pemeriksaan di penyidikan yang dilanjutkan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan keterangan yang diberikaan oleh saksi secara langsung di persidangan.Apakah keterangan di penyidikan sesuai dengan keterangan saksi di persidangan dan sebagai penambah keyakinan hakim dalam membuat putusan terhadap perkara tersebut.Jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam bekas perkara, hakim

.

1

(13)

ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan (Pasal 163 KUHAP).

Dalam pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya maka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa “keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan dibanding keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak dominaan, namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya berdasarkan pada keyakinan saja.Karena keyakinan hakim itu harus didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup (minimal dua)2

1. keterangan saksi, .

Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah :

2. keterangan ahli, 3. surat,

4. petunjuk,

5. keterangan terdakwa.

Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana, hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan

2

(14)

5

saksi.Meskipun yang dimintai keterangannya oleh hakim dalam persidangan adalah keterangan terdakwa, namun dalam hirarki alat-alat bukti yang sah keterangan saksi (terutama saksi korban) dianggap yang pertama, karena keterangan saksi adalah keterangan yang disampaikan oleh orang yang mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan dimuka sidang pengadilan. Dengan kata lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Lalu bagaimana jika saksi tidak dapat hadir kepersidangan untuk memberikan keterangan terhadap apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami? Karena saksi tidak dapat hadir ke persidangan untuk memberikan keterangan, maka keterangan saksi di penyidikan atau keterangan saksi dalam berita acara penyidikan kepolisian dibacakan di depan sidang. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kedudukan keterangan saksi di penyidikan yang dibacakan di depan sidang pengadilan itu sebagai alat bukti mengingat Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan.

(15)

keterangan di muka sidang pengadilan ia dapat dituntut dan diancam pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan untuk perkara pidana, dan dalam perkara lain diancam pidana selama 6 (enam) bulan, (Pasal 224 KUHP).

(16)

7

KUHAP memberikan alternatif terhadap permasalahan keterangan saksi di penyidikan agar menjadi alat bukti yang sah.Karena dalam praktik yang terjadi dalam peradilan, dimungkinkan saksi tidak dapat hadir dan memberikan keterangan langsung di hadapan majelis hakim.Maka terhadap hal seperti ini hakim dapat menjadikan keterangan saksi di penyidikan (keterangan dalam berita acara pemeriksaan) yang dibacakan di persidangan sebagai alat bukti yang sah.Untuk menjadikannya sebagai alat bukti, tentunya ada syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi tersebut menjadi alat bukti, yaitu keterangan saksi di penyidikan harus dilakukan di bawah sumpah.

Permasalahan seperti ini, telah dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Negeri Stabat yang memutus perkara dengan terdakwa Mbantu Sembiring dengan Nomor Register 752/Pid.B/2012/PN.Stb yang menjadi kasus dalam tulisan ini.

Penulis mencoba menyajikan pembahasan tentang bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, khususnya terhadap alat bukti keterangan saksi.Oleh karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul “Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi

(17)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah penerapan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana? 2. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam KUHAP? 3. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi dalam BAP kepolisian sebagai alat

bukti yang sah di persidangan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia; 2. untuk mengetahui bagaimana kedudukan saksi sebagai alat bukti dalam Kitab

Undang – Undang Hukum Acara Piadana;

3. untuk mengetahui kedudukan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian sebagai alat bukti yang sah di persidangan.

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

(18)

9

pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia terutama tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

2. secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai hukum pembuktian khususnya tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)” belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan kepustakaan

1. Pengertian saksi

(19)

dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi memiliki enam pengertian, yaitu :

a. saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian.

b. saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi.

c. saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.

d. saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui.

e. saksi diartikan sebagai bukti kebenaran.

f. saksi adalah orang yang dapat diberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri.3

Dalam Kamus Hukum, saksi diartikan sebagai seseorang yang mengalami, melihat sendiri, mendengar, merasakan sesuatu kejadian dalam perkara pidana.4

3 Eddy O.S. Hiriej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hal 55 4

Ibid, hal 56

(20)

11

2. Pengertian Penyidikan

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian

opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat

(Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan yaitu “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencarai serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”5

Penyidik yang dimaksud dalam defenisi penyidikan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) atau pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP). Sesuai dengan perumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, maka sasaran atau target tindakan penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/ jelas sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya.6

5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 120 6

HMA Kuffal, Op. Cit. hlm.53,

Disamping penyidik polri, penyidik pegawai negeri sipil, ada juga penyidik jaksa yang bertugas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.

(21)

a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. c. Pemeriksaan ditempat kejadian.

d. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. e. Penahanan sementara.

f. Penggeledahan.

g. Pemeriksaan atau interogasi.

h. Berita acara ( penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). i. Penyitaan.

j. Penyampingan perkara.

Sebelum dilakukan penyidikan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgai tindak pidana guna menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgaai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 5 KUHAP).

(22)

13

paksa lebih berhati-hati dan menghindarkan diri dari cara-cara yang menjurus kepada tindakan pemerasan pengakuan tersangka daripada upaya menemukan alat-alat bukti yang sah. Dengan demikian apakah akan dilakukannya penyidikan atau tidak terhadap suatu tindak pidana ditentukan oleh hasil penyelidikan.

Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberi pembuktian-pembuktian mengenai kesalahan yang dilakukannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyidik akan menghimpun keterangan sehubungan dengan fakta-fakta tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. 7

a. fakta tentang terjadinya suatu kejahatan

Keterangan-keterangan yang dihimpun tersebut adalah mengenai:

b. identitas dari korban

c. tempat diamana telah terjadi kejahatan d. bagaiamana kejahatan itu dilakukan e. waktu terjadinya kejahatan

f. apa yang menjadi motif, tujuan, serta niat, dan g. identitas pelaku kejahatan.

Dimulainya penyidikan adalah ketika digunakannya upaya paksa dalam rangka penyidikan suatu tindak pidana.Sejak saat telah dimulainya penyidikan itulah timbul kewajiban penyidik untuk memberitahukan tentang telah dimulainya suatu

7 Gerson W. Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita,

(23)

penyidikan atas suatu tindak pidana kepada penuntut umum.8

3. Pengertian Alat Bukti

Setelah disampaikannya pemberitahuannya kepada penuntut umum, maka dengan otomatis telah terjalin hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum.Tidak dapat dipungkiri, jaksa penuntut umum sangat butuh informasi-informasi dari hasil penyidikan untuk keperluan dakwaan bahkan sampai tahap tuntuan dalam persidangan.

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.9

Selain itu, alat bukti dapat didefenisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan.10

8 Harun M.Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, 1991, hal 104

9

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 11

10

Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, Hal 52

(24)

15

Andi Hamzah menyatakan alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atu dalam pidana perkara dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara pidana termasuk persangkaan dan sumpah.11

Menurut pendapat Colin Evansdalam konteks teori, wujud bukti dapat beraneka ragam seperti saksi mata, ahli, dokumen, sidik jari, DNA, dan lain sebagainya.Apa pun bentuknya, Colin Evans membagi bukti dalam dua kategori, yaitu bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (circumtantial

evidence). Kendatipun demikian, dalam konteks persidangan pengadilan tidak ada

pembedaan antara bukti langsung dan bukti tidak langsung, namun kekuatan pembuktian pembedaan tersebut cukup signifikan.Terkait dengan bukti langsung dan tidak langsung, Phyllis B. Gerstenfeld membedakan, bukti langsung adalah bukti yang cenderung menunjukkan keberadaan fakta tanpa bukti tambahan.Sementara itu, bukti tidak langsung adalah bukti yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan atas bukti tersebut.12

Alat bukti mempunyai peranan yang sangat penting dalam persidangan.Salah satu ketentuan dalam sistem hukum acara pidana di negara-negara modern sekarang ini, termasuk juga hukum acara pidana di Indonesia, bahwa untuk menghukum

11

Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 2

12

(25)

seseorang haruslah didasarkan pada adanya alat-alat bukti.Berdasarkan alat-alat bukti tersebut, hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan terdakwa dan menjatttuhkan hukuman (pidana) terhadapnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

F. Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.13Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.14

Sehubung

Februari 2014, pukul 13.30 WIB.

14Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 1984, hlm

(26)

17

dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif), dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka (library

research). Selain itu untuk mendukung data penulis juga menggunakan metode

penelitian empiris. Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara kepada hakim yang memberikan putusan dalam kasus ini.

2. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Penelitian skripsi ini menggunakan jenis data sekunder.Data sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.

b. Sumber Data

Sumber data sekunder ini mencakup tiga bahan hukum, yaitu :

1) Bahan hukum primer adalah bahan tulisan yang berupa undang-undang, di mana dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang Hukum Pidana.

(27)

3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus kamus bahasa dan kamus hukum yang relevan dengan skripsi ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian skripsi ini menggunakan analisis kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian dikaji sebgai suatu kesatuan yang utuh juga melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur-literatur yang berkenaan dengan materi skripsi.

4. Analisis Data

(28)

19

G. Sistematika Penulisan

Seluruh uraian yang ada dalam skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang akan memudahkan pembaca dalam membaca dan memahami isi skripsi ini.

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakng masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian, asas, dan tujuan dalam hukum acara pidana, pengertian hukum pembuktian, teori-teori pembuktian, macam-macam alat bukti menurut KUHAP, serta tujuan pembuktian.

BAB III: KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT

BUKTI

(29)

BAB IV: KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN

SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN

DALAM PUTUSAN NO.752/PID.B/2012/PN.STB

Bab ini diuraikan tentang kedudukan keterangan saksi dalam penyidikan yang dijadikan bukti yang sah dalam persidangan, serta pertimbangan hakim dalam menentukan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa pelaku tindak pidana pemerkosaan di Pengadilan Negeri Negeri Nomor 752/PID.B/2012/PN.STB

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

(30)

BAB II

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengertian, asas, dan tujuan hukum acara pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Istilah hukum acara pidana sudah tepat dibandingkan dengan istilah “ hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah

strafvordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah

strafprocesrecht yang padanannya acara pidana.Istilah itu dipakai menurut Menteri

Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undang-undang dibicarakan di Parlemen karena meliputi seluruh prosedur acara pidana.Istilah Inggris Criminal Procedure

Law lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering sudah

memasyarakat, maka tetap dipakai.Orang Prancis menamainya Code d’Instruction

Criminelle.Adapun istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal

Prosedure Rules.Dipakai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan saja

undang-undang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan.15

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No.8 Tahun 1981), tidak dijelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberi defenisi-defenisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan,

15

(31)

mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain (Pasal 1 KUHAP).

Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang hukum acara pidana, antara lain:

a. Mochtar Kusuma Atmaja mendefenisikan bahwa yang dimaksud hukum acara pidana adalah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut sebagai hukum acara pidana).

b. Wirjono Prodjodikoro memberikan defenisi hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

c. Andi. Hamzah menyatakan hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum pidana dalam arti luas. Hukum pidana dalam arti luas meliputi baik hukum pidana formal atau hukum acara pidana.

(32)

23

mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti dan bagaimana keputusan itu harus dijalankan. e. Simons mendefenisikan hukum acara pidana yang mengatur cara-cara negara

dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan pidana.

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.16

16 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1977,

hal 13

(33)

2. Asas-asas Hukum Acara Pidana

Dalam hukum acara pidana dikenal beberapa asas atau prinsip-prinsip hukum acara pidana, yaitu :

a. Asas Legalitas

(34)

25

b. Asas Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality

Before the Law)

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi; pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi; perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

c. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent)

Asas ini dapat dijumpai dalam penjelasan dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi : “setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

(35)

bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya.17

d. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum

Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum tersebut di mana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut :

1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. 2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

4) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. 5) Turunan berita acara akan diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna

kepentingan pembelaan.

6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/ terdakwa.

e. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP yang berbunyi, untuk keperluan sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai

17 Mohammad Taufik Makarao dan Suhansil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

(36)

27

kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) ,mengakibatkan batalnya putusan demi hukum .

Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak selayaknya proses jalannya sidang dipaparkan dan dipertontonkan di muka umum. Begitu juga dengan anak-anak, karena dalam persidangan jika persidangan itu terbuka untuk umum maka kemungkinan psikologis anak tersebut menjadi terganggu.Maka dari itu, terhadap kasus yang terdakwanya adalah seorang anak, hukum acara pidana tidak memberlakukan asas persidangan terbuka untuk umum.

Untuk dapat mengetahui suatu persidangan tidak terbuka untuk umum, maka persidangan dilakukan di ruang sidang yang tertutup.Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim.Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak dapat dibanding.18

Sifat terbuka untuk umum dari suatu proses pemeriksaan untuk umum dari suatu proses pemeriksaan perkara pidana tidak terletak pada dapatnya orang keluar masuk ruang sidang pengadilan, tetapi terletak pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan dapat dipertanggungjawabkan sedemikian rupa, sehingga the fair

administration of justice tidak menjadi terdesak karenanya. Persidangan terbuka demi

keadilan, hak seseorang atas persidanagan terbuka untuk umum tidak boleh

18

(37)

mengakibatkan bahwa hak seseorang untuk diadili secara terbuka berubah sifatnya menjadi ianya diadili oleh orang banyak (publik).19

f. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 dan KUHAP Pasal 195 tegas menyatakan: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.

Asas ini bertujuan agar proses persidangan berjalan dengan mudah. Karena, jika penerapan sidang ternyata mempersulit para pihak, maka persidangan bejalan tidak efektif dan bahkan dapat melanggar hak-hak dan kepentingan para pihak. Jika persidangan dilakukan dengan berbelit-belit, maka penyelesaian kasus akan berjalan lambat. Sudah pasti hak asasi tersangka dilanggar, karena tersangka/ terdakwa dihadapkan oleh rasa ketidakpastian yang berlarut-larut disebabkan sangkaan atau dakwaan yang didakwakan kepadanya tanpa suatu penyelesaian akhir. Dalam KUHAP, dapat kita lihat beberapa ketentuan sebagai penjabaran dari asas peradilan cepat, dalam Pasal 50 dinyatakan “tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan ke penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan.

19 Alvi Syahrin,SH.MS, Acara Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri, Fakultas

(38)

29

Asas sederhana artinya cara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berunah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka, dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana.

Biaya ringan dalam asas pengadilan adalah sedikitnya biaya yang dikeluarkan untuk pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan. Dalam hal ini tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar biaya yang diperlukan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh pencari keadilan. Pengadilan harus mempertanggungjawabkan uang tersebut kepada yang bersangkuta dengan mencantumkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.

g. Pemeriksaan hakim yang Langsung dan Lisan.

(39)

Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau putusan in

absentia.Tetapi ini merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara

pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP) dan dalam hukum acara pidana khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak pidana Korupsi.

3. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjtnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.20

Menurut Van Bemmelen dalam bukunya “Strafordering Leerbook Van Het

Nederlandsch Straf Procesrecht” (Undang-Undang di Belanda yang memuat tentang

Hukum Acara Pidana) bahwa yang terpenting dalam Hukum Acara Pidana adalah mencari dan memperoleh Kebenaran.Sementara itu , menurut doktrin ( pendapat para ahli Hukum) bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah :

20

(40)

31

1. Mencari dan menemukan kebenaran materiil; 2. Memperoleh putusan Hakim; dan

3. Melaksanakan putusan Hakim.21

Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), karena kemudian dilaksanakan oleh jaksa.22

Jadi, tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran, ini hanyalah merupakan tujuan antara.Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Jaksa kemudian mendakwakan pelaku suatu kejahatan hukum, dan kemudian meminta pemeriksaan dan putusan pemgadilan guna menemukan apakah bukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat dipersalahkan.

23

B. Pengertian Hukum Pembuktian

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengertian hukum pembuktian, terlebih dahulu akan dibahas istilah dari pembuktian. Hal ini penting untuk

21

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar Maju, Bandung, 1999, hal 15.

22Andi Hamzah, Op Cit, hal 9. 23

(41)

memahami pengertian dari bukti, pembuktian, dan hukum pembuktian. Berbagai istilah tersebut terdengar sama, tetapi ketiga hal tersebut berbeda.

Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti”, namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”.Kata evidence memiliki arti, yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.24

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. 25 Sementara itu membuktikan berarti memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti.26

24

Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, hal 2

25

Bambang Waluyo, Op Cit, hal 3

Menurut Van Bummelen adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang: a) apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi ; b) apa sebabnya demikian halnya.

26 http:/

(42)

33

Pengertian bukti, membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada umumnya.27

Menurut M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa.28

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/ ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang.Pembukian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan sesuai dengan prosedur/ cara-cara yang berlaku dalam hukum pembuktian.

29

27

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 11

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 273.

29

(43)

Lebih lanjut, Munir Fuady mendefenisikan hukum pembuktian itu sebagai suatu proses dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yakni penggunaan prosedur kewenangan hakim untuk menilai fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan untuk dapat dibuktikan kebenarannya.30

C. Teori - Teori Pembuktian

Makna hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan.

1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive wettelijk

bewijstheorie)

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian.Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk

bewijstheori).Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada

undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut teori pembuktian formal.Teori pembuktian

30 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisrpudensi Indonesia, Alumni,

(44)

35

formal ini bertujuan menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dam mengikat para hakim secara ketat menerapkan peraturan pembuktian undang-undang tersebut.Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksaan” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.31

Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman adalah sesuai dengan public

opinion.32

Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.33

2. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu.

Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu.Teori ini disebut juga conviction intime.Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa sementara ditentukan penilaian keyakianan hakim, kelemahan

31

M. Yahya Harahap, Op Cit,hal 278

32 H.P. Panggabean, Op Cit, hal 82 33

(45)

sistem ini adalah besar keyakianan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup.Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakianannya membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti.

Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.Sebaliknya walaupun kesalahan tetdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim.Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.34

Teori sistem pembuktian ini sudah digunakan dari dahulu.Pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum.35

3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (

conviction raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasakan keyakinan hakim sampai batas tertentu (conviction raisonnee).Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakianan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu

34 M. Yahya Harahap, Op Cit, hal 277 35

(46)

37

kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertenu.Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi

reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable” yakni

berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal.Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned.Sv. yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasrkan undang-undang negatif (negatief wettelijk).Hal ini tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sahia memperoleh keyakianan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.36

36

(47)

Dengan penerapan sistem ini, pemidanaan itu berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar peraturan hakim bersumber pada peraturan perundang-undangan.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.37

D. Macam - Macam Alat Bukti Menurut KUHAP

Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dssarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. strafvorderingyang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental.38

37Ibid, hal 257 38

Ibid, hal 258.

(48)

39

Ketentuan tentang alat bukti dalam KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dimaksud diantaranya adalah;

1. KETERANGAN SAKSI

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari penegtahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengadilan. Dengan perkataan lain hanya keterang saksi nyatkan di muka sidang yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).

2. KETERANGAN AHLI

(49)

umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan (sidang). Keterangan tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

Menurut Pasal 133 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban, baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman (kedokteran forensik) atau dokter dan atau ahli lainnya (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 179 KUHAP yang menyatakan “ Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP (halaman 62), keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi keterangan saja yang merupakan petunjuk.Yang disebut keterangan ahli adalah hanya keterangan ahli kedokteran kehakiamn untuk pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat.

(50)

41

sebgai ahli, asal saja acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu.39

3. SURAT

Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi, yang merupakan suatu kewajiban hukum. Jika seorang ahli menolak ketika ia telah dimintai untuk kepentingan penegakan hukum, maka dapat dipidana berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

Berbeda dengan keterangan saksi, keterangan ahli adalah tentag hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan berdasarkan keahliannya. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan “isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal itu.

Alat bukti surat menempati urutan ketiga dari alat-alat bukti lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Apabila alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli disebutkan pengertiannya dalam Pasal 1 KUHAP, maka tidak demikian dengan alat bukti yang berupa surat. Klasifikasi alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Bunyi Pasal 187 KUHAP secara lengkap adalah sebagai berikut:

39

(51)

“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.

Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah yakni surat resmi hanyalah yang diatur dalam Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP termasuk surat biasa, yang setiap hari dibuat oleh setiap orang. Tetapi selaras dengan bunyi Pasal 187 butir d tersebut, surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.40

Dalam hal surat-surat tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai alat bukti surat, surat-surat tersebut dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Akan tetapi, mengenai dapat atau tidaknya surat dijadikan alat bukti petunjuk, semuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

40

(52)

43

4. PETUNJUK

Petunjuk disebut alat bukti keempat dalam Pasal 184 KUHAP. Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan. Tegasnya, syarat-syarat petunjuk sebagai alat bukti harus mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Selain itu, keadaan-keadaan tersebut benrhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, atau keterangan terdakwa.

Adami Chazawi mengungkapkan persyaratan suatu peyunjuk adalah sebagai berikut :

(53)

b. Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.

c. Persesuaian yang demikian itu menandakan atau menunjukkan adanya dua hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk.

d. Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan asas minimum pembuktian yang diabstraksi dari Pasal 183 KUHAP, selayaknya petunjuk juga dihasilkan dari minimal dua alat bukti yang sah.41

Alat bukti petunjuk merupakan otoritas penuh dan subjektivitas hakim yang memeriksa perkara tersebut. Hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian sebagai suatu petunjuk haruslah menghubungkan alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya dan memiliki persesuaian antara satu sama lainnya. Oleh karena itu, alat bukti petunjuk ini baru digunakan dalam hal alat-alat bukti yang ada belum dapat meembentuk keyakinaan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukannya.

Perihal hakim belum mendapat keyakinan, ada tiga kemungkinaan, yakni: 1) pembuktian yang belum memenuhi syarat minimum, yakni dua alat bukti,

41

(54)

45

2) telah memenuhi minimum pembuktian, namun mengahasilkan masing-masing fakta yang berdiri sendiri. Jika demikian halnya, alat bukti petunjuk dapat memenuhi syarat minimum pembuktian, dan

3) alat bukti yang sah lebih dari cukup minimum pembuktian, namun belum meyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Dalam hal ini petunjuk digunakan untuk menambah keyakianan hakim.42

Dari perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian, atau keadaan-keadaan yang dijumpai oleh hakim di dalam keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa seperti itulah, KUHAP dapat membenarkan hakim membuat suatu pemikiran, atau lebih tepatnya hakim dapat membuat suatu konstruski untuk memandang suatu kenyataan sebagai terbukti.43

5. KETERANGAN TERDAKWA

Dalam penerapannya kepada hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan petunjuk.Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti (Pasal 188 ayat (3) KUHAP).

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa yang

42 Eddy O.S. Hieariej, Op Cit, hal 111 43

(55)

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP).

Melihat ketentuan Pasal 189 ayat (1), pada prinspinya keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu ternyata tidak mutlak, oleh karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.(Pasal 189 ayat (2).Jadi keterangna terdakwa yang diberikan diluar sidang tidak didukung dengan dua alat bukti yang sah, maka keterangan tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam sidang.

Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah :

a. keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;

(56)

47

E. Tujuan Pembuktian

Tujuan hukum acara pidana tidak lain adalah untuk menemukan kebenaran, yaitu kebenaran materil. Untuk mewujudkan tujuan itu, para komponen pelaksana peradilan terikat kepada alat-alat bukti, sistem pembuktian dan proses pembuktian yang telah diatur oleh perundang-undangan yang berlaku.

Dengan tidak mengenyampingkan tahap sebelumnya, pembuktian dapatlah dianggap proses yang sangat penting dan menentukan bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan, yakni bagi penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya serta hakim.

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alatr bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

(57)

Jika ketiga hal diatas dihubungkan denagn sistem pembuktian negartief wettelijke (dianut KUHAP), penting disimak pendapat Wirjono Prodjodikoro “Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelije) sebaikanya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinaan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan “ 44

Tujuan ketentuan yang mensyaratkan menimum alat bukti bagi hakim memperoleh keyakianan atas kesalahan terdakwa adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang ( penjelasan Pasal 183 KUHAP). Sebenarnya memang kebenaran, keadilan dan kepastian hukum merupakan tujuan pula dari proses pembuktian dalam peradilan pidana, yang identik denagn tujuan hukum acara pidana yaitu untuk menemukan kebenaran materil.

44

(58)

BAB III

KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI

Defenisi saksi dan keterangan saksi secara tegas diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keteranagn guna kepentingan penyidikan., penuntutan, dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,dan ia alami sendiri”.Sementara itu, Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

A. Syarat Sahnya Keterangan Saksi

Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang-kurangnya masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

(59)

1. Saksi harus mengucapkan sumpah.

2. Keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, di dengar sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya.

3. keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP.

4. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP.

5. Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadiaan atau keadaan dapat diguanakan sebagai suatu alat bukti.yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (4) dan (5).

6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

a) persesuain antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

(60)

51

d) cara hidup dan kesusilaaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipecaya.

Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

B. Jenis-jenis Saksi

Dalam KUHAP dikenal beberapa jenis saksi, yaitu : 1. Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa)

Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.45

Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa) dalam hal ini termasuk saksi korban merupakan salah satu alat bukti yang utama di dalam pembuktian peradilan pidana. Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana alat bukti yang pertama sekali diperiksa adalah saksi A Charge. Mengingat peranan dan fungsinya Dalam hal saksi yang meemberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara atau penuntut umum, selama berlangsungnya sidang atau belum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. (Pasal 160 ayat (1) c KUHAP).

45

(61)

yang sangat penting maka pemerintah menjamin hak dan kewajiban seorang saksi A

Charge dan memberikan perlindungan yang sebagaimana tealh diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi A Charge dapat dikatakan sah adalah :

a. Syarat formil:

1) Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP).

2) Seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sesudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah dapat memeberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap sebagai keterangan biasa (Pasal 171 butir a KUHAP).

b. Syarat materil :

1) Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana (Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP).

2) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiaannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

3) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa/ unus testis nullus tertis (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).

(62)

53

Saksi A De Charge, adalah saksi yang dipilih atau yang diajukan oleh Penuntut Umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. Ketentuan mengenai saksi A De Charge ini diatur dalam Pasal 116 ayat (3) KUHAP:

“Dalam pemeriksaan kepada tersangka ditanyakan apakah tersangka menghendaki saksi yang meringankan atau disebut sedengan saksi A De Charge dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara”.

Selain Pasal 116 ayat (3) KUHAP diatur juga dalam Pasal 65 KUHAP:

“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.

(63)

3. Saksi Korban

Saksi korban adalah saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan ataupun di depan penyidik, yang keterangannya itu diperoleh dari pengalaman saksi sendiri yang mengalami perbuatan atau tindak pidana yang merugikan dirinya.

4. Saksi Pelapor

Saksi pelapor adalah saksi yang memberikan keterangan di depan persidangan ataupun di depan penyidik berdasarkan suatu peristiwa yang di dengar ataupun yang dilihatnya sendiri.

5. Saksi Testimonium de Auditu(hearysay evidence)

Testimonium de auditu adalah kesaksian yang berisi keterangan yang

bersumber dari keterangan yang didapat atau didengar dari orang lain. Keterangan saksi yang demikian bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang mengatur tentang pengertian dari keterangan saksi, sehingga menurut M.Yahya Harahap tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

(64)

55

orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu (hearsay

evidence), patut tidak dipakai di Indonesia pula.46

Berhubung dengan tidak dicantumkannya pengamtan hakim sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk, yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada hakim.

Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakianan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.

47

6. Saksi Mahkota (Kroon Getuige; Croown Witness)

S.M Amin menolak kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti, ia mengatakan mengatakan, “ memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat didengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah”.Keterangan de auditu, rasanya lebih tepat, tidak diberi daya bukti, yang dapat dianggap mempunyai dasar kebenaran. Dalam keterangan demikian, hanyalah diceritakan keterangan-keterangan tersebut kepada saksi de auditu.

Saksi mahkota disalahartikan di Indonesia.Seakan-akan para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya dipisah dan kemudian bergantian menjadi

46 Andi Hamzah, Op Cit, hal 264 47

(65)

saksi, disebut saksi mahkota.Ini merupakan kekeliruan besar.Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta di dalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri, karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa atas perkara itu. Terdakwa tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik sumpah palsu.Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu. Jadi, bergantian menjadi saksi dari para terdakwa berarti mereka didorong untuk bersumpah palsu, k

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan putusan hakim nomor 253/Pid.B/2007/PN.SKa, keterangan saksi yang diberikan tidak mempengaruhi putusan yang dijatuhkan hakim karena keterangan saksi

Berdasarkan putusan hakim nomor 253/Pid.B/2007/PN.SKa, keterangan saksi yang diberikan tidak mempengaruhi putusan yang dijatuhkan hakim karena keterangan saksi yang

Implikasi putusan dari saksi yang tidak hadir dalam persidangan adalah putusan yang diberikan oleh Hakim terhadap terdakwa dalam putusan Hakim