• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM PADA SAAT PERSIDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM PADA SAAT PERSIDANGAN"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM

PADA SAAT PERSIDANGAN

Oleh Maria Hadivta

Keberadaan saksi mahkota tidak pernah disebutkan secara tegas dalam KUHAP namun Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang besifat penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukannya pemisahan (splitsing). Berdasarkan uraian tersebut penulis mengangkat permasalahan bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum dan mengapa saksi mahkota digunakan dalam peradilan pidana.

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan normatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder, dimana data sekunder terbagi atas beberapa bahan hukum yaitu Bahan Hukum Primer terdiri dari Undang-undang. Bahan hukum sekunder yaitu meliputi buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. Bahan hukum tersier meliputu kamus hukum, ensiklopedia dan bahan internet. Serta 1 orang Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sebagai Narasumber.

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum sering digunakan dalam tindak pidana penyertaan namun hal tersebut bertujuan untuk melihat beban pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, oleh sebab itu berkas perkara dilakukan dengan cara pemisahan (splitsing). Dalam hal pembuktian bagi saksi mahkota tidak diwajibkan untuk memeberikan sumpah agar terdakwa yang dijadikan saksi mahkota tidak memiliki tekanan psikis pada saat ia memberikan kesaksiannya.

(2)

pembuktian yang ia berikan, oleh sebab itu penggunaan saksi mahkota harus dihentikan karena tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

(3)

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mana kita ketahui dalam mencari dan mendapatkan kebenaran adalah suatu hal yang amat sulit karena berhubungan erat dengan cara pembuktian dari perkara atau peristiwa. Dalam hal ini Hukum Acara Pidana sebetulnya hanya dapat menunjukan jalan untuk mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dengan bukti yang ada untuk mewujudkan kebenaran yang materil. Agar ada kepastian hukum didalam hukum acara pidana diaturlah dengan tegas mengenai alat bukti yang sesuai.

Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang termasuk alat-alat bukti yang sah adalah:Keterangan Saksi, Keterangan ahli, Surat , Petunjuk, Keterangan Terdakwa.

Suatu pembuktian merupakan hal yang sangat penting bagi setiap pihak yang terlibat termasuk alat bukti yang berupa keterangan saksi. Saksi yang dalam istilah adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan. Penyelidikan, Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

(4)

saksi mahkota diperbolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan. Namun terkadang ada pihak-pihak yang berpendapat berbeda karena menurut pihak-pihak tersebut adanya keterangan saksi mahkota bertentangan dengan dengan hak asasi manusia dan rasa keadilan terdakwa.

Keberadaan saksi mahkota tidak pernah disebutkan secara tegas dalam KUHAP namun keberadaan saksi mahkota tetap dianggap penting untuk melakukan suatu pembuktian. Adanya putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989,1 adalah teman terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum dimana hal ini perkaranya dipisahkan dikarenakan kurangnya alat bukti. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang besifat penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukannya pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan ditingkat penyidikan. Selain itu munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena penuntut umum ingin melihat beban pertanggung jawaban yang dilakukan oleh masing-masing terdakwa.

Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP menyatakan bahwa jaksa adalah pejabat yang berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi terkadang Jaksa sebagai Penuntut Umum tidak dapat melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikarenakan kurangnya alat bukti.

1

(5)

Penunjukan saksi mahkota penuntut umum melakukan pemisahan berkas perkara dengan maksud agar Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing),2 serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggung jawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

Keberadaan saksi mahkota saat ini memang hanya digunakan jaksa penuntut umum sebagai alat untuk melihat seberapa besar pertanggung jawaban antar pelaku tindak pidana, walaupun keabsahan saksi mahkota bagi hakim masih kurang maksimal untuk diterima kesaksiannya namun saat ini untuk melakukan suatu pembelaan bagi terdakwa saat ini dikenal juga dengan istilah saksi kolabolator atau justice collabolator yang statusnya hampir sama dengan saksi mahkota namun kekuatan pembuktian dari saksi kolabolator ini lebih kuat dibandingkan dengan saksi mahkota karena memiliki kekutan hukum.

Justice collabolator memang istilah yang diadopsi dari sistem hukum common law, seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Di Indonesia istilahnya sesungguhnya adalah pelaku sekaligus pelapor yang diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Saksi Pelaku yang bekerjasama dapat didefinisikan sebagai orang yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan/atau mengembalikan

aset-2

(6)

aset/hasil suatu tindak pidana serius dan terorganisir dengan memberikan kesaksian dalam proses peradilan.3

Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Indonesia (SEMA) Nomor 04 tahun 2011, tanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators)di dalam perkara tindak pidana tertentu, Justice Collaborators adalah saksi yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian asset/ hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di Persidangan. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice collaborators) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Ihwal justice collaborators secara rinci diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003, Pasal 37 Ayat (2) menyebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman seorang pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan secara substansial. Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000). Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 dan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 telah pula meratifikasi Konvensi PBB Anti

3

(7)

Kejahatan Transnasional yang terorganisasi. Karena itu nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut selayaknya diadopsi dalam peraturan perundang-undangan sebagai langkah menghadapi darurat korupsi.4

Hal tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian Penulisan Hukum yang berjudul “ Tinjauan

Yuridis mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat

persidangan”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan ?

2. Mengapa diperlukan saksi mahkota dalam persidangan pidana pada kasus penyertaan? C. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan tersebut diatas, maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan.

D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

4

(8)

a. Untuk mengetahuikedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan ?

b. Untuk mengetahui mengapa diperlukannya saksi mahkota dalam kasus penyertaan?

E. Kegunaan Penulisan

kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Secara Teoritis, penelitian ini berguna sebagai bahan pustaka dalam mengadakan penelitian selanjutnya, serta sebagai bahan informasi dan bahan bacaan bagi pihak yang memerlukan.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai eksistensi kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan.

F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

(9)

Sebagai analisis dalam penulisan ini, penulis menggunakan teori pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatif Wettlijk Stelsel). Sistem pembuktian menurut Undang-undang-Undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction in time.6 Hasil

penggabungan kedua sistem tersebut mendapat rumusan yang berbunyi “salah tidaknya seorang

terdakwa ditentukan oleh ketentuan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.

Berdasarkan rumusan diatas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu disertakan dengan keyakinan hakim. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :

i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah

ii. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Kedua sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah satu atau

tidaknya terdakwa. Tidak ada yanng paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.

2. Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Teori Pembuktian yang objektif murni)

(10)

Teori ini dikenal juga dengan ajaran positif dan dianut oleh hakim gereja katolik serta terdapat pula dalam hukum Romawi. Teori pembuktian ini didasarkan pada perundang-undangan secara mutlak tanpa harus memperhatikan keyakinan menurut hati nurani seorang hakim. Hal ini mengakibatkan hakim sangat terikat oleh peraturan undang-undang serta alat-alat dan dasar pembuktian yang dinyatakan dan ditentukan oleh undang-undang.

3. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Teori Pembuktian yang subjektif murni)

Berbeda halnya dengan teori pembuktian yang positif atau objektif murni, maka dalam teori pembuktian yang subjektif murni seorang hakim diberikan kebebasan mutlak tanpa harus terikat oleh undang-undang. Berdasarkan teori ini yang ditekankan adalah keyakinan seorang hakim untuk menilai segala sesuatunya secara subyektif, yang terkadang mengeyampingkan yang telah ditentukan oleh undang-undang.

G. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diteliti atau ingin diketahui7

Agar lebih memahami lagi dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan beberapa definisi dari beberapa istilah yang digunakan antaralain:

1. Tinjauan adalah

1. Hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb) 2. Perbuatan meninjau8

7

(11)

Dalam kaitannya dengan judul skripsi yang ditulis mengenai ” Tinjauan yuridis mengenai

kedudukan saksi mahkota dihadapan Jaksa Penuntut Umum pada saat persidangan “, maka

tinjauan diartikan hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb).

2. Yuridis adalah Menurut hukum secara hukum9

3. Kedudukan adalah status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara, dan sebagainya) 4. Saksi Mahkota adalah Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau

Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana.10

5. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep.

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim

6. Sidang perkara pidana adalah serangkaiantindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas dan menurut cara yang diatur dalam Undangundang hukum pidana.

E .Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi secara keseluruhan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Pendahuluan

8

Tim Penyusun,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm.354. 9

Ibid., hlm.487. 10

(12)

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah dalam penulisan skripsi, sehingga dapat dirumuskan permasalahan serta ruang lingkup penulisan. Selain itu bab ini juga membahas tentang tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang pengertian, eksistensi mengenai kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan

III. Metode Penelitian

Bab ini dibahas tentang metode penelitian yang dilakukan guna menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Adapun langkah-langkah penelitian yang dilakukan sebagai berikut: pendekatan masalah; sumber data; populasi dan sampel pengumpulan dan pengolahan data; serta analisis data.

IV. Hasil dan Pembahasan

Dalam bab ini hasil penelitian akan diuraikan berupa analisis terhadap kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan

V. Penutup

(13)
(14)

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian 1. Pengertian Saksi

Berdasarkan tujuan pokok hukum acara pidana maka tujuan dari hukum acara pidana itu yaitu untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak boleh menjadi hakim sendiri. Maka kita dapat memahami secara jelas bahwa hukum acara pidana sangatlah penting mendapatkan atau mencari kebenaran guna mendapatkan keadilan.

Usaha untuk mencari titik terang terhadap dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana maka diperlukan bukti yang mendukung bahwa memang telah terjadi tindak pidana tersebut. Adapun bukti yang dimaksudkan disini adalah bukti yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap tindak pidana yang terjadi. Untuk bukti yang bersifat langsung diantaranya adalah dengan adanya korban yang jelas-jelas dirugikan baik kerugian jasmani maupun kerugian rohani yang dideritanya, sedangkan adanya saksi yang melihat, mengetahui atau mendengar sendiri telah terjadinya tindak pidana.1

Bukti tersebut diatas sangat membantu dalam usaha menyelesaikan suatu tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Salah satu dari alat bukti yang diperlukan tersebut tidak dipenuhi, maka akan terasa sulit bagi para penegak hukum untuk menyelesaikan kasus tindak pidana yang terjadi. Apabila suatu tindak pidana yang terjadi tidak dapat diselesaikan dalam kehidupan masyarakat berarti apa yang menjadi tujuan dari adanya hukum tidak pernah tercapainya yakni menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dan lebih khusus lagi

1

(15)

tujuan dari hukum acara pidana pun tidak akan tercapai suatu kebenaran materil atau kebenaran sejati (yang sebenar-benarnya) yang pada akhirnya akan tercapai keadilan yang dirasakan oleh semua pihak.

Pasal 1 butir 26 KUHP :

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri

Berdasarkan pengertian yang disebutkan oleh Pasal 1 butir 26 KUHP diatas diambil beberapa kesimpulan yang merupakan syarat-syarat dari saksi diantaranya :

1.Orang yang melihat atau menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tindak pidana.

2.Orang yang mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana

3.Orang yang mengalami sendiri dan atau orang yang langsung menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana

Pengertian diatas maka kita mendapatkan suatu kejelasan bahwa saksi didalam memberikan kesaksiannya di muka persidangan dapat secara langsung memberikan kesaksiannya pada saat persidangan.

B. Macam-macam Saksi

(16)

sebagai saksi diperlukan beberapa syarat-syarat tertentu,2 maka terhadap saksi tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Yang memberatkan (saksi A Charge)

Saksi ini merupakan saksi yang memberatkan tersangka, dimana keterangannya menguatkan tersangka melakukan tindak pidana yang sedang diperiksa.3 Saksi yang memberatkan ini biasanya diajukan oleh jaksa penuntut umum dan dicantumkan dalam surat dakwaannya, hal ini dilakukan oleh jaksa penuntut umum karena dalam persidangan dia harus dapat membuktikan akan segala sesuatu hal yang ia tuntut dari si pelaku tindak pidana tersebut sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai penuntut umum dipersidangan ia harus mampu meyakinkan hakim dengan bukti-bukti yang kuat bahwa benar telah terjadi peristiwa yang merugikan korban. Adapun saksi utama yang memberatkan yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum ini dapat saja saksi berperan penting bagi jaksa penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya terhadap terdakwa.

2. Yang meringankan(A de Charge)

Saksi yang meringankan bagi tersangka, atau saksi yang tidak menguatkan bahwa tersangka itu melakukan tindak pidana. Saksi yang meringankan ini biasanya diajukan oleh terdakwa (tersangka) atau penasehat hukum pada waktu sidang pengadilan. Pasal 65 KUHP mengatakan :

“ Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya”. Saksi a decharge dapat diajukan oleh tersangka pada penyidikan. Penuntut umum boleh mengajukan keberatan terhadap saksi-saksi a de charge yang diajukan dipersidangan dengan mengajukan

2

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Sumur,1977)., hlm.110.

3

(17)

keberatan terhadap saksi-saksi a de charge yang diajukan dipersidangan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Hakim dalam hal pegajuan saksi ini sangat berperan, dimana dia harus dapat menentukan saksi-saksi mana yang diperbolehkan untuk memberikan keterangan dipersidangan, seperti yang telah diatur dalam KUHP mulai pasal 159-179 tentang saksi.

3. Saksi Ahli

Pasal 1 butir 28 KUHP, bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suati perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Mengenai keterangan ahli ini diatur dalam KUHP pada Pasal 184 ayat (1) butir b dan keterangan ahli ini merupakan alat bukti tersendiri dalam hukum acara pidana. Keterangan ahli di dalam praktek di persidangan dapat diberikan secara langsung maksudnya ahli yang bersangkutan secara langsung memberikan keterangan dipersidangan atas permintaan hakim atau jaksa penuntut umum.

4. Saksi Mahkota

(18)

pernah dilakukan.bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.4

Pasal 55 ayat (1) KUHP:

Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

Pasal 55 ayat (1) diatas dinyatakan bahwa mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan

yang turut serta melakukan tindak pidana. Dengan kata lain bahwa kata “mareka” memiliki

makna lebih dari satu. Sehingga tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan oleh satu orang atau tunggal melainkan dua orang atau lebih. Dengan adannya pemisahan perkara inilah sering adanya yang disebut sebagai saksi mahkota dengan tujuan agar tidak tercampurnya berkas perkara antara saksi dan terdakwa.

Secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Dalam kaitannya dengan penilaian implementasi prinsip-prinsip fair trial maka ICCPR digunakan sebagai instrumen acuan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bahwa saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa,. Oleh karena itu, sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau bahkan hak absolut 4

(19)

untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi yang melekat sebagai akibat dari tidak diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangannya. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP dijelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki beban pembuktian, namun sebaliknya bahwa beban pembuktian untuk membuktikan keslahan terdakwa terletak pada pihak jaksa penuntut umum

2. Bahwa dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa akan dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 KUHPidana. Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan in casu kekerasan psikis ;

(20)

4. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 ;

5. Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :

“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not to be compelled to testify against

himself or to confess guilty.”

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya.

(21)

KUHAP sebagai instrumen hukum nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak asasi manusia internasional yang juga merupakan sumber acuan terhadap implementasi prinsip-prinsip peradilan yang adil(fair trial).

5. Saksi Kolabolator (Justice Collabolator)

Justice collabolator memang istilah yang diadopsi dari sistem hukum common law, seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Di Indonesia istilahnya sesungguhnya adalah pelaku sekaligus pelapor yang diatur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Saksi Pelaku yang bekerjasama dapat didefinisikan sebagai orang yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana serius dan terorganisir dengan memberikan kesaksian dalam proses peradilan.5

Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Indonesia (SEMA) Nomor 04 tahun 2011, tanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators)di dalam perkara tindak pidana tertentu, Justice Collaborators adalah saksi yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian asset/ hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di Persidangan. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice collaborators) adalah yang bersangkutan merupakan salah

5

(22)

satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

C. Teori Pembuktian Sistem Pembuktian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

1. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang

didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.6Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.

2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktianConvition In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan,

6

(23)

meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan -alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

(24)

4. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljikada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat).Oleh karena itu, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut Undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.

(25)

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sedangkan dalam Pasal 1ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan.

Jabatan fungsional jaksa merupakan jabatan yang bersifat organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Adapun tugas dan wewenang Jaksa menurut Pasal 1 butir 6 huruf a KUHP menyatakan bahwa :

“ Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntutut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap”.

Rumusan dalam Pasal 1 butir 6 huruf a tersebut sama dengan rumusan yang terdapat pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Jaksa mempunyai tugas pokok sebagai berikut:

a. Melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana.

(26)

Tugas dan wewenang jaksa dinyatakan dalam Pasal 27 sampai 31 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yakni sebagai berikut

Pasal 27 menyatakan :

1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana.

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat.

d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan.

Sedangkan Jaksa yang sedang melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana atau Jaksa Penuntut Umum mempunyai wewenang sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 14 KUHAP yang mnyatakan sebagai berikut:

Penuntut Umum mempunyai wewenang:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu. b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

(27)

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkataannya dilimpahkan oleh penyidik.

d. Membuat surat dakwaan.

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada tterdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

g. Melakukan penuntutan.

h. Menutup perkara demi kepentingan umum. i. Melaksanakan penetapan hakim

E. Pemeriksaan Saksi

1. Pemeriksaan Saksi pada Tahap penyidikan

Apabila penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana telah terjadi baik diketahuinya melalui laporan, pengaduan, tertangkap tangan, maupun diketahui sendiri oleh penyidik, maka dalam hal ini petugas kejadian perkara untuk mengumpulkan bukti-bukti yang cukup dan dianggap ada kaitannya dengan tindak pidana yang telah terjadi.

(28)

keterangan yang tidak benar apa yang sesungguhnya ia dengar, lihat dan ketahui sendiri. Keterangan saksi yang diberikann di luar persidangan tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah, sebab telah dinyatakan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah apabila dinyatakan di sidang pengadilan.

Dalam hal ini keterangan saksi tersebut hanya merupakan dasar untuk pemeriksaan selanjutnya dipersidangan. Memeriksa atau meminta keterangan saksi-saksi tersebut dipanggil oleh pejabat penyidik yang berwenang, jika saksi yang dipanggil itu tidak datang dengan alasan yang dapat diterima, maka pemeriksaan dapat diundur waktunya. Menurut Pasal 112 KUHAP penyidik yang melakukan pemeriksaan dengan menyebutkan alasan pemanggilan yang jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan itu. Orang yang dipanggil wajib datang pada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Surat penggilan yang sah artinya surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang. Jikalau seorang atau saksi yang dipanggil memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, maka penyidik itu harus datang ketempat kediamannya (Pasal 113 KUHAP). Tetapi jika saksi telah dipanggil secara sah tidak datang dengan alasan yang tidak dapat diterima, maka saksi tersebut dapat dipidana menurut Pasal 224 KUHAP menyatakan barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan Undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan Undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

(29)

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Pemeriksaan saksi pada waktu penyidikan (diluar sidang persidangan) adalah tidak disumpah, jadi saksi yang disumpah adalah saksi yang disebabkan oleh hal-hal tertentu (seperti tempat tinggal saksi yang jauh atau saksi lanjut usia) dalam memberikan keterangannya, harus disumpah terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan saksi yang tidak disumpah adalah saksi yang mudah untuk dihubungi masih mungkin untuk dimintai keterangan sewaktu-waktu. Keadaan seperti i ni terjadi pada tahap penyidikan berlangung.

Yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.7

7

(30)

2. Pemeriksaan Saksi pada Tahap Persidangan

Penyidikan merupakan awal dari proses peradilan pidana. Tujuan penyidikan adalah guna mencari titik terang dari tindak pidana yang terjadi yakni siapa pelaku dari tindak pidana tersebut. Setelah jelas peristiwa yang terjadi adalah tindak pidana dan jelas siapa pelaku serta didukung oleh bukti-bukti yang kuat kearah terjadinya tindak pidana dan jelas siapa pelaku serta didukung oleh bukti-bukti yang kuat kearah terjadinya tindak pidana tersebut barulah penyidik melimpahkan tugasnya kepada jaksa penuntut umum untuk dilanjutkan kepersidangan. Antara apenyidikan dan penuntutan mempunyai hubungan yang erat dimana berhasil atau tudaknya penuntutan disidang pengadilan tidak terlepas dari hasil penyidikan, karena kalau hasil penyidikan tidak menyakinkanadanya tindak pidana, maka penuntut juga tidak berhasil dilakukan. Penuntutan menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP adalah tidakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cra yang diatur menurut Undang-undang ini dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

(31)

penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan telah lengkap dan dilakukan penuntutan, maka ia dapat melimpahkan perkara ke pengadilan negeri, dengan permintaan agar segera diadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Hal ini diatur dalam Pasal 139 KUHP. Pidana dapat dibedakan 3 macam :

a. Perkara biasa, yang diatur dalam Pasal 152-202 KUHAP, dimana pelimpahan perkara ke pengadilan dilakukan oleh penuntut umum dengan surat pelimpahan disertai surat dakwaan. Perkara yang diperiksa secra biasa yaitu perkara yang sulit pembuktian dan penerapan hukumnya.

b. Perkara singkat, yang diatur dalam Pasal 203-204 KUHAP, adlah perkara kejahatan ataupun pelanggaran yang tidak termasuk tindak pidan ringan yang menurut penuntut umum pembuktian dan penerapan hukumnya mudah serta sifatnya sederhana. Dalam perkara ini penuntut umum pembuktian dan penerapan hukumnya mudah serta sifatnya sederhana. Dalam perkara ini penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi ahli, juru bahasa dan barang-barang bukti. Tidak pidana yang didakwakan diberitahu dengan lisan kepada terdakwa atau penasehat hukum.

c. Perkara cepat, yang diatur dalam pasal 205-210 KUHAP, yaitu mengenai penjara/kurungan maksimum tiga bulan dan atau denda Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan.

(32)

diperlukan, maka untuk pertama kalinya terdakwa dipanggil masuk untuk mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum setelah sebelumnya identitas terdakwa dibacakan oleh hkim yang bersangkutan. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan terhadap para saksi yang ada yang akan memberikan keterangan di sidang pengadilan, yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi (Pasal 160 ayat (1) butir (b) KUHAP).

(33)

III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat, menelaah hukum serta hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin, peraturan hukum yang berkenaan dengan masalah kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan.

Pendekatan yuruidis empiris merupakan pendekatan terhadap masalah dengan melihat keabsahan kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota jika dihubungkan dengan ketentuan dalam KUHAP merupakan langkah utama untuk mendapatkan hasil penelitian sesuai dengan apa yang diinginkan.

Adapun bentuk dari penelitian ini adalah berbentuk deksriptis, artinya suatu bentuk penelitian

dimana penulis memaparkan atau menjelaskan dari suatu masalah yang telah penulis

identifikasikan sebelumnya dengan memberikan jawaban yang relevan terhadap masalah tersebut

secara jelas. Pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran yang jelas mengenai gejala dan objek yang akan diteliti.

(34)

Dalam melakukan penelitian dengan menemukan data baik data sekunder maupun primer. Data sekunder dan primer ini didapat dari penelitian pustaka dan lapangan.

1. Data Primer

Data yang langsung dari lapangan dari pemberi data atau orang yang berhubungan langsung dengan objek penelitian lapangan berupa peraturan saksi-saksi dengan mengadakan wawancara dengan mengadakan wawancara langsung pada saksi persidangan pidana

2. Data Sekunder

Data yang tidak langsung diperoleh dari lapangan, tetapi diperoleh dari studi pustaka. Studi pustaka ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti: 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 3. Undang-undang Saksi dan Korban Tahun 2010

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa bahan hukum yang meliputi peraturan pelaksanaan, Kepres dan Peraturan Pemerintah.

c. Bahan Hukum Tersier

(35)

bahan analisa terhadap penerapan kebijakan hukum dilapangan, seperti hasil penelitian, buletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Hukum Pidana pada Universitas Lampung. Untuk membantu penulis dalam hal melakukan penelitian, maka penarikan sampel dilakukan. Prosedur sampeling dalam penelitian ini menggunakan metode proposional sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penulis yang telah ditetapkan. Berdasarkan metodeproposional sampling, maka responden ditentukan sebagai berikut:

1. Jaksa Penuntut Umum : 1 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana : 1 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data yang ditempuh prosedur sebagai berikut, yaitu:

(36)

Studi pustaka dilakukan dengan cara membaca, mencatat, mengutip hal-hal penting terhadap beberapa buku literatur, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi pembahasan

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara (interview) adalah usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk menjawab secara lisan pula. Wawancara akan dilakukan terhadap seluruh responden. Penulis akan melakukan wawancara dengan pertanyaan secara mendalam, dalam hal ini penulis menggunakan pedoman wawancara agar masalah dapat terjawab.

2. Pengolahan Data

Data yang terkumpul baik dari pustakaan maupun dari lapangan kemudian diperoses, diteliti dan disusun kembali secara seksama, dengan cara: editing, sistematis dan evaluasi. Hal ini dilakukan untuk menyatakan apakah terdapat kesalahan-kesalahan dan kekeliruan serta belum lengkap dan sebagainya. Setelah data dipandang cukup baik dan lengkap, maka data tersebut diklarifikasikan dan disusun secara sistematis menurut bidang klasifikasi masing-masing dan diperiksa serta dipersiapkan untuk dianalisa. Dengan tujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan.

E. Analisis Data

(37)
(38)

V.PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis menyimpulkan bahwa :

1. Kedudukan saksi mahkota dihadapan jaksa penuntut umum pada saat persidangan memang diakui namun tidak ada ketentuan hukum secara tertulis, penuntut umum menggunakan saksi mahkota dalam tindak pidana penyertaan bertujuan untuk melihat seberapa besar pertanggung jawaban yang dilakukan oleh para pelaku oleh sebab itu dalam tindak pidana ini dilakukanlah pemisahan berkas atau splitsing, agar kedudukan dari saksi mahkota dan kedudukan sebagai terdakwa tidak ada kerancuan dalam persidangan.Dalam hal pembuktian saksi mahkota tidak diwajibkan untuk memberikan sumpah karena dalam mengingat status saksi mahkota sendiri adalah sebagai terdakwa oleh sebab itu untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti misalnya tekanan psikis dari diri terdakwa karena ia takut jika memberikan kesaksian ia akan diancam oleh terdakwa lain, karena itulah dalam kesaksiannya saksi mahkota tidak diwajibkan untuk memberikan sumpah. Walaupun terkadang hakim menolak diadakannya saksi mahkota namun penuntut umum menggunakan saksi mahkota hanyalah untuk mempermudah dalam pengungkapan suatu tindak pidana walaupun penggunaan saksi mahkota juga terkadang tidak sesuai dengan hak asasi manusia karena terdakwa yang dijadikan saksi mahkota biasanya memiliki tekanan psikis dikarenakan meraka harus melakukan pengakuan yang pengakuanya nanti dapat menjerumuskan diri mereka sendiri.

(39)

perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara berjamaah. Dalam konteks ini, kemudian muncul istilah saksi mahkota. Dimana Terdakwa menjadi saksi bagi Terdakwa lainnya yang pokok perkaranya sama karena tindak pidana dilakukan secara berjamaah. Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasic yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide

pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ juga melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional ( International Covenant on Civil and Political Right).

A. Saran

(40)
(41)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM

PADA SAAT PERSIDANGAN Skripsi

Oleh

Maria Hadivta

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(42)
(43)

DAFTAR ISI

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

(44)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden ... 38 B. Kedudukan Saksi Mahkota dihadapan Jaksa Penuntut Umum Pada Saat

Persidangan ... 39

C. Saksi Mahkota digunakan Dalam Peradilan Pidana Pada Tindak Pidana Penyertaan... 50

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 62 B. Saran ... 64

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. 2001.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta

Nasution, A. Karim. 1975.Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana. Politea. Jakarta.

Loqman.Loebby. 1995.Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, Jakarta

Prakoso, Djoko. 1988.Pemecahan Perkara Pidana (Spilitsing). Liberty. Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wiryono. 1977. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur. Bandung

✁✂✄✂☎✆ ✝✂ ✞✟✂ ✠✡☛✂☎ ☞ ✡✌✍✎ ✏✄✡✑ ✂ ✞✒ ✓✓ ✔,✕u✖✗u ✘✙✗ ✚ut✛✜ ✢✣ ✜✤ ✜✗ ✘✙✥ ✖✜✥ ✜✘✛✣ ✜ ✢✜, utu✖ ✦✜✧✜ssw✜✣✜ ✢✘✥ ✜✖✛ts, ★✂☎ ☛✂✠★✂✩ ✪, ✫✂☎ ☛✪☎✆.

Soesilo, R. 1982.Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum).Politea Bogor.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Solahuddin. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, dan Perdata, Trans Media, Jakarta.

Tim Penyusun. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik

Indonesia. Karina. Surabaya.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Fokus Media, Bandung, 2010.

(46)

✬✭✮ ✯✭ ✰✱ ✯✲ ✭✳✴✵ ✶✷✵ ✸✭ ✰✮ ✭✳✭ ✰✹ ✭✺✻✭✼✯✽ ✯✶, ✾✿ ❀❀,❁❂❃ ❄❅❆ ❇❆ ❈❉ ❆u t❂ ❃❊❉ ❇ ❉ ❋●❉ ❍❅s❁❂ ❄❉ ❍u

y

❉ ❆ ❈ B❂❍❂ ❃ ■❉s❉ ❏❉ (Ju❅ ❑❂st C▲ ❄❄❉ ▼ ▲ ❃❉▲ ❃t s), su❄❉ ❆ ❇❉ ❄❉ ❏ ❖❉❆ ❈❍❉ ❖❂P❅❅s ◆ ◆ ❁❂ ❃ ❄❅ ❆❇❆ ❈❉❆u ● ❉ ❍❅s❇ ❉ ❆◗▲ ❃▼ ❉ ❆ (❘❇ ❅❅s❖❂P❅❅s), ✬✭✮✲ ✭✳✹ ✴ ✼, ❙✭ ✽✭ ✸✮ ✭❚

✬ ✯✸✭✮ Edaran Mahkamah Agung Indonesia (SEMA) Nomor 04 tahun 2011, tanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (❯❊ ❅st❄❂▼ ❄▲w❂ ❃) dan saksi pelaku yang bekerjasama (❱❅❑❂ust C▲ ❄❄❉ ▼ ▲ ❃❉▲ ❃t s) di dalam perkara tindak pidana tertentu.

http ://www.hukumonline.com/ detail.asp? id= 18013 &cl =Fokus

(47)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM

PADA SAAT PERSIDANGAN

Oleh

Maria Hadivta

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(48)

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA

DIHADAPAN JAKSA PENUNTUT UMUM PADA SAAT PERSIDANGAN

Nama Mahasiswa : Maria Hadivta No. Pokok Mahasiswa : 0912011046

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto DM, S.H.,M.H Diah Gustiniati Maulani,S.H.,M.H NIP 19541112 1986031 003 NIP 196208171987032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(49)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua: Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H ...

Sekretaris/Anggota: Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H ...

Penguji Utama: Dr. Maroni. S.H., M.H ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H.,M.S NIP 19621109 1987031 003

(50)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi Lampung Utara pada tanggal 20 Mei 1991, merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Makmun Yusuf dan Ibu Erna Dewi.

(51)

MOTTO

Teruslah mencoba

sampai suatu saat kau membuat kejutan besar

dan semua orang akan mengenalmu

(kevin keegan)

Jadikanlah kekecewaan masalalu

menjadi senjata sukses dimasa depan

jika salah, Perbaiki.

Jika gagal, Coba lagi.

Tapi jika kamu menyerah,

(52)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugrahi kesempatan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :“Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Saksi Mahkota Dihadapan Jaksa Penuntut Umum Pada Saat Persidangan”. Shalawat serta salam untuk Nabi Besar Muhammad SAW yang kita harapkan syafaatnya.

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung 2. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H.,M.H. Sebagai Pembimbing I dan Pembantu Rektor III

Universitas Lampung atas bimbingan dan dorongan semangat yang selalu diberikan kepada penulis

3. Ibu Diah Gustiniyati, S.H.,M.H. sebagai Pembimbing II dan Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H. sebagai Pembahas I yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan penulisan skripsi

5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H.,M.H. sebagai Pembahas II yang telah memberikan saran dan kritik dalam perbaikan skripsi ini

6. Bapak Erwin Arifin, S.H.,M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan ilmu dan membimbing selama kuliah

(53)

8. Bapak Heru Widjatmiko, S.H.,M.H Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Lampung dan Paman bagi penulis yang telah memberikan ilmu dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini

9. Bapak dan ibu atas do’a dan segala usaha hingga penulis berhasil, Maya Novita adikku tercinta yang selalu memberikan dukungan

10. Keluarga besar M.Yusuf Somad dan Keluarga besar H. Harunsyah, yang telah

memberikan dukungan dan do’a

11. Rio Riswanto, A.md atas dukungan dan doanya selama ini dari awal hingga akhir penulis menyelesaikan kuliah, dan untuk seseorang yang akan mendampingiku kelak

12. My best friend dari Ospek sampai Kompre Helda Novriliana, S.H., Trie Zaskia C P,S.H, Vika Trisanti, S.H, Indah Puspitarani,S.H, Chandra Evita, S.H

13. Teman-teman seperjuangan 09, Danar Oktaria PS, S.H, anis, icha, nisa, irmalia, meria, elsa, clara, acil, saskia dll

14. Teman-teman KKN Sidik, Bayu, Ramadona, Anan, Azhan, Kiki, Erma, Rara, Maulina, Dian, Maftuha, Nuzul, Fiqih, Lisa

15.Tika, Anggun “mambo”, mute anak-anak kostan fitrinof tercinta

Penulis mengucapkan terimakasih atas segala bantuan baik moril maupun materil dan meminta maaf apabila selama ini penulis telah melakukan kesalahan. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(54)

Penulis

Referensi

Dokumen terkait

kesehatan kerangka tubuh Menjelaskan cara pemeliharaan rangka manusia Pilihan ganda. Esay

Dari pernyataan tersebut di atas, sikap yang harus dimiliki sebagai bangsa yang bermartabat dan memiliki jati diri yang luhur, di antaranya sebagai berikut…. Salah satu cara

The findings show that Javanese cultural values, including loyalty to the top level of the hierarchy, obedience to superiors and the de- sire for conflict avoidance

The similarity between the previous researchers with the research analyzed by the writer is discussing about translation framework based on the pragmatic

Pada bulan basah kelapa sawit tidak dapat menyerap hara yang diberikan melalui. pemupukan dengan baik karena terjadi pencucian oleh aliran permukaan

Katup isap berfungsi memasukkan udara segar untuk mesin diesel atau campuran bahan bakar dengan udara untuk motor bensin ke dalam silinder, sedangkan katup buang berfungsi

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta petunjuk dalam menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Peran Ibu

Rock progresif (sering disingkat menjadi prog atau prog rock ) adalah bentuk musik rock yang berkembang pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an sebagai bagian dari upaya