• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

MAMAH SITI ROHMAH 08.2.00.1.12.08.0048

PEMBIMBING

PROF. DR. DEDE ROSYADA, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Mamah Siti Rohmah NIM : 08.2.00.1.12.08.0048 Konsentrasi : Pendidikan Islam Status Program : Non Reguler

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang berjudul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI” adalah benar-benar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 13 Agustus 2010 Yang Membuat Pernyataan

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI” yang ditulis oleh Mamah Siti Rohmah dengan Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0048 pada Konsentrasi Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian Tesis.

Jakarta, 13 Agustus 2010 Pembimbing,

Prof. DR. Dede Rosyada, MA

(4)

iv

PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI

Tesis yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Dalam Setting Pendidikan Inklusi”, yang ditulis oleh Mamah Siti Rohmah, NIM: 08.2.00.1.12.08.0048, telah diujikan dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 30 Agustus 2010, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dari Dewan Penguji. Selanjutnya tesis dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister.

Jakarta, 26 September 2010 Dewan Penguji:

1. Dr. Udjang Tholib, MA ………. Ketua/Merangkap Penguji Tanggal………

2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA ………..

Pembimbing/Merangkap Penguji Tanggal……….

3. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA ………. Penguji Tanggal.………....

(5)

v

ABSTRAK

Penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi adalah model pembelajaran berbasis kompetensi anak dengan mengembangkan lingkungan belajar secara terpadu antara prinsip-prinsip umum dan khusus dalam pembelajarannya.

Ada dua pendapat tentang model pembelajaran untuk anak yang berkebutuhan khusus yaitu:

Pertama, mempertahankan penyediaan model pendidikan dengan alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara khusus dan terpisah dari siswa lain yang normal. Pendapat ini dikemukakan oleh Evelyn Deno dan Kauffman. Kedua, menyetujui model pembelajaran dengan penempatan anak berkebutuhan khusus dalam satu tempat bersama-sama anak normal lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Stainback dan Stainback, Staub dan Peck, Sapon-Shevin, dan Bandi Delphie.

Posisi tesis ini adalah menolak pendapat pertama dan memperkuat pendapat kedua. Untuk memperkuat posisi tesis ini diajukan argumentasi berikut: Pertama, pendidikan Inklusi yang mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya, merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua. Kedua, penempatan anak berkebutuhan khusus di sekolah regular bersama anak-anak normal lainnya dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang pada akhirnya akan memudahkan mereka untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Ketiga, pemberian hak pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus akan lebih optimal terlayani di sekolah inklusi untuk membantu mereka mengembangkan potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi ruh dan al-fitrah yang mereka miliki.

(6)

vi

ABSTRACT

This research has found evidences that learning model of Islamic education for student with special need in the inclusion school is a learning model using competence-based learning by the support of environmental development which has been conducted integrally between general and specific principle in the learning process.

There are two opinions concerning learning model for student with special need, as follows:

Firstly, maintaining learning model by providing alternative placement for student with special need in a different place which is separated from normal students. This opinion is conveyed by Evelyn Deno and Kauffman. Secondly, accepting learning model by placement student with special need in one place together with normal students. This opinion is said by Stainback and Stainback, Staub and Peck, Sapon-Shevin and Bandi Delphie.

The position of this thesis is rejecting the first opinion and strengthening the second opinion. In order to support this thesis, I argue, firstly, that inclusive learning which accommodates all students without considering their physical condition, intellectual, social, emotional, linguistic and other conditions, is an effective way to eliminate discrimination, creating a warm-relation society, building inclusive community, and encouriging education for all. Secondly, placement for student with special need in regular school with other normal student able to fostering their self-confidence which will enable them to develop their potency. Thirdly, personal right to acquire religious education for student with special need will be served more optimally in the inclusion school to help them in developing their spiritual potency from their internal nature of spirit.

(7)

vii

ﺚﺤﺒﻟﺍ

ﺺﺨﻠ

ﺪﻳﺃ

ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻠﻟ

ﺔﻴﻣﻼﺳﻹﺍ

ﺔﻴﺑﺮﺘﻟﺍ

ﺲﻳﺭﺪﺗ

ﺝﺫﻮﳕ

ﻥﺃ

ﺚﺤﺒﻟﺍ

ﺍﺬﻫ

ﻰﻠﻣﺎﺸﻟﺍ

inklusi

)

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍﻭ

ﺕﺎﻫﺎﻌﻟﺍ

ﻱﻭﺫ

ﲑﻏ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﲔﺑ

ﺖﻄﹼﻠﺧ

ﱵﻟﺍ

ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ

ﻲﻫﻭ

ﻞﺼﻔﻟﺍ

ﺲﻔﻧ

(

ﳌﺍ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﺓﺀﺎﻔﻛ

ﻰﻠﻋ

ﺲﺳﺆﳌﺍ

ﺲﻳﺭﺪﺘﻟﺍ

ﺝﺫﻮﳕ

ﻮﻫ

ﲔﺑ

ﺓﺪﺣﻮﳌﺍ

ﻢﻴﻠﻌﺘﻟﺍ

ﺔﺌﻴﺑ

ﺮﻳﻮﻄﺘﺑ

ﺓﺪﻳﺆ

ﺔﺻﺎﳋﺍﻭ

ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ

ﺲﺳﻷﺍ

.

ﺎﳘ

،ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﺔﻴﺑﺮﺗ

ﺔﻴﻔﻴﻛ

ﻥﺎﻳﺃﺭ

ﻙﺎﻨﻫ

:

ﻻﻭﺃ

:

ﻱﻭﺫ

ﲑﻏ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﻦﻋ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﲔﺑ

ﻕﺮﻓ

ﻱﺬﻟﺍ

ﺔﻴﺑﺮﺘﻟﺍ

ﺝﺫﻮﳕ

ﺪﻘﻋ

ﻦﻋ

ﻉﺎﻓﺪﻟﺍ

ﻞﻘﺘﺴﻣ

ﻞﺼﻓ

ﺕﺎﻫﺎﻌﻟﺍ

.

ﻟﺍ

ﺍﺬﻫ

ﱃﺇ

ﺐﻫﺫ

ﻦﻣ

ﻞﻛ

ﻱﺃﺮ

"

ﻮﻨﻳﺩ

ﲔﻠﺑﺇ

"

Evelyn Deno

"

ﻥﺎﻤﻓﻮﻛ

"

Kauffman

.

ﺎﻴﻧﺎﺛ

:

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍﻭ

ﺕﺎﻫﺎﻌﻟﺍ

ﻱﻭﺫ

ﲑﻏ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﻂﻠﺧ

ﺪﻳﺆﻳ

ﻱﺬﻟﺍ

ﻱﺃﺮﻟﺍ

ﺪﺣﺍﻭ

ﻞﺼﻓ

.

ﻦﻣ

ﻞﻛ

ﻱﺃﺮﻟﺍ

ﺍﺬﻫ

ﻡﺪﻗ

"

ﻙﺎﺑ

ﻦﻳﺎﺘﺳ

"

St ainback

،

"

ﺏﻭﺎﺘﺳ

"

St aub

،

"

ﻚﻴﻓ

"

Peck

،

"

ﻥﻮﻓﺎﺳ

-ﲔﻔﻴﺳ

"

Sapon

-

Shevin

،

"

ﻲﻔﻠﻳﺩ

ﻱﺪﻧﺎ

"

Bandi Delphie

.

ﻲﻫﻭ

ﺔﻟﺩﻷﺍ

ﺓﺪﻌﺑ

ﱐﺎﺜﻟﺍ

ﻱﺃﺮﻟﺍ

ﻊﻓﺍﺪﺗﻭ

ﻝﻭﻷﺍ

ﻱﺃﺮﻟﺍ

ﺔﻳﺮﺘﺴﺟﺎﳌﺍ

ﺔﻟﺎﺳﺮﻟﺍ

ﻩﺬﻫ

ﺖﻀﻓﺭ

:

ﻡﺎﻈﻨﻟﺍ

ﻥﺃ

،ﻻﻭﺃ

،ﺔﻴﻋﺎﻤﺘﺟﻹﺍ

،ﺔﻴﻤﻠﻌﻟﺍ

،ﺔﻳﺪﺴﳉﺍ

ﻢﻬﺘﻟﺎﺣ

ﻦﻋ

ﺮﻈﻨﻟﺍ

ﺾﻐﺑ

ﺀﺍﻮﺴﻟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﻞﻣﺎﻌﻳ

ﻱﺬﻟﺍ

ﻱﻮﺑﺮﺘﻟﺍ

ﻀﻘﻠﻟ

ﻝﺎﻌﻔﻟﺍ

ﻡﺎﻈﻨﻟﺍ

ﻮﻫ

ﺔﻳﻮﻐﻠﻟﺍﻭ

،ﺔﻴﻟﺎﻌﻔﻧﻹﺍﻭ

ﻊﻤﺘ

ﻉﺍﺪﺑﺇﻭ

،

ﻴﻴﻤﺘﻟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﺀﺎ

ﻮﻟ

ﳌﺍ

ﺀﺎﻨﺑﻭ

،ﻢﻴﻤ

ﻊﻤﺘ

ﺘﻔﻨﳌﺍ

ﻊﻴﻤ

ﻠﻟ

ﺔﻴﺑﺮﺘﻟﺍ

ﺇﻭ

،

.

ﲑﻏ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﻊﻣ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﻂﻠﺧ

ﻥﺃ

،ﺎﻴﻧﺎﺛ

ﺀﻮﺸﻧ

ﺪﻋﺎﺴﻳ

ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ

ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ

ﺕﺎﻫﺎﻌﻟﺍ

ﻱﻭﺫ

ﻮﳕﻭ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﺲﻔﻧ

ﻂﺒ

ﺿ

ﻢﻬﺘﺒﻫﻮﻣ

ﺮﻳﻮﻄﺗ

ﻢﻬﻠﻬﺴﻳ

.

ﺔﻴﺑﺮﺘﻟﺍ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﺀﺎﻄﻋﺇ

ﻜﳝ

ﻧﺃ

،ﺎﺜﻟﺎﺛ

ﺔﺳﺭﺪﳌﺍ

ﻞﻤﻛﻷﺍ

ﺟﻭ

ﻰﻠﻋ

ﺔﻴﻨﻳﺪﻟﺍ

ﻰﻠﻣﺎﺸﻟﺍ

inklusi

ﻦﻣ

ﺔﻘﺜﺒﻨﳌﺍ

ﺔﻴﻨﺣﻭﺮﻟﺍ

ﻮﻗ

ﺮﻳﻮﻄﺗ

ﻢﻫﺪﻋﺎﺴﻴﻟ

ﺔﻳﺮﻄﻔﻟﺍﻭ

ﺔﻴﺣﻭﺮﻟﺍ

ﻢﻬﺘﻴﺣﺎﻧ

.

ﻲﺳﺎﺳﻷﺍ

ﺭﺪﺼﳌﺍ

ﺚﺤﺒﻟﺍ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺬﻟ

ﻢﻴﻠﻌﺘﻟﺍ

ﺓﺪﺣﻭ

ﺘﳌﺍ

ﺴﻨﳌﺍ

ﻮﻫ

)

Special Need Unit

(

ﲔﺳﺭﺪﳌﺍ

،

Special Need Unit

ﺕﺎﻴﻄﻌﳌﺍ

،ﺔﻴﻨﻳﺪﻟﺍ

ﺔﻴﺑﺮﺘﻟﺍ

ﺩﺍﻮﻤﻠﻟ

ﲔﺳﺭﺪﳌﺍ

،

ﺘﻛﻹﺍ

ﻳﺮ

ﻦﻋ

ﺎﻬﻌ

ﱵﻟﺍﻭ

ﺔﺻﺎﳋﺍ

ﺕﺎﺟﺎﻴﺘﺣﻹﺍ

ﻱﻭﺍﺫ

ﺔﺒﻠﻄﻟﺍ

ﺲﻳﺭﺪﺘﺑ

ﻠﻌﺘﺗ

ﱵﻟﺍ

،ﺭﺍﻮ

ﺍﻭ

،

ﺎﺸ

ﺔﺳﺭﺪﻣ

ﺔﻴﻘ

ﺎﺛﻮﻟﺍ

ﺔﺳﺍﺭﺪﻟﺍﻭ

M adania Progressive Indonesia

ﻧﻭﺭﺎﺑ

ﻡﺎﻈﻧ

ﺖﻘﺒ

ﱵﻟﺍﻭ

ﺭﻮﺟﻮﺑ

،

ﻢﻴﻠﻌﺗ

ﻰﻠﻣﺎ

inklusi

.

ﻉﻮ

ﺿ

ﻮﻣ

ﻊﻣ

ﺍﺮﻳﺎﺴﻣ

ﻢﻈﻨﳌﺍ

ﺟﻭ

ﻰﻠﻋ

ﺎﻬﺒﺗﺭﻭ

ﺎﻬﻌ

ﺕﺎﻴﻄﻌﳌﺍ

ﻚﻠﺗ

ﻞﻛ

ﺔﺳﺍﺭﺪﻟﺍ

.

ﻡﺍﺪ

ﺘﺳﺎﺑ

ﺔﻠﻣﺎ

ﺔﺳﺍﺭﺩ

ﺎﻬﺘﺳﺍﺭﺩ

ﺎﻬﻔﻴﻨﺼﺗ

ﻬﻨﳌﺍ

ﻲﻋﻮﻨﻟﺍ

)

kualit at if

(

ﱃﺇ

ﺖﻠﺻﻭ

ﺬﻫ

ﻱﺮﻈﻨﻟﺍ

ﺩﺎ

ﻹﺎﻛ

ﻴﺘﻨﻟﺍ

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memelihara alam dan keteraturan isinya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah berhasil memberi suritauladan ideal bagi seluruh umatnya sampai saat ini.

Alhamdulillah penulis patut bersyukur kepada Allah karena akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian Tesis yang berjudul “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI “. Penulisan tesis ini diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar Magister Agama. Keberhasilan ini bukan semata-mata karena hasil dari kemampuan dan kerja keras penulis saja, akan tetapi penulis menyadari bahwa peran pihak lain pun tidak bisa diabaikan turut mendukung baik secara moral, materil, maupun pengayaan gagasan. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kementrian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk memperoleh dana beasiswa S2 tahun 2008-2010 secara penuh sehingga memperlancar penyelesaian studi ini.

2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Pembantu Rektor dan segenaf stafnya yang telah menciptakan lingkungan kampus UIN cukup kondusip bagi kelancaran studi. 3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN

(9)

ix

4. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta yang dengan sabar selalu membimbing penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis.

5. Dewan Penguji: Dr. Udjang Tholib, MA, ketua sidang merangkap penguji; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, pembimbing merangkap penguji; Prof. Dr. Abuddin Nata, MA dan Dr. Amelia Fauziah, MA sebagai penguji. Terima kasih atas telaahannya halaman demi halaman, dan mengujinya secara kritis, serta masukan ide yang sangat berharga.

6. Kepala Perpustakaan SPs UIN, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah UIN, Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan Pusat UNJ, Perpustakaan Kemendiknas, dan Perpustakaan UI Depok yang telah memberi kesempatan penulis untuk mengakses sumber-sumber buku yang dibutuhkan dalam penulisan tesis. 7. Pimpinan dan Dewan Guru Madania Progressive Indonesian School,

terutama Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., Bapak Mardaih, S.Pd., Bapak Abdullah, S.Ag., Ibu Ninik NR, S.Ag., Ibu Sabit Qolbi Khoiriyah, S.Ag., yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. 8. Kepala SMPN 1 Gunungsindur Bapak H. Mukmin Yusuf, S. Pd. yang telah

memberi izin penulis untuk melanjutkan studi S2.

9. Orang tua penulis Drs. H. Hafidin Achmad dan Ibu yang selalu terus memberi dukungan dan doa pada penulis demi keberhasilan studi. Tidak lupa kepada kakak dan adik penulis : Ceu Wiwi, Teh Yoyoh, Neneng, Yeni, Encep Doni yang telah memberikan dorongan dan do’a pada penulis.

(10)

x

selama penyelesaian studi. Penulis bangga meski masih anak-anak tetapi mereka memahami betul akan kesibukan Bundanya.

11. Teman- teman seperjuangan angkatan 2008-2010, khususnya teman-teman sekelas dalam beberapa matakuliah seperti Anita, Dzatil, Tatkul, Sansan, Syfa, Suparhun, Fatwa, Habibi, Teguh, Yunan, Fazlur, Fauzani, Asnawi, Evi, Juni, dan lainnya yang telah membuat suasana belajar menyenangkan sehingga tidak jenuh selama kuliah.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan do’a semoga segala amal kebajikan semua pihak tersebut di atas diterima oleh Allah SWT, dan diberi pahala yang sebesar-besarnya.

Namun di balik semua itu penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan wawasan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan kritik dan saran dari berbagai pihak demi perbaikan tesis ini.

Jakarta, Agustus 2010 Penulis,

(11)

xi

DAFTAR ISI

COVER DEPAN ... i

PERNYATAAN PENULIS ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ... iv

ABSTRAK TESIS ... v

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI... xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 16

1. Identifikasi Masalah ... 16

2. PembatasanMasalah………... ... 17

3. Perumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian... 17

D. Signifikansi atau Kegunaan Penelitian ... 18

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 19

F. Metodologi Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II. PENDIDIKAN INKLUSI DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Inklusi dan Kebutuhan Khusus ... 26

B. Dari Segregasi Menuju Inklusi ... 36

C. Titik Singgung Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi ... 43

BAB III. ELEMEN-ELEMEN KEBERHASILAN PENDIDIKAN INKLUSI A. Disain Pengelolaan Sekolah Inklusi ... 54

B. Manajemen Pendidikan Inklusi ... 69

C. Kurikulum yang Mengakomodasi Perbedaan ... 89

D. Kompetensi Pendidik yang dibutuhkan ... 99

(12)

xii

BAB IV. MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH INKLUSI

A. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

di Sekolah Inklusi ... 116 B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi……….. 136 C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai

Core Pendidikan di Sekolah Inklusi ... 142 D. Pemenuhan Fasilitas ibadah dan Sarana Pembelajaran ... 147 E. Evaluasi dan Penilaian Pendidikan Agama ... 152 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 162 B. Saran-saran ... 163

(13)

xiv

Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan

A.

Translitersi

=

'

=

z

=

q

=

b

=

s

=

k

=

t

=

sh

=

l

=

th

=

s}

=

m

=

j

=

d}

=

n

=

h}

=

t}

=

w

=

kh

=

z}

=

h

=

d

=

=

y

=

dh

=

gh

=

r

=

f

Mad dan Diftong

5. huruf “

لا

” ditulis al- seperti “

ﺪﻤﺤﻟا

” ditulis al-h}amdu

6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia tidak masuk

dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan lain-lain.

1

a panjang = ā

2

ﻱﺇ

i panjang = ī

3

ﻭﺍ

u panjang = ū

4 diftong

ﻭﺃ

= au

ﻭﺍ

= uw

ﻱﺃ

= ai
(14)

xiv B. Singkatan-singkatan:

H. = Hijriah M = Masehi

h. = halaman t.th. = tanpa tahun

Saw. =

s

}

allallāhu ‘alaihi wasallam t.p. = tanpa penerbit
(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional1 maupun nasional.2Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Oleh karena itu pendidikan harus diberikan kepada setiap orang tanpa memandang perbedaan etnik/suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama/ kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental.

Instrumen hukum internasional yang menjamin hak azasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.3 Deklarasi ini merupakan tahapan awal dalam kesadaran manusia akan hak pendidikan bagi semua tanpa diskriminasi.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum memandang anak dan orang dewasa penyandang cacat sebagai warga masyarakat dunia yang utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hak universalnya. Mereka belum

1

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para penyandang cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994, Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun 2000. Lihat Berit H. Johnsen & Miriam D Skjorten , Education-Special NeedsEducation (Oslo University: Unifub Forlag, 2001), 4. Lihat juga Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources (Oslo: The Atlas Alliance, 2002), 14. dengan tambahan yaitu Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan tahun 2000, serta Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan tahun 2001.

2

UUD 1945 pasal 31 ayat 1, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa: setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

3

(16)

2

mendapat perhatian khusus dalam memperoleh hak asasinya. Instrumen-instrumen hak asasi manusia PBB berikutnya baru menyebutkan secara spesifik orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa semua penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.4

Deklarasi ini dalam perkembangannya telah mengilhami dunia pendidikan untuk menyediakan model pendidikan khusus untuk mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Model pendidikan khusus tersebut sering disebut dengan model pendidikan segregasi. Dalam dunia pendidikan penyandang cacat, model pendidikan ini merupakan model pendidikan khusus tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Mereka memperoleh pendidikan secara khusus dengan kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus.

Kemudian konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 lebih jauh menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua. Konvensi PBB tentang hak anak memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan yaitu: non diskriminasi yang menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang cacat, kepentingan terbaik anak, hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan, serta menghargai pendapat anak. 5

4

Karakteristik penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus menurut Kauffman & Hallahan adalah: tunagrahita (mental retardation), kesulitan belajar (learning disabilities), hyperactive (attention deficit disorder with hyperactive), tunalaras (emotional or behavior disorder), tunarungu wicara (communication disorder and deafness), tunanetra (partially seing and legally blind), anak autistik (autistic children), tunadaksa (physical disability), tunaganda (multiple handicapped), anak berbakat (giftedness and special talents). Lihat J.M. Kauffman & D.P.Hallahan dalam Exceptional Children: Introduction to Special Education (New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps: 2005), 28-45.

5

Konvensi PBB tentang hak anak, pada pasal 2 dijelaskan bahwa negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di dalam wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau orang tua atau walinya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran ataupun status lainnya. Sedangkan pada pasal 23 dijelaskan bahwa negara mengakui bahwa anak yang menyandang kecacatan mental ataupun fisik seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan utuh, dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan kemandirian serta memberi kemudahan kepada anak untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Lihat United Nations,

(17)

3

Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 merupakan babak baru dalam upaya menjamin hak anak dan penyandang cacat sekaligus mengkritisi model pelayanan pendidikan untuk mereka. Model pendidikan segregasi yang waktu itu masih diyakini efektif untuk memenuhi hak pendidikan mereka kini mulai terbuka sisi kelemahannya. Meskipun penyediaan pendidikan di sekolah luar biasa dengan model segregasi dapat memenuhi hak pendidikan anak penyandang cacat, tetapi masih melanggar haknya untuk diperlakukan secara non diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

Karena itu, Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua kemudian digelar di Thailand tahun 1990. Deklarasi ini menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Kelompok tersebut mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat.6 Melalui deklarasi ini, pendidikan untuk penderita cacat mulai mendapat perhatian khusus sehingga perlu diajukan alternatif model lain selain model segregasi.

6

Pasal 3 Konferensi Jomtien 1990 tentang Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak menyebutkan bahwa pendidikan dasar seyogyanya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogyanya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat belajar yang wajar. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminiasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan. Selanjutnya, suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar. Selain itu, kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan. Lihat UNESCO, “Education for all 1,II, III Jomtien”,

Thailand World Conference on Education for All, 1990.

(18)

4

Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Dokumen Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat yang terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat. Dokumen ini telah melengkapi apa yang harus diberikan pada anak cacat untuk mendapatkan hak pendidikannya yang layak. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan yang secara tegas mengatur pelayanan pendidikkan bagi penyandang cacat. Sebagai contoh yaitu peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan bagi para penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang cacat. Peraturan 6 mempromosikan pendidikan inklusi (disebut pendidikan integrasi pada masa itu).7

Atas dasar suara-suara keprihatinan dari para profesional pendidikan sekolah yang selalu berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama maka setahun kemudian Konferensi Salamanca lahir. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek pendidikan yang tidak menimbulkan diskriminasi. Akhirnya para profesional mengajukan model inklusi8 sebagai pengganti segregasi yang masih menyisakan diskriminasi.

Dokumen international tersebut mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen sebelumnya. Beberapa konsep inti iklusi yaitu bahwa anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, perbedaan itu adalah normal, sekolah perlu mengakomodasi semua anak, anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, pengajaran yang terpusat pada diri

7

United Nations , Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disability, 1993. http://www.un.org/ecosocdev/geninfo/dpi1647e.htm (diakses 26 Januari 2010).

8

(19)

5

anak merupakan inti dari inklusi, kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak dan bukan kebalikannya, inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat, inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh, sekolah inklusi memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif, serta inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.9

Pasca Konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Menurut Mel Ainscow, banyak negara yang sudah merumuskan strategi-strategi berdasarkan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus untuk mendukung gerakan menuju pendidikan inklusi. Dia mencontohkan negara-negara seperti Australia, Ghana, Hongaria, dan Cina. 10

Selanjutnya, Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000, diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan dasawarsa pendidikan untuk semua yang telah diawali di Jomtien. Dalam forum ini muncul kritikan

9

UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education, 1994. http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000984/098427Eo.pdf (diakses 28 Januari 2010).

10

Mel Aincsow, “Towards Inclusive Schooling”.British Journal of Special Education,

(20)

6

terhadap implementasi dari butir-butir Deklarasi Jomtien yang saat itu dinilai belum berhasil mencapai tujuan. Dalam laporan anggota forum disebutkan bahwa saat itu tercatat lebih dari 117 juta anak penyandang cacat masih belum bersekolah. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi, terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah inklusi dipergunakan.11

Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan pendidikan Inklusi untuk mengadakan pertemuan. Hasil dari beberapa pertemuan berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang Cacat dan Pembangunan (IWGDD), maka Program Flagship untuk pendidikan penyandang cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001. Tujuan flagship tersebut adalah untuk menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan memajukan pendidikan inklusi sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua.12

Pendidikan inklusi yang merupakan tujuan flagship tersebut adalah perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Model pendidikan sebelumnya yang merupakan model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Model inklusi ini dapat dikatakan sebagai alternatif dari model segregasi yang sebenarnya merugikan bila dilihat dari sudut pandang peserta didik.

Reynolds dan Birch mengatakan bahwa model segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan

11

Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20.

12

(21)

7

dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregasi relatif mahal.13

Pada awalnya model alternatif dari pendidikan segregasi yang masih menyisakan diskriminasi ini muncul pada pertengahan abad XX yakni model mainstreaming.14 Belajar dari berbagai kelemahan model segregasi, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling terbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis tingkat kelainannya.

Para ahli pendidikan yang ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara di daratan Eropa seperti Norwegia, kemudian menyebar ke Asia termasuk Indonesia menyatakan bahwa mainstreaming berbeda dengan inklusi. Mainstreaming merupakan istilah yang biasa digunakan dalam pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (children with special needs) yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkelainan khusus untuk belajar di kelas-kelas umum berdasarkan pada kemampuan untuk mengikuti kegiatan di sekolah dengan beberapa modifikasi. Bantuan pembelajaran yang berkaitan dengan kelainan khusus setiap peserta didik umumnya dilakukan di luar setting pendidikan umum.15

13

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 2.

14

Istilah mainstreaming di Amerika Serikat dan Inggris diartikan sebagai penempatan peserta didik dari sekolah luar biasa ke dalam kelas regular secara penuh, tetapi program penempatan belajarnya tidak bersatu dengan peserta didik normal tetapi terpisah dalam program khusus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sekolah yang menggunakan model

mainstreaming mempunyai tanggung jawab terhadap siswa berkebutuhan khusus untuk diajar sesuai dengan keberadaannya dan menekankan pada program khusus yang efektif. Untuk itu diperlukan guru khusus untuk setiap kelainannya. Lihat S. J. Piji, C. J. W. Meijer, and S. Hegarty, Inclusive Education (London: Routledge, 1997), 65.

15

(22)

8

Model pendidikan lainnya sebagai alternatif dari segregasi yang muncul kemudian adalah model integrasi. Model ini digunakan untuk menunjukkan penempatan siswa berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas tersendiri di sekolah-sekolah umum tertentu dimana peserta didik dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dengan teman-teman sebayanya, seperti kegiatan seni, musik, perpustakaan, kepramukaan dan kegiatan di luar sekolah (outbond activity). Layanan pendidikan khusus seringkali juga dilakukan dalam ruang kelas khusus (resource room centre) melalui rekomendasi guru kelas. Dalam kondisi demikian, pembelajaran dalam sistem rangkap dapat menyebabkan mereka menjadi terpisah dengan teman sebayanya.

Semenjak tahun 1980-an, fakta-fakta menunjukkan bahwa siswa berkebutuhan khusus selalu mencari dan mengharapkan adanya lingkungan yang memberikan kesempatan-kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Kesempatan tersebut harus dijamin keberlangsungannya dari sudut hukum perundang-undangan negara agar mereka dapat mengakses lebih luas.16

Bertitik tolak dari harapan dan keinginan anak berkebutuhan khusus tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Menurut M.A. Fattah Santoso, ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata yaitu : komunitas, persamaan dan partisipasi.17 Yang dimaksud

16

Undang-undang kenegaraan yang akan mengatur realisasinya telah mulai nampak bermunculan, misalnya di Australia muncul International Years of Disable Person (IYDP) pada 1981 dan di Indonesia sendiri telah diberlakukannya Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 yang diberlakukan mulai tanggal 5 Oktober 1990. Pemberlakuan keputusan tersebut menekankan pada hak-hak masyarakat berkelainan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup yang sama dengan orang lain, serta memilih pola hidup, mendapatkan pekerjaan, dan mengatur dirinya sendiri dalam memanpaatkan waktu-waktu luangnya. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 13.

17

(23)

9

komunitas adalah bahwa semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofisnya. Yang dimaksud persamaan adalah bahwa setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama). Dan yang dimaksud dengan partisipasi adalah bahwa sebagai anggota komunitas harus bersama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik.

Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus. Mereka mempunyai tugas bersama untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa di kelas. Jadi, kelas reguler akan menjadi tempat bertemunya pendidikan reguler dan pendidikan kebutuhan khusus.

Dalam menangani siswa berkebutuhan khusus, diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat, misalnya anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga, begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memahami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya. Disamping itu, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dengan harapan anak cacat tersebut dapat diperlakukan secara wajar.

Indonesia sebagai Negara yang menyelenggarakan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus, menyediakantiga macam lembaga pendidikan, yaitu

(24)

10

Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu menampung anak normal dengan anak berkelainan dalam satu lembaga pendidikan tapi dengan kelas yang berbeda.18

Berdasarkan data Susenas tahun 2003, penyandang cacat di Indonesia berjumlah 1,48 juta orang (0,7% dari jumlah penduduk Indonesia). Sedangkan jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah 21,42% dari seluruh penyandang cacat. Sejak dikeluarkannya SK Dirjen Dikdasmen no. 380/C.C6/MN/2003, Direktorat Pendidikan Luar Biasa telah mengembangkan sekolah-sekolah inklusi menjadi 600 sekolah dan mendidik 9.492 peserta didik berkebutuhan khusus. Pada tahun 2007 tercatat 343 SD dan 19 SMP yang menjadi sekolah inklusi, sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah, menurut data tahun 2005 berjumlah 40 SMA dan 1 SMK.19

Sedangkan menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusi.20 Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang cacat tingkat ringan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari survey tersebut, dan semuanya belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang maksimal sebagai kebutuhan dasarnya.

18

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 1.

19

Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi anak Berkebutuhan khusus pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Ditplb, 2008), 2.

20

(25)

11

Proses menuju pendidikan inklusi di Indonesia diawali pada awal tahun

1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan

organisasi para tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Pada masa itu SLB

untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga ke tingkat SLTP.

Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang

kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk

memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA

biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi

perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum

bersedia menerima siswa tunanetra.

Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap

pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International,

Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek

ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan

nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang mengatur

bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi

kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di

sekolah biasa. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir,

implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di

jenjang SD.21

Menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk

mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerjasama antara Depdiknas

dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat

PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program pendidikan

integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada keberlangsungan program

pengimplementasian pendidikan inklusi.22

21

Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan untuk Semua. http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/07/inovasiinklusi.html (diakses 9 Februari 2010).

22

(26)

12

Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar para penyandang cacat

memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Pada tahun 2003 pemerintah

Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut di kemukakan

hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan

kebutuhan pendidikan khusus.23 Pendidikan yang diberikan kepada mereka tidak hanya menghasilkan keterampilan dan pengetahuan yang terikat pada mata pelajaran saja. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan individu mandiri yang aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat yang baik.

Salah satu contoh lembaga pendidikan yang berusaha mengembangkan individu mandiri yang aktif tanpa membedakan apakah terdapat kelainan mental, cacat fisik ataupun hambatan psikis adalah Madania Progressive Indonesian School.24 Madania memandang bahwa setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah

mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusi (dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dan sebagainya); Ketiga, penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusi; Keempat, reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut; Kelima, desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusi; Keenam, mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusi; Ketujuh, keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini; Kedelapan, menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait; Kesembilan, mengembangkan sekolah inklusi perintis; Kesepuluh, pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Lihat Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan. http://d-tarsidi.blogspot.com.

23

Bab IV pasal 5 ayat 1, 2, 3, 4 berisi penjelasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

24

(27)

13

menganugerahkan mereka derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi, minat dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda.

Madania memiliki suatu wadah pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus yang merupakan laboratorium sosial yaitu Special Educational Need (SEN) Unit. SEN Unit berperan memfasilitasi proses adaptasi siswa berkebutuhan khusus dalam mengikuti kegiatan sekolah agar mereka memiliki perkembangan potensi individu yang optimal, memiliki perkembangan emosi sesuai dengan usianya, menjadi individu yang mandiri, dan mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui pendekatan holistik antara sekolah, orang tua dan tim profesional.25

Sejalan dengan tujuan SEN Unit, ada beberapa tujuan lainnya dalam pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus. Tujuan tersebut terbagi kepada empat kategori yaitu: tujuan pendidikan dalam latihan keterampilan tertentu, dalam memberikan pengetahuan tertentu, dalam kemungkinan untuk mengembangkan sikap, dan dalam memberikan akses ke pengalaman belajar.26 Meskipun beberapa keterampilan dan jenis pengetahuan dapat dengan mudah ditransfer ke dalam butir-butir yang konkret dan dapat diukur untuk penilaian, tujuan pendidikan dalam pembentukan sikap dan pembiasaan seringkali lebih sulit untuk dirumuskan, karena sikap dan kebiasaan sulit untuk diukur – baik dalam bentuk nilai ataupun dalam bentuk penyataan tertulis tentang prilaku siswa yang seharusnya. Akan tetapi, mengembangkan sikap dan kebiasaan yang pantas itu merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Oleh karena itu tidak boleh diabaikan hanya karena sulit untuk diukur.

Pembentukan sikap dan kebiasaan yang baik akan dapat terwujud, diantaranya dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan agama. Dengan pemahaman yang benar akan agamanya diharapkan siswa

25

Madania Progressive School , Handbook 2009-2011: Educational Support Department (Parung: Madania, 2009), 7.

26

Berit H. Johnsen, Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual.

(28)

14

berkebutuhan khusus memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan untuk membentuk dan mengarahkan mereka pada moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi yang kondusif, saling tolong menolong, bekerjasama, tenang, tentram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, damai satu sama lain, saling memberi dan menerima.

Ironisnya pendidikan moral melalui pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Demikian juga porsi perhatian dari para pengelola pendidikan masih banyak diberikan pada penguatan skill keterampilan yang bersifat fisik ketimbang pada aspek spiritual yang bersifat non fisik.27 Padahal mewujudkan sebuah lingkungan pendidikan yang agamis akan lebih memberikan dampak yang positif karena mereka akan merasa dihargai dan dapat menerima keberadaan dirinya dengan segala kelebihan dn kekurangannya yang berbeda dengan teman-teman sebaya di lingkungannya. Sikap positif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus akan berdampak positif pula pada proses pembelajarannya. 28 Sikap positif ini secara

27

Beberapa kelemahan pembelajaran pendidikan agama, diidentifikasi oleh Thowaf yaitu: Pertama, pendekatan masih cenderung normatif, menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kedua, kurikulum yang dirancang boleh dikatakan menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi bagi peserta didik. Semangat pendidik untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi terlihat masih kurang. Ketiga, pendidik kurang berupaya menggali berbagai metode yang mugkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pembelajaran cenderung monoton. Keempat, keterbatasan sarana prasarana sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Lihat Siti Malikhah Towaf, “Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiah Edukatif yang Religius”, Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III (Ujung Pandang, 4-7 Maret 1996).

28

(29)

15

otomatis akan mempengaruhi pula orang-orang di sekitarnya yaitu teman-temannya, guru dan orang tua.

Minimnya perhatian terhadap pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus bukan semata-mata karena para aktivis dan profesional pendidikan inklusi mengabaikan pendidikan agama, akan tetapi juga karena minimnya model pendidikan agama yang dapat diaplikasikan yang cocok dan sesuai dengan mereka. Sesungguhnya pendidikan agama adalah hak bagi semua manusia tanpa membedakan normal dan tidak normal. Siswa berkebutuhan khusus juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama karena mereka adalah manusia ciptaan Allah yang mendapat khitab (titah) untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Islam mengajarkan bahwa pendidikan wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan selama masih memiliki daya dan iradah dalam hidup. 29 Nabi Muhammad pun pernah ditegur oleh Allah ketika menjelaskan ajaran Islam kepada para sahabatnya lantaran tidak mengindahkan pertanyaan Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra.30

Bahasan tentang pentingnya pendidikan agama Islam telah banyak dimuat dalam ribuan buku akan tetapi jumlah tersebut tidak seimbang dengan kebutuhan pembahasan dan diskusi mengenai model pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Kajian ini masih terbilang sedikit—kalau tidak dikatakan langka padahal sangat dibutuhkan.

Mengingat pentingnya menemukan konsep model pengajaran pendidikan agama Islam dan pentingnya menciptakan suasana yang agamis di

Tarbiyat al-Awla>d fi>-al-Isla>m (Kairo: Da>ru al-Sala>m li al-T}iba><<>><@||<’ah wa-al-Nashr wa-al-Tawzi>’, 1981), 6.

29

Ma>jid al-‘Arsa>n al-Kayla>ni> mengelaborasi kemampuan manusia yang mendapat perintah untuk berdzikir dan berfikir lantaran mereka memiliki kekuatan untuk taat pada Allah dan memiliki kekuatan untuk berfikir sebagaimana dinyatakan al-Qur’an surat S>}ad ayat 45. Lihat Ma>jid al-‘Arsa>n al-Kayla>ni>, Ahda>f Tarbiyah Isla>mi>yah fi> Tarbiyat al-Fardi wa-Ikhra>ji al- U>mmah wa-Tanmiyat al-Ukhuwwah al-Insa>niyah (Firjiniya>: al-Ma’ahad al-‘A>lami> li al-Fikri al-Isla>mi>, 1997/1417), 70.

30

(30)

16

lingkungan pendidikan serta memperhatikan dampak positifnya terhadap siswa berkebutuhan khusus dan orang-orang di sekitarnya, maka penelitian tentang pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi laik bahkan penting untuk dilakukan. Karena itu penulis akan melakukan penelitian tesis ini berjudul PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasi, antara lain:

a. Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut memiliki kemampuan untuk menyelaraskan kurikulum dengan keberadaan siswanya, kemudian diramu menjadi sebuah program pembelajaran individual yang diarahkan pada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa. Akan tetapi karena kemampuan pengetahuan guru yang mengajar di sekolah inklusi masih terbatas, menyebabkan mereka kurang bisa membuat perencanaan pelajaran yang bagus yang memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa.

b. Kurangnya pedoman pembelajaran bagi guru-guru di sekolah inklusi menyebabkan guru-guru menggantungkan diri pada guru sekolah luar biasa (SLB) dan guru-guru tersebut mengajar berdasarkan nalurinya yang menyebabkan layanan pendidikan khusus di sekolah inklusi tidak optimal. c. Minimnya pengetahuan guru tentang model pembelajaran agama Islam untuk

siswa berkebutuhan khusus menyebabkan model pembelajaran yang diterapkan kurang sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga sulit untuk bisa dipahami.

(31)

17

guru agama, akan tetapi seringkali dia hanya memperhatikan aspek kognitif saja, padahal siswa membutuhkan pendidikan agama yang tidak hanya sebatas pengetahuan saja tapi juga penciptaan suasana agamis yang menenangkan yang membuat siswa berkebutuhan khusus merasa diterima lingkungannya walaupun memiliki keterbatasan kemampuan.

2. Pembatasan Masalah

Lazimnya pada sebuah penelitian, lingkup masalah dan keluasannya harus dibatasi sehingga kajian penelitian akan lebih fokus dan terarah. Batasan masalah juga dapat menjadi acuan pencarian data sehingga terarah dan tepat sasaran atau dengan kata lain valid dan objektif. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam yang dipakai di sekolah inklusi dengan alasan bahwa pendidikan agama merupakan aspek yang paling penting bagi pemenuhan hak peserta didik yang berkebutuhan khusus sebagai seorang manusia beragama Islam tanpa diskriminasi. Fokus utama diarahkan pada konsep model pendidikan agama Islam yang paling tepat bagi siswa berkebutuhan khusus dalam lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi serta pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan pokok yang akan dicarikan jawabannya pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus di lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan inklusi.

(32)

18

1. Menambah wawasan mengenai model pembelajaran pendidikan agama Islam yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus.

2. Memberikan pemahaman tentang pentingnya memberikan perlakuan yang sama kepada siswa berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan agama di lingkungan yang sama dengan siswa yang normal.

3. Memberikan motivasi kepada para pemikir pendidikan untuk mengadakan pembahasan lebih lanjut tentang pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus untuk kemudian menemukan teori-teori baru yang bermanfaat khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus.

4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat khususnya orang tua bahwa pendidikan agama untuk siswa berkebutuhan khusus adalah penting dan perlu diupayakan agar mereka bisa menjadi generasi muslim yang mandiri dan berkualitas.

D. Signifikansi atau Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap khazanah ilmiah yang menjadi bahan bacaan yang berguna bagi masyarakat umum dalam pengembangan wacana pendidikan terutama pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Guru pada umumnya agar memahami pentingnya upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah inklusi yang berimplikasi pada keberhasilan belajar siswa.

2. Memberikan informasi dan masukan bagi pengambil kebijakan, dalam hal ini kepala sekolah, terhadap pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah inklusi dan pola pembinaan guru-gurunya dalam meningkatkan mutu pendidikan.

(33)

19

4. Memberikan pemahaman ulang kepada masyarakat tentang perlakuan yang harus diberikan kepada anak berkebutuhan khusus, terutama pemenuhan hak memperoleh layanan pendidikan bagi mereka sebagai warga masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan orang lain.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian tentang model pembelajaran pendidikan agama Islam bagi siswa berkebutuhan khusus sejauh penelusuran penulis belum ada yang melakukannya. Hasil dari pelacakan penulis tercatat ada beberapa penelitian serupa tetapi tidak spesifik mengkaji aspek pendidikan agama Islam, diantaranya:

Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjorten dalam Education-Special Needs Education,31 menjelaskan tentang hakikat dan penyebab kecacatan yang pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kebudayaan di Utara, Selatan, Timur dan Barat. Dalam buku ini dibahas pula pentingnya memberikan layanan pendidikan yang disesuaikan secara individual. Oleh karena itu, guru perlu diberi pelatihan tentang metode dan teknik yang diperlukan untuk diterapkan. Namun kita tidak bisa berharap bahwa guru akan dapat mengatasi semua tantangan yang dihadapinya. Mereka kadang memerlukan saran dan bimbingan dari seorang ahli berdasarkan pengalaman praktek digabung dengan pengetahuan berbasis penelitian. Dalam buku ini tidak dibahas sama sekali tentang pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus.

Sue Stubs dalam buku Inclusive Education Where There Are Few Resources,32 menjelaskan tentang berbagai instrumen internasional yang mendasari pendidikan inklusi. Disamping itu dijelaskan pula tentang isu utama dalam pendidikan inklusi yaitu bahwa pendidikan inklusi didasarkan pada hak

31

Berit H. Johnsen & Miriam D Skjorten , Education-Special Needs Education (Oslo University: Unifub Forlag, 2001), 2-4.

32

(34)

20

asasi dan model sosial. Dengan demikian maka sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem. Dan untuk menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan, sangat diperlukan adanya partisipasi yang berkesinambungan dari semua stakeholder utama pendidikan. Dalam buku ini sama sekali tidak dibahas tentang pendidikan agama untuk mendukung dalam menyukseskan pendidikan inklusi.

Siti Barokah dalam Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif : Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang,33 penelitian Tesis yang dilakukan di Program Magister Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2008 ini mengkaji tentang pendidikan moral atau etika bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah yang menerapkan pendidikan Inklusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan moral dapat dilakukan oleh institusi sekolah umum terhadap semua siswa tanpa membedakan yang normal dan tidak normal. Dengan instrumen yang digunakannya, disimpulkan bahwa pendidikan moral yang diterapkan oleh pihak sekolah dalam penanaman moral terbukti telah berhasil dengan prosentase yang memuaskan. Akan tetapi penelitian ini hanya sebatas pendidikan moral yang hanya terbatas pada aspek lahiriyah semata dan tidak sampai pada penanaman penghayatan dan pengamalan aspek spiritual agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

Selanjutnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (PULITJAKNOV) Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG) Depdiknas tahun 2008 tentang Pengkajian Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Pada Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah,34 mengkaji tentang efektifitas penyelenggaraan pendidikan inklusi di beberapa tempat yang dijadikan percontohan oleh pemerintah. Hasil penelitiannya menilai bahwa ada beberapa fasilitas dan faktor

33

Siti Barokah, “Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif : Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang”, Tesis, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2008.

34

(35)

21

pendukung yang belum siap dalam penyelenggaraan pendidikan Inklusi. Hal yang paling dominan dari ketidaksiapan itu adalah faktor penyediaan fasilitas belajar yang tingkat kesesuaiannya dengan tujuan dan hakikat pendidikan Inklusi belum terpenuhi. Selain itu, ditemukan juga beberapa kasus yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara teori dan kebijakan yang diterapkan di sekolah inklusi. Dalam penelitian ini tentu saja tidak menyinggung sama sekali tentang model pembelajaran pendidikan agama yang diterapkan di sekolah-sekolah inklusi tersebut.

Bandi Delphie dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, menjelaskan tentang pengenalan jenis kelainan anak dan sejumlah teknik pembelajaran yang berpusat pada aplikasi gerak. Gerak manusia dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Buku ini sama sekali tidak menyentuh aspek pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang sering disebut juga metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting).35 Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya.36

Fokus penelitian ini adalah upaya menemukan konsep model pembelajaran pendidikan agama Islam di sebuah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Dan lembaga pendidikan yang dijadikan tempat penelitian oleh penulis adalah Madania Progressive Indonesian School.

35

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2008), 8.

36

(36)

22

Pemilihan lokasi ini didasarkan pada alasan bahwa lembaga pendidikan ini telah menerapkan pendidikan inklusi sejak tahun 1998.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber informasi rujukan primer yang dipakai adalah sumber informasi yang diperoleh dari komunitas sekolah Madania yang ditetapkan sebagai representasi penelitian. Untuk menentukan key informan yang akan menjadi responden dalam penelitian ini maka digunakan teknik purpossive sampling yang dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. 37 Key informan dalam hal ini adalah koordinator SEN Unit, guru-guru SEN Unit dan guru-guru pendidikan agama Islam yang bertanggungjawab dalam penerapan pendidikan inklusi di Madania.

Adapun sumber sekunder yang akan digunakan adalah tulisan yang terkait dengan pendidikan inklusi seperti: Sue Stubbs dalam Inclusive Education Where There Are Few Resources, (Oslo: The Atlas Alliance, 2002). Berit H. Johnsen, dan Miriam D Skjorten dalam Education-Special Needs Education,, (Oslo University: Unifub Forlag, 2001. Bandi Delphie dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009), serta dokumen buku-buku panduan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Penelitian ini juga mengacu pada data-data ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sumber data tersebut diperoleh dari berbagai referensi yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid. Selain itu, peneliti juga menggunakan internet search terutama terhadap bahan-bahan yang sulit didapatkan.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan gabungan triangulasi. Observasi digunakan untuk memahami secara holistik atau menyeluruh terhadap konteks situasi sosial pendidikan yang ada di Madania. Wawancara digunakan untuk memperoleh data

37

(37)

23

secara langsung dari sumber informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan data yang diperlukan dalam penelitian. Pertanyaan yang digunakan berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan peneliti menemukan data-data yang tidak terduga.

Sementara teknik dokumentasi diperlukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi dan wawancara. Sedangkan Triangulasi digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh dengan menguji kredibilitas data melalui berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis pendidikan, yaitu suatu metode penelitian untuk meneliti dan menyelidiki bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam filsafat pendidikan yang memungkinkan para peneliti untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan filsafat pendidikan secara lebih akurat melalui pemikiran secara argumentatif atau kritis.38 Pendekatan ini digunakan untuk melacak dan mengungkap konstruk konsep pendidikan inklusi untuk kemudian dianalisis secara mendalam hingga diperoleh model pendidikan agama Islam di sekolah inklusi, baik konsep maupun penerap

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak — Sektor strategis yang menentukanwilayah berkembang dengan cepat adalah sektor basis dan sektor industri.Provinsi Aceh memiliki laju pertumbuhan wilayah lambat

Pertanyaan-pertanyaan sebagai kunci analisis tersebut merupakan bagian dari metode Study Case seperti yang disampaikan oleh Yin (2011, p.1). Karena penelitian ini

pembelajaran kooperatif tipe STAD berkonstribusi secara signifikan terhadap prestasi belajar fisika siswa, sedangkan asesmen konvensional tidak memberikan konstribusi

Pada umur 143-170 hari buah telah mencapai ukuran maksimal dan mengalami proses pemasakan yang ditandai dengan pertumbuhan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit

normalitas data dapat diketahui bahwa model regresi dalam penelitian ini layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas, uji autokelerasi dapat diketahui bahwa

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam suatu negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Pendidikan di Yayasan Minasa dimulai sejak awal pendirian

Dapatan kajian telah menunjukkan tahap kefahaman pensyarah wanita daripada Kolej Kemahiran Tinggi Mara Pulau Pinang (KKTMBPPP) dan Kolej Universiti Islam

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986, Sediaan Galenik, Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical Care