• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Di Bawah Tangan Di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan Di Bawah Tangan Di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

AHMAD BUHORI MUSLIM NIM: 1110044200023

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Bawah Tangan Di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x +70 halaman dan lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat desa Wibawa Mulya melakukan perkawinan di bawah tangan dan dampak apa saja yang dirasakan masyarakat yang tidak melakukan pencatatan perkawinan. Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan yang tidak mencatatkan perkwinannya. Dikarenakan berbagai faktor, salah satunya ketidak pahaman masyakarakat tentang pentingnya Pencatatan Perkawinan karena kurangnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan. Padahal dalam Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2 ayat (2), yang berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan juga telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut : Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat, sudah jelas undang-undang mengharuskan pencatatan perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan pencatatan dan beranggapan pencatatan perkawinan itu tidak penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Kata Kunci : Perkawinan, bawah tangan, pencatatan, dampak, faktor.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi

(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, Berkat Ridho-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik umatnya dengan tarbiyah tentang keimanan, kesabaran, keramah-tamahan, ilmu pengetahuan serta akhlaqul karimah, dan kita sebagai umatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunahnya dalam setiap sendi kehidupan.

(7)

1. Ibunda dan Ayahanda (Alm) Tercinta yang selalu memberikan dorongan dan motivasi baik moril maupun materil, serta yang telah tulus mendoakan setiap hari dan ikhlas mendidik dari buaian sampai sekarang kepada Penulis.

2. Dr. H. JM. Muslimin, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh para Pembantu Dekan Fakultas Syariahdan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Ketua dan Sekertaris Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyyah yang selalu memberikan bimbingan, nasehat dan dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan penuh tanggung jawab.

4. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan membagi ilmunya selama Penulis menyusun skripsi ini. Dan kesabaran yang penuh dalam memberikan nasehat-nasehat dan bimbingan kepada Penulis merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri Penulis bisa berada di bawah bimbingan Beliau dalam menyusun skripsi ini.

(8)

dan Keluarganya, dan tidak lupa pula kepada seluruh pengurus Ikatan Keluarga Besar Alumni Ar-Ridwan (IKRAR) yang telah memberikan pengarahan dan motivasi dalam mengerjakan skripsi penulis.

7. Jhoni Hermansyah selaku Sekertaris desa Wibawa Mulya dan staf desa Wibawa Mulya dan bapak Agus Salim, S.Ag., selaku Kepala KUA Kecamatan Cibarusah beserta staf KUA Kecamatan Cibarusah yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan wawancara serta meluangkan waktu dan memberikan kemudahan bagi Penulis dalam melaksanakan penelitian guna menyelesaikan tugas skripsi ini.

8. Kakak-kakakku tercinta, mpo Ncop, bang Dani, bang Komal, teh Mumut, mpo Piyah, bang Fauzan, bang Nurdin, teh Nur, mpo Aas, bang Sodiq, bang Opik, teh Nurhayati, mpo Nyai, bang Juli. Dan keponakan-keponakan tercinta, fahe, dede, lulu, fairus, firda, fariza, tazkiya, kenici, salsa. Keluarga besar Nce haji, mamang, bang Dadang, Ade, dafa, lubis beserta keluarga Ende Eni dan semua keluarga yang ada di sempu cikarang.

(9)

10. Untuk orang yang Penulis kagumi Dea Rizqi Amalia yang merupakan motivasi bagi penulis dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang telah berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 12 Mei 2014

(10)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……… ii

LEMBAR PERNYATAAN ………... iii

ABSTRAK ……….. iv

KATA PENGANTAR ………... v

DAFTAR ISI ……….. ix

BAB I PENDAHULUAN ………..

A. Latar Belakang Masalah ………...

B. Identifikasi Masalah ………

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ………... D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………...

E. Metode Penelitian ………

F. Kerangka Teori ………

G. Riview Studi Terdahulu ………... H. Sistematika Penulisan ………..

1 1 9 9 11 12 14 15 17

BAB II PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

PENCATATAN PERKAWINAN ………

A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan Dan

Pencatatan Perkawinan ………...……….. B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ………. C. Prosedur Pencatatan Perkawinan ………. D. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Di Bawah Tangan E. Dampak Perkawinan Di Bawah Tangan Meurut

Undang-19

(11)

A. Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya ……….. B. Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya .... C. Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya ………...…

38 39 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ……….

A. Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah Tangan ………... B. Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah

Tangan dan Tokoh Masyarakat Desa Wibawa Mulya ... C. Analisis Penulis ……….………...……

50

50

55 59

BAB V PENUTUP ………..

A. Kesimpulan ………..

B. Saran-saran ………..… 66 66 67

DAFTAR PUSTAKA ……… 69

LAMPIRAN - LAMPIRAN ……….

1. Surat Bimbingan Skripsi ……….. 2. Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Kantor

Urusan Agama Kecamatan Cibarusah …………...……... 3. Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Desa

Wibawa Mulya ……….

4. Surat Keterangan Observasi Dan Interview Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah ………...…... 5. Surat Keterangan Observasi Dan Interview Desa

72 72

73

74

(12)

7. Data Jumlah Perkawinan Di Desa Wibawa Mulya Tahun 2013 ………..

8. Pedoman Wawancara ………...

9. Contoh Surat Pernyataan ………..

10. Hasil Wawancara ………..

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain, Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga dan bermasyarakat serta keseimbangan antara satu dengan yang lain, Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan dua hati, tujuannya yaitu saling membantu dalam segala aspek hidup dan kehidupan.1

Perkawinan umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya. Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini, dan perkawinan juga disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk tuhan.2

1

Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, (Jakarta :Pustaka Firdaus 1993), h 199

2

(14)

Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan sunnatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembangbiaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta. Hukum alam semacam ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:3

Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 49:







“Dan segala sesuatu Allah ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyaat: 49).4

Kita semua mengetahui bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, ada yang diciptakan sebagai laki-laki dan ada pula yang diciptakan sebagai perempuan. Al-Qur'an sebagai kitab suci yang diyakini bersumber dari Allah pun menyatakan demikian. Allah memberitahukan kepada kita bahwa semuanya diciptakan secara berpasangan.

Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatan kekuatan dan membuatnya lebih mampu mengahadapi tantangan. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh

3

Mohammad Asmawi, Nikah “Dalam Perbincangan dan Perbedaan”, (Yogyakarta : Darussalam 2004), h 18

4

(15)

ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan.

Karena alasan-alasan inilah sehingga manusia kawin, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat, bahwa berpasangan, manusia bukan hanya didorong oleh desakan naruli seksual, tetapi lebih daripada itu, ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.5

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6Allah SWT telah menetapkan tali pernikahan sebagai sunnah ilahi guna menyemarakan kehidupan alam semesta, sekaligus menjadikannya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang maha jelas.

Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Ar-Ruum ayat 21 :













Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum ayat : 21).

5

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia 2010), Hal 177

6

(16)

Dari ayat di atas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan itu untuk mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman, terlindungi, rasa dihargai, diperhatikan. perkawinan disunahkan bagi orang yang membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu menafkahi secara lahir dan batin.7

Memang benar, bagi orang yang berfikir, pasti akan mengetahui bahwa suatu jalinan hubungan harus dibina atas dasar kasih sayang. Apabila rasa kasih sayang dan saling mencintai telah terbina maka sepasang suami isteri akan menentukan kebahagiaan yang sempurna, menemukan kecocokan yang abadi, sehingga tercapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Sesuatu yang didasari rasa cinta menyebabkan yang kurang menjadi sempurna, yang cacat akan tertutup dan yang jelek terasa menjadi bagus dan indah.8

Perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya. Untuk itu diperlukan peran serta dan perhatian serius dari semua pihak, baik pribadi, masyarakat maupun negara. Selain itu, untuk mendukung keseriusan tadi, ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legalitas hukum adalah adanya pencatatan perkawinan.9

7

Syaikh Muhammad bin Khaasim Algozii, Fathul Qorib Mujib, h 43

8

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993), h 20

9

Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum

(17)

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan.10 Dalam hal pencatatan perkawinan ini, bagi mereka yang menganut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak dan Rujuk.

Apabila perkawinan telah dicatatkan, maka perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan harus dilindungi oleh hukum. Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut “perkawinan di bawah tangan” atau dalam bahasa fikih disebut az-zawaj al-urfi. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA).11

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam,

Al-Quran dan Alhadits tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Komiplsi Hukum Islam, dan juga jika dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan ini sangat diperlukan di masyarakat.

10

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), h 107

11

(18)

Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng, tidak sedikit terjadi perceraian yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan disamping itu juga mendapat akte nikah, maka untuk menyelesaikan kasus itu lebih mudah mengurusinya,12

Apabila tidak tercatat dan tidak ada akte nikah, maka pengadilan agama sulit untuk mengurusinya karena perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi. Sekiranya hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah tangan sebagai resikonya, apaila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada pengadilan agama, tetapi dapat saja dilakukan secara kekeluargaan, baik sepihak atau pun kedua belah pihak.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 1946 itu menentukan : “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang

diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”.13 Lalu dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2, yaitu “Tiap -tiap perkawinan harus dicatat”.

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam pasal 5 : ayat (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan,

12

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media 2003), h 123

13

(19)

ayat (2) Pencatatan perkawinan tesebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946

jo Undang-Undang No 32. Tahun 1954.

Lalu pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan : ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Ayat (2). Perkawinan yang dilakukan

di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.14

Disini kita lihat bahwa pegawai pencatatan nikah itu hanya bertugas mengawasi terlaksananya perkawinan, agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan-ketentuan agama Islam. Meskipun perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, baik menurut pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata masyarakat yang mengerti hukum tidak memiliki kekuatan hukum.15

Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fiqih tradisional, menurut pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat nikah. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas,

14

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo 2007), h 114

15

Muhammad Zain dan Muhkhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis “Counter

(20)

banyak timbul perkawinan di bawah tangan tanpa melibatkan pegawai pencatat nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan.16

Bahwa dari uraian di atas, perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah dimata masyarakat yang mengerti hukum, tetapi pada kenyataannya masih saja hingga saat ini para pelaku perkawinan di bawah tangan masih berlanjut tanpa ada hentinya dan masih banyak orang-orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan.

Seperti yang terjadi dilingkungan desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi, sering ditemukan banyaknya perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan didalamnya, padahal sudah jelas-jelas melanggar undang-undang.

Bila dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan itu yang tidak menggambarkan adanya kepastian hukum bagi generasi penerus. Demikian juga Undang-Undang No 1 Tahun 1974 telah merupakan ijma’ para ulama yang wajib diikuti oleh umat Islam demi menjamin kepastian hukum dan kemaslahatan umum.17

Berawal dari latar belakang ini, penulis melihat dan mengamati kehidupan masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi dalam hal perkawinan diantara mereka masih banyak yang tidak mencatatkan perkawinan, kalau

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006), h 47

17

(21)

tidak disosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan, maka akan semakin banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin sekali mengadakan penelitian terhadap perkawinan di bawah tangan, dan hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul ”PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA

MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan di bawah tangan, antara lain:

1. Apakah perkawinan di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi menjadi kebiasaan? 2. Apakah setiap masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah

Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan?

3. Bagaimanakah bentuk perkawinan di bawah tangan di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

C. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

(22)

spesifik, serta untuk menghindari kemungkinan tumpuk tindih dengan masalah lain di luar wilayah penelitian.18

Maka dari itu, agar tidak menyimpang dari apa yang di inginkan penulis dan penelitian tidak terlalu melebar dan terarah, maka penulis membatasi dan menitik beratkan pada permasalahan, bagaimanakah bentuk Perkawinan di Bawah Tangan di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi.

2. Perumusan Masalah

Menurut Undang-Udang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”. Kenyataannya di desa Wibawa Mulya masih banyak

orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan atau melakukan pernikahan di bawah tangan, dan itu jelas sudah melanggar undang-undang. Melihat permasalahan di atas maka penulis memberikan beberapa pertanyaan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di laksanakan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi? 2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan

Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan? 3. Bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap keluarga? 4. Apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan?

18

(23)

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di laksanakan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi.

2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan.

3. Untuk mengetahui bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap keluarga.

4. Untuk mengetahui apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyimpulkan beberapa manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh, diantaranya:

(24)

menyadari bahwa perkawinan di bawah tangan yang selama ini dilakukan mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.

2. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya menyangkut bidang perkawinan.

3. Hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya.

4. Menambah literature kepustakaan.

E. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Dalam obyek penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul dari skripsi penulis diatas, yaitu study kasus di desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. Jadi berdasarkan skripsi ini maka yang diambil lokasi untuk study kasus adalah desa Wibawa Mulya.

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.

3. Jenis dan Sumber Data

(25)

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat desa Wibawa Mulya. Data ini meliputi interview dengan beberapa pelaku perkawinan di bawah tangan, Kepala Desa Wibawa Mulya, kepala KUA Kecamatan Cibarusah, tokoh masyarakat setempat dan orang-orang yang dianggap berperan dalam menikahkan para pelaku perkawinan di bawah tangan.

b) Data Skunder

Data skunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiyah, Undang-Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data mengunakan :

a) Observasi

(26)

b) Wawancara

Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap mengenai perkawinan di bawah tangan, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan para nara sumber yang ada di desa Wibawa Mulya maupun di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh kemudian di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformaikannya kepada orang lain.

F. Kerangka Teori

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu, sekarang, dan masa akan datang. Islam memandang perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalida) ikatan yang suci, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau

kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalakan terjadinya hubungan badan antara suami isteri.

(27)

ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legislasi hukum adalah adanya pencatatan perkawinan. Kalau kita telusuri isi kandungan al-Qur’an, sunnah maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, secara eksplisit belum kita dapatkan ketentuan dari hukum pencatatan perkawinan. Situasi, kondisi dan kebutuhan jaman sudah berubah. Apa yang dahulu tidak penting, sekarang menjadi penting.

Apa yang dahulu sia-sia, mungkin sekarang menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kalau jaman dulu pencatatan perkawinan tidak terlalu penting untuk diadakan, ketika jaman sudah berubah justru pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting yang harus dilakukan.19

Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, ketika melakukan pernikahan tidak medatangkan pegawai pencatat nikah dan perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena dari itulah perkawinan di bawah tangan dilarang oleh undang-undang, bahkan menurut ulama-ulama kontemporerpun jika disitu terdapat kemudharatan, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

G. Review Study Terdahulu

Review study terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai.

19

Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum

(28)

Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.

Pertama, judul skripsi tentang “Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan

Cipedak Kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan. Oleh: Nur Fauzi (Nim : 107044100531) Tahun1432 H/ 2011 M. Pada skripsi tersebut membahas tentang kesadaran masyarakat tentang hukum pencatatan perkawinan, bahwa pencatatan perkawinan itu sangat penting, apalagi bagi keluarga. Dan ada persamaannya dengan yang di singgung oleh penulis, yaitu mengenai pencatatan perkawinan, studi kasus yang diambil dari skripsi ini adalah Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa.

Kedua, judul skripsi “Pengaruh dan Implikasi Perkawinan Di Bawah

Tangan Di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Tangerang”. Oleh : Sahfudin (Nim : 204044103058) Tahun 1429 H/ 2008 M. Pada skripsi ini lebih menitikberatkan pada pengaruh perkainan di bawah tangan itu sendiri, tidak terfokus atau menjelaskan ke masalah lainnya.

Ketiga, judul skripsi “Efektivitas Nikah Masal Terhadap Pencegahan

Nikah Di Bawah Tangan (Study Kantor Uruan Agama Kecamatan Kalideres

Jakara Barat)”. Oleh: Afif (Nim : 107044102123) Tahun 1433 H/ 2012 M. Jadi,

(29)

bawah tangan. Dan tempat yang di ambil oleh penulis adalah Kantor Urusan Agama kecamatan Kalideres.

Dari tiga skripsi diatas, satu membahas tentang pencatatan perkawinan dan dua lagi sebenarnya sama-sama membahas tentang perkawinan di bawah tangan, hanya saja yang membedakan dengan penulis adalah tempat penelitiannya dan masalahnya saja yang berbeda.

Penulis lebih mempermasalahkan kepada masalah-masalah perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi), mengenai latar belakang, faktor-faktor, dan dampak perkwian di bawah tangan, agar masyarakat sadar akan pentingnya pencatatan perkawinan dan tidak ada lagi perkawinan di bawah tangan.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan ini, yaitu:

BAB I : Berisi tentang PENDAHULUAN yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan tekhnik penulisan, tinjauan pustaka terdahulu dan sistematika penulisan.

(30)

dasar hukumnya dan faktor-faktor terjadinya perkawinan di bawah tangan serta dampaknya.

BAB III : Gambaran umum tentang Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi yang terdiri dari, sejarah desa, letak geografis desa, kondisi demografi sosial masyarakatnya.

BAB IV : Berisi tentang hasil penelitian serta analisis penulis.

[image:30.612.138.528.187.582.2]
(31)

A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan dan Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan

Perkawinan sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini.1 Menurut Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, dalam kitab karangannya Al-Mahalli, perkawinan disunahkan bagi orang yang membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu, pengertian mampu disini adalah mampu dalam hal lahir bantin untuk menuju ke jenjang perkawinan.2

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Yang tadinya antara seorang laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan, setelah perkawinan menjadi halal.

Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, dan saat melangsungkan perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah.

1

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993), h 14

2

(32)

Menurut Ma‟ruf Amin, forum Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa sengaja memakai istilah

perkawinan di bawah tangan, istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Perkawinan di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah perkawian yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum Islam. Namun, perkawinan ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam Perundang-undangan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan di bawah tangan, yang tidak dicatatkan dipandang tidak memenuhi ketetntuan peraturan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap isteri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma‟ruf Amin

menegaskan bahwa hukum perkawinan yang awalnya sah memenuhi syarat dan rukunnya, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian, haramnya itu datangnya belakangan, perkawinannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang terlantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan isteri atau anaknya. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban.3

3

(33)

2. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon isteri.4

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang di buktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami isteri mendapat salinannya. Akta nikah atau akta Perkawinan yaitu suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu akad perkawinan berdasarkan laopran Pegawai Pencatat Nikah.

Menurut Ahmad Rofiq dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat penting, misalnya saja apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.

4

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis “Counter Legal

(34)

Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika diperlukan, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.5

B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

1. Dasar Hukum Menurut Hukum Islam

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam, namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan.6 Alquran dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, akan tetapi dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.7 Apabila kita perhatikan surah al-Baqarah (ayat : 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan, menjadi salah satu rukun.

5

K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978,. h 17

6

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media 2003), h 123

7

(35)

Allah berfirman dalam surath al-baqarah ayat 282 :











…..

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…...

Belum ditemukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan pembuktiannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan prinsip :

لا أر

حلاص لا ب ج ع ق ساف

Menolak kemudharata lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan

ح ص لاب ط ّعّلا ع ا الا فّصت

Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan.8

8

(36)

Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, sahabat dan tabi’in secara detail tidak ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Hadist serta ijtihad secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ditemukan di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih mengandalkan hafalan atau ingatan.

Memang pada masa-masa awal Islam pencatatan belum dibutuhkan, selain itu walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar‟i tentang sebuah perkawinan, dalam hadis diterangkan tentang adanya tuntunan untuk mempublikasikan pelaksanan perkawinan, melalui resepsi walimah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ketika mengetahui salah satu sahabatnya, Abdurrahman ibn „Auf menikah :

) س و را لا اور( اشب لو لوأ سو ّ ع لا ص لا ل سر لاق

“Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).9

Perintah melakukan publikasi perkawinan dimaksudkan agar orang lain mengetahui adanya perawinan, untuk memperjelas status, serta agar tidak

9 Asrorun Ni’am Sholeh,

(37)

memungkinkan terjadinya penyimpangan.10 Ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda di mana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah tersebut juga, sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan.

Disamping perlunya walimah, maka harus ada pemberian kasih sayang, yaitu mahar. Mahar atau mas kawin merupakan satu di antara rukun nikah yang harus ada dan wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dengan jumlah tergantung kesepakatan kedua mempelai berdasarkan kemampuan ekonomi laki-laki dan kerelaan pihak perempuan.11

Islam membolehkan mahar untuk menghormati dan memuliakan isteri, namun bukan berarti mesti dilakukan dengan berlebihan. Islam menekankan kemudahan mahar, sehingga cukup dalam bentuk sang suami mengajar sang isteri sebuah surah dari al-Quran atau sebuah hadiah sederhana, atau bahkan memberinya sebuah cincin sederhana walaupun terbuat dari besi.12 Ketika Rasulullah SAW hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda :

10Asrorun Ni’

am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 150

11

Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, (Surabaya : Mutiara Ilmu 1995), h 73

12

(38)

ي ح ن ا تاخ لو س تلا

“Carilah (mahar) sekalipun cincin yang terbuat dari besi”. (Riwayat Al-Bukhari).13

Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika masyarakat yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut adanya catatan akta, surat sebagai bukti autentik.

Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bias hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut akta.14 Demikian lah pendapat menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengenai pembaharuan hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan.

Penulis lebih setuju bila perkawinan itu dicatatkan, dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi, meskipun secara detail tidak ditemukan di dalam Alquran, Alhadis dan kitab-kitab fikih maupun fatwa-fatwa ulama. Hal ini mungkin yang mejadi landasan hukum fatwa-fatwa ulama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mewajibkan pencatatan.

13

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 158

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi

(39)

2. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa fikih tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu hal yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

Undang-undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya perkawinan. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2 ayat (2), yang berbunyi : (2). Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.15 Pada pasal 2 ayat (2) ini, di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci, perbuatan pencatatan itu harus sudah jelas menetukan sahnya suatu perkawinan. pasal itu menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.

Sedangkan soal sahnya perkawinan Undang-undang Perkawinan dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat (1), yang berbunyi (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.16

15

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 1974), h 71

16

(40)

Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini berada pada pasal 2 sebagai kelanjutan dari pasal 1 di dalam Undang-undang Perkawinan, menurut salah satu ayat kelanjutannya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut berhubungan dengan pencatatan, yakni perkawinan harus sah dan harus dicatat. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Pola pemikiran demikian menurut penulis termasuk maslahah mursalah, artinya dengan pencatatan perkawinan akan lebih maslahat.

3. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam Undang-undang Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2), meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala, namun masyarakat dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan dalam Undang-undang No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (Lembaran Negara Republik Inonesia tahun 2009). Upaya ini perlu dilakukan sosialisasi oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.

Dalam masyarakat sudah ada pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah

(41)

kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.17

Dalam Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut : pasal 5 ayat (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus

dicatat, ayat (2) Pencatatan perkawinan tetrsebut pada ayat (1) dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undanng-undang No.22

Tahun 1946 jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954.

Selajutnya pada pasal 6 dijelaskan: ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, pasal 6 ayat (2) Perkawinan yang dilakukan

di luar penngawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.18

C. Prosedur Pencatatan Perkawinan

Secara singkat, apa yang sudah disebutkan dari buku pedoman Kantor Urusan Agama sudah mudah di cerna oleh masyarakat, maka saya kutip secara keseluruhan dan singkat tentang prosedur pencatatan perkawinan, yaitu :

17

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan Pertama, h 27

18

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi

(42)

a) Persyaratan Umum

1. Calon Pengantin Beragama Islam.

2. Umur minimal berusia 19 tahun tuntuk pria, dan 16 tahum untuk wanita. 3. Ada persetujuan kedua calon pengantin.

4. Tidak ada hubungan saudara yang dilarang agama antara kedua calon pengantin.

5. Calon pengantin wanita tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. 6. Duda atau Janda harus sudah habis masa iddahnya.

7. Wali dan saksi harus beragama islam, dan minimal usianya dalaha 19 tahun. 8. Calon pengantin, wali dan saksi sehat akal.

b) Persyaratan Administrasi

1. Foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang sah. 2. Foto copy KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku. 3. Foto copy Ijazah atau Akte Kelahiran.

4. Foto copy Buku Nikah orang tua, bagi wanita.

5. Pas foto berwarna (Latar biru) ukuran 2x3 = 4 lembar.

6. Surat Keterangan Model N1, N2, N4 ditandatangani Kepala Desa atau Kelurahan.

7. Surat Persetujuan mempelai (Model N3).

8. Izin Orang Tua (Model N5) jika umur kurang dari 21 tahun.

9. Surat Pernyataan Jejaka/Perawan, bagi calon pengantin berumur 25 tahun ke atas, bermaterai Rp 6000,-.

10.Surat Rekomendasi Nikah / Numpang Nikah bagi calon pengantin dari luar wilayah.

11.Izin Pengadilan Agama jika pria berumur kurang dari 19 tahun, dan wanita kurang dari 16 tahun.

12.Izin Pengadilan Agama bagi yang berpoligami.

13.Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang 10 hari.

14.Surat Kematian Suami/Isteri bagi Janda/Duda cerai mati dan model N6 ditandatangani Kepala Desa atau Kelurahan.

15.Akta Cerai beserta Salinan Putusan/ Penetapan dari Pengadilan yang mengeluarkan Akta Cerai.

16.Bukti Imunisasi TT dari Puskesmas.19 c) Pemberitahuan Kehendak Nikah

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat

19

(43)

perkawinan menyelenggarakan pengumuman pemberitahuan kehendak nikah. Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkann perkawinan.

Adapun menenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.20

1. Kehendak Nikah diberitahukan oleh Wali atau Calon Pengantin kepada Kantor Urusan Agama dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan. 2. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah pada Lembar Model NB yang

disediakan Kantor Urusan Agama.

3. Penulisan NB menggunakan tinta hitam, huruf balok.

4. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.

5. Membayar Biaya Pencatatan Nikah.

d) Pemeriksaan Dan Pembinaan Calon Pengantin

1. Setelah Pendaftaran diterima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon pengantin dan Wali Nikah, mengikuti Pembinaan dan Kursus Calon Pengantin.

2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan keluarga sakinah dan tatacara ijab qobul.

3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan, atau membantu melangsungkan, atau mencatat atau menyaksikan pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan.

e) Penolakan Kehendak Nikah

1. Kepala Kantor Urusan Agama diharuskan menolak kehendak nikah yang tidak memenuhi persyaratan.

2. Terhadap penolakan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Agama.

20

(44)

Disini keberanian para Hakim Peradilan Agama sangat diharapkan untuk membatalkan perkawinan atau penolakan kehendak nikah yang tidak dicatat itu apabila diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan kepadanya.21

f) Pelaksanaan Akad Nikah

1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu tau Petugas Kantor Urusan Agama.

2. Jika dilakukan oleh Wali Nikah sendiri.

3. Wali Nikah dapat mewakilkan ijab kepada orang lain yang memenuhi persyaratan, atau kepada Penghulu.

4. Akad Nikah dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (Balai Nikah).

5. Atas permintaan yang bersangkutan dan mendapat Persetujuan dari Kepala Kantor Urusan Agama, Akad Nikah dapat dilangsungkan di Luar balai Nikah. 6. Biaya pemanggilan, transportasi, dan akomodasi Penghulu atau Petugas Kantor Urusan Agama untuk menghindari akad nikah di luar balai nikah dibebankan kepada yang mengundang.

g) Pencatatan Nikah

1. Pencatatan Nikah dilakukan oleh Penghulu atau Kepala Kantor Urusan agama setelah nikah dilangsungksn dengan benar, pada Akta Nikah (Register Model N).

2. Kepada kedua pengantin diberikan Kutipan Akta Nikah berupa Buku Nikah, (Model NA).

Akta Nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seoarang suami atau isteri

melakukan suatu tindakan yang menyimpang.22

D. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan di Bawah Tangan

Setiap warga negara hendaknya melaksanakan setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan.

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006), h 53

22

(45)

Undang-undang No 1 tahun 1974 tantang Perkawinan tidak mensahkan perkawinan di bawah tangan, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik , dengan menuruti perundang-undangan yang berlaku.23

Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan tanpa sepengetahuan Pegawai Pencatat Nikah adakalanya mencukupkan hadirnya seorang kiyai atau pemuka agama, merasa tanpa kehadiran aparat yang berwenang dianggap sudah sah, menurut hukum agama Islam pencatatan itu dianggap sah yang sifatnya administratif saja. Tidak tercatatnya perkawinan tersebut, mungkin karena mereka tidak mencatatkan perkawinan itu kepada petugas yang berwenang, sekalipun dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya, atau karena perkawinan itu dianggap tidak/belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974. Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan adalah :

1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang terebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama.

2. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai

23

(46)

Negeri Sipil tidak boleh beristeri lebih dari seorang. Mereka beranggapan bahwa dengan sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat (walaupun sedikit) pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui prosedur yang sebenarnya.

3. Dikarenakan banyak masyarakat yang masih awam, adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat Kantor Urusan Agama dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama. 4. Mahalnya biaya pencatatan perkawinan, karena oknum-oknum tertentu. 5. Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan-keinginan tertentu

yang subjektif. Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku untuk semua masyarakat.24

Sebab-sebab itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah.

E.Dampak Perkawinan di Bawah Tangan Meurut Undang-Undang Di

Indonesia

Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, meski secara agama dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan

24

(47)

dianggap tidak sah di mata hukum negara. Akibat hukum perkawinan tersebut adalah berdampak negatif sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan, tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Namun ditegaskan, perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.25

Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai isteri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika dicerai hidup atau ditinggal mati. Selain itu sang isteri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

Secara sosial sang isteri akan sulit bersosialisasi, karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi isteri sampingan atau simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

25

(48)

Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya, atau bila suami/ayahnya meninggal dunia dalam hal pembagian harta warisnya oleh pengadilan agama, karena tidak ada bukti bahwa ia itu isteri dari suami yang meninggal dunia atau ia anak dari ayah yang meninggal dunia.26

Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Perkawinan di bawah tangan berdampak menyakitkan dan merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut dapat mengusahakan perkawinan yang sah. Anak hasil perkawinan di bawah tangan dianggap anak tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah, maka anak dapat diakui. Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan pengadilan.

Ada beberapa dampak perkawian di bawah tagan menurut undang-undang yaitu :

1) Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Uusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

26

(49)

2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak yang dilahirkn di luar perkawinan atau perkawinan tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu.

3) Anak dan ibu nya tidak berhak atas nafkah dan warisan, dan baik isteri maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan dibawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono-gini atau harta bersama.27

27Asrorun Ni’am Sholeh,

(50)

A. Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya

Pada jaman dahulu, yaitu sebelum tahun 1978 Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi, masih satu desa dengan desa Sindangmulya, dan dipimipin oleh seorang Lurah bernama H. Maskudi (alm). Selanjutnya pada tahun 1978 Desa Sindangmulya di bagi menjadi dua Desa yaitu Desa Sindangmulya dan Desa Wibawa Mulya yang dipimpin oleh :

1. Lurah Endin memimpin wilayah Desa Sindangmulya

2. Lurah Udin Saepudin memimpin Wilayah Desa Wibawa Mulya.

Pada periode 1983 S/d 1991 di bawah kendali Kepemimipinan Bpk. Lurah Udin Saepudin Memimpin Desa Wibawa Mulya selama + 6 tahun, dan mulai menata desa Wibawa Mulya dengan membuat sarana-sarana sosial atau umum secara gotong royong dengan masyarakat. Bukti dari semua itu maka desa Wibawa Mulya dijadikan sebagai Desa Percontohan, trand setter dan Icon se Kabupaten Bekasi, dalam bidang Pertanian. Sebelum masa jabatannya habis beliau meninggal dunia bersama istri tercintanya di Mekkah ( Tragedi Mina ) dalam rangka menunaikan ibadah Haji.1

1

(51)

Lalu pada tahun berikutnya dipimpin oleh Bpk. M. Kosim (alm) 1991 S/d 1999, pada masa kepemimpinan beliau, beliau meneruskan berbagai program pembangunan yang telah dirintis sebelumnya dengan cara gotong-royong/kerja bakti. beliau juga mengembangkan sektor pertanian dan peternakan. Seiring perkembangan jaman pada masa kepemimpinan beliau, banyak lahan persawahan yang gagal panen, ternak banyak yang mati hingga akhirnya desa Wibawa Mulya masuk dalam kategori Desa IDT, hingga akhirnya pun beliau berhenti karena masa jabatannya habis, dan seterusnya silih berganti kepemimpinan hingga sekarang.2

B. Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya

[image:51.612.112.527.264.649.2]

Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi adalah suatu wilayah desa yang berbatasan dengan desa Sindangmulya. Berdasarkan data monografi desa, desa Wibawa Mulya memiliki luas wilayah 515 Ha.3 Luas wilayah desa Wibawa Mulya, menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat diantaranya yaitu :

Tabel Jenis Tanah

No Jenis Tanah Ha

1. Sawah Tadah Hujan 161 Ha

2

Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).

3

(52)

2. Ladang 5 Ha

3. Pemukiman 315 Ha

4. Tanah Kas Desa 13 Ha

5. Lapangan 3 Ha

6. Perkantoran Pemerintahan 1 Ha

7. Makam 2 Ha

8. Situ Cipalahlar 15 Ha

Batas Wilayah Desa

No Letak Batas Desa/Kelurahan Kecamatan

1. Sebelah Utara Desa Sukaragam Kecamatan Serang Baru

2. Sebelah Selatan Desa Sirnajati Kecamatan Cibarusah 3. Sebelah Barat Desa Sindang Mulya Kecamatan Cibarusah 4. Sebelah Timur Desa Sirnajaya Kecamatan Serang Baru

Sedangkan orbitrasi (jarak dari pusat pemerintah desa) terhadap pusat-pusat fasilitas kota :

No Orbitrasi KM

(53)

2. Jarak Ibukota Kabupaten 56 Km 3. Jarak Ibukota Provinsi 247 Km

Jumlah Penduduk Secara Umum/KK

No. Kependudukan Jumlah Ket 1. Jumlah Penduduk 6.729 Orang 2. Jumlah Kepala Keluarga 1.797 Orang

Jumlah Penduduk menurut kewarganegaraan

No. Kewarganegaraan Jumlah Keterangan

1. WNI Laki-laki 3.457 Orang 2. WNI Perempuan 3.272 Orang

Jumlah Penduduk Menurut Usia

No Usia Jumlah Ket

1. 0-4 Tahun 517 Orang

(54)

3. 20-59 Tahun 4.674 Orang

4. 60 Tahun Keatas 287 Orang

Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Ket

1. TK ( Paud ) 123 Orang

2. SD/ Sederajat 900 Orang

3. SMP/ Sederajat 402 Orang

4. SMA/ Sederajat 116 Orang

5. Perguruan Tinggi 18 Orang

6. Buta Huruf - Orang

C. Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya

(55)

melakukan setiap proses pembangunan yang senantiasa dijaga, dipelihara dan dikembangkan.

1. Keadaan Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat Desa Wibawa Mulya terbagi beberapa bidang, namun masih rendah, sehingga secara umum masih tergolong masyarakat yang masih belum sejahtera.

Selain itu pada bidang lain seperti usaha mikro masyarakat masih memanfaatkan bantuan pinjaman dari bantuan permodalan pemerintah ataupun bantuan pinjaman permodalan dari pihak-pihak lain.

2. Pola penggunaan tanah

Pola penggunaan tanah yang ada masih sebatas pertanian itupun pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau ada sebagian petani yang mengolah tanahnya untuk menanam sayur-sayuran dan yang lainya itupun yang dekat dengan sumber air.

3. Pemilik Ternak

(56)

4. Sarana Pendidikan

Dari hasil wawancara pribadi dengan sekertaris desa Wibawa Mulya dengan bapak Jhoni Hermansyah mengenai pendidikan, beliau mengemukakan bahwa pendidikan didesa ini lumayan sudah bagus, banyak sekali sudah ada sekolah-sekolah SMP maupun SMK ataupun Madrasah Aliah dan Tsanawiyah.

[image:56.612.117.496.367.665.2]

Akan tetapi ada saja masyarakat yang tidak sekolah, karena salah satu faktor utama lemahnya pendidikan adalah dikarenakan masyarakat belum sadar dan mengerti akan pentingnya pendidikan. Mungkin kalau di desa ini alhamdulilah rata-rata SD, SMP dan SMA pada sekolah kebanyakan, walaupun hanya sebagian kecil yang tidak sekolah, ujar kata bapak Jony Hermansyah.4

Tabel sarana pendididan desa wibawa mulya No Sarana Pendidikan Banyak

1. TK / PAUD 5 Unit

2. SD / sederajat 2 Unit

3. SLTP / sederajat 2 Unit

4. SLTA / sederajat 2 Unit

5. Yayasan Pendidikan Islam 3 Unit

6. Pondok Pesantren 1 Unit

4

(57)

5. Sarana Ibadah

Mayoritas di desa ini hampir semuanya pemeluk agama islam, hanya 1% pemeluk agama Kristen, sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap tahun itu masyarakat di sanah mengadakan kegiatan agama seperti Maulud dan Rajaban, setiap acara itu selalu dihadiri oleh banyak masyarakat.

Ada juga pengajian-pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kalau pengajian bapak-bapak di masjid An-Nur itu setiap malem senin, tapi kebanyakan pengajian ibu-ibu, hampir setiap minggu nya ada 6 pengajian di desa Wibawa Mulya.5

Jumlah Penduduk menurut Keagamaan

No Agama Jumlah Ket

1. Islam 6.717 Orang

2 Kristen 12 Orang

Prasarana dan peribadatan di desa ini jumlah masjid 4 (Empat) dan jumlah langgar atau mushola 14 (Empat Belas) bangunan. Kebanyakan masyarakat di desa ini memahami islam dengan pemahaman kalsik, seperti orang dulu.

5

(58)

6. Mata Pencaharian

[image:58.612.134.507.207.703.2]

Sebagian besar warga desa Wibawa Mulya adalah petani dan kuli muat batu bata, pengrajin idustri rumah tangga, dan pengusaha kecil menengah, sedangkan sisanya yaitu wiraswasta, pedagang, supir angkot, dan lain-lain.

Tabel Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah Ket

1. Petani Pemilik tanah 2315 Orang

2. Buruh Tani 36 Orang

3. Pedagang 413 Orang

4. Pengusah

Gambar

Gambaran umum tentang Desa Wibawa Mulya Kecamatan
Tabel Jenis Tanah
Tabel sarana pendididan desa wibawa mulya
Tabel Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Muhibbin M, Wahid Abdul, 2009, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta... Mustari Pide, Suriyaman , 2014, Hukum Adat Dahulu,

Hamjah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Pangaribuan, Luhut M.P, dkk, Menuju Sistem Peradilan Pidana

Soimin, Soedaryo, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW, Hukum Islam Dan Hukum Adat , Jakarta: Sinar Grafika, 2002.. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Wongsowidjojo,

Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Mulyono ,

Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam.Jakarta : Rajawali Pers Ramulyo, Mohd Idris. Hukum Perkawinan, Hukum

---, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,.. Jakarta, Kencana Prenada Media

Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Sinar Grafika, Jakarta Juni 1996.. Muhammad Jawad Mughinah, Hukum Waris Menurut Bourgerlijk Wet Boek, Surabaya, Usaha