• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict di unit pelaksana teknis (UPT) terapi dan rehabilitasi BNN lido

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada recovering addict di unit pelaksana teknis (UPT) terapi dan rehabilitasi BNN lido"

Copied!
333
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Disusun Oleh: Farah Shafira 107070003519

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

ii Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh :

FARAH SHAFIRA NIM : 107070003519

Di Bawah Bimbingan :

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433H/ 2011M

Pembimbing I

Gazi, M.Si

NIP. 19711214 200701 1 014

Pembimbing II

(3)

iii

PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pogram Strata I (SI) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 6 Desember 2011 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Ketua

Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522

Pembantu Dekan/ Sekretaris

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2001 Anggota

S. Evangeline. I. Suaidy, M. Si., Psi NIP. 150 411 217

Gazi, M.Si

NIP. 19711214 200701 1 014

(4)

iv Nama : Farah Shafira

NIM : 107070003519

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalama penyususnan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 28 November 2011

(5)

v

Motto:

“Man jadda wa jadda”

“What doesn’t kill you makes you stronger”

-Friedrich

Nietzsche

(6)

vi

Karya sederhana ini saya persembahkan untuk orang-orang

yang memberikan saya banyak inspirasi dalam hidup…

Ibu, Bapak (alm), Bang Thobby, Bang Alfan terkasih…

Serta para

recovering addict

yang terus berjuang untuk

(7)

vii

D) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth pada Recovering Addict

di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido

E) XV + 162 halaman

F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari setiap faktor yang dianalisis (variabel independen) terhadap posttraumatic growth (variabel dependen) pada recovering addict di UPT T&R BNN. Variabel dependen yang diangkat dalam penelitian ini antara lain waypower (harapan), willpower (harapan), coping religius positif (coping religius), coping religius negatif (coping religius),

informational support (social support), emotional support (social support), affectionate support (social support), positive social support (social support), tangible support (social support), usia dan fase rehabilitasi.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan angket, wawancara dan observasi dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah

recovering addict atau pengguna NAPZA yang menjalani pemulihan pada fase

primary dan re-entry serta staff adiksi di UPT T&R BNN yang berjumlah 153 orang. Instrumen pengumpulan data menggunakan skala likert dan uji validitas aitem menggunakan LISREL 8,7. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji regresi berganda pada taraf signifikansi 0,05 dengan menggunakan SPSS 17. Hasil penelitian disimpulkan bahwa hanya variabel willpower dan informational support yangmemberikan pengaruh yang signifkan terhadap posttraumatic growth.

Sedangkan berdasarkan besarnya sumbangan yang diberikan, terdapat tiga variabel memberikan sumbangan yang signifikan yaitu willpower memberikan sumbangan sebesar 10,3%, waypower sebesar 28,8% dan informational support sebesar 6,9%. Hasil penelitian tambahan yang dilihat berdasarkan pengaruh dari variabel besar, didapatkan harapan dan social support berpengaruh secara signifikan terhadap PTG dengan sumbangan sebesar 37,3% dan 4,7% sedangkan coping religius tidak berpengaruh secara signifikan dengan sumbangan sebesar 0,4%. Hasil penelitian tambahan selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok dengan tingkat PTG yang tinggi didapatkan faktor yang berpengaruh adalah informational support,

sedangkan untuk kelompok dengan tingkat PTG rendah faktor yang berpengaruh adalah willpower.

(8)

viii

(9)

ix

Syukur Alhamdullilah peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, kekuasaan dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Gazi, M.Si (Pembimbing I) dan Nia Tresniasari, M.Si (Pembimbing II) yang telah memberikan arahan, bimbingan serta insight-insight sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas wawasan yang telah diberikan.

3. Rena Latifa, M. Psi. Psi., Pembimbing akademik.

4. S. Evangeline Imelda Suaidy, M.Si, Psi yang telah banyak memberikan waktu untuk bertukar pikiran, wawasan baru tentang dunia adiksi dan bantuan selama proses skripsi berjalan.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.

6. Kedua orang tua saya tercinta, almarhum Bapak yang dengan ketegasan di balik kelembutan hati Beliau telah memberikan saya banyak makna dalam hidup, arsitek kasih sayang yang jarang bicara, namun selalu mampu mengubah hal-hal sederhana mempesona. Ibu yang selalu memberikan ketenangan di kala hati ini gundah dan inspirasi bagi saya untuk menjadi orang tua kelak. Terima kasih atas dukungan yang telah Bapak (alm) dan Ibu berikan untuk Arah, semoga Allah memberikan izin-Nya agar Arah dapat menjadi seperti do’a yang Bapak dan Ibu panjatkan pada-Nya. 7. Abang-abangku terkasih, Bang Thobby dan Bang Alfan yang menjadi sosok

pengganti Bapak di hati ini. Terima kasih telah menjadi pelindung bagi adikmu yang cerewet ini dan ini adalah jawaban untuk pertanyaan yang selalu ditanyakan (alhamdulillah akhirnya skripsi ini selesai juga).

8. Keluarga besar M. Tabrani (alm) dan Abdullah Shaleh (alm) terima kasih atas doa serta dukungan yang diberikan pada penulis.

(10)

x

diberikan. Anda semua benar-benar memberikan saya inspirasi dan membuka mata saya dari sudut pandang yang 180 derajat berbeda.

12.Sahabat-sahabatku tersayang Ayas, Anya, Efi, Winda, Uty, Rara, Nuran dan Lala, terima kasih atas semua manis pahit persahabatan selama ±4 tahun ini, semoga Allah mengizinkan kita untuk selalu bersahabat selamanya. Terkhusus untuk dua sahabat seperjuangan trio BNN Ayas dan Anya, banyak jatuh bangun yang kita alami bersama. Semoga Allah mempercayakan kita untuk dapat mencapai impian kita ya, aamiin.

13.Sister-sister BNN, Ayas, Anya, Soraya, Kiki, Mba Imas, Anne, Nung dan Afit dimana kita telah melewati banyak waktu susah dan senang bersama serta banyak belajar dari pengalaman 3 minggu kita, kangen menginap bersama kalian di T5. 14.Teman-teman kelas C atas kekompakan dan pemahamannya satu sama lain serta

teman-teman seperjuangan skripsi yang selalu sabar menanti bersama.

15.Mister Adiyo yang telah banyak membantu saat kerumitan LISREL dan SPSS melanda penulis. Semoga cita-cita Mister Adiyo menjadi ahli psikometri yang handal dapat tercapai ya.

16.Teteh Nining yang memberikan banyak pencerahan pada detik-detik menegangkan dan sharing mengenai harapan. Semoga Allah selalu memberikan kasih sayangnya pada teteh ya.

17.Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

18.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini.

Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT, aamiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, November 2011

(11)

xi

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.2.1 Pembatasan Masalah ... 8

1.2.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 13

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 14

1.4 Sistematika Penelitian ... 15

BAB II Kajian Pustaka ... 17

2.1 Posttraumatic Growth (PTG) ... 17

2.1.1 Pengertian ... 17

2.1.2 Aspek Posttraumatic Growth ... 20

2.1.3 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth ... 23

2.1.4 Pengertian Recovering addict ... 28

2.1.4.1 Recovering addict ... 28

2.1.4.1.1 Adiksi (Addiction) ... 28

2.1.4.1.2 Pemulihan (Recovery) ... 29

2.1.5 Posttraumatic Growth pada Recovering addict ... 31

2.1.6 Model PTG pada Recovering addict ... 33

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth ... 34

2.2 Harapan ... 39

2.2.1 Pengertian ... 39

2.2.2 Komponen dalam Harapan ... 40

2.2.3 Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori Harapan .... 46

2.2.4 Variasi Harapan berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower46 2.3 Coping Religius ... 48

2.3.1 Pengertian ... 48

2.3.2 Pendekatan Coping Religius ... 49

(12)

xii

2.6 Hipotesis Penelitian ... 61

2.6.1 Hipotesis Mayor... 61

2.6.2 Hipotesis Minor ... 61

BAB III Metode Peneltian ... 63

3.1 Pendekatan Penelitian ... 63

3.2 Partisipan ... 63

3.2.1 Teknik Pengambilan Sampel ... 64

3.3 Variabel dan Definisi Variabel ... 64

3.3.1 Variabel Penelitian ... 64

3.3.2 Definisi Konseptual ... 65

3.3.3 Definisi Operasional ... 67

3.4 Pengumpulan data ... 68

3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data... 68

3.5 Pengujian Validitas Konstruk ... 72

3.6 Uji Validitas Konstruk ... 73

3.6.1 Uji Validitas Konstruk Posttraumatic Growth ... 73

3.6.2 Uji Validitas Konstruk Harapan ... 83

3.6.3 Uji Validitas Konstruk Coping Religius ... 86

3.6.4 Uji Validitas Konstruk Social Support ... 90

3.7 Prosedur Pengumpulan Data ... 97

3.8 Metode Analisis Data... 98

BAB IV Hasil Penelitian... 100

4.1 Analisis Deskriptif ... 100

4.1.1 Gambaran Umum Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi ... 100

4.1.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth... 101

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 102

4.2.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian ... 102

4.2.2 Pengujian Sumbangan Masing-masing Independen Variabel ... 110

BAB V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran ... 116

5.1 Kesimpulan ... 116

5.2 Diskusi ... 117

5.3 Saran ... 129

5.3.1 Saran Metodologis ... 130

(13)
(14)

xiv

Bagan 2.4 Visualisasi Willpower ... 42

Bagan 2.5 Visualisasi Waypower ... 44

Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan ... 45

Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower... 46

Bagan 2.8 Kerangka Berpikir ... 60

(15)

xv

Tabel 3.4 Blueprint Skala Social Support ... 72

Tabel 3.5 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Appreciation of Life) ... 75

Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG (Appreciation of Life) ... 76

Tabel 3.7 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Relating to Others) ... 78

Tabel 3.8 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Personal Strength) ... 79

Tabel 3.9 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (New Possibilities) ... 81

Tabel 3.10 Muatan Faktor Aitem Posttraumatic Growth (Spiritual Change) ... 82

Tabel 3.11 Muatan Faktor Aitem Waypower ... 84

Tabel 3.12 Muatan Faktor Aitem Willpower ... 85

Tabel 3.13 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Positif ... 87

Tabel 3.14 Muatan Faktor Aitem Coping Religius Negatif ... 89

Tabel 3.15 Muatan Faktor Aitem Informational Support ... 91

tabel 3.16 Muatan Faktor Aitem Emotional Support ... 92

Tabel 3.17 Muatan Faktor Aitem Affectionate Support ... 94

Tabel 3.18 Muatan Faktor Aitem Positive Social Interaction ... 95

Tabel 3.19 Muatan Faktor Aitem Tangible Support... 96

Tabel 4.1 Gambaran Recovering addict Berdasarkan Fase Rehabilitasi ...100

Tabel 4.2 Kategorisasi Recovering addict Berdasarkan Tingkat Posttraumatic Growth ...101

Tabel 4.3 R Square ...103

Tabel 4.4 Anova ...104

Tabel 4.5 Koefisien Regresi ...105

Tabel 4.6 Sumbangan Masing-masing Variabel Independen ...111

Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Penelitian ...115

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kejadian stressful atau juga dapat diartikan sebagai kejadian traumatik dapat menyebabkan tekanan psikologis dan biasanya juga akan memunculkan respon negatif pada seseorang. Haidt (2006) menyebutkan bahwa depresi, kecemasan, penyakit jantung dan PTSD merupakan beberapa contoh keadaan yang diakibatkan stress dan trauma (dalam Hanson, 2010). Kesedihan, rasa bersalah, kemarahan dan rasa sensitif juga merupakan respon lain yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya (Tedeschi & Calhoun, 2004).

Namun, keadaan stressful tidak selalu memberikan efek negatif pada seseorang. Saat ini, fokus utama penelitian mulai bergeser dari melihat aspek negatif pada sebuah kejadian traumatik menjadi lebih melihat pada aspek positif dari kejadian traumatik tersebut. Lapangan penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan antara gangguan traumatik dan kebermaknaan hidup yang juga disertai dengan frekuensi perubahan positif pada seseorang (Schmidt, 2008). Menurut Kaplan (1964) dan Frankl (1963), perubahan psikologis yang positif dapat terjadi dalam keadaan yang stressful (dalam Linley & Joseph, 2004). Perubahan positif ini dikenal dengan istilah Posttraumatic Growth (PTG) (Tedeshi & Calhoun, 2004). Seseorang yang melakukan perjuangan dalam menghadapi kejadian traumatik yang dengan jelas memberikan efek negatif pada

(17)

kondisi psikologisnya ternyata juga dapat memberikan kebermaknaan pada dirinya. Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan setidaknya beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik tersebut meskipun mengalami penderitaan yang berat (Calhoun & Tedeschi, 2004).

PTG dapat membuat seseorang lebih merasa memiliki kehidupan yang berarti. Namun PTG tidak sama dengan sekedar merasa bebas, bahagia atau memiliki perasaan yang baik. PTG juga membuat seseorang merasakan kehidupan dengan level kedekatan secara personal, interpersonal dan spiritual yang lebih dalam (Linley & Joseph, 2004).

(18)

memiliki self insight yang lebih baik dan juga perubahan positif pada nilai serta prioritas dalam hidupnya.

Selain itu, PTG juga terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Penggunaan NAPZA dan masalah adiksinya merupakan salah satu pengalaman atau kejadian yang bersifat traumatik atau stressful dan sangat mempengaruhi kehidupan orang yang mengalaminya. Hewit (2002; 2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif ataupun negatif. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan kejadian yang

stressful (Hewit, 2007). Christo & Morris (2004) menyatakan bahwa secara umum, studi menunjukkan bahwa pengguna NAPZA memiliki dua kali lebih banyak pengalaman hidup yang traumatik dibandingkan populasi lainnya. Sepertiga sampai setengahnya mungkin berpotensi terdiagnosa PTSD (Schumm dkk, 2004), terlebih lagi di antara para perempuan (Najavits dkk, 1998) (dalam Hewit, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hewit (2007) pada

(19)

dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Proses refleksi dan re-evaluasi ini membawa mereka pada perubahan ke arah positif. Seorang recovering addict

menyatakan bahwa adiksi menyebabkan dirinya mengevaluasi kembali kehidupannya serta kepercayaannya akan kehidupan dan dirinya. Hal ini juga diperkuat oleh salah satu recovering addict di UPT T&R BNN Lido yang peneliti wawancarai saat pengambilan data yang menyatakan bahwa setelah berhenti menggunakan NAPZA ia menjadi lebih mengenal siapa dirinya dan melakukan evaluasi terhadap kesalahan yang telah ia lakukan, misalnya kesalahan yang dilakukan terhadap keluarganya dan kemudian melakukan perbaikan dalam kehidupannya.

Namun, PTG tidak terjadi begitu saja setelah seseorang mengalami kejadian yang stressful. Kemampuan seseorang untuk mengubah dirinya menjadi positif berkaitan dengan bagaimana cara dirinya menghadapi suatu pengalaman yang terjadi. Dibutuhkan beberapa faktor baik faktor internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Ho dkk (2010) menemukan bahwa harapan dan optimisme memiliki korelasi positif dengan PTG dimana harapan memberikan sumbangan sebesar 16% pada varians PTG. Selain itu berdasarkan analisis regresi yang dilakukan, waypower memberikan pengaruh yang signifikan pada PTG.

(20)

reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal

(negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. Thombre dkk juga menjelaskan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan nilai PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif.

Menurut Pargament dkk (2005) coping religius dapat memberikan arti pada kejadian negatif, berperan sebagai pengontrol diri dalam situasi yang sulit, menyediakan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan keintiman, dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan.

(21)

pengambilan data di UPT T&R BNN Lido, yang menyatakan bahwa dukungan yang mereka dapatkan baik dari keluarga ataupun komunitas mereka di program

Therapeutic Community (TC) dapat membantu dalam menghadapi kesulitan yang dialami selama proses rehabilitasi. Selain itu melalui sharing yang mereka lakukan saat berada di TC juga dapat membantu dalam mengenal dirinya lebih dalam dan memiliki hubungan yang lebih dekat satu sama lain.

Kemudian penelitian mengenai faktor PTG lainnya menunjukkan adanya hubungan positif antara cognitive process dan PTG. Partisipan yang mencoba untuk memahami, menyelesaikan dan membuat keadaan menjadi masuk akal segera setelah kejadian traumatik terjadi menunjukkan tingkat PTG yang tinggi (Calhoun dkk, 2000). Selain itu pengekspresian emosi yang dirasakan kepada orang lain (emotional processing) juga mempengaruhi PTG pada pasien kanker.

Didapatkan bahwa semakin sering seseorang mengekspresikan perasaannya pada orang lain mengenai kejadian traumatik yang dialami maka semakin tinggi skor PTGI yang didapatkan (Manne dkk, 2004).

(22)

PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit (2002; 2007) yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca

recovery memiliki PTG yang lebih tinggi.

Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti masalah mengenai Posttraumatic Growth (PTG) ini karena masih sedikitnya penelitian mengenai fenomena ini di Indonesia terutama pada

recovering addict. Selain itu kebanyakan penelitian sebelumnya lebih melihat efek negatif dari sebuah kejadian traumatik. Padahal kejadian traumatik tidak selalu memberikan efek negatif pada orang yang mengalaminya. Hanya penelitian yang dilakukan baru-baru ini yang mulai mengevaluasi aspek positif dari trauma dan menggunakan instrumen dalam mengevaluasi perkembangan personal seseorang (personal growth) (Park, Cohen, & Murch, 1997; Tedeschi & Calhoun, 1996 dalam Znoj, 2005).

(23)

akan peneliti jadikan subjek penelitian yang didasarkan pada observasi dan wawancara yang peneliti lakukan selama proses pengambilan data.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai ”FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POSTTRAUMATIC GROWTH PADA RECOVERING ADDICT DI UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) TERAPI & REHABILITASI BNN LIDO”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Dari beberapa identifikasi masalah yang dijelaskan di atas, maka agar penelitian tidak meluas, peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

1. Posttraumatic Growth (PTG)

Tedeschi & Calhoun (2004) Posttraumatic Growth (PTG) yang dimaksud adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Perubahan dalam hal ini terdiri dari 5 aspek, antara lain:

a. Appreciation of life adalah perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang yang kemudian berpengaruh terhadap penghargaan dirinya terhadap hidup.

(24)

c. Personal strength adalahperubahan yang berupa peningkatkan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya.

d. New possibilities adalah identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda.

e. Spritual Change adalah perkembangan pada aspek spirtualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial.

2. Harapan (Hope)

Snyder (1994) mendefinisikan harapan (hope) sebagai kemampuan untuk merencanakan suatu cara atau jalur menuju tujuan yang diharapkan meskipun menjumpai hambatan (waypower) dan motivasi untuk mencapai tujuan tersebut (willpower).

3. Coping Religius

Pargament dkk (2005) menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Pargament dkk (dalam Raiya, 2008) membagi coping religius terdiri dari 2 dimensi, antara lain:

a. Coping Religius Positif

(25)

b. Coping religius negatif

Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif.

4. Dukungan Sosial (Social Support)

Sherbourne & Stewart (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan yang diberikan oleh seseorang yang dilihat dari 5 aspek, yaitu: a. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi,

bimbingan dan saran.

b. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi efek yang positif, empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati.

c. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang.

d. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan.

e. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku.

5. Usia

(26)

6. Fase Rehabilitasi

Fase rehabilitasi yaitu tahapan program rehabilitasi sosial dimana dalam hal ini peneliti menggolongkannya pada tahapan primary green, primary hope, re-entry serta staff adiksi.

Recovering addict yang dimaksud adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia) yang berada di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Sukabumi yang berada pada fase primary green, primary hope, re-entry sertastaff adiksi.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction, tangible support,

usia dan fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

(27)

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari affectionate support terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

9. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

10. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari tangible support terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict?

11. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap posttraumatic growth pada recovering addict?

12. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap

(28)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower, willpower, coping religius positif, coping religius negatif, informational support, emotional support, affectionate support, positive social interaction,

tangible support, usia dan fase rehabilitasi pada recovering addict.

2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari waypower terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict.

3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari willpower terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict.

4. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius positif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

5. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari coping religius negatif terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

6. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

7. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari emotional support

terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

8. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari affectionate support

(29)

9. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari positive social interaction terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

10. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari tangible support

terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

11. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari usia terhadap

posttraumatic growth pada recovering addict.

12. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan dari fase rehabilitasi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis:

1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan

posttraumatic growth khususnya pada recovering addict.

2. Menambah dan memperluas khazanah dalam keilmuan psikologi klinis khususnya dalam aspek pasca-traumatik.

Manfaat Praktis:

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah masukan bagi panti rehabilitasi ataupun orang-orang yang berada di sekitar recovering addict,

khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan posttraumatic growth

(30)

1.4. Sistematika Penelitian

BAB I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth pada

recovering addict, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II Kajian Pustaka, menguraikan sejumlah konsep yang berkaitan dengan

posttraumatic growth yang terdiri dari pengertian, aspek PTG, proses terjadinya PTG, PTG pada recovering addict, model PTG pada recovering addict serta faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga dijelaskan konsep mengenai pengetian harapan dan komponen dalam harapan, pengertian coping religius, pendekatan coping religius dan aspek-aspek coping religius, pengertian dukungan sosial, efek dukungan sosial dan sumber-sumber dukungan sosial. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka berpikir, hipotesis mayor dan hipotesis minor dari penelitian.

BAB III Metodologi Penelitian, Bab ini berisi penguraian mengenai, pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan definisi variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, prosedur pengumpulan data dan metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini.

(31)
(32)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Posttraumatic Growth (PTG)

2.1.1 Pengertian

Menurut Tedeschi & Calhoun:

Posttraumatic Growth (PTG) is the experience of positive change that occurs as a result of the struggle with highly challenging life crises (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004).

PTG adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa dekade orang-orang melihat reaksi negatif yang dihasilkan dari sebuah kejadian traumatik, Tedeschi dan Calhoun (dalam Schmidt, 2008) membuka sebuah area penelitian baru yang melihat reaksi positif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatik yang kemudian dikenal dengan istilah

Posttraumatic Growth (PTG). Konstruk ini menuju pada perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang tentang kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis yang terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaannya sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai “sebuah

kesempatan untuk perkembangan diri selanjutnya” (Zoellner & Maercker, dalam

Schmidt, 2008).

(33)

PTG memiliki dua pengertian penting. Pertama, Tedeschi & Calhoun menyatakan bahwa PTG dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat (Bellizzi & Blank dan Tedeschi & Calhoun, dalam Schmidt, 2008).

Istilah PTG lebih menangkap inti dari suatu fenomena yang terjadi dibandingkan istilah lain, karena: (1) PTG terjadi secara khusus pada beberapa kejadian yang stressful dibandingkan pada kejadian dengan level stress yang rendah, (2) PTG disertai dengan transformasi perubahan kehidupan, (3) PTG merupakan hasil dari pengalaman traumatik bukan suatu bentuk mekanisme coping dalam menghadapi pengalaman traumatik, dan (4) PTG merupakan perkembangan atau kemajuan dari kehidupan seseorang (Linley & Joseph, 2004).

Istilah lain yang terkait dengan fenomena PTG antara lain stern conversion, positive psychological changes, perceived benefits atau construing benefits, stress related-growth, discovery of meaning, positive emotions,

flourishing dan thriving (Linley & Joseph, 2004).

(34)

menurutnya. PTG tidak hanya kembali pada keadaan semula (normal), tetapi juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2004).

PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Calhoun & Tedeschi (1998) menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang “mengguncang” dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang “mengguncang” dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian

tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi, dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia (Tedeschi & Calhoun, 2004).

(35)

2.1.2 Aspek Posttraumatic Growth

Calhoun & Tedeschi (1996) (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca kejadian traumatik yang juga merupakan elemen PTG antara lain:

1. Appreciation for life (Pernghargaan terhadap hidup)

Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut misalnya menjadikan hal yang kecil menjadi sesuatu yang penting dan berharga misalnya senyuman anak atau waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama anak. “Even the smallest joys in life took on a special

meaning”.

2. Relating to others (Hubungan dengan orang lain)

Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan keluarga atau temannya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang sedang mengalami kesedihan.

3. Personal strength (Kekuatan dalam diri)

(36)

dengan lebih baik. Hal-hal yang menjadi sesuatu masalah yang besar sekarang menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya”.

4. New possibilities (Kemungkinan-kemungkinan baru)

Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kehilangan orang tersayangnya karena suatu penyakit mempengaruhi dirinya untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya seorang suster. Dengan menjadi seorang suster ia dapat mencoba memberikan kepedulian dan rasa nyaman pada orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang memperlihatkan ketertarikan yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola kehidupan baru yang signifikan.

5. Spritual Development (Perkembangan spiritual)

Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spirtualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religius atau tidak memiliki agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang hebat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG.

Selain itu Calhoun & Tedeschi (1999) (dalam Taku dkk, 2008) juga membagi PTG ke dalam 3 aspek antara lain:

(37)

kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dalam mengembangkan kesempatan baru.

2. Perubahan dalam hubungan interpersonal (changes in interpersonal relationship), antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain.

(38)

2.1.3 Proses Terjadinya Posttraumatic Growth

Bagan 2.1 Proses Terjadinya PTG

Pada skema di atas, dapat digambarkan beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya, tingkat self-disclosure

seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya PTG pada

(39)

seseorang. Kemudian juga dapat digambarkan bagaimana cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thoughts) juga berhubungan dengan munculnya PTG. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa proses kognitif seseorang dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG. Terakhir, PTG dapat secara signifikan berhubungan dengan kebijaksanaan dan narasi kehidupan individu (the

individual’s life narrative) (Tedeschi & Calhoun, 2004).

a. Karakteristik personal atau individu

(40)

b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing emotion)

Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif dan merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan (Tedeschi & Calhoun, 2004).

Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa ketidakpercayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa ia telah menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004).

c. Dukungan dan keterbukaan (Support and disclosure)

(41)

survivors) untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu trauma survivor untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain (Tedeschi & Calhoun, 2004).

d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth)

Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, ia akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya (Tedeschi & Calhoun, 2004).

e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing)

(42)

mengenai keadaan yang ia alami. Menurut Martin & Tesser (dalam Linley & Joseph, 2004) bentuk proses kognitifini memiliki karakterisasi antara lain “masuk akal (making sense), menyelesaikan masalah (problem solving), mengenang

(reminiscence), dan antisipasi (anticipation)”. Pemikiran ulang atau perenungan

(rumination) ini merupakan suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat dicapai dan beberapa asumsinya yang tidak dapat menerima realita baru pasca kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk formula tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan keadaan kehidupannya (Linley & Joseph, 2004).

f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative)

(43)

2.1.4 Pengertian Recovering Addict

2.1.4.1 Recovering Addict

2.1.4.1.1 Adiksi (Addiction)

MacAndrew (1998) menyatakan bahwa addiction atau adiksi berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab pengekangan atau pengendalian (dalam Hewit, 2007). Selanjutnya masih dalam Hewit, APA (1994) memberikan pula definisi addiction sebagai perilaku berlebih dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang berbahaya. BNN (2009) menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik (lama) dan progresif (makin memburuk jika tidak ditolong). Gejala utamanya antara lain:

1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain

2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya

3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya 4. Menyangkal adanya masalah (BNN, 2009).

(44)

sebagai bagian dari penyakit. Penyakit adiksi berlangsung kronis. Namun, penyakit itu dapat dihentikan asalkan pecandu mau berhenti memakai narkoba dan semua jenis pengubah suasana hati lain. Karena adiksi adalah suatu penyakit, maka sekali seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba, ia tidak akan pernah dapat kembali pada pemakaian kembali tanpa resiko menjadi ketergantungan sehingga ia harus menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia total) (BNN, 2009).

Proses terjadinya ketergantungan (adiksi) NAPZA:

Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan (Adiksi) NAPZA

Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti seorang yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, berapa pun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama sekali pemakaiannya (abstinensia) (BNN, 2009).

2.1.4.1.2 Pemulihan (Recovery)

Pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of addiction

adalah kondisi berhenti sepenuhnya (abstinensia) dari perubahan mood yang diakibatkan oleh zat (termasuk rokok, kafein dan beberapa obat lainnya).

(45)

Selain itu Granfield & Cloud (1999) mendefinisikan recovery sebagai penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti “bersih” dari

adiksi, “pantang” dari penggunaan obat-obatan, atau “pengampunan” dari tahapan ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa

recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan

treatment tertentu (Wesson dkk, 1986).

Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk relaps (kambuh). Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba (abstinensia). Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai, gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut “pemulihan seluruh pribadinya”. Hal yang harus dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani, okupasional (pekerjaan) dan pendidikan (BNN, 2009).

Pemulihan memiliki arti sebagai berikut:

a. Menghentikan sama sekali pemakaian narkoba (abstinensia),

b. Memisahkan diri dari orang lain, tempat dan benda yang dapat mendorong pemakaian narkoba kembali,

(46)

d. Memulihkan hubungan dengan sesamanya, terutama keluarga,

e. Mengubah perilaku adiktif dengan menyadari dan mengakui perasaan-perasaan negatif yang dihayati dan pikiran-pikiran yang tidak rasional,

f. Belajar cara mengelola perasaan secara bertanggung jawab tanpa narkoba, g. Belajar cara mengubah pola pikir adiktif yang menciptakan perasaan yang

menyakitkan dan perilaku merusak diri,

h. Mengenal dan mengubah keyakinan keliru dan salah tentang diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya (BNN, 2009).

Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada kondisi “normal” seperti sebelum ia mengalami gangguan (Maddux & Desmond,

1986). Jadi yang dimaksud dengan recovering addict adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia).

2.1.5 Posttraumatic Growth pada Recovering addict

(47)

setelah mereka mengalami masalah adiksi dan keuntungan dari proses treatment

yang diberikan masih belum jelas (dalam Hewit, 2007).

Kemudian penelitian kedua dilakukan oleh Hewit (2002; 2007) pada 65 sampel pengguna alkohol yang pada proses pemulihan di Inggris. Studi ini dilakukan pada jangka waktu 3 tahun setelah pemulihan sehingga efek PTG lebih terlihat. Pada studi ini ditemukan bahwa PTSD (Posttraumatic Stress Disorder)

berhubungan terbalik dengan waktu pasca adiksi atau ketergantungan. Kemudian efek dari PTSD dan PTG hidup berdampingan. Terdapat hal-hal signifikan yang berkaitan dengan individu dengan latar belakang penyalahguna NAPZA dalam studi mengenai PTG, misalnya studi yang dilakukan Dunbar dkk (1998) yang menemukan bahwa salah satu hal yang berpengaruh pada PTG recovering addict

adalah HIV/AIDS (dalam Hewit, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hewit (2007), perubahan perspektif dan bagaimana pandangan pada identitas diri yang terjadi pada

recovering addict antara lain dimulai dengan perasaan sebagai seorang pecandu, kemudian berubah menjadi perasaan sebagai seorang pecandu yang tidak menggunakan NAPZA, selanjutnya menjadi perasaan sebagai seorang mantan pecandu dan kemudian berada pada tingkat dimana mereka tidak memikirkan dirinya pada keadaan adiksi lagi.

(48)

work with somebody in the near vicinity who is a drug user and even though I

have been where he is, I feel very different to him…”

2.1.6 Model PTG pada Recovering addict

Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict

Hewit (2007) menjelaskan bahwa proses di atas secara keseluruhan menggambarkan sebuah proses individuation, yaitu proses realisasi diri atau proses menjadi diri sendiri yang bersifat unik pada setiap orangnya, yang juga merupakan usaha untuk hidup dengan bermakna. Proses individuasi ini juga meliputi pembelajaran seseorang mengenai kesulitan dalam masalah adiksinya. Konstruk individuation dan growth mirip tetapi sebenarnya tidak sama. Growth

merupakan perubahan positif pada beberapa aspek kehidupan yang diikuti dengan kebahagiaan serta kepuasan, kemudian individuasi merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari growth (Hewit, 2007).

(49)

PTG pada recovering addict dipengaruhi oleh growth capital yaitu sumber internal dan eksternal yang dapat mendukung perkembangan positif pada seseorang yang kemudian juga mempengaruhi proses recovery seseorang. Selain itu kunci recovery, growth, growth capital dan semua proses individuasi adalah

deliberateness yaitu usaha aktif dan sadar untuk meningkatkan perkembangan pada dirinya, antara lain kesadaran diri, menentukan tujuan, bertanggung jawab dan mengambil keputusan (Hewit, 2007).

Kemudian pengalaman yang positif (positive loops) memberikan pengaruh terhadap usaha yang dilakukan (deliberateness) dan kekuatan internal serta eksternal (growth capital) pada recovering addict. Pengalaman dan juga pilihan positif yang pernah dilakukan akan memberikan kesempatan recovering addict

untuk meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan, pengalaman serta perkembangan yang positif selanjutnya (Hewit, 2007).

“...once you start realising that you can do things, then you entertain the

possibility of doing more, and you also get to be a bit of a success junkie... the

good feelings that you get about yourself having been able to achieve something,

you just want more!

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, antara lain: a. Harapan (Hope)

(50)

stressful dan memegang peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan tidak hanya sekedar sebuah ekspektansi bahwa tujuannya dapat dicapai, namun juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan tersebut. Pada penderita fibromyalgia dengan skor harapan yang tinggi menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi pada rasa sakitnya yang kronis dan membuatnya lebih menerima dirinya serta menjadi individu yang lebih kuat (Tedeschi dkk, 1998).

b. Dukungan sosial (social support)

(51)

c. Coping religius

Agama memiliki peranan sebagai coping seseorang dalam menghadapi kejadian stressful, antara lain sebagai coping yang digunakan bagi seseorang yang kehilangan anak, pasangan atau teman dekat (Profitt dkk, 2007). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk (2010) menunjukkan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Dari keempat dimensi positif dan negatif coping religius menunjukkan bahwa penggunaan benevolent religious reappraisal (positif coping) yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal

(negatif coping) yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG.

d. Optimisme

(52)

kemampuan seseorang dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejadian traumatik (Prati & Pietrantoni, 2009).

e. Agama dan Spiritualitas

Shaw dkk (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara agama atau spiritualitas dengan trauma, dimana agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang menghadapi traumanya dan dapat membantu meningkatkan perkembangan PTG. Shaw dkk juga menyatakan bahwa aspek intrinsik dari agama dan spiritualitas memiliki hubungan dengan PTG, dimana aspek intrinsik tersebut menciptakan makna, tujuan dan keseimbangan dalam hidup (dalam Hewit, 2007). Digens (2003) menyatakan bahwa kepercayaan agama dan spiritualitas dapat mempengaruhi PTG, khususnya pada area spiritual change

(perubahan spriritual).

f. Usia dan Jenis Kelamin

(53)

mungkin dipengaruhi oleh jenis kejadian traumatik yang dialami atau karakteristik yang berbeda dalam sebuah populasi (Diggens, 2003).

g. Time Since Event

Interval atau jarak waktu antara kejadian traumatik dengan keadaan saat ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi PTG. Namun interval waktu sampai seseorang mengalami PTG terjadi berbeda-beda pada setiap orang. Pada beberapa kejadian mungkin PTG dapat terjadi segera setelah kejadian stressful

muncul, namun pada beberapa kejadian tidak. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh jenis kejadian traumatik ataupun karakteristik individu yang mengalaminya (Tedeschi dkk, 1998). Misalnya pada penelitian yang dilakukan secara longitudinal oleh Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya ditemukan bahwa perubahan psikologis terjadi pada mereka setelah pasien didiagnosa menderita kanker, kemudian PTG meningkat pada keduanya setelah 1,5 tahun pasca diagnosa. Pada beberapa literatur empirik, sebagian besar frekuensi yang dibutuhkan untuk mengukur PTG adalah satu tahun setelah kejadian traumatik terjadi. Helgeson dkk (2006) menemukan bahwa PTG memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat depresi yang rendah dan memiliki perubahan yang lebih besar ketika sebuah trauma terjadi lebih dari satu tahun yang lalu (dalam Hanson, 2010).

h. Karakteristik dari Kejadian Traumatik

(54)

dengan wanita yang menderita kanker payudara (dalam Diggens, 2003). Selanjutnya Park serta Tedeschi & Calhoun menyebutkan bahwa orang yang mengalami pengalaman traumatik yang berat atau masalah yang lebih berat dalam hidup akan mengalami kemungkinan perkembangan PTG yang lebih baik (dalam Diggens, 2003).

i. Faktor Lain

Dalam studi Manne dkk (2004) pada pasien kanker payudara dan pasangannya, positive reappraisal, emotional processing, emotional expression,

dan cognitve processing memiliki hubungan dengan PTG. Calhoun dkk (2000) mengemukakan bahwa cognitive process dan agama memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh pada PTG antara lain positive reappraisal coping, acceptance coping dan pencarian dukungan sosial (seeking social support) (Prati & Pietrantoni, 2009), status ekonomi, self-esteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress

dan life satisfaction yang juga memberikan sumbangsih pengaruh kepada perkembangan PTG seseorang (Helgeson, dalam Prati & Petrantoni, 2009), dan

self disclosure (Tedeschi & Calhoun, 2004).

2.2 Harapan (Hope)

2.2.1 Pengertian

(55)

pathways thinking (cara dalam mencapai keinginan) dan willpower atau agency thinking (motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan).

Hanya tujuan dengan nilai yang sesuai dengan individu yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai harapan. Tujuan tersebut mungkin berkaitan dengan hal yang mengarah dengan tujuan yang diinginkan atau hal-hal yang mengarah pada penghentian kejadian yang tidak diinginkan. Orang yang memiliki harapan yang tinggi memiliki emosi positif dan semangat yang bersumber dari sejarah kesuksesan yang pernah dicapai, sedangkan orang yang memiliki harapan yang rendah memiliki emosi negatif dan emosi yang datar yang bersumber dari sejarah kegagalan yang terjadi dan tidak dapat menemukan cara alternatif lain (Snyder, 2007).

Snyder (1994) harapan (hope) adalah :“the sum of the mental willpower dan waypower that you have for your goals”. Menurut Snyder (1994), bagaimana seseorang berpikir dan menginterpretasikan lingkungan eksternalnya merupakan kunci untuk memahami harapan. Harapan memiliki 3 komponen utama, yaitu

goal, waypower, dan willpower.

2.2.2 Komponen dalam Harapan (Hope)

Menurut Snyder (1994) komponen harapan antara lain:

1. Tujuan (goal)

(56)

sesuatu yang relevan terkait dengan tujuan yang penting dan serius dalam hidup seseorang. Snyder menjelaskan bahwa ketika peluang untuk mencapai tujuan yang didambakan sama sekali tidak ada (0%) atau peluangnya sangat pasti dapat dicapai (100%) maka konsep harapan tidak relevan. Penyebabnya adalah hasilnya sudah dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, konsep harapan relevan pada tujuan yang terletak diantara sesuatu yang pasti akan tercapai dan sesuatu yang pasti tidak akan pernah tercapai (Snyder, 1994).

Tujuan dapat berjangka pendek (dapat dicapai dalam waktu yang singkat) atau berjangka panjang (dicapai dalam waktu yang panjang) (Snyder, 2007). Tujuan harus bersifat dapat dicapai, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa tingkat ketidakpastian (Snyder, 2005).

2. Willpower

Snyder (1994) menyatakan bahwa willpower merupakan kekuatan pendorong dalam berpikir dengan penuh harapan (hopeful thinking). Willpower

adalah “the sense of mental energy that over time helps to propel person toward

goal”.

Agency thinking atau willpower merupakan kapasitas seseorang (motivasi) untuk menggunakan sebuah cara dalam mencapai keinginan yang diharapkan.

(57)

Berikut ini merupakan visualisasi dari konsep willpower menurut snyder:

Bagan 2.4 Visualisasi Willpower

Dalam visualisasi diatas, willpower (tanda panah) menggerakan seseorang dari poin A yang menggambarkan keadaan saat ini menuju ke pencapaian tujuan yang digambarkan dengan poin B. Willpower berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu.

Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan (Snyder, 1994).

Willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuannya maka ia cenderung dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Willpower juga memunculkan keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan (Snyder, 1994). Orang yang memiliki kapasitas agency thinking yang baik akan memiliki pernyataan atau perkataan pada dirinya sendiri seperti “Saya akan tetap berusaha”

(58)

dan mereka akan menghasilkan serta menggunakan perkataan yang bersifat motivasional ketika menghadapi rintangan atau hambatan (Snyder, 2007).

Kemampuan seseorang untuk menciptakan willpower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan. Penting untuk digarisbawahi bahwa willpower

tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki willpower

adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan sebelumnya dalam hidup (Snyder, 1994).

3. Waypower

Snyder (1994) mengemukakan definisi waypower sebagai berikut:

a mental capacity we can call on to find one more effective ways to reach our

goal”.

Waypower merefleksikan rencana atau peta jalur secara mental yang menunjuk pada pemikiran yang penuh harapan (hopeful thinking). Waypower

adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan (Snyder, 1994).

(59)

positif tentang bagaimana ia menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Snyder, 2007).

Berikut ini adalah visualisasi konsep waypower menurut Snyder (1994):

Bagan 2.5 Visualisasi Waypower

Dalam visualisasi diatas, waypower menunjukan suatu rute (tanda panah) yang harus dijalani dan dilalui seseorang (dari poin A) menuju tujuan (poin B). Secara khusus, kemampuan waypower seseorang dapat ditetapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atau dioperasionalkan dengan baik. Sama seperti willpower, waypower lebih sering terjadi terkait dengan tujuan yang lebih penting. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaimana meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih penting tersebut (Snyder, 1994).

Kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Persepsi seseorang akan kemampuannya

(60)

mengembangkan cara atau jalan menuju tujuannya kemungkinan diperkaya oleh pengalaman sebelumnya. Pengalaman keberhasilan sebelumnya yang dimaksud adalah dalam hal mengembangkan suatu cara atau jalur baru menuju tujuan pada saat adanya hambatan dalam menjalankan cara yang biasanya dipakai menuju tujuan tersebut (Snyder, 1994).

Dalam hal ini. waypower termasuk bersifat fleksibel untuk menemukan suatu alternatif jalur menuju pencapaian tujuan yang didambakan. “Jika anda tidak melakukannya dengan suatu cara tertentu, lakukanlah dengan cara yang berbeda” (Snyder, 1994)

Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan/ Hambatan

Dalam visualisasi diatas tampak adanya jalur lurus dari poin A (kedaaan saaat ini) menuju poin B (tujuan yang didambakan) melalui jalur yang biasanya digunakan. Namun kemudian di antaranya terdapat hambatan (kotak stop). Seseorang dengan kemampuan waypower yang tinggi secara mental mampu merencanakan jalur lainnya menuju tujuan yang didambakan tersebut (panah melengkung). Keyakinan bahwa terdapat beberapa jalan atau jalur yang dapat dilalui menuju pencapaian tujuan dimiliki oleh seseorang dengan kemampuan

(61)

waypower yang tinggi. Dalam hal ini, seseorang mengubah blueprint yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan tujuan yang didambakan dan rintangan yang harus dihadapinya. Tidak semua orang dapat mempersepsikan bahwa dirinya mampu membuat suatu rencana baru melainkan kebanyakan orang cenderung merasa terhambat dan kehabisan cara ketika mengalami hambatan dalam usaha pencapaian tujuan (Snyder, 1994).

2.2.3 Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori

Emotions

Emotions

Learning History Pre-event Event Sequence Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower (Snyder, 2005)

2.2.4 Variasi Harapan Berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower

Menurut Snyder (1994), seseorang yang memiliki personal sense of willpower

sebaliknya juga memiliki pemikiran terkait waypower menuju pecapaian tujuan yang didambakan. Namun seringkali hal ini tidak terjadi. Penelitian menujukkan bahwa seseorang dengan kemampuan berpikir willpower tidak selalu memiliki pemikiran terkait waypower. Seseorang yang tidak memiliki keduanya, willpower

(62)

dan waypower, tidak dapat dikatakan bahwa harapannya tinggi. Terdapat empat jenis variasi tentang kombinasi willpower dan waypower (Snyder, 1994), yaitu:

1. Willpower rendah dan waypower rendah. Seseorang dapat dikatakan memiliki tingkat harapan yang rendah. Menurut Snyder (1994), seseorang dengan kombinasi pertama ini rentan mengalami depresi karena selalu berpikir bahwa dirinya tidak mampu meraih tujuan yang didambakannya. Hal ini semakin memburuk ketika seseorang tidak mampu mendefinisikan atau mengoptimalkan tujuannya.

2. Willpower tinggi dan waypower rendah. Seseorang tampak memiliki energi yang cukup untuk mencapai tujuan yang diharapkan namun tidak berpikir bahwa dirinya menuju tujuan yang didambakan. Menurut Snyder (1994) dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai suatu tujuan (willpower) cenderung mengakibatkan frustasi atau kemarahan yang diasosiasikan dengan kinerjanya yang buruk. Selain itu, ketika waypower yang rendah terus dirasakan dalam jangka waktu yang lama maka seseorang cenderung akan mengalami kehilangan waypower.

3. Willpower rendah dan waypower tinggi, dalam benaknya memiliki berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan tentang bagaimana caranya meraih tujuan namun cenderung memiliki keyakinan yang rendah akan kemampuannya dalam menggunakan berbagai kemungkinan yang ada (Snyder, 1994).

Gambar

Tabel 3.3 Blueprint Skala Coping Religius
Muatan Faktor Aitem Tabel 3.5 Posttraumatic growth (Appreciation of Life)
Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Aitem PTG
Muatan Faktor Aitem Tabel 3.7 Posttraumatic Growth (Relating to Others)
+7

Referensi

Dokumen terkait