ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN TINGKAT
PENDIDIKAN DISTRIBUTOR MLM TERHADAP
KEPATUHAN PAJAK
(Studi Kasus pada distributor MLM di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Diajukan Oleh :
Nama : Ahmad Syahri
NIM : 105082002603
FAK/JUR : FEIS/Akuntansi Perpajakan
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Ahmad Syahri
2. Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Mei 1987
3. Alamat : Jl. Tegal Parang Sel.I Rt.001/05,
No.42 Mampang Prapatan,Jakarta
Selatan 12790
4. Telepon : (021) 98247990 / (021) 7941152
II. PENDIDIKAN
1. MI Al-Khairiyah, Jakarta Tahun 1993-1999
2. MTsN 1, Jakarta Tahun 1999-2002
3. SMAN 55, Jakarta Tahun 2002-2005
4. S1 Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Tahun 2005-2010
III.LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : H. Syamsudin
2. Ibu : Hj. Maesaroh
3. Alamat : Jl. Tegal Parang Sel.I Rt.001/05,
No.42 Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan 12790
THE ANALYSIS INFLUENCE OF MOTIVATION AND LEVEL OF EDUCATION MLM AGENTS TO TAX COMPLIANCE
(Case Study on MLM agents in the region Mampang Prapatan, South Jakarta) ABSTRACT
This study aims to examine the effect of Motivation and Education Level MLM agents of Tax Compliance Factors of Individual, (A case study in the area of MLM agents Mampang Prapatan, South Jakarta). The variables are the focus of this research is the motivation and education level (X) as the independent variable and tax compliance (Y) as the dependent variable.
This research was conducted through questionnaires by MLM agents who are resident in the area Mampang Prapatan, South Jakarta., The sample taken as many as 75 respondents, but only back as many as 52 and 49 that can be processed. For the method of analysis and test hypotheses using multiple regression, then the calculations using the SPSS program version 1.6, while the determination of samples was done using convenience sampling method. The results of this study indicated tha only the motivation of MLM agents have significant effect to tax compliance, otherwhise not for education level.
Keywords: Motivation, Education Level, MLM Agents and Tax Compliance
ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN TINGKAT PENDIDIKAN DISTRIBUTOR MLM TERHADAP KEPATUHAN PAJAK
(Studi Kasus pada distributor MLM di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh Motivasi dan Tingkat Pendidikan Distributor MLM terhadap Kepatuhan Pajak Faktor Individu, (Studi kasus pada distributor MLM di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan). Variabel yang menjadi fokus penelitian ini adalah motivasi dan tingkat pendidikan (X) sebagai variabel bebas dan kepatuhan pajak (Y) sebagai variabel terikat.
Penelitian ini dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh distributor MLM yang bertempat tinggal di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan., sampel diambil sebanyak 75 responden, tetapi hanya kembali sebanyak 52 dan yang dapat diolah 49. Untuk metode analisis dan uji hipotesis menggunakan regresi berganda, kemudian perhitungannya menggunakan program SPSS versi 1.6, sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa motivasi distributor MLM berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan perpajakannya, sedangkan tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajaknya.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Analisis Pengaruh Faktor Individu, Budaya Organisasi dan Pengalaman Terhadap Kinerja Konsultan Pajak (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah DKI Jakarta)”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian
syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Aba dan Umi (H. Syamsudin dan Hj. Maesaroh), yang telah memberikan
semangat, dan dukungan baik material maupun non material serta doa yang
tiada henti-hentinya kepada penulis.
2. Keluargaku especially Cing Alim beserta keluarga, kakak-kakak (Po Emah, Po
Eni, Po Iyah) beserta keluarga dan adik (maya beserta suami) yang telah
menyemangati dan memberikan banyak inspirasi dalam menyelesaikan skripsi
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta selaku Pembimbing Skripsi I
yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan
bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Afif Sulfa, SE., Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta selaku dosen
Pembimbing Skripsi II yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Yessi Fitri SE., Ak., M.Si selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas
6. Seluruh staf pengajar dan karyawan Universitas Islam Negeri yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
7. Calon ibu dari anak-anakku, Ahyanawati yang selalu tanpa lelah menemaniku,
membantuku dalam susah dan senang, satu lagi langkah maju menuju
keridhoan Allah SWT.
8. Sahabat-sahabatku yang tak kan pernah tergantikan, Ida Hamadah, Dang
Hadiarrohman (tengkyu y dah dijinin bernaung dan numpang ngeprint),
Ridwan Alhadian Bier, Fani Oktafiani Oneng beserta Galonnya.
9. Uni Fitri dan Apik (makasih banget atas bimbelnya menghadapi kompre) serta
teman-teman Macrophylla (Cez, Ceu, Gra, Ryan Ncong, Ndut, Komeng, dan
Onez)
10. Kawan-kawanku akuntansi A 2005 Rocklee, Nandar, Icha, Mayang, Be2r dan
lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
11. Rekan-rekan Akuntansi Perpajakan, khususnya sari (makasih atas bimbingan
SPSSnya), Akuntansi Manajemen dan Akuntansi Audit angkatan 2005 yang
telah memberikan dukungannya selama ini kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
Jakarta, 27 Agustus 2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul………. i
Lembar Pengesahan Skripsi……… ii
Lembar Pengesahan Uji Komprehensif………. iii
Lembar Pengesahan Uji Skripsi………. iv
Daftar Riwayat Hidup………. v
Abstract……… vi
Abstrak………. vii
Kata Pengantar ……… viii
Daftar Isi………... x
Daftar Tabel………. xiv
Daftar Gambar……… xv
Daftar Lampiran ………. xvi
BAB.I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB.II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
A. Tinjauan Literatur………10
1. Pengertian Motivasi...10
3. Pengertian Multi-Level Marketing (MLM) dan Distributor MLM
... 17
4. Konsep Dasar Perpajakan ... 22
5. Kewajiban Perpajakan yang Terkait dengan MLM ... 37
B. Penelitian Terdahulu ... 43
C. Kerangka pemikiran ... 46
D. Hipotesis ... 47
BAB.III. METODOLOGI PENELITIAN……… 49
A. Ruang Lingkup Penelitian ... 49
B. Metode Pengumpulan Data ... 49
C. Metode Analisis Data ... 50
1. Statistik Deskriptif ... 50
2. Uji Kualitas Data ... 50
a. Uji Reliabilitas ... 50
b. Uji Validitas ... 51
3. Uji Asumsi Klasik... .... 51
a. Uji Multikolonieritas... 52
b. Uji Normalitas... 52
c. Uji Heteroskedastisitas... 53
4. Uji Hipotesis ... 54
a. Koefisien Determinasi (R2) ... 55
b. Uji Statistik t ... 55
BAB.IV. PENEMUAN DAN PEMBAHASAN...58
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian………..…...58
1. Tempat dan Waktu Penelitian...58
2. Karakteristik Responden……...59
B. Hasil Uji Instrumen Penelitian……….61
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif………..61
2. Hasil Uji Kualitas data………...62
a. Hasil Uji Validitas………62
b. Hasil Uji Reliabilitas………....64
3. Hasil Uji Asumsi klasik... 65
a. Uji Multikolonieritas... 65
b. Uji Normalitas…... 66
c. Uji Heteroskedastisitas... 68
4. Hasil Uji Hipotesis………...69
a. Hasil Uji Koefisien Determinasi ……….69
b. Hasil Uji Statistik t ………...70
c. Hasil Uji Statistik F………...72
C. Pembahasan………..73
BAB.V. PENUTUP………...75
A. Kesimpulan………75
B. Implikasi………76
C. Saran………. 77
DAFTAR PUSTAKA………...78
Daftar Tabel
No. Keterangan Halaman
2.1 Perbedaan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu ... 46
3.1 Bobot dan Kategori Skala Likert ... 50
3.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 57
4.1 Data Sampel Penelitian ... 58
4.2 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 59
4.3 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ... 59
4.4 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir. 60
4.5 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Bidang MLM… 60
4.6 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 61
4.7 Hasil Uji Validitas Variabel Motivasi ... 62
4.8 Hasil Uji Validitas Tingkat Pendidikan ... 63
4.9 Hasil Uji Validitas Kepatuhan Wajib Pajak ... 63
4.10 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Motivasi ... 64
4.11 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Tingkat Pendidikan ... 64
4.12 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Kepatuhan Wajib Pajak ... 65
4.13 Hasil Uji Multikolonieritas ... 66
4.14 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 69
4.15 Hasil Uji Statistik t ... 70
Daftar Gambar
No. Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Penelitian ... 47
4.1 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot ... 67
4.2 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik Histogram ... 67
Daftar Lampiran
No. Keterangan Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 82
2. Rekapitulasi Responden ... 85
3. Uji Validitas Data ... 92
4. Uji Reliabilitas Data ……….……… 97
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pajak bagi suatu masyarakat yang modern, memegang peranan
penting. Pembiayaan penyelenggaraan negara sebagian besar bersumber
dari pajak, juga merupakan sumber dana utama dalam melakukan
pembangunan. Karena peranannya yang sangat sentral dalam negara,
tentunya masyarakat sebagai warga negara mestinya paham tentang
pentingnya pajak, serta mengerti bagaimana melaksanakan hak dan
kewajibannya terkait dengan pajak. Apalagi dengan sistem self assesment
seperti yang diterapkan Indonesia (doytea.wordpress.com/2007/08/06
/sosialisasi-pajak-tanggung-jawab-siapa/-38k).
Sejak diterapkannya sistem self assesment dalam undang-undang
perpajakan di Indonesia, kunci pokoknya adalah kesadaran dan kepatuhan
wajib pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya.
Konsekuensi dari penerapan sistem self assesment tersebut. Direktorat
Jendral Pajak (DJP) berkewajiban untuk melakukan pelayanan,
pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Karena pada
sistem self assesment wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, melaporkan, dan membayar sendiri kewajiban
Pelaksanaan sistem self assesment tersebut harus didukung oleh
tingkat pemahaman dan kesadaran wajib pajak. Sayangnya di Indonesia,
tingkat pemahaman dan kesadaran tentang pajak sangat rendah.
Fakta-fakta dilapangan menunjukkan hal tersebut. Sebagai contoh, sebenarnya
undang-undang mewajibkan setiap orang yang penghasilannya diatas
PTKP wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Faktor-faktor
yang menyebabkannya antara lain ketidaktahuan tentang aturan
perpajakan, kurangnya pengawasan, lemahnya penegakkan hukum, malas
berurusan dengan kantor pajak, sampai ada kesan ”tidak bersahabatnya”
kantor pajak. Selain itu, tingkat pemahaman terhadap ketentuan
perpajakan juga menunjukkan tingkat yang rendah. Misalnya kita sering
mendengar keluhan tentan rumitnya pengisian SPT dan adanya
peraturan-peraturan baru yang belum diketahui oleh wajib pajak
(doytea.wordpress.com/2007/08/06/sosialisasi-pajak-tanggung-jawab-siapa/).
Kepatuhan waji pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya juga
dipengaruhi oleh motivasi wajib pajak. Motivasi merupakan salah satu
faktor penting yag harus dimiliki individu. Karena dengan motivasi inilah
orang akan tergerak untuk melaksanakan suatu aktivitas. Tanpa adanya
motivasi, orang akan lemah, pesimis dan tidak tertolong untuk beraktifitas.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2007,
pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orag
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi
tersebut dijelaskan bahwa rakyat tidak mendapatkan imbalan secara
langsung atas pembayaran pajaknya. Hal ini akan menyebabkan wajib
pajak kurang termotivasi untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Untuk menumbuhkan motivasi wajib pajak, maka dalam
pelaksanaan sosialisasi aparat pajak harus memaparkan secara konkret
manfaat pajak dan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak digunakan untuk
keperluan negara bagi kemakmuran rakyat. Diantaranya pajak digunakan
untuk menggaji PNS, membangun sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan,
keamanan dan fasilitas umum lainnya sehingga motivasi wajib pajak
semakin kuat untuk patuh dalam memenuhi kewajiban pajak
(www.jawapos.co.id/index.php?a..id=18102&c= 88)
Sosialisasi yang aktif dilakukan Ditjen Pajak selama beberapa
tahun terakhir, baik melalui media cetak maupun elektronik merupakan
konsistensi pihak DJP dalam rangka mengamankan penerimaan negara.
Salah satunya adalah sosialisasi dalam lingkup institusi pendidikan yaitu
dengan tema High School Tax Roadshow (Berita Pajak, 15 November
2005) adalah seragkaian kegiatan dari sosialisasi perpajakan terhadap
generasi muda yang dikemas dalam bentuk Edutainment diharapkan agar
pajak semakin dekat dengan masyarakat. Temuan Laporan Pembangunan
memberikan prioritas investasi lebih tinggi pada upaya pembangunan
manusia, terutama lewat penidikan dan kesehatan (Tambunan,2004).
Menurut Printi dalam Harian Kontan pada tanggal 19 Februari
2009 mengatakan bahwa salah satu upaya DJP meningkatkan kesadaran
masyarakat indonesia, maka diupayakannya program Suncet Policy pada
akhir tahun 2008 hingga memasuki awal tahun 2009, yang kemudian
program tersebut mengarah ke komunitas hobi, olahraga, sosial dan juga
organisasi profesi seperti dokter dan pengacara. Kemudian, perusahaan
asuransi, Multi Level Marketing (MLM), dan direct selling (Penjualan
Langsung). Pengusaha MLM atau yang biasa disebut distributor MLM
mempunyai tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
apabila telah mempunyai penghasilan melebihi PTKP yang telah
ditentukan oleh DJP.
Menurut Rahmawati (2007) bahwa terdapat dua unsur dalam Multi
Level Marketing (MLM), yang meliputi sebagai perusahaan yang
memperdagangkan produk Multi Level Marketing, dan pemberi rabat bagi
distributor MLM yang bersangkutan, serta distributor Multi Level
Marketing (MLM). Sehingga dari sini terdapat dua kewajiban yang harus
dilaporkan kepada kantor Direktorat Jenderal Pajak yaitu Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). PPN dapat
dipungut dari perusahaan Multi Level Marketing atas penyerahan barang
yang dilakukan dari perusahaan Multi Level Marketing kepada distributor
dari distributor Multi Level Marketing atas penghasilan berupa rabat yang
diperoleh dimana PPh ini dapat dipungut langsung oleh perusahaan MLM
(http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007-rahmawatin- 4054&PHPSESSID=cd6d62b041fb8953 9eef16c4c73dcbec).
Penelitian sebelumnya oleh Nurseto (2002) dengan judul
”Pengaruh Persepsi tentang Pajak dan Tingkat Pendidikan terhadap
Kesadaan Wajib Pajak.” hasilnya menunjukkan bahwa persepsi tentang
pajak dan tingkat pendidikan dapat memberikan sumbangan efektif
terhadap kesadaran wajib pajak sebesar 37,15%. Ini berarti semakin tinggi
persepsi pajak dan tingkat pendidikan maka pengaruh terhadap kesadaran
wajib pajak semakin signifikan.
Penelitian selanjutnya oleh Yusronillah (2006) dengan judul
”Analisis Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Wajib Pajak
Terhadap Motivasi Memenuhi Kewajiban Pajak”. Hasilnya menunjukkan
bahwa interaksi tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan wajib pajak tidak
berpengaruh terhadap motivasi memenuhi kewajiban pajak dengan
menunjukkan hasil signifikasi diatas 5% (lima persen).
Penelitian lain oleh Setiadi (2006) dengan judul ”Persepsi tentang
Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”, menunjukkan bahwa persepsi
tentang pajak para responden termasuk kategori baik dengan tingkat
persepsi rata-rata 76,14% dari skor idealnya. Sedangkan dalam konteks
korelasi diketahui bahwa tingkat hubungan kedua variabel penelitian ini
0,443 sehingga ada hubungan positif dan cukup signifikan antara persepsi
tentang pajak dengan kepatuhan waijb pajak.
Penelitian lainnya pernah dilakukan oleh Rahmawati (2007), Dari
penelitian dengan membandingkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, terdapat fakta hukum yang ada mengenai Multi Level
Marketing baik berasal dari narasumber anggota Multi Level Marketing
dan buku-buku mengenai Multi Level Marketing itu sendiri, bahwa
terdapat dua unsur dalam Multi Level Marketing, yang meliputi
perusahaan Multi Level Marketing sebagai perusahaan yang
memperdagangkan atau menjual produk Multi Level Marketing dan
pemberi rabat bagi distributor Multi Level Marketing yang bersangkutan,
serta distributor Multi Level Marketing (MLM) sehingga dari sini terdapat
dua kewajiban yang harus dilaporkan kepada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
PPN dapat dipungut dari perusahaan Multi Level Marketing atas
penyerahan barang yang dilakukan dari perusahaan Multi Level Marketing
kepada distributor Multi Level Marketing yang bersangkutan. Sedangkan
PPh dapat dipungut dari distributor Multi Level Marketing atas
penghasilan berupa rabat yang diperoleh dimana PPh ini dapat dipungut
langsung oleh perusahaan Multi Level Marketing sebagai kewajiban
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka untuk
penelitian kali ini ingin mengetahui pengaruh motivasi dan tingkat
pendidikan wajib pajak yang mempunyai pekerjaan sebagai distributor
MLM terhadap kepatuhan atas kewajiban perpajakannya, apakah terdapat
pengaruh yag signifikan atau tidak. Penelitian ini lebih mengacu kepada
penelitian yang dilakukan oleh Yusronillah (2006). Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu:
1. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Mampang Prapatan, sedangkan
penelitian sebelumnya dilakukan di Kecamatan Jatinegara.
2. Adanya perubahan sampel penelitian, yaitu distibutor MLM,
sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan kepada masyarakat umum
Kecamatan Jatinegara.
3. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah Convinience
Sampling sedangkan penelitian terdahulu menggunakan Area
Sampling.
4. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010, sedangkan penelitian
sebelumnya dilakukan pada tahun 2006.
Berdasarkan pertimbangan sebelumnya, maka penulis mencoba
untuk meneliti lebih lanjut permasalahan diatas dengan memilih judul
“ANALISIS PENGARUH MOTIVASI DAN TINGKAT
PENDIDIKAN DISTRIBUTOR MLM TERHADAP KEPATUHAN
B. Perumusan Masalah
1. Apakah Motivasi Distributor MLM berpengaruh terhadap
kepatuhannya dalam memenuhi Kewajiban Perpajakan?
2. Apakah Tingkat Pendidikan Distributor MLM berpengaruh terhadap
kepatuhannya dalam memenuhi Kewajiban Perpajakan?
3. Apakah Motivasi dan Tingkat Pendidikan Distributor MLM
berpengaruh terhadap kepatuhannya dalam memenuhi Kewajiban
Perpajakan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah motivasi distributor MLM berpengaruh
terhadap kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban perpajakan?
b. Untuk mengetahui apakah tingkat pendidikan distributor MLM
berpengaruh terhadap kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban
perpajakan?
c. Untuk mengetahui apakah motivasi dan tingkat pendidikan
distributor MLM berpengaruh terhadap kepatuhannya dalam
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Masyarakat khususnya distributor MLM, yaitu sebagai sarana
informasi bahwa pembinaan pendidikan pajak sangat penting bagi
tumbuhnya kesadaran memenuhi kewajiban pajaknya.
b. Pemerintah, sebagai masukan untuk perbaikan sistem pelayanan
pajak yang lebih baik lagi.
c. Bagi penulis dan para pembaca, penelitian ini dapat bermanfaat
untuk memperluas khasanah keilmuan khususnya ilmu perpajakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Pengertian Motivasi
Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin yakni
”movere” yang berarti menggerakkan (to move). Winardi (2002)
menyatakan bahwa motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang
menyebabkan timbulnya, diarahkannya dan terjadinya persistensi
kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan
tertentu.
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme
baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat
sesuatu. Dalam pengertian ini motivasi berarti pemasok daya
(energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Syah, 1997:136).
Pengertian motivasi dapat pula dinyatakan sebagai proses
psikologis yang terjadi karena interaksi antara sikap, kebutuhan,
persepsi dan pemecahan persoalan. Motivasi adalah suatu kekuatan
potensial yang ada dalam diri seorang manusia yang dapat
dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang dapat mempengaruhi
hasil kinerjanya secara positif atau negatif. Hal ini tergantung pada
situasi dan kondisi yang dihadapi orang tersebut. Maslow dan Hezberg
keduanya adalah Maslow menekankan kebutuhan psikologis
orang-orang, sedangkan Hezberg berfokus pada kondisi pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan. Hirarki kebutuhan Maslow dalam Winardi
(2002) yaitu:
a. Kebutuhan untuk merealisasikan diri
b. Kebutuhan akan penghargaan.
c. Kebutuhan- kebutuhan sosial.
d. Kebutuhan akan keamanan.
e. Kebutuhan fisiologikal.
Kebutuhan akan penghargaan dalam hirarki kebutuhan Maslow
menegaskan bahwa manusia selalu akan senang mendapatkan
penghargaan dan status yang bergengsi. Oleh karena itu dengan
membayar pajak, secara ekonomi berarti sebenarnya mereka yang
membayar pajak telah masuk dalam kelompok yang lebih mampu
(prestise). Karena sesuai aturan, sistem dan mekanismenya, tidak
semua masyarakat tergolong sebagai pembayar pajak. Disamping itu,
pembayaran pajak disini juga sebagai bukti kepedulian terhadap
sesama.
Problem inti motivasi yang berkaitan dengan perpajakan adalah
bagaimana cara merangsang sekelompok orang yang masing-masing
teori motivasi adalah memprediksi perilaku. Perlu ditekankan
perbedaan-perbedaan antara motivasi, perilaku dan kinerja
(performance). Motivasilah penyebab perilaku, andaikan perilaku
tersebut efektif atau baik maka akibatnya adalah berupa kinerja yang
tinggi, perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented)
dengan kata lain perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu
keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku disebabkan atau
dipengaruhi oleh upaya manusia untuk mencapai suatu kondisi hidup
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan masing-masing
model/obyek yang memotivasi sekalipun hal tersebut telah tercapai
(Winardi, 2002).
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah pemerintah khususnya
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memotivasi para wajib pajak
dengan memahami kebuuhan-kebutuhan sosial mereka akan
pengadaan public goods and services dan membuat mereka senang
serta penting bagi pelaksanaan pembangunan. Dari berbagai pendapat
yang dikemukakan sebelumnya menenai motivasi, pada dasarnya
semua memiliki pandangan yang sama yaitu motivasi merupakan
dorongan dari dalam manusia yang menjadi pangkal seseorang
melakukan tindakan.
Menurut Syah (1997), motivasi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Motivasi Intrinstik adalah motif yang menjadi aktif atau
b. Motivasi Ekstrinsik adalah motif yang menjadi aktif karena adanya
rangsangan dari luar.
Motivasi ekstrinstik ini tidak mudah timbul, maka aparat pajak
sangat berperan menumbuhkan motivasi pajak agar proses penerimaan
negara berjalan dan berhasil dengan baik. Antara motivasi intrinstik
dan ekstinstik itu berperan menumbuhkan motivasi pajak agar proses
penerimaan negara berjalan dengan baik. Antara motivasi intristik dan
ekstrinstik itu saling memperkuat, bahkan ekstrinstik itu dapat
membangkitkan motivasi intrinstik. Hubungan peran aparat pajak
adalah aparat pajak (fiskus) yang dipercaya untuk mengelola
penerimaan dalam suatu negara. Motivasi timbul dari dalam diri
seseorang yang kemudian terealisasi yang berupa usaha atau kegiatan
untuk mencapai tujuan.
Apabila motivasi masyarakat tinggi dalam memenuhi
kewajiban pajaknya maka secara tidak langsung pembangunan di
Indonesia diharapkan akan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Tetapi, jika motivasi masyarakat rendah dalam memenuhi
kewajiban pajaknya maka diperkirakan perjalanan pembangunan akan
terhambat.
Keberhasilan pembangunan berkaitan erat dengan jumlah
penghasilan negara diantaranya PPh apalagi wajib pajak orang pribadi
sangat kecil dari 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya 10,8 juta
warga Indonesia yang memiliki NPWP dan sudah termasuk wajib
pajak badan usaha (http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=
show&id=4967&q=tenggat&hlm=4).
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik” lalu kata ini mendapat
awalan “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan
adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesiaialah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Dalam pengertian yang luas pendidikan
dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara
bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 1997).
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha pengembangan
sumber daya manusia, yang dilakukan secara sistematis, programatis
dan berjenjang, agar dapat dihasilkan manusia-manusia yang
berkualitas, yang akan dapat memberikan manfaat dan sekaligus
Selanjutnya menurut Hasan (2005), peningkatan kualitas diri
manusia yang dicapai melalui pendidikan, diharapkan dapat mencakup
beberapa aspek, yaitu:
a. Peningkatan kualitas fikir (kecerdasan, kemampuan analisis,
kreativitas dan visioner).
b. Peningkatan kualitas moral (ketaqwaan, kejujuran, ketabahan,
keadilan dan tanggung jawab).
c. Peningkatan kualitas kerja (keterampilan, professional dan efisien).
d. Peningkatan kualitas hidup (kesejahteraan materi dan rohani,
ketentraman dan terlindungnya martabat dan harga diri).
e. Peningkatan kualitas pengabdian (semangat berprestasi, sadar
pengorbanan, kebanggaan terhadap tugas).
Peran sumber daya manusia (SDM) dalam meningkatkan
kualitas, produktivitas dan efisiensi sangat jelas dan tidak diraukan
lagi. Produk dengan kualitas tinggi yang dihasilkan melalui
produktivitas dan efisiensi produksi yang tinggi sehingga mempunyai
daya saing yanng kuat tidak mungkin dihasilkan oleh SDM
berketerampilan rendah. Jadi, peningkatan kualitas SDM di Indonesia
merupakan suatu keharusan dan bersifat sangat mendesak (Subri,
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan
kelakuan peserta didik. Pendidikan berkaitan dengan transmisi
pengetahuan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada
generasi muda. Pendidikan adalah proses belajar dan mengajar
pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal yang dilakukan
seseorang secara berjenjang dan berkesinambungan dari pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi (Nasution, 1999).
Menurut Indriyanto (2006) bangsa yang hanya mengandalkan
kekayaan sumber daya alam saja tanpa meningkatkan kualitas sumber
daya manusia tidak akan pernah menjadi neara yang maju dan mandiri.
Mengapa negara-negara seperti Jepang, Singapura, Korea dan
sebagainya yang secara alamiah kurang memiliki kekayaan alam,
justru mampu menunjukkan dirinya sebagai negara maju, jawabannya
adalah karena mereka menguasai pengetahuan itu (bukan sekedar
memiliki).
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan demikian
merupakan suatu prasyarat keharusan (necessary condition) yang perlu
diwujudkan. Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui pendidikan.
Bukan hanya pendidikan dalam arti sempit disekolah, tetapi juga
dalam arti yang lebih luas mencakup pendidikan dalam keluarga dan
masyarakat. Karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses
bahkan sejak manusia masih berupa janin dalam rahim seorag ibu.
Melalui pendidikan sebagai proses budaya akan tumbuh dan
berkembang nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia
seperti keimanan dan kelakuan, akhlak, disiplin dan etos kerja serta
nilai-nilai instrumental seperti penguasaan IPTEK dan kemampuan
berkomunikasi yang merupakan unsur pembentuk kemajuan dan
kemandirian bangsa (Subri, 2003).
Oleh karena itu masyarakat dapat mengambil langkah-langkah
yang lebih bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan serta
menjadikan pendidikan sebagi investasi yang penting dan produktif
bagi kemajuan dalam segala segi kehidupan.
3. Pengertian Multi-Level Marketing (MLM) dan Distributor MLM
Mulit-Level Marketing (MLM) berasal dari kata Multi yang
berarti banyak dan level yang berarti jenjang atau tingkat. Sedangkan
Marketing artinya pemasaran. Jadi Mulit-Level Marketing adalah
pemasaran yang berjenjang banyak (Tarmizi Yusuf, 2000). Dikatakan
Mulit-Level Marketing (MLM) karena organisasi distributor
penjualnya berjenjang banyak. Organisasi distributor
bertingkat-tingkat, tidak hanya satu atau dua tingkat saja, akan tetapi lebih dari
tiga atau empat tingkat. Jika seseorang mempunyai status sebagai
distributor dalam usaha tersebut, maka ia dapat mengajak orang lain
(MLM), kemudian orang lain tersebut dapat pula mengajak orang lain
untuk menjadi seorang distributor dalam usaha Mulit-Level Marketing
(MLM) dan seterusnya. Dalam mengajak orang lain untuk bergabung
dalam usaha Mulit-Level Marketing (MLM) tidak dibatasi sampai
beberapa tingkat atau beberapa level.
Menurut Purnawan (1998), konsep inti dari pemasaran adalah
proses sosial dan manajemen dimana pribadi-pribadi atau kelompok
memperoleh kebutuhan dan keinginan mereka. Jadi sistem pemasaran
secara sederhana berarti memindahkan suatu produk dan atau jasa dari
produsen ke konsumen.
Perpindahan produk dan atau jasa tersebut dapat dilakukan
melalui beberapa metode, antara lain: (Failla, 1996)
a. Eceran atau ritel
b. Penjualan langsung
c. Sistem pemasaran multi level
MLM ini pada dasar prinsipnya adalah sistem pemasaran yang
banyak menggunakan jenjang dan sumber daya manusia, dalam suatu
organisasi. Sistem ini dirancang guna memindahkan produk dan atau
jasa dari produsen ke konsumen, dengan memakai pendekatan
Purnawan (1998) menyatakan, pada bisnis MLM banyak orang
yang akan terlibat dalam pendistribusian produk dan atau jasa yang
biasa disebut Distributor MLM. Akibatnya, setiap orang akan bekerja
lebih ringan pada saat terjadinya penjualan. Selain itu, mereka yang
terlibat dalam MLM memiliki kebebasan untuk menikmati hidupnya
karena mereka bekerja untuk dirinya sendiri. Pada MLM, setiap orang
yang berada di posisi atas maupun di posisi bawah pada struktur
jenjang organisasi, memiliki peluang yang sama. Sistem MLM
memberikan peluang yang cukup luas bagi setiap orang yang memiliki
hasrat dan ambisi untuk mencapai puncak keberhasilan.
Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16
tahun 2000 (UU KUP), distributor MLM dikategorikan sebagai
pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha
perdagangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
571/KMK.03/2003, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun
buku para distributor tadi melakukan penyerahan BKP atau JKP
dengan jumlah peredaran bruto lebih dari Rp 600 juta, maka yang
bersangkutan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Apabila sudah PKP maka distributor MLM mutlak harus
menjalankan kewajibannya yakni memungut-menyetorkan-melapor
atau JKP-nya tidak melebihi Rp 600 juta, distributor boleh memilih
untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Secara khusus, pengenaan PPh atas penghasilan sehubungan
kegiatan MLM diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE-39/PJ.43/1999. dalam surat edaran tersebut di antaranya diatur hal-hal
sebagai berikut:
a. Terhadap setiap pembelian produk dari perusahaan MLM, para
anggota dapat membayar dengan harga distributor (harga yang
diberlakukan terhadap anggota), sedangkan untuk penjualan
produk tersebut kepada konsumen yang bukan anggota, perusahaan
MLM menetapkan harga yang dianjurkan. Selisih antara harga
yang dianjurkan dengan harga distributor merupakan keuntungan
yang dinikmati oleh distributor.
b. Dalam hal produk yang dibeli oleh distributor dari perusahaan
MLM tidak seluruhnya terjual maka perusahaan MLM menjamin
untuk membeli kembali produk tersebut.
c. Setiap bulan perusahaan MLM akan memberikan rabat kepada
distributor. Rabat tersebut diberikan dalam bentuk persentase
tertentu secara bertingkat sesuai dengan akumulasi pembelian yang
dilakukan oleh distributor.
d. Rabat pada hakekatnya adalah komisi penjualan yang diberikan
e. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) keputusan Direktur Jendral Pajak
No. KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegaitan orang pribadi sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No. 10/1994, diterapkan atas Penghasilan Kena pajak
dari penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
kegiatan MLM. Besarnya penghasilan bruto bulan yang
bersangkutan dikurangi dengan PTKP per bulan.
f. Perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima oleh setiap
distributor (upline dan downline) sehubungan dengan kegiatan
MLM adalah:
1) Atas rabat merupakan penghasilan yang terutang dan harus
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
2) Atas penghasilan karena selisih antara harga distributor dengan
harga yang dianjurkan oleh perusahaan Multilevel Marketing
adalah merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam
4. Konsep Dasar Perpajakan
a. Pengertian Pajak
Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang
memberikan pengertian atau definisi yang berbeda-beda mengenai
pajak, namun demikian definisi tersebut mempunyai inti atau
tujuan yang sama. Beberapa kutipan definisi yang telah
dikemukakan oleh para ahli antara lain:
1). Menurut Feldman dalam Siti Resmi (2003)
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya konte-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
2). Menurut Soemitro dalam Burton dan Ilyas (2004) berpendapat:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
3). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah:
2) Sifatnya dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang,
artinya pajak dipungut dengan kekuatan Undang-Undang dan
aturan pelaksanaanya.
3) Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat
dirasakan oleh pembayar pajak.
4) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah
pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).
5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (utin dan pembangunan) bagi kepentingan
masyarakat umum.
b.Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2003) fungsi pajak dalam masyarakat
suatu negara terbagi dalam dua fungsi, yaitu:
1) fungsi budgetair (Sumber Dana bagi Pemerintah)
Fungsi ini bertujuan untuk memasukkan penerimaan uang
untuk kas negara sebanyak-banyaknya antara lain mengisi
APBN sesuai dengan target penerimaan pajak yang telah
ditetapkan, sehingga posisi anggaran pendapatan dan
2) Fungsi Regulered (Mengatur)
Fungsi pajak yang secara tidak langsung dapat mengatur dan
menggerakkan perkembangan sarana perekonomian nasional
yang produktif. Adanya pertumbuhan perekonomian yang
demikian maka akan dapat menumbuhkan obyek pajak dan
subyek pajak yang baru yang lebih banyak lagi, sehingga basis
pajak lebih meningkat lagi.
c. Jenis Pajak
Menurut Djunaedi (2004:11) jenis pajak dapat digolonglan
sebagai berikut:
1) Berdasarkan sifat :
a) Pajak pribadi (perseorangan)
Dalam hal ini pengertian pajak lebih memperhatikan
keadaan pribadi seseorang seperti: berapa anak.
b) Pajak kebendaan
Yang diperhatikan adalah obyek pajaknya, pribadi Wajib
Pajak dikesampingkan.
c) Pajak atas kekayaan
Yang menjadi obyek pajak adalh kekayaan seseorang atau
d) Pajak atas bertambahya kekayaan
Pengenaanya didasarkan atas seseorang atau badan yang
mengalami pertambahan kekayaan, biasanya dikenakan
hanya sekali.
e) Pajak atas konsumsi
Pajak atas kenikmatan wajib pajak.
2) Berdasarkan Ciri-ciri :
a) Pajak Subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang emperhatikan keadaan
pribadi wajib pajak untuk menetapkan pajaknya dicari
alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadan
material (contoh: Pajak Penghasilan).
b) Pajak Objektif
Pertama melihat kepada obyeknya kemudian barulah dicari
subyeknya (contoh: Pajak Pertambahan Nilai).
3) Berdasarkan Golongan :
a) Pajak langsung dalam arti pajak langsung disetor secara
periodik berdasarkan kohir dan tidak dapat dilimpahkan
b) Pajak tidak langsung adalah pajak yang dapat dilimpahkan
kepada orang lain, bisa tidak periodik (contoh: Bea Materai,
PPN).
4) Berdasarkan Lembaga Pemungut:
a) Pajak Pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui
Direktorat Jenderal Pajak Departement Keuangan.
Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, Bea Materai, PBB dan
BPHTB.
b) Pajak Daerah adalah pajak yang pungutannya dilakukan
pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun tingkat II.
Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak
Pembagunan I, Pajak Reklame.
d. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam Mardiasmo (2003:7) pada dasarnya terdapat 3 (tiga)
sistem pemungutan pajak yang berlaku, yaitu:
1) Oficial Assessment System adalah sistem pemungutan pajak
dimana jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh
wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh fiskus (aparat pajak).
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang
b) Wajib Pajak bersifat pasif.
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan
Pajak (SKP) oleh pihak fiskus.
2) Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak
dimana wajib pajak harus menghitung, menyetor, dan
melaporkan jumlah pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang
terletak pada wajib pajak sendiri.
b) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terhutang.
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3) Witholding System adalah sistem pemungutan pajak yang mana
besar pajak terutangnya dihitung dan dipotong oleh pihak
ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud disini antara lain pemberi
kerja, bendaharawan pemerintah. Ciri-cirinya: wewenang
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga.
e. Definisi Wajib Pajak
Undang-Undang No. 28 tahun 2007 Pasal I menyebutkan,
pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib pajak tersebut wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau kedudukan wajib pajak.
1) Wajib Pajak Terdaftar
Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000), yang dimaksud
dengan wajib pajak terdaftar adalah wajib pajak yang telah
terdaftar dalam tata usaha Kantor Pelayanan Pajak dan telah
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdiri dari 15 (lima
belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan kode
wajib pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan kode
administrasi perpajakan.
2) Wajib Pajak Non Efektif
Dalam SE No. 14/PJ.9/1990 disebutkan, bahwa yang
termasuk Wajib Pajak Non Efektif adalah:
a) Wajib pajak yang selama dua tahun berturut-turut tidak
berupa melakukan pembayaran pajak, memasukkan SPT
Masa ataupun SPT Tahunan.
b) Wajib pajak meninggal atau bubar.
c) Wajib pajak yang tidak diketahui lagi alamatnya walaupun
sudah dilakukan pencarian oleh petugas verifikasi atau
petugas yang ditunjuk untuk itu.
d) Wajib pajak yang secara nyata berdasarkan hasil penelitian
atau pengamatan tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha
lagi.
f. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Untuk menjamin dan memberikan kepastian hukum kepada
wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya, Undang-Undang
juga mengatur dengan tegas hak-hak wajib pajak dalam satu
Hukum Pajak Formal secara tegas. Dalam bukunya Siti Resmi
(2004) dituliskan hak dan kewajiban wajib pajak diantaranya yaitu:
1) Kewajiban Wajib Pajak
a) Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP).
c) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan, mengisinya
dengan benar dan memasukkannya sendiri ke KPP dalam
bats waktu yang telah ditetapkan.
d) Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
2) Hak Wajib Pajak
a) Mengajukan surat keberatan dan banding.
b) Menerima tanda bukti pemasukan, pembetulan dan
mengajukan permohonan penundaan pemasukan Surat
Pemberitahuan (SPT).
c) Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
d) Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan
sanksi serta pembetulan surat ketetapan yang salah.
e) Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan
kewajiban perpajakan.
g. Pajak Penghasilan
Setelah mengetahui pengertian pajak, definisi penghasilan
menurut UU No. 36 tahun 2008 pasal 4 ayat 1 adalah:
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun”.
Sehingga definisi Pajak Penghasilan menurut Siti Resmi
(2004) adalah: “Pajak yang dikenakan terhadap subjek atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun
pajak”.
1) Subjek Pajak Penghasilan
Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang
mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan
menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat 1 UU No. 36 tahun 2008 mengelompokkan
Subjek Pajak Penghasilan sebagi berikut:
a) Orang Pribadi;
b) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak;
c) Badan; dan
d) Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia,
Subjek Pajak luar negeri adalah:
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia; dan
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a) tempat kedudukan manajemen;
b) cabang perusahaan;
c) kantor perwakilan;
d) gedung kantor;
e) pabrik;
f) bengkel;
g) gudang;
h) ruang untuk promosi dan penjualan;
i) pertambangan dan penggalian sumber alam;
j) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
l) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau
orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
o) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
2) Objek Pajak Penghasilan
Menurut Pasal 4 ayat 1 UU Pajak Penghasilan, yang
dimaksud objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan;
c) Laba usaha;
d) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian
atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak;
f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l) Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n) Premi asuransi;
o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak;
q) Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan; dan
s) Surplus Bank Indonesia.
5. Kewajiban Perpajakan yang Terkait dengan MLM
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
dengan jumlah peredaran bruto lebih dari Rp 600 juta, maka yang
bersangkutan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Apabila sudah PKP maka distributor MLM mutlak harus
menjalankan kewajibannya yakni memungut-menyetorkan-melapor
PPN terutang. Namun meski peredaran bruto atas penyerahan BKP
atau JKP-nya tidak melebihi Rp 600 juta, distributor boleh memilih
untuk dikukuhkan sebagai PKP (http://www.pajakpribadi.com/artikel/
distributor.htm).
Sedangkan soal terminologi pekerja, diartikan sebagai
seseorang yang terlibat dalam suatu hubungan kerja, yang tidak
memperoleh penghasilan dari menjalankan kegiatan usaha. Pekerja
bisa berarti pegawai tetap, pegawai lepas, harian, honorer dan lainnya.
Penjelasan definitif mengenai pekerja yang relevan dengan
bahasan ini, tidak akan dijumpai dalam ketentuan perpajakan. Yang
ada hanyalah pengertian pegawai seperti yang disebutkan dalam
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000.
Sementara istilah pekerja boleh dibilang cakupannya lebih luas,
lanjutnya yakni tidak hanya terbatas pada pengertian pegawai. Bagi
distributor yang sekaligus pegawai mungkin tidak terlalu salah terkait
perusahaan. Sementara distributor yang fungsinya murni semata-mata
sebagai agen yang melakukan penjualan atas nama perusahaan MLM
dan tidak memperoleh penghasilan berkala seperti gaji atau upah.
Komisi dapat diartikan sebagai imbalan berkaitan dengan
omzet penjualan baik pribadi maupun kelompok. Sedangkan bonus
sifatnya lebih cenderung seperti hadiah yang diberikan saat seorang
distributor mencapai target-target tertentu. Sementara keuntungan
langsung adalah uang yang diperoleh distributor dari selisih harga
distributor dengan harga konsumen.
Komisi diberikan berkaitan dengan prestasi seorang distributor.
Prestasi di sini hubungannya adalah dengan omzet penjualan yang
dicapainya. Mengenai jenis komisi ini masing-masing perusahaan
MLM tidak sama. Ada perusahaan MLM yang memberi komisi kepada
distributor dalam bentuk diskon dan ada yang berbentuk royalti.
Diskon adalah komisi yang dihitung dari pembelian produk.
Caranya perusahaan MLM memberikan rabat (potongan harga) kepada
distributornya. Asumsinya diskon merangsang anggota membeli dan
kemudian menjualnya atau dipakai sendiri. Sedangkan royalti, yaitu
komisi yang diperoleh distributor karena telah berjasa mengenalkan
bisnis perusahaan. Meski keduanya dikaitkan dengan prestasi yang
Batasan mengenai penghasilan distributor berupa komisi dan
bonus boleh jadi tidak sama untuk tiap perusahaan. Masing-masing
memiliki kebijakan sendiri dalam memberikan imbalan kepada
distributornya.
Namun demikian bila dikaitkan dengan peraturan
perpajakannya, distributor MLM lazimnya tidak diperlakukan sebagai
pengusaha sehingga tidak wajib melakukan pembukuan, yang perlu
dilakukan hanya pencatatan. Sesuai peraturan perpajakan, distributor
MLM diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang
bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila
orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
Secara khusus, pengenaan PPh atas penghasilan sehubungan
kegiatan MLM diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
SE-39/PJ.43/1999. dalam surat edaran tersebut di antaranya diatur hal-hal
sebagai berikut:
a. Terhadap setiap pembelian produk dari perusahaan MLM, para
anggota dapat membayar dengan harga distributor (harga yang
diberlakukan terhadap anggota), sedangkan untuk penjualan produk
tersebut kepada konsumen yang bukan anggota, perusahaan MLM
menetapkan harga yang dianjurkan. Selisih antara harga yang
dianjurkan dengan harga distributor merupakan keuntungan yang
b. Dalam hal produk yang dibeli oleh distributor dari perusahaan MLM
tidak seluruhnya terjual maka perusahaan MLM menjamin untuk
membeli kembali produk tersebut.
c. Setiap bulan perusahaan MLM akan memberikan rabat kepada
distributor. Rabat tersebut diberikan dalam bentuk persentase tertentu
secara bertingkat sesuai dengan akumulasi pembelian yang dilakukan
oleh distributor.
d. Rabat pada hakekatnya adalah komisi penjualan yang diberikan oleh
perusahaan MLM kepada distributor.
e. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) keputusan Direktur Jendral Pajak No.
KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa
dan kegaitan orang pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No. 10/1994, diterapkan atas Penghasilan Kena pajak dari
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kegiatan
MLM. Besarnya penghasilan bruto bulan yang bersangkutan dikurangi
dengan PTKP per bulan.
f. Perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima oleh setiap
distributor (upline dan downline) sehubungan dengan kegiatan MLM
1) Atas rabat merupakan penghasilan yang terutang dan harus dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21.
2) Atas penghasilan karena selisih antara harga distributor dengan
harga yang dianjurkan oleh perusahaan Multilevel Marketing adalah
merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi.
6. Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan adalah
sifat patuh, ketaatan. Menurut Gunadi (2005:5) pengertian kepatuhan
diartikan bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi
kewajiban pajaknya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu
diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun
ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Jadi,
kepatuhan itu merupakan sikap taat dalam melaksanakan sesuatu tanpa
adanya unsur pemaksaan dari pihak manapun.
Menurut Burtin (2005:4-6) ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban pajaknya. Adapun faktor-faktor tersebut, antara lain:
a. Tarif pajak.
b. Pelaksanaan penagihan yang rapi, konsisten dan konsekuen.
d. Pelaksanaan saksi secara konsisten, konsekuen dan tidak pandang
bulu.
Kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya pada dasarnya tercermin dari 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Pemenuhan kewajiban interim, seperti pembayaran masa dan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa termasuk SPT PPN dan PPN BM yang
dilaksanakan setiap bulan.
b. Pemenuhan kewajiban tahunan, seperti menghitung dan melunasi
utang pajak, serta melaporkan perhitungan dan SPT diakhir tahun.
c. Pemenuhan ketentuan materil dan yuridis formal perpajakan
melalui perlakuan pembukuan atas pengakuan penghasilan dan
biaya serta berbagai transaksi keuangan lain untuk memperoleh
dasar perhitungan pajak terutang yang tercermin dalam pembukuan
Wajib Pajak.
B. Penelitian Terdahulu
Berikut ini akan dipaparkan mengenai penelitian yang dilakukan
terkait dengan analisis pengaruh motivasi dan tingkat pendidikan
distributor MLM terhadap kepatuhan pajak.
1. Penelitian Nurseto (2002), tentang pengaruh persepsi tentang pajak dan
tingkat pendidikan terhadap kesadaan wajib pajak, menunjukkan
sebesar 37,15%. Ini berarti semakin tinggi persepsi pajak dan tingkat
pendidikan maka pengaruh terhadap kesadaran wajib pajak semakin
signifikan.
2. Penelitian selanjutnya oleh Yusronillah (2006) tentang analisis
pengaruh tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan wajib pajak terhadap
motivasi memenuhi kewajiban pajak, menunjukkan bahwa interaksi
tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan wajib pajak tidak berpengaruh
terhadap motivasi memenuhi kewajiban pajak dengan menunjukkan
hasil signifikasi diatas 5% (lima persen).
3. Penelitian lain oleh Setiadi (2006) mengenai persepsi tentang pajak
terhadap kepatuhan wajib pajak, menunjukkan bahwa persepsi tentang
pajak para responden termasuk kategori baik dengan tingkat persepsi
rata-rata 76,14% dari skor idealnya. Sedangkan dalam konteks
kepatuhan wajib pajak diketahui bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak
rata-rata mencapai 77,24% dari skor idealnya. Dari hasil perhitungan
korelasi diketahui bahwa tingkat hubungan kedua variabel penelitian
ini 0,443 sehingga ada hubungan positif dan cukup signifikan antara
persepsi tentang pajak dengan kepatuhan waijb pajak.
4. Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahmawati (2007), dengan
membandingkan peraturan perundang-undangan perpajakan, terdapat
fakta hukum yang ada mengenai Multi Level Marketing baik berasal
dari nara sumber anggota Multi Level Marketing dan buku-buku
dalam Multi Level Marketing, yang meliputi perusahaan Multi Level
Marketing sebagai perusahaan yang memperdagangkan atau menjual
produk Multi Level Marketing dan pemberi rabat bagi distributor Multi
Level Marketing yang bersangkutan, serta distributor Multi Level
Marketing (MLM) sehingga dari sini terdapat dua kewajiban yang
harus dilaporkan kepada kantor Direktorat Jenderal Pajak yaitu Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). PPN dapat
dipungut dari perusahaan Multi Level Marketing atas penyerahan
barang yang dilakukan dari perusahaan Multi Level Marketing kepada
distributor Multi Level Marketing yang bersangkutan. Sedangkan PPh
dapat dipungut dari distributor Multi Level Marketing atas penghasilan
berupa rabat yang diperoleh dimana PPh ini dapat dipungut langsung
oleh perusahaan Multi Level Marketing sebagai kewajiban WAPU.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka untuk
penelitian kali ini ingin mengetahui pengaruh motivasi dan tingkat
pendidikan wajib pajak yang mempunyai pekerjaan sebagai distributor
MLM terhadap kepatuhan atas kewajiban perpajakannya, apakah terdapat
pengaruh yag signifikan atau tidak. Penelitian ini lebih mengacu kepada
penelitian yang dilakukan oleh Yusronillah (2006). Perbedaan penelitian