• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembalian mahar seutuhnya akibat perceraian : Studi analisa atas putusan perceraian No:81/Pdt.G/2005/Msy-LGS di mahkamah syariah Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembalian mahar seutuhnya akibat perceraian : Studi analisa atas putusan perceraian No:81/Pdt.G/2005/Msy-LGS di mahkamah syariah Langsa"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBALIAN MAHAR SEUTUHNYA AKIBAT PERCERAIAN

Studi Analisa atas Putusan Perceraian No: 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS

di Mahkamah Syariah Langsa

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

CAKRA ARBAS

NIM : 105044101401

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PENGEMBALIAN MAHAR SEUTUHNYA AKIBAT PERCERAIAN

(Studi Analisis atas Putusan Perceraian No : 81/Pdt.G/2005/Msy - LGS)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

Cakra Arbas NIM : 105044101401

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP : 150.031.177

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PENGEMBALIAN MAHAR SEUTUHNYA AKIBAT PERCERAIAN (Studi Analisa atas Putusan Perceraian No: 81/Pdt.G/2005/Msy-LGS di Mahkamah Syariah Langsa) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 05 Mei 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 05 Mei 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

(4)

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, SAg, MH (...)

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (...) NIP. 150 031 177

4. Penguji I : Dr. JM. Muslimin, MA, Ph.D (...)

NIP. 150 295 489

5. Penguji II : Kamarusdiana, SAg, MH (...)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamua`alaikum. Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, semoga rahmat, karunia, dan hidayahnya selalu menyertai kita dalam melangkah di bumi ini. Tidak lupa pula shalawat teriring salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa ummatnya dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan. Serta kepada seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum. Dan selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya tidak terlepas dari bantuan, motivasi serta bimbingan dari beberapa pihak yang telah ikut serta dan turut berpartisipasi dalam membantu penulis merampungkan skripsi ini, ucapan terima kasih penulis haturkan kepada :

(7)

selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Program Studi Ahwal al Syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Serta Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhsiyah, Kamarusdiana, S.Ag, MH, dan assistenya bu Yanti, yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Pembimbing skripsi, Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membagikan khazanah ilmu pengetahuan serta memberikan sumbangan besar dari pemikirannya yang tidak ternilai harganya. “semoga amal baik beliau mendapat balasan disisi Allah SWT”. Amin.

4. Keluargaku, khususnya Papa (Basyaruddin, SH) dan Mama (Arnis, SH), yang selalu mencurahkan kasih sayang tiada tara kepada penulis dan doanya yang tak terhingga untuk mensupport penulis agar menjadi manusia yang berguna bagi agama serta nusa dan bangsa. Dan adik-adikku (Dirga Arbas dan Etra Arbas) yang telah turut serta membantu penulis.

(8)

6. Petugas Perpustakaan baik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membaca, mencatat, meminjam buku-buku untuk di jadikan referensi bagi skripsi ini.

7. Seluruh Staff Mahkamah Syariah Langsa, serta para pihak yang terlibat dalam perkara No: 81/Pdt.G/2005/Msy-LGS, yang telah mengizinkan penulis untuk menelaah putusan hakim tersebut.

8. Kerta Mukti Sosialite, Aflay is M. Rizky Affandy, Jabluqi is Syahdan, Ovunk is Dhiaul Fazri, Memed is Ade Ismatillah Nuad, TZ is M. Lukman Arfah, Cumi is Indra Mauludin, Boby is Mushoddiqullah, yang telah memberikan warna-warni kehidupan selama penulis menduduki bangku kuliah, semoga kebersamaan kita “tak lekang oleh waktu”.

9. Segenap civitas akademika Peradilan Agama B angkatan 2005, yang telah merangkul penulis dalam proses pendewasaan diri. Dan teman-teman dari Peradilan Agama A dan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2005. Juga teman-teman KKS/N kelompok 1 di desa Ciakar, kec Panongan, kab Tanggerang. Serta teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya.

(9)

2004), Novita Ekayanti, SEI (Alumnus Perbankan Syariah angkatan 2004) yang telah memberikan arahan dan petunjuknya mengenai sistem perkuliahan, dan telah turut serta membantu penulis.

Akhirul Kalam, sekali lagi penulis mengucapkan ribuan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa memberikan kontribusinya, atas terselesaikannya skripsi ini. Semoga mendapat balasan dan ridha dari Allah SWT. Dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal Alamin.

Wassalamu`alaikum. Wr.Wb.

Jakarta, Mei 2009

(10)

DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR

...

...

vii

DAFTAR ISI....x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan

Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian...7 D. Metode

Penelitian...9 E. Sistematika

Penulisan………..12

(11)

A. Pengertian

Mahar...14

B. Macam-macam Mahar...16

C. Hukum Memberikan Mahar...19

D. Jumlah Mahar...22

E. Penyebab Gugur/Pengembalian Mahar...25

BAB III GAMBARAN UMUM MAHKAMAH SYARIAH LANGSA NANGGROE ACEH DARUSSALAM A. Gambaran Wilayah...29

B. Historis-Yuridis Mahkamah Syariah...32

C. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Gugat...42

BAB IV PENGEMBALIAN MAHAR SEUTUHNYA AKIBAT PERCERAIAN DI MAHKAMAH SYARIAH LANGSA A. Kronologis Perkara No : 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS...50

(12)

LGS...53

C. Analisa Penulis terhadap Putusan Hakim No : 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS...5 6

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...6 2

B. Saran...6 3

DAFTAR

PUSTAKA...65

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup berpasang-pasangan adalah naluri segala makhluk Allah SWT termasuk manusia, maka setiap diri akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini. Hal ini sejalan sebagaimana yang tertuang dalam Q.S An-Nur : 32, yang berbunyi :

!"

#$

%& '

(

)

%+,)./

0

1

0

2

/

3 045

+ 6

78

9/

$

:

#; 5

9/

<< =

; (

?

@ABC

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

(14)

melaksanakannya merupakan ibadah1. Di Negara kita telah ada perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.

Hakikatnya pernikahan dalam hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara kedua belah pihak yang saling berjanji berdasarakan prinsip suka sama suka, sehingga diharapkan pernikahan tersebut dapat berlangsung sampai akhir hayat. Meskipun mengandung pengertian adanya kemauan bebas, pernikahan harus tetap memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara sah, karena pernikahan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu perbuatan hukum.

Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan nilai ibadah2.

1

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992), pasal 2

2

(15)

Setiap orang mendambakan pernikahan yang bahagia dan kekal, tetapi kenyataan yang terjadi banyak pasangan yang mengalami perceraian, walaupun perceraian merupakan perbuatan yang halal, tetapi perbuatan itu dibenci oleh Allah SWT. Perceraian tidak boleh dipermainkan karena akan merugikan salah satu pihak. Dalam hal ini adalah pihak suami atau isteri.

Ketika kehidupan keluarga sudah tidak lagi harmonis serta sering terjadi perselisihan, bukan sekedar pertengkaran yang akan terjadi secara terus menerus bahkan bisa berujung kepada sebuah perpisahan dimana salah satu pihak akan menceraikan pasangannya.

Dalam Islam pernikahan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam keadaan darurat atau mendesak, sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan pernikahan akan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam penderitaan. Sebagaimana di tulis Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah bahwa lepasnya ikatan pernikahan sangat dilarang kecuali terhadap alasan yang benar dan terjadi hal yang darurat3.

Sementara itu hikmah dari perceraian menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam garis-garis besar fiqh adalah walaupun perceraian itu dibenci terjadinya

3

(16)

dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu, dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat yang lebih jauh, maka lebih baik ditempuh perceraian. Dengan demikian perceraian dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat4.

Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dijelaskan bahwa salah satu penyebab putusnya perkawinan diantaranya disebabkan oleh penipuan identitas salah satu pihak sehingga dapat dimintakan pembatalan perkawinan5.

Faktor dari penyebab perceraian didalam putusan perceraian yang telah saya analisis tersebut pada dasarnya karena perselisihan dan pertengkaran yang terjadi antara kedua belah pihak, disamping itu juga karena adanya penipuan identitas sang isteri, yang mana kemudian diketahui bahwasanya si isteri ketika sedang melakukan akad nikah telah hamil akibat dari perbuatan orang lain.

Akibat dari pada perceraian pada umumnya menyangkut harta, ataupun pemeliharaan anak, namun dalam putusan yang telah saya analisis tersebut mahar juga dipermasalahkan beserta pemberian-pemberian lainnya. Mahar sendiri salah satu faktor yang tidak dapat dilepaskan dari pernikahan, oleh karenanya

4

Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2003), h.127-128.

5

(17)

penyerahan mahar merupakan suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan oleh suami6.

Secara hukum formil isi dari putusan yang telah saya analisis menjelaskan tentang putusan cerai yang berupa cerai gugat. Akan tetapi setelah saya telaah lebih jauh, secara hukum materilnya amar dari putusan tersebut memutuskan untuk pengembalian mahar seutuhnya dan pemberian lainnya kepada pihak suami. Seharusnya jika putusan tersebut merupakan putusan perceraian yang Qabla dukhul, maka akibat dari amar putusan tersebut diantaranya pengembalian mahar sebesar setengah dari jumlah yang ditentukan7, namun dalam amar putusan tersebut pengembalian mahar di lakukan seutuhnya beserta pemberian-pemberian lainnya.

Didalam KHI dijelaskan pada pasal 35 (1) yaitu ‘suami yang mentalak isterinya qabla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah di tentukan dalam akad nikah’. Begitu juga dengan penjelasan pasal 149 (c) yaitu ‘melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla dukhul’.

Dari penjelasan pasal-pasal dalam KHI tersebut di atas jelas sekali bahwa terjadi ketimpangan atau ketidaksesuaian amar putusan tersebut ketika di pandang dari segi hukum formil dan materilnya.

6

Ibid., pada pasal 34 (1)

7

(18)

Dengan latar belakang yang telah penulis gambarkan, penulis mencoba untuk mengungkap bahasan tersebut dengan judul “Pengembalian Mahar Seutuhnya Akibat Perceraian (Studi Analisa atas Putusan Perceraian

No:81/Pdt.G/2005/Msy – LGS di Mahkamah Syariah Langsa)”. Adapun yang menjadikan alasan penulis memilih judul ini adalah :

1. Karena adanya ketimpangan/ketidaksesuaian hukum antara putusan perceraian yang Qabla dukhul dengan amar dari putusan perceraian tersebut.

2. Karena sangat tingginya kedudukan mahar dalam perkawinan, sehingga mahar itu sendiri menjadi suatu faktor yang tidak dapat ditinggalkan, bahkan jika mahar tersebut belum di penuhi, maka hal itu di anggap sebagai hutang yang harus dipenuhi.

3. Karena pada umumnya akibat dari kasus perceraian yang dipermasalahkan hanya berupa harta, atau pemeliharaan anak, akan tetapi ada juga yang mempermasalahkan status dari mahar yang telah diberikan.

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

1. Pembatasan Masalah

(19)

masalah-masalah yang dapat menyebabkan dan akibat hukum lainnya dari perceraian. Adapun yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengembalian mahar seutuhnya akibat dari pada perceraian Qabla dukhul, untuk menjadikan mahar sebagai suatu faktor di dalam pernikahan yang sangat penting dan tidak dapat ditinggalkan.

2. Perumusan masalah

Adapun perumusan dalam permasalahan ini, bahwa dalam kitab-kitab Fiqh, mahar adalah hak istri, namun bila Qabla Dukhul terjadi perceraian, mahar dikembalikan setengahnya. Akan tetapi putusan dari Mahkamah Syariah Langsa memutuskan untuk mengembalikan mahar seluruhnya. Hal ini yang ingin penulis telusuri dari penulisan skripsi ini. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Mengapa tidak sesuai, konsep mahar yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan putusan Majelis Hakim ?

b. Kenapa Majelis Hakim memutus perkara cerai dengan pengembalian mahar seutuhnya ?

c. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang pengembalian mahar Qabla Dukhul ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(20)

a. Untuk mengetahui konsep peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mahar Qabla Dukhul.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan dan putusan Majelis Hakim. c. Untuk mengetahui tinjauan dari hukum Islam tentang pengembalian mahar

Qabla Dukhul.

2. Manfaat dan Signifikansi Penelitian :

a. Signifikansi akademis: menambah wawasan yang berkaitan dengan gambaran baik secara umum maupun secara khusus mengenai ketidakesuaian hukum antara putusan perceraian yang Qabla dukhul dengan amar dari putusan perceraian tersebut. Bagaimanakah konsep dasar mahar yang baik dan benar dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, serta pengaruh perceraian terhadap mahar yang telah diberikan.

[image:20.612.113.531.148.500.2]
(21)

D. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian Kualitatif, merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif/preskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati8. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) yang merujuk kepada Ratio Decendi9, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh Hakim untuk sampai kepada putusannya. Dari segi tujuan menggunakan metode penelitian Preskriptif10, yakni suatu penelitian untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.

Penelitian ini terdiri dari studi pustaka11 dan studi lapangan (Library research and field research), untuk memperoleh informasi pada responden yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

2. Jenis Data dan Sumber Data

8

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. Kedua belas, h. 9.

9

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Ketiga, h. 119.

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-Press, 1986), cet. Ketiga, h. 10.

11

(22)

Bersifat kualitatif yakni memilih buku-buku hukum Islam yang menjelaskan tentang mahar.

a. Data Primer : Putusan Hakim No : 81/Pdt.G/2005/Msy - LGS

b. Data Sekunder : Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dokumentasi dan hasil wawancara, kitab-kitab Fiqh, Hadist, Internet dan artikel-artikel yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi kepustakaan (Library Research) maka pengumpulan data di lakukan dengan cara membaca, menelaah buku-buku, surat kabar, majalah, internet, skripsi-skripsi terdahulu dan bahan-bahan lainnya yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini. Serta metode deduktif yaitu menguraikan secara umum terlebih dahulu masalah-masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

(23)

arsip-arsip yang ada pada Mahkamah Syariah Langsa sehingga dapat dijadikan objek penelitian.

c. Wawancara, yaitu mengadakan Tanya jawab yang dilakukan dengan ahli yang berkompeten dalam hal ini, Hakim, Pengacara, serta Dosen yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Teknik Analisa data

Data pada mulanya dikumpulkan, kemudian diolah, dianalisa dan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang diperoleh dari kajian hukum, dalam hal ini berupa berkas putusan Mahkamah Syariah Langsa, akan di telaah lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pengolahan wawancara dilakukan dengan cara membuat daftar-daftar pertanyaan, dengan tipe pertanyaan terbuka, yakni pertanyaan yang jawaban-jawabannya belum tersedia, kemudian mengedit (editing) data yaitu memeriksa data yang terkumpul12.

Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode content analisa yang kemudian menginterpretasikannya dengan bahasa penulis sendiri, maksud dari content analisa dalam penelitian ini adalah menganalisa putusan

12

(24)

Mahkamah Syariah Langsa tentang pengembalian mahar seutuhnya akibat perceraian13.

Mengenai teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku pedoman penulisan skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 200714.

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini. Penulis menyusunnya secara sistematik. Adapun setiap babnya terdiri dari:

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan umum yang bersifat teoritis tentang pengertian mahar,

macam-macam mahar, hukum memberikan mahar, Jumlah Mahar, Penyebab gugur/pengembalian Mahar.

Bab III Gambaran umum mengenai profil Mahkamah Syariah Langsa, historis- yuridis Mahkamah Syariah Langsa dan prosedur penyelesaian perkara cerai gugat di Mahkamah Syariah Langsa.

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 209.

14

(25)

Bab IV Pembahasan terhadap masalah yang telah dirumuskan. Merupakan pembahasan dari penelitian yang dilakukan yaitu: Kronologis perkara No : 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS, putusan Majelis Hakim terhadap perkara No. 81/Pdt.G/2005/Msy - LGS, Analisa penulis terhadap putusan Hakim No : 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS.

(26)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG MAHAR

A. Pengertian Mahar

Kata “Mahar” berasal dari bahasa arab, sering disebut dengan delapan nama yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba`, ujr, ‘uqar dan alaiq. Kata mahar sendiri telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mahar didefinisikan dengan pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkannya akad nikah. Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungya akad nikah15.

Mahar adalah hak istri yang diterima dari suaminya, pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan, sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya16.

Dalam Al-qur`an, istilah mahar disebut dengan kata “saduqat” yang artinya pemberian tulus yang menggambarkan kecintaan suami kepada isterinya dengan

15

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. Kedua, h. 84.

16

Peunoh Daly, Hukum perkawinan Islam suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu

(27)

sebenarnya. Dan mahar juga disebut dengan kata “nihlah” yang artinya suatu pemberian tanpa mengharap balasannya17.

Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan, bahkan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seseorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan18.

Sementara Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 point d disebutkan tentang pengertian mahar, ‘mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’19.

Di Indonesia, adat dibeberapa daerah, seperti di Kalimantan adanya istilah jujuran, yang mana mahar diberikan kepada orang tua dari mempelai wanita, kemudian mahar tersebut digunakan juga untuk biaya pernikahan (resepsi pernikahan), sehingga kelihatan jumlah maharnya menjadi lebih kecil. Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, esensi mahar jangan sampai di ganggu untuk biaya pernikahan, mengingat sangat pentingnya kedudukan mahar dalam sebuah pernikahan20.

17

Ibid., h.220.

18

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. Kelima, h.68.

19

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992), pasal 1 (d).

20

(28)

B. Macam-macam Mahar

Sebagaimana yang telah kita ketahui tentang mahar, maka mahar itu terdiri atas dua macam, yaitu21 :

1. Mahar musamma, yaitu mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Jadi mahar ini pada awalnya merupakan mahar yang telah ditentukan oleh pihak perempuan dan harus dipenuhi oleh pihak laki-laki tersebut.

2. Mahar mitsl, yaitu mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan sama dengan mahar yang biasa diterima oleh perempuan-perempuan selainnya yang sepadan dengannya, baik dari segi usia, kecantikan, harta, akal, agama, kegadisan, maupun negerinya. Jadi ukuran dalam memberikan mahar ini dengan melihat anggota keluarganya sendiri, seperti saudara perempuan sekandung, dan bibi-bibinya.

Mahar mitsl ini di wajibkan dalam tiga kemungkinan, yaitu22 :

a. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.

21

Masykur A.B, dkk, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: P.T. Lentera Basritama, 2005), cet. Ketiga belas, h. 364.

22

(29)

b. Dalam keadaan suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat, seperti maharnya adalah minuman keras.

c. Dalam keadaan suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami isteri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.

Bila mahar tidak dalam bentuk tunai (hutang) kemudian terjadi putus perkawinan setelah melakukan hubungan kelamin (dukhul), sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk musamma, maka kewajiban suami yang menceraikan adalah membayar mahar secara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah mahar yang ditetapkan dalam akad. Demikian pula keadaannya bila salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, karena meninggal dunia itu telah berkedudukan sebagai telah melakukan hubungan kelamin (dukhul)23.

Dalam memberikan mahar, baik itu berupa mahar musamma maupun mahar mitsl, maka mahar tersebut harus memenuhi syarat-syarat, diantaranya24 :

1. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.

2. Harta/bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, akan tetapi

23

Ibid., h.90.

24

(30)

walaupun mahar itu sedikit namun mempunyai nilai maka mahar tersebut tetap sah.

3. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat, tidak sah mahar dengan khamar, babi, karena semua itu haram dan tidak berharga.

4. Barangnya bukan barang ghasab, ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak, memberikan mahar dengan hasil ghasab tidak sah.

5. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau disebutkan jenisnya.

6. Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan, dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan, barang yang tidak dapat diserahkan tidak dapat dijadikan mahar, misalkan burung yang terbang di udara.

(31)

Dari definisi mahar tersebut, jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, Jadi hukum pemberian mahar itu adalah wajib25. Maksudnya, berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi26. Yang kemudian benda atau uang pemberian itu adalah menjadi milik istrinya.

Fuqaha sependapat bahwa mahar / maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah, dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya27. Serta dasar hukum dari pihak suami untuk memberikan mahar diantaranya firman Allah dalam Q.S An-Nisa : 4 :

4D

/

EF

G7"

H$IJ

K LEM

NO

8

P

1

Q 5

5

S

%+

"

$ 

TUV

2W

G

XF8Y

2Z 4

5

NVY[

\

NVY ]H^

@C

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Kemudian dalam Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan juga dasar untuk memberikan mahar kepada pihak wanita ketika akan melangsungkan pernikahan, yang ditegaskan pada pasal 30 yaitu ‘calon mempelai

25

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, h.68.

26

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3. Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2004) h.40.

27

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqh para Mujtahid). Penerjemah Imam

(32)

pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak’28.

Hikmah dari diwajibkannya mahar diantaranya agar suami mempersiapkan dan membiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya, karena mahar merupakan pemberian yang pertama dari seorang suami kepada isterinya, yang kemudian akan timbul kewajiban materiil lainnya yang harus dilaksanakan oleh si suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu29.

Juga hikmah lainnya untuk disyariatkannya mahar adalah30 :

1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.

2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.

28

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan

Peradilan Agama, 1992), pasal 30.

29

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.87.

30

(33)

3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

4. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap isterinya.

5. Untuk menjadi pegangan bagi isteri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan isterinya sesukanya, serta untuk pengikat kasih sayang antara suami dan isteri31.

Para ulama sepakat bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah maka berlakulah kewajiban untuk membayar mahar, baik separuh maupun seluruhnya. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang diantara suami isteri terjadi sebelum berhubungan (Qabla dukhul), namun suami tetap wajib membayar separuh mahar yang disebutkan ketika akad32.

31

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta : Kencana, 2006), cet. Ketiga, h. 67.

32

(34)

D. Jumlah Mahar

Agama Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempit rezekinya. Selain itu, setiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Oleh karena itu, Islam menyerahkan masalah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing individu atau keadaan dan tradisi keluarganya.

Jumlah mahar tergantung pada masa dan keadaan setempat, terutama tergantung kepada pihak isteri dan suami yang bersangkutan. Menurut ketentuan syarak, bahwa mahar itu haruslah sesuatu benda yang bernilai dan bermanfaat33.

Jadi, boleh memberi mahar, misalnya dengan cincin yang terbuat dari besi, atau mengajarkan beberapa ayat-ayat Al-qur`an dan sebagainya, dengan syarat sudah disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad34. Dalam sebuah Hadist diriwayatkan, dari Sahal bin Sa`ad, bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada seseorang35 :

!

ی # ﻡ % &

'(ﻥ

*

+ ,

33

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.220.

34

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.41.

35

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim Buku 1. Penerjemah

(35)

Artinya : “Dari Sahal bin Sa`ad As-Sa`idi RA, dia berkata ; kemudian Rasulullah SAW pernah berkata : Carilah mekipun hanya berupa cincin besi” (H.RMuslim 4/143).

Hadist ini menunjukkan bahwa mahar itu tidak ditetapkan jumlah minimalnya, bahkan cincin yang terbuat dari besipun sudah cukup disebut sebagai mahar. Namun jika ada yang memberikan mahar lebih dari Hadist ini, hal ini berdasarkan kemampuan calon mempelai pria tersebut.

Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabiin berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa mahar itu minimalnya seperempat dinar emas, seberat tiga dirham perak, atau barang yang senilai dengan tiga dirham tersebut. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat minimal mahar itu sepuluh dirham36.

Dalam Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga tidak dijelaskan mengenai ukuran mahar yang akan diberikan, hal ini menunjukkan bahwasanya mahar itu benar-benar disesuaikan dengan keadaan dan kondisi sosial suatu masyarakat, sehingga tidak dibuat suatu ukuran yang pasti tentang jumlah mahar.

Serta dalam Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak disebutkan secara pasti mengenai jumlah mahar yang harus diberikan

36

(36)

kepada pihak wanita, hal ini sesuai dengan pasal 31 yaitu ‘penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam’37.

E. Penyebab Gugur/Pengembalian Mahar

Mahar dapat gugur seluruhnya apabila terjadi perceraian sebelum mereka bercampur atau Qabla dukhul, jika dalam hal-hal sebagai berikut38 :

1. Apabila perceraian itu terjadi dengan jalan fasakh dari pihak istri, karena wanita itu sendiri melakukan pekerjaan maksiat seperti murtad. Maka dalam hal ini, karena kejahatan datang dari pihak wanita itu sendiri maka gugurlah semua maharnya, sebab maksiat itu yang menggugurkan kewajiban suami untuk memenuhi hak isterinya itu.

2. Fasakh yang dilakukan oleh suami atau isteri setelah mereka akil baligh, sedangkan mereka dikawinkan ketika masih kecil, maka tidak ada suatu kewajiban yang harus dipenuhi, karena bercampur atau dukhul tidak terjadi antara suami isteri tersebut.

3. Fasakh karena tidak sekufu’, yaitu wali memintakan fasakh karena maharnya kurang dari pada jumlah mahar mitsil, fasakh seperti ini

37

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan

Peradilan Agama, 1992), pasal 31.

38

(37)

merupakan pembatalan suatu akad nikah dari awalnya juga. Apalagi jika fasakh ini datangnya dari pihak isteri, maka maharnya menjadi gugur karena tidak ada sesuatu sebab yang mengharuskan suami membayarnya.

4. Juga ketika si isteri membebaskan atau menghibahkan kepada si suami dari pada mahar tersebut39.

Para ulama madzhab sepakat bahwa, apabila akad dilaksanakan dengan menyebutkan mahar, kemudian si suami menjatuhkan talak sebelum melakukan hubungan seksual atau Qabla dukhul, maka gugurlah separuh maharnya40. Hal ini sejalan dengan Q.S Al-Baqarah : 237, yaitu :

1

0

H$4\

2 80_

S

$

C`%) K

1

H$4\ aF

D

#L K

2 #b 3 5

H$2cWd

ef; A3 5

!

7 5

g h#b 3 5

ij

0

1

kl ,Y4

,Y4

m

Kn/

:Z L [

&

o

L80

@

K

G "

1

p ,Y4 D

SP 38K

q

80rs

"

fj

t EF7 D

f`#;UY8"

%+

a &

u1

0

n/

&

1 4

4 D

vw3 ! &

@BAxC

Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika

39

Aep Saepullaah Darusmanwiati, “mahar, resepsi dan adab malam pengantin menurut

petunjuk Al-qur`an dan Sunnah”, artikel diakses pada tanggal 25 Januari 2009 dari :http://Indonesianschool.org.

40

(38)

isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.

Ayat ini jelas menunjukkan, kewajiban suami membayar setengah dari jumlah mahar yang sudah ditentukan dalam akad nikah, karena Al-Qur`an menegaskan “telah kamu tentukan jumlah mahar kepada mereka maka bayarlah separohnya”. Sementara untuk mahar yang belum ditentukan jumlahnya (tidak disebut pada waktu akad) tidak berlaku kewajiban membayar separuhnya karena tidak termasuk pernyataan dalam ayat ini41. Menurut Imam Hanafi walaupun tidak berkewajiban membayar setengah mahar tetapi wajib memberi kepada wanita itu berbentuk mut`ah, akan tetapi menurut Imam Syafii, tetap dibebankan pembayaran mahar separuhnya, baik mahar itu ditentukan ketika akad nikah maupun sesudahnya42.

Di sisi lain, fuqaha Zahiri berpendapat bahwa setiap talak yang terjadi sebelum dukhul harus dikenai pemaruhan mahar, tidak peduli apakah talak tersebut terjadi karena kehendak suami atau istri43.

Dalam hukum perkawinan di Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga menegaskan untuk terjadinya pengembalian mahar setengah dari yang telah

41

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.229.

42

Ibid., h.230.

43

(39)

diberikan atau ditentukan, hal ini dapat kita lihat pada pasal 35(1) yaitu ‘suami yang mentalak isterinya Qabla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah’. Yang mana hal ini juga sejalan dengan akibat dari talak yang terdapat pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu ‘melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila Qabla dukhul’.

Kesimpulan dari berbagai pendapat, menurut Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, mahar tidak boleh ditinggalkan, seandainya mahar dihutang seperti di daerah Jawa Barat, maka mahar tersebut wajib dilunasi, sehingga bagi yang berhutang hal ini tidak bisa diabaikan, karna jika tidak dilunasi akan berdosa44.

Atas dasar tinjauan teoritis, maka pengembalian mahar Qabla dukhul adalah setengah dari yang telah diberikan/ditentukan, akan tetapi putusan dari Mahkamah Syariah Langsa memerintahkan untuk mengembalikan mahar seluruhnya, sehingga akan ditelusuri alasan-alasan dari putusan No. 81/Pdt.G/2005/Msy – LGS.

44

(40)

BAB III

GAMBARAN UMUM MAHKAMAH SYARIAH LANGSA

A. Gambaran Wilayah

Sebelum ditetapkan menjadi Kota Madya, Langsa adalah bagian dari kabupaten Aceh Timur yang ibukota Kabupatennya adalah Langsa dan merupakan Kota Administratif yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1991 tentang Pembentukan Kota Administratif Langsa pada tanggal 22 Oktober 1991, dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 2 April 1992.

(41)

dilantik oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 14 Maret 2007 di Langsa, yang masih menjabat sebagai Walikota Langsa sampai saat ini45.

Pada awal terbentuknya Kota Langsa terdiri dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Kota dan Kecamatan Langsa Timur dengan jumlah desa sebanyak 45 desa (gampong) dan 6 Kelurahan. Kemudian dimekarkan menjadi 5 Kecamatan berdasarkan Qanun Kota Langsa No. 5 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Langsa lama dan Langsa Baro.

Kota Langsa merupakan salah satu kota otonom termuda di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara geografis wilayah Kota Langsa mempunyai kedudukan strategis, baik dari segi ekonomi maupun sosial budaya. Mempunyai potensi di bidang Industri, Perdagangan dan Pertanian, Kota Langsa mempunyai prospek yang baik bagi pemenuhan pasar di dalam dan luar negeri.

Kota Langsa mempunyai luas wilayah 262,41 KM2, yang terletak pada posisi antara 04° 24’ 35,68’’ – 04° 33’ 47,03” Lintang Utara dan 97° 53’ 14,59’’ – 98° 04’ 42,16’’ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 25 m diatas permukaan laut serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.

45

(42)

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten

Aceh Timur.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Manyak Payed Kabupaten

Aceh Tamiang.

Daerah Kota Langsa merupakan wilayah yang beriklim tropis yang selalu dipengaruhi oleh angin musim, sehingga setiap tahunnya terdapat dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan setiap tahun biasanya berlangsung antara bulan September sampai dengan Februari dan musim kemarau berkisar antara bulan maret sampai dengan Agustus. Walaupun sering mengalami perubahan cuaca, hujan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara 1500 mm sampai 3000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata berkisar antara 28° – 32° C dan kelembaban nisbi rata-rata 75 persen.

(43)

5,08 persen, tegalan/kebun 1.267 Ha atau 4,83 persen, dan perkebunan rakyat 1.244 Ha atau 4,74 persen.46

Disamping itu juga terdapat lahan yang sementara tidak diusahakan seluas 645 Ha atau 2,46 persen, hutan bakau 350 Ha atau 1,33 persen dan padang rumput seluas 34 Ha atau 0,13 persen serta untuk penggunaan lainnya seperti jalan, jembatan, lapangan dan lain sebagainya seluas 1.075 Ha atau sebesar 4,10 persen dari total luas wilayah Kota Langsa.

B. Historis – Yuridis Mahkamah Syariah

Peradilan Islam telah lahir di Aceh sejak zaman jayanya kerajaan Aceh, pada masa itu di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara di daerahnya. Kemudian upaya hukum Banding terhadap putusan Qadli Uleebalang diajukan ke Qadli Malikul Adil. Qadli Malikul Adil yang berkedudukan di ibukota kerajaan, kutaraja. Qadli Malikul Adil ini kira-kira dapat disamakan dengan Pengadilan Tinggi, sebagai lembaga Peradilan tingkat I di Indonesia saat ini. Qadli Uleebalang dan Qadli Malikul Adil diangkat dari ulama-ulama yang cakap dan berwibawa. Oleh karena perkara

46

(44)

yang diajukan Banding tidak terlalu banyak pada masanya, maka Qadli Malikul Adil lebih banyak bertugas memberikan fatwa dan nasehat kepada kerajaan47.

Pada zaman Hindia Belanda, Peradilan Agama merupakan bagian dari Pengadilan Adat, dimana untuk tingkat Uleebalang ada Pengadilan yang diketuai oleh Uleebalang yang bersangkutan. Sedangkan untuk tingkat afdeeling atau onderafdeeling ada lembaga Peradilan yang bernama “musapat” yang di kepalai oleh controleur, dimana Uleebalang serta pejabat tertentu menjadi anggotanya. Adanya Peradilan Agama di Aceh, khusunya untuk bumiputera (pribumi/inlander) didasarkan pada ordonansi 17 Juni 1916 Stbl. 1916 No.423 jo 435 yang beberapa kali sudah diubah dan terakhir dengan ordonansi tahun 1930 Stbl No.58. dalam prakteknya, bila perkara hanya bersangkutan dengan hukum agama, maka sering kali hanya diserahkan pada Qadli Uleebalang saja yang memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi jika berkaitan dengan hukum yang lain diluar hukum agama, maka diketuai sendiri oleh Uleebalang yang bersangkutan dan didampingi oleh Qadli Uleebalang, perlu diketahui pula bahwa dalam sidang Peradilan musapat, agar putusannya sah maka harus ada Ketua, dan adanya anggota sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan seorang ulama Islam. Dan

47

Armia Ibrahim, “Sejarah perkembangan Peradilan Agama di Aceh sebelum dan setelah

(45)

bila menyangkut kasus Pidana, maka harus ada seorang opsir justisi bumiputera48.

Pada zaman pendudukan Jepang, keadaan Peradilan Agama di Indonesia tidak banyak berubah. Apa yang berjalan pada zaman Belanda tetap dipertahankan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Khusus untuk wilayah Aceh, Jepang mengeluarkan suatu Undang-undang yang bernama Atjeh Syu Rei (Undang-undang Daerah Aceh) No 12 tanggal Syowa Ni Gatu 15 (15 Februari 1944) tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Berdasarkan pasal 1 Atjeh Syu Rei No. 12, ada tiga tingkatan Peradilan Agama saat itu, yakni49 :

1. Syukyo Hooin berkedudukan di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). 2. Seorang kepala Qadli dan beberapa anggotanya di tiap-tiap Bunsyu (di

tingkat kabupaten).

3. Seorang Qadli Son di tiap-tiap Son (kecamatan).

Syukyo Hooin merupakan lembaga Peradilan pada Tingkat Banding atau putusan atas kepala Qadli atau Qadli Son. Tugas Qadli Son pada saat itu mirip dengan tugas Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat Kecamatan pada saat ini. Syukyo Hooin terdiri dari anggota-anggota harian dan anggota-anggota biasa, salah seorang dari anggota harian diangkat menjadi Ketua (lintyo) oleh

48

Ibid.,

49

(46)

Aceh Syu Tyokan berdasarkan rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang dipilih dari ulama yang cerdik, pandai, jujur dan berpengaruh di dalam daerah Aceh. Pada saat itu, yang sempat menjabat sebagai Ketua Syukyo Hooin adalah Tgk. H. Ja’far Siddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, serta Said Abu Bakar50.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, perjuangan rakyat Aceh dalam upaya melaksanakan syariat Islam melalui lembaga Peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh juga tetap dilaksanakan, Gubernur Sumatera Utara melalui surat kawat No. 189 tertanggal 13 Januari 1974 memberi izin kepada Residence Aceh untuk membentuk Peradilan Agama, kemudian disusul dengan kawat wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera Utara No. 226/3/djaps tertanggal 22 Februari 197451.

Adapun mengenai kewenangan Peradilan Agama di Aceh pada saat itu awalnya didasarkan kepada kawat Kepala Jawatan Agama Provinsi Sumatera Utara yang ditujukan kepada jabatan agama daerah Aceh di Kutaraja No. 896/3/djaps yang intinya bahwa Pengadilan Agama, memutuskan perkara tentang52 :

50

Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No.3 Tahun 2006

(sejarah, kedudukan dan kewenangan), (Yogyakarta : UII Press, 2007), cet. pertama, h.109.

51

Ibid., h. 109.

52

(47)

1. Nikah, Talak, Rujuk, Nafkah. 2. Kewarisan.

3. Wakaf, Hibah, Shadaqah. 4. Baitul Mal.

Pada zaman Reformasi (era Reformasi), diundangkannya Undang-undang No.18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam Undang-undang ini pada pasal 25, disebutkan, bahwa :

Ayat (1) Peradilan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem Peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun, ayat (2) Kewenangan Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam53.

Jadi tampak jelas sekali bahwasanya lembaga Mahkamah Syariah merupakan salah satu lembaga Peradilan Khusus dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang sejalan dengan lahirnya Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sehingga Undang-undang inilah yang memberikan pintu bagi pembentukan Peradilan Syariat Islam di Aceh.

53

(48)

Kemudian, selang dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang Mahkamah Syariah, yakni dalam bentuk Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi, yang mana pada pasal 1 disebutkan, bahwa :

Ayat (1) Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar'iyah. Ayat (2) Mahkamah Syar'iyah sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh, Mahkamah Syar'iyah Sabang, Mahkamah Syar'iyah Sigli, Mahkamah Syar'iyah Meureudu, Mahkamah Syar'iyah Bireun, Mahkamah Syar'iyah Lhokseumawe, Mahkamah Syar'iyah Takengon, Mahkamah Syar'iyah Lhoksukon, Mahkamah Syar'iyah Idi, Mahkamah Syar'iyah Langsa, Mahkamah Syar'iyah Kuala Simpang, Mahkamah Syar'iyah Blang Kejeren, Mahkamah Syar'iyah Kutacane, Meulaboh, Mahkamah Syar'iyah Sinabang, Mahkamah Syar'iyah Calang, Mahkamah Syar'iyah Singkil, Mahkamah Syar'iyah Tapak Tuan, Mahkamah Syar'iyah Jantho. Ayat (3) Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh diubah menjadi Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Mahkamah Syar'iyah Provinsi54.

Seiring dengan adanya tuntutan agar terciptanya hukum yang lebih bermartabat dan bermasyarakat maka di lakukan pengundangan terhadap Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwasanya Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi55. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan dalam lingkungan

54

Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi.

55

(49)

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara56.

Seperti dimaklumi, UUD 1945 sendiri menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa ‘Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan Peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer’57.

Dengan disahkannya Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa peradilan syariat Islam dan Mahkamah Syariah di Aceh sebagai Peradilan Khusus, pada pasal 15 ayat 2 disebutkan, bahwa :

Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama, dan merupakan Peradilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut Peradilan Umum”. Dalam penjelasan pasal 15 ayat 2 tersebut disebutkan : “Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam58.

56

Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 10 ayat 2.

57

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), cet. Pertama, h. 229.

58

(50)

Hal ini juga dicantumkan, dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diantara pasal 3 dan pasal 4 disisipkan ketentuan pasal 3A yang menyatakan bahwa ‘di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan Pengadilan yang diatur dengan Undang-undang’59. Yang dimaksud dengan pengkhususan lembaga Pengadilan, adalah sebagaimana yang tertera pada pasal 15 ayat (2) undang No. 4 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pada tahun 2006, eksistensi lembaga Peradilan Islam di Aceh semakin kuat berdiri kokoh dengan lahirnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mana Undang-undang ini merupakan sebagai pengganti dari Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada pasal 128 (1) disebutkan, bahwa :

Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Kemudian pada ayat (2) Mahkamah Syariah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama islam dan berada di Aceh.

Mengenai kompetensinya ada pada ayat (3) ‘Mahkamah Syariah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang

59

(51)

meliputi bidang Ahwal Al-syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam’60.

Dimana hal ini tampak sejalan dengan Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa :

Perkara-perkara dibidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum ekonomi syariah, hukum perikatan dan hukum harta benda serta perkara-perkara dibidang pidana yang meliputi : qishas – diyat, hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syariah61dan Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama islam.

Sedangkan Kompetensi Relatief dari Mahkamah Syariah Langsa yaitu62 : 1. Kecamatan Langsa Baro.

2. Kecamatan Langsa Lama. 3. Kecamatan Langsa Barat. 4. Kecamatan Langsa Timur. 5. Kecamatan Langsa Kota.

Mengenai sumber hukum yang digunakan dalam Lembaga Mahkamah Syariah, Hukum Materil dan Hukum Formil Mahkamah Syariah harus menggunakan Syariat Islam. Menurut Qanun No. 10 tahun 2002 pada pasal 53 dan 54, Hukum Materil dan Hukum Formil yang bersumber dari syariat Islam

60

Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 128 (1,2 dan3).

61

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama, h. 171.

62

(52)

yang akan dilaksanakan di Aceh harus dituangkan dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh karenanya Syariat Islam yang akan dilaksanakan oleh hakim Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu63.

Hal ini juga disebutkan dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada pasal 132 (2) yaitu :

Sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara dibentuk, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama kecuali yang diatur khusus, juga dalam lingkungan Peradilan Umun kecuali yang diatur khusus dalam Undang-undang ini64.

Perbedaan yang sangat mendasar dari lembaga Peradilan Agama dengan lembaga Mahkamah Syariah diantaranya pada Mahkamah Syariah terdapat kewenangan mengadili di bidang pidana sepanjang menyangkut kewenangan Peradilan Umum.

Adapun mengenai dasar hukum atas dibentuknya Mahkamah Syariah yaitu65:

1. Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

63

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama, h. 171.

64

Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 132 (2).

65

(53)

2. Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4. Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 5. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 6. Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

7. Keppres No. 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam.

8. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: KMA/070SK/X/2004 tanggal 06 Oktober 2004 tentang pelimpahan sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

9. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

C. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Gugat

(54)

tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, kitab-kitab Fiqh Islam, Yurisprudensi Mahkamah Agung66.

Kemudian dalam Qanun No. 10. tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, pada pasal 58 (2) bahwa ‘sepanjang Qanun mengenai Hukum Materil dan Formil belum ada, maka perkara perdata di selesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku’67.

Oleh karena pada umumnya masih menggunakan sumber hukum yang sama dengan Peradilan Agama baik pada hukum Materil maupun hukum Formil, maka berikut prosedur penyelesaian perkara cerai gugat di Mahkamah Syariah :

1. Pengajuan Perkara di Kepaniteraan68

Penggugat menghadap pada meja pertama, yang akan menerima surat gugatan dan menaksir panjar biaya perkara (biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya pemeriksaan, biaya pemeriksaan setempat/perbuatan hakim yang lain, biaya pemanggilan/pemberitahuan para pihak)69, ditulis pada SKUM (surat kuasa untuk membayar). Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari lurah setempat.

66

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ketiga, h. 12.

67

Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam

68

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h. 59.

69

(55)

2. Pembayaran Panjar Biaya Perkara70

Calon Penggugat kemudian menghadap kepada kasir dengan menyerahkan surat gugatan tersebut disertai SKUM, yang kemudian di tandatangani pada SKUM, serta memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas.

3. Pendaftaran Perkara71

Calon Penggugat kemudian menghadap pada meja kedua dengan menyerahkan Surat Gugatan dan SKUM yang telah dibayar. Kemudian meja kedua mendaftar Gugatan dalam register, memberi nomor perkara sesuai dengan nomor pada SKUM, kemudian memberikan kembali kepada Penggugat satu helai salinan, kemudian mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Ketua melalui Wakil Panitera dan Panitera.

4. Penetapan Majelis Hakim72

Ketua Mahkamah Syariah mempelajari berkas-berkas, dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari, Ketua menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah

70

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h. 60.

71

Ibid., h. 61.

72

(56)

“Penetapan” Majelis Hakim73. Serta Hakim ketua atau anggota Majelis Hakim akan memeriksa kelengkapan surat gugatan74.

5. Penunjukan Panitera Sidang

Untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara maka Panitera menunjuk seorang atau lebih sebagai Panitera sidang, kemudian Panitera sidang menyerahkan berkas kepada Majelis Hakim, serta Panitera ini nantinya yang akan mencatat jalannya persidangan. 6. Penetapan Hari Sidang75

Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara, kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam berapa dan kapan perkara itu akan disidangkan serta memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk menghadap pada hari dan jam yang telah ditentukan, yang diperintahkan kepada Jurusita. Kemudian Majelis Hakim akan menyidangkan perkara.

7. Pemeriksaan di Persidangan (proses menyidangkan perkara).

Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahapan dalam Hukum Acara perdata, Gugatan cerai (cerai gugat) diatur dalam pasal 40 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

73

Pasal 121 HIR

74

Gemala Dewi, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Kedua, h. 118.

75

(57)

Perkawinan, pada pasal 20-36 PP. No 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan perkawinan, dan pada pasal 73-88 Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, serta pada pasal 113-148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Setelah Hakim tidak dapat mendamaikan para pihak, maka pemeriksaan perkara dilakukan. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum, demikian pula ketika dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi (pasal 80 Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan pasal 33 pada PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Perkawinan). Tahapan pemeriksaan tersebut adalah :

a. Pembacaan Gugatan76

Pada tahap pembacaan Gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan dari Penggugat, diantaranya : mencabut, mengubah dan/atau mempertahankan Gugatan.

b. Jawaban Tergugat77

Tergugat dapat mengajukan jawaban baik itu secara tertulis maupun lisan. Jawaban juga dapat berupa Eksepsi atau Gugatan Rekonvensi.

c. Replik78

76

Ibid., h. 99.

77

(58)

Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si Penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapatnya.

d. Duplik79

Setelah Penggugat menyampaikan Repliknya, kemudian Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Acara Replik Duplik ini dapat diulangi, sampai Majelis Hakim merasa/menganggap cukup.

e. Pembuktian80

Pembuktian tentang alasan-alasan cerai gugat dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak, yaitu masing-masing pembuktian dilakukan berdasarkan alasan-alasan untuk bercerai81. Kecuali dalam hal cerai dengan alasan zina, pelanggaran ta’lik talak dan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.

f. Kesimpulan Para Pihak (Konklusi)82

78

Ibid., h. 108.

79

Ibid., h. 108.

80

Ibid., h. 227.

81

Ibid., h. 214.

82

(59)

Pada tahap ini, Penggugat diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, yang menegaskan apakah Penggugat masih tetap ingin bercerai dari Tergugat. Atau Tergugat dapat meyakinkan hakim agar tidak terjadinya perceraian.

g. Putusan83

Mahkamah Syariah setelah memeriksa gugatan cerai dan berkesimpulan bahwa isteri punya alasan yang cukup untuk bercerai, dan alasan-alasan cerai tersebut telah cukup terbukti, serta kedua belah pihak tidak mungkin didamaikan lagi, maka Mahkamah Syariah memutuskan bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu “putusan”. Dan putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum84.

8. Pembayaran biaya perkara.

Biaya perkara di bebankan kepada pihak Penggugat85. 9. Putusan berkekuatan hukum tetap

Perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (in

83

Ibid., h. 228.

84

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada pasal 81 (1)

85

(60)

kracht)86, yaitu ketika tidak dilakukannya upaya hukum dan telah daluwarsa untuk melakukan upaya hukum. Kemudian Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan kepada para pihak, dengan memberikan akta cerai sebagai bukti cerai (pasal 84 (4) Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama). Kemudian menyerahkan salinan putusan kepada Penggugat dan Tergugat.

10.Pengarsipan berkas perkara

Panitera muda hukum bertugas untuk mendata perkara, melaporkan perkara serta mengarsipkan perkara87.

86

Ibid., h. 230.

87

(61)

BAB IV

PENGEMBALIAN MAHAR SEUTUHNYA AKIBAT PERCERAIAN

DI MAHKAMAH SYARIAH LANGSA

A. Kronologis perkara No: 81/Pdt.G/2005/Msy - LGS

Sebagaimana telah disinggung diawal mengenai keputusan Mahkamah Syariah Langsa yang memutuskan untuk mengembalikan mahar seutuhnya kepada pihak suami (Tergugat), maka secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut: Riny Chandra, S.E binti M. Rani, yang diwakili oleh kuasanya Rahmat Panjaitan, SH dkk, untuk selanjutnya disebut sebagai “Penggugat/Tergugat Rekonvensi” menggugat Edwin Latifurrahman Syahputra, SH bin Drs. H. Abdul Latif, yang diwakili oleh kuasanya Arnis, SH, untuk selanjutnya disebut sebagai “Tergugat/Penggugat Rekonvensi”.

(62)

Seiring berjalannya waktu, Tergugat melanggar sumpah tersebut, sehingga seluruh keluarga Tergugat mengetahui keadaan tentang diri Penggugat. Dengan demikian berimplikasi diambilnya beberapa pemberian Tergugat dari Penggugat, dalam hal ini diwakili oleh orang yang dituakan dari keluarga Tergugat. Kemudian Tergugat juga tidak tinggal satu rumah lagi dengan Penggugat. Hal ini yang menyebabkan timbulnya percekcokan, yang tidak mungkin dapat didamaikan lagi, dan hanya keluarga dari Penggugat saja yang berusaha untuk mendamaikan masalah ini.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat mohon kepada Mahkamah Syariah Langsa

Gambar

gambaran baik secara umum maupun secara khusus mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Free Cash Flow dan Struktur Kepemilikan Saham Terhadap Kebijakan Hutang dengan Investment Opportunity Set sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan

Pemakaian ejaan dalam surat dinas yang dikeluarkan Kantor Desa Marga Dauh Puri memiliki beberapa kesalahan yang berhubungan dengan penulisan huruf kapital , penulisan

• Publikasi di website dan social media milik media radio (Kesepakatan mengenai jumlah spot, ad lips, blocking time dan penempatan pemberitaan acara RUPAREKA 2019 dibicarakan

Untuk tanah Ultisol jenis mikrobia yang adaptif pada kondisi lingkungan tersebut adalah jenis bakteri dan aktinomisetes, sedangkan jamur kurang tahan, yang ditunjukkkan

Independensi jurnalisme reporter di Klaten mengalami gangguan akibat adanya patronase (kerja sama) yang dijalin oleh media dengan pihak luar, baik dari kerja sama iklan

Proses mengubah perilaku dengan terapi ini adalah dengan menggunakan tehnik yang disebut conditioning yaitu suatu proses dengan cara individu belajar mengubah

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Konstruksi resultatif juga dipandang sebagai konstruksi intransitif yang diturunkan dari konstruksi transitif sehingga resultatif dapat dikontraskan dengan istilah pasif