Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
KABUKI NO JYOU’EN NI BANSOU NI SURU
K e r t a s K a r y a
D i k e r j a k a n
O
L
E
H
CORY JULIARTA HUTABARAT
NIM 062203047
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI D3 BAHASA JEPANG
MEDAN
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
KABUKI NO JYOU’EN NI BANSOU NI SURU
KERTAS KARYA
Dikerjakan
O l e h
CORY JULIARTA HUTABARAT
NIM 062203047
Pembimbing, Pembaca,
Drs. Eman Kusdiyana M. Hum Rani Arfianty, S.S
NIP 131763365 NIP
Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Falkultas Sastra
USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
MEDAN
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya
Fakultas Sastra
Univesitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang
Ketua,
Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum.
NIP 131662152
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi
Bahasa Jepang
Pada :
Tanggal :
Hari :
Program Diploma Sastra Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. NIP 132098531
Panitia :
No. Nama Tanda Tangan
1. Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum (……….)
2. Drs. Eman Kusdiyana M.Hum (……….)
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sehingga Penulis dapat menyelesaikan
kertas karya yang berjudul “Alat Musik Pengiring Pertunjukan Kabuki”. Meskipun banyak
kesulitan dalam penulisan kertas karya ini, karena pengetahuan penulis yang terbatas tetapi
berkat bimbingan, bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, maka penulis dapat
meyelesaikan kertas karya ini.
Dalam penulisan kertas karya ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis menyelesaiakan kertas karya ini terutama kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara.
2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum.,Selaku Ketua Program Studi D3 Bahasa Jepang
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M. Hum., selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas
menuangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sampai
kertas karya ini dapat diselesaikan.
4. Ibu Rani Afrianty, S.S. selaku Dosen Pembaca. yang juga dengan ikhlas meluangkan waktu
untuk memeriksa ulang kertas karya ini agar lebih baik lagi.
5. Bapak Drs. Yuddi Adrian M.Hum., selaku Dosen Wali. Seluruh Staf Pengajar Program Studi
Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
6. Ibunda Juli Panjaitan, Kakandaku, Johanes Wahyudi Hutabarat dan Trisna Damayanti
Hutabarat serta seluruh keluarga besar penulis yang tersayang.
7. Teman – teman fakultas sastra D3 Bahasa Jepang Setambuk 2006 dan sahabat – sahabat
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
8. Teman – teman: Roslina Hutagaol, Cut Azni, serta anggota PS. Consolatio dan anggota
PNB HKI Imanuel yang telah memberi banyak dukungan.
9. Bapak Pendeta Yusuf Hutapea, S.Th., yang telah banyak memberi waktu serta dukungan
baik moril maupun materil.
Tiada lain harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatNya
kepada semua pihak yang disebutkan diatas.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih untuk semua bantuan dan dukungan
selama ini. Semoga kertas karya ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2009
Penulis
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Alasan Pemilihan Judul ... 1
1.2. Batasan Masalah ... 1
1.3. Tujuan Penulisan ... 2
1.4. Metode Penulisan ... 2
BAB II PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS MUSIK PENGIRING PERTUNJUKAN KABUKI ... 3
2.1. Pengertian Musik Pengiring Pertunjukan Kabuki ... 3
2.2. Jenis-Jenis Musik Pengiring Pertujukan Kabuki ... 3
2.2.1. Geza ... 3
2.2.2. Gidayu ... 4
2.2.3. Nagauta ... 5
2.2.4. Tokiwazu, Kiyomoto, Kato Bushi ... 5
BAB III ALAT-ALAT MUSIK PENGIRING PERTUNJUKAN KABUKI ... 7
3.1. Shamisen ... 7
3.2. Taiko ... 8
3.3. Hyoushigi ... 9
3.4. Shinobue ... 10
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 11
4.1. Kesimpulan... 11
4.2. Saran ... 11
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Kabuki adalah sebuah bentuk teater klasik yang mengalami evolusi pada awal abad ke-17
sehingga yang memiliki nilai sejarah tersendiri. Ciri khas kabuki yaitu berupa irama kalimat
demi kalimat yang diucapkan oleh para aktor, kostum yang super-mewah, make-up yang
mencolok (kumadori), serta penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di
panggung. Make-up menonjolkan sifat dan suasana hati tokoh yang dibawakan aktor.
Kebanyakan lakon mengambil tema masa abad pertengahan atau zaman Edo, dan semua aktor,
sekalipun yang memainkan peranan sebagai wanita, adalah pria. Selain itu, musik pengiring
pertunjukan Kabuki juga memiliki nilai sejarah yang sangat menarik.
Pertunjukan Kabuki juga diiringi oleh alat-alat musik tradisional seperti shamisen, taiko,
hyoushigi, dan shinobue. Alat-alat musik tersebut merupakan alat musik yang unik karena
meskipun terbuat dari bahan yang sangat sederhana namun dapat menghasilkan suara yang
menirukan bunyi-bunyian alam seperti bunyi angina, air ombak dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis sangat tertarik untuk membahas tentang ”Alat
Musik Pengiring Pertunjukan Kabuki” sebagai judul kertas karya ini.
1.2.Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, sehingga dalam kertas karya ini
penulis membatasi tulisan ini hanya membahas alat musik pengiring pertunjukan kabuki seperti
shamisen, taiko, hyoushigi, dan shinobue. Dan juga supaya dalam menjelaskan alat-alat musik
tersebut agar menjadi lebih akurat, maka penulis juga menjelaskan jenis-jenis musik seperti geza,
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. 1.3. Tujuan Penelitian
Penulisan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memperkenalkan seni teater kabuki, khususnya mengenai alat-alat musik
pengiring pertunjukan kabuki.
2. Untuk mengangkat nilai-nilai tradisi dari musik pengiring pertunjukan kabuki.
3. Untuk memperkenalkan nilai-nilai seni dari alat musik pengiring pertunjukan kabuki
kepada pembaca.
4. untuk menambah wawasan penulis maupun pembaca mengenai alat-alat musik pengiring
kabuki.
1.4. Metode Penelitian
Penulisan makalah ini hanya memakai metode kepustakaan, yaitu metode untuk
mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca buku atau refrensi yang berhubungan
dengan alat musik kabuki di Jepang yang akan dibahas dalam kertas karya ini.
Selanjutnya data dianalisa dan dirangkum kemudian dilanjutkan ke dalam bab-bab yang
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. BAB II
PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS MUSIK PENGIRING PERTUNJUKAN KABUKI
2.1. Pengertian Musik Pengiring Pertunjukan Kabuki
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “musik” adalah bunyi-bunyian, “pengiring”
adalah hal atu sesuatu yang mengikuti atau mengiringi, sedangkan “pertunjukan” adalah sesuatu
yang dipertunjukkan. Secara etimologi bahasa Jepang, “ka” yang berarti lagu atau nyanyian,
“bu” yang berarti tarian dan “ki” yang berarti seni atau kemampuan, sehingga pengertian kabuki
yaitu seni tari dan lagu.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian “musik pengiring pertunjukan kabuki” adalah
bunyi-bunyian yang mengiringi pertunjukan seni tari dan lagu kabuki.
2.2. Jenis-Jenis Musik Pengiring Pertunjukan Kabuki
2.2.1. Geza
Geza dikenal sebagai musik latar belakang yang diputar kamar kuromisu kecil yang
redup di balik tirai bambu hitam di samping belakang panggung. Oleh karena itu geza ongaku
juga disebut sebagai Kuromisu-ongaku (musik tirai bamboo hitam) atau Misu-uchi-ongaku. Dari
ruangan yang redup ini pemusik melihat keluar jerajak menuju panggung atau yang disebut
dengan hanamichi dan memilih waktu yang tepat untuk musik mereka, suasana, dan efek suara
untuk membuka layar.
Selain daripada penyanyi, geza diiringi oleh alat musik gesek shamisen. Dawai-dawai
shamisen disetel dengan tiga cara yaitu honchosi, niagari, dan sansari. Tidak ada titi nada yang
ditetapkan tetapi interval-interval menyisakan persamaan yaitu dalam urutan menaik, kurang
lebih B menaik di pertengahan C, E, B untuk honchosi; B, F. B tajam untuk niagari dan B, E, A
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
Instrument pokok geza yang lain yaitu; nohkan, take-bue, kotsuzumi, tsuzumi, taiko,
o-daiko, dan berbagai alat musik tabuh seperti gong, hyoushigi dan bel yang memiliki berbagai
macam warnanada.
Geza juga meliputi efek suara yang lebih nyata, misalnya pada adegan salju yang jatuh
yang dibuat hampir tidak ada bunyi, tetapi dentaman o-daiko yang lambat memberi kesan redam
pemandangan yang ditutupi salju. Bunyi ombak yang memukul diiringi oleh pukulan ombak
yang disebut bunyi ombak (nami no oto). Banyak efek-efek musik yang demikian digunakan
untuk meniru suara desiran angin, rintik hujan, atau air yang mengalir sehingga menambah
suasana pertunjukan kabuki.
2.2.2. Gidayu
Gidayu merupakan nyanyian dengan iringan shamisen. Bentuk dari cerita yang
dinyanyikan dimulai oleh Takemoto Gidayu (1651-1741) dan para pemain mempelajarinya
semenjak usia dini untk mengembangkan suara-suara mereka. Di dalam bunraku, nyanyian
menggunakan suara yang memiliki warnanadauntuk berbicara pada boneka-boneka.
Nyanyiannya sangat dramatis dan jumlah penyanyi hampir sebanyak pemain sebagai pemusik.
Namun di dalam Kabuki, peran ini terutama pada penyediaan tafsiran pemikiran karakter dan
emosi untuk menggambarkan adegan di atas pentas.
Shamisen yang digunakan lebih besar dari instrument baku dan warnanada yang
dihasilkan lebih nyaring dan merdu. Panggilan-panggilan yang dibuat oleh pemain shamisen
sangat penting dalam memberi isyarat-isyarat pemilihan waktu yang tepat bagi para aktor dan
penyanyi. Shamisen dan nyanyian bisa disembunyikan di belakang sebuah tirai bamboo di atas
lantai sebelah kanan yang menaik, tetapi pada umumnya mereka memperlihatkan degatari, di
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. 2.2.3. Nagauta
Nyanyian panjang indah yang dinyanyikan lincah, sedih dan berirama disebut nagauta.
Pada zaman Edo tahun 1976-1736 nagauta terlaksana dengan baik dengan format paling tua dan
musik yang murni yang berkembang bersamaan dengan teater. Nagauta didesain sebagai suatu
gaya yang diperluas dari musik berirama, cocok untuk iringan tari-tarian panjang. Gaya ini juga
menampilkan banyak tari-tarian kabuki yang paling terkenal dan tarian drama musisi yang
diperlihatkan di atas debayashi. Sekitar delapan orang pemain shamisen berlutut di atas platform
merah bagian tengah atas. Alat musik yang sering dipakai yaitu; taiko, o-tsuzumi, dua atau tiga
ko-tsuzumi, shinobue, nohkan dan take-bue.
2.2.4. Tokiwazu, Kiyomoto, Kato Bushi
Tokiwazu merupakan gaya musik Joruri yang digunakan dalam tari-tarin untuk memutar
dan tidak pernah muncul dengan wayang. Gaya bernyanyi tokiwazu jauh lebih ringan dan lebih
bersemangat daripada gidayu. Selain itu, teks yang diucapkan lebih mudah dan sangat logis. Hal
itu membuat gaya Kabuki dari Joruri dekat dengan gaya liris utamono.
Gaya Tokiwazu merupakan jenis musik tertua yang berasal dari Bungo Bushi. Beberapa
gaya Bungo Bushi antara lain; tokiwazu tomimoto, kiyomoto dan shinnai. Tomimoto sudah
hampir hilang dan shinnai hampir tidak pernah muncul dalam teater. Bungo Bushi berasal dari
nama Miyako Bungo-no-Jo yang berpergian dari Kyoto ke Edo dan menjadi terkenal akan
keindahan suara dan gaya berpakaiannya. Miyako muncul dalam Kabuki, dan sering memainkan
adegan bunuh diri sehingga dilarang diputar oleh shogun. Akhirnya Bungo-no-Jo kembali ke
Kyoto dan meninggal pada tahun 1740.
Salah satu siswa siswa dari Bungo-no-Jo yang tetap tinggal di Edo mulai melakukannya
dengan nama Tokiwazu-Mojitayu (1709-1781). Periode pertama kebesaran Tokiwazu yaitu pada
tahun 1750 ketika ia memainkan adegan dengan panjang dan penuh warna. Periode kedua
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
pada ”hengemono” atau ”transformasi tarian.” hal ini merupakan bagian tarian singkat dengan
masing-masing karakter tertentu dan biasanya dilakukan oleh seorang aktor yand dapat dengan
cepat membuat perubahan dari karakter ke karakter yang lain.
Kiyomoto merupakan ekspresi musik pengiring untuk narasi nyanyian Jepang yang
anggun. Gaya Kiyomoto dimulai oleh Kiyomoto Enjudayu (1977-1985). Ciri khas gaya musik
ini adalah suara vokal falsetto yang sangat tinggi. Pada umumnya Kiyomoto sering
diperdengarkan sebagai iringan adegan cinta.
Kato bushi merupakan suatu gaya amatir yang hanya terdengar dalam satu permainan,
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. BAB III
ALAT-ALAT MUSIK PRNGIRING PERTUNJUKAN KABUKI
3.1. Shamisen
Shamisen merupakan salah satu alat musik tradisional Jepang yang mengiringi
pertunjukan Kabuki. Shamisen adalah alat musik dawai yang memiliki tiga senar, dipetik dengan
menggunakan bachi. Bentuknya segiempat dengan keempat sudut yang sedikit melengkung.
Badan alat musik dawai ini terbuat dari kayu, bagian depan dan belakang dilapisi kulit hewan
yang berfungsi memperkeras suara senar. Kulit pelapis shamisen yang bagus terbuat dari kulit
perut kucing betina yang belum kawin, sedangkan shamisen kualitas biasa terbuat dari kulit
punggung anjing. Pemusik duduk dengan posisi seiza, kedua belah kaki dilipat ke belakang
dengan lutut dibuka lebar, dan seluruh berat badan bertumpu di bagian pantat.
Panjang leher shamisen hampir sama dengan gitar tapi lehernya lebih langsing dan tanpa
fret. Leher shamisen ada yang terdiri dari tiga bagian agar mudah dibawa-bawa, ada juga yang
utuh dan tidak bisa dilepas-lepas yang disebut nobezao. Bahan baku senar adalah sutra, tetapi
ada juga yang memakai nilon atau tetron. Berdasarkan ukuran leher, shamisen terdiri dari tiga
jenis yaitu Hosozao (leher sempit), Nakazao (leher sedang), Futozao (leher besar). Shamisen
terdiri dari beberapa jenis, antara lain;
1. Nagauta shamisen, berleher langsing, dipetik dengan bachi besar dari gading gajah,
dan dipakai pada pertunjukan kabuki
2. Giday shamisen, berleher besar dan tebal, dan digunakan sebagai pengiring j ruri
3. Tokiwazu-bushi shamisen, lehernya tidak begitu besar.
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
5. Jiuta shamisen, berleher sedang, dipetik dengan bachi yang disebut Tsuyama bachi
dari bahan gading gajah. Shamisen jenis ini sering disebut sankyoku, dimainkan
bersama koto, koky , dan shakuhachi.
6. Shinnai shamisen, berleher sedang, dipetik dengan menggunakan kuku jari.
7. Yanagawa shamisen (Ky -shamisen), berleher lebih langsing dari Hosozao,
merupakan model shamisen yang paling tua
8. Tsugaru-jamisen, berleher lebar dan tebal, digunakan untuk lagu daerah yang disebut
Tsugaru-miny , dan dipetik menggunakan bachi yang berukuran kecil dan dibuat dari
tempurung kura-kura.
9. Shanshin asal Kepulauan Ry ky , digunakan di prefektur Okinawa dan bagian paling
ujung prefektur Kagoshima. Shanshin dibuat dari kulit ular sanca asal Indonesia,
leher shamisen dipoles dengan urushi, serta dipetik tidak memakai bachi, melainkan
dengan alat petik dari tanduk kerbau.
10.Gottan, asal Prefektur Kagoshima, dibuat seluruhnya dari kayu dan tidak memakai
kulit hewan.
3.2. Taiko
Taiko berasal dari kata tai dan ko yang berarti drum besar. Taiko merupakan alat musik
tabuh yang ditabuh dengan alat pemukul yang disebut dengan bachi. Taiko terdiri dari berbagai
jenis, ntara lain;
1. Nagado-daiko (taiko yang berbadan panjang) terdiri atas dua potong kulit sapi yang
dibentangkan di atas sebuah kerangka kayu (biasanya diukir dari satu potnog kayu, kini
sering dibuat dari sisa-sisa sebuah gentong kayu) dan diregangkan. Kepala dari
tsukeshime-daiko (seringkali disingkat menjadi, “shime-daiko” atau “shime” saja)
dibentangkan di atas cincin-cincin besi dan dijepit di sekitar badan yang lebih kecil. Tali
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
2. Okedo-daiko (taiko berbadan gentong, seringkali disingkat menjadi “okedo” atau “oke”)
dapat dipasang di atas sebuah dudukan dan dimainkan seperti taiko lainnya, tapi biasanya
digantungkan melintang ke bahu sehingga si pemain drum dapat berjalan sambil
memainkannya.
3. Uchiwa-daiko (taiko kipas),
4. Hira-daiko (taiko datar), adalah jenis drum yang luas daripada yang lama, "Hira" berarti
rata.
5. Byou-daiko adalah nama besar untuk kategori drum yang diukir dari satu log. "Byou"
yang berarti "rebana."
6. Chu-daiko berukuran sedang yang merupakan salah satu anggota Nagado-daiko.
Diameter taiko ini mulai dari ukuran sekitar 1,6 shaku samapai 2,8 shaku (sekitar 19
"untuk 33,5" atau 48,5 cm hingga 85 cm).
7. Daibyoshi, memiliki dua drumheads. Drumheads ini dibuat dari kulit anak sapi untuk
mendukung jahitan silang senar. Kotsuzumi yang bagus terbuat dari kayu cherry.
8. Gaku-daiko merupakanHira-daiko yang dihiasi. Awalnya digunakan dalam Gagaku
Theater kuno, instrumen ini dimainkan secara vertikal sedangkan musisi duduk.
9. Ko-daiko adalah salah satu gendang kecil dari Nagado keluarga-daiko, dengan
diameternya mulai dari satu shaku hingga satu setengah shaku atau sekitar 30 cm.
10.dan serangkaian instrumen tabuh lainnya dalam ansambel tradisional Jepang lainnya.
3.3. Hyoushigi
Satu hal yang tidak boleh terlewatkan dalam pementasan drama klasik kabuki adalah
hyoushigi. Seperti namanya yang dimulai dengan ki (pohon), hyoushigi terbuat dari batang
pohon ek putih yang terbaik berasal dari Amakusa di Kyushu. Sepasang hyoushigi dibentuk dan
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
Orang yang bertugas membentur hyoushigi disebut kyogen sakusha. Hyoushigi
merupakan musik yang digunakan untuk menentukan kapan layar dibuka dan ditutup.
Kyougen sakusha membenturkan hyoushigi sebanyak dua kali segera ketika para aktor
tiba di panggung. Panggilan ini disebut chakutou (kedatangan) yang merupakan isyarat untuk
para aktor agar memulai persiapan. Sepuluh menit kemudian, ia membenturkan hyoushugi dua
kali lagi yang disebut nichou (dua rentak) untuk memberitahu para aktor apakah mereka perlu
memakai rambut palsu dan mempersiapkan kedatangan mereka. Kemudian para aktor melakukan
gerakan memutar di belakang panggung, yang disebut mawari. kemudian membentur hyoushigi
sekali di masing-masing ruangan pengaturan, ruang penyangga dan ruang set sebelum
meneruskan langkah menuju panggung. Sentuhan terakhir yang diberikan oleh kyougen sakusha
adalah memberi dua rentak nyaring, chon-chon, disebut naoshi yang merupakan isyarat untuk
memulai musik dan kemudian hentakan hyoushigi yang semakin cepat sebagai tanda bahwa tirai
dibuka.
3.4Shinobue
Shinobue atau yang disebut juga takebue merupakansuling Jepang yangt menghasilkan
suara bernada tinggi. Shinobue banyak diperdengarkan pada musik nagauta pada teater musik
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009. BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Kabuki merupakan seni teater klasik khas Jepang yang penuh seni.
2. Hampir di setiap adegan kabuki diiringi oleh musik yang berbeda, kadang dua atau
tiga langka h memiliki musik yang berbeda.
3. Jenis-jenis musik pengiring pertunjukan kabuki ada bermacam-macam sesuai dengan
fungsinya, antara lain; geza, gidayu, nagauta, kiyomoto, tokiwazu dan kato bushi
yang mempunyai peran yang berbeda.
4. Bunyi alam seperti bunyi hujan, angin, bahkan air dan sebagainya dapat dihasilkan
oleh alat musik kabuki.
5. Alat-alat musik kabuki dibuat dan dimainkan dengan cara sederhana dari bahan yang
sederhana, seperti dari kayu dan bambu, namun suara yang dihasilkan sangat bagus.
4.2. Saran
Melalui kertas karya ini penulis berharap agar pembaca dapat mengambil nilai-nilai
budaya dan seni musik dalam pertunjukan kabuki. Selain itu, harapan penulis agar pembaca
melihat kembali kebudayaan daerah masing-masing, sudah sejauh mana pembaca mencintai dan
Coly Juliarta Hutabarat : Kabuki No Jyou’en Ni Bansou Ni Suru, 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Cavaye, Ronald. Kabuki A Pocket Guide, Tokyo: Tuttle Publishing, 1998
Toshio, Kawatake. Kabuki, Japan: LTCB International Library Selection, 2003
Wahyuni, Sri. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Phoenix, 2007.