• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa (Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN

HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA

(STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH)

TESIS

Oleh

BUDI HERMANTO

087011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN

HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA

(STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUDI HERMANTO

087011004/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA (STUDI KASUS DI KAMPUNG JAWA BANDA ACEH)

Nama Mahasiswa : Budi Hermanto Nomor Pokok : 087011004 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum) (Notaris Syahril Sofyan,SH,MKn) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof.Dr.Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Bencana tsunami dan gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan dahsyat dan kematian dalam jumlah yang sangat besar sehingga banyak fasilitas umum termasuk perumahan warga yang hancur akibat bencana tersebut. Bencana tersebut juga menyebabkan banyak tanah yang ada di Aceh kehilangan tapal batasnya termasuk kepemilikan hak atas tanah tersebut sehingga menimbulkan permasalahan pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak dalam hal ini pihak penyewa yang ada dikampung jawa belum lagi permasalahan pembangunan perumahan warga yang hancur karena bencana tersebut, untuk itu dibutuhkan percepatan rekonstruksi di Aceh agar Aceh dapat pulih seperti sediakala. Sehingga dibentuklah BRR untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi atas perumahan warga yang terkena bencana. Atas permasalahan pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak atau penyewa yang terjadi di kampung jawa tersebut itu dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah diantara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, untuk itu perlunya suatu tinjauan hukum atas pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh penyewa.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran secara jelas dan terperinci semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yangada sekarang yang berkaitan dengan problematika pengakuan kepemilikan atas tanah hak milik di kampung jawa, Banda Aceh. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang menghubungkan peraturan-peraturan hukum dengan data dan prilaku serta kebiasaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan yaitu dengan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tindakan hukum tersebut, sedangkan dalam pendekatan yuridis normatif diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa di kampung jawa meskipun dilakukan dibawah tangan tanpa melibatkan pejabat yang berwenang untuk itu, sudah cukup kuat karena perjanjian sewa menyewa tersebut mengikat para pihak yang membuat perjanjian itu, dan perjanjian sewa menyewa tersebut juga sesuai dengan syarat sahnya perjanjian menurut peraturan perundangan yang berlaku. BRR merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana sesuai dengan Perpu nomor 2 tahun 2005 yang telah disahkan menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2005, BRR hanya akan melakukan pembangunan rumah diatas tanah warga yang terkena bencana apabila diatas tanah tersebut tidak ada sengketa dan apabila dikemudian hari muncul sengketa diatas tanah yang sedang berjalan proses pembangunannya maka BRR dengan segera menghentikan pembangunan rumah tersebut sampai sengketa diatas tanah tersebut dapat diselesaikan. Penyelesaian sengketa sewa menyewa antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa yang terjadi di kampung jawa itu dilakukan dengan cara mediasi yang difasilitasi oleh LBH Banda Aceh, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini.

(6)

ABSTRACT

The tsunami and earth quake that happened in Aceh causeda considerable damage and kliled a great number of people. A lot of public facilities including the residents’houses were ruined as well because of the disaster. The disaster also damage many land boundaries so that many landowners could no longer identify their lands. The loss of the land boundaries caused a problem. Many tenants from Kampung Jawa claimed that the lands belonged to them. Another problem was the reconstruction of the residents’ damage houses. Therefore the rekonstruction should be accelerated so that Aceh would recover. In response to it rehabilitation and reconstruction body (BRR) was established to rehabilitate and reconstruct the residents’ damage houses. The problem of claims for landownership by the tenants happening at Kampung Jawa could be solved through negotiation between the land owners and the tenants. In relation to the problem a legal review was needed.

This is also a descriptive analysis which showed all symptoms and facts clearly and in detail and to analyse the land claims of the tenants at Kampung Jawa, Banda Aceh. While the approaches applied were juridical – empirical and juridical – normative. Juridical – emperical approach is one which relates rules and data, acts and habits which flourish in the society. The data were directly collected from the field that is from the parties involved in the performance of the legal action while the juridical – normative approach is one which refers to legal norms contained in the legal regulations.

The legal strength of renting made by the landowners and the tenants at Kampung Jawa was strong enough although it was made without being participated by the authorized officials because the agreement had bound both parties. It was also suitable with the legal requirement or regulations. BRR is an institution established in order to acceleratethe rehabilitation and reconstruction of the regions after the disaster. It was basedon the regulation number 2 of 2005 which had been legalized to become regulation number 10 of 2005. The BRR build the houses only on the lands of the citizens damage by the natural disaster and when the land was free from a legal dispute. When later on a dispute arised about the land on which the process of construction was going on, the BRR would immediately stop the reconstruction until the dispute was solved. The settlement of the dispute between the landowners and the tenants at Kampung Jawa was done by means of a mediator provided by Banda Aceh Legal Aid so that no party underwent loss.

(7)

KATA PENGANTAR

Sebagai umat beragama, pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas ijin dan rahmat Nyalah sehingga Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan faktor teknis yang sangat terbatas.

Tesis ini berjudul TINJAUAN HUKUM ATAS PENGAKUAN

KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH PENYEWA merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak utamanya komisi pembimbing, baik yang bersifat moril maupun materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Pembimbing Utama, Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Syahril Syofyan, SH, Mkn masing-masing selaku Pembimbing.

4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.hum dan Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum, masing-masing selaku Penguji.

yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Atas segala bantuan tersebut penulis berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga bapak/ibu senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasih-Nya dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya kepada Nusa dan Bangsa dan Agama

Ucapan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada :

(9)

2. Saudara-saudari penulis, yang telah banyak memberi dukungan baik moril maupun materiil, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi kesehatan, keselamatan dan rezeki yang berlimpah.

3. Bapak/ibu dosen dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan serta seluruh staf pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

4. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mampu penulis sebut satu persatu.

Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia, penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam tesis ini. Oleh karena itu penulis berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang produktif.

Medan, Desember 2009

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitan ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

1. Sifat Penelitian ... 20

2. Lokasi Penelitian ... 21

3. Cara Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 22

BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA MENYEWA ANTARA PENYEWA DENGAN PEMILIK TANAH DI KAMPUNG JAWA ... 23

(11)

B. Sewa Menyewa Rumah dalam KUHPerdata ... 67

C. Kekuatan Hukum Perjanjian Sewa Menyewa Antara Penyewa dengan Pemilik Tanah di Kampung Jawa ... 74

BAB III ALAS HAK BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI (BRR) ACEH DALAM PEMBERIAN BANTUAN PERUMAHAN TERHADAP MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM TSUNAMI DI KAMPUNG JAWA... 79

A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami ... 79

B. Proses Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami ... 90

C. Alas Hak Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dalam Pemberian Bantuan Perumahan Terhadap Masyarakat Korban Bencana Alam Tsunami di Kampung Jawa... 96

  BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PEMILIK TANAH DENGAN PENYEWA ATAS TANAH YANG TELAH DIBANGUN RUMAH OLEH BRR ... 106

A. Penyelesaian Sengketa Melalui Perdamaian ... 106

B. Sewa Menyewa Rumah Menurut Undang-undang Perumahan dan Pemukiman ... 114

C. Penyelesaian Sengketa antara Pemilik Tanah dengan Penyewa ... 117

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126

(12)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 pada skala Richter mengguncang kawasan pantai barat laut Sumatra. Menyusul gempa bumi tersebut, gelombang tsunami menghantam pantai barat laut Sumatra, terutama daerah Aceh dan Sumatera Utara, yang mengakibatkan kerusakan dahsyat serta kematian dalam jumlah sangat besar. Diperkirakan bahwa sedikitnya 131.000 orang meninggal dunia, 37.000 orang hilang, serta 550.000 warga harus mengungsi akibat bencana tersebut.1

Pemerintah memperkirakan total kerugian harta benda yang terjadi adalah senilai 5,9 Miliar dollar Amerika Serikat. Kerusakan teramat parah terjadi di Banda Aceh serta kota-kota pesisir lainnya di kawasan barat laut Sumatra. Bencana alam tersebut menghancurkan banyak industri lokal, termasuk industri perikanan yang menjadi salah satu andalan mata pencaharian masyarakat dan ribuan rumah penduduk.

Bencana tsunami dan gempa bumi yang teramat dahsyat tersebut mengundang simpati dan bantuan yang luar biasa besarnya dari seluruh penjuru dunia, baik donatur perseorangan maupun lembaga-lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, baik domestik maupun internasional, swasta maupun pemerintahan. Bantuan-bantuan

1

(13)

tersebut bertujuan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi daerah yang terkena bencana tsunami, dengan membangun kembali jalan raya, perumahan, gedung sekolah dan rumah sakit.

Maka untuk mempercepat rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap daerah-daerah yang terkena bencana tsunami tersebut, pada tanggal 16 April 2005, berdasarkan Perpu nomor 2 Tahun 2005 yang sekarang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005, pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk Aceh dan Nias dengan mandat sebagai koordinator tunggal untuk seluruh upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh dan Nias. Sejak pembentukannya, BRR telah menunjukkan kepemimpinannya dalam proses rekonstruksi di Aceh dan Nias yang didasarkan pada partisipasi dan aspirasi masyarakat (community driven reconstruction).

Tahun 2006 menjadi tahapan yang sangat penting dari seluruh proses rekonstruksi jangka panjang di Aceh dan Nias. Sebagai suatu contoh, diproyeksikan bahwa sekitar 80.000 rumah akan harus selesai dibangun menjelang akhir 2006, dan seluruh rumah sejumlah 120.000 unit harus selesai dibangun sebelum akhir 2007. Jelaslah bahwa semua masalah dan hambatan yang teridentifikasi pada tahun pertama, tahun 2005, harus segera diatasi untuk menjamin percepatan rekonstruksi di Aceh dan Nias pada tahun 2006 dan tahun-tahun selanjutnya.

(14)

saat pengajuan permohonan untuk bantuan pembangunan perumahan tersebut terdapat 5 (lima) kepala keluarga dengan inisial Ma, MY, Jon, Joh dan Su yang mengaku sebagai pemilik tanah. Dimana surat-surat tanah serta dokumen-dokumen lainnya yang mereka miliki telah musnah karena bencana tsunami. Setelah melakukan penelitian dan pengukuran BRR yang dibantu oleh BPN maka pada tahun 2005 di bangunlah perumahan diatas tanah tersebut.

Pada saat pembangunan perumahan sedang berlangsung di Kampung Jawa pada bulan April 2006, Sayid Muhammad Ibrahim salah seorang ahli waris dari Said Muchtar datang dari Jakarta ke Banda Aceh untuk melihat tanah dan rumah yang disewakannya itu yang terletak di Kampung Jawa. Disana ia bertemu dengan ke lima orang penyewa rumahnya dan mendapatkan pemberitahuan bahwa tanah beserta banguan yang sedang dibangun itu sudah menjadi milik ke lima penyewa tersebut. Para penyewa mengakui bahwa tanah tersebut telah mereka beli dari pemilik tanah sebelum tahun 2004. Namun karena bencana tsunami segala surat-surat yang berkaitan dengan jual beli tersebut telah hilang dan musnah.

(15)

rumah tersebut baru akan dibangun kembali apabila rumah tersebut sudah bebas dari sengketa.

Untuk itu kemudian masalah ini dibawa ke Lembaga Bantuan Hukum untuk diselesaikan, dan oleh Lembaga Bantuan Hukum masalah ini kemudian diselesaikan secara musyawarah dengan jalan melakukan mediasi antara para pihak tersebut, yang kemudian diselesaikan dengan diterbitkannya surat perjanjian perdamaian diantara para pihak yang disetujui dan disepakati oleh para pihak tersebut, dengan disaksikan oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum.

Dalam KUH Perdata tidak ditemukan rumusan perjanjian dalam pasal-pasalnya, tetapi dari judul BAB II Buku III KUH Perdata tersebut ditemukan istilah perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Istilah perjanjian di sini merupakan terjemahan dari contract atau overeenkomst.

Dengan demikian secara logis dapat disimpulkan bahwa batasan atau arti perjanjian dapat dilihat dari Pasal 1313 KUH Perdata, yang berbunyi :

”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

(16)

Secara yuridis, pengertian perjanjian sebagai sumber perikatan diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.2

Menurut pandangan Utrecht, suatu perbuatan hukum yang bersegi dua adalah tiap perbuatan yang berakibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subjek hukum (dua pihak) atau lebih. Tiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian (overeenkomst).3

M. Yahya Harahap mengatakan, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi itu.4

KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian5 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari antara lain seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam dan lain-lain.

2

Subekti, Aneka Perjanjian (Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm 1

3

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1953), hlm 144

4

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm 13

5

Ada 14 jenis perjanjian, antara lain: a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian cuma-Cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; e. Perjanjian tidak bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjin riil; j. Perjanjian liberatori; k. Perjanjian pembuktian; l. Perjanjian untung-untungan; m. Perjanjian publik; n. Perjanjian campuran.

(17)

Pasal 1548 KUH Perdata mengatakan :

”Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”. Dari definisi tersebut, maka dapat ditelaah bahwa :

a. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa.

b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan dimiliki.

c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula.

Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, bernama, obligatoir dan konsensuil. Hal ini karena dalam perjanjian sewa menyewa menimbulkan hak dan kewajiban pada dua pihak.

(18)

hak sewa. Sebagai konsekwensi hukumnya, pihak yang diserahkan (penyewa) berkewajiban melakukan kontra prestasi dengan membayar sejumlah uang sewa. Penyewa memiliki hak untuk menikmati benda yang disewanya selama waktu tertentu.

Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam bab ke tujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu, oleh karena ”waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa.

(19)

sesungguhnya tanpa dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah berupa surat-surat ataupun dokumen-dokumen mengenai pembelian tanah tersebut, dengan alasan surat-suratnya sudah musnah akibat tsunami (misbruik van omstandigheden)

Hal tersebut dapat saja terjadi karena orang yang sesungguhnya memiliki tanah tersebut juga telah meninggal dunia karena bencana alam tsunami. Namun demikian sipenyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian tanah tersebut karena menurut mantan penyewa tersebut bahwa pembelian tanah itu dilakukan secara cicilan dan tidak dibuat dalam suatu kuitansi atau surat perjanjian.

Oleh karena para penyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian atas tanah tersebut sehingga posisinya sangat tidak menguntungkan, sementara pemilik tanah yang baru datang dari Jakarta tersebut dapat menunjukan segala surat-surat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut sehingga secara yuridis pemilik tanah tersebut merupakan pihak yang lebih berhak dan berwenang atas tanah tersebut.

(20)

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian sewa menyewa antara penyewa dengan pemilik tanah/rumah di Kampung Jawa?

2. Bagaimanakah alas hak bagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dalam pemberian bantuan perumahan terhadap masyarakat korban bencana alam tsunami di Kampung Jawa?

3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara pemilik tanah dengan penyewa atas tanah yang telah dibangun rumah oleh Badan Rehabilitsi dan Rekonstruksi (BRR)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perjanjian sewa menyewa antara penyewa dengan pemilik tanah/rumah di Kampung Jawa.

2. Untuk mengetahui peranan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dalam pemberian bantuan perumahan terhadap masyarakat korban bencana alam tsunami di Kampung Jawa.

(21)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum terutama hukum perjanjian dan perikatan dalam bidang sewa-menyewa rumah sehingga dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan suatu konsep ilmiah tentang perjanjian sewa menyewa yang pada akhirnya dapat menambah khasanah ilmu hukum perdata.

b. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa tentang kepemilikan atas tapak rumah tinggal, praktisi hukum, dan mahasiswa hukum

E. Keaslian Penelitian

(22)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan di bidang hukum jaminan dan jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang, sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank, yang mana merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini.6

Serta suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.7

Kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.8 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini untuk menjelaskan perubahan yang diamati dalam masyarakat.

6

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm 27

7

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarata : Rineka Cipta, 1998), hlm 23

8

(23)

Perjanjian atau persetujuan yang merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dalam Pasal 1313 Buku III tentang Perikatan (verbintenis) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.9

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi tersebut dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda-beda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.10

Begitu juga halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang dikemukakan bahwa perumusan pengertian perjanjian atau persetujuan yang dikemukakan Pasal 1313 KUH Perdata pada dasarnya kurang memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah

9

R.Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), hlm 304 yang menyebutkan Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

10

(24)

pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri” jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.11

Atas dasar yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Untuk itu dapat dilihat perumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa para sarjana terhadap perjanjian tersebut, antara lain menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.12

11

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm 78

12

(25)

Menurut W. Projodikoro, bahwa Perjanjian adalah suatu pehubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.13

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui, antara lain :

a. Asas Personalia

Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata. 14 Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian

13

Wirdjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur, 1973), hlm 9

14

(26)

yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan pasal tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.

b. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas.

Ketentuan yang mengatur mengenai asas konsensualits ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata.15

15

(27)

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya terdapat pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya ada pada ketentuan angka 1 dari Pasal 1320 KUH Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya terdapat dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.

Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”.

Ketentuan yang disebutkan dalam pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

d. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang

(28)

1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagimana dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.

Agak berbeda dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Jadi pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainnya dalam perjanjian.

Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya disebutkan bahwa perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, serta harus dilaksanakan dengan itikad baik.

(29)

Adapun alasan-alasan yang diberikan undang-undang sebagaimana dimaksud di atas, antara lain :

1. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tidak tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 1571 KUH Perdata, dapat dihentikan secara sepihak dengan memperhatikan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. 2. Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata

pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya jika ia menghendakinya.

3. Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1817 KUH Perdata, bahwa penerima kuasa dapat membebaskan dirinya dari kuasa dengan pemberitahuan penghentian kepada si pemberi kuasa.

Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menanggapi ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata ini Abdul Kadir Muhammad, mengemukakan pendapatnya yang menyatakan:

”Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan”.16

Di samping ketentuan di atas, berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata maka perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan adanya

16

(30)

perjanjian ini maka lahirlah apa yang disebut dengan perikatan antara para pihak yang membuatnya.

2. Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abtraksi dan realitas.17 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abtraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut dengan definisi operasional.18

Suatu kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak.19

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai20, oleh karena itu dalam penelitian ini akan dirumuskan definisi-definisi sebagai berikut :

Perjanjian adalah suatu perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.21

Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya dengan untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran

17

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu

Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004, hlm 30

18

Sumadi Suryabrata dalam Tan Kamelo, ibid, hlm 30

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, 1984, hlm 132

20

Tan Kamelo, ibid, hlm 30-31

21

(31)

sesuatu harga, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.22

Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan berupa akta otentik maupun akta di bawh tangan.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.23

Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran secara jelas dan terperinci semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang24 berkaitan dengan problematika pengakuan kepemilikan atas tanah hak milik di Kampung Jawa, Banda Aceh.

Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris adalah suatu penelitian yang meneliti perturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan

22

Lihat Pasal 1548 KUH Perdata

23

Soerjono Soekanto, op. cit, hlm 43

24

(32)

dengan data dan perilaku, kebiasaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan (field research) yaitu pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tindakan hukum tertentu. Sedangkan dalam pendekatan yuridis normatif diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul tesis ini maka penelitian dilakukan di Kampung Jawa,

Banda Aceh, Propinsi Nangroe Aceh Darusalam.

3. Cara Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, maka dalam penelitian tesis ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal olmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan perjanjian.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

(33)

Adapun pihak yang akan diwawancarai yaitu : 1. Sayid Muhammad Ibrahim selaku pemilik tanah

2. Kamaruddin, SH selaku Wakil Direktur Operasional LBH Banda Aceh 3. Kamar Farza, SH selaku pihak BRR

4. Analisis Data

(34)

BAB II

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN SEWA MENYEWA ANTARA PENYEWA DENGAN PEMILIK TANAH DI KAMPUNG JAWA

A. Perjanjian Ditinjau Dari Sudut KUHPerdata

1. Pengertian perjanjian pada umumnya

Dalam pengetahuan ilmu hukum, soal istilah adalah sangat penting. Dalam mempelajari pelbagai sudut dari hukum seperti isi, sifat, maksud dan lain-lain para ahli hukum selalu mempergunakan kata-kata atau suatu istilah hukum yang dimaksudkan untuk menggunakan suatu pandangan atau suatu pendapat. Dengan berbagai pandangan dan pendapat ini maka sering kali ada perbedaan pengertian diantara para ahli hukum tentang suatu istilah. Untuk menghindarkan kesalahpahaman ini, perlu adanya kata sepakat diantara para ahli hukum tentang arti kata atau istilah yang dipergunakan. Kalau kata sepakat ini tidak tercapai maka segala pertukaran pikiran hanya akan berkisar mengenai debat pendapat tentang soal pengetian istilah saja dan tidak akan pernah sampai kepada inti persoalan yang dimaksudkan.

(35)

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat Pasal 1313 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal ini “Perjanjian adalah, suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.25

Ketentuan Pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan antara lain :

a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya dimana kita mengikatkan, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua belah pihak, dan seharusnya perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada kosensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus karena dalam pengertian ‘perbuatan’ termasuk juga tindakan melaksanakan tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, dan seharusnya dalam perumusan itu dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena pengertian perjanjian dalam pasal tersebut dapat juga mencakup pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal.

25

(36)

d. Tanpa menyebut tujuan, karena dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.26

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas maka menurut Abdulkadir Muhammad, perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.27 Hukum yang mengatur perjanjian itu disebut hukum perjanjian.

Mengenai pengertian perjanjian yang disebut dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa :

“Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat, bahwa defenisi perjanjian pada Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas karena mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya, karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya.”28

Menurut Wirjono Prodjodikoro:

“Perjanjian adalah, suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 29

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm 89

29

(37)

Pada dasarnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. KUHPerdata membedakan 3 (tiga) golongan yang bersangkutan pada perjanjian itu antara lain :

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340 KUHPerdata).

2. Para ahli waris mereka, dan mereka yang mendapat hak dari padanya (Pasal 1318 KUHPerdata).

3. Pihak ketiga (Pasal 1340 ayat 2 KUHPerdata jo Pasal 1317 KUHPerdata).30

Buku III KUHPerdata menganut azas kebebasan dalam membuat perjanjian. Azas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua pihak. Tetapi dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.31

Subekti, mengatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

30

Munir Fuady, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, .(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 56

31

(38)

melaksanakan suatu hal”. 32 Dari pengertian perjanjian yang dikemukakan di atas secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada sesuatu bentuk tertentu, perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dan dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta, dan andai kata dibuat secara tertulis maka hal ini bersifat sebagai alat pembuktian bila terjdi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu Undang-Undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta notaris, demikian Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan.33

Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan unsur – unsur perjanjian itu antara lain sebagai berikut :

1. Adanya pihak-pihak, sedikit-dikitnya 2 (dua) orang. 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.

3. Ada tujuan yang akan dicapai.

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.34

32

R. Subekti, Hukum Perjanjian,( Jakarta: Intermasa, 1984), hlm 12

33

Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1984), hlm 43.

34

(39)

Pihak-pihak dalam suatu perjanjian disebut sebagai subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Persetujuan antara para pihak dalam suatu perjanjian bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan itu ditujukan dengan adanya penerimaan tanpa syarat atau suatu tawaran, apa yang ditawarkan dan dirundingkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujui oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu, maka timbullah persetujuan.

Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak, kebutuhan mana yang dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain, tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.

Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.

(40)

Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak itu sudah cukup, kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis.

Syarat-syarat tertentu dalam suatu perjanjian sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak-hak dan kewajiban para pihak.

2. Bentuk dan Jenis-jenis Perjanjian

a. Bentuk Perjanjian

Bentuk kontrak/perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a) Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.

b) Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).35

Bentuk perjanjian dapat dilakukan secara diam-diam. Lisan dan tertulis artinya perjanjian tertulis dapat berbentuk akta di bawah tangan dapat perjanjian standart dan bukan standart.

Latar belakang tumbuhnya perjanjian standart ini adalah keadaan sosial/ekonomi perusahaan yang besar-besar, perusahaan-perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam

35

(41)

suatu organisasi dan untuk kepentingan menciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada contract partnernya. Pihak lawannya (wedepartij) yang ada pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya apa yang diterima.

Menurut perundang-undangan tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis, seperti perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUHPerdata). Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, dibuat di hadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap (Pasal 1682 KUHPerdata), perjanjian mendirikan PT (Pasal 38 KUHDagang) dan lain-lain.

Menurut bentuknya akta itu dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang memuat tentang adanya peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar adanya hak atau perikatan dan mengikat bagi pembuatnya ataupun bagi pihak ketiga.

Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dapat dibagi menjadi 2, yaitu : a. Akta Pejabat yaitu akta yang inisiatif pembuatannya dari pejabat yang

bersangkutan (dibuat oleh pejabat), contohnya akta kelahiran.

b. Akta para pihak yaitu akta yang inisiatif pembuatannya dari para pihak dihadapan pejabat yang berwenang, contohnya akta sewa menyewa.

(42)

mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya.36

Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, oleh karena dalam KUHPerdata ada dikenal suatu azas yang disebut sebagai azas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid), azas yang dimaksud terjelma dalam ayat (1) dari Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.37 Itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-Undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.

Dari Pasal 1338 ayat (1) dapat dikatakan bahwa, Pasal itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Dari prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.

Pada dasarnya memang hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, contohnya: perjanjian untuk melakukan pemogokan terhadap angkutan umum, dan kepatutan, contohnya:

36

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hlm.64.

37

(43)

perjanjian pembocoran rahasia perusahaan serta kesusilaan, contohnya: perjanjian pelacuran, sehingga akibat hukum untuk perjanjian-perjanjian sebagaimana yang disebut diatas adalah batal demi hukum karena perjanjian tersebut dari sejak semula dianggap tidak pernah ada, demikian Pasal 1339 KUHPerdata menentukan. Apa yang dikatakan R. Subekti adalah sangat tepat sekali yaitu bahwa :

“Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa Pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian.”38

Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, sebab Pasal-pasal dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang-orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang bersangkut paut dengan perjanjian itu.39

Kalau sekitarnya para pihak tidak mengatur sendiri tentang suatu soal, maka dapat diartikan bahwa pihak-pihak mengenai soal tersebut secara otomatis atau dengan sendirinya akan tunduk kepada KUHPerdata. Hal-hal demikian adalah sering dijumpai dalam pergaulan hukum, sebab para pihak biasanya hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja tidak sampai kepada hal-hal-hal-hal yang sekecil-kecilnya.

Namun demikian dalam hubungan azas kebebasan berkontrak tersebut, untuk beberapa perjanjian tertentu Undang-Undang menentukan suatu bentuk, sehingga

38

Ibid., hal. 32

39

(44)

apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian adalah tidak sah. Dengan demikian bentuk-bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu, misalnya dari perjanjian tertentu tersebut adalah perjanjian hibah benda tidak bergerak (Pasal 1682 KUHPerdata), perjanjian mendirikan PT (Pasal 38 KUHDagang), kedua perjanjian itu harus dibentuk dengan akta notaris, demikian juga dengan perjanjian perdamaian diciptakan secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata).40

Untuk perjanjian-perjanjian tersebut ditetapkan suatu formalitas atau bentuk tertentu apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-Undang, maka ia adalah batal demi hukum.

Menurut Asser suatu perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang harus dipehuni, diantaranya adalah :

1. Unsur Essensialia, yaitu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu perjanjian, unsur ini sangat erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, contohnya dalam suatu perjanjian itu harus adanya kesepakatan.

2. Unsur Naturalia, yaitu unsur yang lazimnya ada atau sifat bawaan perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya menjamin terhadap cacat tersembunyi.

40

(45)

3. Unsur Accidentalia, yaitu unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya pemilihan tempat kedudukan.41

b. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUHPerdata, dapat digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan.

Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenisnya yang telah diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam Undang-Undang maupun hanya merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sehari-hari.

R. Subekti, menggolongkan jenis-jenis perjanjian, antara lain :

1. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak

satu atau si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

2. Perjanjian tukar- menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah

pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Demikian Pasal 1541 KUHPerdata menentukan.

3. Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian Pasal 1548 KUHPerdata menentukan.

4. Perjanjian sewa-beli adalah suatu perjanjian jual-beli dimana penjual

menyerahkan barang yang dijual secara nyata (feitelijk) kepada pembeli, akan tetapi penyerahan tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik, hak milik baru berpindah atau diserahkan yakni pada saat ‘pembayaran termein terakhir’

41

(46)

dilakukan pembeli tetapi sekalipun pembayaran dilakukan secara berkala, namun barang yang dibelikan harus diserahkan kepada penguasaan pembeli secara nyata.

5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian

untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu

Dalam perjanjian ini dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan.

b. Perjanjian kerja atau perburuhan.

Yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan dimana pihak majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.

c. Perjanjian pemborong pekerjaan

Adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan.

6. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi

untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 7. Perjanjian persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk

berusaha atau bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama.

8. Perjanjian penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana dipenghibah,

diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan Cuma-Cuma dimana perkataan ‘dengan Cuma-Cuma’ itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lain tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan, perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak.

9. Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian riil, yang berarti bahwa

perjanjian ini baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan.

10.Perjanjian pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai secara Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu tertentu, akan mengembalikannya.

11.Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

(47)

12.Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.

13.Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang

memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

14.Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang

pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

15.Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak,

dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.42

Mengenai jenis perjanjian yang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi dijumpai beberapa jenis perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, ada menyebutkan beberapa jenis perjanjian antara lain :

a. Perjanjian Timbal-Balik Dan Perjanjian Sepihak.

1. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar.

2. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah, dimana pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

b. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Alas Hak Yang Membebani.

1. Perjanjian Percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam-pakai, perjanjian hibah 2. Perjanjian Dengan Alas Hak Yang Membebani adalah perjanjian dalam mana

terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra-prestasi dari pihak lainnya sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama.

1. Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar – menukar, pertanggungan.

42

(48)

2. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan Dan Perjanjian Obligatoir.

1. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

2. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, dimana pembeli berhak menuntut penyerahan barang, dan penjual berhak atas pembayaran harga selain itu pembeli juga berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.

e. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real.

1. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.

2. Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya perjanjian jual-beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam-pakai.43

c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), artinya bagi bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam Undang-Undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,

43

(49)

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan, 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan44

Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sehingga ia diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian.

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata adalah :

1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consensus).

2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity). 3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter).

4. Ada suatu sebab yang halal (Legal cause).45

Keempat hal tersebut diatas, dikemukakan sebagai berikut :

1. Kesepakatan (Toesteming) Kedua Belah Pihak

Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan;

44

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm 100 

45

(50)

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan46

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari.

2. Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:

1. Anak di bawah umur (minderjarigheid), 2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan

3. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangnnya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

46

(51)

Disamping itu orang yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga dan orang yang telah dinyatakan hilang (afweizig) berdasarkan putusan Pengadilan Negeri juga tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

3. Adanya Objek Perjanjian

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur merupakan hak bagi kreditur, sebaliknya juga apa yang menjadi kewajiban kreditur merupakan hak bagi debitur. Prestasi terdiri atas:

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu

3. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). 4. Adanya causa yang halal (Geoorloofde Oorzaak)

Objek perjanjian berdasarkan Pasal 1332 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata adalah terdiri dari :

1. Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung

2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).47

Mengenai syarat-syarat sah suatu perjanjian dimana dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum

47

(52)

yang dilakukan itu. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang diakui oleh Hukum. Sebaliknya apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat menurut Undang-Undang, maka perjanjian tersebut tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.48

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa, disaat pihak-pihak mengakui dan memenuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, maka perjanjian itu tetap berlaku antara mereka, tetapi apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui lagi maka hakim dapat membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah, kesepakatan, seia-sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Subekti, mengatakan bahwa “Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan kedua subyek ini yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu”.49

Hal-hal yang dikehendaki oleh suatu pihak adalah juga dikehendaki oleh pihak lain, kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam hal jual-beli, sipenjual menghendaki sejumlah uang sedangkan sipembeli menghendaki suatu barang dari si penjual.

Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.

48

Ibid,. Hal 90.

49

(53)

Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti.

Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. Persetujuan itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan, demikian Pasal 1321, 1322, dan 1328 KUHPerdata menentukan

Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal yang pokok, yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu

Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti Undang-Undang sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 378 KUHPidana. Dikatakan menipu menurut pengertian Undang-Undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya agar menyetujui (Pasal 1328 KUHPerdata).

Sebagai contoh ialah sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa pertanahan secara mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo

Kesimpulan putusan pengadilan yaitu dimana pemilik yang berhak atas adanya sengketa ini sebenarnya sudah secara jelas bahwa tanah tersebut adalah milik Haji Basyarudin, juga

Tesis yang berjudul : “ Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat/ Tanah Woe Melalui Mediasi Di Kabupaten Ngada Oleh Kantor Pertanahan Untuk Mewujudkan Kemanfaatan Hukum ”,

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah tersebut berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas

Dari hasil penelitian dengan metode di atas, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah antara pemilik lahan dengan

Salah satu sengketa dibidang pertanahan yang kerap muncul adalah sengketa karena adanya 2 (dua) bukti tanda kepemilikan atas obyek tanah yang sama dimana satu

Permasalahan pada skripsi ini adalah mengenai adanya putusan nomor 225/Pdt.G/2017/PN.Mks yang memenangkan penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah objek

Untuk mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum kepada setiap pihak yang ingin melaksanakan peralihan hak atas tanah disarankan kepada pejabat instansi yang terkait dalam hal