• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Tanjung Gusta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Tanjung Gusta Medan)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINIL TERHADAP

NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS IIA ANAK TANJUNG GUSTA (MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM. 050200074

DENNY KURNIA RENDRA GRAHA

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM REGULER MANDIRI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak. Sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang sangat berat jika melihat anak yang seharusnya dapat bermain dan berkreasi secara bebas harus dirampas kemerdekaannya untuk menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Pemasyarakatan dianggap dapat melakukan pembinaan karena tujuan utama dari sistem pemasyarakatan anak adalah untuk membuat pelaku tidak mengulangi perbuatan jahatnya. Sistem pemasyarakatan dengan demikian harus diciptakan pembinaan yang tepat dan sesuai bagi anak didik pemasyarakatan. Skripsi ini bertujuan untuk dapat mengetahui penerapan hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan, untuk mengetahui faktor penyebab dan jenis kejahatan yang dilakukan oleh anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan.

Penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perUndang-Undangan dan putusan pengadilan dan selanjutnya sebagai data penunjang dilakukan penelitian hukum empiris, yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai peraturan hukum tentang pemenuhan hak-hak anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan, dalam hal ini data primer diperlukan untuk mendukung data sekunder dan memberi pemahan yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh dari sumber data melalui responden yaitu anak pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Metode pengumpulan data dengan kuisioner dan wawancara, selanjutnya dari data yang diperoleh akan dianlisis secara kualitatif dengan lebih dahulu mengolah jawaban kuisioner dan wawancara yang diperoleh dari anak pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Hasil penenlitian menunjukan bahwa penerapan hak-hak dan pembinaan terhadap anak yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan telah melaksanakan ketentuan Undang-Undang No. 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan peraturan pemerintah lainnya. Namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan diantaranya: masih kurang tenaga petugas dibidang pendidikan, hukuman yang relatif singkat, dana yang minim, kurang terpenuhi gizi makanan, sarana bangunan dan pelayanan kesehatan yang masih minim. Orang tua/orang dewasa mempunyai kewajiban membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak. Anak yang dalam proses perkembangan mendapatkan hambatan pemenuhan kebutuhan dan perhatian menyebabkan anak terhambat perkembangannya dan bahkan dapat menyebabkan terganggu mentalnya yang pada akhirnya anak dapat menjadi pelaku delinkuen.1

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ** Pembimbing I, Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat karunia Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi ini. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul skripsi ini “TINJAUAN PSIKOLOGI KRIMINIL TERHADAP NARAPIDANA ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA ANAK (TANJUNG GUSTA MEDAN)”.

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih secara tulus ikhlas kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Safruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Sunarto Adhiwibowo, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

6. Abul Khair, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

8. Liza Erwina, SH, M.Hum, Selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, megarahkan dan memberikan pandangan yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

9. Dr. Marlina, SH, M.Hum, Selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, megarahkan dan memberikan pandangan yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

10.Abangda Erwin Adhanto, SH, selaku dosen jurusan pidana yang telah pula banyak membantu, memberikan semangat dan dukungan nya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11.Seluruh Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di almamater tercinta ini.

12. (kepala LP) 13.(Pembina LP)

14.Terkhusus kepada kedua orang tua penulis yang penulis cintai dan kasihi Papa H. Hasanuddin dan Mama Hj. Asnimar yang tidak putus-putusnya memberikan dukungan, perhatian, daoa serta cinta kasih kepada penulis. 15.Abang, kakak, dan adik tersayang Yudhistira Eldy Nugraha, SH, Chitra

Wahyu Indriani, SH, MKn, dan Rizky Ayu KesumaWardhani yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang tinggi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(5)

17.Beby terkasih yang telah memberikan waktu untuk mendukung, memberikan semangat, membantu serta doa yang tulus ikhlas dalam setiap aktifitas yang penulis lalui dalam menyelesaikan skripsi ini.\

18.Terima kasih penulis ucapkan buat teman-teman stambuk 2005 PRM Imam (Gatot), Iqbal (Botol), Irul (Gembung), Setiawan, David, Said, Arif, Rafi, Bonar, Ibnu Rayan, Hansen (Kuteng), Reza, Ricky, Wira, teman-teman diluar kampus Mirza, Rinaldi, Heri, Mawan, Ucok, Jaka, Mick, dan yang tidak disebut namanya penulis mengucapkan terima kasih buat dukungan dan persahabatan yang indah selama ini, buat Putra, Daniel, Abram, Roy, Darma, Irul (ajo), Tema, Hengky, Bana, sebagai senior penulis, dan buat junior – junior Tyo, Andre, Tio, Fahruzan, Kiki, Dandie, Fikri, Dayan, .

19.Serta semua orang yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas buku, data dan bantuan yang tidak putus-putusnya kepada penulis, semoga Allah SWT membalas semua jasa yang diberikan, Amin.

Akhirnya penulis mengaharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan da bagi pembaca semuanya dah khususnya bagi penulis.

Medan, April 2010 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4

D. Keaslian Penulisan... 5

E. Tinjauan Kepustakaan... 7

F. Metode Penelitian... 33

G. Sistematika Penulisan... 37

BAB II HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYRAKATAN ANAK MEDAN... 38

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tj. Gusta Medan... 38

B. Metode Pembinaan Narapidana Anak... 47

(7)

BAB III PANDANGAN PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP

KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK ... 69

A. Jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tj. Gusta Medan... 69

B. Pandangan psikologi kriminil terhadap faktor penyebab kejahatan yang dilakukan oleh anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tj.Gusta Medan……… 73

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 88

A. Kesimpulan... 88

(8)

ABSTRAK

Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak. Sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang sangat berat jika melihat anak yang seharusnya dapat bermain dan berkreasi secara bebas harus dirampas kemerdekaannya untuk menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Pemasyarakatan dianggap dapat melakukan pembinaan karena tujuan utama dari sistem pemasyarakatan anak adalah untuk membuat pelaku tidak mengulangi perbuatan jahatnya. Sistem pemasyarakatan dengan demikian harus diciptakan pembinaan yang tepat dan sesuai bagi anak didik pemasyarakatan. Skripsi ini bertujuan untuk dapat mengetahui penerapan hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan, untuk mengetahui faktor penyebab dan jenis kejahatan yang dilakukan oleh anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan.

Penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perUndang-Undangan dan putusan pengadilan dan selanjutnya sebagai data penunjang dilakukan penelitian hukum empiris, yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai peraturan hukum tentang pemenuhan hak-hak anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan, dalam hal ini data primer diperlukan untuk mendukung data sekunder dan memberi pemahan yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh dari sumber data melalui responden yaitu anak pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Metode pengumpulan data dengan kuisioner dan wawancara, selanjutnya dari data yang diperoleh akan dianlisis secara kualitatif dengan lebih dahulu mengolah jawaban kuisioner dan wawancara yang diperoleh dari anak pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan.

Hasil penenlitian menunjukan bahwa penerapan hak-hak dan pembinaan terhadap anak yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Medan telah melaksanakan ketentuan Undang-Undang No. 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan peraturan pemerintah lainnya. Namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan diantaranya: masih kurang tenaga petugas dibidang pendidikan, hukuman yang relatif singkat, dana yang minim, kurang terpenuhi gizi makanan, sarana bangunan dan pelayanan kesehatan yang masih minim. Orang tua/orang dewasa mempunyai kewajiban membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak. Anak yang dalam proses perkembangan mendapatkan hambatan pemenuhan kebutuhan dan perhatian menyebabkan anak terhambat perkembangannya dan bahkan dapat menyebabkan terganggu mentalnya yang pada akhirnya anak dapat menjadi pelaku delinkuen.1

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ** Pembimbing I, Staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan.

Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan: ”Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa”.2

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamanatkan bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha

2

(10)

perawatan, pembinaan, pendidikan, bimbingan warga binaan pemasyarakatan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dengan masyarakat.3

Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di tengah-tengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu, Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat, perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasional yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.4

Lembaga Pemasyarakatan di mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan

3

Konsideran PP. Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasayarakatan.

4

(11)

merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation.5

Menurut Moeljatno: “Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak”.6

5

I b i d, hal. 110.

6

Moeljatno, Kriminologi, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), hal. 112.

Kemajuan pesat terjadi diberbagai bidang akibat perkembangan ilmu pengetauan dan teknologi, kemajuan itu sendiri membawa dampak tidak hanya yang positif tetapi juga yang negatif. Secara positif kemajuan itu antara lain dengan semakin mudah dan gampangnya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, namun bukan tidak mungkin kemajuan menambah kompleksnya permasalahan manusia.

(12)

Khusus tentang tingkah laku adalah merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi. Masalahnya terletak bahwa tingkah laku mempunyai kawasan luas, yakni ada tingkah laku yang dianggap bermoral, tetapi ada yang a- sosial dan bahkan bersifat kriminil.7

7

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hal. 86.

Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan termasuk anak dengan sistem pembinaan pemasyarakatan di samping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis.

Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat termasuk anak diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem pembinaan dalam hal ini anak sehingga kedepannya tidak mempengaruhi secara drastis terhadap perkembangan psikologisnya di tengah masyarakat luas.

(13)

B. Permasalahan

Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya Skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan yang sesuai dengan judul yang diajukan penulis.

Adapun yang menjadi masalah-masalah pokok di dalam Skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan hak-hak anak menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan ?

2. Bagaimana pandangan psikologi kriminil terhadap faktor penyebab kejahatan yang dilakukan oleh anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan ?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penerapan hak- hak anak menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan.

2. Untuk mengetahui Kejahatan yang dilakukan oleh Anak dan Faktor-faktor Penyebabnya menurut psikologi kriminil.

(14)

Penulis berharap karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini memberikan manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya mahasiswa dan masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi tentang Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Medan). Penulis juga berharap bahwa karya ilmiah ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi nusa dan bangsa.

2. Manfaat praktis

Memperkenalkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kepada masyarakat luas terutama penerapannya dalam kasus-kasus tertentu, sehingga Undang-Undang tersebut sungguh-sungguh dapat dijadikan sarana pembangunan atau bagian dari hukum pembangunan yang akan mengawal proses pembangunan yang semakin melaju.

D. Keaslian Penulisan

(15)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Psikologi Kriminil

Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini penulis kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar kriminal:

1. Kemiskinan merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles).

2. Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an).

3. Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an).

4. Atavistic trait atau sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare Lombroso, 1835-1909).

5. Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).

(16)

tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori ini dapat dirumuskan dalam persama seperti berikut:V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf) Dimana: V = valensi = tingkat aspirasi seseorang su = succed = suksesf = failure = gagalSP = subjective

probability. Teori di atas tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal

yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak. Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana. Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.

Hingga saat penulisan skripsi ini belum dijumpai tulisan-tulisan di Indonesia yang membahas secara rinci mengenai psikologi kriminil, hal ini dapat dimaklumi karena psikologi kriminil barulah merupakan bagian psikologi dan psikologi itu sendiri baru tampil ke gelanggang ilmu pengetahuan sekitar abad 19, dengan demikian tak heranlah jika psikologi kriminil belum luas perkembangannya.8

A. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif biologi dan psikologis.

8

(17)

“Cesare Lombroso” seorang Italia yang sering dianggap sebagai “the

father of modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik

menuju mashab positif.

Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah

bahwa yang terakhir tadi mencari fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan

bahwa kejahatan itu ditentukan oleh berbagai faktor, dimana para tokoh

psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan cacat dalam

kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai dimasa kecil,

kehilangan hubungan dengan ibu dll. Sementara dari tokoh biologis mengukuti

tradisi Charles Goring dalam upaya menelusuri tentang tingkah laku criminal.

Penjelasan biologis atas kejahatan, menurut Auguste Comte (1798-1857)

membawa pengaruh penting bagi para tokoh mazhab positif menurutnya ”there

could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a

positivist”, tokoh yang terkenal diantaranya yaitu: 9

“Charles Buchman Goring” Ia menyimpulkan tidak ada

perbedaan-perbedaan signifikan antara penjahat dan non penjahat kecuali dalam hal tinggi

dan berat tubuh. Para penjahat didapat lebih kecil dan ramping ia menafsirkan “Enrico Ferri” berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi

pengaruh pengaruh interaktif diantara faktor fisik dan faktor sosial. Dia juga

berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol dengan perubahan sosial.

“Raffaela Garafola” Menurut teori ini kejahatan-kejahatan alamiah

ditemukan didalam seluruh masyarakat manusia, tidak peduli pandangan pembuat

hukum dan tidak ada masyarakat yang beradab dapat mengabaikannya.

9

(18)

temuan ini sebagai penegasan dari hipotesanya bahwa para penjahat secara biologi

lebih inferior tetapi tidak menemukan satu pun tipe fisik penjahat.10

Kegagalan didalam keluarga tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal, krisis eksternal berasal dari luar misalnya orang tua menganggur karena terkena Putus Hubungan Kerja (PHK). Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas, dan semua anggota keluarga akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan ekonomi sehingga anak akan berupaya melakukan tindakan kriminil. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder, ketidaksetiaan perkawinan, melakukan kriminil di dalam keluarga. Perubahan besar dalam satu peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak atau tiba-tiba berhenti bekerja.11

Tekanan dan masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell” dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban dan berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kriminil anak. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya masalah kriminil bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak .12

11

(19)

Kriminil anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam upaya pemecahannya tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa mereka dan dalam kondisi apa. Salah satu model yang dipakai yakni Model Konstitusi (Constitutional Model).

Model ini memahami anak dari perkembangan biologis dan fisiologis, perkembangan fisik dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah bagi anak, terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan, rendah diri, yang akhirnya sulit berkomunikasi dan tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh bulu dan lain-lain. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting untuk membimbing mempersiapkan berbagai kemungkinan menghadapi perkembangan biologis dan fisiologis.

Dalam rangka membahas psikologi kriminil ternyata psikologi perkembangan memegang peranan yang penting, ilmu pengetahuan merupakan salah satu ilmu pembantu utama dari lingkungan psikologi sehubungan dengan pembahasan psikologi kriminil.

Sedangkan dari bidang lain seperti Kriminologi, Hukum Pidana dan Sosiologi serta ilmu pengetahuan lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja.

(20)

banyaknya tingkah laku kriminil memperlihatkan sikap agresif dan oleh karena tingkah laku dan jiwa mempunyai hubungan yang sangat erat, maka adalah jelas bahwa kaum psychoanlist yang tugasnya sehari-hari berhubungan langsung dengan masalah kepribadian serta tingkah laku wajarlah untuk memegang peranan penting mengungkap teka-teki kejahatan.13

13

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminil, Jakarta, Pradnya Paramita, 1977, hal.84.

Seperti diketahui masalah utamanya dipelajari dalam hal ini adalah tingkah laku manusia, tingkah laku manusia meliputi pelajaran tentang pengamatan, perasaan dan kehendak. Psikologi kriminil dalam hal ini juga mempelajari tingkh laku individu itu, khususnya mengapa muncul tingkah laku a-sosial maupun sifat kriminil. Sedangkan jiwa manusia itu sendiri adalah suatu hal yang sangat abstrak sekali.

Tingkah laku individu atau manusia yang a-sosial maupun yang bersifat kriminil tidaklah dapat dipisahkan dari manusia lain, karena manusia yang satu dengan lainnya adalah merupakan suatu jaringan yang mempunyai dasar yang sama.

Hal ini disebabkan pada hakekatnya manusia adalah sama yaitu mempunyai hak hidup dan mencari kebahagiaan yang sama pula. Tetapi dalam mengarungi kehidupan ini sendiri setiap individu mengalami proses proses yang berbeda dan begitu juga dalam mencari, berusaha dan menilai kebahagiaan itu sendiri.

(21)

Khusus tentang tingkah laku merupakan suatu masalah yang sangat serius dalam kriminologi masalahnya terletak bahwa tingkah laku mempunyai kawasan yang luas. Ada tingkah laku yang dianggap bermoral tetapi ada juga yang a-sosial dan bahkan kriminal.

Walaupun tingkah laku yang dianggap a-sosial maupun kriminal merupakan tingkah laku normal yang ada pada diri setiap manusia tetapi sebagai manusia yang berfikir, bermasyarakat dan berbudaya sudah semestinya harus ditegakkan atau diusahakan untuk tidak membuatnya.

Tingkah laku kriminil maupun a-sosial tidak dikehendaki dalam hidup bermasyarakat begitu juga secara religius atau keagamaan tidak dikehendaki. Walaupun tingkah laku seperti ini merupakan suatu aspek yang wajar yang ada pada diri manusia, tetapi hal ini harus tidak muncul dalam kehidupan manusia itu lingkungan hidup maupun Tuhan tidak menghendakinya.

Usaha mengatasinya adalah merupakan salah satu masalah yang besar dalam kehidupan manusia hal ini disebabkan karena manusia sendiri sudah senantiasa terikat oleh tingkah laku yang tidak disenangi oleh orang lain.

2. Pengertian Anak Pidana A. Pengertian Anak

(22)

mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi muda penerus bangsa”.14

1. Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa ”Anak” adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Dan menurut Undang-Undang ini “Anak” dikategorikan sebagai berikut:

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa anak adalah penerus masa depan bangsa karena anak-anaklah yang nantinya akan menjalankan bangsa dikemudian hari. Jika salah mendidik anak maka hasil didikan yang salah tersebut akan terus terasa dimasa-masa akan datang. Tanggung jawab pendidikan anak tersebut tidak hanya terletak ditangan orang tua sebagai penanggung jawab pertama terhadap anak, tetapi juga keluarga, masyarakat dan negara. Implementasi tanggung jawab negara dalam melaksanakan kewajibannya tersebut tidak hanya sebatas memenuhi kewajiban dasar saja yang merupakan hak asasi anak, tetapi juga tanggung jawab yang lebih jauh lagi yaitu melaksanakan perlindungan bagi anak tersebut.

Pengertian anak di negara Indonesia memiliki batasan-batasan usia yang berbeda terhadap pengertiannya:

14

(23)

a. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (depalan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

b. Belum pernah menikah.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 330 menuliskan bahwa ”Anak adalah orang yang belum dewasa, yaitu mereka belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak dahulu kawin”.

3. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 ayat 1, menuliskan bahwa ”Pria hanya diizinkan kawin bila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.

4. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka (1) bahwa ”Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, termasuk didalamnya anak dalam kandungan.”

5. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa ”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.

B. Pengertian Anak Pidana

(24)

Aktivitas anak pada mulanya sebagian besar terjadi pada insting meniru sifat antipati dan simpati muncul terhadap apa yang ditemuinya. Simpati dan antipati merupakan pernyataan yang memasuki fase-fase sosial, simpati dan antipati masih berbentuk sederhana. Anak laki-laki lebih menyukai ayahnya karena dari eksplorasi ayah yang lebih luas tetapi anak perempuan mengikuti ibunya, perasaan rivalitas ditemui di masa ini. Rivalitas muncul sebagai lanjutan antipati.

Perasaan senang dan tidak senang timbul dari sikap orang tua terhadap permainan anaknya, nilai efektif menimbulkan pertentangan antara anak dan orang tua. Anak ingin bermain dengan permainannya sedangkan orang tua tidak menyukai benda-benda permainan tersebut.

Eksperimen-eksperimen bahwa penghayatan takut tidak lenyap begitu saja, perasaan takut ini menimbulkan bekas-bekas yang sangat berkesan sekali karena itulah tidak bijaksana untuk menakuti anak.

Rasa takut juga terdapat pada orang dewasa tetapi pada orang dewasa sesuatu yang akan datang sedikit banyaknya telah dapat diketahui, sedangkan masalah pengetahuan tersebut pada anak belum ada.

Sesuai apa yang telah dikatakan tadi bahwa rasa takut muncul setelah adanya kesadaran diri, kesadaran ini terbentuk karena konfrontasi dengan alam. Suatu catatan pula rasa takut dipandang sebagai pernyataan yang masih terletak dalam batas-batas normal. Disamping itu rasa takut merupakan eksperimen untuk mengenal dan sering pula rasa takut merangsang ke arah luas.

(25)

Sehubungan dengan perkembangan sosial ternyata dimulai dari hubungan keluarga kemudian meluas sesuai dengan pertumbuhan jasmaniah. Lingkungan sosial berupa lingkungan rumah, sekolah dan lingkungan luar sehari-hari.

Secara teoritis dimulai dari lingkungan rumah kemudian sekolah, selanjutnya ke lingkungan sehari-hari, tetapi secara praktis terdapat juga lingkungan rumah, ke lingkungan sehari-hari dan selanjutnya ke sekolah.

Anak dalam masyarakat diharapkan membawa kebahagiaan maka tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggang rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang-orang tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya.15

Sedangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 (dua puluh satu) tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 (dua puluh satu) tahun.16

Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun,

15

Agung Wahyono, dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hal. 20.

16

(26)

sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.

Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung, (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan dan (5) Anak angkat serta (6) Anak asuh. Yang dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang ”Pengadilan Anak” dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian “Anak nakal”:

(27)

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedang menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Warga binaan pemasyarakatan terdiri dari Narapidana, Anak didik pemasyarakatan dan Klien pemasyarakatan. Adapun pengertian dari istilah ”Anak didik pemasyarakatan” ialah:

a. Anak Pidana, anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

b. Anak Negara, anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk di didik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

c. Anak Sipil, anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian Anak Pidana adalah anak yang harus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama hingga ia berumur 18 (delapan belas) tahun.

B. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

(28)

mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”.

Yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah “Suatu proses Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Penganyoman dan Tut Wuri Handayani.”17

Sejarah berulang kalau dulu pergeseran pendapat terjadi antara penganut aliran “pemberian hukuman” versus aliran “pemberian pembinaan”, maka yang

Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan, dengan demikian istilah penjara juga diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.

Banyak sekali dapat ditarik pelajaran sejarah dari periode-periode yang telah lalu, baik dari periode-periode pra-Proklamasi Kemerdekaan maupun periode-periode sesudahnya. Periode yang sedang mulai berlangsung sekarang ini adalah hari esoknya hari kemarin dan akan pula merupakan hari kemarinnya hari esok.

Pada dewasa ini kita berada pada titik pertemuan antara hari kemarin dan hari esok dan titik pertemuan ini bertepatan pula dengan adanya gejala-gejala pergeseran pendapat baru dibidang koreksi yang sebetulnya telah mulai nampak sejak pertengahan tahun 1970-an. Pergeseran pendapat yang baru ini terdapat antara mereka yang menganut aliran “pemberian pembinaan” (treatment approach) dan mereka yang menganut aliran “pemberian hukuman” (punishment approach).

17

(29)

terjadi sejak pertengahan 1970-an adalah sebaliknya, “The pendulum began to swing back toward a more punishment oriented philosophy” (pendulum jam mulai berayun kembali menuju falsafah yang berorientasi kepada pemberian hukuman), demikian digambarkan oleh Professor Louis P. Carney: “Introduction to Correctional Science”, 1979, halaman 15) dan karena aliran baru yang timbul ini banyak sekali persamaannya dengan aliran “Klasik” yang terdapat pada abad XVIII, Carney cenderung untuk menamakannya “aliran Klasik baru”.

Argumentasi yang dikemukakan oleh “aliran yang baru” ini tentang pola pemikirannya yang berorientasi kepada “pemberian hukuman”, ialah karena menurut para penganutnya konsep rehabilitasi dari pola pembinaan lebih banyak mengandung rhetorica dari pada keberhasilan. Terkenal diantara penganut dari aliran “pemberian hukuman” (punishment) ini antara lain Dr. Robert Martinson, James Q, Wilson, Ernest van den Haag dan David Fogel, yang keempat-empatnya pernah mengeluarkan buku yang pada pokoknya mengadakan oposisi terhadap aliran yang menganut “pemberian pembinaan” (treatment).

Sebaliknya aliran yang menganut konsep “pemberian pembinaan” mempertahankan pendirinannya. Kegagalan-kegagalan dan kekurangan-kekurangan menurut penganut aliran ini terletak pada tata cara pelaksanaannya bukan terletak pada falsafahnya yang sebenarnya tidak pernah diberi kesempatan yang wajar untuk menunjukkan dan membuktikan kebenarannya.

(30)

pembinaan” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian hukuman”, dilain pihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian hukuman” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian pembinaan”.

Penganut aliran “pemberian hukuman” antara lain menginginkan dihapuskannya pemberian “parole” dan pemberian remisi (potong masa pidana). Adanya dua faham yang bertentangan dibidang koreksi, dewasa ini mengundang pertanyaan bagi kita di Indonesia: Bagaimana tentang Pemasyarakatan dan masa depannya ? Secara singkat pertanyaan ini dapat dijawab: Pemasyarakatan berada diantara kedua extremitas itu.

Hal itu dapat diterangkan sebagai berikut, pemasyarakatan dalam kehadirannya sebagai suatu tata perlakuan terhadap pelanggar hukum konsisten dengan cara bangsa Indonesia memandang seorang manusia (termasuk yang melanggar hukum), yakni berdasarkan kacamata dan jiwa Pancasila.

(31)

menentukan jenis dan lama pidana maka dalam proses vonnis itu berarti ditutupnya masa lampau dan diprediksikannya masa depan (diramalkannya masa depan).

Kewajiban utama dari pemasyarakatan adalah melaksanakan apa yang telah diprediksikan oleh Hakim yang kebanyakan didasarkan atas keadaan masa lampau hal ini dapat dilihat dari jenis dan lamanya pidana dari suatu vonnis. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa masa depan dari suatu vonnis tidak dapat lepas sama sekali dari masa lampau (perkara) yang telah ditutupnya. Masa depan vonnis terutama menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan dan karena masa depan vonnis itu tidak terlepas dari masa lampaunya maka tugas dari Pemasyarakatan dalam melaksanakan masa depan dari vonnis tidak pula dapat terlepas dari masa lampaunya. Dengan kata lain dalam melaksanakan masa depan dari vonnis terjadi unsur-unsur “pemberian pembinaan” dan “pemberian pidana”. Dikatakan bahwa tujuan dari “pemberian pidana” (causa finalis dari “pemberian pidana”) adalah “Herstel der Rechtsorde”. Dilihat dari segi posisi Pemasyarakatan pengertian “Rechtsorde” ini ada dua :

a.Pertama “Rechtsorde” sebagai “Tertib Hukum”, yakni terdapat kecenderungan untuk menempatkan seorang pelanggar hukum dalam posisi yang berada diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat.

(32)

Pulihnya kesatuan hubungan hukum antar pelanggar hukum terpidana dan masyarakatnya lebih mudah diusahakan kalau pelanggar hukum yang bersangkutan tetap berada dalam hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat dan tidak dikeluarkan dari sistem nilai itu. Inilah yang merupakan citra pemasyarakatan yang menganggap bahwa kesatuan hubungan hukum itu mengalami keretakan/gangguan, karena salah satu anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan tercela, dan bukan suatu pemutusan dari kesatuan hubungan itu, karena salah satu anggota masyarakat merusak kesatuan hubungan hukum karena perbuatannya yang tercela. Namun pemulihan kesatuan hubungan itu memakan waktu dan “waktu” itu ada yang berjalan dengan cepat dan ada yang berjalan dengan lambat, tergantung dari faktor-faktor yang terlibat dalam proses pemulihan kesatuan hubungan itu.

Faktor-faktor itu secara garis besarnya berkisar diantara faktor “pemberian hukuman” (punishment) dan faktor “pemberian pembinaan” (treatment). Dengan kata lain: didalam suatu “pemberian hukuman” tersimpul pula suatu “pemberian pembinaan” dan didalam suatu “pemberian pembinaan” tersimpul pula suatu “pemberian hukuman”. Pemberian hukuman yang tidak mengandung unsur “pemberian pembinaan” adalah suatu extremitas, begitupun sebaliknya.

(33)

cita-cita daripada kenyataan akan tetapi bukan suatu rhetorika dan bukan pula suatu mythos.

Cita-cita membuat kita mengetahui kemana kita akan pergi dan kalau sudah diketahui kemana tujuan kita pergi kita harus menentukan bagaimana caranya yang benar dan sah untuk sampai kepada tujuan yang hendak dicapai (yang dicita-citakan itu). Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun telah memberi tahu cara-cara untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang menjadi kewajiban sekarang adalah pelaksanaan dari cara mencapai tujuan. Dalam pelaksanaan inilah banyak sekali faktor-faktor penghambat yang harus diatasi.

Perilaku-perilaku yang berasal dari masa lampau yang telah melembaga (institutionalized), yang banyak sekali diantaranya tetap beralih menempati status yang ritualistis, sehingga seolah-olah dianggap “kramat” dan sukar untuk dilepaskan. Fragmentasi dalam tata peradilan pidana yang berkecenderungan untuk menetap dan bertahan, hukum pidana baik substantif maupun prosedural yang menampakkan citra iktikad yang punitif (punitive intend), kesadaran hukum yang berorientasi kepada corpus Juris Barat yang merupakan produk dari alam fikiran liberal abad XVIII, semuanya merupakan tantangan sindromis yang harus dihadapi dengan tabah, tawakal, penuh optimisme dan dengan semangat gotong royong yang tak kunjung padam, demi tercapainya kesatuan hubungan hidup- kehidupan-penghidupan (kesatuan hubungan hukum) berdasarkan Pancasila, “Rechtsorde” Pancasila.

(34)

Pemasyarakatan adalah setinggi gunung dan seringkali bersifat kejam, mencekam perasaan.

Kepada generasi peneruslah terletak tanggung jawab yang besar diatas pundaknya untuk menjadikan cita-cita pemasyarakatan sebagai suatu spesialisme, sebagai suatu peng-ejawantahan dari keadilan dan pengadilan sebagaimana dicanangkan dalam Konperensi Lembang 1964, yang mencerminkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebagai suatu refleksi dari peradaban bangsa Indonesia, yakni suatu peradaban yang berdasarkan Pancasilan dan bersendikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.18

1. Mengayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik.

Dengan perubahan nama, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut, dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaa. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali ditengah maysarakat secar wajar dan bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara disini adalah disamping untuk menimbulkan derita pada narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemayarakatan”, yaitu :

18

(35)

2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. 3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana.

5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidan dan anak di didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar bersifat mengisi waktu.

7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak adalah berdasarkan Pancasila.

8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan benar.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.

10.Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan.19

19

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990, hal. 14 lihat bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa , majalah Prisma, Mei, 1982, hal.61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip Pemasyarakatan adalah :

a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara , melainkan pula suatu cara atau sistem perlakuan terpidana ;

b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong-royong, yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ;

c. Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat ;

(36)

Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu: “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara waga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Secara filosofi Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan) dan Resosialisasi. Dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana

e. Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melukan pelanggaran hukum,

tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin kompleks;

f. Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat ;

g. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ;

h. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prisnsip-prinsip kegotong-royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ; i. Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan , tujuan harus dapat dicapai

melalui self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach antara sesama manusia ;

j. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan

pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ;

(37)

dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakat (reintegrasi).20

20

Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008, hal.5.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Dalam amanat Presiden saat membuka konfrensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Mahluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif .

(38)

Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat maka harus ada usaha timbal balik, baik yang dari lembaga maupun yang dari masyarakat, semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu dari masyarakat di harapkan akan pengertiannya, bantuannya dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat sekitarnya.21

Maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan terpidana menurut Baharuddin Soerjobroto: ”Tidak boleh merupakan suatu treatment sistem yang ”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong” oriented. Ini tidak berarti bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan lagi, melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai ”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju tiang gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap melainkan sebagai ”way-station” dalam proses of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh dengan harmoni perdamaian.”22

Ide ”Pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum mengucapkan pidatonya, dalam pidato menteri kehakiman Sahardjo pada tanggal

21

Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung, Tribisana Karya, 1977, hal.153-154.

22

(39)

12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai dibangun kembali.23

Sebagian besar narapidana dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya di Lembaga Pemasyarakatan saja tidak di Rutan (Rumah Tahanan Negara), karena rumah hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak di setiap kota kabupaten mempunyai Lembaga Pemasyarakatan, maka sebagian narapidana terpaksa dipidana di Rutan dititipkan di Rutan setempat. Terutama untuk narapidana dengan pidana dibawah satu tahun atau narapidana yang sisa Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan yang dibina atau warga binaan pemasyarakatan dan mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan agar dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat.

Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

Dengan adanya sistem pemasyarakatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu Negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari 10 prinsip pemasyarakatan.

23

(40)

pidananya tinggal beberapa bulan lagi dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan ke Rutan di tempat asal narapidana guna persiapan diri menjelang lepas/habis masa pidananya.

Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Namun dalam kenyataannya bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas.

Dalam proses pemidanaan Lembaga Pemasyarakatan/Rutan yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan setelah melalui proses Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi Perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan) agar keduannya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.

(41)

tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu memgembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarganya.24

Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan/Rutan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien agar narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut usia misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin Bandung dan Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dihampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas I. II. III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut

tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).25

Metode penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis F. Metode Penelitian

24

C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta, Djambatan, 1995, lihat bandingkan dengan David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison , Menyikap Dunia Gelap Penjara, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama ), 2008 , hal.6 menyatakan Menemukan kecakapan, kemampuan dan kualitas personal yang diperlukan oleh seorang petugas lapas merupakan langkah pertama dalam tugas psikolog. Setelah mengidentifikasi kualitas-kualitas tersebut barulah psikolog mendisain test dan interviu untuk mencari orang dengan kualitas yang diinginkan.

25

(42)

dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal itu terutama disebabkan oleh karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami.26

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari).27

1. Jenis penelitian Hukum

Pada dasarnya yang dicari itu adalah ”pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perUndang-Undangan dan putusan pengadilan,

26

Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 2005, hal.3

27

(43)

dan selanjutnya sebagai data penunjang dilakukan penelitian hukum empiris, yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai peraturan hukum tentang pemenuhan hak-hak anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan.

Dalam hubungan ini dilakukan pengukuran dan analisis terhadap Tinjauan Psikologi Kriminil Terhadap Narapidan Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak melalui kajian Undang-Undang yakni Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

2. Sumber Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan dan karya ilmiah.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

A. Data sekunder

a. Bahan Hukum Primer sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(44)

Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian.

B. Data primer

Data primer atau data dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk mendukung data sekunder dan memberi pemahan yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh dari sumber data melalui responden yaitu anak pidana dan pegawai lembaga pemasyarakatan.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yatu peraturan perUndangan-Undangan, dokumen-dokumen dan teori, serta penelitian Lapangan dengan melakukan wawancara dan kuisioner terhadap informan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu petugas lembaga pemasyarkatan dan narapidana.

4. Analisa Data

(45)

pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Dengan metode ini kemudian diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan kajian hukum terhadap Tinjaun Psikologi Kriminil Tentang Hak-Hak Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak

G. Sistematika Penulisan

Dalam rangka memberikan gambaran yang jelas dari maksud dan tujuan serta hubungan antar bagian yang terpenting dalam tulisan ini, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam bab-bab dan masing-masing bab dibagi kedalam sub bab yang secara garis besar terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : PENERAPAN HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NO 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN yang meliputi Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak (Medan), Metode Pembinaan Anak, Hak Anak di Lembaga Pemasyarakatan.

(46)

MEDAN yakni: Jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh Anak, faktor-faktor penyebab anak melakukan kejahatan.

(47)

BAB II

PENERAPAN HAK- HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG 12 TAHUN 1995

DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

A.

Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tanjung Gusta Medan.

a. Sistem Kepenjaraan

Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb, 1917 Nomor 708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan artinya seseorang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik, tidak etis, tidak manusiawi dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan narapidana hanya ditempatkan potensi dan eksistensinya sebagai manusia, seolah-olah keberadaan narapidana di penjara semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam.

(48)

untuk keperluan itu harus ada pemanifesasiannya secara langsung melalui suatu proses timbal balik yang memerlukan waktu.28

Surat Keputusan Direktorat Pemasyarakatan No.KP.10.13/31 dalam SK tersebut dinyatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses terapeutik di mana narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan dianggap berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakatnya mempunyai hubungan negatif dengan beberapa unsur masyarakat dan karena itu perlu mendaptkan pembinaan agar nantinya dapat menyatu kembali dengan utuh di dalam masyarakat dengan nilai keharmonisan.

Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan didalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah kembali kemasayarakatan.

29

Sistem kepenjaraan menempatkan narapidana sebagai objek, mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.

28

Soedjono D. Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam studi kejahatan, Bandung, Tribisana Karya, 1977, hal.153-154.

29

Armein Daulay, Reintegrasi Sosial dan Resiosialisasi Bekas Narapidana wanita dan

Lembaga Pemasyarakatan wanita Tanggerang ke dalam Masyarakat, Jakarta, Universitas

(49)

Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah :

a. Golongan B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.

b. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 4 sampai 12 bulan.

c. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 1 hari sampai 3 bulan.

d. Golongan B-III adalah untuk narapidana yang dipindahkan kurungan pengganti pidana denada yang lama pidananya maksimal 1 bulan.

Sedangkan untuk tahanan dapat dikelompokkan menjadi: a. Golongan A-I adalah untuk tahanan Kepolisian. b. Golongan A-II adalah untuk tahanan Kejaksaan.

c. Golongan A-III adalah untuk tahanan Pengadilan Negeri. d. Golongan A-IV adalah untuk tahanan Pengadilan Tinggi. e. Golongan A-V adalah untuk tahanan Mahkamah Agung.

(50)

b. Sistem Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana, sehingga dengan adanya Lembaga Pemasyarakatan dapat memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan kegiatan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Letak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Medan diresmikan pada tahun 1996 yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan, tepatnya dijalan Pemasyarakatan Tanjung Gusta. Di lokasi Tanjung Gusta terdapat juga Lapas Klas I Medan (dewasa), Lapas Wanita Klas IIA Medan; Rumah Tahanan Klas I Medan dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan Klas I Medan).

Sedangkan Lapas Anak sendiri menampung semua anak yang berkonflik dengan hukum yang meliputi seluruh wilayah daerah Kabupaten dan Kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara dengan daya tampung 250 orang.

(51)

Republik Indonesia dengan Pimpinan langsung di bawah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Amanat Presiden saat membuka konfrensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Mahluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemayarakatan”.

(52)

harkat dan martabat manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. b) Mendapat perawatan,baik perawatan rohani maupun jasmani. c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. e) Menyampaikan keluhan.

f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan (narapidana dewasa).

h) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya.

i) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

j) Mendapatkan pembebasan bersyarat. k) Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan

l) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(53)

usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan masyarakat, oleh karena itu dari masyarakat di harapkan akan pengertiannya, bantuannya dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat sekitarnya.30

30

Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung, Tribisana Karya, 1977, hal.153-154.

Dapat dilihat pula dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut mengenai tujuan dan fungsi dari sistem pemasyarakatan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 yaitu :

“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaikai diri dan tidak mengulangi lagi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam membangun dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.”

Gambar

Tabel. 1.1 (sumber : sub seksi bimkemaswat Lapas Klas IIA Anak Medan)
Tabel. 1.2 (sumber : sub seksi bimkemaswat Lapas Klas IIA Anak Medan)

Referensi

Dokumen terkait

Metode pemberian tugas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode yang dilakukan oleh seorang guru dengan memberikan tugas kepada peserta didik untuk mempelajari suatu

Dengan mengamati gambar dan mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat mengidentifikasi dan mendemonstrasikan cara memegang dan membalik buku

con®rm the expected form and sign of the two-way interactions (p. Finding a signi®cant three-way interaction does not warrant such speci®c expectations... This is the consequence of

3.3.4 Menunjukkan huruf vokal dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 3.3.5 Menunjukkan huruf konsonan dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 4.3 Melafalkan

Carefully de®ning the underlying task require- ments, as well as comparing and contrasting those requirements to tasks previously studied, is a critical event necessary to further

SURAT TUGAS Nomor: 814/IV/SD.05/II/2015 Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SD Negeri Mancagahar 1 UPTD Pendidikan Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut dengan ini menugaskan kepada :

1 shows that performance is (1) a positive function of goal setting for both levels of task interdependence, (2) over trials, performance level increases for reciprocal but is

Analisis Kelayakan Finansial Industri Enzim Protease Biduri (Studi Kasus di Koperasi Ponpes Al-Ishlah Grujugan Bondowoso); Agung Basuki Putranto; 051710101089; 2011: 61