• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PADA CV. BAGAS BELANTARA)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 060200133 SRI WINDA PASARIBU

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN

PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL

KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA

(STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

SRI WINDA PASARIBU NIM: 060200133

DISETUJUI OLEH,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S NIP. 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S

2010

Zulikifli Sembiring, S.H

NIP. 196204211988031004 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, termasuk

sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan

Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)”, yang disusun untuk memenuhi salah

satu syarat guna memperolah gelar sarjana dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini.

Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan,

semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada

kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H,M.S selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

sebagai dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam

penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Zulkifli Sembiring, S. H, selaku dosen pembimbing II Penulis yang

memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini

4. Orang tua Penulis, buat Bapak J. Pasaribu dan mama N. Panjaitan yang

(4)

dan kasih sayang, termasuk dalam proses penyusunan/penyelesaian skripsi

ini. Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Maret 2010 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 17

B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ... 22

C. Subjek Hukum dalam Perjanjian ... 30

D. Jenis-jenis Perjanjian ... 32

E. Berakhirnya Perjanjian ... 36

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan ... 42

B. Pengaturan Hukum Mengenai Perjanjian Pemborongan ... 50

C. Perjanjian Pemborongan menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 ... 53

D. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 58

E. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 70

1. Hak dan Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 71

(6)

b.Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 73

2. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong ... 72

a. Hak Pihak Pemborong ... 72

b. Kewajiban Pihak Pemborong ... 72

F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 74

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA A. Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara ... 78

1. Proses Pembuatan Perjanjian Pemborongan ... 78

2. Tahap Pelaksanaan Kontrak ... 88

3. Pra Kontrak ... 92

B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 94

C. Penyelesaian Perselisihan yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(7)

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

(8)

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah

berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik pembangunan fisik

maupaun non fisik

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.1

Infrastruktur merupakan komponen dasar perekonomian dan merupakan

aspek utama didalam pemerataan pembangunan dan kesejahteraan (Otonomi Pembangunan di Indonesia sekarang ini menitikberatkan pada

pembangunan ekonomi. Berbicara mengenai masalah pembangunan, maka

pembangunan dalam suatu negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu: pembangunan

ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi target sasaran,

pembangunan lingkungan dengan targetnya adalah keberlangsungan lingkungan ,

dan pembangunan sosial dengan target mensejahterakan masyarakat. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka salah satu faktor yang juga berperan penting didalam

menopang dan mendukung ketiga aspek pembangunan tersebut adalah dukungan

infrastuktur.

1

(10)

Daerah) didalam kondisi nasional yang beragam. Keberagaman ini merupakan

masalah utama yang masih akan dihadapi bangsa Indonesia.2

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menuju reformasi dibidang

infrastruktur yaitu dengan dilakukan upaya untuk mempertahankan dan

meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan infrastruktur itu sendiri. Upaya

untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan infrastruktur Pembangunan infrastruktur yang merupakan salah satu aspek penting dan

vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional dan juga sebagai

penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat suatu gerak laju dan

pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan

infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, energi,

perbaikan jalan dan pelabuhan. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi

fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya.

Pembangunan infrastruktur mendapat modal dari pembiayaan infrastruktur

yang dapat berasal dari perbankan, dana pensiun, dan dana dari investasi asing.

Pembiayaan infrastruktur merupakan kemampuan Bank untuk mendanai proyek

pembangunan yang dilakukan melalui proses tender. Menurut pemerintah,

proyek-proyek infrastruktur sebagian akan dibiayai secara komersial yaitu

pendanaan dari Bank dan investasi swasta. Sementara untuk proyek infrastruktur

di daerah terpencil, pemerintah akan menggunakan sebagian dana Anggaran

Pandapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD).

2

(11)

menghadapi 3 (tiga) hal permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan

prasarana tidak mudah karena mencakup penggunaan lahan yang cukup luas,

pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang

untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak, kemampuan ekonomi

nasional pada saat ini sangat terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah

maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana merupakan

prakondisi bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru diberbagai bidang,

peningkatan jumlah penduduk mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana

dan prasarana. Ketiga, menghadapi persaingan global dan sekaligus memenuhi

permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana.3

Kebijakan pokok yang ditempuh dalam pembangunan infrastruktur adalah

kebijakan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur, kebijakan

peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan infrastruktur. Tujuan

mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur adalah untuk

mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana yang telah

ataupun sedang dibangun agar tingkat pelayanannya dapat dipertahankan dan

ditingkatkan sesuai dengan kualitas yang memadai, serta tetap dapat dioperasikan

dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektor-sektor

pruduktif. Untuk itu, diprioritaskan infrastruktur yang sudah dibangun ataupun

sedang dalam proses pembangunan, diupayakan pemeliharaannya agar nilai

ekonomisnya tidak menurun. Sasaran kebijakan ini adalah tersedianya pelayanan

jasa infrastruktur yang mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam pemulihan

3

(12)

ekonomi, terjaganya kondisi konstruksi maupun peralatan yang belum selesai

pembangunan konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna dan

tersedianya data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan.

Untuk mencapai semua sasaran dan tujuan seperti yang disebutkan diatas,

maka semua dititikberatkan pada pembangunan sektor ekonomi. Kemudian untuk

itu diperlukan sarana dan prasarana untuk menunjang sehingga pembangunan itu

memberi hasil yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan

kesejahteraan. Sebaliknya, berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut

tergantung dari partisipasi seluruh rakyat. Berarti pembangunan harus

dilaksanakan secara merata oleh oleh segenap lapisan masyarakat seperti yang

telah disebutkan di atas kegiatan pembangunan yang dilaksanakan berupa

pembangunan infrastruktur seperti pembangunan proyek-proyek sarana dan

prasarana yang berwujud pembangunan dan rehabilitasi jalan-jalan , jembatan,

pelabuhan, irigasi, perumahan, perkantoran dan sebagainya.4

Dalam pelaksanaan pembangunan proyek-proyek ini, maka akan

melibatkan berbagai pihak seperti pemberi pekerjaan (Bouwheer), pemborong

(Annemer), perencana, pengawas serta melibatkan pekerja dalam melaksanakan

pekerjaan. Di samping itu dalam pelaksanaan pembangunan juga dihadapkan pada

peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengerjaan pembangunan. Oleh

karena itu, masing-masing pihak memiliki hubungan hukum yang akan dituang

4

(13)

dalam bentuk perjanjian tertulis yang dikenal dengan perjanjian pemborongan

pekerjaan.

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian antara seorang

(pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong),

dimana pihak pertama menghendaki sesuatu pekerjaan yang disanggupi oleh

pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan”.5

Proyek pemborongan yang dilaksanakan oleh pemerintah dilaksanakan

dengan cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak swasta, karena tidak

dapat dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri. Dalam rangka pemberian pekerjaan

ini, diperlukan hubungan kerja yang menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian.

Perjanjian kerja erat kaitannya dengan tanggung jawab para pihak dalam

pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi hukum perjanjian pemborongan pekerjaan

harus tunduk kepada aturan-aturan hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dan peraturan-peraturan lainnya seperti

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Keppres No. 80/ 2003) jo Peraturan

Presiden Nomor 32 Tahun 2005 (Perpres No. 32/2005) untuk mencegah

terjadinya sengketa dikemudian hari, karena adanya kesalahpahaman antara pihak

pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan. Maka kegiatan yang

demikian lazimnya dituangkan dalam bentuk perjanjian pemborongan kerja, yang

mana dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba

Samosir (DPU KIMPRASWIL) bertindak sebagai pihak yang memborongkan

5

(14)

sedangkan CV. Bagas Belantara (CV. Bagas) bertindak sebagai pihak yang

menerima pemborongan kerja (Annemer) untuk pekerjaan Peningkatan Saluran

Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan sepanjang 75m.

Dalam pelaksanaan proyek pemborongan ini, para pihak yang terlibat

tidak boleh mengabaikan akta perjanjian. Pemborong dalam melaksanakan

pekerjaannya harus selalu berpatokan pada isi perjanjian yang telah disepakati

bersama antara pemborong dengan yang memborongkan, karena apabila terjadi

penyimpangan dapat dijadikan alasan untuk menyatakan telah terjadi wanprestasi,

dan isi perjanjian harus memperhatikan asas keadilan dan keseimbangan.

Pada masa sekarang ini banyak kontrak yang bermasalah, banyak isi

kontrak sifatnya hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa memperhatikan hak

pihak yang lain, sehingga asas keadilan dan keseimbangan tidak terlihat lagi

sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan kedua

belah pihak. Selain itu, dalam proses pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan

apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian, sehingga banyak proyek itu

yang berhenti sebelum selesai proses pekerjaannya.

Melihat kejadian seperti di atas, maka diadakanlah penulisan skripsi ini,

karena melalui skripsi ini dapat diketahui apakah proses pelaksanaan perjanjian

pemborongan perbaikan saluran irigasi bondar sitoman sosor pandan sepanjang

75m telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak, apakah proses

pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan kontrak?. Pihak DPU

(15)

dipenuhi oleh CV. Bagas selaku pihak pemborong yang dituangkan dalam sebuah

kontrak.

B. Perumusan Masalah

Dalam setiap penulisan skripsi tentulah ditemukan yang menjadi

permasalahan yang merupakan titik tolak bagi pembahasan nantinya.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan

Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan Sepanjang 75m

telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?

2. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan perjanjian

pemborongan pekerjaan?

3. Bagaimanakah penyelesaian Perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan

perjanjian pemborongan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pemborongan peningkatan

saluran irigasi yang dimulai dari proses pembuatan kontrak ,

pelaksanaan kontrak sampai pada kontrak atau pemborongan itu selesai

(16)

b. Untuk mengetahui tanggung jawab bagi para pihak yang terikat dalam

perjanjian pemborongan pekerjaan sampai pekerjaan selesai, dan risiko

yang dihadapi para pihak dalam pekerjaan peningkatan saluran irigasi.

c. Untuk mengetahui cara para pihak untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan

pekerjaan.

2. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan penulisan, adapun yang menjadi Manfaat Penulisan yang

dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara Teoretis

1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum pada umumnya.

2) Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana perkembangan

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

b. Secara Praktis

1) Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dan agar masyarakat

mengetahui proses perjanjian pemborongan pekerjaan yang terjadi

antara DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas.

2) Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan

pengetahuan tentang cara membuat perjanjian pemborongan

(17)

dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh DPU

KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan proses pelaksanaan

perjanjian pemborongan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku, tanggung jawab para pihak terhadap perjanjian

pemborongan, serta mengetahui cara penyelesaian sengketa yang

timbul dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.

Semoga kiranya tulisan ini dapat dijadikan suatu bahan acuan, inventaris

dan kepustakaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan

penulisan lebih lanjut yang lebih mendalam yang berkaitan dengan pemborongan

pekerjaan.

D. Keaslian Penulisan

“ TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.

Yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun melalui referensi

buku-buku, media elektronik (internet) sebagai sarana penunjang informasi jaringan

perpustakaan terluas, dan studi kasus pada data sekunder yaitu menelaah pada

dokemen surat Perjanjian DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan bahkan

dari berbagai pihak. Kalaupun ada judul yang serupa namun materi pembahasan

(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dari judul di atas dapat diambil pengertian secara etimologis.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan:

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.6

Perjanjian, maksudnya adalah “hubungan hukum yang menyangkut hukum

kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan

kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.

7

Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir,

maksudnya adalah pihak yang mewakili pemerintah dibidang Permukiman dan Perjanjian pemborongan pekerjaan menurut KUHPerdata Buku III Bab 7A bagian Keenam tentang perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa khusus

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan hanya diatur dalam 2 (dua) Pasal

yaitu Pasal 64 dan Pasal 65 yang menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan

adalah perjanjian antara pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan

yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Dalam perjanjian pemborongan

pekerjaan ini ada 3 (subjek) yaitu pemborong, yang memborongkan dan pekerja/

buruh yang melaksanakan pekerjaan.

6

(19)

Prasarana Wilayah Kabupaten Toba Samosir untuk kegiatan rehabilitasi dan

peningkatan jaringan irigasi bidang yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan.

CV. Bagas Belantara merupakan sebuah perseroan komanditer yang tidak

berbentuk badan hukum yang bertindak sebagai pemborong.

CV atau yang disebut juga persekutuan komanditer menurut Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama untuk berusaha bersama antara orang-orang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang-orang yang memberikan pinjaman dan tidak bersedia memimpin perusahaan serta bertanggung jawab terbatas pada kekayaan yang diikutsertakan dalam perusahaan itu.

Persekutuan komanditer adalah “bentuk persekutuan yang didirikan oleh

seseorang atau lebih sekutu yang merupakan pemberi modal dan bertanggung

jawab sebesar modal penyertaannya”.8

Tanggung jawab diartikan sebagai keharusan untuk menanggung dan

menjawab atau suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh

perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.9

Risiko adalah “suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi

apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan force majeur”.

Akibat dari suatu hal yang terjadi itu menimbulkan risiko bagi para pihak.

10

8

http: // pengertiancv. Blogspot. com / 2009/04/ pengertian. CV. Html. Jumat, 05 Maret 2010, Jam. 14.20.

9

http: // pepak. Sabda. Org/ pustaka/ 040420/, diakses tanggal 05 Maret 2010

10

(20)

Sri Redjeki Hartono mengemukakan bahwa:

“Risiko adalah suatu ketidakpastian di masa yang akan datang yang wajib

untuk dipikul yang disebabkan suatu kejadian di luar kesalahan salah satu

pihak yang menimpa benda yang dimaksudkandalam perjanjian”.11

“Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu

kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”. Selain itu beliau juga mengemukakan:

12

Force majeur atau sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa

merupakan keadaan dimana seseorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (lihat Pasal 1244 KUHPerdata).

Risiko itu ada yang timbul karena ada suatu keadaan yang memaksa atau

disebut Force majeur yang terjadi di luar kehendak para pihak seperti ada bencana

alam, banjir, kebakaran, atau bahkan terjadi peperangan yang dapat menghambat

pelaksanaan pekerjaan.

13

“Force majeur mengandung risiko yang tak terduga-duga akan terjadi”. Subanar mengemukakan bahwa

14

Setiap risiko yang terjadi harus di tanggung oleh pihak yang bersangkutan.

Namun dalam pelaksanaan tanggung jawab atas risiko tersebut sering

menimbulkan permasalahan karena ada pihak tertentu merasa bahwa terdapat

11

Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 62

12

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1982, hal. 59.

13

(21)

ketidakseimbangan atas pertanggungjawaban tersebut. Sehingga permasalahan

tersebut mengakibatkan proses pelaksanaan pekerjaan terganggu. Dan setiap

permasalahan/ perselisihan yang terjadi dituntut penyelesaiannya.

Salim HS mengemukakan :

Penyelesaian perselisihan dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu melalui litigasi dan non litigasi. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan yang memerlukan jangka waktu yang panjang. Sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.15

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan

bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar

tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan

memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan

mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif

yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke

lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu.

2. Sumber data

Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah data

sekunder. Data sekunder meliputi:

15

(22)

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan didapat dari peraturan

perundang-undangan yaitu Keputusan Presiden nomor 80 Tahun 2003,

Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat dari pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan serta mempelajari data

dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan

tertulis berupa buku-buku karangan pasa sarjana dan ahli hukum yang

bersifat teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas

dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus

Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi

dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan

(23)

G.Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya

tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika

penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan

satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan suatu pengantar dari pembahasan

selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang Penulisan,

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJAJIAN

Sebagai dasar dari uraian yang dalam bab ini dibagi dalam 5 (lima) sub

bab yaitu: Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Subjek Hukum dalam

Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian, dan Berakhirnya Perjanjian.

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

PEMBORONGAN

Bab ini terdiri dari 6 (enam) sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian

Pemborongan, Pengaturan Hukum mengenai Perjanjian Pemborongan, Perjanjian

Pemborongan Menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan

Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, Hak

dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, dan Berakhirnya

(24)

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS

PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA

SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS

PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.

Terdiri dari 3 (tiga) sub bab yaitu: Proses Pelaksanaan Perjanjian

Pemborongan Pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor

Pandan Sepanjang 75m, Tanggung Jawab Para Pihak dalam Melaksanakan

Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, dan Penyelesaian Perselisihan yang Timbul

dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini

penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi

dengan saran-saran. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu Kesimpulan dan

Saran.

DAFTAR PUSTAKA

(25)

Menurut kodratnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain,

karena manusia disebut sebagai zoon politicon yang mana manusia selalu hidup

bersama dan berkelompok. Dikatakan manusia sebagai makhluk sosial karena ia

tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia itu tidak dapat mencapai segala

sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan dari orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara sesama anggota masyarakat saling

mangadakan hubungan yang tidak terlepas dari perjanjian, satu dengan yang

lainnya saling berjanji tentang sesuatu hal yang diatur oleh hukum. Hukum yang

mengatur tentang perjanjian tersebut disebut hukum perjanjian.

A.Pengertian Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian dinamakan juga sebagai suatu

persetujuan, oleh karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat

dikatakan bahwa antara perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya.

Dimana persetujuan atau yang dinamakan Overeenkomsten yaitu “suatu kata

sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang

bertujuan mengikat kedua belah pihak”.16

16

(26)

Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih”.17

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa:

18

Dalam ilmu hukum sesuatu hal tersebut diberi istilah prestasi. Dari

peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara 2 (dua) pihak tersebut yang

dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara para pihak

yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji, atau kesanggupan yang diucapkan

maupun ditulis. Dengan hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan. Pada Pasal 1233 KUHPerdata

dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik

karena undang-undang”.

19

17

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. hal. 338.

18

Ibid hal. 11.

Dalam hal ini ditegaskan bahwa setiap kewajiban

perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam

perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, ataupun karena ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti

(27)

bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu

pihak dalam hubungan hukum tersebut”.20

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang

lain, atau dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu”.

Selain Wiryono Prodjikoro, ada beberapa sarjana yang memberikan rumusan

tentang defenisi perjanjian, antara lain:

Menurut R. Subekti,

21

Beliau juga mengatakan “bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,

karena 2 (dua) pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat juga dikatakan

bahwa 2 perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.22

Adapun pengertian perjanjian menurut K. R. M. T Tirtodiningrat yang

dikutip oleh Mariam Darus

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persetujuan dan perjanjian

mempunyai pengertian yang sama, yaitu sama-sama memberikan keterikatan

kepada para pihak agar janji yang telah disepakati dapat dilaksanakan bagi para

pihak.

23

20

Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.

21

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Cetakan XII, Jakarta, 1990, hal. 29.

22

Ibid, hal. 12.

23

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 6.

, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum

berdasarkan kata sepakat diantara 2 (dua) orang atau lebih untuk menimbulkan

(28)

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian adalah

sumber utama dan yang terpenting untuk melahirkan perikatan. Dimana terdapat

berbagai unsur-unsur yang penting dari suatu perjanjian yang melahirkan

perikatan, unsur-unsur tersebut adalah:

1. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekat hak

pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lannya. Apabila satu

pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi lalu hukum

memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali.

Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum

memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi.

2. Kekayaan

Kriteria perikatan yang dimaksud adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan

terhadap sesuatu hubungan hukum saling hubungan hukum dapat disebutkan

suatu perikatan. Dahulu yang menjadi kriteria itu adalah hubungan hukum itu,

dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat

dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu

perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan

keberadaannya, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum

yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak

diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, sehingga hal pun

ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai

(29)

sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu

tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan

menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun

akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.

3. Pihak-pihak

Hubungan hukum itu terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih pihak yang berhak

atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak

yang wajib memenuhi prestasi, pihak pasif adalah debitur atau yang berutang.

Inilah yang disebut subjek perikatan.

4. Prestasi (objek hukum)

Pasal 1234 KUHPerdata:”tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Keempat unsur tersebut akan mewujudkan suatu perjanjian yang

mewujudkan suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, dimana terdapat

hubungan-hubungan hukum yang terjadi atas diri dan harta kekayaan para pihak

yang mengadakan perjanjian. Sedang disisi lain hukum meletakkan hak pada satu

pihak lain dan meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. “Apabila satu pihak

tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi atau dalam bahasa hukum

disebut wanprestasi maka hukum memaksakan supaya hubungan tersebut

dipenuhi atau dipulihkan”.24

Jadi jelasnya bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang

terpenting. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua

24

(30)

orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sedangkan perikatan yang

lahir dari undang-undang dibentuk menurut undang-undang di luar kemauan para

pihak yang bersangkutan. Apabila dua pihak mengadakan suatu suatu perjanjian

maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perhubungan

hukum, yang sesungguhnya para pihak yang membuat perjanjian tersebut terikat

satu sama lain karena janji-janji yang telah diberikan.

B.Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dikatakan mempunyai kekuatan yang mengikat

maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. KUHPerdata

menentukan 4 (empat) syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan

dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.

Adapun keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

adalah:

1. Adanya kata sepakat dari para pihak

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal yang tertentu

4. Adanya suatu sebab yang halal

Keempat syarat tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Syarat subjektif, yaitu: syarat yang menyangkut subjek dari perjanjian itu,

yang harus dipenuhi oleh para pihak yaitu apakah orang itu telah sepakat

(31)

b. Syarat objektif, yaitu: syarat-syarat yang menyangkut pada objek perjanjian

yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.25

Berikut ini dapat dijelaskan yang merupakan syarat-syarat sahnya

perjanjian, yaitu sebagai berikut:

1) Adanya kata sepakat dari para pihak

Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti

bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak

tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi

perwujudan kehendak tersebut.26

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui antar para pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan sesuatu hal kepada pihak lain dinamakan tawaran. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi. Objek yang diperjanjiakan harus jelas baik mengenai bentuknya, tujuannya, maupun asal-usul dari objek yang diperjanjikan berasal dari suatu sebab yang sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.27

a) Salah pengertian atau kekeliruan

Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menjelaskan:

tidak dianggap sah suatu persetujuan jika izin kesepakatan tersebut diberikan

karena:

b) Pemerasan, dipaksakan

c) Adanya penipuan.

Persetujuan yang diberikan oleh karena salah pengertian, dan penipuan,

berarti dalam persetujuan yang diberikan jelas merupakan pesetujuan

25

Wan Sadjaraddin Barus, Beberapa Sendi HukumPerikatan, Penerbit USU Press, 1992, hal. 28-29

26

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 73.

27

(32)

kehendak yang cacat. Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan

pembatalan, tapi bukan batal dengan sendirinya.

Mengenai salah duga atau salah pengertian yang dapat dibatalkan harus

mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Salah pengertian mengenai

orangnya tidak menyebabkan persetujuan dapat batal (Pasal 1322

KUHPerdata). Dengan demikian salah duga atau salah pengertian yang

menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai:

1. Pokok atau maksud objek persetujuan

2. Kedudukan hukum subjek yang membuat persetujuan

3. Hak subjek hukum yang bersangkutan.

Mengenai paksaan yang dapat melenyapkan perizinan dalam persetujuan

adalah paksaan fisik yang bersifat “vis absoluta”. Sedemikian rupa paksaan

kekerasan yang diancamkan, sehingga orang yang bersangkutan tidak

mempunyai pilihan lain selain melakukan perbuatan yang dipaksakan.

Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seseorang

terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksakannya.

Tentang penipuan adalah apabila perizinan yang diberikannya dalam

persetujuan diperoleh dengan jalan penipuan, hal itu juga mengakibatkan

perizinan dalam persetujuan tersebut tidak ada. Penipuan ini harus berupa tipu

muslihat, sehingga sesuatu yang tidak benar berkesan merupakan gambaran

keadaan dan kejadian yang sungguh-sungguh benar tentang suatu hal. Sesuatu

baru dikatakan tipu muslihat apabila:

(33)

b. Sesuai dengan taraf pendidikan kecakapan orang yang ditipu. Apabila

yang ditipu seorang yang terpelajar, dengan hanya tipuan yang sangat

rendah dia sudah percaya, tentu dianggap tidak ada penipuan.28

Pasal 1446 KUHPerdata yang berbunyi “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, haruslah dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa telah mendapat pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka”.

2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan ialah

orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Menurut Pasal 1329

KUHPerdata: “setiap orang ialah cakap untuk membuat perikatan-perikatan

jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Pasal 1330 KUHPerdata:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a) Orang-orang belum dewasa

b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang

telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

28

(34)

Umumnya orang yang mampu melakukan tindakan hukum ialah orang

dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di

bawah pengampuan maupun curatele dan anak di bawah umur.

d) Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang-orang dewasa atau di bawah umur hal ini dapat dilihat dalam Pasal

330 KUHPerdata “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai

umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin dan apabila perkawinannya

bubar sedangkan belum genap 21 tahun mereka tetap dianggap belum

dewasa”. Selain dalam Pasal 330 KUHPerdata hukum adat dan juga

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang kedewasaan.

Kedewasaan menurut hukum adat didasarkan atas ukuran yang disesuaikan

dengan kenyataan yaitu apabila seseorang telah berkeluarga. Jadi prinsip

kedewasaan seperti hal ini lebih sesuai dengan kepatuhan karena

didasarkan atas keadaan yang nyata yaitu bahwa orang itu benar-benar

sudah mandiri dan dianggap mengerti atau telah cukup mempunyai

kemampuan untuk mengerti konsekuensi dari perbuatannya namun dengan

berpegang teguh pada patokan ini kepastian hukumnya masih kurang.

Mengenai hal wanita yang telah besuami untuk mengadakan suatu

perjanjian ia memerlukan bantuan atau izin dari suaminya hal ini dapat

kita lihat dalam Pasal 108 KUHPerdata, akan tetapi sejak keluarnya

SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan

(35)

kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama dengan laki-laki

sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap pengadilan

ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi, maka dengan adanya SEMA

Nomor 3 Tahun 1963 maka Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan tidak

berlaku lagi.

3) Mengenai suatu hal yang tertentu

Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya, bahwa objek-objek perjanjian

persetujuan harus mengenai sesuatu yang tertentu. Jadi objek atau prestasi tadi

harus tertentu, sekurang-kurang jenisnya dapat ditentukan baik hal itu

mengenai benda yang berwujud ataupun yang tidak berwujud, seperti yang

dijumpai dalam persetujuan perburuhan, penjaminan ataupun pemberian

kuasa. Objek itu dapat juga berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan

ada:

a. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan

Pasal 1332 KUHPerdata: “hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

b. Barang-barang yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum antara

lain: seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan

sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

c. Dapat ditentukan jenisnya.

Pasal 1333 KUHPerdata: “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai

(36)

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja

jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Barang yang akan datang

Pasal 1334 KUHPerdata:”barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu”.

e. Objek perjanjian.

4) Adanya suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal atau kausa yang diperbolehkan ialah isi dan tujuan.

Pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan

umum openbaar orde dan kesusilaan.29

29

Ibid, hal. 2.

Menurut Pasal 1336 KUHPerdata ”jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi

ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada

yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah”..

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Secara sah

maksudnya berarti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 1320

KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah

(37)

Dalam Pasal 1337 KUHPerdata ”suatu sebab adalah terlarang, apabila

berlawanan dengan undang-undang, atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang

penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari

perjanjian, yaitu:

1. Berlaku sebagai undang-undang

Berlaku sebagai undang berarti ketentuan-ketentuan dalam

undang-undang itulah yang mengatur hubungan para pihak. Isi perjanjian ini dapat

ditentukan oleh debitur sendiri atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan

debitur. Dengan demikian perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat bagi

para pihak yang membuatnya.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para

pihak tidak terlepas dari tanggung jawab dan akibat yang timbul dari suatu

prestasi yang dipenuhi. Juga para pihak harus memperhatikan

undang-undang. Dengan perkataan lain, para pihak tidak mutlak pada ketentuan

perjanjian.

Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai ke muka hakim dalam

mengadilinya, hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan

(38)

2. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak

Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian itu dibuat atas

persetujuan kedua belah pihak lainnya. Namun demikian perjanjian dapat

dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan

undang-undang. Tentang alasan-alasan ini, dalam Pasal 1814 KUHPerdata:

”si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu

dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk

mengembalikan kuasa yang dipegangnya”.

3. Pelaksanaan dengan itikad baik

Pelaksanaan dengan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang

mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai

unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan.30

Perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum kekayaan

antara 2 (dua) orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya

harus ada 2 (dua) orang tertentu, misalnya orang itu menduduki tempat yang Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata bukanlah

dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus

mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan, jadi yang

dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu

harus berjalan diatas jalur yang benar.

C. Subjek Hukum Dalam Perjanjian

30

(39)

berbeda, satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak

debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur

mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.31

1. pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

Subjek hukum dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang telah terikat

dengan diadakannya perjanjian. KUHPerdata membedakan 3 (tiga) golongan yang

termasuk dalam perjanjian, yaitu:

2. para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya

3. pihak ketiga.32

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak

ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak-pihak ketiga mendapat manfaat

karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata.

Pasal 1317 KUHPerdata: lagipun diperbolehkan juga untuk meminta

ditetapkannya suatu janji guna untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu

penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu

pemberian yang dilakukannya untuk orang lain, memuat suatu janji yang seperti

itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya

kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak

mempergunakannya”.

Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan hukum,

yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun memiliki

perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan, sedangkan

31

M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 15.

32

(40)

badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah didaftarkan dan

benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.

D.Jenis-Jenis Perjanjian

Sebelum berbicara mengenai jenis-jenis perjanjian, akan diuraikan terlebih

dahulu mengenai bentuk perjanjian, dalam perjanjian terdapat berbagai bentuk

yang dipandang dari berbagai sudut. Dalam KUHPerdata perjanjian itu tidak

tercakup dalam satu pasal saja, akan tetapi terdapat dalam banyak pasal.

Perjanjian itu dapat dibuat secara tertulis dan secara lisan dan andaikata dibuat

secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Hal

ini dibuat berdasarkan atas kesepakatan para pihak yang saling mengikatkan diri.

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perjanjian menurut sifatnya dapat

dibagi atas:

a. perjanjian untuk memberikan sesuatu

b. perjanjian untuk berbuat sesuatu

c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu33

1. Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak

:

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

dan hak bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli dan perjanjian

pemborongan. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu

33

(41)

perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan. Perjanjian jual beli memperlihatkan bahwa pihak yang satu

disebut penjual dan pihak yang lain dinamakan pembeli. Dengan demikian

mencakup 2 (dua) perbuatan timbal balik sesuai dengan namanya jual beli.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang salah satu pihak saja yang

mempunyai hak, sedangkan pihak yang lain hanya mempunyai kewajiban.

Misalnya hibah. Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu

perjanjian dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang dengan

cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seorang yang

menerima penyerahan barang itu. Dari rumusan pasal tersebut jelaslah bahwa

si pemberi hibah itu melakukan hibah tanpa mengharapkan adanya balasan

prestasi.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban

Pasal 1314 KUHPerdata:

Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban,

suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Suatu persetujuan atas beban adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Perbuatan cuma-cuma terjadi menunjukkan adanya sutu prestasi tanpa

dibarengi kontra prestasi. Pihak yang memberikan prestasi tidak

(42)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang

satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi

itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya A berjanji akan menyanggupi

memberikan sejumlah barang kepada si B dengan syarat si B bersedia

memindahkan satu barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

3. Perjanjian Bernama (benoemd overeenkomst)

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama

oleh pembentuk undang-undang, berdasaran tipe yang paling banyak terjadi

sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab

XVIII KUHPerdata.

4. Perjanjian Tidak Bernama (onbenoemde overeenkomst)

Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu

perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam

masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang

disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti

perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, dan perjanjian pengelolaan.

Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas

kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.

Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata,

yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus

maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan

(43)

5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian dengan mana seorang menyerahkan

haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban

pihak itu untuk meyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Misalnya jual

beli untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan masih

diperlukan adanya penyerahan.

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang sepakat,

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.

Dalam contoh diatas perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir

karena membebankan para pihak untuk melakukan penyerahan, sedangkan

penyerahan itu adalah merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian diantara kedua belah pihak telah

tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sebagai contoh,

dalam jual beli, jual beli telah dianggap sejak adanya persesuaian harga (Pasal

1458 KUHPerdata).

Perjanjian riil adalah perjanjian yang dianggap mulai semenjak adanya

perbuatan hukum dari apa yang diperjanjikan. Misalnya dalam perjanjian

penitipan barang, perjanjian mulai mengikat semenjak mengikat seseorang

menerima barang sebagai titipan dari orang lain (Pasal 1694 KUHPerdata).

7. Perjanjian yang Istimewa Sifatnya

(44)

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang mana para pihak membebaskan

diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (Pasal 1438

KUHPerdata)

b. Perjanjian pembuktian, yaitu para pihak yang menentukan pembuktian

apakah yang berlaku diantara pihak-pihak tersebut.

c. Perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya

mengenai untung ruginya bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak

tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu atau objeknya ditentukan

kemudian (Pasal 1774 KUHPerdata).

d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai

oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah

pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta. misalnya perjanjian ikatan

dinas.

E. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian berarti semua pernyataan kehendak atau semua hal

yang diperjanjikan antara para pihak, terhapus. Dengan demikian status para pihak

kembali kepada keadaan semula, keadaan sebelum para pihak mengadakan

perjanjian, dimana diantara para pihak seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Hapusnya perjanjian sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan

(45)

Banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian, misalnya

dengan cara membayar harga barang yang dibeli ataupun dengan cara

mengembalikan barang yang dipinjam.

Adapun cara-cara penghapusan perjanjian menurut Pasal 1381

KUHPerdata, adalah:

1. Karena pembayaran

Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara

sukarela artinya tidak dengan paksaan.

“Dalam hal ini pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran dalam arti

luas, yang meliputi tidak saja pembayaran berupa uang, melainkan juga

penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Dengan pernyataan lain,

pelaksanaan perjanjian”.34

2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan (konsignasi)

Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilakukan oleh yang bersangkutan

saja. Namun, Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat

dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak

mempersoalkan siapa yang harus membayar akan tetapi yang terpenting

adalah utang itu harus dibayar.

Konsignasi adalah suatu cara pembayaran untuk menolong debitur dalam

hal si kreditur menolak pambayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi

34

(46)

bilamana si kreditur menolak (tidak mau) menerima pembayaran, maka

debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan

uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau

panitera membuat perincian barang-barang atau uang yang harus dibayarkan

selanjutnya menjumpai kreditur untuk melakukan pembayaran. Bila kreditur

menolak, maka dipersilahkan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani

berita acara. Jika kreditur menolak juga maka hal ini dicatat dalam berita acara

tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang

ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi

disahkan. Apabila telah disahkan, maka debitur terlepas dari kewajibannya

dan perjanjian dianggap hapus.35

3. Karena pembaharuan utang

Pembaharuan utang adalah peristiwa hukum dalam suatu perikatan diganti

dengan perikatan lain. Dalam hal ini para pihak mengadakan suatu perjanjian

dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang

baru.36

a. Novasi Objektif

Novasi dapat terjadi atas beberapa bentuk sesuai dengan pembaharuan

yang dilakukan oleh:

Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjiannya (objek) sedangkan para

pihak tetap.

35

(47)

b. Novasi Subjektif

Dalam hal ini kebalikan dari novasi objektif, dimana objeknya tetap dan

yang berubah adalah subjeknya.37

4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang

Hal ini terjadi apabila para pihak, yaitu kreditur dan debitur, saling

mempunyai utang dan piutang, maka diadakan perjumpaan utang untuk suatu

jumlah yang sama. Hal ini terjadi apabila antara kelompok utang berpokok

pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis

yang sama dan yang keduanya dapat ditetapkan serta ditagih seketika.

Undang-undang menentukan bahwa kompensasi itu terjadi demi hukum

akan tetapi bila dilihat Pasal 1430, Pasal 1432 dan Pasal 1435 KUHPerdata,

maka kompensasi menghendaki adanya aktivitas dari pihak-pihak yang

berkepentingan.38

5. Karena percampuran utang

Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur

dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan

kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi

percampuran utang sesuai dengan Pasal 1436 KUHPerdata.39

6. Karena pembebasan utang

Hal ini terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak

menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh debitur. Apabila debitur

37

Ibid, hal. 49 .

38

Ibid, hal. 50.

39

(48)

menerima pernyataan kreditur maka berakhirlah perjanjian utang piutang

diantara pihak tersebut.

Namun demikian pembebasan utang tidak dapat terjadi hanya dengan,

tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya bukti yang kuat maka

pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur. Misalnya dengan

mengembalikan surat piutang kepada debitur.40

7. Karena musnahnya barang yang terutang

Musnahnya barang-barang yang menjadi utang debitur diatur dalam Pasal

1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata. Debitur wajib membuktikan bahwa

musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan

musnah atau hilang juga meskipun di tangan debitur. Jadi dalam hal ini si

debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang

tersebut agar tetap berada dalam keadaan semula.41

8. Karena kebatalan atau pembatalan

Syarat perjanjian akan hapus apabila ada suatu pembatalan maupun

dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan ataupun batal demi hukum.

Karena jika lihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian dianggap tidak

pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada, akan

tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak

kembali kepada keadaan semula.42

40

Ibid .

41

(49)

9. Karena berlakunya suatu syarat batal

Syarat batal yang dimaksud syarat disini adalah ketentuan isi perjanjian

yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi

mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian itu menjadi lenyap.43

10.Karena lewatnya waktu

Lewatnya waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk

dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946

KUHPerdata).44

43

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 72.

44

(50)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

Dalam melaksanakan suatu pekerjaan, pada umumnya pemberi pekerjaan

memborongkan pekerjaannya kepada pihak lain yang dianggap lebih mampu dan

sudah merupakan pekerjaan atau bidang usahanya. Proyek pembangunan yang

diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta biasanya dilaksanakan dengan

cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak lain.

Dalam rangka pemberian pekerjaan ini, diperlukan hubungan kerja yang

menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian. Perjanjian kerja ini erat kaitannya

dengan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi

hukum perjanjian pemborongan pekerjaan termasuk dalam lapangan hukum

perikatan yang sudah barang tentu tunduk pada aturan-ataran hukum perjanjian

yang diatur dalam hukum perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Untuk menjaga terjadinya sengketa dikemudian hari karena adanya kesalah-

pahaman antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan

maka perjanjian pemborongan pekerjaan supaya dibuat dengan pihak yang

melakukan pekerjaan maka perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat dalam

perjanjian tertulis yang menetapkan tentang batas yang jelas terhadap hak dan

(51)

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan

Perjanjian pemborongan pekerjaan merupakan suatu bentuk perjanjian

yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yang ketentuannya terdapat dalam

Bab VIIA yang secara keseluruhan mengatur tentang perjanjian-perjanjian untuk

melakukan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal

1601b, 1604 sampai dengan 1616 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1601b KUHPerdata, “pemborongan pekerjaaan adalah

persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang

memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

Defenisi perjanjian pemborongan disini kurang tepat, menganggap

perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si pemborong hanya

mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hak saja. Sebenarnya

perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yang memiliki hak dan

kewajiban.

Berikut defenisi perjanjian yang benar sebagai berikut pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.45

45

Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Yogyakarta, 1996, hal. 4.

(52)

1. Bahwa yang mebuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang

terkait dalam perjanjian pemborongan adalah 2 (dua) pihak saja, yaitu pihak

kesatu disebut yang memborongkan, dan pihak kedua disebut pemborong.

2. Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya.

KUHPerdata Bab VIIA mengatur tentang perjanjian melakukan pekerjaan,

yang membagi perjanjian melakukan pekerjaan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

a. Perjanjian kerja atau perburuhan

b. Perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Ketiga perjanjian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu

melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah.

Perjanjian kerja atau per

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Pasal 84 ayat (5) Perpr es 54 Tahum 2010, Dalam hal Pelelangan/ Seleksi/ Pemil ihan Langsung ulang jumlah Penyedia Bar ang/ Jasa yang memasukkan

Berdasarkan Berita Acara Pembukaan Dokumen Penawaran Sampul I (Administrasi dan Teknis) Nomor: BA.5/BK-DOK/I/RB/V/BMKG-2012 tanggal 14 Mei 2012 dan Berita Acara Evaluasi

Pada hari ini RABU tanggal ENAM bulan JUNI tahun DUA RIBU DUA BELAS dengan mengambil tempat di Aula Gedung A, Kantor Pengawasan dan Pelayanan

Alasan gugur / tidak lulus masing- masing peser ta adalah sebagai ber ikut: tidak ada Hasil pembuktian kualifikasi yang tidak memenuhi syar at untuk tiap peser ta (ter lampir ).

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang dan jasa dengan kualifikasi Non Kecil yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan

Aplikasi Belajar Interaktif Komputer dengan pokok bahasan Tree akan banyak bermanfaat bagi pemakai, karena selain tampilannya akan lebih menarik dan juga lebih mudah serta cepat

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik

[r]