PADA CV. BAGAS BELANTARA)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum
OLEH:
NIM: 060200133 SRI WINDA PASARIBU
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN
PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL
KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA
(STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum
OLEH:
SRI WINDA PASARIBU NIM: 060200133
DISETUJUI OLEH,
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S NIP. 196204211988031004
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S
2010
Zulikifli Sembiring, S.H
NIP. 196204211988031004 NIP. 196101181988031010
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, termasuk
sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul
“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan
Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)”, yang disusun untuk memenuhi salah
satu syarat guna memperolah gelar sarjana dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini.
Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan,
semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H,M.S selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
sebagai dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Zulkifli Sembiring, S. H, selaku dosen pembimbing II Penulis yang
memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini
4. Orang tua Penulis, buat Bapak J. Pasaribu dan mama N. Panjaitan yang
dan kasih sayang, termasuk dalam proses penyusunan/penyelesaian skripsi
ini. Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Maret 2010 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 10
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 17
B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ... 22
C. Subjek Hukum dalam Perjanjian ... 30
D. Jenis-jenis Perjanjian ... 32
E. Berakhirnya Perjanjian ... 36
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan ... 42
B. Pengaturan Hukum Mengenai Perjanjian Pemborongan ... 50
C. Perjanjian Pemborongan menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 ... 53
D. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 58
E. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 70
1. Hak dan Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 71
b.Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 73
2. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong ... 72
a. Hak Pihak Pemborong ... 72
b. Kewajiban Pihak Pemborong ... 72
F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 74
BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA A. Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara ... 78
1. Proses Pembuatan Perjanjian Pemborongan ... 78
2. Tahap Pelaksanaan Kontrak ... 88
3. Pra Kontrak ... 92
B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 94
C. Penyelesaian Perselisihan yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 103
ABSTRAK
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.
ABSTRAK
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah
berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik pembangunan fisik
maupaun non fisik
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.1
Infrastruktur merupakan komponen dasar perekonomian dan merupakan
aspek utama didalam pemerataan pembangunan dan kesejahteraan (Otonomi Pembangunan di Indonesia sekarang ini menitikberatkan pada
pembangunan ekonomi. Berbicara mengenai masalah pembangunan, maka
pembangunan dalam suatu negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu: pembangunan
ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi target sasaran,
pembangunan lingkungan dengan targetnya adalah keberlangsungan lingkungan ,
dan pembangunan sosial dengan target mensejahterakan masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka salah satu faktor yang juga berperan penting didalam
menopang dan mendukung ketiga aspek pembangunan tersebut adalah dukungan
infrastuktur.
1
Daerah) didalam kondisi nasional yang beragam. Keberagaman ini merupakan
masalah utama yang masih akan dihadapi bangsa Indonesia.2
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menuju reformasi dibidang
infrastruktur yaitu dengan dilakukan upaya untuk mempertahankan dan
meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan infrastruktur itu sendiri. Upaya
untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan infrastruktur Pembangunan infrastruktur yang merupakan salah satu aspek penting dan
vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional dan juga sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat suatu gerak laju dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan
infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, energi,
perbaikan jalan dan pelabuhan. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi
fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya.
Pembangunan infrastruktur mendapat modal dari pembiayaan infrastruktur
yang dapat berasal dari perbankan, dana pensiun, dan dana dari investasi asing.
Pembiayaan infrastruktur merupakan kemampuan Bank untuk mendanai proyek
pembangunan yang dilakukan melalui proses tender. Menurut pemerintah,
proyek-proyek infrastruktur sebagian akan dibiayai secara komersial yaitu
pendanaan dari Bank dan investasi swasta. Sementara untuk proyek infrastruktur
di daerah terpencil, pemerintah akan menggunakan sebagian dana Anggaran
Pandapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
2
menghadapi 3 (tiga) hal permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan
prasarana tidak mudah karena mencakup penggunaan lahan yang cukup luas,
pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang
untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak, kemampuan ekonomi
nasional pada saat ini sangat terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah
maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana merupakan
prakondisi bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru diberbagai bidang,
peningkatan jumlah penduduk mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana
dan prasarana. Ketiga, menghadapi persaingan global dan sekaligus memenuhi
permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana.3
Kebijakan pokok yang ditempuh dalam pembangunan infrastruktur adalah
kebijakan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur, kebijakan
peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan infrastruktur. Tujuan
mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur adalah untuk
mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana yang telah
ataupun sedang dibangun agar tingkat pelayanannya dapat dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan kualitas yang memadai, serta tetap dapat dioperasikan
dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektor-sektor
pruduktif. Untuk itu, diprioritaskan infrastruktur yang sudah dibangun ataupun
sedang dalam proses pembangunan, diupayakan pemeliharaannya agar nilai
ekonomisnya tidak menurun. Sasaran kebijakan ini adalah tersedianya pelayanan
jasa infrastruktur yang mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam pemulihan
3
ekonomi, terjaganya kondisi konstruksi maupun peralatan yang belum selesai
pembangunan konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna dan
tersedianya data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.
Untuk mencapai semua sasaran dan tujuan seperti yang disebutkan diatas,
maka semua dititikberatkan pada pembangunan sektor ekonomi. Kemudian untuk
itu diperlukan sarana dan prasarana untuk menunjang sehingga pembangunan itu
memberi hasil yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan
kesejahteraan. Sebaliknya, berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut
tergantung dari partisipasi seluruh rakyat. Berarti pembangunan harus
dilaksanakan secara merata oleh oleh segenap lapisan masyarakat seperti yang
telah disebutkan di atas kegiatan pembangunan yang dilaksanakan berupa
pembangunan infrastruktur seperti pembangunan proyek-proyek sarana dan
prasarana yang berwujud pembangunan dan rehabilitasi jalan-jalan , jembatan,
pelabuhan, irigasi, perumahan, perkantoran dan sebagainya.4
Dalam pelaksanaan pembangunan proyek-proyek ini, maka akan
melibatkan berbagai pihak seperti pemberi pekerjaan (Bouwheer), pemborong
(Annemer), perencana, pengawas serta melibatkan pekerja dalam melaksanakan
pekerjaan. Di samping itu dalam pelaksanaan pembangunan juga dihadapkan pada
peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengerjaan pembangunan. Oleh
karena itu, masing-masing pihak memiliki hubungan hukum yang akan dituang
4
dalam bentuk perjanjian tertulis yang dikenal dengan perjanjian pemborongan
pekerjaan.
Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian antara seorang
(pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong),
dimana pihak pertama menghendaki sesuatu pekerjaan yang disanggupi oleh
pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan”.5
Proyek pemborongan yang dilaksanakan oleh pemerintah dilaksanakan
dengan cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak swasta, karena tidak
dapat dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri. Dalam rangka pemberian pekerjaan
ini, diperlukan hubungan kerja yang menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian.
Perjanjian kerja erat kaitannya dengan tanggung jawab para pihak dalam
pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi hukum perjanjian pemborongan pekerjaan
harus tunduk kepada aturan-aturan hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dan peraturan-peraturan lainnya seperti
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Keppres No. 80/ 2003) jo Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2005 (Perpres No. 32/2005) untuk mencegah
terjadinya sengketa dikemudian hari, karena adanya kesalahpahaman antara pihak
pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan. Maka kegiatan yang
demikian lazimnya dituangkan dalam bentuk perjanjian pemborongan kerja, yang
mana dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba
Samosir (DPU KIMPRASWIL) bertindak sebagai pihak yang memborongkan
5
sedangkan CV. Bagas Belantara (CV. Bagas) bertindak sebagai pihak yang
menerima pemborongan kerja (Annemer) untuk pekerjaan Peningkatan Saluran
Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan sepanjang 75m.
Dalam pelaksanaan proyek pemborongan ini, para pihak yang terlibat
tidak boleh mengabaikan akta perjanjian. Pemborong dalam melaksanakan
pekerjaannya harus selalu berpatokan pada isi perjanjian yang telah disepakati
bersama antara pemborong dengan yang memborongkan, karena apabila terjadi
penyimpangan dapat dijadikan alasan untuk menyatakan telah terjadi wanprestasi,
dan isi perjanjian harus memperhatikan asas keadilan dan keseimbangan.
Pada masa sekarang ini banyak kontrak yang bermasalah, banyak isi
kontrak sifatnya hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa memperhatikan hak
pihak yang lain, sehingga asas keadilan dan keseimbangan tidak terlihat lagi
sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan kedua
belah pihak. Selain itu, dalam proses pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan
apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian, sehingga banyak proyek itu
yang berhenti sebelum selesai proses pekerjaannya.
Melihat kejadian seperti di atas, maka diadakanlah penulisan skripsi ini,
karena melalui skripsi ini dapat diketahui apakah proses pelaksanaan perjanjian
pemborongan perbaikan saluran irigasi bondar sitoman sosor pandan sepanjang
75m telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak, apakah proses
pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan kontrak?. Pihak DPU
dipenuhi oleh CV. Bagas selaku pihak pemborong yang dituangkan dalam sebuah
kontrak.
B. Perumusan Masalah
Dalam setiap penulisan skripsi tentulah ditemukan yang menjadi
permasalahan yang merupakan titik tolak bagi pembahasan nantinya.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan
Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan Sepanjang 75m
telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?
2. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan perjanjian
pemborongan pekerjaan?
3. Bagaimanakah penyelesaian Perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan
perjanjian pemborongan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pemborongan peningkatan
saluran irigasi yang dimulai dari proses pembuatan kontrak ,
pelaksanaan kontrak sampai pada kontrak atau pemborongan itu selesai
b. Untuk mengetahui tanggung jawab bagi para pihak yang terikat dalam
perjanjian pemborongan pekerjaan sampai pekerjaan selesai, dan risiko
yang dihadapi para pihak dalam pekerjaan peningkatan saluran irigasi.
c. Untuk mengetahui cara para pihak untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan
pekerjaan.
2. Manfaat Penulisan
Selain dari tujuan penulisan, adapun yang menjadi Manfaat Penulisan yang
dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Secara Teoretis
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya.
2) Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana perkembangan
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.
b. Secara Praktis
1) Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dan agar masyarakat
mengetahui proses perjanjian pemborongan pekerjaan yang terjadi
antara DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas.
2) Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang cara membuat perjanjian pemborongan
dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh DPU
KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan proses pelaksanaan
perjanjian pemborongan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, tanggung jawab para pihak terhadap perjanjian
pemborongan, serta mengetahui cara penyelesaian sengketa yang
timbul dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.
Semoga kiranya tulisan ini dapat dijadikan suatu bahan acuan, inventaris
dan kepustakaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan
penulisan lebih lanjut yang lebih mendalam yang berkaitan dengan pemborongan
pekerjaan.
D. Keaslian Penulisan
“ TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.
Yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun melalui referensi
buku-buku, media elektronik (internet) sebagai sarana penunjang informasi jaringan
perpustakaan terluas, dan studi kasus pada data sekunder yaitu menelaah pada
dokemen surat Perjanjian DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan bahkan
dari berbagai pihak. Kalaupun ada judul yang serupa namun materi pembahasan
E. Tinjauan Kepustakaan
Dari judul di atas dapat diambil pengertian secara etimologis.
Wiryono Prodjodikoro mengemukakan:
Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.6
Perjanjian, maksudnya adalah “hubungan hukum yang menyangkut hukum
kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan
kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.
7
Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir,
maksudnya adalah pihak yang mewakili pemerintah dibidang Permukiman dan Perjanjian pemborongan pekerjaan menurut KUHPerdata Buku III Bab 7A bagian Keenam tentang perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa khusus
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan hanya diatur dalam 2 (dua) Pasal
yaitu Pasal 64 dan Pasal 65 yang menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan
adalah perjanjian antara pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan
yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Dalam perjanjian pemborongan
pekerjaan ini ada 3 (subjek) yaitu pemborong, yang memborongkan dan pekerja/
buruh yang melaksanakan pekerjaan.
6
Prasarana Wilayah Kabupaten Toba Samosir untuk kegiatan rehabilitasi dan
peningkatan jaringan irigasi bidang yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan.
CV. Bagas Belantara merupakan sebuah perseroan komanditer yang tidak
berbentuk badan hukum yang bertindak sebagai pemborong.
CV atau yang disebut juga persekutuan komanditer menurut Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama untuk berusaha bersama antara orang-orang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang-orang yang memberikan pinjaman dan tidak bersedia memimpin perusahaan serta bertanggung jawab terbatas pada kekayaan yang diikutsertakan dalam perusahaan itu.
Persekutuan komanditer adalah “bentuk persekutuan yang didirikan oleh
seseorang atau lebih sekutu yang merupakan pemberi modal dan bertanggung
jawab sebesar modal penyertaannya”.8
Tanggung jawab diartikan sebagai keharusan untuk menanggung dan
menjawab atau suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh
perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.9
Risiko adalah “suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi
apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan force majeur”.
Akibat dari suatu hal yang terjadi itu menimbulkan risiko bagi para pihak.
10
8
http: // pengertiancv. Blogspot. com / 2009/04/ pengertian. CV. Html. Jumat, 05 Maret 2010, Jam. 14.20.
9
http: // pepak. Sabda. Org/ pustaka/ 040420/, diakses tanggal 05 Maret 2010
10
Sri Redjeki Hartono mengemukakan bahwa:
“Risiko adalah suatu ketidakpastian di masa yang akan datang yang wajib
untuk dipikul yang disebabkan suatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa benda yang dimaksudkandalam perjanjian”.11
“Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”. Selain itu beliau juga mengemukakan:
12
Force majeur atau sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa
merupakan keadaan dimana seseorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (lihat Pasal 1244 KUHPerdata).
Risiko itu ada yang timbul karena ada suatu keadaan yang memaksa atau
disebut Force majeur yang terjadi di luar kehendak para pihak seperti ada bencana
alam, banjir, kebakaran, atau bahkan terjadi peperangan yang dapat menghambat
pelaksanaan pekerjaan.
13
“Force majeur mengandung risiko yang tak terduga-duga akan terjadi”. Subanar mengemukakan bahwa
14
Setiap risiko yang terjadi harus di tanggung oleh pihak yang bersangkutan.
Namun dalam pelaksanaan tanggung jawab atas risiko tersebut sering
menimbulkan permasalahan karena ada pihak tertentu merasa bahwa terdapat
11
Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 62
12
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1982, hal. 59.
13
ketidakseimbangan atas pertanggungjawaban tersebut. Sehingga permasalahan
tersebut mengakibatkan proses pelaksanaan pekerjaan terganggu. Dan setiap
permasalahan/ perselisihan yang terjadi dituntut penyelesaiannya.
Salim HS mengemukakan :
Penyelesaian perselisihan dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu melalui litigasi dan non litigasi. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan yang memerlukan jangka waktu yang panjang. Sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.15
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan
bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar
tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan
memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan
mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif
yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke
lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu.
2. Sumber data
Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder meliputi:
15
a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan didapat dari peraturan
perundang-undangan yaitu Keputusan Presiden nomor 80 Tahun 2003,
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat dari pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan serta mempelajari data
dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan
tertulis berupa buku-buku karangan pasa sarjana dan ahli hukum yang
bersifat teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas
dalam penulisan skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus
Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi
dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan
G.Sistematika Penulisan
Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya
tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika
penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan
satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan suatu pengantar dari pembahasan
selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang Penulisan,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJAJIAN
Sebagai dasar dari uraian yang dalam bab ini dibagi dalam 5 (lima) sub
bab yaitu: Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Subjek Hukum dalam
Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian, dan Berakhirnya Perjanjian.
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
PEMBORONGAN
Bab ini terdiri dari 6 (enam) sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian
Pemborongan, Pengaturan Hukum mengenai Perjanjian Pemborongan, Perjanjian
Pemborongan Menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, Hak
dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, dan Berakhirnya
BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS
PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA
SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS
PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.
Terdiri dari 3 (tiga) sub bab yaitu: Proses Pelaksanaan Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor
Pandan Sepanjang 75m, Tanggung Jawab Para Pihak dalam Melaksanakan
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, dan Penyelesaian Perselisihan yang Timbul
dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini
penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi
dengan saran-saran. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu Kesimpulan dan
Saran.
DAFTAR PUSTAKA
Menurut kodratnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain,
karena manusia disebut sebagai zoon politicon yang mana manusia selalu hidup
bersama dan berkelompok. Dikatakan manusia sebagai makhluk sosial karena ia
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia itu tidak dapat mencapai segala
sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan dari orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara sesama anggota masyarakat saling
mangadakan hubungan yang tidak terlepas dari perjanjian, satu dengan yang
lainnya saling berjanji tentang sesuatu hal yang diatur oleh hukum. Hukum yang
mengatur tentang perjanjian tersebut disebut hukum perjanjian.
A.Pengertian Perjanjian
Pada umumnya, suatu perjanjian dinamakan juga sebagai suatu
persetujuan, oleh karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat
dikatakan bahwa antara perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya.
Dimana persetujuan atau yang dinamakan Overeenkomsten yaitu “suatu kata
sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang
bertujuan mengikat kedua belah pihak”.16
16
Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.17
Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa:
18
Dalam ilmu hukum sesuatu hal tersebut diberi istilah prestasi. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara 2 (dua) pihak tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara para pihak
yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji, atau kesanggupan yang diucapkan
maupun ditulis. Dengan hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan. Pada Pasal 1233 KUHPerdata
dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik
karena undang-undang”.
19
17
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. hal. 338.
18
Ibid hal. 11.
Dalam hal ini ditegaskan bahwa setiap kewajiban
perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam
perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, ataupun karena ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti
bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu
pihak dalam hubungan hukum tersebut”.20
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain, atau dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu”.
Selain Wiryono Prodjikoro, ada beberapa sarjana yang memberikan rumusan
tentang defenisi perjanjian, antara lain:
Menurut R. Subekti,
21
Beliau juga mengatakan “bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena 2 (dua) pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat juga dikatakan
bahwa 2 perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.22
Adapun pengertian perjanjian menurut K. R. M. T Tirtodiningrat yang
dikutip oleh Mariam Darus
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persetujuan dan perjanjian
mempunyai pengertian yang sama, yaitu sama-sama memberikan keterikatan
kepada para pihak agar janji yang telah disepakati dapat dilaksanakan bagi para
pihak.
23
20
Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.
21
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Cetakan XII, Jakarta, 1990, hal. 29.
22
Ibid, hal. 12.
23
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 6.
, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat diantara 2 (dua) orang atau lebih untuk menimbulkan
Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian adalah
sumber utama dan yang terpenting untuk melahirkan perikatan. Dimana terdapat
berbagai unsur-unsur yang penting dari suatu perjanjian yang melahirkan
perikatan, unsur-unsur tersebut adalah:
1. Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekat hak
pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lannya. Apabila satu
pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi lalu hukum
memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali.
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum
memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi.
2. Kekayaan
Kriteria perikatan yang dimaksud adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan
terhadap sesuatu hubungan hukum saling hubungan hukum dapat disebutkan
suatu perikatan. Dahulu yang menjadi kriteria itu adalah hubungan hukum itu,
dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat
dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu
perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan
keberadaannya, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum
yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak
diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, sehingga hal pun
ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai
sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu
tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan
menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun
akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
3. Pihak-pihak
Hubungan hukum itu terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih pihak yang berhak
atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak
yang wajib memenuhi prestasi, pihak pasif adalah debitur atau yang berutang.
Inilah yang disebut subjek perikatan.
4. Prestasi (objek hukum)
Pasal 1234 KUHPerdata:”tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Keempat unsur tersebut akan mewujudkan suatu perjanjian yang
mewujudkan suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, dimana terdapat
hubungan-hubungan hukum yang terjadi atas diri dan harta kekayaan para pihak
yang mengadakan perjanjian. Sedang disisi lain hukum meletakkan hak pada satu
pihak lain dan meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. “Apabila satu pihak
tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi atau dalam bahasa hukum
disebut wanprestasi maka hukum memaksakan supaya hubungan tersebut
dipenuhi atau dipulihkan”.24
Jadi jelasnya bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang
terpenting. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua
24
orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sedangkan perikatan yang
lahir dari undang-undang dibentuk menurut undang-undang di luar kemauan para
pihak yang bersangkutan. Apabila dua pihak mengadakan suatu suatu perjanjian
maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perhubungan
hukum, yang sesungguhnya para pihak yang membuat perjanjian tersebut terikat
satu sama lain karena janji-janji yang telah diberikan.
B.Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dikatakan mempunyai kekuatan yang mengikat
maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. KUHPerdata
menentukan 4 (empat) syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan
dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.
Adapun keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata
adalah:
1. Adanya kata sepakat dari para pihak
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal yang tertentu
4. Adanya suatu sebab yang halal
Keempat syarat tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a. Syarat subjektif, yaitu: syarat yang menyangkut subjek dari perjanjian itu,
yang harus dipenuhi oleh para pihak yaitu apakah orang itu telah sepakat
b. Syarat objektif, yaitu: syarat-syarat yang menyangkut pada objek perjanjian
yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.25
Berikut ini dapat dijelaskan yang merupakan syarat-syarat sahnya
perjanjian, yaitu sebagai berikut:
1) Adanya kata sepakat dari para pihak
Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti
bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak
tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi
perwujudan kehendak tersebut.26
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui antar para pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan sesuatu hal kepada pihak lain dinamakan tawaran. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi. Objek yang diperjanjiakan harus jelas baik mengenai bentuknya, tujuannya, maupun asal-usul dari objek yang diperjanjikan berasal dari suatu sebab yang sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.27
a) Salah pengertian atau kekeliruan
Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menjelaskan:
tidak dianggap sah suatu persetujuan jika izin kesepakatan tersebut diberikan
karena:
b) Pemerasan, dipaksakan
c) Adanya penipuan.
Persetujuan yang diberikan oleh karena salah pengertian, dan penipuan,
berarti dalam persetujuan yang diberikan jelas merupakan pesetujuan
25
Wan Sadjaraddin Barus, Beberapa Sendi HukumPerikatan, Penerbit USU Press, 1992, hal. 28-29
26
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 73.
27
kehendak yang cacat. Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan
pembatalan, tapi bukan batal dengan sendirinya.
Mengenai salah duga atau salah pengertian yang dapat dibatalkan harus
mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Salah pengertian mengenai
orangnya tidak menyebabkan persetujuan dapat batal (Pasal 1322
KUHPerdata). Dengan demikian salah duga atau salah pengertian yang
menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai:
1. Pokok atau maksud objek persetujuan
2. Kedudukan hukum subjek yang membuat persetujuan
3. Hak subjek hukum yang bersangkutan.
Mengenai paksaan yang dapat melenyapkan perizinan dalam persetujuan
adalah paksaan fisik yang bersifat “vis absoluta”. Sedemikian rupa paksaan
kekerasan yang diancamkan, sehingga orang yang bersangkutan tidak
mempunyai pilihan lain selain melakukan perbuatan yang dipaksakan.
Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seseorang
terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksakannya.
Tentang penipuan adalah apabila perizinan yang diberikannya dalam
persetujuan diperoleh dengan jalan penipuan, hal itu juga mengakibatkan
perizinan dalam persetujuan tersebut tidak ada. Penipuan ini harus berupa tipu
muslihat, sehingga sesuatu yang tidak benar berkesan merupakan gambaran
keadaan dan kejadian yang sungguh-sungguh benar tentang suatu hal. Sesuatu
baru dikatakan tipu muslihat apabila:
b. Sesuai dengan taraf pendidikan kecakapan orang yang ditipu. Apabila
yang ditipu seorang yang terpelajar, dengan hanya tipuan yang sangat
rendah dia sudah percaya, tentu dianggap tidak ada penipuan.28
Pasal 1446 KUHPerdata yang berbunyi “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, haruslah dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa telah mendapat pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka”.
2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan ialah
orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Menurut Pasal 1329
KUHPerdata: “setiap orang ialah cakap untuk membuat perikatan-perikatan
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.
Pasal 1330 KUHPerdata:
Tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
a) Orang-orang belum dewasa
b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang
telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
28
Umumnya orang yang mampu melakukan tindakan hukum ialah orang
dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di
bawah pengampuan maupun curatele dan anak di bawah umur.
d) Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Orang-orang dewasa atau di bawah umur hal ini dapat dilihat dalam Pasal
330 KUHPerdata “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin dan apabila perkawinannya
bubar sedangkan belum genap 21 tahun mereka tetap dianggap belum
dewasa”. Selain dalam Pasal 330 KUHPerdata hukum adat dan juga
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang kedewasaan.
Kedewasaan menurut hukum adat didasarkan atas ukuran yang disesuaikan
dengan kenyataan yaitu apabila seseorang telah berkeluarga. Jadi prinsip
kedewasaan seperti hal ini lebih sesuai dengan kepatuhan karena
didasarkan atas keadaan yang nyata yaitu bahwa orang itu benar-benar
sudah mandiri dan dianggap mengerti atau telah cukup mempunyai
kemampuan untuk mengerti konsekuensi dari perbuatannya namun dengan
berpegang teguh pada patokan ini kepastian hukumnya masih kurang.
Mengenai hal wanita yang telah besuami untuk mengadakan suatu
perjanjian ia memerlukan bantuan atau izin dari suaminya hal ini dapat
kita lihat dalam Pasal 108 KUHPerdata, akan tetapi sejak keluarnya
SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama dengan laki-laki
sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap pengadilan
ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi, maka dengan adanya SEMA
Nomor 3 Tahun 1963 maka Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan tidak
berlaku lagi.
3) Mengenai suatu hal yang tertentu
Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya, bahwa objek-objek perjanjian
persetujuan harus mengenai sesuatu yang tertentu. Jadi objek atau prestasi tadi
harus tertentu, sekurang-kurang jenisnya dapat ditentukan baik hal itu
mengenai benda yang berwujud ataupun yang tidak berwujud, seperti yang
dijumpai dalam persetujuan perburuhan, penjaminan ataupun pemberian
kuasa. Objek itu dapat juga berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan
ada:
a. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
Pasal 1332 KUHPerdata: “hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
b. Barang-barang yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum antara
lain: seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan
sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.
c. Dapat ditentukan jenisnya.
Pasal 1333 KUHPerdata: “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
d. Barang yang akan datang
Pasal 1334 KUHPerdata:”barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu”.
e. Objek perjanjian.
4) Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal atau kausa yang diperbolehkan ialah isi dan tujuan.
Pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan
umum openbaar orde dan kesusilaan.29
29
Ibid, hal. 2.
Menurut Pasal 1336 KUHPerdata ”jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi
ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada
yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah”..
Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Secara sah
maksudnya berarti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 1320
KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
Dalam Pasal 1337 KUHPerdata ”suatu sebab adalah terlarang, apabila
berlawanan dengan undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang
penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari
perjanjian, yaitu:
1. Berlaku sebagai undang-undang
Berlaku sebagai undang berarti ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang itulah yang mengatur hubungan para pihak. Isi perjanjian ini dapat
ditentukan oleh debitur sendiri atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan
debitur. Dengan demikian perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat bagi
para pihak yang membuatnya.
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para
pihak tidak terlepas dari tanggung jawab dan akibat yang timbul dari suatu
prestasi yang dipenuhi. Juga para pihak harus memperhatikan
undang-undang. Dengan perkataan lain, para pihak tidak mutlak pada ketentuan
perjanjian.
Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai ke muka hakim dalam
mengadilinya, hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan
2. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak
Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian itu dibuat atas
persetujuan kedua belah pihak lainnya. Namun demikian perjanjian dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan
undang-undang. Tentang alasan-alasan ini, dalam Pasal 1814 KUHPerdata:
”si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu
dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk
mengembalikan kuasa yang dipegangnya”.
3. Pelaksanaan dengan itikad baik
Pelaksanaan dengan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang
mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai
unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan.30
Perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum kekayaan
antara 2 (dua) orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya
harus ada 2 (dua) orang tertentu, misalnya orang itu menduduki tempat yang Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata bukanlah
dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus
mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan, jadi yang
dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu
harus berjalan diatas jalur yang benar.
C. Subjek Hukum Dalam Perjanjian
30
berbeda, satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak
debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur
mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.31
1. pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
Subjek hukum dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang telah terikat
dengan diadakannya perjanjian. KUHPerdata membedakan 3 (tiga) golongan yang
termasuk dalam perjanjian, yaitu:
2. para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya
3. pihak ketiga.32
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak
ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata.
Pasal 1317 KUHPerdata: lagipun diperbolehkan juga untuk meminta
ditetapkannya suatu janji guna untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu
penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu
pemberian yang dilakukannya untuk orang lain, memuat suatu janji yang seperti
itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya
kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak
mempergunakannya”.
Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan hukum,
yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun memiliki
perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan, sedangkan
31
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 15.
32
badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah didaftarkan dan
benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.
D.Jenis-Jenis Perjanjian
Sebelum berbicara mengenai jenis-jenis perjanjian, akan diuraikan terlebih
dahulu mengenai bentuk perjanjian, dalam perjanjian terdapat berbagai bentuk
yang dipandang dari berbagai sudut. Dalam KUHPerdata perjanjian itu tidak
tercakup dalam satu pasal saja, akan tetapi terdapat dalam banyak pasal.
Perjanjian itu dapat dibuat secara tertulis dan secara lisan dan andaikata dibuat
secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Hal
ini dibuat berdasarkan atas kesepakatan para pihak yang saling mengikatkan diri.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perjanjian menurut sifatnya dapat
dibagi atas:
a. perjanjian untuk memberikan sesuatu
b. perjanjian untuk berbuat sesuatu
c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu33
1. Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak
:
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
dan hak bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli dan perjanjian
pemborongan. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu
33
perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Perjanjian jual beli memperlihatkan bahwa pihak yang satu
disebut penjual dan pihak yang lain dinamakan pembeli. Dengan demikian
mencakup 2 (dua) perbuatan timbal balik sesuai dengan namanya jual beli.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang salah satu pihak saja yang
mempunyai hak, sedangkan pihak yang lain hanya mempunyai kewajiban.
Misalnya hibah. Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang dengan
cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seorang yang
menerima penyerahan barang itu. Dari rumusan pasal tersebut jelaslah bahwa
si pemberi hibah itu melakukan hibah tanpa mengharapkan adanya balasan
prestasi.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban
Pasal 1314 KUHPerdata:
Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban,
suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Suatu persetujuan atas beban adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Perbuatan cuma-cuma terjadi menunjukkan adanya sutu prestasi tanpa
dibarengi kontra prestasi. Pihak yang memberikan prestasi tidak
Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang
satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi
itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya A berjanji akan menyanggupi
memberikan sejumlah barang kepada si B dengan syarat si B bersedia
memindahkan satu barang dari satu tempat ke tempat yang lain.
3. Perjanjian Bernama (benoemd overeenkomst)
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang, berdasaran tipe yang paling banyak terjadi
sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUHPerdata.
4. Perjanjian Tidak Bernama (onbenoemde overeenkomst)
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam
masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang
disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, dan perjanjian pengelolaan.
Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.
Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata,
yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
pihak itu untuk meyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Misalnya jual
beli untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan masih
diperlukan adanya penyerahan.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
Dalam contoh diatas perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir
karena membebankan para pihak untuk melakukan penyerahan, sedangkan
penyerahan itu adalah merupakan perjanjian kebendaan.
6. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian diantara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sebagai contoh,
dalam jual beli, jual beli telah dianggap sejak adanya persesuaian harga (Pasal
1458 KUHPerdata).
Perjanjian riil adalah perjanjian yang dianggap mulai semenjak adanya
perbuatan hukum dari apa yang diperjanjikan. Misalnya dalam perjanjian
penitipan barang, perjanjian mulai mengikat semenjak mengikat seseorang
menerima barang sebagai titipan dari orang lain (Pasal 1694 KUHPerdata).
7. Perjanjian yang Istimewa Sifatnya
a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang mana para pihak membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (Pasal 1438
KUHPerdata)
b. Perjanjian pembuktian, yaitu para pihak yang menentukan pembuktian
apakah yang berlaku diantara pihak-pihak tersebut.
c. Perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya
mengenai untung ruginya bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak
tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu atau objeknya ditentukan
kemudian (Pasal 1774 KUHPerdata).
d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta. misalnya perjanjian ikatan
dinas.
E. Berakhirnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian berarti semua pernyataan kehendak atau semua hal
yang diperjanjikan antara para pihak, terhapus. Dengan demikian status para pihak
kembali kepada keadaan semula, keadaan sebelum para pihak mengadakan
perjanjian, dimana diantara para pihak seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Hapusnya perjanjian sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan
Banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian, misalnya
dengan cara membayar harga barang yang dibeli ataupun dengan cara
mengembalikan barang yang dipinjam.
Adapun cara-cara penghapusan perjanjian menurut Pasal 1381
KUHPerdata, adalah:
1. Karena pembayaran
Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara
sukarela artinya tidak dengan paksaan.
“Dalam hal ini pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran dalam arti
luas, yang meliputi tidak saja pembayaran berupa uang, melainkan juga
penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Dengan pernyataan lain,
pelaksanaan perjanjian”.34
2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi)
Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilakukan oleh yang bersangkutan
saja. Namun, Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat
dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak
mempersoalkan siapa yang harus membayar akan tetapi yang terpenting
adalah utang itu harus dibayar.
Konsignasi adalah suatu cara pembayaran untuk menolong debitur dalam
hal si kreditur menolak pambayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi
34
bilamana si kreditur menolak (tidak mau) menerima pembayaran, maka
debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan
uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau
panitera membuat perincian barang-barang atau uang yang harus dibayarkan
selanjutnya menjumpai kreditur untuk melakukan pembayaran. Bila kreditur
menolak, maka dipersilahkan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani
berita acara. Jika kreditur menolak juga maka hal ini dicatat dalam berita acara
tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang
ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi
disahkan. Apabila telah disahkan, maka debitur terlepas dari kewajibannya
dan perjanjian dianggap hapus.35
3. Karena pembaharuan utang
Pembaharuan utang adalah peristiwa hukum dalam suatu perikatan diganti
dengan perikatan lain. Dalam hal ini para pihak mengadakan suatu perjanjian
dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang
baru.36
a. Novasi Objektif
Novasi dapat terjadi atas beberapa bentuk sesuai dengan pembaharuan
yang dilakukan oleh:
Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjiannya (objek) sedangkan para
pihak tetap.
35
b. Novasi Subjektif
Dalam hal ini kebalikan dari novasi objektif, dimana objeknya tetap dan
yang berubah adalah subjeknya.37
4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang
Hal ini terjadi apabila para pihak, yaitu kreditur dan debitur, saling
mempunyai utang dan piutang, maka diadakan perjumpaan utang untuk suatu
jumlah yang sama. Hal ini terjadi apabila antara kelompok utang berpokok
pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis
yang sama dan yang keduanya dapat ditetapkan serta ditagih seketika.
Undang-undang menentukan bahwa kompensasi itu terjadi demi hukum
akan tetapi bila dilihat Pasal 1430, Pasal 1432 dan Pasal 1435 KUHPerdata,
maka kompensasi menghendaki adanya aktivitas dari pihak-pihak yang
berkepentingan.38
5. Karena percampuran utang
Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur
dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan
kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi
percampuran utang sesuai dengan Pasal 1436 KUHPerdata.39
6. Karena pembebasan utang
Hal ini terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak
menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh debitur. Apabila debitur
37
Ibid, hal. 49 .
38
Ibid, hal. 50.
39
menerima pernyataan kreditur maka berakhirlah perjanjian utang piutang
diantara pihak tersebut.
Namun demikian pembebasan utang tidak dapat terjadi hanya dengan,
tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya bukti yang kuat maka
pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur. Misalnya dengan
mengembalikan surat piutang kepada debitur.40
7. Karena musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang-barang yang menjadi utang debitur diatur dalam Pasal
1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata. Debitur wajib membuktikan bahwa
musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan
musnah atau hilang juga meskipun di tangan debitur. Jadi dalam hal ini si
debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang
tersebut agar tetap berada dalam keadaan semula.41
8. Karena kebatalan atau pembatalan
Syarat perjanjian akan hapus apabila ada suatu pembatalan maupun
dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan ataupun batal demi hukum.
Karena jika lihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian dianggap tidak
pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada, akan
tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak
kembali kepada keadaan semula.42
40
Ibid .
41
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
Syarat batal yang dimaksud syarat disini adalah ketentuan isi perjanjian
yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian itu menjadi lenyap.43
10.Karena lewatnya waktu
Lewatnya waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946
KUHPerdata).44
43
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 72.
44
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN
Dalam melaksanakan suatu pekerjaan, pada umumnya pemberi pekerjaan
memborongkan pekerjaannya kepada pihak lain yang dianggap lebih mampu dan
sudah merupakan pekerjaan atau bidang usahanya. Proyek pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta biasanya dilaksanakan dengan
cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak lain.
Dalam rangka pemberian pekerjaan ini, diperlukan hubungan kerja yang
menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian. Perjanjian kerja ini erat kaitannya
dengan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi
hukum perjanjian pemborongan pekerjaan termasuk dalam lapangan hukum
perikatan yang sudah barang tentu tunduk pada aturan-ataran hukum perjanjian
yang diatur dalam hukum perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk menjaga terjadinya sengketa dikemudian hari karena adanya kesalah-
pahaman antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan
maka perjanjian pemborongan pekerjaan supaya dibuat dengan pihak yang
melakukan pekerjaan maka perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat dalam
perjanjian tertulis yang menetapkan tentang batas yang jelas terhadap hak dan
A. Pengertian Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan pekerjaan merupakan suatu bentuk perjanjian
yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yang ketentuannya terdapat dalam
Bab VIIA yang secara keseluruhan mengatur tentang perjanjian-perjanjian untuk
melakukan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal
1601b, 1604 sampai dengan 1616 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1601b KUHPerdata, “pemborongan pekerjaaan adalah
persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang
memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.
Defenisi perjanjian pemborongan disini kurang tepat, menganggap
perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si pemborong hanya
mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hak saja. Sebenarnya
perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yang memiliki hak dan
kewajiban.
Berikut defenisi perjanjian yang benar sebagai berikut pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.45
45
Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Yogyakarta, 1996, hal. 4.
1. Bahwa yang mebuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang
terkait dalam perjanjian pemborongan adalah 2 (dua) pihak saja, yaitu pihak
kesatu disebut yang memborongkan, dan pihak kedua disebut pemborong.
2. Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya.
KUHPerdata Bab VIIA mengatur tentang perjanjian melakukan pekerjaan,
yang membagi perjanjian melakukan pekerjaan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Perjanjian kerja atau perburuhan
b. Perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu
c. Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Ketiga perjanjian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu
melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah.
Perjanjian kerja atau per