PENGGUNAAN HORMON IBA TERHADAP
PERTUMBUHAN STEK EKALIPTUS
KLON IND 48
HASIL PENELITIAN
DELIMA NABABAN
041202031/BUDIDAYA HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Penggunaan Hormon IBA terhadap Pertumbuhan Stek
Ekaliptus Klon IND 48
Nama : Delima Nababan
NIM : 041202031
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Afifuddin Dalimunthe, SP, MP
Ketua Anggota
Dr. Budi Utomo, SP, MP
Mengetahui :
ABSTRACT
Delima Nababan. The Use of IBA Hormone to the Growth Eucalyptus Clone
IND 48. Under Academic Supervision by Afifudin Dalimunthe and Budi Utomo.
This research purposed to get the affect of using IBA hormone to the growth eucalyptus clone IND 48. This research was hold on September until December 2008 in Nursery Asahan PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Porsea. The research is the use the non factorial chuster random design with ten time replay. The parameter that observed in this research is the clone loring percentage the rootted clone percentage the shoot height, the shoot diameter and dried root weighten the research of result showed that in giving the IBA hormone in kinds of concentration will affect different unread in the shoot length and shoot diameter from that clone and in 2000 ppm concentration will be better the result than in 4000 ppm and 8000 ppm concentration.
ABSTRAK
Delima Nababan. Penggunaan Hormon IBA terhadap Pertumbuhan Stek
Ekaliptus Klon IND 48. Dibimbing oleh Afifudin Dalimunthe dan Budi Utomo.
Penelitian ini untuk melanjutkan respon penggunaan hormon IBA terhadap pertumbuhan stek ekaliptus klon IND 48. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2008 di lokasi Nursery Asahan PT. Toba Pulp Lestari Tbk, Porsea. Penelitian ini memakai pola rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial dengan hanya sepuluh kali. Parameter yang diamati dari penelitian ini adalah persentase hidup dari stek, persentase stek berakar, tinggi tunas, diameter tunas dan berat kering akar. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya pemberian hormon IBA dalam berbagai konsentrasi akan berpengaruh tidak berbeda nyata pada panjang tunas dan diameter dari stek pucuk tersebut dan pada konsentrasi 2000 ppm akan lebih baik hasilnya dibanding pada konsentrasi 4000 ppm dan 8000 ppm.
Kata Kunci : Stek pucuk, hormon IBA, ekaliptus, konsentrasi, klon.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah penggunaan hormon IBA dapat meningkatkan
persentase tumbuh stek ekaliptus.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP, MP dan Bapak Dr. Budi Utomo, SP,
MP selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran.
2. Ayahanda Amser Nababan dan Ibunda Rosintan Lubis serta seluruh
keluarga penulis atas segala doa dan perhatiannya.
3. PT. Toba Pulp Lestari yang telah memberikan izin buat penulis untuk
melakukan penelitian dan pihak Nursery and Plantation Departemen.
4. Kepada seseorang yang telah memberikan motifasi, semangat, dan
dukungan doa kepada penulis dari awal sampai berakhirnya skripsi ini.
5. Teman-teman mahasiswa Departemen Kehutanan terkhusus angkatan
2004.
Penulis menyadari kekurangan karena keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan penulis, untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.
Atas semua bantuan tersebut diatas penulis tidak dapat membalasnya, doa
penulis kiranya Tuhan Yang Maha Kuasalah yang selalu memberkati dan yang
akan membalaskannya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Maret 2009
DAFTAR ISI
Peranan Hormon atau Zat Pengatur Tumbuh dalam Perakaran Stek ... 11
Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN ... 29
Kesimpulan ... 29 Saran ... 29
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Shedule Penyiraman Bibit pada Cuaca ... 18
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Grafik Persentase Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)... 20
2. Grafik Persentase Stek Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus
grandis x Eucalyptus pellita) ... 21
3. Grafik Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) ... 22
4. Grafik Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) ... 23
5. Grafik Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Rataan, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik Ragam Persentase
Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita) ... 33
2. Rataan, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik Ragam Persentase
Stek yang Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) ... 34
3. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik Ragam
Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) ... 35
4. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik
Ragam Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) ... 36
5. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik
Ragam Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan kayu sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas terus
mengalami peningkatan. Meningkatnya kebutuhan kayu seiring dengan
bertambahnya penduduk setiap tahun. Peningkatan kebutuhan ini harus diimbangi
dengan ketersediaan produksi kayu yang mencukupi dengan memperhatikan
keseimbangan alam. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu alternatif
pemecahannya adalah dengan pengembangan Hutan Tanaman Industri atau HTI
(Khaerudin, 1993).
Dengan bertambahnya permintaan terhadap kayu ekaliptus maka perlu
dilakukan penyediaan bibit yang cukup dan berkualitas serta tepat guna
produksinya dan pemenuhan kebutuhan akan permintaan kayu ekaliptus dapat
berjalan dengan baik. Agar bibit tetap tersedia maka perlu dilakukan tindakan
perbanyakan atau pembudidayaan tanaman. Menurut Widarto (1999) secara garis
besar perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi perbanyakan secara
generatif dan secara vegetatif.
Perkembangbiakan secara vegetatif merupakan alternatif yang perlu
diperhatikan, salah satunya adalah dengan cara stek. Perkembangbiakan dengan
cara stek diharapkan dapat menjamin sifat-sifat yang sama dengan induknya.
(Astuti, 2000).
Salah satu usaha untuk meningkatkan persentase pertumbuhan stek adalah
Butyric Acid) merupakan salah satu jenis hormon yang digunakan untuk
merangsang pembentukan akar. Saat ini dosis hormon IBA yang digunakan di PT.
Toba Pulp Lestari adalah 10.000 ppm dengan pertumbuhan 60-70 %. Hingga kini
belum ada penelitian tentang dosis IBA yang tepat untuk pertumbuhan ekaliptus.
Menurut penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya di PT. Toba
Pulp Lestari, bahwa hasil persilangan stek Eucalyptus grandis x Eucalyptus
pellita mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan
jenis ekaliptus lainnya. Untuk itu pemberian hormon IBA sangat berperan penting
dalam pertumbuhannya.
Tujuan Penelitian
Mencari dosis hormon IBA yang tepat untuk meningkatkan persentase
tumbuh stek ekaliptus.
Hipotesis Penelitian
Penggunaan dosis 10.000 ppm masih terlalu tinggi, masih ada dosis yang
lebih rendah yang mampu meningkatkan pertumbuhan stek ekaliptus tetapi dosis
belum diketahui.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan
informasi ataupun masukan bagi PT. Toba Pulp Lestari untuk mendapatkan dosis
yang tepat untuk merangsang pertumbuhan stek ekaliptus dan mendapatkan bibit
TINJAUAN PUSTAKA
Penyebaran dan Syarat Tumbuh Ekaliptus
Daerah penyebarannya meliputi Australia, New Britain, Papua dan
Tasmania. Namun ada juga beberapa spesies yang ditemukan di Irian Jaya,
Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Timor-timur. Tanaman ini bertajuk tidak
rapat, tingginya bervariasi menurut jenisnya (Khaerudin, 1993).
Umumnya Eucalyptus sp. tumbuh baik pada jenis alluvial kecuali E.
saligna yang memerlukan jenis tanah podsol, kelembaban tinggi dan tergenang
air. Ketinggian tempat yang sesuai untuk ekaliptus berbeda-beda. Untuk tumbuh
baik, ekaliptus menghendaki iklim yang berbeda-beda menurut jenisnya. Jenis
Eucalyptus grandis dan Eucalyptus pellita menghendaki daerah beriklim kering
dan tipe iklim C, D, dan E menurut Shmidt dan Ferguson (Khaerudin, 1993).
Menurut Nurcahyaningsih (2004) Eucalyptus pellita merupakan jenis
tanaman cepat tumbuh yang berpotensi besar dalam pembangunan hutan tanaman
industri (HTI). Ukuran pohon bervariasi dari pohon kerdil dengan percabangan
yang banyak sampai pohon besar dengan tinggi mencapai 10 m dengan diameter
lebih dari 100 cm.
Taksonomi IND 48
Klon IND 48 merupakan hasil perkawinan silang Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita. IND 48 merupakan varieras tanaman ekaliptus yang ditemukan
oleh pihak R & D PT. Toba Pulp Lestari (Sirait K. 24 September 2008,
Taksonomi dari clone IND 48 adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermathophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Dikotyledon
Ordo : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Eucalyptus
Species : Eucalyptus pellita
Varietas : Eucalyptus pellita x Eucalyptus grandis (IND 48)
Sistem Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif
Perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah perbanyakan tanaman tanpa
melalui proses perkawinan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat
dilakukan dengan mengambil bagian dari tanaman, misalnya batang, daun, umbi,
spora, dan lain-lain. Perbanyakan secara vegetatif dapat dilakukan mulai dari cara
yang paling sederhana seperti stek, cangkok, merunduk, dan lain-lain, hingga cara
yang rumit, misalnya perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan
(Widarto, 1995).
Umumnya semua jenis tanaman dapat dibiakkan secara generatif atau
tanaman dapat melakukannya secara alami, tetapi pada perbanyakan vegetatif
beberapa jenis pohon memerlukan kondisi khusus untuk dapat melaksanakan
secara vegetatif (Subiakto et al., 2000 diacu dalam Veronica, 2005).
Penggunaan teknologi perbanyakan vegetatif umumnya didasarkan
pertimbangan-pertimbangan berikut ini: (1) sulitnya diperoleh benih secara
kesinambungan akibat ketidak teraturan musim pembungaan serta masa simpan
benih singkat, (2) mendapatkan perolehan genetik (genetic gain) secara
maksimum khususnya dalam program penghutanan klonal (clonal forest), (3)
pembangunan kebun benih klonal dari pohon induk unggul dan (4) konservasi
genetik melalui bank clone (Subiakto et al., 2000 diacu dalam Veronica, 2005).
Bibit stek diperoleh dengan memisahkan atau memotong beberapa bagian
dari tanaman, seperti akar, batang, daun, dan tunas dengan maksud agar
bagian-bagian tersebut membentuk akar. Kelebihan dari cara perbanyakan ini adalah
caranya sederhana (tidak memerlukan teknik-teknik tertentu yang rumit) dan bibit
yang diperoleh mewarisi sifat-sifat yang dimiliki induknya. Kelemahannya adalah
tidak banyak jenis tanaman yang dapat diperbanyak dengan cara ini sehingga
penggunaannya terbatas (Setiawan, 2001).
Menurut Adjers dan Otsamo (1996), perbanyakan vegetatif memiliki
keunggulan antara lain sebagai alternatif metoda lain guna menanggulangi
masalah pembuahan yang tidak teratur dan kehilangan daya kecambah secara
cepat pada biji, memiliki peluang memperbaiki produksi tanaman dari seleksi
pohon induk dan untuk meningkatkan keuntungan dari tingginya produktifitas
dibuat kebun pangkas (hedge orchad) dimana dari kebun pangkas ini bahan stek
dapat diambil setiap periode tertentu tergantung dari kecepatan dan kemampuan
dari suatu jenis untuk membentuk pucuk baru dan waktunya stek diperlukan
(Irwanto, 2003).
Bahan tanam untuk perbanyakan secara vegetatif sebaiknya berasal dari
pohon induk yang telah diketahui silsila, tingkat pertumbuhan, serta kualitas dan
kuantitas produksi buahnya. Untuk stek, bagian vegetatif yang digunakan adalah
batang, daun, akar, umbi. Pohon induk adalah tanaman yang dijadikan bahan awal
untuk kegiatan perbanyakan tanaman. Pohon induk dipilih dari tanaman yang
sudah jelas asal usul dan keunggulan sifatnya, baik dari segi pertumbuhan,
kuantitas dan kualitas potensi produksi, maupun ketahanannya terhadap hama dan
penyakit (Redaksi Agromedia, 2007).
Seperti halnya mencangkok, dari perbanyakan dengan cara stek juga
diperoleh tanaman baru yang mempunyai sifat seperti induknya. Sifat ini meliputi
ketahanan terhadap hama dan penyakit, rasa buah, warna dan keindahan bunga
dan sebagainya. Tetapi bila dibandingkan dengan cangkokan, stek mempunyai
kelebihan. Kalau cangkok memerlukan bantuan pohon induk untuk
menumbuhkan akar-akarnya sampai mampu berdiri sendiri, tetapi stek tidak
demikian. Stek dengan kekuatan sendiri akan menumbuhkan akar dan daun
sampai menjadi tanaman sempurna dan mampu menghasilkan bunga dan buah
(Wudianto, 2000).
Kusumo (1984), menyatakan perakaran yang timbul pada stek disebabkan
batang adalah sumber auksin dan merupakan faktor penting dalam perakaran. Stek
sering didefenisikan sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa
bagian tanaman (akar, batang, daun, tunas) dengan tujuan agar bagian-bagian itu
membentuk akar. Berdasarkan itu munculah istilah stek akar, stek daun, stek
batang, stek umbi dan sebagainya (Wudianto, 2000).
Stek pucuk merupakan metoda perbanyakan vegetatif dengan cara
menumbuhkan terlebih dahulu tunas-tunas aksilar pada media tumbuh
dipersemaian hingga tunas tersebut berakar (rooted cutting) sebelum semai yang
dihasilkan ditransfer ke lapangan. Keberhasilan stek pucuk tergantung beberapa
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya adalah tingkat ketentuan
donor stek, kondisi fisiologi stek, waktu pengumpulan stek dan lain sebagainya.
Adapun yang termasuk faktor luar antara lain adalah media perakaran, suhu,
kelembaban, intensitas cahaya dan hormon pengatur tumbuh (Na’iem, 2000).
Jumlah kadar auksin yang terdapat pada organ stek bervariasi. Pada stek
yang memiliki kadar auksin lebih tinggi, lebih mampu menumbuhkan akar dan
menghasilkan persen hidup stek lebih tinggi daripada stek yang memiliki kadar
yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah jenis hormon
penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi sebagai katalisator dalam
metabolisme dan berperan sebagai penyebab perpanjangan sel (Alrasyid dan
Widiarti, 1990).
Produksi bibit dalam jumlah yang banyak dapat diperoleh melalui stek
pucuk. Stek merupakan perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan
tanaman induknya, kemudian diusahakan untuk menumbuhkan tunas aksiler pada
media tumbuh di persemaian, setelah stek tersebut berakar menjadi tanaman yang
tumbuh sebagai bibit sebelum dipindahkan ke lapangan. Stek biasanya dilakukan
pada tanaman yang berkayu, karena tanaman tersebut memiliki lapisan xylem,
floem dan kambium sebagai terbentuknya akar. Stek pucuk adalah stek yang
dibuat dari hasil pangkasan bagian pucuk/jaringan tanaman yang berumur muda
(juvenil). Bahan stek pucuk biasanya diambil dari tanaman donor stock plant di
kebun pangkas yang ada di persemaian (Basiang, 2008).
Menurut Basiang (2008), pada saat pembuatan bahan stek pucuk yang
harus diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Bahan untuk stek diambil pada saat intensitas cahaya dan suhu relatif
masih rendah karena bahan stek pucuk sangat rentan terhadap udara panas.
2. Panjang tunas untuk bahan stek pucuk biasanya cukup satu ruas dan yang
jaringan tanamannya telah kuat (tidak lunak) atau 2 bulan - 4 bulan setelah
pemangkasan.
3. Daun pada stek harus dikurangi dengan cara dipotong dan disisakan
sekitar 25% pada pangkal daun, hal ini untuk mengurangi terjadinya
penguapan yang berlebihan pada bahan stek yang dapat menyebabkan
kematian pada stek.
4. Penggunaan hormon/ZPT (zat pengatur tumbuh) dengan bahan aktif,
sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan bahan stek (dilihat dari jenis
tanaman bahan stek serta jenis dan konsentrasi hormon/ZPT yang
5. Untuk mencegah bahan stek agar terhindar dari penyakit yang bisa
disebabkan oleh cendawan/jamur maupun mikroba-mikroba pengganggu
lainnya, sebaiknya dilakukan sterilisasi media yang akan digunakan, yaitu
dengan cara pemanasan/penjemuran, pembakaran atau dimasak pada suhu
tertentu atau bisa juga dengan menggunakan fungisida berbahan aktif.
6. Rentang waktu antara pengambilan, pembuatan bahan stek pucuk sampai
ke penanamannya pada media sebaiknya jangan terlalu lama.
Persyaratan media yang baik bagi pertumbuhan adalah ringan, tidak
mahal, mempunyai komposisi yang seragam serta mudah tersedia. Selain itu harus
mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi, mampu menyimpan air
serta bebas hama penyakit (Veronika, 2005).
Jenis media stek yang digunakan dapat berupa media padat ataupun cair.
Media padat yang biasanya digunakan adalah pasir, tanah, gambut, vermikulit.
Persyaratan penting adalah kegemburannya dan pH media sekitar 5-6. Dibanding
sifat kimia media sifat fisik dari media menentukan keberhasilan sistem stek.
Media yang baik haruslah mempunyai sifat fisik yang baik. Media yang
mempunyai sifat fisik yang baik yaitu memiliki struktur yang remah, daya serap
serap dan daya simpan air baik, serta kapasitas udaranya cukup. Selain itu media
tersebut haruslah mengandung bahan organik (Khaeruddin, 1999).
Media stek harus selalu dijaga kelembabannya. Stek yang ditanam dalam
wadah, tingkat kelembaban medianya dapat dilihat dari titik-titik air yang
menempel pada plastik atau kaca penutupnya. Tidak adanya titik air pada tempat
itu menandakan bahwa media telah kering. Cara mengatasinya dengan menyirami
Menurut Sukandarrumidi (1995) dibanding dengan peranan media top soil
(tanah lapisan atas) yang sekarang masih digunakan sebagai media semai, lahan
gambut lebih baik sebagai media semai. Kelemahan media top soil antara lain
sistem perakaran bibit kurang kompak dengan medianya, berat persatuan bibit
relatif tinggi, banyak terjadi kerusakan/kematian pada saat pengangkutan bibit ke
lapangan. Partikel-partikel pasir ukurannya jauh besar dibandingkan dengan
partikel-partikel debu dan liat. Jika semakin tinggi persentase pasir dalam tanah,
semakin banyak ruang pori-pori diantara partikel-partikel tanah semakin
memperlancar gerakan udara dan air (Hakim et al., 1986).
Menurut Kosasih et al., (1997) selain itu ada juga beberapa faktor penentu
keberhasilan stek pucuk yaitu:
1. Cahaya dan Kelembaban
Cahaya dan kelembaban merupakan faktor lingkungan yang utama yang
juga menetukan keberhasilan pembentukan akar pada stek pucuk. Cahaya yang
memadai berjumlah 5000 lux dengan intensitas optimum sekitar 50 persen
diperlukan untuk proses fotosintesis dan kelembaban tinggi >80% adalah kondisi
ideal untuk menekan transpirasi yang berlebihan.
2. Temperatur
Temperatur media ideal bagi pembentukan akar berkisar 200C – 300C,
Peranan Hormon atau Zat Pengatur Tumbuh dalam Perakaran Stek
Hormon tumbuh (plant hormon) adalah zat organik yang dihasilkan oleh
tanaman, yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologis.
Hormon biasanya bergerak dari bagian tanaman yang menghasilkan menuju
tanaman lainnya. Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator), adalah
senyawa organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung,
menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh
dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu auksin, gibbellerin, cytokinin,
ethylene, dan inhibitor dengan ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap
proses fisiologis (Abidin, 1982).
Hormon auksin banyak disusun di jaringan-jaringan meristem di dalam
ujung-ujung tanaman seperti tunas, kuncup bunga, pucuk daun, dan lain-lainnya
lagi. Maka auksin yang dibuat di beberapa tempat tertentu didistribusikan di
seluruh bagian tanaman, akan tetapi tidak semua bagian mendapatkan bagian yang
sama. Pusat pembentukan auksin adalah ujung koleoktil (ujung tunas). Auksin
yang terbentuk di puncak koleoktil beredar ke bagian-bagian yang ada dibawah
koleotil, jadi auksin mengalir dari puncak ke dasar. Auksin berfungsi untuk
pembentukan akar, perkembangan tunas, pembentukan buah dan juga untuk
pengembangan sel (Dwidjoseputro, 1994).
Menurut Lakitan (1995), setelah semakin banyak hormon yang berhasil
diidentifikasi dan setelah pengaruh serta konsentrasi internalnya dipelajari, maka
semakin jelas bahwa hormon tidak hanya berpengaruh pada banyak bagian
interaksi dengan hormon - hormon lain yang telah diketahui dan mungkin juga
interaksi dengan hormon lain yang belum diketahui. Jika auksin digunakan secara
eksternal pada tumbuhan tertentu, pada konsentrasi yang jauh lebih
tinggi daripada konsentrasi untuk mendorong pertumbuhan, maka faktor
pertumbuhan ini mengganggu metabolisme dan perkembangan dari tumbuhan itu
(Heddy, 1983). Pada kadar rendah tertentu hormon/zat tumbuh akan mendorong
pertumbuhan, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi akan menghambat
pertumbuhan, meracuni, bahkan mematikan tanaman (Kusumo, 1984).
Menurut Abidin (1982), bahwa dengan membuang pucuk tanaman akan
terjadilah hambatan pada pertumbuhan pucuk tanaman tersebut. Tetapi keadaan
sebaliknya terjadi pada akar. Apabila ujung akar dibuang, ternyata keadaan
tersebut tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akar. Di dalam pola
pertumbuhan tanaman, pertumbuhan ujung batang yang dilengkapi dengan daun
muda apabila mengalami hambatan, maka pertumbuhan tunas akan tumbuh kea
rah samping yang dikenal dengan “tunas lateral”. Misalnya saja terjadi
pemotongan pada ujung batang/pucuk, maka akan tumbuh tunas pada ketiak daun.
Fenomena ini kita namakan “apical dominance”.
Jumlah kadar auksin yang terdapat pada organ stek bervariasi. Pada stek
yang memiliki kadar auksin lebih tinggi, lebih mampu menumbuhkan akar dan
menghasilkan persen hidup stek lebih tinggi daripada stek yang memiliki kadar
yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah jenis hormon
penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi sebagai katalisator dalam
metabolisme dan berperan sebagai penyebab perpanjangan sel (Alrasyid dan
Kusumo (1984) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang turut
mempengaruhi keberhasilan pemberian hormon diantaranya adalah:
(a) Kondisi pohon induk seperti umur, kesuburan dan bagian stek yang diambil.
(b) Faktor dalam seperti rhizokalin dan zat makanan organik.
Manfaat Penggunaan Hormon IBA (Indole Butyric Acid)
Menurut Wattimena (1987), zat pengatur tumbuh dapat dibagi beberapa
golongan, yaitu auksin, sitokinin, gibberellin, ethylene, dan inhibitor.
Hormon-hormon ini masuk dalam golongan auksin yaitu IAA (Asam Indol Asetat), NAA
(Asam Naftalena Asetat), dan IBA (Asam Indol Butirat). Hormon yang ada pada
tanaman ini jumlahnya sedikit, maka perlu ditambah. Dengan demikian,
pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat (Wudianto, 1999).
Indole-3-Butyric Acid (IBA) kelihatan sangat lebih praktis dari jenis
auksin (IAA) dan sangat efektif dalam inisiasi akar dan merangsang pertumbuhan
batang dan daun. IBA berbentuk tepung berwarna putih atau kristal-kristal yang
bersatu, dimana menunjukkan suatu reaksi yang mempunyai karakteristik dari
senyawa anorganik lain. IBA tidak dapat dicairkan dengan air biasa tapi dapat
dipecahkan dengan larutan organik alkali dan karbon. Dalam bidang pertanian
IBA digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman dan pematangan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2008
di lokasi Nursery Asahan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Desa Sosor Ladang
Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayakan, lempengan kuali,
mesin pengaduk semen, tube, gunting stek, alat untuk mengontrol waktu
penyiraman (watery timer control), ember, timbangan elektrik, gelas ukur, oven,
jangka sorong, penggaris, alat tulis, termometer bola basah-bola kering serta
kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman induk
(Mother plant) IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita), hormon IBA,
air, media pasir, media cocopeat, kantong dari kain kasa.
Metode Penelitian
Percobaan ini dilakukan dangan menggunakan pola rancangan acak
kelompok (RAK) non faktorial, dengan ulangan dilakukan sebanyak sepuluh kali.
Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari yang di dapat dari media sand box
1-4 pada teras II.
Menurut Hanafiah (2003), model rancangan acak kelompok non faktorial
yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
Yij= µ + i+ j+ ij
dimana : Yij = respon tanaman yang diperoleh dari faktor hormon IBA ke-i pada
ulangan ke-j
µ = nilai rerata (mean) harapan
i = pengaruh perlakuan ke-i dari faktor hormon IBA
j = pengaruh ulangan ke-j dari faktor hormon IBA
ij = pengaruh galat (experimental eror)
Hormon IBA, dengan 6 taraf yaitu :
A = 0 ppm C = 1000 ppm E = 4000 ppm
B = 500 ppm D = 2000 ppm F = 8000 ppm
Apabila hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
maka akan dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT)
Prosedur Penelitian
1. Persiapan Media Perakaran
Media yang dipakai adalah campuran 80% cocopeat dan 20% pasir.
Sebelum dipakai sebagai media stek, pasir diayak dengan ayakan 5 mesh dan
disterilisasi dengan cara menggonseng selama 20 – 30 menit pada suhu 60 0C di
atas lempengan kuali. Sedangkan media cocopeat dihaluskan dan dijemur di
bawah sinar matahari untuk menghindari fungi. Pencampuran cocopeat dan pasir
dilakukan dengan mesin pengaduk semen.
2. Pengisian Tube
Tube yang dipakai berukuran diameter 3 cm, tinggi 12 cm dengan volume
38 cc. Tube ini dibersihkan dengan mesin pembersih tube dan disetrilkan dengan
cara direndam ke dalam air panas (suhu 700C- 900C) selama 5 menit dan diisi
secara manual ke dalam rak. Kemudian tube itu diisi dengan campuran media
cocopeat dan pasir yang telah disiapkan sebelumnya.
3. Pemanenan Coppice
Coppice merupakan cabang dari tanaman induk, dimana bagian cabang ini
akan diambil sebagai bahan yang akan distekkan. Coppice siap panen biasanya
ditandai dengan panjang rata-rata coppice adalah 10-15 cm. Jumlah yang dipanen
biasanya lebih kurang antara 10-12 coppice per pohon induk. Pohon induk atau
mother plant yang dipilih untuk diambil coppice-nya adalah pohon induk yang
mempunyai coppice dari segi morfologi (penampakan dari luar) hampir sama,
Kriteria coppice yang baik untuk digunakan sebagai bahan stek adalah :
• Panjang 25-40 cm
• Daunnya tidak ada gejala serangan penyakit maupun serangan hama.
• Batang masih lentur, belum berkayu.
Coppice yang sudah memenuhi kriteria tersebut dipanen dengan cara
memotong coppice tersebut dengan menggunakan gunting stek. Coppice yang
telah dipanen dimasukkan ke dalam ember yang berisi air setinggi 10-15 cm
sebelum dibawa ke tempat pemotongan. Setelah bahan stek dipisahkan dari pohon
induk, bagian pangkal segera direndam dengan air bersih. Tujuannya agar
jaringan pengangkut tidak berisi udara, dengan demikian bahan stek akan cepat
menyerap air dan mineral dari media.
Coppice yang sudah dipanen diantar ke tempat pemotongan cutting. Cara
kerja :
• Panjang coppice yang dipakai menjadi stek antara 7-12 cm
• Batang coppice berwarna merah tua atau hijau tua
• Batang coppice tidak berbentuk petak
• Cutting sebagai bibit stek ditinggalkan minimal 3 pasang daun sudah
termasuk pucuk dan masing-masing dibuang ½ bagian kecuali daun pucuk
• Coppice harus dijaga agar tidak layu
4. Pemberian Hormon Akar
Ujung cutting yang telah dipotong dicelupkan dengan hormon IBA dalam
5. Penanaman
Setelah ujung cutting dicelupkan dengan hormon akar, maka cutting itu
ditanam ke dalam tube dan dilakukan di lokasi mist house. Penyiraman dilakukan
dengan sistem pengabutan (kelembaban diatur). Cutting berada dalam mist house
selama 25 hari. Selama cutting di mist house harus tetap diperhatikan kelembaban
daun cutting tersebut. Penyiraman dengan watery timer controller diprogramkan
dengan mengatur interval dan lama penyiraman sehingga kelembaban udara
dalam mist house antara 80-90 % seperti yang terdapat pada Tabel 1.
Apabila cuaca terlalu panas, penyiraman dilakukan secara manual agar
kelembaban tetap terjaga dan daun tidak kering dan apabila cuaca terlalu dingin,
maka penyiraman dapat dikontrol agar mist house dan media tidak terlalu lembab.
Untuk menghindari perkembangan jamur, setiap hari daun yang gugur dan cutting
yang mati dikeluarkan dari lokasi penanaman dan di buang. Sesudah stek berumur
25 hari maka stek tersebut akan dipindahkan ke lokasi yang terbuka (open
growing area).
Tabel 1. Schedule Penyiraman Bibit pada Cuaca Normal di Mist House
Umur Bibit
(hari)
Durasi
(detik)
Rotasi
(menit)
1 - 15 25 5
6. Parameter Penelitian
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Persentase Hidup
Persentase yang hidup dapat dihitung pada akhir penelitian dengan
mengguanakan rumus sebagai berikut :
% hidup = x100
2. Persentase Stek Berakar
Persentase stek berakar dapat dihitung pada akhir penelitian dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
% stek berakar = x100%
Untuk parameter tinggi tunas, pengambilan data dilakukan apabila umur
stek sudah mencapai 25 hari setelah hari tanam dengan menggunakan penggaris.
Pengukuran tinggi tunas diukur dari bibir tube sampai titik tumbuh tertinggi.
Tunas yang tumbuh diamati dan diukur panjangnya seminggu sekali untuk setiap
kombinasi perlakuan. Apabila tunas yang lain tumbuh diketiak daun, harus segera
dipotong dengan menggunakan gunting stek untuk menghindari terhambatnya
4. Diameter Tunas
Pengukuran diameter tunas yang tumbuh pada setiap kombinasi perlakuan
dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada bibir
tube yaitu salah satu titik yang telah ditetapkan. Pengambilan data dilaksanakan
sekali dalam seminggu bersamaan dengan pengambilan data parameter tinggi
tunas.
5. Berat Kering Akar
Berat kering akar ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik
yang dilakukan pada akhir penelitian. Sebelumnya bibit yang telah diukur
parameternya dicuci dengan air bersih dan dibersihkan dengan tissue. Kemudian
masing-masing bagian dipisahkan akar, batang, dan daun. Lalu dimasukkan
kedalam kantong kain kasa dari masing-masing bagian. Setelah itu dimasukkan ke
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Persentase Hidup
Setelah jangka waktu 3 bulan, persen hidup stek pucuk IND 48
(Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita) mencapai 93.33 persen. Persen tertinggi
dalam setiap ulangan dapat mencapai 100 persen pada tingkat konsentrasi 500
ppm, 2000 ppm, dan 8000 ppm, sedangkan persen hidup terendah adalah 80
persen pada tingkat konsentrasi 1000 ppm. Data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Gambar 1. Grafik Persentase Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Pada Gambar 1 dapat dilihat grafik pengaruh perlakuan tingkat konsentrasi
hormon IBA terhadap persentase hidup stek pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita). Hasil pengujian statistik pada Lampiran 1 dari persentase
hidup menunjukkan bahwa perlakuan hormon IBA tidak memberikan pengaruh
nyata.
2. Persentase Stek Berakar
Persentase stek berakar pada stek pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita) mencapai 73,33 persen. Persen tertinggi dalam setiap ulangan
mencapai 90 persen pada tingkat konsentrasi 2000 ppm, sedangkan persen
terendah adalah 60 persen pada tingkat konsentrasi 0 ppm atau tanpa pemberian
hormon IBA. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 2. Grafik Persentase Stek Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Pada Gambar 2 dapat dilihat grafik pengaruh perlakuan tingkat konsentrasi
hormon IBA terhadap persentase stek berakar stek pucuk IND 48 (Eucalyptus
grandis x Eucalyptus pellita). Hasil pengujian statistik pada Lampiran 2 dari
persentase stek berakar menunjukkan bahwa perlakuan hormon IBA tidak
memberikan pengaruh nyata.
3. Tinggi Tunas
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, ada beberapa
stek yang mengalami pertambahan tinggi tetapi tidak mempunyai perakaran.
Rata-rata pertambahan tinggi stek yang berakar mencapai 16,4907 cm, dan dalam setiap
satuan percobaan berkisar antara 0,7071 cm sampai dengan 3,6878 cm . Hal ini
dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil pengujian statistik pada
Lampiran 3 bahwa rata-rata pertambahan tinggi stek, menunjukkan bahwa
pemberian hormon IBA tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi stek
Gambar 3. Grafik Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Pada Gambar 3 dapat dilihat grafik tinggi tunas stek pucuk IND 48
(Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita). Rata-rata tinggi tunas tertinggi terdapat
pada perlakuan E (4000 ppm) yaitu 3.2200 cm sedangkan rata-rata tinggi tunas
terendah terdapat pada perlakuan B (500) ppm 2.4907 cm.
4. Diameter Tunas
Pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa rata-rata diameter tunas adalah
7,9286 cm dan nilai tertinggi dari setiap satuan percobaan mencapai 1,6432 cm
sedangkan nilai terendah adalah 0,7071 cm. Hasil pengujian statistik dari rata-rata
jumlah akar stek pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita) pada
Lampiran 4 menunjukkan pengaruh tidak nyata dari perlakuan hormon IBA
terhadap diameter tunas.
Gambar 4. Grafik Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Gambar 4 memperlihatkan bahwa rata-rata diameter tunas tertinggi
terdapat pada perlakuan D (2000) ppm yaitu 1.4533 cm, sedangkan rata-rata
diameter tunas terendah terdapat pada perlakuan B (500) ppm yaitu 1.2383 cm.
5. Berat Kering Akar
Pada Lampiran 5 dapat dilihat rata-rata berat kering akar dapat mencapai
5,5000 gram dan untuk setiap satuan percobaan berkisar antara 0,7071 gram
sampai dengan 1,1651 gram. Hasil pengujian statistik rata-rata berat kering akar
menunjukkan tidak ada pengaruh yang sangat nyata dari pemberian hormon IBA.
Hal tersebut disajikan dengan jelas pada Lampiran 15.
Gambar 5. Grafik Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita
Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata berat kering akar tertinggi
terdapat pada perlakuan F (8000) ppm yaitu 0.9793 gram, sedangkan rata-rata
berat kering akar terendah terdapat pada perlakuan A (0 ppm) yaitu 0.8797.
Pembahasan
Tabel 2. Hasil dari Parameter Pengamatan dan Notasi
Parameter 0
Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian hormon IBA
berpengaruh tidak nyata terhadap peningkatan tinggi tunas dan diameter tunas.
Hal ini bisa terjadi karena auksin yang sudah ada di dalam stek (hormon endogen)
sudah cukup tersedia dan hormon yang diberikan (hormon eksogen) belum
bekerja pada jaringan target.
Pemberian hormon pada berbagai konsentrasi tidak memberikan pengaruh
karena diduga manfaat hormon yang diberikan tidak bermanfaat dalam proses
perakaran stek. Lampiran 1 menunjukkan bahwa dosis 0 ppm atau kontrol,
persentase tumbuhnya mencapai 90%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dwidjoseputro (1990); Wudianto (1993); Kusumo (1984), yang mengemukakan
bahwa manfaat dari hormon sangat tergantung dari dosis yang diberikan, jika
dosisnya tepat akan sangat membantu dan didapatkan sistim perakaran yang baik
Grafik persentase hidup dan persentase stek berakar pada Gambar 1 dan 2,
ada stek yang hidup dan berakar walaupun tanpa diberikan hormon IBA
(konsentrasi 0 ppm). Hal ini bisa terjadi karena pada batang bahan stek terdapat
cadangan makanan yang mengandung karbohidrat. Cadangan makanan ini akan
diambil oleh tanaman yang distek untuk pembentukan sel baru termasuk untuk
pembentukan akar. Kemampuan stek untuk hidup dipengaruhi oleh keberhasilan
dari stek untuk membentuk akar. Budianto (2000), mengatakan bahwa karbohidrat
dalam batang sebagai bahan pembangun merupakan hasil fotosintesis yang
dilakukan daun dan disimpan pada seluruh bagian vegetatif tanaman sebagai
cadangan makanan. Cadangan makanan ini akan digunakan kembali pada saat
terjadi keadaan yang kurang menguntungkan atau untuk pembentukan sel maupun
organ baru. Apabila akar yang berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara dalam
tanah tidak segera dibentuk maka bahan stek akan mati. Untuk itu perlu diketahui
faktor keberhasilan stek dari dalam maupun dari luar seperti suhu, kelembaban,
kondisis fisiologi stek dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Na’iem (2000), yang menyatakan bahwa Keberhasilan stek pucuk tergantung
beberapa faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya adalah kondisi
fisiologi stek, waktu pengumpulan stek dan lain sebagainya. Adapun yang
termasuk faktor luar antara lain adalah media perakaran, suhu, kelembaban,
intensitas cahaya dan hormon pengatur tumbuh.
Kadar auksin yang tinggi akan lebih cepat perkembangan akarnya daripada
kadar auksin yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh pada
berat kering akar, dimana berat kering tertinggi terdapat pada konsentrasi 8000
ppm sebesar 0.8797 gram. Pernyataan ini sesuai dengan Alrasyid dan Widiarti
(1990) yang menyatakan bahwa jumlah kadar auksin yang terdapat pada organ
stek bervariasi. Pada stek yang memiliki kadar auksin lebih tinggi, lebih mampu
menumbuhkan akar dan menghasilkan persen hidup stek lebih tinggi daripada stek
yang memiliki kadar yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah
jenis hormon penumbuh yang dibuat oleh tanaman dan berfungsi sebagai
katalisator dalam metabolisme dan berperan sebagai penyebab perpanjangan sel.
Suhu dan kelembaban di mist house harus diperhatikan karena
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan akar. Lampiran 7 menunjukkan bahwa
suhu dan kelembaban yang normal dan tidak berfluktuasi menyebabkan stek
bertahan hidup sebelum dipindahkan ke open growing area (OGA). Dari
pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan, tanaman yang mati lebih banyak
pada saat berada di OGA daripada di mist house. Hal ini terjadi karena perbedaan
suhu dan kelembaban yang sangat berfluktuasi serta faktor cuaca yang berbeda.
Pemilihan stek pucuk sebagai bahan stek dikarenakan pada bagian pucuk
auksin lebih banyak karena biasanya kandungan auksin lebih banyak berada
jaringan meristem di dalam ujung tanaman. Menurut Dwijoseputro (1994)
mengatakan bahwa auksin banyak tersusun di jaringan-jaringan meristem di
dalam ujuna-ujung tanaman. Dimana pusat pembentukan auksin adalah ujung
koleoptil atau ujung tunas sehingga pertumbuhan stek akan cepat berkembang
walaupun tanpa diberikan hormon. Karena pada dasarnya, auksin yang berada
pada bahan stek sudah tersedia sebagai cadangan makanan dan untuk
Waktu yang diambil untuk menentukan persen hidup stek pada penelitian
ini yaitu pada akhir penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Akbar (1998),
persen hidup tertinggi suatu stek dicapai bila stek sudah berumur tiga sampai
empat minggu yang merupakan waktu minimum untuk menyatakan stek hidup
atau mati. Pada awal penanaman kondisi dari stek masih dalam keadaan segar dan
mempunyai daun serta batang yang memiliki cadangan makanan, akan tetapi
mulai dari minggu kedua hingga akhir penelitian batang dari sebagian stek tidak
mampu memberikan suplai makanan untuk membantu terbentuknya akar. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Wudianto (2000), untuk bahan stek, batang dari stek
sebagian atau seluruhnya harus diikutkan karena persediaan makanan memang
sangat diperlukan mengingat akar stek belum ada atau belum siap untuk
memperoleh makanan dari lingkungannya.
Pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa diameter tunas terbesar terdapat
pada perlakuan D (2000 ppm) sebesar 1.4533 cm sedangkan diameter tunas
terendah terdapat pada perlakuan B (500 ppm) sebesar 1.3231 cm, walaupun
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan stek. Hal ini
disebabkan oleh sudah mulai terbentuknya organ tanaman berupa daun dan mulai
tumbuhnya akar sehingga akan mempengaruhi perbesaran sel tunas. Bahan
makanan yang sudah mulai tersedia akan digunakan meristem batang tunas untuk
melakukan perbesaran pada dinding sel sehingga diameter batang akan semakin
membesar. Jumlah daun akan mempengaruhi perbesaran diameter tunas karena
akan terbentuk bahan makanan yang akan digunakan untuk pertumbuhan dan
pembelahan sel. Perkembangan daun dalam jumlah yang cukup pada awal
pada tahap-tahap pertumbuhan berikutnya karena jumlah daun yang cukup dapat
menstimulir proses fosintesis (Jayusman, 1997).
Pemberian hormon IBA oleh pihak PT. TPL dengan dosis 10.000 ppm
diperoleh persentase tumbuh sekitar 60%, sementara dengan dosis 2000 ppm
diperoleh persentase tumbuh sebesar 100%. Hal ini mungkin disebabkan karena
hormon auksin yang berasal dari tanaman tersebut sudah cukup untuk proses
pertumbuhannya. Sehingga jika diberikan tambahan hormon lagi akan
menyebabkan residu bagi tanaman itu sendiri, ataupun menghambat pertumbuhan
tanaman itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusumo (1994) pada kadar
rendah hormon akan mendorong pertumbuhan tanaman, sementara pada kadar
yang lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa adanya hormon yang berasal dari stek sudah cukup membantu
dalam proses pertumbuhan stek tersebut, sehingga pemberian hormon tidak perlu
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian hormon IBA pada berbagai konsentrasi berpengaruh tidak berbeda
nyata pada panjang tunas dan diameter tunas dari stek pucuk bagi keberhasilan
stek pada IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita).
2. Pemberian hormon IBA ternyata hanya tepat digunakan pada konsentrasi 2000
ppm karena hormon IBA yang tidak tepat dapat menghambat pertumbuhan
tanaman.
Saran
Pemberian konsentrasi 2000 ppm merupakan konsentrasi yang lebih baik
dalam pertumbuhan stek ekaliptus. Tetapi pada dosis 0 ppm persentase tumbuh
mencapai 90%. Untuk itu, pemberian hormon pada klon IND 48 tidak perlu
dilakukan karena akan merugikan kepada PT. Toba Pulp Lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1982. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.
Adjers, G. dan Otsama, A. 1996 dalam Veronika, I. 2005. Pengaruh berbagai Media dan Jumlah Ruas terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Eucalyptus grandis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Astuti, P. 2000. Pengaruh Lama Pengeratan Bahan Stek dan Konsentrasi Rotone F terhadap Pertumbuhan Stek Kopi Robusta (Coffea canephora). www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/puji.pdf [18 Februari 2008]
Basiang, H. A. 2008. Pengaruh Manipulasi Lingkungan dan Media Perakaran terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Pulai Rawa (Alstonia pneumatophora).
Dwidjoseputro, D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hakim, N.M.Y, Nyakpa A.M, S.G. Lubis, M.A. Nugroho. Diha,G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Edisi Ketiga. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Harahap, R. Jayusman, dan Cica, A. Prosiding Peranan Kehutanan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Sumatera Utara bagian Utara. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pematang Siantar.
Heddy, S. 1983. Hormon Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Khaerudin, 1993. Hormon Tumbuhan. Rajawali. Jakarta.
Latifah, S. 2004. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di
Hutan Tanaman Industri
Na’iem, M. 2000. Prospek Pertumbuhan Klon Jati di Indonesia. Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Nurcahyaningsih, 2004. Perbanyakan Eucalyptus pellita secara Kultur Jaringan.
Redaksi Agromedia, 2007. Kunci Sukses Memperbanyak Tanaman. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Setiawan, A.I. 2001. Kiat Memilih Bibit Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Subiakto,A., Ika H., dan Hani S.N. 2000 dalam Veronika, I. 2005. Pengaruh Berbagai Media dan Jumlah Ruas terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Eucalyptus grandis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Sutisna, U., T. Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Disunting oleh Soetjipto, N.W dan Soekotjo. Yayasan Porsea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor.
Veronika, I. 2005. Pengaruh berbagai Media dan Jumlah Ruas terhadap Pertumbuhan Stek Pucuk Eucalyptus grandis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.
Widarto, L. 1996. Perbanyakan Tanaman dengan Biji, Stek, Cangkok, Sambungan, Okulasi, dan Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta.
Wikipedia, 2007. Indole-3-Butyric Acid (IBA) atau Indol Asam Butirat . Jerman
Lampiran 1. Rataan, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik Ragam Persentase
Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
a. Rataan Persentase Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b. Transformasi Akar Kuadrat Persentase Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total 60.1500 60.1500 60.1500 60.1500 60.1500 60.1500 60.1500 41.5142 50.8321 50.8321 564.2284 56.4228
c. Sidik Ragam Persentase Hidup Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 9 63.67039097 7.074487885 1.375 2.050
Perlakuan 5 28.9410868 5.788217361 1.125 2.425
Galat 45 231.5286944 5.145082098
Lampiran 2. Rataan, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik Ragam Persentase
Stek yang Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
a. Rataan Persentase Stek yang Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b. Transformasi Akar Kuadrat Persentase Stek yang Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan
Total 41.5142 50.8321 60.1500 60.1500 41.5142 50.8321 50.8321 22.8784 41.5142 32.1963 452.4136 45.2414
c. Sidik Ragam Persentase Stek yang Berakar pada Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 9 208.375825 23.15286944 1.363636364 2.050 Perlakuan 5 46.30573889 9.261147777 0.545454545 2.425
Galat 45 764.0446916 16.97877092
Lampiran 3. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik
Ragam Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
a. Rataan Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus
pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b. Missing Data Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
c. Transformasi Akar Kuadrat Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 16.5984 15.6719 19.4101 16.7029 12.6974 19.1556 18.1966 15.9494 16.8382 18.6566 169.8771 16.9877
d. Analisis Sidik Ragam Tinggi Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5 %
Kelompok 9 6.047594165 0.67195 0.90933 2.050
Perlakuan 5 2.828207835 0.56564 0.76546 2.425
Galat 45 33.2531485 0.73896
Lampiran 4. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik
Ragam Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
a. Rataan Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus
pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b. Missing Data Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
c. Transformasi Akar Kuadrat Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus
grandis x Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
d. Sidik Ragam Diameter Tunas Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5% Kelompok 9 0.455871857 0.050652429 0.984960199 2.050
Perlakuan 5 0.378642383 0.075728477 1.472575701 2.425 Galat 45 2.314164 0.051425863
Lampiran 5. Rataan, Missing Data, Transformasi Akar Kuadrat, dan Sidik
Ragam Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita)
a. Rataan Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
b. Missing Data Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
c. Transformasi Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus grandis x
Eucalyptus pellita)
Perlakuan Kelompok Total Rerata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
d. Analisis Sidik Ragam Berat Kering Akar Stek Pucuk IND 48 (Eucalyptus
grandis x Eucalyptus pellita)
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Kelompok 9 0.1330224 0.01478 1.6117 2.050 Perlakuan 5 0.0762376 0.01525 1.6627 2.425
Galat 45 0.4126768 0.00917
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Media Cocopeat
Gambar 2. Hormon IBA
Gambar 4. Hasil Cutting
Gambar 5. Stek di Mist House
Gambar 7. Penanaman Stek
Gambar 8. Pengkabutan Mist House