PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA
MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN
MANUSIA PADA KABUPATEN/KOTA
DI PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
S Y A H R I L
087017076/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA KABUPATEN/ KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : S y a h r i l
Nomor Pokok : 087017076
Program Studi : Akuntansi
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Prof. Dr. Erlina, SE., M.Si., Ak) (Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak) Ketua Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 10 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak
Anggota : 1. Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak
2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak
3. Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh
Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan
Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara”.
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun
sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara benar dan jelas.
Medan, Februari 2011
Yang membuat pernyataan,
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak dan Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak
ABSTRAK
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, pengujian metode dengan analisis regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal sebagai variabel independen serta Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Sampel penelitian adalah sebanyak 19 kabupaten/kota dari hasil purposive sampling pada 33 populasi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari situs www.djpkd.depkeu.go.id dan Badan Pusat Statistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
THE INFLUENCES OF LOCAL OWN REVENUE AND CAPITAL EXPENDITURE TO THE HUMAN DEVELOPMENT INDEX ON
DISTRICTS/CITIES IN NORTH SUMATRA PROVINCE
Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak and Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak
ABSTRACT
The purpose of this research are to find out and to analyze the influences of Local Own Revenue and Capital Expenditure to the Human Development Index.
The method of analysis which used in this research is quantitative method, testing method with multiple regression analysis with the classic assumption test before finding out the best research model. The variable in this research is the Local Own Revenue and Capital Expenditures as an independent variable and the Human Development Index as the dependent variable. The samples are 19 districts/cities from the result of purposive sample in 33 population of districts/cities in North Sumatra Province. Data is the secondary one which is taken from official website www.djpkd.depkeu.go.id and Central Bureau of Statistics.
The results of this research shows that The Local Own Revenue and Capital Expenditure have simultaneously effect on the Human Development Index. Partially Local Own Revenue has significant influence to Human Development Index. There in no significant effect of Capital Expenditure to Human Development Index.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal
terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara”.
Tesis ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak selaku Ketua Program
Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan
bertindak sebagai Dosen Pembanding yang telah memberikan saran dan kritik
untuk perbaikan hingga selesainya tesis ini.
4. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak selaku Sekretaris Program Magister
Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus
bertindak sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran, kritik dan
5. Ibu Prof. Dr. Erlina, M.Si, Ak, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam proses penelitian dan
penulisan untuk menyusun tesis ini.
6. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak, selaku Dosen Pembanding, yang telah
banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini.
7. Bapak Drs. Rasdianto, M.Si, Ak, selaku Dosen Pembanding, yang juga telah
banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini.
8. Ayahanda (Alm) H. Munir Sutan Mantari dan Ibunda (Almh) Hj. Mariani di masa
hidup yang telah memberikan kasih sayang, pendidikan dan dorongan kepada
penulis untuk terus belajar dalam menjalankan kehidupan sehingga penulis
termotivasi untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU.
9. Istri tercinta (Ninik Wahyuni, SE) dan anak-anakku tersayang (M. Wahyu Riza,
M. Zaki Rabbani dan (Alm) Yasmin Nazira), yang telah mendoakan serta menjadi
motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.
10. Segenap Bapak/Ibu Komisaris, Dewan Direksi dan rekan-rekan kerja di LP3i
yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menempuh
studi ini.
11. Teman-temanku seperjuangan Angkatan XVII Program Magister Akuntansi- SPs
USU (Ewin, Riva, Agus dan Buqhori) yang telah banyak memberikan semangat,
bantuan dan dorongan sampai penulis dapat menyelesaikan studi ini serta
12. Bapak dan Ibu tata usaha Sekolah Pascasarjana USU yang juga menjadi bagian
pada keberhasilan penulis dalam membantu kelancaran proses studi ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun kepada
segenap masyarakat, baik di lingkungan akademis maupun praktisi. Amin Ya Rabbal
Alamin...
Medan, Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Syahril
Tempat/Tanggal Lahir : Langsa, 21 Agustus 1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jln. Bhayangkara Gg. Sosial Kel. Indra Kasih Medan
Telp/HP : 081263901006
Pendidikan
- Tamatan Sekolah Dasar Negeri 1 Langsa tahun 1983.
- Tamatan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Langsa tahun 1986.
- Tamatan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Langsa tahun 1989.
- Tamatan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Nommensen tahun
1995.
B. Pengalaman Kerja
- Kepala Kampus Politeknik Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Indonesia (Politeknik LP3i Medan) tahun 2005 s/d sekarang.
- Branch Manager LP3i Cabang Surabaya tahun 2003 s/d 2005.
- Wakil Branch Manager LP3i Cabang Surabaya tahun 2002 s/d 2003.
- Kepala Bagian Finance & HRD LP3i Cabang Surabaya tahun 2000 s/d 2002.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
1.6. Originalitas ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 11
Tinjauan Teori 11 2.1.1.Pendapatan Asli Daerah ... 11
2.1.2.Belanja Modal ... 19
2.1.3.Indeks Pembangunan Manusia ... 22
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS... 28
3.1. Kerangka Konsep ... 28
BAB IV METODE PENELITIAN... 31
4.1. Jenis Penelitian ... 31
4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 31
4.3. Populasi dan Sampel ... 31
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 32
4.5. Definisi Operasional Variabel ... 33
4.6. Model Analisis Data ... 35
4.6.1. Pengujian Asumsi Klasik ... 36
4.6.1.1. Uji normalitas ... 36
4.6.1.2. Uji outler ... 36
4.6.1.3. Uji multikolinearitas ... 36
4.6.1.4. Uji autokorelasi ... 37
4.6.1.6. Uji heteroskedastisitas ... 37
4.6.2. Pengujian Hipotesis ... 38
4.6.2.1. Koefisien determinasi (R2) ... 38
5.1.2.4. Uji heteroskedastisitas ... 46
5.1.3. Pengujian Hipotesis ... 47
5.1.3.2. Uji statistik F ... 48
5.1.3.3. Uji statistik t ... 48
5.2. Pembahasan ... 49
5.2.1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 50
5.2.2. Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia ... 52
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 54
6.1. Kesimpulan ... 54
6.2. Keterbatasan ... 55
6.3. Saran ... 55
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM) Tahun 2005 dan 2006 serta Pengaruhnya terhadap IPM
Tahun 2006 dan 2007 ... 8
2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu ... 27
4.1. Data Sampel Kabupaten dan Kota ... 32
4.2. Definisi Operasional ... 34
5.1. Statistik Variabel ... 40
5.2. Hasil Uji Multikolinieritas ... 45
5.3. Hasil Uji Autokorelasi... 45
5.4. Nilai Koefisien Determinasi ... 47
5.5. Hasil Pengujian Hipotesa Uji F ... 48
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
3.1. Kerangka Konseptual ... 28
5.1. Histogram Uji Normalitas ... 43
5.2 Normal P - P Plot ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Olah SPSS ... 58
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak dan Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak
ABSTRAK
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, pengujian metode dengan analisis regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal sebagai variabel independen serta Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Sampel penelitian adalah sebanyak 19 kabupaten/kota dari hasil purposive sampling pada 33 populasi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari situs www.djpkd.depkeu.go.id dan Badan Pusat Statistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah juga berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sedangkan Belanja Modal tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
THE INFLUENCES OF LOCAL OWN REVENUE AND CAPITAL EXPENDITURE TO THE HUMAN DEVELOPMENT INDEX ON
DISTRICTS/CITIES IN NORTH SUMATRA PROVINCE
Syahril, Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak and Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak
ABSTRACT
The purpose of this research are to find out and to analyze the influences of Local Own Revenue and Capital Expenditure to the Human Development Index.
The method of analysis which used in this research is quantitative method, testing method with multiple regression analysis with the classic assumption test before finding out the best research model. The variable in this research is the Local Own Revenue and Capital Expenditures as an independent variable and the Human Development Index as the dependent variable. The samples are 19 districts/cities from the result of purposive sample in 33 population of districts/cities in North Sumatra Province. Data is the secondary one which is taken from official website www.djpkd.depkeu.go.id and Central Bureau of Statistics.
The results of this research shows that The Local Own Revenue and Capital Expenditure have simultaneously effect on the Human Development Index. Partially Local Own Revenue has significant influence to Human Development Index. There in no significant effect of Capital Expenditure to Human Development Index.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial telah menjadi perhatian Nasional.
Diasumsikan bahwa kemajuan bangsa ataupun keberhasilan pemerintah tidak lagi
dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari
keberhasilan dari pembangunan nasional. Kegiatan pembangunan telah dilakukan
oleh beberapa pemimpin pemerintahan sejak pasca kemerdekaan tahun 1945. Namun
demikian, harus diakui setelah beberapa kali pemerintahan berganti, taraf
kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal. Pemenuhan taraf
kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan mengingat sebagian besar rakyat
Indonesia masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya.
Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan
sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti
penanganan masalah kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun
korban bencana alam dan sosial. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada
artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat terlayani
dengan baik.
Untuk itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan
bersama dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi jelas sangat
yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu
menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Bahkan pengalaman negara
maju dan berkembang seringkali memperlihatkan jika prioritas hanya difokuskan
pada kemajuan ekonomi memang dapat memperlihatkan angka pertumbuan ekonomi.
Namun sering pula gagal menciptakan pemerataan dan menimbulkan kesenjangan
sosial. Akhirnya dapat menimbulkan masalah kemiskinan yang baru. Oleh karenanya
penanganan masalah kemiskinan harus didekati dari berbagai sisi baik pembangunan
ekonomi maupun kesejahteraan sosial.
Masalah kemiskinan dewasa ini bukan saja menjadi persoalan bangsa
Indonesia. Kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa
berkepentingan untuk membahas kemiskinan, terlepas apakah itu negara berkembang
maupun sedang berkembang. Negara sedang berkembang di sebagian wilayah Asia
dan Afrika, sangat berurusan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebagian besar
rakyat di kawasan ini masih menyandang kemiskinan. Sementara bagi negara maju,
mereka pun sangat tertarik membahas kemiskinan. Ketertarikan itu karena
kemiskinan di negara berkembang berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik
mereka.
Pada akhirnya kemiskinan menjadi urusan semua bangsa dan menjadi musuh
utama (common enemy) umat manusia di dunia. Konsekuensinya kemiskinan dibahas
semakin meluas intensif dan berkesinambungan di manapun dan oleh siapapun.
Menurut laporan Human Development Report tahun 2005, jumlah penduduk miskin
oleh Vietnam (17,38), Kamboja (13,01), dan Myanmar (10,84). Tingginya tingkat
kemiskinan Indonesia, membuat negara ini memiliki kualitas sumber daya manusia
(SDM) yang masih rendah. Dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia
menempati urutan 110, lebih rendah dibanding negara di Asia Tenggara lainnya
seperti Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (73), dan Filipina (84).
Gubsu mengajak seluruh bupati dan wali kota yang merupakan “tangan
kanan” provinsi untuk sama-sama bertekad dan bekerja mengurangi angka
kemiskinan yang hingga kini masih ditemui di Provinsi Sumut. Di Sumut saat ini,
bukan hanya kemiskinan yang ditemui, tetapi juga masalah gizi buruk atau kelaparan
yang seharusnya tidak boleh terjadi di daerah kita. Untuk mengatasinya,
pemberdayaan masyarakat miskin agar menjadi lebih mandiri dan berdaya secara
ekonomi, perlu dicari solusinya, yang antara lain bisa ditempuh melalui program
pembangunan yang dibarengi dengan akurasi data di mana kantong kemiskinan
berada dan berapa jumlahnya, sehingga program yang dijalankan tidak sia-sia. Untuk
masalah pendidikan (kebodohan), Gubsu menekankan bahwa pendidikan anak
sekolah bukan lagi sekedar gerakan wajib belajar sembilan tahun, tetapi sudah
merupakan hak belajar sembilan tahun. Soal kesehatan, Gubsu melihat peningkatan
akses masyarakat miskin terhadap bidang kesehatan menjadi kata kunci sebagai
sebuah solusi. Karena, masalah kesehatan masyarakat, sebagaimana halnya
pendidikan, juga sangat terkait dengan kemiskinan dan kebodohan. Terkait masalah
anggaran, Gubsu tak menampik, bahwa sampai kini sumber keuangan bagi daerah
pembangunan yang mendasar di bidang ekonomi kerakyatan/UKM, pendidikan, dan
kesehatan yang menjangkau sebagaian besar masyarakat. Dan sebagai apresiasi,
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan memberikan dukungan anggaran dan juga
penghargaan kepada kabupaten dan kota yang memberi perhatian lebih terhadap
program pendidikan, kesehatan, ketersediaan pangan, dan pemberdayaan UKM,
apalagi bila ada terobosan yang manfaatnya dirasakan masyarakat (Berita Sore,
2008).
Seluruh daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara memiliki
beberapa sumber keuangan daerah yang dipergunakan untuk menjalankan aktivitas
daerah yaitu yang terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah.
2. Dana Perimbangan.
3. Pinjaman Daerah.
4. Lain-lain penerimaan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah (BUMD) yang diperoleh dan lain-lain, PAD yang
sah yaitu hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi,
potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadan barang
dan/atau jasa oleh daerah (Bab V Pasal 6 ayat 2, UU No. 33 Tahun 2004).
Sejak tahun 1997 telah terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sektor publik (pemerintah). Berbagai dampak negatif seperti bertambahnya
pengangguran dan peningkatan kemiskinan bermunculan. Pengaruh negatif krisis
moneter juga terjadi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang pada
gilirannya berdampak pula pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Sektor pendapatan sangat labil atau faktor ketidakpastian akan penerimaan dari
Pemerintah pusat menjadi lebih tinggi. Kondisi tersebut lebih memperhatikan pada
daerah yang PAD rendah. Dengan PAD yang rendah berarti ketergantungan kepada
pemerintah pusat lebih tinggi.
Pajak dan retribusi daerah yang menjadi komponen utama dari PAD juga
terpengaruh akibat terjadinya krisis ekonomi. Menurunnya aktivitas ekonomi
masyarakat akibat adanya krisis ekonomi menyebabkan terganggunya penerimaan
masyarakat yang kemudian mempengaruhi penerimaan pendapatan daerah yang
mengakibatkan pendapatan daerah menjadi lebih rendah dan tidak menentu. Dengan
keadaan pemerintah yang mengalami tekanan keuangan mengakibatkan penyusunan
APBD menjadi tidak pasti sehingga menyebabkan kemungkinan adanya pergeseran
pada komponen-komponen pendapatan dan belanja daerah. Tekanan keuangan (Fiskal
Stress) berakibat pada tidak stabilnya kesiapan Pemerintah Kabupaten dan Kota
terutama pada segi keuangannya, kinerja keuangan merupakan salah satu tolak ukur
dari kesiapan suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah.
Sehubungan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu menuntun kemandirian
daerah maka upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul “Human Development
Report”. Indeks ini disusun sebagai salah satu dari indikator alternatif, selain
pendapatan nasional per kapita, untuk menilai keberhasilan pembangunan yang
dilaksanakan oleh suatu negara. Indeks Pembangunan Manusia ini meranking semua
negara dengan skala 0 (nol) sampai 1 (satu). Angka nol menyatakan tingkat
pembangunan manusia yang paling rendah dan angka 1 menyatakan tingkat
pembangunan manusia yang paling tinggi.
Ada tiga indikator yang dijadikan tolok ukur untuk menyusun IPM. Pertama,
usia panjang yang diukur dengan rata-rata lama hidup penduduk atau angka harapan
hidup di suatu negara. Kedua, pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang
dari jumlah orang dewasa yang bisa membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata
tahun sekolah (diberi bobot sepertiga). Ketiga, penghasilan yang diukur dengan
pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan daya belinya untuk tiap-tiap negara.
Berdasarkan IPM yang telah disusun, maka bisa ditetapkan tiga kelompok negara.
Pertama, negara dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah bila IPM-nya
berkisar antara 0 sampai 0,5. Negara yang masuk kategori ini sama sekali atau kurang
memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Kedua, negara dengan tingkat
pembangunan manusia sedang jika IPM-nya berkisar antara 0,51 sampai 0,79. Negara
yang masuk dalam kategori ini mulai memperhatikan pembangunan sumber daya
manusianya. Ketiga, negara dengan tingkat pembangunan manusia tinggi jika
IPM-nya berkisar antara 0,80 sampai 1. Negara yang masuk dalam kategori ini sangat
Selain ditampilkan sebagai indikator tunggal, IPM biasanya juga ditampilkan
bersama-sama dengan ranking pendapatan per kapita, hasilnya bisa bervariasi. Ada
negara yang ranking pendapatan per kapitanya masuk ranking atas, tetapi IPM-nya
masuk ranking rendah. Ini artinya hasil pembangunan yang tampak dari pendapatan
per kapita tinggi tidak dipakai untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ada
negara yang pendapatan per kapitanya masuk ranking bawah tetapi IPM-nya masuk
ranking yang tinggi. Artinya, meskipun masuk ke dalam negara yang miskin, tetapi
dengan pendapatan yang kecil itu negara atau pemerintah memakainya untuk
mengembangkan sumber daya manusia. Ada pula negara yang konsisten antara
ranking pendapatan per kapita dan urutan IPM nya, dimana urutan IPM-nya ranking
atas dan pendapatan per kapitanya ranking atas pula.
Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan perkapita.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan bukti keberhasilan pembangunan
yang merupakan salah satu tugas pemerintah. Pendapatan perkapita menunjukkan
rata-rata tingkat pendapatan masyarakat pada suatu daerah. Pemerintah pusat dalam
rangka desentraliasi kewenangannya memberikan dana transfer kepada pemerintah
daerah (Pemda). Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM) tahun 2005
dan 2006 serta pengaruhnya terhadap IPM tahun 2006 dan 2007 dapat dilihat pada
Tabel 1.1. Data Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal (BM) Tahun 2005 dan 2006 serta Pengaruhnya terhadap IPM Tahun 2006 dan 2007
No. Kab/Kota PAD (dalam Jutaan)
12 Kota Pematang Siantar 13,517.78 16,207.94 35,617.17 64,387.44 75.90 76.52
13 Kota Sibolga 5,467.17 7,831.43 35,752.74 40,307.19 73.70 73.93
Melihat dari fenomena yang terjadi di atas bahwa masalah kemiskinan masih
merupakan masalah utama yang terjadi baik di daerah, nasional maupun
negara-negara saat ini, dan IPM erat kaitannya terhadap kesejahteraan masyarakat ataupun
tingkat kemiskinan. Di mana IPM juga merupakan salah satu indikator dari
keberhasilan pembangunan suatu daerah maupun negara. Menurut peneliti ada
diterima dari pemerintah pusat terhadap penyediaan infrastruktur, sarana dan
prasarana pelayanan publik dalam rangka peningkatan IPM pada setiap daerah. Dan
PAD yang tentunya merupakan bagian dari lingkaran perekonomian yang terkait
dengan pendapatan perkapita, pengeluaran pemerintah maupun aktivitas
perekonomian daerah yang juga berperan dalam meningkatkan IPM. Oleh sebab itu
peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh dari pada PAD dan BM terhadap IPM pada
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian adalah: “Apakah Pendapatan Asli
Daerah dan Belanja Modal berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Indeks
Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh PAD
dan BM baik secara simultan dan parsial terhadap IPM.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada pihak-pihak
yang membutuhkan, yaitu:
1. Peneliti, sebagai pengetahuan atas pemahaman terhadap akuntansi sektor publik.
faktor-faktor apa saja dalam keuangan daerah yang dapat mempengaruhi IPM.
3. Akademis, sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya dan memberi
masukan pada perkembangan akuntansi sektor publik.
1.5. Originalitas
Penelitian ini mereplikasi penelitian Christy (2009) yang berjudul hubungan
antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas
pembangunan manusia dapat diterima dan nilai adjusted R square model regresi ini
cukup besar, yaitu 0,435 atau 43,6%. Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Pendapatan Asli Daerah
Berbagai cara dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota untuk
meningkatkan pendapatan daerahnya dalam upaya memenuhi kebutuhan belanja
pemerintah daerah bagi pelaksanaan kegiatannya. Pertama, Pemerintah Daerah
Kabupaten dan Kota dapat memperoleh dana dari sumber-sumber yang dikategorikan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kedua, memperoleh transfer dana dari APBN yang
dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi
hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Pengalokasian dana perimbangan ini selain
ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD, juga bertujuan
untuk mengurangi/memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Ketiga, daerah
memperoleh penerimaan dari sumber lainnya seperti bantuan dana kontijensi dan
bantuan dana darurat. Keempat, menerima pinjaman dari dalam dan luar negeri.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, maka Pemerintah Kabupaten dan
Kota segera melakukan berbagai kegiatan guna menyongsong diberlakukannya
otonomi daerah sebagai salah satu buah reformasi itu. Hal yang dapat dipandang
penting adalah dilakukannya perubahan dan penyesuaian organisasi berbagai
isu dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama sekali yang menyangkut dengan
pelimpahan berbagai kewenangan baik dari Pemerintahan Pusat maupun dari
Pemerintahan Provinsi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, menekankan bahwa simpul
penyelenggaraan otonomi daerah berada di tingkatan Kabupaten dan Kota. Oleh
karena itu Pemerintah Kabupaten dan Kota menghadapi pelaksanaan otonomi daerah
ini haruslah dengan suatu persiapan yang matang. Dengan tidak adanya lagi
hubungan pertanggungjawaban vertikal dari Kabupaten dan Kota kepada
Pemerintahan Pusat dan Provinsi, maka Pemerintah Kabupaten dan Kota merupakan
daerah otonom yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan karakteristik, potensi dan sumber daya yang ada di daerahnya
masing-masing.
Kondisi ini jelas sangat berlawanan dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, yang menempatkan pemerintah Kabupaten dan
Kota (baca Kotamadya) sebagai daerah tingkat kedua (Tingkat II) setelah Provinsi
yang berkedudukan sebagai daerah tingkat pertama (Tingkat I), sehingga
menciptakan adanya pemerintahan atasan dan bawahan dalam satu sistem
pemerintahan, yang meliputi: Pemerintahan Tingkat Pusat, Pemerintahan Tingkat I,
dan Pemerintahan Tingkat II. Perubahan yang menuju terlepasnya Pemerintah
Kabupaten dan Kota sebagai bawahan Pemerintahan Provinsi dapat kita lihat
ketentuannya dalam Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 32
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang.
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukkan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
PAD merupakan sumber dana terbesar Penerimaan Daerah Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 dan 2005. PAD merupakan salah
satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara
berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang
berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti. Misalnya dengan memberikan pelayanan
yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga
masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Daerah
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan:
Besarnya tekanan agar instansi Pemerintah meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas mempengaruhi praktek-praktek penyelenggaraan operasi entitas sektor
publik untuk memberi tanggapan akan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat,
sebagai salah satu stakeholder. Lembaga-lembaga publik diharapkan memiliki kinerja
yang baik. Kinerja yang baik akan menunjukkan stewardship dan akuntabilitas
lembaga akan sumber daya-sumber daya publik yang dikelolanya, agar
lembaga-lembaga negara menjalankan aktivitasnya dengan baik dan mampu memperbaiki
kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang sistem pengukuran kinerja
agar peningkatan dan perbaikan kinerja instansi pemerintah dapat dilakukan secara
berkesinambungan.
2.1.1.1. PAD sebelum otonomi daerah
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa PAD adalah penerimaan pemerintah
atas pajak daerah, retribusi daerah, pembagian laba BUMD, dan lain-lain pendapatan,
di mana keempat komponen di atas harus menjadi andalan utama bagi pembiayaan
APBD sehingga mengharuskan penerimaan PAD dioptimalkan penggaliannya. Hal
ini yang dikatakan meningkatnya kinerja keuangan daerah.
UU RI Nomor 32 Tahun 2004, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi
oleh bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikategorikan menjadi pendapatan yang
diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah.
Dalam Pasal 55 UU tersebut dikatakan bahwa sumber pendapatan daerah otonom,
1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) yang terdiri dari beberapa pos
pendapatan yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah, dan
lain-lain pendapatan yang sah.
2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat yang terdiri dari
sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Subsidi
daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintah pusat terus mengalami
perubahan dan disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan yang disebut juga
dengan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah.
3. Lain-lain penerimaan yang sah.
4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari
pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah.
5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD, namun masih merupakan
jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintah pusat untuk
membantu pembangunan, sarana dan prasarana.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa sebelum adanya UU otonomi daerah
Nomor 22 dan Nomor 23 Tahun 1999, sistem pembiayaan daerah adalah perimbangan
keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Pengeluaran daerah dan pengaturan
belanja diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975, No. 6 Tahun 1975 dan
Peraturan Mendagri No. 2 Tahun 1994 Jo. Tahun 1996 yang mengatur tentang tata
cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah,
a. Pengeluaran rutin terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa,
belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran,
sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain, serta
pengeluaran tidak tersangka.
b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk
membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik.
c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang dan jasa, belanja
pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang
tertera dalam sistem digit.
d. Belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk
bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan
penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini
ditentukan oleh kebijakan kepala daerah masing-masing.
e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD dan belanja
pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat.
f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan
terhadap pekerjaan non fisik hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh
bukti yang memadai.
2.1.1.2. PAD sesudah otonomi daerah
PAD adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus
sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan juga pelayanan kepada
masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di Pemerintah Kabupaten dan Kota
di Provinsi Sumatera Utara perlu diprioritaskan karena nantinya diharapkan akan
memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.
Pada otonomi daerah sumber pembiayaan daerah diharapkan didominasi oleh
PAD, sementara sebelum otonomi daerah pembiayaan daerah didominasi oleh
bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikategorikan sebagai pendapatan daerah
(UU No. 5/74, Pasal 55). Dalam penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
dikemukakan bahwa agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan
sebaik-baiknya maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang
cukup. Tetapi dikarenakan tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada
daerah maka kepada daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber keuangan
sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun yang termasuk sumber-sumber pendapatan daerah menurut UU No. 5
Tahun 1974 Pasal 55 yaitu PADS yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu:
pajak daerah, retribusi daerah bagian laba usaha daerah, dan lain-lain pendapatan yang
sah. Sehubungan dengan objek penelitian di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sumatera Utara, maka komponen PAD akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Pos Pajak Daerah.
2. Pos Retribusi Daerah.
4. Pos Lain-lain PAD Yang Sah.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk kemandirian suatu daerah otonomi,
maka kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara
sangat dituntut melalui peningkatan PAD. Jika PAD naik maka dapat dikatakan
kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota tersebut naik (meningkat). Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD tersebut terhadap total
penerimaan daerah.
a. Adanya sumber pendapatan potensial yang digali dari suatu daerah provinsi,
tetapi masih berada di wewenang Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi
Sumatera Utara.
b. Badan Usaha Milik Daerah pada umumnya belum beroperasi secara efisien
yang tercermin pada laba bersih yang dihasilkan.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat membayar pajak, retribusi, dan pungutan
lainnya.
d. Masalah peraturan-peraturan PAD yang perlu disesuaikan dan disempurnakan
lagi.
e. Rendahnya tingkat dan ekonomi masyarakat yang biasanya hal ini tercermin
dalam pendapatan masyarakat.
Kemandirian pemerintah dalam membiayai daerahnya dapat diukur dari
besarnya PAD dibandingkan dengan pembelanjaan daerah. Kenyataannya semua
daerah otonom masih menerima dana dari pusat baik itu Dana Alokasi Umum (DAU)
daerah. Dengan melihat kenyataan ini perlu upaya maksimal atau kinerja pemerintah
ditingkatkan untuk peningkatan PAD Kabupaten dan Kota. PAD menurut Halim
(2002: 64) merupakan “Semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah”.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa PAD merupakan semua penerimaan yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba
BUMD, penerimaan lain-lain yang sah dan bukan dari pajak. Lebih besar kontribusi
PAD untuk membiayai pembangunan dan pelayanan masyarakat maka dapat
dikatakan ada peningkatan kinerja keuangan pemerintah daerah.
2.1.2. Belanja Modal
Perbedaan definisi dan pengertian antara belanja barang dan Belanja Modal
(BM) dalam anggaran pemerintah (APBN dan APBD) bukanlah sesuatu yang
sederhana dan dapat diabaikan begitu saja. Banyak penyimpangan anggaran terjadi
karena kelonggaran dalam pengklasifikasian ini. Pemerintah Pusat selaku regulator,
melalui Departemen Keuangan, kemudian menerbitkan aturan yang diharapkan dapat
menjadi pedoman bagi aparatur pemerintah yang menjadi pelaksana di lapangan.
PMK No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) sudah
didefinisikan perbedaan belanja barang dan belanja modal secara jelas. Belanja
barang adalah pengeluran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri belanja barang dan jasa,
belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan.
Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam
rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi
aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut
dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk
dijual (Abdullah, 2008).
Dalam penyusunan perencanaan anggaran sudah mengacu pada BAS,
sementara dalam pelaksanaan anggaran masih belum mengacu pada BAS. Inilah
pokok awal terjadinya perbedaan persepsi. Demikian juga dalam penyusunan
perencanaan anggaran berpedoman pada petunjuk penyusunan dan penelahaan
RKA-KL yang mengatur penerapan konsep full costing dalam suatu kegiatan yaitu seluruh
biaya yang menunjang dalam pencapaian output disesuaikan dengan jenis belanjanya.
Ini sejalan dengan norma akuntansi yaitu azas full disclosure untuk masing-masing
jenis belanja. Misalnya, belanja modal tanah menjadi belanja modal tanah, belanja
modal pembebasan tanah, belanja modal pembayaran honor tim tanah, belanja modal
pembuatan sertifikat tanah, belanja modal pengukuran dan pematangan tanah, belanja
modal biaya pengukuran tanah, dan belanja modal perjalanan pengadaan tanah.
Faktor lain berupa pemahaman pegawai tentang konsep BAS belum utuh, sementara
sosialiasi BAS masih minim. Demikian pula masih banyak pegawai yang belum
pada kesalahan dalam menterjemahkan dan menjelaskan kepada kementerian/
lembaga.
Menyadari akan hal tersebut serta untuk memberikan kemudahan dalam
mekanisme pelaksanaan APBD/APBN dan penyusunan Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga, maka diterbitkan Perdirjen Perbendaharaan No.
PER-33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan AKUN Pendapatan, Belanja Pegawai,
Belanja Barang dan Belanja Modal Sesuai dengan BAS.
Menurut Perdirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja dikategorikan
sebagai BM apabila:
1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas;
2. Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau
aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah;
3. Pengeluaran terhadap aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
Dalam petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-KL nilai kapitalisasi aset
tetap di atas Rp. 300.000 per unit. Sedangkan batasan minimal kapitalisasi untuk
gedung dan bangunan, dan jalan, irigasi dan jaringan sebesar Rp. 10.000.000.
Sementara karakteristik aset lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset
pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dan nilainya relatif
material. BM juga mensyaratkan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan.
Namun demikian perlu diperhatikan, karena ada beberapa belanja pemeliharaan yang
mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas, dan volume aset
yang telah dimiliki dan (b) pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimum nilai
kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.
2.1.3. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI)
adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, buta huruf, pendidikan dan
standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang
nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh
Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of
Economics dan sejak itu dipakai oleh Program Pembangunan PBB pada laporan HDI
tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena
batasannya indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna
daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks
ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal
yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.
HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar
pembangunan manusia:
1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat
2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa
(bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas
gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
3. Standar kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic
product/produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power
parity dalam Dollar AS.
2.1.4.1. Komponen penyusunan IPM
A. Usia Hidup
Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir (life
expectancy at birth) yang dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini
menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup
(live births) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) per wanita usia
15-49 tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Pada komponen angka umur
harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks
dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun.
B. Pengetahuan
Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan 2 indikator
yaitu rata-rata lama sekolah (mean year schooling) dan angka melek huruf. Angka
rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh
penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan
angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat
penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing
diberi bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf
diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks, batas maksimum untuk
angka melek huruf dipakai 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan
kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis dan
nilai 0 mencerminkan sebaliknya.
C. Standard Hidup Layak
Angka standard hidup layak bisa menggunakan indikator GDP perkapita
riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) atau menggunakan
indikator rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan (adjusted real per
capita expenditure). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan
manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan kategori sebagai berikut:
1. Tinggi : IPM lebih dari 80,0
2. Menengah Atas : IPM antara 66,0 – 79,9
3. Menengah Bawah : IPM antara 50,0 – 65,9
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah tinjauan atas penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
IPM:
a. Sinullingga (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh
Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan IPM (Studi Kasus
Kota Medan)” dengan metode expost facto (Sugiyono, 2004) karena meneliti
sesuatu yang telah terjadi yaitu peningkatan IPM Kota Medan tahun 1995 sampai
dengan 2005, yang dipengaruhi oleh sektor anggaran pembangunan pemerintah
kota tahun 1995 sampai dengan 2005. Variabel dependen pada penelitian ini
adalah IPM yang dinilai dengan nilai IPM sedangkan variabel independennya
yaitu sektor pendidikan (X1), sektor kesehatan (X2), sektor transportasi (X3),
sektor pembangunan daerah (X4), sektor perumahan (X5), sektor industri (X6) dan
sektor tenaga kerja (X7). Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang
mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang
mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri.
Selama tahun penelitian 1995-2005 sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini
anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur.
Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil
terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil
pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan
daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi
menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan
kurang efektif meningkatkan IPM. Untuk tahap penelitian ini, dikemukakan yang
menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif
mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.
b. Christy (2009) melakukan penelitian dengan judul hubungan antara belanja
alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia. Christy
meneliti tahun 2004 sampai 2006 pada Kabupaten/Kota se- Jawa Tengah. Hasil
regresi sederhana diperoleh nilai signifikansi yang sangat kecil (0,000) berkaitan
dengan pengaruh belanja modal terhadap IPM. Hal ini menunjukkan bahwa
model regresi ini relatif tepat untuk memprediksi besarnya IPM. Dengan
demikian hipotesis 2 yang menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh
terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima (terbukti). Nilai adjusted
R square model regresi ini cukup besar, yaitu 0,435 atau 43,6%. Hal ini berarti
IPM dapat dijelaskan oleh belanja modal sebesar 43,6%, selebihnya dijelaskan
oleh faktor/variabel lainnya.
Tabel 2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu
Hasil penelitian diketahui bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponene peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM, yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.
Hasil penelitian diketahui bahwa belanja modal berpengaruh terhadap kualitas pembangunan manusia dapat diterima (terbukti). Nilai adjusted R
square model regresi ini cukup besar, yaitu 0,435
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori dan penjelasan pada bab sebelumnya maka kerangka
konseptual yang dibentuk adalah sebagai berikut:
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual
Berdasarkan penjelasan literatur dan hasil penelitian sebelumnya peneliti
membentuk kerangka konseptual yang menggambarkan hubungan antara variabel
dependen dan independen. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Belanja Modal (BM) yang diduga akan
berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap variabel dependen yakni IPM. Tanda
panah menunjukkan bahwa masing-masing variabel independen diduga berpengaruh
baik secara parsial maupun simultan terhadap variabel dependen.
Kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui
penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai PAD yang harus terus PAD (X1)
BM (X2)
menerus dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan
kontribusi PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang
dapat dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah. Kinerja ini dapat dilihat melalui
sasaran yang telah tercapai dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat melalui pemanfaatan PAD (Pendapatan Daerah, Retribusi Daerah, Laba
BUMD, dan Lain-lain pendapatan yang sah).
PAD merupakan dana pemerintah daerah yang digunakan untuk menjalankan
pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik di kabupaten/kota. Sebagian PAD
dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah. BM untuk peningkatan fasilitas publik dengan kata lain tidak
ada bagian BM yang digunakan untuk biaya operasional pembangunan seperti biaya
perjalanan dinas dan sebagainya. IPM/Human Development Index (HDI) adalah
pengukuran perbandingan dari harapan hidup, pendidikan dan standar hidup untuk
semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah
sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan
juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Jika fasilitas publik dapat terpenuhi maka masyarakat merasa nyaman dan dapat
menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan
menciptakan hidup yang sehat dan harapan hidup lebih panjang, meningkatkan
3.2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan kerangka konseptual yang telah digambarkan dan
dijelaskan sebelumnya maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: PAD
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hubungan kausal untuk membuktikan
secara empiris pengaruh PAD dan Belanja Modal terhadap IPM. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menguji variabel-variabel penelitian melalui pembentukan
model analisis dengan prosedur statistik kemudian diambil intepretasi untuk dijadikan
dasar pengambilan kesimpulan.
4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara,
waktu yang direncanakan untuk melakukan penelitian adalah bulan September 2010
sampai dengan selesai.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari 33 kabupaten/kota. Penelitian ini
menggunakan metode purposive sampling, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Data untuk tahun amatan lengkap.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk data panel (pooled
data) dari 19 kabupaten/kota selama dua tahun. Data PAD dan Belanja Modal
diperoleh melalui realisasi APBD kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Utara yang
diperoleh dari situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(http://www.djpkpd.or.id) tahun anggaran 2005 dan 2006. Data yang diambil adalah
realisasi pendapatan asli daerah (PAD), dan belanja modal. Sedangkan data IPM
diperoleh melalui buku terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) dan situs www.bps.go.id.
4.5. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan dua variabel independen dan satu variabel
dependen. Definisi operasional variabel pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala rasio,
yaitu realisasi PAD yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/Kota
se-Provinsi Sumatera Utara.
memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat
lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset
tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Variabel ini diukur dengan
menggunakan skala rasio, yaitu realisasi Belanja Modal yang diperoleh dari
masing-masing APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.
3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah
pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan
standard hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara
berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari
4.6. Model Analisis Data
Model analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pada penelitian
ini adalah regresi linier berganda (Multiple Regression Analysis) dengan persamaan
sebagai berikut:
Pengukuran perbandingan dari Harapan, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain.
Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Nilai IPM Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara
Penelitian ini menggunakan nilai realiasi PAD yang diperoleh dari masing-masing APBD Kabupaten/ Kota se-Provinsi Sumatera Utara.
X2 : Belanja Modal tahun 2006 dan 2007 Y1 : IPM tahun 2007 dan 2008
â0.. â2 : Konstanta
å : Error Term
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda.
Analisis regresi bermanfaat terutama untuk tujuan peramalan (estimation) yaitu
bagaimana variabel independen digunakan untuk mengestimasi nilai variabel
dependen. Penelitian ini pada dasarnya menguji hipotesis tentang pengaruh PAD dan
Belanja Modal secara simultan dan parsial terhadap IPM. Sebelum melakukan uji
hipotesa terlebih dahulu dilakukan olah uji asumsi klasik.
4.6.1. Pengujian Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik diperlukan sebelum dilakukan pengujian hipotesis.
Pengujian asumsi klasik yang dilakukan yaitu uji normalitas, outlier,
multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.
4.6.1.1. Uji normalitas
Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel independen dan dependen memiliki distribusi normal atau tidak. Model
regresi yang baik apabila distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali,
2005). Uji normalitas dideteksi dengan melihat penyebaran data pada sumbu diagonal
dari grafik atau dapat juga dengan melihat histogram dari residualnya. Jika data
menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik
asumsi normalitas, begitu juga sebaliknya. Jika terdapat data yang tidak normal maka
uji metode bisa dilakukan dengan uji outler.
4.6.1.2. Uji outlier
Menurut Erlina dan Mulyani (2007) uji ini berguna untuk melihat apakah ada
data yang outlier, yaitu data yang mempunyai nilai sangat menyimpang dari nilai data
lainnya. Salah satu sebab terjadi distribusi tidak normal karena ada yang outlier yaitu
karena ada data ekstrim yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Selanjutnya
menurut Hair et.al (1998) dalam Erlina (2008) cara untuk mengatasi data yang outlier
dengan cara trimming yaitu membuang data outlier yang mempunyai nilai absolut
skor Z (standardizedscore) sama atau melebihi 3.
4.6.1.3. Uji multikolinearitas
Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2005). Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Pengujian
multikolinearitas pada penelitian ini dilakukan dengan uji collinierity statistic.
Menurut (Ghozali, 2005) dalam melakukan uji multikolinearitas harus terlebih dahulu
diketahui Variance Inflation Factor (VIF). Pedoman untuk mengambil suatu
keputusan adalah sebagai berikut:
1. Jika Variance Inflation Factor (VIF) > 10, maka artinya terdapat persoalan
multikolinieritas diantara variabel bebas.
2. Jika Variance Inflation Factor (VIF) < 10, maka artinya tidak terdapat
4.6.1.4. Uji autokorelasi
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu
berkaitan satu sama lain (Hanke dan Reitsch, 1998 dalam Kuncoro, 2001). Untuk
mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan pengujian Durbin-Watson (DW)
dengan melihat model regresi linear berganda. Jika nilai Durbin-Watson berada di
bawah angka 2 maka model tersebut terbebas dari autokorelasi (Lubis et.al, 2007).
Syarat untuk dilakukannya pengujian Durbin-Watson (DW) apabila berbedanya
kesimpulan antara satu orang dengan yang lainnya dan gambar terlihat mempunyai
skala yang berbeda.
4.6.1.5. Uji heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah di dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variasi dari data pengamatan yang satu ke pengamatan
yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas ini adalah dengan
melihat pola sebaran pada grafik scatter plot. Jika ada pola tertentu seperti titik-titik
yang ada membentuk pola tertentu yang teratur maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas dan jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas
dan di bawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali,
2005).
4.6.2. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis yang dilakukan meliputi uji F (uji signifikansi simultan)