• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU

DALAM UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN

UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

Oleh :

AMARDI PETRUS BARUS

077005111 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Tesis :

N a m a : Amardi Petrus Barus

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU DALAM UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

N I M : 077005111

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Suhaidi,S.H.M.H.

Dr. Faisal Akbar Nasution S.H.M.Hum. Syafruddin S Hasibuan,S.H.M.H Anggota Anggota

.

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(3)

ABSTRAK

Penyelengaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilihan umum yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Permasalahan hukum Pemilihan umum yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilihan umum yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Adapun permasalahan dalam Tesis ini adalah : Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilihan umum di Indonesia serta Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilihan umum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilihan umum dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilihan umum yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi. Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilihan umum yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilihan umum pada setiap tahapan pemilihan umum. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum.

(4)

ABSTRACT

Electoral Organizing as a political event can not be separated from issues of law enforcement. So many provisions in the legislation governing the Electoral crime elections enforcement mechanisms should be based on ordinary criminal procedural law. The election law problems who resolution requiring the decision of the judiciary is divided into two kinds of problems, namely the general election result disputes as stipulated in the provisions of Article 258 and Article 259 and the general election offenses under Article 260 through Article 310 of Law Number 10 Year 2008. The problem in this thesis is: How does the arrangement of crime in Law. 10 year 2008 about the general election for DPR, DPD and DPRD, How is the process of settlement of criminal violations of general elections in Indonesia and How obstacles faced by law enforcement agencies in the handling of election crimes.

The method used in this research is normative legal research. Normative legal research is research that refers to the legal norms contained in legislation and court decisions, relating to the juridical analysis of election offenses in Law no. 10 year 2008 regarding the Election of Members of DPR, DPD and DPRD. On normative legal research that was used is referred to sources of legal materials, namely research, which refers to the legal norms contained in the law.

Criminal laws and the election at least a system that deliberately created in order to continuously improve the quality of democracy, is no political interest groups will inevitably color the regulatory system. If the pendulum of political power laden coloring legislative election system that leads to the negation (denial) to the values of democracy. Criminal law enforcement system of elections as stipulated in Law no. 10 years old in 2008 looked so comprehensive, because it happened almost on the criminalization of all acts which are assumed to administering elections distorted and detrimental to the community of voters and participants at every stage in the general election elections. On the other side "fast nuances" in the enforceability potentially cause the least problems can also be accommodated by the criminal justice system is general.

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini

dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya

bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa

faktor teknis yang sangat terbatas.

Adapun Tesis ini berjudul “Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana

Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD dan DPRD”, yang merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah

Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan

baik berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Suhaidi,

S.H., M.H., Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., dan Syafruddin S

Hasibuan, S.H., M.H. dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong

semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

(6)

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof.

Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa

Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum.,

atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum USU.

3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Utama penulis,

yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan dalam

penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan kepada penulis

sehingga tesis ini selesai di tulis.

4. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi

Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Komisi Pembimbing dengan

penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada

penulis.

5. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing,

dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam

penulisan Tesis ini.

6. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing,

dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam

(7)

7. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih

sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

8. Kepada Kakak dan Abang yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan

pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis

dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa, amal dan budi baik

tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat

dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan

Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga

menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk

menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Desember 2010

Penulis,

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Amardi Petrus Barus

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 31 Maret 1976

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Katolik

Pekerjaan/Jabatan : PNS/Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha

Negara Kejaksaan Negeri Siantar Simalungun

Alamat : Jl. Flamboyan Raya No. 58 A Simpang Medan

Permai – Tanjung Selamat Medan

Pendidikan : SD Negeri No. 163080 Kotamadya Tebing

Tinggi Tamat Tahun 1988

SMP Swasta Katolik Budi Murni 3 Kotamadya

Medan Tamat Tahun 1991

SMA Swasta Katolik Budi Murni 1 Kotamadya

Medan Tamat Tahun 1994

Strata Satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Tamat Tahun 1998

Strata Dua (S-2) Fakultas Hukum Universitas

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Konsepsional ... 25

G. Metode Penelitian ... 29

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD………... 34

A. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu ... 34

B. Pengaturan Tindak Pidana dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD ... 43

1. Pelanggaran Pidana Pemilu………....……… 43

(10)

3. Ketentuan Pidana……….…………46

BAB III : PROSES PENYELESAIAN PELANGGARAN TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA ……… 50

A. Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ... 50

B. Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu ... 59

C. Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu ... 63

1. Mekanisme Pelaporan ... 63

2. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi ... 64

3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ... 65

3.1. Proses Penyidikan ... 65

3.2. Proses Penuntutan ... 67

3.3. Proses Persidangan ... 69

3.4. Proses Pelaksanaan Putusan ... 70

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara ... 71

D. Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu ... 73

BAB IV : HAMBATAN YANG DIHADAPI PARA PENEGAK HUKUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMILU………. 87

A. Potensi Problem Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu ... 87

B. Hambatan Yang Dihadapi Para Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu ... 94

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 103

Lampiran I : Ketentuan Pidana Pemilu ... 107

Lampiran II : Tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD dan DPRD Tahun 2009 sebagaimana yang ditetapkan

dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

09 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008 ... 125

(12)

ABSTRAK

Penyelengaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilihan umum yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Permasalahan hukum Pemilihan umum yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilihan umum yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Adapun permasalahan dalam Tesis ini adalah : Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilihan umum di Indonesia serta Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilihan umum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilihan umum dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilihan umum yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi. Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilihan umum yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilihan umum pada setiap tahapan pemilihan umum. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum.

(13)

ABSTRACT

Electoral Organizing as a political event can not be separated from issues of law enforcement. So many provisions in the legislation governing the Electoral crime elections enforcement mechanisms should be based on ordinary criminal procedural law. The election law problems who resolution requiring the decision of the judiciary is divided into two kinds of problems, namely the general election result disputes as stipulated in the provisions of Article 258 and Article 259 and the general election offenses under Article 260 through Article 310 of Law Number 10 Year 2008. The problem in this thesis is: How does the arrangement of crime in Law. 10 year 2008 about the general election for DPR, DPD and DPRD, How is the process of settlement of criminal violations of general elections in Indonesia and How obstacles faced by law enforcement agencies in the handling of election crimes.

The method used in this research is normative legal research. Normative legal research is research that refers to the legal norms contained in legislation and court decisions, relating to the juridical analysis of election offenses in Law no. 10 year 2008 regarding the Election of Members of DPR, DPD and DPRD. On normative legal research that was used is referred to sources of legal materials, namely research, which refers to the legal norms contained in the law.

Criminal laws and the election at least a system that deliberately created in order to continuously improve the quality of democracy, is no political interest groups will inevitably color the regulatory system. If the pendulum of political power laden coloring legislative election system that leads to the negation (denial) to the values of democracy. Criminal law enforcement system of elections as stipulated in Law no. 10 years old in 2008 looked so comprehensive, because it happened almost on the criminalization of all acts which are assumed to administering elections distorted and detrimental to the community of voters and participants at every stage in the general election elections. On the other side "fast nuances" in the enforceability potentially cause the least problems can also be accommodated by the criminal justice system is general.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Amandemen Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Pasal 2

ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-undang Dasar. Sebagai tindak lanjut dari UUD 1945 tersebut,

Undang-undang telah menetapkan bahwa anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden

serta Wakil Presiden, dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,

setiap 5 (lima) tahun sekali.1

Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat tahun 2009 ini merupakan

pemilihan langsung yang kedua setelah Pemilu 2004 lalu, yang merupakan sarana

perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang

demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.2

Dalam penyelenggaraan Pemilu, sangat sulit dihindari terjadinya pelanggaran

dan sengketa, karena dalam penyelenggaraan Pemilu banyak sekali kepentingan yang

terlibat, apalagi secara jujur harus di akui, bahwa tingkat kesadaran berdemokrasi

masyarakat , relatif masih rendah. Yang perlu di jaga, agar pelanggaran dan sengketa

tersebut tidak menimbulkan gejolak dan tindakan anarkis dalam masyarakat. Jalan

1

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana

Pemilu, (Kejaksaan Agung RI, (Jakarta 1 Juli 2008), hal.1

(15)

yang terbaik untuk mengatasi masalah ini, adalah dengan cara menyelesaikan semua

pelanggaran dan sengketa melalui jalur hukum, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.3

Penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak

mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak

ketentuan tentang Pemilihan Umum terutama yang mengatur tindak pidana

Pemilu dimana pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme hukum acara

pidana.

Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa politik

harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam

keadaan normal. Atau seberapa besar pengaruh Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang

terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu.4

Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan

lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil

Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana

Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2008. 5

3

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers 2009) hal.265.

4

Abdul Fickar Hadjar

(16)

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan

Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu

secara nasional yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang

hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi,

paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran

terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang

penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan

pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan

Pengawas Pemilu serta aparat di bawahnya.

Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu

merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak

pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga

telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP.

Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak

pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir

seluruh perbuatan / tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang

menghambat terlaksananya Pemilu.6

Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang

hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun

(17)

2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang mengatur

tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara

Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11

ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan

berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara

Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang

ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat

dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana

Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti

Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah Agung,

Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan

peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat

Badan Usaha Milik Negara), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik

perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas

Pemilu.7

7

Ibid, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada

dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP

(lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum

(18)

dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan

cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi

dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya.

UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD dan DPRD menentukan batasan penyelesaian perkara pidana pemilu dari

sejak diterimanya laporan kejadian oleh Badan Pengawas Pemilu atau Panwaslu

Provinsi atau Panwaslu Kabupaten/ Kota atau Panwaslu Kecamatan dan/ atau

Pengawas Pemilu Lapangan sampai dengan putusan pengadilan dan eksekusinya

paling lama 59 hari.

Pada tingkat laporan di Bawaslu/ Panwaslu, laporan dari masyarakat,

pemantau atau peserta Pemilu, paling lama 3 (tiga) hari sejak kejadian perkara;

laporan ditindak lanjuti paling lama 3 sampai dengan 5 (lima) hari, untuk

kemudian ditentukan apakah pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana

Pemilu. Dalam hal pelanggaran administrasi diteruskan kepada KPU dan

pelanggaran pidana pemilu diserahkan kepada Penyidik/ Kepolisian.

Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka dituntut adanya

koordinasi antara lembaga penyelenggara Pemilu dengan instansi-instansi terkait

(19)

dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana Pemilu tidak akan mengganggu

jadwal pelaksanaan Pemilu itu sendiri.8

Ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana Pemilu paling

lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya

bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana Pemilu yang baru diketahui setelah

melewati batas waktu tiga hari. UU Pemilu Nomor 10 tahun 2008 tidak

menjelaskan mengenai hal ini, padahal pada realitasnya banyak

kecurangan-kecurangan baru diketahui setelah Pemilu selesai dilaksanakan.9

Jika mengacu pada UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, maka konsekwensi dari

pemberlakuannya sebagai lex specialis, tindak pidana Pemilu yang diketahui

pasca Pemilu selesai menjadi kadaluarsa. Hasil putusannya menjadi tidak

relevan, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi

bagi putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara

akan gugur pasca ditetapkannya hasil Pemilu nasional oleh KPU.

Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana Pemilu pasca

Pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum

tindak pidana ini tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas

UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan

dengan pemilihan umum dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153.

8

Ardianti Yunita, diakses

tanggal 4 Agustus 2009 9

(20)

Karena pada prinsipnya ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam UU

Nomor 10/2008 masih dapat diakomodir oleh ketentuan-ketentuan pidana

Pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang mempengaruhi

perolehan suara peserta Pemilu akan dimasukkan pada wilayah pelanggaran lain

yaitu sengketa hasil Pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan

Mahkamah Konstitusi.

Persoalan lain, potensi konflik antara lembaga-lembaga penyelenggara

Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas

Pemilu (BAWASLU). Dari 51 pasal UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mengatur tindak pidana

Pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam

penyelenggara Pemilu sampai ke tingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Provinsi,

KPU Kabupaten/Kota, PPK (Kecamatan), PPS (Desa/Kelurahan) dan PPLN

(Luar Negeri) jika lalai dalam melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan

rekomendasi-rekomendasi Bawaslu/ Panitia Pengawas, maka jerat hukum

membentang di hadapan mereka.

Demikian juga Bawaslu / Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,

Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar

Negeri yang tidak mengindahkan / menindak lanjuti temuan / laporan KPU

menghadapi persoalan yang sama yaitu jerat hukum yang ancaman hukuman

maksimalnya 3 (tiga) tahun. Kewenangan mengawasi yang begitu besar disisi

(21)

yang pada gilirannya bila tidak disadari akan menghambat pelaksanaan Pemilu

itu sendiri.10

Problem selanjutnya adalah bahwa dalam UU Nomor 10 tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, di lihat pengawasan

dana kampanye belum menjadi fokus perhatian. Dari 51 ketentuan tindak pidana

Pemilu tiga belas pasal diantaranya mengatur tentang kampanye, dan hanya satu

ketentuan yaitu Pasal 281 yang mengatur tentang laporan dana kampanye. Ini

berarti bahwa pengawasan terhadap dana kampanye, yang berdasarkan

pengalaman penyelenggaraan Pemilu pada waktu-waktu yang lalu menimbulkan

banyak masalah, justru hanya diatur melalui “pengawasan laporan”.11

Aturan mengenai pengawasan dana kampanye Pemilu nampaknya

memang sengaja tidak dibuat oleh para anggota DPR, karena pada kenyataannya

banyak pengusaha yang memberikan suntikan dana terhadap partai politik

terutama pada partai yang besar. Hal ini tentu menguntungkan parpol besar, dan

tidak untuk partai kecil. Demikian juga mengenai besaran dana yang digunakan

untuk kampanye juga tidak dapat diawasi oleh Bawaslu, karena ia tidak memiliki

kewenangan dalam mengawasi dana kampanye. Dana kampanye bukan

merupakan tahapan Pemilu, karenanya tidak diwasi oleh Bawaslu. Dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tugas Bawaslu hanya mengawasi

Pemilu saja.

10

Achmad Mudatsir R

(22)

Di sisi lain, meskipun ketentuan mengenai dana kampanye memberikan

kebebasan menerima sumbangan dari perseorangan, kelompok dan /atau

perusahaan, namun juga membatasi penerimaan sumbangan dari badan usaha

milik negara/ pemerintah. Realitas politik praktis yang memungkinkan para

pejabat negara termasuk pejabat BUMN/D berasal dari orang partai politik justru

menjadi potensi penyimpangan berupa pemberian sumbangan ilegal yang

diberikan oleh Instansi/ BUMN yang dipimpinnya. Peluang penyimpangan dana

kampanye ini memang sangat potensial terjadi. Oleh sebab itu, pengawasan dana

kampanye partai politik menjadi sangat penting, mengingat audit terhadap dana

kampanye partai politik ini baru diserahkan ke KPU sekitar empat puluh lima

hari setelah pemungutan suara, maka akan menjadi sangat penting jika

masyarakat dapat melaporkan indikasi penyimpangan ini kepada pengawas

pemilu sehingga dapat diantisipasi sejak awal.

Sistem penegakan hukum tindak pidana Pemilu yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif karena

kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara Pemilu yang

diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta

Pemilu pada setiap tahapan pemilu. Di sisi lain “nuansa cepat” dalam

pelaksanannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang

setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat

(23)

Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana Pemilu

setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka untuk

memperbaiki kualitas demokrasi dan kepentingan politis golongan mewarnai

sistem perundang-undangan tidak akan terhindarkan. Jika bandul kekuatan

politik sarat mewarnai sistem perundangan Pemilu yang mengarah pada negasi

(pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi, jangan khawatir, masyarakat dan

Mahkamah Konstitusi akan melawannya.

Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI (disingkat

MK) adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, selain

Mahkamah Agung (disingkat MA) dengan seluruh badan peradilan yang bernaung di

bawahnya (dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer

dan peradilan tata usaha negara). 12

Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(disingkat UU MK) menegaskan bahwa keberadaan MKRI adalah ”sebagai lembaga

negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam

rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

kehendak dan cita-cita demokrasi”.

Sesuai dengan keberadaan, kedudukan dan fungsinya tersebut, MKRI diberi

wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945

12

(24)

yang ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yaitu mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (dapat disebut

menguji konstitusionalitas undang-undang);

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar (atau memutus sengketa kewenangan

konstitusional lembaga negara);

3. memutus pembubaran partai politik;

4. memutus perselisihan hasil pemilihan umum (Pemilu); dan

5. memberi putusan atau pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD (disingkat Impeachment

DPR).

Untuk melaksanakan ke lima kewenangan MKRI tersebut (catatan : memutus

soal Impeachment disebut oleh UUD 1945 sebagai kewajiban MK), hukum acaranya

telah diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 85 UU MK, meskipun masih bisa

dilengkapi oleh MK (vide Pasal 86 UU MK) lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi

(PMK).

Hukum Acara MK bersifat umum dan khusus. Hukum Acara yang bersifat

umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan Hukum Acara yang bersifat

khusus hanya berlaku khusus untuk masing-masing kewenangan MK.13

13

(25)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang

Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD?

2. Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu di

Indonesia?

3. Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan

perkara tindak pidana pemilu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang

pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

2. Untuk mengetahui proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam

penanganan perkara tindak pidana pemilu.

2005, di Gedung Mahkamah Konstiusi, Jakarta Pusat. Pernah disampaikan di forum “Pendidikan

Khusus Profesi Advokat”, Kerjasama FH Unibraw dengan AAI, 30 April 2005, di Malang. Dan

disampaikan juga di Forum Dialog MKRI dengan Insan Pers tentang “MK dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Kerjasama MKRI dengan LKBN Antara, 17-18 Mei 2005, di

(26)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi

yaitu :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu

pengetahuan hukum yang berhubungan dengan penyelesaian tindak pidana pemilu

yang sering terjadi pada saat tahapan pemilu dilaksanakan hingga selesainya

pemilu.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para

praktisi hukum dan aktivis partai politik dalam menyelesaikan tindak pidana

pemilu yang terjadi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan di perpustakaan

khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian dengan

judul: “Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”,

belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan perumusan

masalah yang sama, walaupun ada di program S2 Hukum USU, namun berbeda yaitu

yang dilakukan oleh Marudut Hasugian dengan judul Pelaksanaan Pemilihan Presiden

(27)

mengenai Sidang Umum MPR 1999). Adapun permasalahan yang dibahas dalam

tulisan tersebut antara lain :

1. Bagaimanakah prosedur atau tata cara pemilihan Presiden Republik Indonesia

dalam peraturan perundang-undangan.

2. Bagaimanakah pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan Presiden Republik

Indonesia.

Dengan demikian penelitian ini adalah baru pertama kali sehingga dijamin

keasliannya dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu : jujur, rasional, objektif dan

terbuka. Kesemuanya ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran

secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk dikritisi yang bersifat konstruktif

(membangun).

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Dalam penulisan Tesis ini teori yang digunakan adalah pendapat Lawrence M.

Friedman, dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science

Perspective, 1975, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur

hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan)

dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya

sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang

(28)

pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara

evolusi maupun revolusi.14

Indonesia sebagai sebuah negara demokratis, melaksanakan pemilu

merupakan suatu keharusan sebagaimana perintah UUD 1945. Indonesia sebagai

negara hukum (Pasal 1 ayat (3)) UUD 1945, pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan

aturan yang ditetapkan dan pelanggaran terhadap aturan hukum haruslah ditindak dan

diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam sistem pemerintahan Indonesia

telah menggunakan sistem pemerintahan Presidensial.

Sistem presidential, menurut Rod Hague, memiliki tiga ciri, pertama, Presiden

dipilih oleh rakyat, bertindak sebagai kepala pemerintahan, dan mengangkat pejabat

pemerintahan terkait. Presiden memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat karena

karena dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Di samping itu,

pemerintahan bisa berjalan dengan efektif karena menteri-menteri diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden. Kedua, masa jabatan Presiden bersifat tetap, sama

dengan dewan perwakilan. Ketiga, peran presiden sebagai lembaga eksekutif tidak

tumpang tindih dengan dewan perwakilan sebagai lembaga legislatif. Oleh karena itu,

tidak ada upaya saling menjatuhkan satu sama lain sehingga program pembangunan

dapat terlaksana dengan baik sebab ini menyangkut kesejahteraan rakyat.15

Sebagai wujud awal dari pelaksanaan sistem pemerintahan Presidensial, maka

dilaksanakan Pemilu. Di Indonesia, Pemilu diselenggarakan berlandaskan :

14

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 26. 15

Luky Sandra Amalia, Indonesia Memilih Presidensial (Review Buku), Jurnal Kisruh

(29)

Asas Langsung, dengan asas langsung rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk

memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa

perantara.

Bersifat umum, berarti menjamin kesempatan yang belaku menyeluruh bagi semua

warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis

kelamin, kedaerahan pekerjaan dan status sosial.

Bebas, berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.

Rahasia, berarti di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin

keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati

nuraninya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak

akan diketahui oleh pihak manapun.

Jujur dan adil berarti pemilih memberikan suaranya pada surat suara bertindak jujur

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu

mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.16

Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD dan DPRD”, yang diundangkan tanggal 31 Maret 2008 mencabut UU Pemilu

sebelumnya. Undang-undang tersebut merupakan pedoman bagi penyelenggara

pemilu dan semua pihak yang terlibat didalamnya. Selain itu, undang-undang tersebut

16

(30)

juga mencantumkan sejumlah sanksi dan sanksi pidana tersebut pada hakikatnya

merupakan pengawal untuk pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil tersebut.

Tentang perbuatan pidana apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana

pemilu telah diatur secara rinci dalam UU No. 10 tahun 2008 Pasal 260 sampai

dengan 311 sehingga tindak pidana yang dilakukan dan terjadi dalam rangka

pelaksanaan pemilu diluar yang disebut pasal di atas tidak dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana pemilu. Sedangkan pengadilan yang memberikan wewenang

oleh undang-undang ini untuk menyelesaikan perkara tidak pidana pemilu adalah

Pengadilan Negeri. Hal ini tercantum dalam Pasal 252 UU No.10 Tahun 2008

“bahwa pelanggaran pidana pemilu yang diatur dalam UU ini yang penyelesaian

dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum” sedangkan

hakimnya adalah hakim khusus.

Proses penanganan perkara dalam tindak pidana pemilu maksimal hanya pada

tingkat banding sehingga upaya kasasi dan peninjauan kembali tidak berlaku dalam

perkara ini. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 255 ayat (5) UU No.10 tahun 2008

“bahwa putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir dan mngikat dan

tidak ada upaya hukum lain”. Ini berarti, tidak ada upaya hukum lain berupa upaya

hukum kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

Sesuai dengan salah satu pengertian negara hukum di mana setiap tindakan

penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam

koridor hukum. Hal ini berarti yang harus mengawal konstitusi adalah segenap

(31)

dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat penyelenggara

negara telah memahami UUD 1945 serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan

UUD 1945, maka setiap produk hukum, kebijakan, dan tindakan yang dihasilkan

adalah bentuk pelaksanaan UUD 1945.

Hal tersebut juga harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga

negara. Untuk itu juga dibutuhkan adanya kesadaran berkonstitusi dari setiap warga

negara untuk tidak saja melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan

yang telah dibuat berdasarkan UUD 1945 melainkan juga untuk dapat melakukan

kontrol pelaksanaan UUD 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan,

kebijakan, maupun tindakan penyelenggara negara. Fungsi kontrol dari masyarakat

diperlukan beriringan dengan penerapan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi

dalam sistem ketatanegaraan. Hal itu karena antara UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan di bawahnya, kebijakan, serta tindakan penyelenggara negara,

terdapat jarak yang memungkinkan adanya bias, bahkan pertentangan dalam

pelaksanaan UUD 1945.17

Antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, paling

tidak terdapat tiga hal yang membuat jarak antara keduanya. Pertama, konstitusi

memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi dibanding peraturan perundang-

undangan di bawahnya. Pada praktiknya, selalu terdapat kemungkinan kekeliruan

dalam mengoperasionalkan sesuatu yang abstrak menjadi aturan operasional. Kedua,

terdapat perbedaan waktu antara pembuatan konstitusi dan peraturan

(32)

undangan biasa. Konstitusi lebih dulu ada, sedangkan aturan hukum di bawahnya

dibuat kemudian. Perbedaan waktu pembuatan antara konstitusi dan aturan di

bawahnya membawa konsekuensi kemungkinan adanya cara pandang berbeda

terhadap suatu hal yang akan diatur. Waktu juga dapat mengakibatkan apa yang

sesungguhnya dimaksud dalam pembuatan konstitusi tidak dapat sepenuhnya

dipahami pada saat pembuatan aturan hukum di bawah konstitusi. Ketiga, tumbuhnya

jarak yang muncul karena perbedaan penyusun konstitusi dengan aturan hukum di

bawahnya. Secara teoritis, penyusun konstitusi adalah lembaga yang anggotanya

”mewakili seluruh rakyat” sehingga konstitusi disebut sebagai kesepakatan ”seluruh

rakyat”. Sedangkan aturan hukum di bawah konstitusi, misalnya undang-undang,

dibuat melalui mekanisme dan kelembagaan yang lebih merepresentasikan kehendak

”mayoritas rakyat”. Prinsip mayoritas ini adalah salah satu ciri demokrasi yang tidak

dapat dihilangkan. Di sisi lain, suara mayoritas belum tentu yang terbaik bagi seluruh

rakyat. Bahkan, suara mayoritas bisa menjadi tirani dan melanggar hak-hak

konstitusional kelompok minoritas. Oleh karena itu, dari sisi normatif, produk hukum

yang dibuat suara mayoritas mungkin menjadi bertentangan dengan konstitusi hasil

kesepakatan seluruh rakyat. Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya

kemungkinan ketidaksesuaian dan pertentangan dalam pelaksanaannya, UUD 1945

menganut prinsip saling mengawasi dan mengimbangi. Setiap lembaga negara dalam

menjalankan wewenangnya masing-masing dan selalu berhubungan dengan

wewenang lembaga negara lain. Dalam pembuatan undang-undang, pembahasannya

(33)

dapat menjadi undang-undang. Bahkan, suatu undang-undang yang telah disahkan

dan berlaku, dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi, jika ada

masyarakat yang menganggap hak konstitusionalnya dilanggar ketentuan

undang-undang tersebut. Demikian pula peraturan di bawah undang-undang-undang-undang dapat diuji

Mahkamah Agung jika ada anggota masyarakat yang dirugikan dengan aturan

tersebut karena bertentangan dengan undangundang. Oleh karena itu, peran

masyarakat dalam mengawal konstitusi tidak dapat dinomorduakan. Masyarakat yang

menentukan apakah suatu peraturan sebagai dasar hukum penyelenggaraan negara

akan dilakukan pengujian atau tidak. Masyarakat pula yang akan menentukan apakah

terhadap tindakan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional diajukan

gugatan atau tidak. Untuk itu, masyarakat harus menyadari hak-hak konstitusionalnya

yang dilindungi UUD 1945 serta mengetahui mekanisme untuk memperjuangkan dan

mempertahankan hak-hak tersebut.18

Dengan demikian, masyarakat akan tahu jika ada ketentuan hukum dan

tindakan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusionalnya serta aktif

mengawal pelaksanaan UUD 1945 melalui prosedur hukum yang telah tersedia. Pada

titik inilah kesadaran berkonstitusi masyarakat diperlukan guna membangun negara

hukum yang demokratis. Kesadaran berkonstitusi masyarakat merupakan modal

sosial untuk mengawal pelaksanaan UUD 1945 baik dalam bentuk peraturan

perundang-undangan maupun tindakan penyelenggara negara. Dengan adanya

18

(34)

kesadaran tersebut, masyarakat dapat menjalankan kehidupan berbangsa dan

bernegara berdasarkan UUD 1945 baik dalam berhubungan dengan warga masyarakat

lain maupun dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dengan sendirinya,

ketentuan dasar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara dapat

dilaksanakan disertai dengan partisipasi dalam kehidupan bernegara. Jika hal itu

dapat diwujudkan, maka benar-benar telah terbentuk masyarakat yang berperan

sebagai warga negara yang ikut menentukan pelaksanaan konstitusi dan tujuan

bernegara. Jika segenap penyelenggara negara dan seluruh warga negara telah

memiliki kesadaran berkonstitusi, konstitusi akan benar-benar hidup dalam

keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution). Setiap

wilayah dan detak kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berjalan dengan

landasan konstitusional. Dengan sendirinya, jika ada pelanggaran konstitusi, dengan

cepat dapat diketahui dan menjadi permasalahan bersama yang harus dikembalikan

pada koridor konstitusi. Di sisi lain, jika telah menjadi the living constitution, nilai

dan aturan dasar konstitusi juga akan senantiasa berkembang dalam praktik

konstitusional. Praktik tersebut akan senantiasa memperkaya dan melengkapi aturan

konstitusional tanpa melanggar prinsip dasar konstitusional. Konstitusi tidak menjadi

dokumen ”mati” dan cepat tertinggal dari perkembangan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Sebaliknya, konstitusi senantiasa tumbuh berkembang sehingga mampu

menjawab berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan.19

(35)

Lahirnya Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,

DPD dan DPRD merupakan program reformasi hukum tentang politik dan demokrasi

di Indonesia yang dilaksanakan pemerintah Indonesia sejak bergulirnya reformasi.

Salah satu efek dari proses demokratisasi dan pemenuhan hak asasi manusia

di Indonesia pasca 1998 adalah menguatnya pengawasan dan perimbangan dalam

kehidupan sosial politik. Ini sebetulnya ciri masyarakat maju. Dalam masyarakat

maju terdapat kompleksitas, dan hubungan sosial yang sejajar, cendikiawan

Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai corak hubungan masyarakat patembayan

(gezellchaft). Mekanisme pengawasa corak ini lebih rumit, melibatkan partisipasi

masyarakat luas, yang terbuka dan merata. Berbeda dengan corak masyarakat

paguyuban, kehidupan bersama itu cukup diletakkan pada kemauan yang baik dan

ketulusan pribadi pemimpin. Dalam masyarakat patembayan yang kompleks,

kehidupan bersama tidak bisa lagi diserahkan kepada moralitas pribadi pemimpinnya

saja, atau itikad baik, tetapi mesti diletakkan kepada mekanisme pengawasan da

keseimbangan yang lebih terbuka. Sebagai bangsa yang sedang masuk ke jenjang

kemajuan lebih tinggi, kata Nurcholis Madjid – biasa disapa Cak Nur – kita mesti

berani bereksperimen dengan demokratisasi. Eksperimen coba dan salah (trial and

error), suatu hal yang lumrah dialami, tak terhindarkan. Kesalahan justru akan

memberi konfirmasi kepada kebenaran. Meskipun demikian, Cak Nur memberi

catatan tebal ; eksperimen demokratisasi mesti diimbangi dengan sikap waspada dari

gerak antusiasme yang berlebihan, justru akan membuat kesalahan, menyebabkan

(36)

eksperimen dilanjutkan dengan menjadikan pemerintah dan partai politik sebagai

penyelenggara Pemilu. Hasilnya : ada sebuah perkembangan baik. Timbul kesadaran

konstitusional dan penguatan partisipasi demokrasi lokal. Lembaga penyelenggara

Pemilu kemudian dituntut independen. Kelompok masyarakat dilibatkan sebagai

pemantau pemilu.20

Kehadiran undang-undang ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam

melaksanakan program reformasi di bidang hukum politik dan demokrasi dengan

menyiapkan substansi hukum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat maupun

budaya hukum masyarakat. Substansi hukum melahirkan aparatur hukum baru dan

mengakibatkan terjadinya pembaharuan hukum yang dapat berfungsi mendorong

percepatan pembangunan politik dan demokrasi nasional dalam rangka untuk

mencapai pemerataan pendidikan politik masyarakat. Pemerataan pendidikan

demokrasi dan politik masyarakat ini merupakan tujuan hukum politik dan

demokrasi.

Tujuan hukum politik dan demokrasi tidak terlepas dari tujuan hukum pada

umumnya. Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),

kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).21

20

Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, Ramdansyah, (Jakarta : Rumah Demokrasi, Cetakan I, Maret 2010), hal.3-5

Dalam hal

mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice),

Smith mengatakan bahwa ”tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari

21

(37)

kerugian” (the end of the justice to secure from enjury).22 Maka teori hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga

dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang

abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan

hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah

kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.23

Ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana

Pemilu terlihat dari adanya kriminalisasi terhadap hampir seluruh

perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang dapat

menghambat terlaksananya Pemilu.

Dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur

31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2008 ini

mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal (dimulai dari Pasal 260 s/d Pasal 311).

Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal)

mengancam penyelenggara Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat

Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada

penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10

Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan

tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu.

Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang

22

Bismar Nasution, Op. Cit. hal. 4-5. 23

(38)

(umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat

Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah

Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua

badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta

Pejabat Badan Usaha Milik Negara), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga

Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan

Pengawas Pemilu.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada

dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP

(lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme/hukum

acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan

dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan

cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi

dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya.

2. Konsepsional

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang

dipergunakan, maka dapat diberikan defenisi operasional sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 1 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD

(39)

Yang dimaksud dengan Pelanggaran Pidana Pemilu adalah pelanggaran

terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang No. 10 tahun

2008, yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Umum.24

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana

pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.25

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.26

Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan

Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.27

24

Rozali Abdullah, Op Cit, hal. 267. 25

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

26

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

27

(40)

Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan

Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.28

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.29

Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga

penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.30

Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah

penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.31

Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang

bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.32

Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu

Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu

28

Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

29

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

30

Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

31

Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

32

(41)

kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi

penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.33

Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu

kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk

mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.34

Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu

kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.35

Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu

untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.36

Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah

Republik Indonesia atau di luar negeri.37

Warga Negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli dan

orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.38 Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh

belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin.39

33

Pasal 1 angka (16) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

34

Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

35

Pasal 1 angka (18) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

36

Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

37

Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

38

Pasal 1 angka (21) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

39

(42)

Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana

Pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, yang

penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Umum.40

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu

mengenai penetapan perolehan suar hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan

penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, adalah perselisihan

penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta

Pemilu.41

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan.

Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara kerja

yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.42 Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang

ditentukan.43

Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada

proposal penelitian ini sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

40

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009) hal.267.

41

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009) hal.269.

42

Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia, 1977), hal. 16.

43

(43)

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan,44

Menurut Ronald Dworkin, ”Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai

penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis

baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum

yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the

judge through judicial process).

yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilu

dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan

DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada

sumber bahan hukum yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam perangkat hukum.

45

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian

ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada

suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai pelaksanaan ketentuan acara

pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD

dan DPRD.

44

Soerdjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.

45

(44)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang (statute approach) berupa pendekatan undang-undang-undang-undang (statute approach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkati dengan

isu hukum yang sedang ditangani,46 yaitu : Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang nomor

24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan judul Analisis

Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, didasarkan pada penelitian

kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data sekunder.

Data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta

bahan hukum tersier yaitu :

1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang

terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan

maupun putusan-putusan pengadilan. Seperti UUD 1945, UU No.10 tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang

46

(45)

tentang Mahkamah Konstitusi, Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Undang-Undang tentang Advokat, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 18 Tahun Undang-

2003.Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, 2003.Undang-Undang-2003.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis,

disertasi hukum, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan

penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam

rangka melakukan penelitian.

3. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yakni yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan

dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian dilakukan dengan penelitian

kepustakaan (library research).

Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara meneliti

sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku

hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan,

putusan-putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan

(46)

5. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan

ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan

dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur

mengenai pelaksanaan ketentuan acara pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, kemudian membuat sistematika

dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan

(47)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

A. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu

Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia,

menurut Indra J. Piliang, peneliti dari CSIS, tidak dapat dilepaskan dengan

perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad

ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting, yaitu pertama, mulai

terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para aktivis

politik berhaluan radikal, umumnya mereka adalah para buangan politik ke Hindia

Belanda. Di wilayah yang baru ini, mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan

gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat di sini para

migran politik tersebut antara lain: Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang

lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi. Di Indonesia,

fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik

pasca-kolonial.47

Pada umumnya hukum itu diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai

tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa

47

(48)

dipaksakan. Hukum ini lahir untuk mengatur dan menyerasikan pelaksanaan

kepentingan yang berbeda-beda di antara anggota masyarakat.48

Dalam kehidupan politik itu terdapat orsospol sebagai infra struktur politik

dan lembaga pemerintahan sebagai supra struktur politik. Infra dan supra struktur

politik saling memberi input dan output dan mengolah keluhan serta mempelajari

aspirasi masyarakat. (complaint, claim, demand).49

Dalam pelaksanaan kehidupan politik, keterkaitan antara hukum sebagai alat

untuk mengaturnya sangat diperlukan. Namun di sisi lain tak jarang, iklim politik

mempengaruhi mau dibawa kemana hukum itu. Bahkan, hukum itu sendiri sering

dimanfaatkan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Demikian pula halnya

dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Pemilu sebagai salah satu bentuk

pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945 juga

tidak terlepas dari aturan hukum yang mewarnai kehidupan politik dan penentuan

aturan hukum itu juga sangat dipengaruhi pula dengan warna politik yang

menyertainya saat pembentukan aturan hukum itu sendiri.

Kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Melaksanakan kedaulatan itu bagi

48

Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001). Hal. 63

49

Referensi

Dokumen terkait

Titer antibodi hasil Uji HI pada unggas air domestik di sekitar CAPD Rataan Spesies ∑ Sampel ∑ Positif (%) Titer (Seroprevalensi) Antibodi (GMT) Mentok 14 100 26,9 Itik 15 100

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa dan Angka Kreditnya

Pada aspek pertama guru mendapatkan nilai 3 di mana guru masih belum terbiasa menghadapi siswa dan guru sudah dapat.. menjelaskan materi dengan baik namun cukup memakan

Menyatakan suatu objek memanggil operasi / metode yang ada pada objek lain atau dirinya sendiri, arah panah mengarah pada objek yang memiliki operasi/metode,

- berilah tanda pada kolom Tugas /Jabatan, sesuai tugas saat ini - berilah tanda status keaktifan sesuai kondisi saat ini.. - Isi Tempat Tugas & Mapel

Peran penyuluhan pertanian terhadap pengendalian hama terpadu pada kelas kemam- puan kelompok tani pemula tergolong rendah dengan skor rata-rata yang didapat untuk

5 Penelitian ini terbatas pada pengelolaan data spasial sumberdaya mineral dalam wilayah studi di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan

Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Young (1998) remaja sebagai pengguna internet yang memiliki kontrol diri yang tinggi mampu mengatur penggunaan internet