• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dental Fobia Pada Anak Usia 3-6 Tahun Serta Penanggulangannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dental Fobia Pada Anak Usia 3-6 Tahun Serta Penanggulangannya"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DENTAL FOBIA PADA ANAK USIA 3-6 TAHUN

SERTA PENANGGULANGANNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

NABILAH AMRAN NIM : 070600175

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Anak Tahun 2011

Nabilah Amran

Dental Fobia Pada Anak Usia 3-6 Tahun Serta Penanggulangannya. vii + 22 Halaman

Dental fobia adalah secara asasnya sinonim dengan rasa takut, tetapi rasa takut yang berlebihan. Rasa takut dapat mempengaruhi perilaku anak dan menentukan keberhasilan perawatan ke dokter gigi. Anak yang takut terhadap perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi merupakan hambatan bagi para dokter gigi, apalagi bila rasa takut tersebut timbul secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya fobia.

Terbentuknya dental fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial semasa kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa prosedur kerja kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit menyebabkan anak merasa takut, kebanyakan anak yang pernah memiliki pengalaman buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama suara bor dan bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan anak terhadap mati rasa atau tersedak juga bisa menyebabkan penghindaran ke praktek dokter gigi.

(3)

Agar perawatan gigi pada anak dapat berhasil maka dokter gigi perlu mengetahui perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosional dan sosial serta berbagai perilaku anak pada anak usia 3 hingga 6 tahun.

Perawatan yang dapat dilakukan adalah secara farmakologi dan non-farmakologi dimana secara non-farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dan perawatan secara non-farmakologi adalah salah satu cara dalam mengatasi dental fobia tanpa menggunakan obat-obatan. Perawatan tersebut antara lain TSD, komunikasi, mengalihkan perhatian, hipnotis, modeling, desensitisasi dan HOME.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji skripsi

Medan, 30 Juni 2011

Pembimbing Tanda Tangan

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal 30 Juni 2011

TIM PENGUJI SKRIPSI

KETUA : Taqwa D, drg., SpKGA

ANGGOTA :

1. T. Hermina M, drg

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu penulis mempersembahkan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta. Ayahanda Amran Yaacob, Ibunda Dayang Milianna Haji Naim dan keluarga yang telah memberikan dorongan dan semangat sejak awal kuliah hingga selesainya skripsi ini.

Kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. H Nazruddin, drg., C.ort Ph.D., Sp.Ort. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Yati Roesnawi, drg., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. T. Hermina M., drg selaku dosen pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

(7)

5. Teman-teman skripsi penulis, Marina Nofalia dan Melinda diatas dorongan dan saran selama penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman penulis, Jazzalina Aiza Jamil, Afzan Syahanim Balqis dan Mohd Faris serta sahabat-sahabat penulis atas dukungan, saran, semangat yang diberikan selama masa kuliah dan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang bergunakan bagi fakultas, perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan.

Medan, 30 Juni 2011 Penulis,

( ………... ) Nabilah Amran

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL . ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 DEFINISI DAN PENGERTIAN DENTAL FOBIA ... 3

BAB 3 ETIOLOGI TERJADINYA DENTAL FOBIA ... 6

3.1. Dokter Gigi ... 6

3.2. Fobia Terhadap Alat Kedokteran Gigi ... 6

3.3. Faktor Orang Tua ... 7

3.4. Faktor Sosial Ekonomi ... 8

3.5. Faktor Pendidikan ... 9

BAB 4 PENANGGULANGAN DENTAL FOBIA SECARA NON-FARMAKOLOGI ... ... 10

4.1. Komunikasi ... ... 12

4.2. Mengalihkan Perhatian ... ... 13

4.3. Teknik Tell-Show-Do (TSD) ... ... 14

4.4. Modeling ... ... 15

(9)

4.6. Hand-Over-Mouth Exercise (HOME) ... ... 16 4.7. Hipnotis ...

... 17 BAB 5 KESIMPULAN ...

(10)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Anak Tahun 2011

Nabilah Amran

Dental Fobia Pada Anak Usia 3-6 Tahun Serta Penanggulangannya. vii + 22 Halaman

Dental fobia adalah secara asasnya sinonim dengan rasa takut, tetapi rasa takut yang berlebihan. Rasa takut dapat mempengaruhi perilaku anak dan menentukan keberhasilan perawatan ke dokter gigi. Anak yang takut terhadap perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi merupakan hambatan bagi para dokter gigi, apalagi bila rasa takut tersebut timbul secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya fobia.

Terbentuknya dental fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial semasa kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa prosedur kerja kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit menyebabkan anak merasa takut, kebanyakan anak yang pernah memiliki pengalaman buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama suara bor dan bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan anak terhadap mati rasa atau tersedak juga bisa menyebabkan penghindaran ke praktek dokter gigi.

(11)

Agar perawatan gigi pada anak dapat berhasil maka dokter gigi perlu mengetahui perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosional dan sosial serta berbagai perilaku anak pada anak usia 3 hingga 6 tahun.

Perawatan yang dapat dilakukan adalah secara farmakologi dan non-farmakologi dimana secara non-farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dan perawatan secara non-farmakologi adalah salah satu cara dalam mengatasi dental fobia tanpa menggunakan obat-obatan. Perawatan tersebut antara lain TSD, komunikasi, mengalihkan perhatian, hipnotis, modeling, desensitisasi dan HOME.

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

Rasa takut anak terhadap perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi merupakan hambatan bagi dokter gigi, terutama jika rasa takut tersebut timbul secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya fobia. Rasa takut dapat mempengaruhi perilaku anak dan menentukan keberhasilan perawatan ke dokter gigi. Anak yang takut, lebih besar kemungkinannya untuk mendapatkan pengalaman perawatan gigi yang tidak menyenangkan dibandingkan anak dengan rasa takut yang kurang. Hal ini memiliki dampak negatif terhadap kesehatan rongga mulut anak.1

Suatu penelitian menyatakan bahwa anak yang berumur di bawah 3 tahun lebih cenderung merasa takut dan perasaan takut akan berkurang bila anak semakin meningkat dewasa. Prevalensi dental fobia tidak ada gambaran yang pasti, dari penelitian yang dilakukan di Australia 14.9% anak merasa takut terhadap perawatan gigi, Kanada sebanyak 12.5%, Rusia 12.6% dan sebanyak 4 - 7% anak di Jepang, Indonesia, Brazil dan Argentina mengalami dental fobia yang sangat ekstrim.2

(13)

perilaku anak untuk kunjungan berikutnya. Kemungkinan yang akan terjadi, anak dapat menjadi sangat percaya atau takut kepada dokter gigi.1,3

Penanganan pada pasien anak, dokter gigi dan beserta staf akan berhadapan dengan masalah perilaku yang dapat menghambat atau menolak perawatan. Suatu tindakan yang merugikan jika pasien tidak hadir pada saat perawatan hanya karena rasa takut dan bayangan rasa sakit yang berlebihan akibat perawatan. Umumnya, pasien yang datang berobat hanya pada saat giginya benar-benar dalam keadaan sakit.1,3

(14)

BAB 2

DEFINISI DAN PENGERTIAN DENTAL FOBIA

Anak yang takut terhadap perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi merupakan hambatan bagi para dokter gigi, apalagi bila rasa takut tersebut timbul secara berlebihan dan mengakibatkan terjadinya fobia. Sehingga rasa takut dapat merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi masyarakat dan kesehatan tubuh secara menyeluruh terutama pada pasien anak1

Banyak yang mungkin keliru dengan dental anxiety (rasa cemas) , dental fear (rasa takut) dan dental fobia. Mendefinisikan masing-masing istilah tersebut sangat sulit karena rasa takut, cemas dan fobia adalah kata-kata yang mempunyai arti yang hampir sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan penting yaitu dental anxiety berarti ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Pasien merasa cemas oleh karena tidak tahu apa yang akan terjadi atau harus berbuat apa nanti. Dental fear merupakan antisipasi terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh seseuatu yang diketahui sangat berbahaya. Sedangkan dental fobia adalah sinonim dengan rasa takut, tetapi rasa takut yang berlebihan. Pasien akan cenderung untuk menghindar melakukan perawatan gigi, dengan hanya mendengar perkataan ‘dokter gigi’ saja, mereka mulai merasa takut.4,22

(15)

mengidapnya sehingga disimpulkan bahwa dental fobia adalah suatu rasa takut yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan gigi.1

Menurut Dental Fear Central 2004-2007, fobia didefinisikan sebagai ketakutan berat/parah yang tidak rasional, menyebabkan seseorang menghindari objek, situasi takut atau kegiatan tertentu. Rangsangan secara langsung dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Hal itu tidak hanya mempengaruhi kesehatan mulut, tetapi juga menyebabkan banyak penderitaan dan dampak pada aspek lain dalam kehidupan individu. Penderita dental fobia kemungkinan akan menghabiskan waktunya untuk memikirkan tentang keadaan giginya atau sama sekali tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan gigi.4

Louis Siegelman mendefenisikan dental fobia sebagai suatu bentuk ketakutan yang berlebihan terhadap dokter gigi yang mengakibatkan pasien tidak mau berobat sehingga dapat menyebabkan kehilangan giginya.5 Menurut Michael Krochak, dental fobia adalah perasaan takut yang serius dan menyebabkan anak tersebut tidak mau ke dokter gigi.Sedangkan Lisa Fritscher menyatakan bahwa dental fobia atau takut akan dokter gigi adalah fobia umum dikalangan semua usia.6

(16)

Survei menurut Walker & Cooper (2000) mengungkapkan bahwa 24% orang dewasa dilaporkan selalu merasa cemas apabila pergi ke dokter gigi. Hasil uji statistik yang dibuat oleh British Dental Association (1995) bahwa sepertiga dari orang dewasa mengalami ketakutan yang parah terhadap prosedur perawatan gigi.24

Humphries (1995) menyatakan bahwa tahap ketakutan seseorang dapat diukur dengan menggunakan Modified Dental Anxiety Scale (MDAS), merupakan modifikasi dari metode original oleh Coral (1969) yaitu Corah’s Dental Anxiety Scale (DAS).4,24 Kenyataannya, dental fobia sangat sulit untuk diukur karena sebagian besar pasien mengidap dental fobia menghindar untuk pergi ke praktek gigi kecuali dalam keadaan darurat.22

Fobia terdiri dari fobia sosial dan fobia spesifik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMN), dental fobia merupakan salah satu

(17)

BAB 3

ETIOLOGI TERJADINYA DENTAL FOBIA

Fobia terhadap perawatan gigi pada anak merupakan fenomena yang multifaktorial dan kompleks. Fobia akan mempengaruhi tingkah laku anak dan dapat menentukan keberhasilan kunjungan ke dokter gigi.

Dental fobia dapat dibagi dua yaitu ringan dan berat. Etiologi terjadinya dental fobia dapat dibagi menjadi beberapa faktor. Kebanyakan orang dengan dental fobia ringan hanya memiliki satu faktor etiologi, sedangkan mereka dengan dental fobia berat mungkin takut akan semua atau sebagian besar faktor etiologi tersebut. Faktor-faktor etiologi tersebut adalah sebagai berikut:

3.1. Dokter gigi

Dokter gigi sering dianggap sebagai seorang yang bersikap dingin dan tidak berperasaan. Jas dokter gigi yang dipakai berwarna putih dapat menyebabkan rasa takut terhadap anak.7

3.2. Fobia terhadap alat kedokteran gigi.

(18)

Beberapa faktor yang menyebabkan injeksi yang dilakukan terasa sakit yaitu tidak menggunakan anestesi topikal sebelum melakukan injeksi, terlalu kuat, menggunakan jarum tumpul, memasukkan obat anestesi terlalu cepat ke dalam jaringan dan tidak menarik jaringan dengan kuat. 4,10 Beberapa anak yang setelah dianestesi mempunyai pengalaman tersedak atau kesulitan bernapas, sehingga pasien mungkin khawatir bahwa mereka tidak dapat bernapas atau menelan.7 Sebagian anak yang mengidap dental fobia, hanya mendengar bunyi bor atau handpiece akan merasa cemas serta menggigil ketakutan. 4

3.3. Faktor Orang Tua

Pengalaman dari orang tua tentang ketakutan mereka terhadap dokter gigi, mempunyai pengaruh yang besar terhadap pandangan seorang anak ke dokter gigi. Jika orang tua menunjukkan ketakutan terhadap dokter gigi, maka si anakpun akan memiliki perasaan yang sama karena orang tua merupakan orang yang pertama sekali ditiru atau dicontoh oleh anak.3

Sikap orang tua dapat diidentifikasikan untuk menentukan perilaku tertentu yang kurang baik pada anak mereka antara lain :

a. Overprotection (melindungi anak dengan berlebihan)

Orang tua seperti ini tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengalami dan belajar mengatasi permasalahan. Sebagai akibatnya anak menjadi pemalu, takut terhadap situasi yang baru, dan kurang rasa percaya diri. Anak sering menolak kewajiban dan menunjukkan tingkah laku tak bertanggung jawab.9,16

(19)

Biasanya anak ini berasal dari keluarga yang terlambat mempunyai anak, pasangan yang usia lanjut, anak tunggal atau anak yang paling kecil. Anak seperti ini kurang dipersiapkan untuk mendapatkan tempat yang tepat di masyarakat, di sekolah atau di tengah keluarga dan mereka kurang keberanian untuk masuk ke dalam kamar praktek gigi.9,16

c. Overanxiety (rasa cemas yang berlebihan)

Biasanya terdapat pada keluarga yang pernah mengalami kematian anaknya atau pada anak tunggal sehingga si anak menjadi sangat tergantung pada orang tua, penakut dan pemalu.9,16

d. Overauthority (sikap yang keras)

Orang tua bersikap kritis selalu mengkritik anak-anaknya, bahkan bisa menolak semua kemauan dan keinginan anaknya. Sebagai akibatnya anak menyatakan perasaannya dalam bentuk negatif, selalu mempertahankan diri terhadap segala bentuk yang dianggap merintangi dan merugikan dirinya.9,1

e. Under affection (sikap kurang kasih sayang)

Sikap kurang kasih sayang dari orang tua terhadap anaknya akan menimbulkan sifat anak menjadi pemalu, pendiam, suka menyendiri, kurang percaya diri dan suka menipu orang lain.9,16

f.Rejection (sikap menolak)

(20)

berkembang menjadi egois, suka membenci, suka melukai, kasar dan kegiatannya berlebihan.9,16

3.4. Faktor Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi keluarga secara langsung mempengaruhi sikap anak terhadap pemeliharaan dan perawatan kesehatan gigi. Beberapa pengamatan dan penelitian telah menunjukkan bahwa masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung untuk lebih takut terhadap perawatan gigi dibandingkan dengan masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Hal ini disebabkan perawatan gigi tersebut kurang umum bagi masyarakat yang status ekonominya rendah. Masyarakat merasa bahwa biaya perawatan gigi sangat mahal, sedangkan masyarakat yang berasal dari status ekonomi menengah ke atas mampu untuk pergi ke program pencegahan yang diadakan dan juga untuk membayar biaya perawatan gigi.8

3.5. Faktor Pendidikan

Kurangnya pendidikan khususnya pengetahuan mengenai perawatan gigi dapat menyebabkan timbulnya rasa takut pada perawatan gigi. Hal ini disebabkan anak yang tidak mendapat pendidikan yang baik kurang mendapat informasi mengenai perawatan gigi sehingga mereka menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang menakutkan. Sering anak datang ke dokter gigi dalam keadaan sakit gigi yang sudah parah sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan yang

(21)

BAB 4

PENANGGULANGAN DENTAL FOBIA SECARA NON-FARMAKOLOGI

Bidang kedokteran gigi anak sebagai cabang dari kedokteran gigi mempunyai filosofi dasar : rawat pasiennya bukan giginya. Pernyataan tersebut adalah dokter gigi harus memiliki komitmen memperhatikan perasaan anak untuk mendapatkan kepercayaan dan membuatnya kooperatif.23,24

Agar perawatan gigi pada anak dapat berhasil maka dokter gigi perlu mengetahui perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosional dan sosial serta berbagai perilaku anak pada anak usia 3 hingga 6 tahun.

(22)

atau dihukum, suka ngambek, dan mulai susah diatur, karena anak berpendapat bahwa orang lain harus dapat mengikuti pendapatnya, dan bukan sebaliknya.25

(23)

4.1. Komunikasi

Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien anak adalah kesanggupannya berkomunikasi dan memperoleh rasa percaya dari anak, sehingga bersikap koperatif. Komunikasi dibagi atas komunikasi verbal dan non verbal, sebaiknya pembicaraan dilakukan secara wajar. Banyak cara untuk memulai komunikasi verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan tentang pakaian baru, kakak adik, benda atau binatang kesayangan. Anak yang lebih besar dapat ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman.11,14,15,16

Komunikasi nonverbal dapat dilakukan misalnya dengan menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng anak sebelum mendudukkannya ke kursi gigi dan lain-lain.12,16

Perubahan nada dan volume suara dapat digunakan untuk mengubah perilaku dan mengkomunikasikan perasaan kepada anak. Perintah yang tiba-tiba dan tegas dapat mengejutkan dan menarik perhatian anak sehingga anak dapat menghentikan apa yang sedang dilakukannya.12,14,17

Sebuah artikel yang diterbitkan Szasz dan Hollender (1956) membedakan 3 model komunikasi dokter gigi-pasien yaitu:

(24)

2. Bimbingan kerjasama. Pada model komunikasi ini anak diharapkan mematuhi dokter gigi. Operator membimbing (seperti guru) sementara pasien koperatif (seperti pelajar).

3. Saling berpatisipasi. Jelas terlihat pada tindakan pencegahan, dokter gigi dan pasien menggunakan respon untuk pemeliharaan kesehatan mulut.

Model komunikasi antara dokter gigi-pasien yang terbaik adalah dengan bimbingan kerjasama, pada perawatan ini, anak diharapkan mematuhi dokter gigi. Penelitian yang dilakukan pada klinik Pedodontik University of Washington menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil yang baik, terlihat dari perilaku anak yang menjadi koperatif.

Contoh komunikasi dengan bimbingan kerjasama misalnya “buka sedikit lebih lebar anak manis!”, atau “apakah engkau siap untuk dimulai sekarang, maukah manis?”. Komunikasi ini dapat lebih dikuatkan dengan cara menambahkan kata-kata seperti “saya suka cara kamu membuka mulutmu tetap lebar”.13

4.2. Mengalihkan perhatian

Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi rasa takut, tidak nyaman, stress dan menghilangkan rasa bosan selama periode perawatan.

(25)

membantu mengurangi rasa takut pada anak misalnya radio, program anak di tv dan lain-lain.13,18

4.3. Teknik Tell-Show-Do

TSD merupakan suatu rangkaian pendekatan secara berurutan, sebagai metode persiapan, dipopulerkan pertama kali oleh Addelston (1959) dan dapat diterapkan pada anak dengan sikap dan umur yang berbeda, terutama pada anak yang pertama kali berkunjung ke dokter gigi.13 Sebelum melakukan perawatan, dokter gigi selangkah demi selangkah menjelaskan terlebih dahulu kepada anak apa yang akan dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti anak dan menunjukkan berbagai instrumen yang akan digunakan. Kemudian kepada anak dijelaskan bagaimana prosedur yang akan dilakukan, setelah itu dokter gigi mendemonstrasikannya.11 Proses ini memerlukan waktu yang cukup lama pada anak dengan ketakutan yang berlebihan.12

TELL : Anak diberitahu apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, bahasa sesederhana mungkin agar mudah dipahami. Istilah-istilah kedokteran gigi dapat diganti dengan bahasa sehari-hari. Misalnya ; karies diganti dengan gigi berlobang, disuntik diganti dengan ditidurkan dan bor diganti dengan giginya akan dibersihkan supaya bahan tambalan dapat dimasukkan.12,13

(26)

DO : Dokter gigi akan melakukan apa yang telah diterangkan dan diperlihatkan. Anak tidak boleh dibohongi, karena bila terjadi penyimpangan dari apa yang telah diterangkan dan diperlihatkan tadi, besar kemungkinan si anak tidak mau lagi dirawat giginya.12,13

Berikan pujian dan hadiah apabila anak telah menunjukkan kerja sama yang baik dalam menerima perawatan.13

4.4. Modeling

Anak mempunyai sifat ingin tahu, menirukan hal-hal yang baru dan yang menarik perhatiannya serta sifat bersaing. Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan dalam merawat gigi anak.12 Menurut Bandura (1969) modeling adalah suatu proses sosialisasi yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. Gordon (1974) mengatakan bahwa modeling adalah proses belajar dengan memperhatikan model. Sedangkan Eichenbaum (1977) berpendapat bahwa modeling merupakan suatu teknik yang memakai kemampuan anak untuk meniru model yang sudah berpengalaman.

Cara modeling dilakukan dalam mengatasi dan merubah tingkah laku anak yang tidak koperatif.

(27)

4.5. Desensitisasi

Cara lain yang dipakai untuk merubah tingkah laku anak adalah desensitisasi, yaitu suatu cara untuk mengurangi rasa takut dan cemas seorang anak dengan jalan memberi rangsangan sehingga rasa takut/cemas sedikit demi sedikit akan berkurang. Rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak merasa takut lagi.

Cara ini terdiri atas tiga tahap, yaitu :

• Pertama: latih pasien agar merasa santai/relaks

• Kedua: susun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas/ takut

yaitu dari hal yang paling menakutkan sampai ke hal-hal yang tidak begitu menakutkan.

Ketiga: memberi rangsangan dari hal yang tidak begitu menakutkan

sampai anak tidak merasa takut lagi dan rangsangan ini ditingkatkan menurut urutan yang telah disusun tersebut di atas.20

4.6. Hand – Over – Mouth Exercise (HOME)

Teknik hand-over-mouth biasanya dianggap sebagai cara yang ekstrem dalam menangani anak yang tidak koperatif, misalnya anak yang menangis histeris.21 Anak seperti ini biasanya tidak takut, tetapi mereka tidak mau bekerja sama dan mencari jalan untuk menghindar. Tingkah laku biasanya segera terlihat pada kunjungan pertama dan dipertegas oleh cara penolakan terhadap pemeriksaan.12

(28)

menahan perlawanannya dan berbicara dengan perlahan tetapi jelas ke dalam telinganya. Selanjutnya pada anak dikatakan bahwa tangan akan diangkat bila ia berhenti menangis. Bila ia menanggapi dengan baik, tangan segera diangkat dari mulutnya dan ia diberi pujian atas sikap baiknya. Teknik ini bukan untuk menakuti anak, tetapi untuk mendiamkannya dan mendapatkan perhatiannya, agar ia dapat mendengar apa yang dikatakan dokter gigi dan menerima perawatan gigi yang diperlukannya.21

Teknik HOME digunakan sampai anak menyadari bahwa dokter gigi tidak terpengaruh oleh tingkah laku dan perlawanannya. Metode ini memperlihatkan pada anak bahwa usahanya untuk menghindari keadaan tidak perlu dan tidak berguna.12,13,17

4.7. Hipnotis

Hipnotis diartikan oleh Hartland (1971) sebagai “suatu teknik yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain sehingga anjuran-anjuran yang diberikan akan diterima pasien dengan baik”.19

(29)
(30)

BAB 5

KESIMPULAN

Dental fobia adalah secara asasnya sinonim dengan rasa takut, tetapi rasa takut yang berlebihan. Pasien akan cenderung untuk menghindar dari melakukan perawatan gigi. Dengan hanya mendengar perkataan ‘dokter gigi’ sahaja, mereka mula merasa takut.4,24 Fobia terbagi kepada dua yaitu fobia sosial dan fobia spesifik. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMN), dental fobia merupakan salah satu fobia spesifik. Antara kriteria untuk pengidap fobia spesifik adalah adanya rasa takut yang persisten, berlebihan dan tanpa alasan terhadap objek atau situasi tertentu, adanya respon secara tiba-tiba terhadap stimulus atau rangsangan yang ditakuti.3,4,22

Terbentuknya dental fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial semasa kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa prosedur kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit menyebabkan anak merasa takut, kebanyakan anak yang pernah memiliki pengalaman buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama suara bor dan bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan anak terhadap mati rasa atau tersedak juga bisa menyebabkan penghindaran ke praktek dokter gigi.7

(31)

pendidikan yaitu anak yang tidak mendapat pendidikan yang baik kurang mendapat informasi mengenai perawatan gigi sehingga mereka menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang menakutkan, dan sering anak datang ke dokter gigi dalam keadaan sakit gigi yang sudah parah sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan yang ekstensif. 8

(32)

DAFTAR RUJUKAN

1. Rose Y. Rasa Takut Terhadap Perawatan Gigi (Dental Fobia) Dan Penanggulangannya. Tesis. Medan, Indonesia : Universitas Sumatera Utara,

2005 : 1-30.

2. Maria A., Feraru V.,Herteliu C.,dkk. Assesment of The Prevalence of Dental Fear and its Causes Among Children and Adoloscents Attending a Department of Paediatric Dentistry in Bucharest : UMF, Faculty of Dental Medicine,2009; 9 (1) :42-3

3. Milgrom P., Weinsten P., Kleinknecht R., dkk. Treating Fearful Dental Patients. Reston Publishing Company Inc. 1985 : 6-41.

4. Dental Fear Central, Dental Phobia

2011)

5. Siegelman L. What Is Dental Phobia And Why Do So Many People Hate The Dentist? <www.dentalphobia.com> (17 Agustus 2001).

6. Fricher L. Dentophobia. About.com Health’s Disease and Condition. 2009 : 1-2 7. Krochak M. Dental Phobia. The World of Dentistry Online. 2010 : 1-9.

8. Richard J., Robert E. Behavioral and Physical Assesment. Fundamentals of Pediatric Dentistry. Quintessence Publishing Co, Inc. 1995 ; 3 : 12-13.

(33)

10.Emanuelson J. The Needle Phobia Page. Journal of Anesthesia, 2009 ; 102(2) : 210-15.

11.Budiyanti EA., Heriyandi YY. Pengelolaan Anak Non Koperatif Pada

Perawatan Gigi (Pendekatan non-farmakologik). Dentika Dental Journal, 2001

; 6 : 12-7.

12.Dalimunthe T., Tarigan MU. Penanggulangan Rasa Takut Terhadap Perawatan Gigi Pada Anak-Anak. Majalah FKG USU, Medan, 1983 ; 3.

13.Rubin JG. Kaplan A. The dental clinics of North America Philadelphia: WB Saunders Company, 1988. 667-89.

14.Finn S.B. Clinical Pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1973:15-44.

15.Parkin SF. Notes on Paedetric Dentistry 1st ed. Oxford: Wright, 1991 :6-26. 16.Cameron A, Widmer R, Drummond B, et al. Child management. In: Cameron

AC, Widmer RP ,eds. Handbook of Pediatric Dentistry 2nd ed. Edinburg: Mosby, 2003: 1-26.

17.Wright GZ. Nonpharmacologic management of children’s behaviors. In: McDonald RE, Avery DR, Dean JA, eds. Dentistry for the child and adolescent 8th ed. Indiana: Mosby, 2000: 35-49.

18. Treatment and Coping Methods

(34)

19.Brauer JC, Dameritt WW, Higley LB, et al. Dentistry for children 4th ed. New York: McGraw-Hill Book Company, 1959: 24-37.

20.Pratiwi T. Cara memodifikasi tingkah laku anak dalam perawatan gigi dengan modeling dan desentisisasi. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi VI. Jakarta : FKG UI, 1983: 57-59.

21.Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan gigi anak (A manual of paedodontics). Alih Bahasa : drg. Agus Djaya. Edisi 2. Jakarta : Widya Medika, 1992 : 15-18 , 65-66.

22.Gow M. Dental Anxiety, Fear and Phobia, The International Society of Dental Anxiety Management, 2005 : 1-3.

23.Andini A. Penatalaksanaan perawatan gigi anak. http://www.permatacibubur. com/en/see.php?id=Artikel123&lang=id (27 Mei 2011)

24.Dalimunthe T, Hermina T, Roesnawi Y, Octaria E. Pedodonsia dasar. Medan; Percetakan USU, 2009: 4-17.

25.Pinkham JR. Pediatric dentistry, infancy through adolence. Saunders Hartcoor Agia, 1973: 357-90.

26.Norawaty L. Penatalaksanaan prilaku anak pra sekolah pada perawatan gigi

dengan modeling dan desentisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini pembahasan yang akan diuraikan adalah kondisi fobia yang terjadi di TK Islam Al Istikmal Juwet Nanom Gresik, serta penerapan teknik modifikasi perilaku

Yati Roesnawi, drg., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Utara dan dosen penguji, atas segala saran, dukungan, dan bantuan

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dengan memeriksa gigi pada anak sindroma Down untuk melihat debris makanan maupun kalkulus (karang gigi) yang ada

tingkat rasa takut terhadap perawatan gigi pada pasien anak di klinik Pedodonsia.. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran

Instrumen ini merupakan hasil pengembangan dari instrumen Fear of Dental Pain Questionnaire (FDPQ; Van Wijk dan Hoogstraten,2003) Pengembangan kuesioner ini dilakukan,

baik, maka perlu dilakukan tindakan kontrol ke dokter gigi dalam hal ini untuk mencegah kelainan tidak bertambah parah, namun berdasarkan pengalaman peneliti sebagian orang

INOYASI MEDIA DENTAL ACTIWTY WOXKSIIEETUNTUK ANAK USIA 6.8 TAIIUN DALAM MENINGKATKA}{ PENGETAHUAN KESEHATAN GIGI DAII MT'LUT Karya Tulis Ilmiah Diajukan sebagai salah satu syarat

1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “Pengembangan media Dental Activity Worksheet untuk anak usia 6-8 tahun dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut” belum