• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan perikanan bubu untuk keberlanjutan usaha nelayan Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan perikanan bubu untuk keberlanjutan usaha nelayan Sibolga"

Copied!
262
0
0

Teks penuh

(1)

LUCIEN PAHALA SITANGGANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2012

(4)
(5)

Fishing at Sibolga. Under direction of ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, and FEDI SONDITA.

Rapid population growth in the world will has implication to the increasing demand for protein especially from fish. Traps is one of fishing gears to catch demersal or coral reef fish. Recently trap operation at coast of Western Sumatera has been restricted. The operation of trap is considered destructive for coral reef. The objectives of this research are to evaluate fishing operation technic of demersal fishing using basket traps, to measure technical performance of basket trap modification, to analysis potential fishing ground and catch of basket trap and to arrange development strategy of trap fisheries at coast of Western Sumatera. The research was conducted in coastal area of western Sumatera from March 2011 to February 2012. The methods applied in this research were experimental fishing and survey method. Analysis of data used descriptive analysis, the statictical analysis for significantly test, analysis hierarchy process and SWOT analysis. The result showed that the evaluation of fishing operation technic using basket trap need repair, especially from the way of landing and construction. There were 26 species found in four fishing grounds located around coast of western Sumatera. The 26 species were dominated by three families, for example Serranidae, Carangidae and Lutjanidae. Basket trap modification showed higher productivity compared to the fishers basket trap. The average catch of Sibolga fishermen was 57.66%, which was lower than the average catch of basket trap modification about 75.28%. Based on the factorial analysis, type of traps gave significantly influence to the catch of demersal fish. Analysis of hierarchy process showed that repairing technic operations of trap is the main priorities in improving the sustainable fishing at Sibolga. Development of capture fisheries activities must consider resources sustainability.

(6)
(7)

Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON, dan FEDI SONDITA.

Perikanan tangkap khususnya perikanan demersal terus berkembang seiring dengan tingginya permintaan pasar ekspor. Ikan demersal memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, sehingga berdampak pada upaya penangkapan yang terus meningkat tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya. Saat ini perkembangan kegiatan penangkapan ikan demersal di pantai Barat Sumatera mulai terhambat dengan adanya pelarangan beroperasi oleh pemerintah setempat. Bubu kawat merupakan salah satu alat tangkap nelayan Sibolga yang digunakan untuk menangkap ikan demersal atau ikan yang berhabitat di sekitar terumbu karang.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi teknik operasional bubu kawat di pantai Barat Sumatera, untuk menganalisis tingkat produktivitas bubu modifikasi dan bubu yang digunakan nelayan dalam pengembangan perikanan demersal, mengukur kinerja teknis pengoperasian bubu modifikasi sebagai hasil dari perbaikan alat tangkap, analisis finansial pengoperasian bubu untuk keberlanjutan usaha nelayan Sibolga dan menyusun strategi pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera. Manfaat dari penelitian ini antara lain: sebagai informasi kepada pelaku usaha bubu di pantai Barat Sumatera; dan informasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan dan memberikan bantuan kepada nelayan.

Penelitian ini dilaksanakan di pantai Barat Sumatera dengan daerah pengoperasian di Pulau Mursala, Pulau Pini, Pulau Nias dan Pulau Karang. Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan usaha perikanan bubu adalah experimental fishing. Percobaan penangkapan ikan dilakukan dengan mengoperasikan 36 unit bubu nelayan dan 36 unit bubu modifikasi. Setiap daerah pengoperasian yang telah ditentukan memiliki 9 stasiun percobaan. Metode pengoperasian bubu nelayan mengikuti kebiasaan nelayan Sibolga, sedangkan pengoperasian bubu modifikasi dilakukan dengan perendaman 4 hari.

Hasil dari penelitian menunjukkan teknik pengoperasian bubu nelayan masih memerlukan beberapa perbaikan khususnya dari proses pendaratan bubu di dalam air. Pendaratan bubu yang tidak sempurna menyebabkan bubu nelayan menjadi sulit saat dicari. Pada lokasi pengoperasian bubu nelayan di Pulau Karang, sering ditemukan ghost fishing karena pergeseran bubu yang cukup jauh dari titik setting. Perbaikan metode pengoperasian bubu dilakukan dengan memberikan pemberat pada alas bubu nelayan dan memberikan pelampung pada selimut atas bubu, dengan tujuan bubu akan mendarat sempurna dan pergeseran bubu akibat arus dasar dapat dieliminir.

(8)

dari hasil tangkapan rata-rata ikan target bubu modifikasi yakni sebesar 75,28%. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan masih membutuhkan pengembangan dan perbaikan metode pengoperasian untuk keberlanjutan usaha bubu mereka.

Hasil analisis hirarki proses menunjukkan bahwa perbaikan teknik operasi adalah prioritas pengembangan usaha perikanan bubu di pantai Barat Sumatera. Nilai SWOT pada strategi pengembangan usaha perikanan bubu di Sibolga menunjukkan bahwa perairan Sibolga masih memiliki peluang yang cukup baik. Peran serta pemerintah dalam pengawasan sumberdaya dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan merupakan strategi yang dapat difokuskan pada pengembangan perikanan bubu di Sibolga.

(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

LUCIEN PAHALA SITANGGANG

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Mayor Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Komisi Penguji Luar pada Ujian Tertutup Disertasi: 1. Dr. Sulaeman Martasuganda, B.Sc, M. Sc 2. Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Phil

Komisi Penguji Luar pada Ujian Terbuka Disertasi: 1. Prof. Dr. Ir. Wudianto

(13)

Judul Disertasi : Pengembangan Perikanan Bubu untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga

Nama : Lucien Pahala Sitanggang

NRP : C461080011

Program Studi : Teknologi Perikanan Tangkap

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr NIP. 196203031988031001 NIP. 196508141990021001

(14)
(15)

Penulis dilahirkan di Sibolga Sumatera Utara pada tanggal 12 Maret 1980 dari ayah Florencius Sitanggang dan ibu Almarhum Tiominar Br Marbun. Penulis merupakan putra kedelapan dari sepuluh bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana IPB dan menamatkan diri pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis kembali melanjutkan pendidikan pada Program Doktor Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Pascasarjana IPB.

Penulis mengikuti pendidikan Program Doktor melalui beasiswa dari Bantuan Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004 penulis bekerja sebagai Technical Support Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Terbuka. Pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Pada tahun yang sama penulis diangkat menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademik di Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Saat menjalani pendidikan pada tahun 2009 penulis diberikan tanggung jawab sebagai Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga sampai pada saat ini. Pada tahun 2010 penulis juga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan pemerintah Kota Sibolga.

(16)
(17)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si., dan Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc., atas kesediaannya untuk membimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Syarfi Hutauruk selaku Walikota Sibolga, Bapak Marudut Situmorang selaku Wakil Walikota Sibolga. K.M Renta Sari, nelayan-nelayan di pantai Barat Sumatera, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Sibolga, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga, Staf Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga.

Secara khusus penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Kepada bapak yang telah mendampingi penulis selama ujian dan mama di surga yang telah menjadi inspirator sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan;

2. Kepada istriku Yenny March Fransisca Harefa dan anakku Natasya Zomasienka Sitanggang yang setia mendampingi penulis dalam menyelesaikan disertasi;

3. Keluarga besar Sitanggang atas segala bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang telah diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan;

4. Irnawaty Sinaga dan keluarga yang turut membantu proses penyelesaian studi di IPB;

5. Lambok Parulian Pasaribu sebagai teman penelitian di lapangan yang telah mempermudah penulis dalam pengumpulan data;

(18)

penyempurnaan disertasi ini. Besar harapan disertasi ini dapat memberikan konstribusi yang positif dalam pengembangan perikanan tangkap di Sibolga dan sekitarnya.

Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012

(19)

iii

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xv

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Manfaat Penelitian ... 8

1.5Kerangka Pemikiran ... 9

1.6Novelti ... 12

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Sumberdaya Ikan Demersal ... 13

2.2Perikanan Bubu ... 16

2.2.1 Definisi bubu ... 16

2.2.2 Daerah pengoperasian bubu... 19

2.2.3 Jenis-jenis bubu ... 22

2.2.4 Tingkah laku ikan terhadap bubu ... 25

2.2.5 Bubu ramah lingkungan ... 27

2.3Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ... 28

2.4Kelayakan Usaha Bubu ... 34

2.4.1 Net Present Value (NPV) ... 35

2.4.2 Internal Rate of Return (IRR) ... 35

2.4.3 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) ... 36

2.4.4 Break Event Point (BEP) ... 36

2.5Pengembangan Usaha Perikanan ... 37

2.5.1 Analysis Hierarchy Process (AHP) ... 39

(20)

iv

3. METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat ... 43

3.2Bahan dan Alat ... 44

3.3Metode Penelitian ... 46

3.3.1 Prosedur percobaan... 47

3.3.2 Modifikasi bubu ... 48

3.3.3 Pemilihan lokasi penempatan bubu ... 51

3.4Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1 Teknik pengoperasian bubu ... 53

3.4.2 Data kinerja teknis bubu modifikasi ... 54

3.4.3 Data produktivitas bubu ... 54

3.4.4 Data daerah pengoperasian ... 55

3.5Analisis Data ... 57

3.5.1 Tingkat potensi pemanfaatan tangkapan utama bubu ... 57

3.5.2 Konstruksi dan teknik pengoperasian ... 59

3.5.3 Pergeseran titik bubu ... 59

3.5.4 Kinerja teknis bubu modifikasi... 60

3.5.5 Perbandingan produktivitas bubu ... 60

3.5.6 Pengaruh jenis bubu terhadap hasil tangkapan ... 60

3.5.7 Kelayakan usaha bubu ... 62

3.5.8 Pengembangan perikanan demersal ... 64

3.5.9 Teknologi berwawasan lingkungan ... 70

4. PROFIL LOKASI PENELITIAN 4.1Kondisi Umum Kota Sibolga ... 75

4.2Kondisi Unit Penangkapan Ikan ... 76

4.2.1 Kapal perikanan ... 76

4.2.2 Alat penangkapan ikan ... 78

4.2.3 Nelayan ... 79

4.3Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ... 80

5. HASIL PENELITIAN 5.1Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal ... 83

5.2Teknik Pengoperasian Bubu Nelayan... 87

5.2.1 Konstruksi bubu nelayan ... 87

5.2.2 Daerah penangkapan ikan ... 90

5.2.3 Operasi penangkapan ikan dengan bubu nelayan ... 97

5.2.4 Dampak pengoperasian bubu nelayan ... 104

5.3Kinerja Teknis Bubu Modifikasi ... 105

5.3.1 Stabilitas gerak bubu modifikasi ... 105

(21)

v

5.3.3 Perbandingan konstruksi dan pengoperasian bubu

modifikasi dengan bubu nelayan ... 114

5.4Produktivitas Bubu ... 116

5.4.1 Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan ... 116

5.4.2 Komposisi jenis dan bobot hasil tangkapan ... 126

5.4.3 Ukuran panjang hasil tangkapan ... 137

5.4.4 Pengaruh jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan ... 143

5.4.5 Pengaruh jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan ... 146

5.5Keberlanjutan Usaha Bubu ... 148

5.5.1 Tingkat efisiensi bubu ... 148

5.5.2 Kelayakan usaha bubu ... 149

5.6Pengembangan Perikanan Bubu... 152

5.6.1 Prioritas pengembangan ... 152

5.6.2 Perumusan strategi pengembangan ... 155

5.6.3 Penentuan unit penangkapan bubu mendukung CCRF ... 160

6. PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal ... 163

6.1.1 Ikan kerapu ... 165

6.1.2 Kakap merah ... 166

6.1.3 Kuwe ... 166

6.2 Daerah Pengoperasian Bubu ... 167

6.3 Perbandingan Konstruksi dan Operasional Bubu ... 169

6.3.1 Konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi ... 169

6.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu ... 171

6.3.3 Perbandingan kinerja teknis bubu nelayan dan modifikasi ... 181

6.3.4 Faktor yang mempengaruhi pengoperasian bubu ... 182

6.4 Dampak Pengoperasian Bubu ... 183

6.5 Perbandingan Produktivitas Bubu ... 186

6.6 Keberlanjutan Usaha Bubu ... 193

6.6.1 Efisiensi bubu ... 193

6.6.2 Kelayakan usaha bubu ... 194

6.7 Strategi Pengembangan Perikanan Bubu ... 195

6.7.1 Prioritas pengembangan ... 195

6.7.2 Strategi pengembangan ... 195

(22)

vi

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1Kesimpulan ... 199 7.2Saran ... 200

DAFTAR PUSTAKA ... 201

(23)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir penelitian perikanan bubu ... 11 2. Desain bubu kawat nelayan Sibolga ... 25 3. Peta lokasi penelitian bubu di pantai Barat Sumatera ... 44 4. Alat akustik Garmin 178 C ... 45 5. Katrol yang digunakan saat menarik bubu ... 46 6. Alat bantu yang digunakan nelayan saat mencari bubu kawat ... 46 7. Desain dan konstruksi rangka bubu modifikasi ... 48 8. Rancangan bubu modifikasi pantai Barat Sumatera ... 49 9. Desain bubu modifikasi tampak atas ... 50 10.Desain bentuk bukaan mulut bubu ... 52 11.Skematis analisis SWOT ... 68 12.Matrik SWOT ... 70 13.Histogram armada penangkapan ikan tahun 2006-2010 ... 77 14.Grafik maximum sustainable yield ikan kakap ... 84 15.Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu ... 85 16.Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe ... 86 17.Desain dan konstruksi bubu kawat nelayan Sibolga ... 87 18.Bubu nelayan berdasarkan tampak depan ... 88 19.Desain bubu nelayan tampak atas ... 89 20.Konstruksi bubu dasar pada tahun 1970 (Rose, 1998) ... 89 21.Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Mursala ... 90 22.Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini ... 92 23.Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias ... 93 24.Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Karang ... 95 25.Grafik rata-rata dan standar error pergeseran titik bubu pada daerah

(24)

viii

28.Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi dengan kedalaman perairan ... 106 29.Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu nelayan dengan

kedalaman perairan ... 107 30.Grafik rata-rata dan standar error perbandingan pergeseran bubu

modifikasi ... 112 31.Waktu pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasian .... 113 32.Waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi ... 113 33.Grafik sebaran jumlah individu ikan yang tertangkap... 117 34.Perbandingan persentasi jumlah hasil tangkapan kedua jenis bubu ... 118 35.Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 119 36.Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 121 37.Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 123 38.Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 125 39.Sebaran data bobot hasil tangkapan bubu berdasarkan DPI ... 127 40.Perbandingan persentasi bobot hasil tangkapan bubu ... 128 41.Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 129 42.Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 131 43.Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 133 44.Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di

Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil

tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan ... 135 45.Perbandingan komposisi hasil tangkapan;

(a) komposisi hasil tangkapan bubu modifikasi; (b) komposisi hasil

(25)

ix

46.Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu ... 138 47.Sebaran data panjang ikan kerapu macan hasil tangkapan bubu ... 139 48.Sebaran data panjang ikan kakap merah hasil tangkapan bubu ... 140 49.Sebaran data panjang ikan kerapu putih hasil tangkapan bubu ... 141 50.Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubu ... 142 51.Sebaran data panjang ikan jenaha hasil tangkapan bubu ... 142 52.Hasil analisis prioritas pengembangan perikanan demersal ... 152 53.Prioritas pengambilan kebijakan berstruktur ... 155 54.Posisi faktor internal dan ekternal perikanan bubu di

(26)
(27)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga ... 24 2. Sebaran bubu penelitian untuk setiap DPI ... 47 3. Perbedaan dimensi dan massa penyusun bubu nelayan dan

bubu modifikasi pantai Barat Sumatera ... 50 4. Jenis dan teknik pengumpulan data pengoperasian bubu nelayan ... 53 5. Metode pengumpulan data produktivitas bubu ... 54 6. Skala banding berpasang berdasarkan taraf relatif pentingnya ... 66 7. Nilai random consistency index (ri) untuk jumlah elemen (n) 1

sampai dengan 10 ... 67 8. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan

nilai bobot ... 72 9. Kemiringan lahan kota Sibolga ... 76 10. Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2006-2010 ... 78 11. Jumlah nelayan Kota Sibolga tahun 2001-2010 ... 80 12. Ikan yang didaratkan di Sibolga pada tahun 2010 ... 81 13. Daftar harga ikan hasil tangkapan bubu Tahun 2011 ... 84 14. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau

Mursala ... 91 15. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau

Pini ... 92 16. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau

Nias ... 94 17. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau

Karang ... 96 18. Faktor pengoperasian bubu nelayan nelayan Sibolga ... 98 19. Kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan ... 101 20. Waktu pencarian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera ... 102 21. Dampak pengoperasian bubu terhadap kerusakan karang ... 105 22. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau

Mursala ... 108 23. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau

(28)

xii

24. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi i di Pulau Nias ... 110 25. Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan modifikasi di Pulau

Karang ... 111 26. Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi ... 115 27. Bobot hasil tangkapan berdasarkan DPI (kilogram) ... 144 28. Jumlah hasil tangkapan berdasarkan DPI (ekor) ... 146 29. Perbandingan analisis kelayakan usaha bubu nelayan dan

bubu modifikasi ... 150 30. Matriks IFAS ... 156 31. Matriks EFAS ... 157 32. Analisis perumusan strategi SWOT pada perikanan bubu di pantai Barat

(29)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar pemilik kapal bubu di Sibolga ... 207 2. Peta 135 ... 209 3. Titik koordinat penjatuhan bubu nelayan... 210 4. Titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi ... 212 5. Analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu terhadap kedalaman

perairan... 214 6. Sebaran spesies ikan yang tertangkap pada bubu ... 216 7. Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap

berat hasil tangkapan ... 217 8. Hasil analisis faktorial hubungan DPI dan jenis bubu terhadap

(30)
(31)

xv

DAFTAR ISTILAH

Berkelanjutan : Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu dimana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut.

Bubu : Suatu jenis alat tangkap berupa jebakan yang bersifat pasif dan selektif, memiliki bentuk serta ukuran yang beraneka ragam dan teknik pengoperasiannya ada yang diletakkan pada dasar perairan, mengapung dan dihanyutkan.

By catch : Hasil tangkapan sampingan dari operasi penangkapan ikan.

Demersal : Jenis ikan yang habitatnya berada pada bagian dasar perairan.

Diurnal : Mahluk hidup yang aktif pada siang hari.

Ekosistem : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Ghost fishing : Suatu kondisi dimana alat penangkapan hilang akibat terlepas, putus atau karena fenomena alam.

Habitat : Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.

Internal Rate of Return (IRR)

: Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.

Kebijakan : Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; atau intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.

Komoditas unggulan

: Suatu jenis komoditas yang paling diminati dan memiliki nilai jual tinggi serta diharapkan mampu memberikan pemasukan yang besar dibandingkan dengan jenis yang lainnya.

Masyarakat nelayan

: Orang yang memiliki mata pencaharian menangkap, mamanfaatkan sumberdaya ikan di laut maupun di perairan umum.

(32)

xvi dasarnya.

MSY : Keuntungan maksimum dalam usaha penangkapan.

Nelayan : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

: Perbandingan antara total penerimaan bersih atau total biaya produksi.

Net Present Value (NPV)

: Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.

Open Access : Pemanfaatan sumberdaya ikan secara bebas, tidak ada larangan bagi pengguna sumberdaya ikan untuk ikut memanfaatkan dan meningkatkan jumlah kapal atau upaya penangkapan (effort).

Pakar (expert) : Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.

Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada suatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Perikanan tangkap

: Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya

Stakeholder : Pihak yang berkepentingan atau para pemangku kepentingan.

Substrat : Senyawa penyusun dasar perairan.

Sumberdaya ikan

: Potensi semua jenis ikan.

(33)

xvii

moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata.

Thigmotaksis : Suatu sifat mahluk hidup yang tertarik akibat rasa ingin tahu.

Topografi : Relief atau bentuk permukaan dari dasar laut.

Unit

penangkapan ikan

: Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan.

(34)
(35)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat kegiatan pembangunan yang merupakan faktor pendorong dari permintaan ikan berlangsung secara terus-menerus. Sementara di sisi lain, permintaan ikan tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam mulai terbatas. Hal ini dapat dilihat dengan semakin canggihnya alat tangkap yang digunakan nelayan tanpa memperhatikan unsur kelestarian lingkungan.

Kecenderungan meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembangnya industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Sayangnya, perkembangan industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi dan ekonomi, namun mengabaikan pertimbangan lainnya seperti lingkungan, sosial budaya serta kelestarian sumberdaya ikan. Dampak yang terjadi saat ini, jaminan usaha perikanan yang berkelanjutan mulai dipertanyakan terutama akibat pengelolaan sumberdaya ikan yang belum optimal. Hal ini mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor (Dahuri, 2001): 1) Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya,

menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan;

2) Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun melalui pemenuhan kebutuhan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat;

3) Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran;

(36)

Kerangka pembangunan nasional menyatakan, peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa yang akan datang. Kondisi saat ini peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis. Disisi lain pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan makanan salah satunya ikan. Timbulnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meat” (sapi, domba dan sebagainya) ke pola “white meat” (ikan). Kondisi tersebut telah berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia.

Sibolga merupakan salah satu wilayah pesisir di pantai Barat Sumatera, yang memiliki aktivitas perikanan tangkap cukup tinggi. Aktivitas yang cukup tinggi ditunjukkan dengan keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat ini banyak para nelayan di luar wilayah Sibolga yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN dan tangkahan (pelabuhan swasta) yang ada di sepanjang pantai Sibolga. Kebanyakan hasil tangkapan ini berupa ikan pelagis kecil, sedangkan untuk ikan pelagis besar dan ikan demersal biasanya langsung ditampung oleh PT. Putra Ali Sentosa dan PT. Anugerah Samudera Hindia untuk diekspor.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Balai Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2005, potensi perikanan laut dalam di pantai Barat Sumatera sebesar 8.293 ton per tahun (Suman dalam Purbayanto, 2007). Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia khususnya di perairan pantai Barat Sumatera telah mendorong nelayan Sibolga untuk mengembangkan usaha penangkapan ikan di laut dengan bubu kawat. Pengembangan alat tangkap bubu saat ini didorong oleh keberadaan daerah penangkapan ikan yang memiliki berbagai jenis terumbu karang. Ekosistem terumbu berpotensi sebagai habitat dari ikan demersal dan ikan yang berasosiasi dengan ekosistem karang.

(37)

masyarakat Jepang, Hongkong dan Singapura hal ini dapat dilihat dengan banyaknya restoran sea food yang menjadikan ikan demersal sebagai menu utama. Peningkatan permintaan yang terus terjadi memberikan dampak terhadap upaya nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan demersal. Salah satu usaha nelayan dalam meningkatkan hasil tangkapan ikan demersal adalah dengan mengembangkan alat tangkap bubu. Penggunaan alat tangkap bubu menghasilkan ikan yang lebih segar karena ikan tertangkap dalam kondisi hidup.

Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang paling sering digunakan oleh nelayan Sibolga. Alat tangkap ini dikategorikan sebagai alat yang ramah lingkungan karena bersifat pasif dan selektif. Banyak nelayan Sibolga yang berasumsi bahwa bubu yang mereka gunakan saat ini cukup efisien karena sistem kerjanya sederhana dan menghasilkan ikan-ikan ekonomis penting. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar memberikan keuntungan yang signifikan (Risamasu, 2008). Alat ini menjadi efektif karena mampu menghasilkan ikan karang yang memiliki nilai jual tinggi terutama untuk ekspor. Disisi lain nelayan dengan sistem operasional menggunakan purse seine lebih membutuhkan modal besar dan nilai jual hasil tangkapan tidak sebaik ikan karang. Prinsip kerja bubu kawat di pantai Barat Sumatera adalah menjebak ikan agar masuk melalui mulut bubu dan sulit untuk keluar. Pemilihan daerah pengoperasian bubu sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Pulau-pulau kecil sepanjang pantai Barat Sumatera masih memiliki ekosistem karang yang relatif baik sehingga masih memerlukan perluasan daerah pengoperasian bubu.

(38)

Nelayan Sibolga saat ini mulai mengurangi operasi penangkapan ikan dengan bubu akibat meningkatnya biaya operasional dan pembatasan wilayah pengoperasian dengan adanya pelarangan oleh pemerintah daerah di sekitar pantai Barat Sumatera. Saat ini Pulau Mursala, Pulau Pini dan pulau-pulau kecil yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Nias Selatan banyak digunakan sebagai daerah pengoperasian bubu oleh nelayan Sibolga.

Melihat kekayaan hayati yang dimiliki perairan pantai Barat Sumatera dan belum optimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, maka timbul suatu pemikiran untuk mengoptimalkan hasil sumberdaya hayati tersebut melalui pengembangan alat tangkap dengan tujuan peningkatan produktivitas hasil tangkapan tanpa harus merusak lingkungan.

Penelitian mengenai pemanfaatan ikan demersal melalui pengoperasian bubu yang relevan dengan studi ini menyangkut inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar rumpon (Risamasu, 2008) dan studi posisi bukaan mulut bubu terhadap nilai hasil tangkapan (Hermawan, 2007). Penelitian terdahulu belum menjawab permasalahan bubu di pantai Barat Sumatera. Metode pengoperasian bubu khususnya teknik pencarian dan pengangkatan bubu yang bersifat acak masih dianggap sebagai penyebab utama rusaknya terumbu karang. Saat ini dibutuhkan penelitian yang mampu menganalisis bagaimana sistem pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera sekaligus memberikan rekomendasi terhadap keberlanjutan usaha nelayan bubu.

(39)

1.2 Perumusan Masalah

Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal dengan bubu mulai mengalami hambatan akibat pelarangan pengoperasian bubu di beberapa wilayah perairan pantai Barat Sumatera. Teknik penjatuhan bubu di sekitar wilayah terumbu karang dianggap sebagai penyebab utama rusaknya ekosistem karang. Kerusakan karang terlihat saat proses pencarian bubu, dimana gancu yang digunakan sebagai alat bantu harus digerakkan secara acak dan menimbulkan benturan terhadap karang disekitarnya. Teknik penempatan bubu yang tidak memperhatikan daya gerak bubu saat menyentuh dasar perairan juga sering menyebabkan bubu sulit untuk ditemukan.

Pelarangan pengoperasian bubu di beberapa wilayah pantai Barat Sumatera harus didasari alasan yang kuat. Hal ini dapat menghambat keberlangsungan usaha nelayan bubu karena semakin sempitnya daerah pengoperasian. Perbaikan teknik pengoperasian dengan memodifikasi bubu nelayan harus dilakukan sebagai langkah awal memperbaiki kinerja teknis bubu. Perbaikan kinerja teknis operasional bubu nelayan yang saat ini digunakan, diharapkan menjadikan pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat berkelanjutan. Perbaikan dalam teknik penjatuhan, proses penempatan dan penarikan bubu merupakan aspek yang harus dikaji dalam mewujudkan bubu yang ramah terhadap lingkungan.

Memodifikasi bubu nelayan tentunya harus dipertimbangkan dengan target produksi yang tidak merugikan nelayan. Perbaikan metode dan alat tangkap sebaiknya tidak menimbulkan peningkatan biaya operasional dan tingkat pengoperasian yang sulit. Permasalahan pengopersian bubu yang dianggap merusak lingkungan harus diselesaikan dengan alternatif pemecahan yang juga berpihak pada nelayan. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memodifikasi bubu adalah dengan tidak mengurangi pendapatan nelayan sehingga usaha bubu dapat berkesinambungan.

(40)

Bubu modifikasi yang mengalami perbaikan pada metode pengoperasian dan konstruksinya, diharapkan mampu menjawab permasalahan kerusakan karang dan meningkatkan pendapatan nelayan Sibolga.

Saat ini bubu kawat yang ada di pantai Barat Sumatera dibeli nelayan dengan harga Rp 280.000 dan dioperasikan dengan sistem rawai (bergandengan). Penggunaan bubu kawat sendiri hanya digunakan selama kurang lebih 3 bulan karena kawat penyusun bubu mudah mengalami korosi. Berdasarkan umur teknisnya, bubu kawat hanya dapat digunakan sebanyak 5 sampai 6 kali operasi karena waktu perendaman bubu kawat berkisar 7 sampai 10 hari. Sistem pengoperasian bubu kawat yang dianggap merusak terumbu karang dan tingginya biaya pembuatan bubu kawat menjadi dasar permasalahan sulit berkembangnya usaha bubu di Sibolga.

Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan tanpa mengkaji aspek biologi tentunya tidak efektif dan kurang efisien. Nilai jual ikan akan semakin tinggi apabila hasil tangkapan memenuhi permintaan pasar seperti dari jenis ikan, ukuran ikan dan terlebih kualitas kesegaran ikan. Bubu yang dioperasikan dengan perendaman selama 10 hari harus memberikan alasan yang kuat dan harus dikaji secara ilmiah. Perbaikan terhadap lama perendaman bubu, diharapkan mampu meningkatkan produktivitas nelayan. Berkurangnya waktu perendaman bubu tentunya akan meningkatkan jumlah operasional satu unit bubu dengan asumsi umur teknis satu unit bubu adalah tiga bulan.

(41)

Penelitian pemanfaatan sumberdaya ikan demersal diharapkan dapat menghasilkan sebuah konsep evaluasi perikanan bubu yang telah ada di Sibolga. Analisis metode pengoperasian bubu dan produktivitas terhadap ikan target menjadi alternatif penyelesaian permasalahan perikanan demersal. Faktor-faktor penyebab semakin rendahnya tingkat pendapatan nelayan bubu menjadi alasan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada nelayan meliputi daerah pengoperasian bubu, teknik pengoperasian yang efisien, struktur biologi ikan yang sesuai untuk ditangkap serta teknis pengoperasian bubu yang ramah lingkungan.

Belum adanya sebuah konsep yang terintegrasi antara perikanan tangkap dan keberlangsungan sumberdaya ikan demersal turut mempengaruhi kondisi kehidupan nelayan Sibolga. Saat ini dibutuhkan strategi pengembangan perikanan demersal melalui usaha bubu sebagai rekomendasi kepada pihak pemerintah yang berperan dalam pengambilan kebijakan. Strategi pengembangan yang baik diharapkan membuat usaha nelayan bubu di pantai Barat Sumatera dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Beberapa pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini adalah :

1) Apakah pengoperasian bubu saat ini telah merusak ekosistem terumbu karang, sehingga perlu adanya pelarangan beroperasi?

2) Apakah dengan adanya perbaikan metode pengoperasian dan konstruksi bubu nelayan dapat membantu meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan usaha nelayan Sibolga?

3) Bagaimana perbandingan komposisi produksi antara bubu konvesional dengan bubu yang telah dimodifikasi?

4) Penerapan sistem operasi yang bagaimana yang paling sesuai digunakan demi terciptanya keberlangsungan usaha dan kelestarian sumberdaya ikan demersal di pantai Barat Sumatera?

(42)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan perikanan demersal melalui penerapan modifikasi bubu kawat, untuk meningkatkan kinerja bubu terhadap keramahan lingkungan ekosistem terumbu karang. Penelitian ini diharapkan dapat membantu terciptanya pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan khususnya di perairan Pulau Pini, Pulau Marsala, Pulau Nias dan pulau-pulau kecil di sekitar pantai Barat Sumatera. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis teknik pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera. 2) Mengukur kinerja teknis bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera.

3) Membandingkan produktivitas bubu nelayan dengan bubu modifikasi dalam menangkap ikan demersal.

4) Menganalisis kelayakan usaha bubu dalam membangun usaha perikanan yang berkelanjutan.

5) Merumuskan strategi pengembangan perikanan bubu di pantai Barat Sumatera.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi bubu diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan terhadap keberlanjutan usaha bubu kawat di pantai Barat Sumatera. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1) Sebagai informasi kepada pengusaha atau nelayan kecil, bagaimana teknik pengoperasian bubu yang efektif dan efisien untuk keberlanjutan usaha perikanan tangkap di pantai Barat Sumatera.

2) Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak pemerintah dalam menyusun kebijakan atau peraturan daerah terkait dengan pengelolaan perikanan bubu. 3) Perkembangan ilmu dan teknologi perikanan tangkap khususnya dalam

usaha perikanan demersal, sehingga pengoperasian bubu tidak merusak ekosistem dan profitabilitas usaha dapat terus berkembang.

(43)

1.5 Kerangka Pemikiran

Pengembangan perikanan tangkap khususnya optimasi penangkapan ikan-ikan demersal di Sibolga mulai menghadapi hambatan. Pelarangan operasi bubu oleh pemerintah daerah khususnya di perairan pantai Barat Sumatera telah membatasi usaha nelayan bubu saat ini. Bubu dianggap sebagai salah satu alat tangkap yang merusak keberadaan ekosistem terumbu karang. Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dianggap menghancurkan ekosistem karang khususnya dari sisi pengangkatan bubu yang dilakukan secara acak. Kajian mengenai bubu kawat dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan sejauh mana pengaruh teknik pengoperasian bubu berdampak terhadap kerusakan karang.

Pendekatan lain yang dikaji dari evaluasi bubu nelayan adalah daerah pengoperasian bubu, bentuk konstruksi bubu dan metode perendaman bubu terkait dengan optimalisasi hasil tangkapan. Tujuannya agar produktivitas hasil tangkapan bubu semakin meningkat namun tetap bersifat ramah lingkungan.

Ada 3 (tiga) hal utama yang akan dijawab dalam penelitian pengembangan perikanan bubu di Sibolga, yaitu: dampak pengoperasian bubu terhadap lingkungan; dampak pengoperasian bubu terhadap kelimpahan sumberdaya ikan demersal; dan dampak pengoperasian bubu terhadap peningkatan nilai ekonomi dari usaha nelayan itu sendiri.

Evaluasi dampak pengoperasian oleh alat tangkap bubu kawat terhadap habitat perairan, minimal harus mampu menjawab apakah alat tangkap bubu sesuai untuk dikembangkan di kawasan pantai Barat Sumatera. Bagaimana bubu dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem terumbu karang pada saat dilakukan hauling, serta sistem penentuan daerah penangkapan yang optimal bagi nelayan sehingga usaha perikanan demersal di Sibolga dapat berjalan secara berkelanjutan.

(44)

bubu Sibolga. Hasil identifikasi akan dijadikan tolak ukur dalam mencari solusi pengoperasian bubu yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh pemerintah.

Adapun yang menjadi variabel input pada penelitian ini diantaranya: evaluasi teknik operasi bubu kawat nelayan Sibolga; evaluasi penentuan daerah penempatan bubu dan evaluasi hasil tangkapan bubu yang dioperasikan nelayan. Data ini dibandingkan dengan hasil pengoperasian bubu modifikasi yang telah mengalami perbaikan metode pengoperasian dan perubahan konstruksi. Hal ini dilakukan untuk menjawab kritikan pemerintah daerah terhadap pelarangan operasi bubu kawat nelayan.

Permasalahan bubu di pantai Barat Sumatera, membutuhkan beberapa tahapan proses kajian yang harus ditempuh. Variabel proses dalam pengembangan perikanan bubu pantai Barat Sumatera yaitu: perbaikan teknik operasi bubu melalui perhitungan, metode peletakan dan pengangkatan bubu dan analisis stabilitas bubu di dalam air; penggunaan echosounder dan pemetaan dasar laut; perhitungan komposisi hasil tangkapan, indikator biologi hasil tangkapan dan potensi lestari hasil tangkapan.

Hasil atau keluaran dari penelitian pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi bubu antara lain; perbaikan teknis kerja bubu nelayan, rancangan bubu termodifikasi dari penelitian; peta penentuan daerah pengoperasian bubu yang potensial; kelestarian sumberdaya ikan dan analisis kelayakan usaha nelayan bubu.

(45)

Gambar 1 Diagram alir penelitian perikanan bubu 4) SDI sulit diperoleh 5) Umur teknis bubu CCRF

Perikanan bubu di Sibolga

Pengoperasian bubu nelayan Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi

(46)

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dugaan sementara dampak pengoperasian bubu nelayan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang dan peningkatan produktivitas bubu dengan perbaikan metode pengoperasian. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini antara lain:

1) Adanya kerusakan terumbu karang sebagai dampak pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera.

2) Adanya perubahan perbaikan kinerja teknis dari konstruksi bubu nelayan melalui proses modifikasi.

3) Adanya peningkatan produktivitas modifikasi bubu nelayan terhadap hasil tangkapan ikan karang.

4) Terjadinya peningkatan nilai ekonomi usaha bubu dengan adanya modifikasi

1.6 Novelti

(47)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Demersal

Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan lain sebagainya. Menurut Ayodhyoa (1992) ikan dasar memilki sifat ekologi sebagai berikut: 1) Mempunyai adaptasi dengan kedalaman perairan

2) Aktifitasnya relatif rendah dan mempunyai daerah kisaran ruaya yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ikan pelagis

3) Jumlah kawanan relatif kecil jika dibandingkan dengan ikan pelagis

4) Habitat utamanya berada di dekat dasar laut meskipun berbagai jenis diantaranya berada di lapisan perairan yang lebih atas

5) Kecepatan pertumbuhannya rendah

6) Komunitas memiliki seluk beluk yang komplek

7) Dibandingkan sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil akan tetapi banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi

Ikan demersal tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan Sunda, Samudera Hindia dan Laut Arafura dengan kecenderungan kepadatan potensi tinggi di daerah pantai. Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti: suhu, salinitas, arus dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Rumajar, 2001).

(48)

Statistik Perikanan Indonesia menunjukkan bahwa ikan demersal memiliki potensi yang cukup besar yaitu sebesar 1.786.350 ton/tahun, sedang produksi pada tahun 2010 sebesar 620.610 ton. Selain itu, jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena cita rasa yang lezat dan digemari masyarakat. Ikan demersal laut dalam (deep sea) adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan di luar daerah paparan benua (continental shelf) atau pada kedalaman lebih dari 200 m. Diperkirakan tingkat eksploitasi ikan demersal ini semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan protein ikan. Kajian teknik dan metode penangkapan ikan demersal laut dalam yang berkelanjutan menjadi perlu untuk dilakukan (Husni, 2009).

lkan demersal banyak hidup dan tersebar di hampir seluruh perairan Indonesia pada umumnya ditangkap dengan menggunakan pancing ulur dan masih sedikit yang menggunakan bubu. Aktifitas penangkapan ikan demersal dengan bubu banyak dilakukan di perairan sekitar Pulau Karimunjawa. Penangkapan ikan demersal dengan bubu dapat menghasilkan kualitas tangkapan yang lebih baik. Unit penangkapan bubu sudah termasuk ke dalam skala usaha penangkapan menengah ke atas, untuk itu diperlukan modal yang besar untuk memulainya (Irnawaty, 2011).

Berdasarkan kategori nilai ekonomisnya, sumberdaya ikan demersal dibagi menjadi 3 kelompok (Rumajar, 2001) antara lain:

1) Kelompok komersial utama : terdiri dari ikan kerapu (Ephinephelus sp), bambangan (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus spp), kakap (Lates calcarifer), mayung (Arius spp) dan kuwe (Carangoides spp).

2) Kelompok komersial kedua: terdiri dari ikan bawal hitam (Formio niger), kurisi (Nemipterus spp), layur (Trichiurus savala), kurau (Eletheronema tetredactylum), ketang-ketang (Drepane punctata) dan baronang (Siganus spp).

(49)

Ikan karang juga termasuk bagian dari ikan demersal. Ikan karang adalah ikan yang hidup di perairan karang. Jenis-jenis ikan yang hidup di sekitar perairan karang diantaranya adalah ikan giru (Siganus guttatus), kakap merah (Lutjanus timorensis), kakak tua hijau (Scarus rivulatus), kerapu macan, kuwe, lobster dan pogot tanduk (Monacanthus ciliatus). Terumbu karang merupakan rumah atau tempat berlindung berbagai biota laut lainnya. Berbagai jenis ikan, termasuk juga moluska, crustacea, echinodermata dan rumput laut yang hidup subur di sekitarnya. Terumbu karang memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem laut. Kerusakan terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya seluruh ekosistem laut dan pantai. Manfaat dari keberadaan ekosistem terumbu karang pada wilayah perairan antara lain (Hermawan, 2007):

1) Merupakan rumah untuk berbagai jenis ikan dan tumbuhan;

2) Melindungi ikan kecil dan mahluk laut lainnya dari serangan hewan pemangsa;

3) Sebagai tempat berlindung mahluk laut dari ombak dan arus kencang;

4) Sebagai penyedia makanan untuk berbagai jenis ikan, moluska dan echinodermata;

5) Merupakan tempat tumbuh dan berkembangbiak berbagai jenis ikan dan mahluk lainnya;

6) Terumbu karang yang sehat menghasilkan tangkapan ikan jauh lebih besar dari pada terumbu karang yang rusak;

7) Terumbu karang membentuk penghalang alami yang melindungi masyarakat pesisir dari gelombang laut dan topan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Maliskusworo dalam Rumajar (2001) menyatakan bahwa untuk perairan Indonesia paling sedikit ada 13 famili utama sebagai penyumbang produksi ikan karang, yaitu Caesiodidae, Pomacentridae, Acanthuridae, Serranidae, Scanidae, Caetodontidae, Labridae, Haemulidae,

(50)

pengelompokan sumberdaya ikan demersal termasuk dalam kelompok komersial utama. Selain ikan kerapu dan kakap yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan bambangan (Lutjanus spp.), bawal putih (Pampus spp.), jenaha (Lutjanus johni) dan kuwe (Carangoides spp.)

Menurut Dartnall dan Jones (1986), berdasarkan fungsi ekologisnya ikan-ikan karang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:

1) Kelompok ikan target (target species) merupakan ikan yang dikenal sebagai ikan konsumsi, seperti ikan-ikan dari famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae

2) Kelompok ikan indikator (indicator species) merupakan ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu perairan yang memiliki terumbu karang seperti famili Caetodontidae

3) Kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan. Kelompok ikan ini merupakan ikan-ikan yang belum diketahui perannya seperti ikan-ikan dari famili Pomacentrinidae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae.

Di Indonesia potensi ikan pangan yang terdapat pada ekosistem karang diduga sebesar 75.875 ton/tahun dengan besarnya sumberdaya 151.750 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998). Dilihat dari prospek pasar, potensi pemanfaatan ikan karang ini meningkat dari tahun ke tahun dengan negara tujuan Singapura, Hongkong, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999). Ikan demersal seperti kakap dan kerapu sangat diperlukan untuk diekspor baik dalam bentuk hidup maupun mati. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya restoran sea food dan hotel, maka permintaan akan ketersediaan ikan karang semakin besar.

2.2 Perikanan Bubu 2.2.1 Definisi bubu

(51)

perairan terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil karena biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983).

Lagler et al. (1997) menyatakan tanggapan ikan dan hewan air terhadap suatu rangsangan terjadi apabila rangsangan yang diberikan tersebut sesuai dengan kebiasaan dan reflek ikan tersebut. Kebanyakan dari mereka melakukan aksi apabila benda yang diberikan kepadanya bergerak, mempunyai warna dan mempunyai bentuk.

Anun dan Barus (2000), berpendapat berhasilnya suatu usaha penangkapan ikan melalui operasi bubu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena berkaitan dengan pertumbuhan dan populasi ikan, distribusi ikan pada suatu perairan yang menjadi tujuan penangkapan dan mempengaruhi hasil tangkapan terhadap alat itu sendiri. Faktor lingkungan adalah suhu, kecerahan, kedalaman perairan, salinitas dan arus. Selain pengaruh lingkungan, faktor lain yang juga berperan dalam produktivitas bubu adalah aspek teknis bubu tersebut. Berdasarkan penelitian Anun dan Barus (2000) jumlah bukaan mulut, pemberian umpan dan lama perendaman memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan bubu.

Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa dalam keadaan gelap ikan cenderung berenang mengikuti arus dan sebaliknya pada saat terang ikan cenderung berenang melawan arus. Penempatan alat tangkap harus disesuaikan dengan teknik pengoperasian alat tangkap dan target spesies dari alat itu sendiri.

Pengembangan alat tangkap harus diikuti dengan pengetahuan mengenai daerah penangkapan (fishing ground), sehingga dapat ditemukan suatu jenis alat tangkap yang cocok untuk daerah tersebut (Ayodhyoa, 1996). Ismail dan Nuraini (1983), menyatakan bahwa penangkapan ikan di perairan karang akan efektif dengan menggunakan alat tangkap bubu. Selain biaya pembuatan dan operasinya relatif murah, alat ini hanya sedikit menimbulkan kerusakan karang.

(52)

sanguineus) (Nurhidayat, 2002); selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp.) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gaps) (Tirtana, 2003); uji coba alat tangkap bubu dengan ukuran mesh size berbeda (Ariefandi, 2005); pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada bubu (traps) (Mahulette, 2004); pengoperasian bubu dengan umpan dan konstruksi funnel yang berbeda terhadap hasil tangkapan ikan laut dalam (Susanto, 2006) dan studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mahulette, 2004).

Sarjono et al. (1997), menyatakan bahwa salah satu teknik penangkapan ikan yang dianggap merusak keberadaan terumbu adalah bubu karang disamping pukat ikan dan bom ikan. Alasannya, selain bubu didudukkan di atas karang sehingga merusak terumbu karang, nelayan sering mematahkan koloni karang untuk menimbun bubu. Saat pengoperasian tali pelampung tanda sering dililitkan pada batu karang sehingga pada saat hauling akan menghancurkan karang yang dilaluinya.

Sementara Martasuganda, (2003), berpendapat bahwa alat tangkap yang cocok untuk menangkap ikan demersal tanpa merusak terumbu karang adalah bubu, selain bersifat pasif dan ramah lingkungan juga selektif. Karang merupakan habitat hidup ikan-ikan demersal ekonomis penting seperti kakap, kerapu, jenaha, kuwe dan lobster.

(53)

2.2.2 Daerah pengoperasian bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif, sehingga penentuan lokasi menjadi syarat utama dalam operasi penangkapan. Sasaran target alat tangkap ini adalah ikan demersal yang memiliki habitat di sekitar terumbu karang. Bubu sangat cocok dioperasikan di perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang dengan suhu diantara 18oC sampai 25oC. Pulau-pulau kecil di sepanjang Samudera Hindia merupakan habitat terumbu karang yang kaya akan ikan demersal. Ikan demersal memiliki kebiasaan hidup di dasar perairan yang bersubstrat lumpur dan terlindungi oleh karang. Ekosistem karang dijadikan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan menghindar dari predator bagi ikan demersal (Riyanto, 2008).

Penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat akan mengurangi terjadinya ghost fishing (Norris et al. 2010). Efektivitas pengoperasian bubu tentunya dapat ditingkatkan dengan mengurangi ghost fishing pada usaha bubu. Pantai Barat Sumatera merupakan daerah pengoperasian bubu yang potensial karena selain suhunya yang relatif lebih hangat, diperairan ini juga sangat banyak dijumpai terumbu karang. Terumbu karang ini merupakan penghasil sumber makanan yang cukup baik sehingga mempermudah ikan untuk mencari makanan dan sekaligus merupakan tempat ikan berkembang (Simbolon, 2011). Ikan-ikan selain penghuni asli terumbu karang yang berinteraksi dengan ekosistem terumbu dan bernilai ekonomis tinggi juga banyak ditemukan (Jeyaseelan, 1998). Terumbu karang adalah suatu komunitas di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata serta biota lain yang hidup di perairan sekitarnya termasuk plankton dan ikan.

(54)

algae (zooxanthellae) yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen hasil fotosintesis (Wells dalam Sukarno, 1995).

Kurnia (2003) menyatakan terumbu baik secara fisik maupun biologis mempunyai struktur yang sangat kompleks. Terumbu yang kita lihat sebenarnya adalah hasil keseimbangan antara faktor yang bersifat merusak (destruktif) yang bekerja secara simultan dan terus-menerus. Faktor yang bersifat membangun, sebagian besar terdiri dari unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur seperti karang batu, algae berkapur melalui berbagai proses baik secara fisik, biologi maupun kimia. Terumbu akan tumbuh dengan baik pada daerah tropis yang memiliki kandungan oksigen dan penetrasi cahaya yang baik. Hal ini disebabkan karena terumbu karang membutuhkan unsur tersebut dalam proses fotosintesis.

Pengembangan terumbu karang buatan melalui proses transplantasi juga sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Biota laut yang dikategorikan sebagai perusak terumbu karang yang sangat handal adalah Acanthaster planchi yaitu sejenis echinodermata yang memakan karang batu, molusca, sponge dan ikan. Adapun faktor alami yang dapat merusak terumbu karang antara lain (Suharsono, 1995) :

1) Angin topan; 2) Gempa bumi; 3) Arus;

4) Gelombang;

5) Letusan gunung berapi; dan 6) Kenaikan suhu air laut.

(55)

a. Secara langsung :

1) Penambangan karang secara liar, 2) Pencarian biota laut untuk perhiasan, 3) Pengambilan fosil kimia (Tridacna spp), 4) Penggunaan bahan peledak (bom), 5) Racun untuk menangkap ikan. b. Secara tidak langsung :

1) Pembuangan limbah rumah tangga 2) Pembuangan limbah industri dan 3) Limbah kapal

Terumbu pantai berkembang di sepanjang pantai mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan meluas ke arah laut. Pertumbuhan terbaik adalah pada bagian yang berarus deras. Terumbu penghalang terletak jauh dari pantai dan dipisahkan oleh lembah berpasir dari pantai (Sukarno, 1995). Menurut bentuk dan letaknya terumbu dapat dibedakan menjadi tiga tipe (Froelich, 2002) yaitu :

1) Fringing reef (terumbu karang pantai) 2) Barrier reef (terumbu karang penghalang) 3) Atol (terumbu karang cincin)

Terumbu penghalang memiliki akar pada kedalaman melebihi kedalaman maksimum tumbuhnya karang batu. Umumnya terumbu penghalang sejajar garis pantai dan seolah melingkupi pulau. Terumbu cincin terlihat bagaikan sumur yang terendam air. Kedalaman rata-rata sekitar 45 meter. Seperti halnya terumbu penghalang akar terumbu ini tertanam pada kedalaman melebihi ambang batas kedalaman layak hidup karang batu. Walaupun demikian ketiga terumbu ini masih memiliki kesamaan pada permukaan tutupan yaitu :

1) Permukaan mendatar (reef flat)

2) Permukaan landai hingga curam (reef slop)

3) Permukaan mendatar di tempat yang dalam (lagoon floor/submarine terrace)

(56)

saja penting karena perannya sebagai sumber makanan dan pelindung pulau dari gempuran ombak, tetapi juga berperan sebagai tempat rekreasi yang sangat menarik. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir termasuk terumbu secara terus-menerus meningkat pula. Akibatnya beberapa kawasan terumbu di kawasan di Asia Pasifik telah dapat dikategorikan sebagai kawasan terumbu yang telah rusak, bahkan ada diantaranya yang sudah mencapai tingkat kritis, yaitu suatu kondisi terumbu karang yang telah sedemikian rupa sehingga dalam waktu 10-20 tahun lagi fungsi sebagai ekosistem terumbu karang itu akan hilang. Sehingga pengelolaan komunitas terumbu karang secara bijaksana dan berkelanjutan perlu segera dilakukan (Sukarno, 1995).

Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 meter sampai tidak terhingga dalamnya, hal ini sangat tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Bubu kawat biasanya berada di laut dalam maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakkan pada kedalaman tertentu di atas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang untuk digunakan sebagai pelampung tanda sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut yang dapat ditangkap terdiri atas ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut yang peka terhadap sinar atau fototaksis negatif (Nontji, 2000).

Kedalaman laut di perairan Indonesia secara garis besar dibagi dua yaitu perairan dangkal berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan adalah zona di laut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 sampai dengan 200 meter, biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. Bubu kawat biasanya dioperasikan pada daerah paparan yang memiliki terumbu karang (Mahulette, 2004).

2.2.3 Jenis-jenis bubu

(57)

1) Bubu dasar (stationary fish pots)

Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.

2) Bubu apung (floating fish pots)

Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung ini dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis.

3) Bubu hanyut (drifting fish pots)

Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu ini dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah ”pakaja”. Sistem pengoperasian dilakukan sebagai berikut :

- Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut - Pakaja disusur ke dalam air

- Kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penanda (drifting line)

- Pakaja dibiarkan dalam air dalam beberapa jam sebelum diangkat

(58)

luar bubu 44 cm dan tinggi mulut bagian luar 55 cm, sedangkan lebar mulut bagian tengah 29 cm dan tinggi 40 cm, serta lebar mulut bagian dalam berukuran 25 cm. Panjang mulut bubu ini 75 cm, yaitu jarak dari mulut terluar sampai mulut terdalam. Konstruksi utama dalam badan bubu terbentuk dari kawat berukuran mess size 5 cm x 5 cm (Hermawan, 2007).

Harga satu bubu yang biasa digunakan masyarakat nelayan Sibolga memerlukan biaya sebesar Rp. 280.000. Bubu ini diperkirakan memiliki daya tahan ± 3 bulan dan biasanya dicat dengan warna merah. Pemilihan warna ini dilakukan berdasarkan permintaan nelayan karena menurut pengalaman mereka bubu yang dicat dengan warna cerah memiliki hasil tangkapan yang lebih banyak daripada yang tidak dicat. Asumsi yang digunakan nelayan Sibolga belum dikaji secara ilmiah, namun cat yang melapisi selimut bubu dapat memperlambat korosi. Konstruksi bubu nelayan Sibolga sampai pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga

Uraian Keterangan

Bahan badan bubu Kawat weldingmesh

Kayu dan rotan

Bentuk bubu Kubus

Bentuk mulut bubu Silinder mengerucut

Mesh size kawat 5 cm x 5 cm

Panjang 150 cm

Lebar 100 cm

Tinggi 50 cm

Lebar mulut bagian luar 44 cm Lebar mulut bagian tengah 29 cm Lebar mulut bagian dalam 25 cm Tinggi mulut bagian luar 35 cm Tinggi mulut bagian tengah 30 cm Tinggi mulut bagian dalam 15 cm

Panjang mulut 55 cm

Sumber : data penelitian (Siamanungkalit, 2008)

(59)

Gambar 2 Desain bubu kawat nelayan Sibolga

Bubu kawat nelayan Sibolga memiliki tulang yang terbuat dari rotan dan diberikan pemberat berupa batu karang pada setiap sudut alas bubu dengan cara diikatkan. Selimut bubu berukuran 5 cm dan pintu bukaan bubu terletak di bagian alas. Tali ris (main line) penghubung bubu diletakkan di bagian selimut atas bubu dan dihubungkan pada bubu lainnya karena sistem pengoperasian bubu bersifat rawai (bergandengan). Bubu di Sibolga biasanya hanya digunakan dalam 5 sampai 6 kali operasi dan ditempatkan dalam satu daerah pengoperasian selama kurang lebih 10 hari.

2.2.4 Tingkah laku ikan terhadap bubu

Risamasu (2008) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar (non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri.

(60)

celah pelolosan ini sangat berkaitan erat dengan bentuk dan ketinggian celah pelolosan dari dasar bubu (Norris, 2010).

Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang operasi penangkapan ikan karang dengan bubu. Ikan karang yang sifatnya sering bersembunyi pada terumbu karang terpancing keluar saat mengetahui adanya makanan. Ketersediaan umpan dalam bubu akan memancing ikan masuk ke dalam bubu. Penciuman adalah salah satu indera yang paling sering digunakan ikan karang dalam mendeteksi keberadaan makanan. Penggunaan umpan untuk memancing ikan kerapu macan (epinephelus fusgoguttatus) adalah salah satu cara yang efektif menunjang produktivitas bubu kawat (Riyanto, 2008).

Efektivitas umpan sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimiawi dari umpan itu sendiri. Ikan karang yang umumnya memiliki ketajaman penglihatan yang lebih rendah akan lebih baik merespon dengan menggunakan indera penciuman. Tingkat respon ikan terhadap umpan ditentukan oleh sifat umpan tersebut. Umpan yang memberikan aroma yang lebih menyengat akan memberikan respon yang lebih efektif dalam memancing ikan masuk ke dalam perangkap. Umpan yang mengandung protein, lemak dan asam amino akan memberikan aroma terhadap ikan. Komposisi protein tertinggi akan memberikan respon yang paling tinggi terhadap ikan. Waktu rata-rata arrousal ikan terhadap umpan buatan dalam bubu yang mengandung protein tidak berbeda nyata (Riyanto, 2008).

Prinsip dasar penangkapan ikan dengan alat yang bersifat pasif adalah bagaimana ikan tertarik pada alat tangkap. Terumbu karang buatan adalah salah satu alternatif menciptakan daerah pengoperasian bubu yang efektif Pembuatan terumbu karang buatan ditujukan untuk membentuk lubang atau celah yang cukup banyak sebagai habitat keberadaan ikan karang. Karang buatan yang berbentuk piramid atau memiliki kemiringan yang teratur tercatat lebih banyak dihuni oleh ikan karang sebagai tempat persembunyian dan mencari makan. Bentuk karang yang lebih terjal mampu memberikan pengaruh arus yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan karang yang landai (Kurnia, 2003).

(61)

ikan-ikan demersal yang bernilai ekonomis tinggi antara lain ikan-ikan kerapu, kakap, kuwe, rajungan, lobster dan beberapa jenis crustacea. Secara umum ada beberapa penerapan alat akustik yang digunakan dalam mempengaruhi hasil tangkapan dengan menggunakan bubu. Alat akustik umumnya menjadi pemegang peran utama (primer use) dalam optimasi pengoperasian bubu.

2.2.5 Bubu ramah lingkungan

Sianida diperkenalkan pada perikanan karang yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkap yang berlipatganda. Sejak itu banyak daerah perairan yang memiliki terumbu karang mengalami kerusakan serius seperti di Pulau Bali. Penggunaan bahan kimia atau perusakan terumbu karang yang luar biasa menyebabkan kelestarian sumberdaya laut mulai terancam. Akibatnya keberadaan ikan demersal menjadi terancam bersama dengan beberapa jenis ikan hias ekonomis (Mahulette, 2004).

Menurut Ayodhya dan Diniah (1989), alat penangkapan ikan demersal bermacam-macam, antara lain: pancing, bubu dan trawl dasar. Bubu yang umum dipakai di perairan Indonesia adalah jenis bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan bubu di sela-sela terumbu karang atau tempat hunian ikan.

Bubu dikategorikan ramah lingkungan karena sifatnya yang pasif, berupa perangkap ikan yang tidak memberikan kerusakan pada lingkungan sekitar. Bubu terbuat dari kawat, rotan, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar (Brandt, 1984). Monintja dan Martasuganda (1991) mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan antara lain :

1) Pembuatan bubu mudah dan murah 2) Mudah dalam pengoperasiannya

3) Hasil tangkapan diperoleh dalam keadaan segar

4) Tidak merusak sumberdaya baik secara ekologi maupun teknik

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian perikanan bubu
Tabel 1  Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga
Gambar 2 Desain bubu kawat nelayan Sibolga
Gambar 3  Peta lokasi penelitian bubu di pantai Barat Sumatera
+7

Referensi

Dokumen terkait