• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Perikanan Bubu

2.2.2 Daerah pengoperasian bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif, sehingga penentuan lokasi menjadi syarat utama dalam operasi penangkapan. Sasaran target alat tangkap ini adalah ikan demersal yang memiliki habitat di sekitar terumbu karang. Bubu sangat cocok dioperasikan di perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang dengan suhu diantara 18oC sampai 25oC. Pulau-pulau kecil di sepanjang Samudera Hindia merupakan habitat terumbu karang yang kaya akan ikan demersal. Ikan demersal memiliki kebiasaan hidup di dasar perairan yang bersubstrat lumpur dan terlindungi oleh karang. Ekosistem karang dijadikan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan menghindar dari predator bagi ikan demersal (Riyanto, 2008).

Penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat akan mengurangi terjadinya

ghost fishing (Norris et al. 2010). Efektivitas pengoperasian bubu tentunya dapat ditingkatkan dengan mengurangi ghost fishing pada usaha bubu. Pantai Barat Sumatera merupakan daerah pengoperasian bubu yang potensial karena selain suhunya yang relatif lebih hangat, diperairan ini juga sangat banyak dijumpai terumbu karang. Terumbu karang ini merupakan penghasil sumber makanan yang cukup baik sehingga mempermudah ikan untuk mencari makanan dan sekaligus merupakan tempat ikan berkembang (Simbolon, 2011). Ikan-ikan selain penghuni asli terumbu karang yang berinteraksi dengan ekosistem terumbu dan bernilai ekonomis tinggi juga banyak ditemukan (Jeyaseelan, 1998). Terumbu karang adalah suatu komunitas di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata serta biota lain yang hidup di perairan sekitarnya termasuk plankton dan ikan.

Terumbu terdapat di perairan tropis pada kedalaman antara 0 sampai 40 meter, dasarnya keras, airnya jernih dan mempunyai suhu rata-rata tahunan relatif stabil yaitu 180C. Terumbu dapat hidup subur pada perairan yang suhunya berkisar 25oC sampai dengan 300C, tersebar di daerah tropis antara 300 LU dan 250 LS. Di Indonesia terumbu dapat ditemukan hampir di seluruh pulau-pulau. Bagi kehidupan sekitarnya, terumbu juga berperan sebagai faktor penyubur oleh karena biota utama pembentuk terumbu karang bersimbiosis dengan monocelluler

algae (zooxanthellae) yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen hasil fotosintesis (Wells dalam Sukarno, 1995).

Kurnia (2003) menyatakan terumbu baik secara fisik maupun biologis mempunyai struktur yang sangat kompleks. Terumbu yang kita lihat sebenarnya adalah hasil keseimbangan antara faktor yang bersifat merusak (destruktif) yang bekerja secara simultan dan terus-menerus. Faktor yang bersifat membangun, sebagian besar terdiri dari unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur seperti karang batu, algae berkapur melalui berbagai proses baik secara fisik, biologi maupun kimia. Terumbu akan tumbuh dengan baik pada daerah tropis yang memiliki kandungan oksigen dan penetrasi cahaya yang baik. Hal ini disebabkan karena terumbu karang membutuhkan unsur tersebut dalam proses fotosintesis.

Pengembangan terumbu karang buatan melalui proses transplantasi juga sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Biota laut yang dikategorikan sebagai perusak terumbu karang yang sangat handal adalah Acanthaster planchi yaitu sejenis echinodermata yang memakan karang batu, molusca, sponge dan ikan. Adapun faktor alami yang dapat merusak terumbu karang antara lain (Suharsono, 1995) :

1) Angin topan; 2) Gempa bumi; 3) Arus;

4) Gelombang;

5) Letusan gunung berapi; dan 6) Kenaikan suhu air laut.

Sukarno (1995) menyatakan faktor-faktor perusak tersebut setelah mengalami berbagai proses, selanjutnya menjadi endapan kapur yang sangat halus atau fragmen-fragmen karang batu yang oleh bantuan arus akhirnya terperangkap di sela kerangka karang batu dan algae berkapur yang merupakan substrat dasar terumbu karang yang keras tempat hidup berbagai biota penyusun komunitas terumbu. Disamping faktor destruktif alamiah, tidak kalah perannya faktor destruktif oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor destruktif oleh manusia dijabarkan sebagai berikut:

a. Secara langsung :

1) Penambangan karang secara liar, 2) Pencarian biota laut untuk perhiasan, 3) Pengambilan fosil kimia (Tridacna spp), 4) Penggunaan bahan peledak (bom), 5) Racun untuk menangkap ikan. b. Secara tidak langsung :

1) Pembuangan limbah rumah tangga 2) Pembuangan limbah industri dan 3) Limbah kapal

Terumbu pantai berkembang di sepanjang pantai mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan meluas ke arah laut. Pertumbuhan terbaik adalah pada bagian yang berarus deras. Terumbu penghalang terletak jauh dari pantai dan dipisahkan oleh lembah berpasir dari pantai (Sukarno, 1995). Menurut bentuk dan letaknya terumbu dapat dibedakan menjadi tiga tipe (Froelich, 2002) yaitu :

1) Fringing reef (terumbu karang pantai) 2) Barrier reef (terumbu karang penghalang) 3) Atol (terumbu karang cincin)

Terumbu penghalang memiliki akar pada kedalaman melebihi kedalaman maksimum tumbuhnya karang batu. Umumnya terumbu penghalang sejajar garis pantai dan seolah melingkupi pulau. Terumbu cincin terlihat bagaikan sumur yang terendam air. Kedalaman rata-rata sekitar 45 meter. Seperti halnya terumbu penghalang akar terumbu ini tertanam pada kedalaman melebihi ambang batas kedalaman layak hidup karang batu. Walaupun demikian ketiga terumbu ini masih memiliki kesamaan pada permukaan tutupan yaitu :

1) Permukaan mendatar (reef flat)

2) Permukaan landai hingga curam (reef slop)

3) Permukaan mendatar di tempat yang dalam (lagoon floor/submarine terrace)

Terumbu dikenal sebagai suatu ekosistem yang produktif, keanekaragaman biotanya tinggi dan memiliki panorama yang sangat indah sehingga terumbu tidak

saja penting karena perannya sebagai sumber makanan dan pelindung pulau dari gempuran ombak, tetapi juga berperan sebagai tempat rekreasi yang sangat menarik. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir termasuk terumbu secara terus-menerus meningkat pula. Akibatnya beberapa kawasan terumbu di kawasan di Asia Pasifik telah dapat dikategorikan sebagai kawasan terumbu yang telah rusak, bahkan ada diantaranya yang sudah mencapai tingkat kritis, yaitu suatu kondisi terumbu karang yang telah sedemikian rupa sehingga dalam waktu 10-20 tahun lagi fungsi sebagai ekosistem terumbu karang itu akan hilang. Sehingga pengelolaan komunitas terumbu karang secara bijaksana dan berkelanjutan perlu segera dilakukan (Sukarno, 1995).

Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 meter sampai tidak terhingga dalamnya, hal ini sangat tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Bubu kawat biasanya berada di laut dalam maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakkan pada kedalaman tertentu di atas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang untuk digunakan sebagai pelampung tanda sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut yang dapat ditangkap terdiri atas ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut yang peka terhadap sinar atau fototaksis negatif (Nontji, 2000).

Kedalaman laut di perairan Indonesia secara garis besar dibagi dua yaitu perairan dangkal berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan adalah zona di laut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 sampai dengan 200 meter, biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. Bubu kawat biasanya dioperasikan pada daerah paparan yang memiliki terumbu karang (Mahulette, 2004).