• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (Pwb) Pada Pensiunan Suku Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (Pwb) Pada Pensiunan Suku Batak Toba"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL

BEING (PWB) PADA PENSIUNAN SUKU BATAK TOBA

SKRIPSI

Diajukan untukmemenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SARAH YUNIANTY SITUMORANG 091301078

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL

BEING (PWB) PADA PENSIUNAN SUKU BATAK TOBA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

SARAH YUNIANTY SITUMORANG 091301078

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 20 Oktober 2014

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi Prof. Dr. Irmawati, Psikolog

NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Elvi Andriani, M.Si., Psikolog

NIP. 196405232000032001 Penguji I / Pembimbing ____________ 2. Debby A. Daulay, M.Psi., Psikolog

NIP. 198101222000812002 Penguji II ____________ 3. Ridhoi Meilona Purba, M.Si

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Pengaruh Religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada Pensiunan Suku Batak Toba

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 20 Januari 2015

(4)

Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (PWB) pada Pensiunan Suku Batak Toba

Sarah Yunianty Situmorang dan Elvi Andriani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap

Psychological Well Being pada pensiunan Suku Batak Toba. Psychological Well Being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan fungsi psikologis individu berdasarkan sejauh mana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya. Religiusitas didefinisikan sebagai pemahaman akan ilmu dan keyakinan, perasaan atau hubungan emosional, serta perilaku dalam beragama. Pensiunan Suku Batak Toba, yang menjadi sampel penelitian ini, merupakan para lansia Batak Toba beragama Kristen yang telah pensiun dari pekerjaannya. Metode penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana.

Hasil utama dari penelitian menunjukkan bahwa religiusitas berpengaruh terhadap

Psychological Well Being, dengan sumbangan sebesar 21.3% (R2=0.213), dimana 78.7% dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa empat dimensi dari Psychological Well Being yaitu dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi dipengaruhi oleh religiusitas. Sementara itu dua dimensi lainnya, penerimaan diri dan otonomi, tidak dipengaruhi oleh religiusitas. Religiusitas berpengaruh terhadap Psychological Well Being, dimana semakin tinggi religiusitas berkontribusi terhadap kenaikan Psychological Well Being pada pensiunan Suku Batak Toba.

(5)

The Influence Of Religiosity To The Psychological Well Being (PWB) Of Batak Toba Ethnic Retired

Sarah Yunianty Situmorang and Elvi Andriani

ABSTRACT

This study aimed to determine the influence of religiosity to the Psychological Well Being of Batak Toba Ethnic retired. Psychological Well Being is a term used to describe individual’s psychological functioning based on the extent to which an individual have a purpose in life, realize the potential, quality of relationship with others, the extent of responsibility of their own life, and strive to develop and explore themselves. Religiosity is defined as the understanding of konwledge and belief, feeling or emotional relation, as well as in religious behavior. Batak Toba Ethnic retired, as samples of this study, were Christian retired from Batak Toba Ethnic who had retired from job. The research method of this study is a quantitative method, with simple regression as its analysis technique. The main result shows that religiosity influence Psychological Well Being with 21.3% of

contribution (R2=.0213), which 78.7% are explained by other factors. The additional result shows that the four dimensions of Psychological Well Being,

such as positive relations with others, environmental mastery, purpose of life, and personal growth influenced by religiosity. Meanwhile, the other two dimensions of Psychological Well Being, self aceeptance and autonomy, do not influenced by religiosity. Religiosity influence on Psychological Well Being, that the higher religiosity contributed to the increase of Psychological Well Being of Batak Toba Ethnic retired.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya berikan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang hanya karena berkat, kasih dan penyertaan-Nya sajalah saya dapat

menyelesaikan penelitian ini yang berjudul ‘Pengaruh Religiusitas terhadap

Psychological Well Being (PWB) Pada Pensiunan Suku Batak Toba’.

Saya juga menyadari bahwa penelitian ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak. Karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua saya, Papa dan Mama tercinta yang telah membesarkan dan mendidik saya, terima kasih atas doa, ketulusan, kasih sayang dan kesabaran yang tanpa henti diberikan hingga saat ini.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta memberikan petunjuk dan saran untuk saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(7)

5. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, Psikolog, selaku dosen PA (Pembimbing Akademik) yang selalu memberikan motivasi kepada saya dalam menjalani kehidupan akademis di Fakultas Psikologi USU.

6. Sahabat-sahabat saya yang terkasih, Angela, Maria, Ferona, Joyce, Sehat, terima kasih atas doa dan dukungan yang dapat kita bagi bersama sampai saat ini.

7. Teman-teman Fakultas Psikologi USU, terkhusus angkatan 2009 yang telah memberikan semangat, waktu, dan dukungan.

8. Kak Rany Monika dan Kak Vivin, yang telah memberikan doa, semangat dan motivasi. Terbukti bahwa jarak bukan menjadi halangan, terima kasih untuk kalian.

9. Seluruh keluarga, teman-teman pelayanan, dan para pihak yang telah mendukung dan membantu baik dalam moral maupun materil.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, dan dengan kerendahan hati peneliti mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penelitian ini, serta peneliti berharap kiranya hasil dari penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu Psikologi.

Medan, 20 Januari 2015

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Psychological Well Being (PWB) ... 14

1. Definisi Psychological Well Being (PWB) ... 14

2. Dimensi-dimensi Psychological Well Being (PWB) ... 15

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being (PWB) ... 21

B. Religiusitas ... 27

(9)

2. Dimensi-dimensi Religiusitas ... 27

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas ... 29

C. Religiusitas Suku Batak Toba ... 30

D. Pensiun ... 33

1. Definisi Pensiun ... 33

2. Fase-fase Pensiun ... 35

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah pada Masa Pensiun ... 37

E. Lanjut Usia ... 39

1. Definisi Lanjut Usia ... 39

2. Tahapan Lanjut Usia ... 39

3. Perubahan-perubahan yang Dialami Lanjut Usia ... 40

F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (PWB) Pada Pensiunan Suku Batak Toba ... 46

G. Hipotesa Penelitian ... 48

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 49

1. Psychological Well Being (PWB) ... 50

2. Religiusitas ... 52

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 53

1. Populasi ... 53

(10)

D. Metode Pengumpulan Data ... 55

1. Skala Psychological Well Being (PWB) ... 55

2. Skala Religiusitas ... 57

E. Uji Coba Alat Ukur ... 58

1. Validitas Alat Ukur ... 59

2. Uji Daya Beda Aitem ... 59

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 61

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 61

1. Hasil Uji Coba Skala Psychological Well Being (PWB) ... 62

2. Hasil Uji Coba Skala Religiusitas ... 63

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 64

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 64

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 65

3. Tahap Pengolahan Data Penelitian ... 66

H. Metode Analisis Data ... 66

1. Uji Normalitas ... 66

2. Uji Linieritas ... 67

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Analisa Data ... 68

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 68

2. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 70

3. Hasil Utama Penelitian ... 72

(11)

5. Hasil Analisa Tambahan ... 76

B. Pembahasan ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Psychological Well Being Sebelum Uji Coba ... 56

Tabel 2. Blue Print Skala Religiusitas Sebelum Uji Coba ... 58

Tabel 3. Blue Print Skala Psychological Well Being Setelah Uji Coba ... 62

Tabel 4. Blue Print Skala Psychological Well Being Pada Saat Penelitian ... 63

Tabel 5. Blue Print Skala Religiusitas Setelah Uji Coba... 63

Tabel 6. Blue Print Skala Religiusitas Pada Saat Penelitian ... 64

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 68

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Pensiun ... 69

Tabel 10.Hasil Uji Normalitas ... 70

Tabel 11.Hasil Uji Linearitas ... 71

Tabel 12.Koefisien Determinan ... 72

Tabel 13.Anova ... 72

Tabel 14.Parameter-parameter Persamaan Garis Regresi ... 73

Tabel 15.Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 74

Tabel 16.Norma Kategorisasi Skor Skala ... 75

Tabel 17.Kategorisasi Skor Skala Psychological Well Being ... 75

Tabel 18.Kategorisasi Skor Skala Religiusitas ... 76

Tabel 19.Hasil Analisis Regresi Penerimaan Diri ... 76

Tabel 20.Hasil Analisis Regresi Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 77

(13)

Tabel 22.Hasil Analisis Regresi Penguasaan Lingkungan ... 78

Tabel 23.Hasil Analisis Regresi Tujuan Hidup ... 78

Tabel 24.Hasil Analisis Regresi Pertumbuhan Pribadi... 79

Tabel 25.Psychological Well Being Pensiunan Suku Batak Toba berdasarkan Jenis Kelamin ... 80

Tabel 26.Independent Samples Test ... 80

Tabel 27.Religiusitas Pensiunan Suku Batak Toba berdasarkan Usia ... 81

Tabel 28.Uji Homogenitas Varians Kelompok berdasarkan Usia ... 81

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Uji Coba dan Hasil Uji Coba 1. Skala Uji Coba

2. Tabulasi Skor Uji Coba Skala Psychological Well Being

3. Tabulasi Skor Uji Coba Skala Religiusitas 4. Reliabilitas Skala Psychological Well Being

5. Reliabilitas Skala Religiusitas

LAMPIRAN B Penelitian dan Hasil Penelitian 1. Skala Penelitian

2. Tabulasi Skor Penelitian Skala Psychological Well Being

3. Tabulasi Skor Penelitian Skala Religiusitas 4. Uji Asumsi

(15)

Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (PWB) pada Pensiunan Suku Batak Toba

Sarah Yunianty Situmorang dan Elvi Andriani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap

Psychological Well Being pada pensiunan Suku Batak Toba. Psychological Well Being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan fungsi psikologis individu berdasarkan sejauh mana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya. Religiusitas didefinisikan sebagai pemahaman akan ilmu dan keyakinan, perasaan atau hubungan emosional, serta perilaku dalam beragama. Pensiunan Suku Batak Toba, yang menjadi sampel penelitian ini, merupakan para lansia Batak Toba beragama Kristen yang telah pensiun dari pekerjaannya. Metode penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana.

Hasil utama dari penelitian menunjukkan bahwa religiusitas berpengaruh terhadap

Psychological Well Being, dengan sumbangan sebesar 21.3% (R2=0.213), dimana 78.7% dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa empat dimensi dari Psychological Well Being yaitu dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi dipengaruhi oleh religiusitas. Sementara itu dua dimensi lainnya, penerimaan diri dan otonomi, tidak dipengaruhi oleh religiusitas. Religiusitas berpengaruh terhadap Psychological Well Being, dimana semakin tinggi religiusitas berkontribusi terhadap kenaikan Psychological Well Being pada pensiunan Suku Batak Toba.

(16)

The Influence Of Religiosity To The Psychological Well Being (PWB) Of Batak Toba Ethnic Retired

Sarah Yunianty Situmorang and Elvi Andriani

ABSTRACT

This study aimed to determine the influence of religiosity to the Psychological Well Being of Batak Toba Ethnic retired. Psychological Well Being is a term used to describe individual’s psychological functioning based on the extent to which an individual have a purpose in life, realize the potential, quality of relationship with others, the extent of responsibility of their own life, and strive to develop and explore themselves. Religiosity is defined as the understanding of konwledge and belief, feeling or emotional relation, as well as in religious behavior. Batak Toba Ethnic retired, as samples of this study, were Christian retired from Batak Toba Ethnic who had retired from job. The research method of this study is a quantitative method, with simple regression as its analysis technique. The main result shows that religiosity influence Psychological Well Being with 21.3% of

contribution (R2=.0213), which 78.7% are explained by other factors. The additional result shows that the four dimensions of Psychological Well Being,

such as positive relations with others, environmental mastery, purpose of life, and personal growth influenced by religiosity. Meanwhile, the other two dimensions of Psychological Well Being, self aceeptance and autonomy, do not influenced by religiosity. Religiosity influence on Psychological Well Being, that the higher religiosity contributed to the increase of Psychological Well Being of Batak Toba Ethnic retired.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai manusia, menjadi tua adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Masa tua ditandai dengan usia lanjut yang merupakan periode terakhir dalam hidup manusia. Lansia dibagi menjadi dua bagian yaitu lansia dini berusia antara 60 – 70 tahun dan lansia berusia 70 tahun sampai akhir kehidupan (Hurlock, 2002). Menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk lansia di kota Medan mencapai 117.216 orang (5.59%) yang meningkat jumlahnya dari tahun 2005 sebesar 77.837 orang (3.85%). Masa lansia dialami dengan cara yang berbeda-beda, ada lansia yang mampu melihat arti penting masa lansia tersebut sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan untuk berkembang dan berbahagia, namun ada juga lansia yang memandang masa tua dengan sikap pasrah, keputusasaan dan penolakan, yang akan mempercepat proses kemerosotan mental dan jasmani mereka sendiri (Calhoun, 1995). Masa lansia sering diidentikkan dengan masa pensiun (Papalia, 2008).

Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam pengertian (Newman, 2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna

(18)

Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Pensiun dapat menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup (Schwartz dalam Hurlock, 2002). Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola hidup baru, maupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).

Francis (2001) mengemukakan bahwa pensiun dapat diartikan sebagai masa tenang karena lepasnya aktivitas yang rutin dan masa menikmati masa tua dengan keluarga, namun ada juga lansia yang memandang pensiun sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi. Noesyirwan (dalam Rosyid, 2003) mengemukakan bahwa secara teknis, pensiun berarti berakhirnya suatu masa kerja, tetapi secara psikologis dan sosiologis pensiun mempunyai makna dan dampak yang tidak sama pada semua orang. Secara psikologis, pensiun dapat dikaitkan dengan kepribadian, peran (well being), makna hidup, stress, persiapan menghadapi pensiun maupun pandangan yang positif lansia setelah tidak lagi bekerja. Sedangkan secara sosiologis, pensiun dapat berdampak kepada keluarga, pemenuhan kebutuhan sehari-hari, hubungan pertemanan dan situasi lingkungan.

(19)

penyesuaian diri yang baik, sehingga lansia mengalami tahap ego integrity.

Ego integrity diartikan sebagai pengetahuan tentang makna hidup, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dengan orang lain, memberikan yang terbaik dalam perilaku dan mencapai prestasi (Santrock, 1998). Efek negatif masa pensiun muncul karena penyesuaian diri yang buruk, sehingga lansia mengalami despair. Despair diartikan sebagai kondisi dimana tidak adanya harapan dan sebuah perasaan bahwa segala sesuatu adalah salah serta tidak akan berakhir dengan baik. Despair pada masa pensiun dapat menambah kecemasan pada lansia (Santrock, 1998). Tanpa adanya stimulus kondisi pensiun, kebanyakan lansia telah mengalami kecemasan akan tugas perkembangannya. Perasaan seperti loneliness dan isolasi sosial akan muncul, dimana hal tersebut merupakan efek utama dalam menghadapi pensiun. Perasaan-perasaan seperti ini cukup kritis dalam perjalanan hidup pensiunan dan kelak akan mempengaruhi Psychological Well Being-nya (Papalia, 2001).

Psychological Well Being (PWB) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1995). Ryff dan Keyes (1995) memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai

Psychological Well Being (PWB) dalam pendapatnya yang tercantum pada kutipan berikut:

(20)

others, and if they feel in charge of their own lives.”(Ryff & Keyes, 1995).

Berdasarkan kutipan di depan, dapat disimpulkan bahwa

Psychological Well Being (PWB) memandang sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, dan sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Psychological Well Being (PWB) adalah suatu kondisi psikologis individu yang ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif. Ryff (1989) mengkonstruksikan aspek-aspek Psychological Well Being

(PWB), antara lain: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan pribadi.

Hasil penelitian Psychological Well Being pada 80 orang lansia di Semarang menunjukkan bahwa 28.75% atau 23 orang berada dalam kategori tinggi, 50% atau 40 orang dalam kategori sedang dan 21.25% atau 17 orang dalam kategori rendah. Umumnya, mereka yang berada dalam kategori

Psychological Well Being yang tinggi dapat aktif memenuhi kebutuhan, mampu menahan tekanan sosial, dan menunjukkan sikap positif terhadap diri sendiri. Lansia yang berada dalam kategori Psychological Well Being

(21)

Well Being yang rendah biasanya mengalami kesulitan dalam meningkatkan dan mengembangkan diri, sulit mengembangkan perilaku dan sikap yang baik, serta merasa bahwa hidup mereka tidak bermakna. Berdasarkan pengamatan, lansia dalam kategori tersebut dapat berkomunikasi dengan orang lain, tetapi mereka merasa kurang dalam kemampuan fisik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari sehingga mereka tidak dapat mencapai

Psychological Well Being yang baik (Ratri, 2010).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being (PWB), salah satu diantaranya adalah religiusitas. Religiusitas biasanya didefinisikan sebagai pemahaman ilmu agama, efek yang harus dilakukan dengan hubungan atau perasaan emosional, dan/atau perilaku, seperti kehadiran di tempat ibadah, membaca kitab suci, dan ibadah (Cornwall et al., 1986). Menurut Kwon (2003), religiusitas didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang percaya dan memandang hal-hal yang terjadi sehari-hari berdasarkan sudut pandang agama, serta menerapkan keyakinan agamanya pada kehidupan sehari-hari.

Salah satu faktor yang mempengaruhi religiusitas adalah faktor alami, yang berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman emosional dalam beragama (Thouless, 2000). Seperti yang diutarakan Ibu R, jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) X di Medan, sambil menunggu anggota yang lain untuk berlatih paduan suara, dalam kutipan berikut (komunikasi personal, 3 November 2013) :

(22)

ngumpul ramai-ramai sama teman-teman yang lain, ketawa-ketawa, cerita-cerita sambil menyalurkan talenta suara yang Tuhan kasi sama kita. Orang Batak kan gitu, kalo udah jumpa pasti tak ada habisnya yang dibicarakan. Tentu cerita soal kedekatan kita sama Tuhan dan menghadapi masa-masa tua ini.”

Berdasarkan komunikasi personal di depan, pensiunan khususnya pada lansia Batak Toba dapat saling berbagi cerita, berkumpul bersama teman-teman dan melakukan kegiatan yang menyenangkan. Berbagai jenis pengalaman emosional dalam beragama yang berbeda pada setiap individu dapat dirasakan, dan para pensiunan dapat berbagi pengalaman tersebut dalam ruang lingkup maupun kelompok kerohanian. Perasaan, pengalaman, dan sensasi dalam beragama merupakan perwujudan dimensi pengalaman.

Dimensi lainnya dari religiusitas adalah dimensi pengetahuan dan dimensi konsekuensi. Dimensi pengetahuan menjelaskan seseorang yang memiliki pengetahuan akan dasar keyakinan dan ajaran agama, kitab suci, ritual dan tradisi dalam agamanya. Dimensi konsekuensi yang mengacu pada sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku seseorang (Glock dan Stark, 1962). Berdasarkan kedua hal ini, para lansia bersaksi tentang ajaran agama dan pengetahuan dalam beragama yang diterima sepanjang kehidupannya di masa yang lalu kepada generasi berikutnya, seperti yang tertulis dalam Alkitab:

“..juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku, supaya aku memberitakan kuasa-Mu kepada angkatan ini, keperkasaanMu kepada semua orang yang akan datang.”

(23)

Drs. Soeparno Brotoraharjo, MM, APU memberikan pandangan yang berhubungan dengan religiusitas dan masa pensiun dalam kutipan berikut :

“Agar tetap sehat, bugar dan produktif, pensiunan harus selalu menjaga kesehatan fisik, baik jiwa maupun raga, menerima dan menghargai kondisi diri sendiri, melibatkan diri dalam kegiatan sosial atau religius. Kegiatan pengamalan kasih kepada Tuhan dan sesama ini akan dapat memberikan ketenangan hati di hari tua, suasana yang menakutkan akan diubah menjadi penuh pengharapan dan kebahagiaan sehingga masa-masa pensiun akan terasa indah, damai dan sejahtera. Para pensiunan dapat merasakan walaupun hanya sedikit, gambaran kehidupan surgawi di dunia, dalam kehidupan keluarga masing-masing, dalam bermasyarakat, dan bahkan dalam lingkungan yang lebih luas lagi.”

(Muda Berkarya, Tua Bahagia,2007).

Salah satu hal yang berhubungan dengan masa tua adalah kesehatan yang menurun dan semakin buruk, dimana lansia cenderung berorientasi pada kematian. Pertanyaan seperti ‘kapan saya akan mati?’ atau ‘apakah saya akan masuk surga atau tinggal dalam neraka?’ menyelimuti pikiran lansia, padahal mereka tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menduga jawabannya dengan tepat (Hurlock, 2002). Pikiran tentang kebenaran adanya surga maupun neraka merupakan bagian dari dimensi keyakinan (Glock dan Stark, 1962).

Lansia juga dapat berpartisipasi dalam beberapa praktik atau pelaksanaan sejumlah kegiatan dalam masa pensiun sebagai bentuk dari salah satu dimensi religiusitas, yaitu dimensi peribadatan (Glock dan Stark, 1962). Beberapa praktik atau kegiatan tersebut, antara lain: kelompok PA (Penelaahan Alkitab), persekutuan doa lansia, persekutuan para janda,

(24)

dilaksanakan oleh gereja setiap minggu dan kumpulan marga yang biasanya dilaksanakan setiap bulan, STM (Serikat Tolong Menolong) di lingkungan rumah, kelompok paduan suara, dsb.

Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak memiliki 6 (enam) suku bangsa, antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Bangun dalam Koentjaraningrat, 2002). Diantara masyarakat Suku Batak, masyarakat dengan latar belakang suku Batak Toba memiliki jumlah terbesar atau mayoritas di kota Medan. Terdapat beberapa ciri khas masyarakat Batak Toba, seperti berbicara dengan nada tinggi, sangat ekspresif sehingga terkadang terkesan emosional, memahami silsilah marga (tarombo) untuk mengetahui letak kekerabatan dengan marga lain, dan dalam pekerjaan biasanya memperlihatkan sikap arogan.

Agama yang dianut pada umumnya dalam Suku Batak Toba adalah Kristen. Agama dan budaya dalam Batak Toba hampir tidak dapat

dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dalam tata cara ibadah Minggu di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang merupakan gereja Batak

terbesar di dunia saat ini, menggunakan Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak),

(25)

Penatua. Posisi pengurus yang pada umumnya diterima oleh lansia adalah

Sintua (yang berarti Penatua) karena hanya pada posisi inilah seorang warga jemaat dapat menjadi pengurus di gereja tanpa harus memiliki latar belakang pendidikan dari Sekolah Tinggi Teologia (STT).

(26)

membedakan suku, ras, golongan, dan jenis kelamin, dan latar belakang lainnya. Bentuk kegiatan seperti Penelaahan Alkitab (PA), diskusi, retreat, dikembangkan secara kreatif dan semua kegiatan tersebut harus bertujuan membantu lansia untuk mampu menyikapi tantangan dalam hidup.

Wolfgang Bock, SJ dalam bukunya mengenai penuntun untuk menikmati dan menghayati kehidupan di usia lanjut, mengatakan :

“Masa pensiun adalah masa yang wajar dan layak. Sebaiknya, biarpun sudah tua, manusia selama mungkin melakukan suatu kegiatan melalui hal-hal yang menarik dan berguna. Tidak ada batas umur selama badan masih kuat dan akal budi masih cukup jernih serta hati masih bersukacita, karena pada dasarnya, kaum manula suka merasa dibutuhkan dan itulah yang menjadi dorongan kuat yang membuat mereka aktif dan penuh semangat.

(Usia Lanjut yang Berahmat dan Berdaya Pikat, 2010).

Dengan demikian, berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di depan, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap

Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan Suku Batak Toba.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap

(27)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan, dan dalam rangka perluasan teori terutama yang berkaitan dengan Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan. 2. Manfaat Praktis

(28)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat antara lain: teori mengenai Psychological Well Being (PWB), religiusitas, masa pensiun, dan lansia. Bab ini diakhiri dengan memaparkan hipotesa penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode-metode dasar yang digunakan dalam penelitian yang mencakup metode penelitian kuantitatif, yaitu: identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

(29)

penelitian, deskripsi data penelitian, dan hasil analisa tambahan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well Being (PWB)

1. Definisi Psychological Well Being (PWB)

Psychological Well Being (PWB) merupakan integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori-teori psikologi klinis dan konsep mengenai kesehatan mental (Ryff, 1989). Psychological Well Being (PWB) sebagai suatu kondisi dimana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya agar lebih bermakna, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, menciptakan dan mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan (maturity), juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integration vs despair.

(31)

kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif kepada kondisi mental yang positif.

Berdasarkan uraian diatas, maka Psychological Well Being (PWB) dapat didefinisikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif, seperti sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.

2. Dimensi-Dimensi Psychological Well Being (PWB)

Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995) merumuskan 6 (enam) dimensi Psychological Well Being (PWB), antara lain:

a. Dimensi penerimaan diri (self-acceptance)

Self-acceptance berhubungan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya, serta sikap positif terhadap diri sendiri (Ryff, 1989).

(32)

melihat dan merasakan masa lalunya dengan perasaan yang positif (Ryff, 1995).

Sebaliknya, individu memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri jika ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff, 1995).

b. Dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (positive relations with others)

(33)

menunjukkan empati, intimitas, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam suatu hubungan (Ryff, 1995).

Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam dimensi hubungan yang positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup, sulit untuk bersikap hangat dan peduli terhadap orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, serta tidak ingin berkompromi dan mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).

c. Dimensi otonomi (autonomy)

Roger (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa seseorang dengan

fully functioning digambarkan sebagai seorang individu yang memiliki internal locus of evaluation, dimana ia tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, melainkan mampu mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal. Teori perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.

(34)

tingkah laku dari dalam diri, serta mampu mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff, 1995).

Sebaliknya, seseorang dengan nilai otonomi yang rendah, akan sangat mempertimbangkan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995).

d. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Allport (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa individu yang matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas diluar dirinya. Dalam teori perkembangan disebutkan bahwa individu dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan perubahan-perubahan yang dinilai perlu pada lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental serta mengambil manfaat dari lingkungan tersebut.

(35)

Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi, tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungannya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada, serta kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff, 1995).

e. Dimensi tujuan hidup (purpose in life)

Allport (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa salah satu ciri kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni rasa keterarahan (sense of directedness) dan rasa bertujuan (intentionality). Selain itu, Rogers (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna.

Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan akan tujuan hidup, serta memiliki target yang ingin dicapai (Ryff, 1995).

(36)

f. Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth)

Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan dri. Keterbukaan akan pengalaman baru merupakan salah satu karakteristik dari fully functioning person (Ryff, 1989). Teori perkembangan juga menekankan pada pentingnya manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode pada tahap perkembangannya.

Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya pertumbuhan yang berkelanjutan dalam dirinya, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menaydari potensi yang dimiliki, merasakan adanya peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya, serta dapat berubah menjadi individu yang lebiih efektif melalui pengetahuan yang terus bertambah (Ryff, 1995).

(37)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being (PWB)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being

(PWB) seseorang antara lain (Ryff, 1989; Ryff, 1995; Sarafino, 1994): a. Faktor Demografis, yang terdiri dari:

1. Usia

Ryff (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi

Psychological Well Being (PWB). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, begitu juga dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain.

(38)

2. Gender

Dalam penelitian Ryff (1995) ditemukan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dibandingkan pria.

Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan yang harmonis dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki Psychological Well Being (PWB) yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2008).

3. Status Sosial Ekonomi

(39)

positifterhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta adanya rasa keterarahan dalam hidup.

4. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme dan kolektivisme memberi dampak terhadap Psychological Well Being (PWB) yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

b. Dukungan Sosial

(40)

Terdapat 4 (empat) jenis dukungan sosial (Sarafino, 1994), diantaranya:

1. Dukungan Emosional (emotional support), yang melibatkan empati, kepedulian, perhatian terhadap seseorang, serta memberikan rasa aman, nyaman, dimiliki, dan dicintai.

2. Dukungan Penghargaan (esteem support), dapat ditunjukkan melalui dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran dan perasaan, serta membangun harga diri, kompetensi dan perasaan dihargai.

3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support), melibatkan tindakan konkrit atau pertolongan secara langsung.

4. Dukungan Informasional (informational support), meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, feedback, terhadap tingkah laku seseorang.

c. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup

Ryff (1989) mengemukakan bahwa Psychological Well Being

(41)

mental. Hasil menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri berpengaruh pada Psychological Well Being (PWB) seseorang, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

Mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992), antara lain:

1. Mekanisme Perbandingan Sosial (social comparison), dimana individu mempelajari dan mengevaluasi dirinya dengan membandingkan dirinya terhadap orang lain, yang mengarah pada evaluasi diri positif, negatif, atau netral, bergantung pada standar perbandingan yang digunakan, yang dalam hal ini biasanya adalah orang atau kelompok referensi. 2. Mekanisme Perwujudan Penghargaan (reflected appraisal),

mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh sikap orang lain terhadap dirinya, sehinggal lama-kelamaan ia akan memandang dirinya sendiri sesuai dengan pandangan orang lain. Dengan kata lain, feedback yang dipersepsikan dari

significant others selama mereka mengalami suatu pengalaman hidup tertentu merupakan suatu mekanisme evaluasi diri.

(42)

mengobservasi tingkah lakunya sendiri, dimana individu yang mempersepsikan perubahan positif diharapkan dapat memandang pengalaman secara lebih positif sehingga menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

4. Mekanisme Pemusatan Psikologis (psychological centrality), mengemukakan bahwa terdapat komponen konsep diri yang lebih terpusat dari komponen lain, dimana semakin terpusat suatu komponen, maka pengaruhnya semakin besar terhadap konsep diri. Oleh karena itu, untuk memahami dampak dari pengalaman hidup terhadap Psychological Well Being

(43)

B. Religiusitas

1. Definisi Religiusitas

Religiusitas biasanya didefinisikan sebagai pemahaman (ilmu agama dan keyakinan), efek yang harus dilakukan dengan hubungan emosional atau perasaan emosional, dan / atau perilaku, seperti kehadiran di tempat ibadah, membaca kitab suci, dan ibadah (Cornwall et al., 1986). Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000). Glock dan Stark (1962) merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman, yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu sesuai dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.

Berdasarkan uraian diatas, maka religiusitas dapat didefinisikan sebagai pemahaman tentang ilmu agama atau keyakinandan komitmen religius, yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu sesuai dengan keyakinan yang dianut.

2. Dimensi-dimensi Religiusitas

Glock dan Stark (1962) mengemukakan 5 (lima) dimensi religiusitas, antara lain:

(44)

mengakui kebenaran ajaran tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka.

b. Dimensi Peribadatan (The Ritualistic Dimension), yang berkaitan dengan praktik atau pelaksanaan sejumlah perilaku, ketaatan akan hal-hal yang menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianut.

c. Dimensi Pengalaman (The Experiential Dimension), yang berkaitan dengan pengalaman, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau kelompok keagamaan.

d. Dimensi Pengetahuan Agama (The Intelectual Dimension), yang mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama untuk mengetahui dan memiliki sejumlah pengetahuan mendasar mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, dan tradisi-tradisi agamanya.

(45)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless (2000) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas sebagai berikut:

a. Faktor Sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan, termasuk pendidikan dari orang tua sejak masa kanak-kanak, tradisi-tradisi sosial yang diterima dari masa lampau, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.

b. Faktor Alami, berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan yang berbeda pada setiap individu. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.

c. Faktor Kehidupan, dimana secara garis besar, kebutuhan – kebutuhan dalam kehidupan yang mempengaruhi religiusitas yaitu: kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, kebutuhan akan cintakasih, kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

(46)

dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah merupakan keberhasilan menusia yang bisa diharapkan pengaruhnya terhadap perkembangan tingkat religiusitas.

C. Religiusitas Suku Batak Toba

Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu dari enam suku bangsa Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Bangun dalam Koentjaraningrat, 2002).

Suku Batak memiliki nilai-nilai budaya yang mencakup segala aspek kehidupan masyarakatnya, salah satu diantaranya adalah religi. Religi merupakan kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Harahap & Siahaan, 1997).

Sebelum suku Batak Toba mengenal dan menganut agama dari luar, masyarakat suku Batak Toba mempunyai agama tradisional yakni sistem kepercayaan tentang Mulajadi Nabolon, yang merupakan harmoni atau kesatuan dari tiga unsur yang berbeda. Istilah yang digunakan untuk totalitas ketiganya dalam bahasa Batak Toba disebut dengan Debata Natolu

(47)

Adapun ketiga unsur tersebut antara lain:

a. Tondi, yaitu jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Oleh karena itu, tondi didapatkan sejak di dalam kandungan dan memberi nyawa kepada manusia. Tondi berdiam dalam seluruh bagian tubuh sehingga bersifat integral satu sama lain dan bukanlah satuan-satuan yang terpisah. Seluruh kehidupan beragama masyarakat Batak Toba, yang mencari kesejahteraan hidup, dipenuhi dengan merawat tondi -nya menurut perilaku yang terkadang berubah-ubah.

b. Sahala, yaitu jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala.

Sahala dapat berarti sikap wibawa, kefasihan berbicara, penghormatan, keberanian yang menjadi sumber kekuatan atau kekuasaan.

c. Begu, yaitu tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, namun hanya muncul pada malam hari. Dengan demikian, kebudayaan agama Batak Toba merupakan suatu gambaran totalitas dari berbagai unsur yang menjadi bagian tidak terpisahkan satu sama lain.

(48)

bijaksana. Pemberian pesan tersebut biasa dilakukan dalam 3 (tiga) situasi penting yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian (Harahap & Siahaan, 1997).

Dalam budaya Batak Toba, agama tidak dapat dipilih (optional). Kepercayaan dan praktek kerohanian yang diterima tidak hanya diterima begitu saja sebagai sesuatu yang sudah semestinya, namun juga dipelajari dengan cara yang sama dengan mempelajari pola-pola kebudayaan lainnya (Tampubolon, 1985).

Dalam suku Batak Toba, agama yang dianut pada umumnya adalah Kristen. Pada beberapa gereja, masyarakat suku Batak Toba tidak menghapus identitas mereka sebagai orang Batak, melainkan memperkokohnya. Hal ini dapat dilihat dalam tata cara ibadah Minggu di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang merupakan gereja Batak terbesar di dunia saat ini, menggunakan Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak),

Buku Ende sebagai pedoman lagu/nyanyian dalam bahasa Batak Toba, serta bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian khotbah. Di gereja pun masyarakat Batak Toba dapat bertemu secara teratur, baik membicarakan hal-hal yang bersifat agamawi, maupun membahas masalah-masalah sosial budaya masyarakat Batak Toba yang ada di sekitar tempat tinggal mereka (Harahap & Siahaan, 1997).

(49)

mempertahankan budaya yang telah ada seiring dengan melakukan praktek kerohanian dalam kehidupan sehari-hari.

D. Pensiun

1. Definisi Pensiun

Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam pengertian (Newman, 2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti bekerja karena usia. Pensiun merupakan masa putusnya hubungan kerja antara karyawan dengan tempat kerjanya. Pensiun merupakan hak dan kewajiban, merupakan hak karena seseorang berhak mengajukan pensiun kapan saja dan secara sukarela. Pensiun merupakan kewajiban karena seseorang harus segera pensiun jika sudah masanya, tanpa mempertimbangkan apakah masih senang bekerja atau tidak (Hurlock, 2002).

(50)

sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi.

Pensiun juga mengacu kepada transisi psikologis, suatu perubahan yang terprediksi dan normatif yang melibatkan persiapan, pengertian kembali tentang peran dan peran perilaku, serta penyesuaian psikologis dari seorang pekerja yang dibayar menjadi melakukan aktivitas yang lain (Floyd, dkk dalam Newman, 2006). Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).

Pensiun merupakan hal yang perlu disiapkan karena saat menjalani masa pensiun maka seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang tidak terduga dan akan menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian karena perubahan pada masa transisi pensiun. Terdapat beberapa perubahan saat menjalani masa pensiun, antara lain: perubahan dari aktivitas yang tadinya bekerja menjadi tidak bekerja, yang tadinya memiliki keterlibatan kerja atau peran ditempat kerja menjadi sudah tidak ada lagi, adanya penurunan pendapatan, adanya perubahan relasi sosial, adanya penurunan kesehatan karena usia yang semakin bertambah, dsb. (Santrock, 1998).

(51)

pekerjaan yang biasa dilakukan, yang dipengaruhi oleh keadaan psikologis melalui aktivitas lain yang dilakukan.

2. Fase – fase Pensiun

Atchly (1983) dalam Hooyer dan Rooden (2009) menyatakan 7 (tujuh) fase pensiun yang dilalui oleh individu, yaitu:

a. Fase Jauh (Remote Phase)

Kebanyakan individu kurang melakukan sesuatu untuk mempersiapkan masa pensiun. Hal ini disebabkan, salah satunya oleh adanya kepercayaan bahwa mereka tidak akan meninggalkan pekerjaan, justru akan semakin menikmati pekerjaan.

b. Fase Mendekat (Near Phase)

Seorang pekerja mulai berpartisipasi dalam program pra-pensiun. Program ini biasanya membantu pekerja memutuskan kapan dan bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan melibatkan mereka dalam diskusi komprehensif, seperti kesehatan fisik dan mental serta perencanaan keuangan. Setelah Fase Mendekat, maka individu akan mengalami 5 fase lanjutan setelah pensiun.

c. Fase Bulan Madu (Honeymoon Phase)

(52)

di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pensiun karena marah dengan pekerjaannya, mungkin tidak mengalami aspek positif dari fase ini.

d. Fase Kekecewaan (Disenchantment Phase)

Individu menyadari bahwa bayangan saat pra-pensiun tentang fase pensiun ternyata tidak realistis. Jika penyesuaian terhadap fase pensiun sukses maka kegiatan setelah pensiun akan menjadi menyenangkan.

e. Fase Re-Orientasi (Re-orientation Phase)

Parapensiunan mengumpulkannya dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistis. Pada fase ini juga mereka mengevaluasi jenis-jenis gaya hidup yang memungkinkan mereka untuk dapat menikmati hidup.

f. Fase Stabil (Stability Phase)

Individu memutuskan pilihan berdasar kriteria dari alternatif yang ada pada masa pensiun dan bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat.

g. Fase Akhir (Termination Phase)

(53)

3. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah pada Masa Pensiun

Menurut Jacinta (2001), ada beberapa penentu terjadinya masalah pada masa pensiun, diantaranya adalah:

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan

Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan kebanggaan pada diri sendiri untuk dapat berprestasi maupun menuangkan kreativitas. Pada saat pensiun, mereka akan merasa kehilangan harga diri, ditambah dengan kesepian akibatberkurangnya teman-teman di sektiranya.

b. Usia

Kebanyakan individu berpendapat bahwa pensiun merupakan pertanda bahwa dirinya sudah tidak berguna dan dibutuhkan lagi karena usia yang sudah tua, serta produktivitas semakin menurun sehingga tidak lagi menguntungkan bagi organisasi/perusahan tempat mereka bekerja.

c. Kesehatan

(54)

pesimis terhadap hidup, maka ia akan mengalami masa pensiun yang penuh dengan kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun tidak menyebabkan seseorang sering terserang penyakit, karena justru pensiun berpotensi meningkatkan kesehatan, dimana mereka ia semakin dapat mengatur waktu untuk bisa merawat dan berolah tubuh.

d. Persepsi

Individu yang kurang percaya pada potensi diri sendiri dan kurang memiliki kompetensi sosial yang baik akan cenderung pesimistik dalam menghadapi masa pensiun, serta adanya perasaan cemas dan ragu akan kemampuan mengatasi perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru.

e. Status sosial

(55)

E. Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut Usia

Lansia adalah masa dewasa akhir dimulai dari usia 60 tahun sampai akhir kehidupan, serta memiliki rentang kehidupan yang paling panjang

dalam periode kehidupan manusia (Santrock, 2008). Berdasarkan UU No. 13/Th.1998 tentang kesejahteraan lanjut usiapada BAB I Pasal 1

Ayat 2, lanjut usia di Indonesia merupakan individu yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lanjut usia dibagi menjadi usia lanjut dini yang berkisar antara usia 60 (enam puluh) sampai 70 (tujuh puluh) tahun dan usia lanjut yang dimulai pada usia tujuh puluh tahun hingga akhir kehidupan seseorang (Hurlock, 2002). Lanjut usia muda berkisar antara 65 (enam puluh lima) hingga 74 (tujuh puluh empat) tahun dan lanjut usia akhir berkisar antara 75 (tujuh puluh lima) tahun atau lebih (Baltes dalam Papalia, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka lanjut usia dapat didefinisikan sebagai individu yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas hingga akhir kehidupannya.

2. Tahapan Lanjut Usia

Lanjut usia merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan. Hurlock (2002) membagi tahap terakhir dalam rentang kehidupan individu menjadi:

(56)

b. lanjut usia yang dimulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan individu.

Sedangkan menurut Papalia (2008), lansia digolongkan menjadi: a. lansia muda (young old) usia antara 65 -75 tahun,

b. lansia tua (old old) usia antara 75 -84 tahun, dan c. lansia tertua (oldest old) usia 85 tahun keatas.

3. Perubahan-perubahan yang Dialami Lanjut Usia

Lanjut usia mengalami beberapa perubahan dalam rentang kehidupannya, yaitu:

a. Perubahan Fisik

Sebagian besar perubahan kondisi fisik pada lanjut usia terjadi ke arah yang memburuk dimana proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu meskipun usia individu tersebut sama. Menurut Hurlock (2002), berbagai perubahan terbesar yang terjadi pada masa lanjut usia adalah sebagai berikut:

(57)

kendur), dan daerah persendian (pangkal tangan menjadi kendor dan terasa berat, kaki menjadi kendor dan pembuluh darah balik menonjol, tangan menjadi kurus kering).

2) Perubahan tubuh bagian dalam, yaitu perubahan pada sistem syaraf (berat otak berkurang, bilik-bilik jantung melebar), isi perut (perubahan posisi jantung, perubahan elastisitas jaringan).

3) Perubahan pada fungsi fisiologis, yaitu memburuknya pengaturan organ-organ, menurunnya fungsi pembuluh darah pada kulit, perubahan pada pencernaan, ketahanan dan kemampuan bekerja menurun.

(58)

b. Perubahan Psikologis

Lanjut usia mengalami berbagai perubahan secara psikologis, atau perubahan secara mental maupun kejiwaan individu, sebagai berikut:

1) Kepribadian

Lanjut usia cenderung lebih puas ketika gaya hidup pensiun lanjut usia sesuai dengan kepribadian dan kesenangan individu (Siyelman & Rider, 2003). Lanjut usia juga menjadi cenderung meningkatkan ketidaksetujuan dan mengalami penurunan keterbukaan terhadap dunia di luar dirinya (Papalia,2008).

2) Perubahan Persepsi

Kapasitas persepsi individu menurun secara bertahap, meskipun beberapa perubahan hanya sedikit dan dapat diatasi. Semakin besarnya kesulitan dalam persepsi bicara pada lanjut usia lebih disebabkan oleh masalah pada pendengaran daripada karena penurunan kognitif. Lanjut usia menjadi lebihsulit mengulang percakapan secara terperinci bila berada di lingkungan yang ramai (Siyelman & Rider, 2003).

3) Kecerdasan

(59)

jarang melakukan latihan terhadap otak (Santrock, 2008).

4) Belajar

Lanjut usia lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu yang lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban, kurang mampu mempelajari hal-hal baru yang tidak mudah diintegrasikan dengan pengalaman masa lalu, dan hasilnya kurang tepat dibandingkan dengan individu yang masih muda (Hurlock, 2002).

5) Daya Ingat

Individu lanjut usia cenderung lemah dalam mengingat hal-hal yang baru dipelajari dan sebaliknya baik terhadap hal-hal yang telah lama dipelajari (Hurlock, 2002).

6) Kreativitas

Kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk berpikir kreatif bagi lanjut usia cenderung menurun (Hurlock, 2002).

7) Rasa Humor

(60)

dan keinginannya terhadap hal-hal humoris (Hurlock, 2002).

8) Perbendaharaan Kata

Perbendaharaan kata lanjut usia menurun sangat kecil karena individu secara konstan menggunakan sebagian besar kata yang pernah dipelajari sebelumnya (Hurlock, 2002).

9) Mengenang

Kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi di masa lalu meningkat semakin tajam sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock, 2002).

10) Kemampuan Motorik

Lanjut usia mengalami penurunan kekuatan, kecepatan dalam bergerak, lebih lambat dalam belajar, cenderung menjadi canggung, yang menyebabkan sesuatu yang dibawa dan dipegang tertumpah dan jatuh, melakukan sesuatu dengan tidak hati-hati dan dikerjakan secara tidak teratur (Hurlock, 2002).

c. Perubahan Sosial

(61)

dalam menghabiskan waktu maupun berhubungan dengan teman dan keluarga (Papalia, 2008). Sebagian besar lanjut usia yang telah pensiun, seiring dengan semakin bertambahnya usia, menghabiskan lebih banyak waktu dalam masa pensiun tersebut dibandingkan dengan pada masa lalu (Kim & Moen dalam Papalia, 2001).

Sepanjang beberapa tahun pertama setelah pensiun, para lanjut usia biasanya memiliki kebutuhan khusus dan dukungan emosional yang membuat mereka merasa masih berharga dan mampu mengatasi perubahan dalam kehidupan. Jaringan dukungan sosial lanjut usia merupakan prediktor yang paling kuat dalam hal kepuasan pada masa pensiun (Tarnowski & Antonucci dalam Papalia, 2008).

(62)

F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (PWB) Pada Pensiunan Suku Batak Toba

Masa lansia sering diidentikkan dengan masa pensiun. Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Pensiun dapat menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup (Schwartz dalam Hurlock, 1998). Berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola hidup baru, maupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).

Secara psikologis, pensiun dapat dikaitkan dengan kepribadian, peran (well being), makna hidup, stress, persiapan menghadapi pensiun maupun pandangan yang positif lansia setelah tidak lagi bekerja (Noesyirwan dalam Rosyid, 2003). Tanpa adanya stimulus kondisi pensiun, kebanyakan lansia telah mengalami kecemasan akan tugas perkembangannya. Perasaan seperti

loneliness dan isolasi sosial akan muncul, dimana hal tersebut merupakan efek utama dalam menghadapi pensiun tanpa persiapan pada masa muda (Papalia, 2001). Dalam perjalanan hidup pensiunan, perasaan-perasaan seperti ini cukup kritis dan kelak akan mempengaruhi Psychological Well Being (PWB)-nya.

(63)

lebih bermakna, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, menciptakan dan mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.

Psychological Well Being (PWB) memiliki dimensi yang erat kaitannya dengan lanjut usia, yaitu dimensi tujuan hidup (purpose in life) dan dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery). Dalam dimensi tujuan hidup, para lanjut usia kerap kali mempertimbangkan hal-hal di masa lalu dan tidak merasakan sensasi berkembang menuju masa yang akan datang. Namun demikian, dalam dimensi penguasaan lingkungan, para lanjut usia cenderung mampu menguasai lingkungan lebih baik dibandingkan kelompok usia lainnya (Ryff & Keyes, 1995). Salah satu faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being (PWB) adalah religiusitas,yang dapat dilihat melalui perilaku atau aktivitas individu sesuai dengan keyakinan yang dianut.

(64)

mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya ketika berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang selama ini dilakukan, yang dipengaruhi oleh pemahaman tentang ilmu agama atau keyakinan melalui aktivitas atau perilaku pensiunan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

G. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan pemaparan landasan teori diatas, maka peneliti mengajukan hipotesa sebagai berikut “Ada pengaruh religiusitas terhadap

Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba”, dimana semakin tinggi religiusitas maka akan berkontribusi terhadap kenaikan Psychological Well Being.

(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat regresi yang dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2000). Adapun variabel yang terlibat dalam penelitian ini, antara lain:

1. Variabel Tergantung : Psychological Well Being (PWB) 2. Variabel Bebas : Religiusitas

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

(66)

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Psychological Well Being (PWB)

Psychological Well Being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif, seperti sejauh mana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensi-potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, sertaberusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.

Aspek yang digunakan adalah dimensi Psychological Well Being, antara lain:

a. Dimensi penerimaan diri

Berhubungan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya, serta sikap positif terhadap diri sendiri.

b. Dimensi hubungan yang positif dengan orang lain

Dimensi yang mencakup ketabahan dan kesenangan yang berasal dari hubungan dalam kelekatan dengan orang lain.

c. Dimensi otonomi

(67)

d. Dimensi penguasaan lingkungan

Seseorang memiliki kemampuan untuk menciptakan perubahan-perubahan yang dinilai perlu pada lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental serta mengambil manfaat dari lingkungan tersebut. e. Dimensi tujuan hidup

Dimensi yang mencakup rasa keterarahan dan rasa bertujuan yang membuat hidup sesorang menjadi bermakna.

f. Dimensi pertumbuhan pribadi

Seseorang menyadari potensi diri dan adanya keterbukaan akan pengalaman baru untuk bertumbuh.

Data mengenai nilai Psychological Well Being (PWB) diperoleh dari Skala Dimensi Psychological Well Being yang disusun peneliti berdasarkan 6 (enam) dimensi Psychological Well Being (PWB) dan disusun dalam format Likert.

Semakin tinggi skor Psychological Well Being (PWB), maka semakin tinggi Psychological Well Being (PWB) individu. Sebaliknya, semakin rendah skor skala Psychological Well Being

(68)

2. Religiusitas

Religiusitas biasanya didefinisikan sebagai pemahaman (ilmu agama, keyakinan agama), efek yang harus dilakukan dengan hubungan emosional atau perasaan emosional, dan / atau perilaku, seperti kehadiran di tempat ibadah, membaca kitab suci, dan ibadah. Aspek yang digunakan adalah dimensi Religiusitas, antara lain: a. Dimensi Keyakinan

Pengharapan-pengharapan seseorang untuk mengakui dan berpegang pada pandangan kebenaran ajaran agama yang dianutnya.

b. Dimensi Peribadatan

Berkaitan dengan sejumlah perilaku yang sudah ditetapkan oleh agamaatau menjalankan ritual-ritual khusus.

c. Dimensi Pengalaman

Berkaitan dengan pengalaman, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang.

d. Dimensi Konsekuensi

(69)

e. Dimensi Pengetahuan Agama

Harapan untuk mengetahui dan memiliki sejumlah pengetahuan mendasar mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, dan tradisi-tradisi agamanya.

Data mengenai nilai religiusitas diperoleh dari Skala Dimensi Religiusitas peneliti berdasarkan 5 (lima) dimensi Religiusitas dan disusun dalam format Likert.

Semakin tinggi skor skala religiusitas, maka semakin tinggireligiusitas individu. Sebaliknya, semakin rendah skor skala Religiusitas, maka semakin rendah religiusitas individu.

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Populasi memiliki karakteristik yang dapat diperkirakan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia pensiunan suku Batak Toba.

2. TeknikPengambilan Sampel

(70)

bagi populasi (Azwar, 2000). Sampel merupakan bagian dari populasi untuk dijadikan sebagai bahan penalaah dengan harapan contoh yang diambil dari populasi tersebut dapat mewakili (representative) terhadap populasinya (Supangat, 2007). Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lanjut usia (lansia)

2. Pernah bekerja (pensiunan) 3. Suku Batak Toba

4. Beragama Kristen

Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Jumlah subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 80 orang.

(71)

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian bertujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Azwar, 2000). Alat ukur yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Data dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan alat ukur berupa 2 (dua) skala psikologis, yaitu Skala Psychological Well Being dan Skala Religiusitas yang disusun dalam bentuk Likert.

1. Skala Psychological Well Being (PWB)

Dimensi-dimensi Psychological Well Being menurut Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995) adalah:

1. Dimensi penerimaan diri, yaitu berhubungan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya, serta sikap positif terhadap diri sendiri.

2. Dimensi hubungan yang positif dengan orang lain, yaitu mencakup ketabahan dan kesenangan yang berasal dari hubungan dalam kelekatan dan perasaan dengan orang lain.

3. Dimensi otonomi, yaitu seseorang tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, melainkan mampu mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal.

(72)

5. Dimensi tujuan hidup, yaitu rasa keterarahandan rasa bertujuan. 6. Dimensi pertumbuhan pribadi, yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri

dan menyadari potensi diri serta keterbukaan akan pengalaman baru.

Setiap aspek di atas akan diuraikan kedalam sejumlah pernyataan favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Untuk aitem favorable,

pilihan SS mendapatkan skor empat, pilihan S mendapatkan nilai tiga, pilihan TS mendapatkan nilai d

Gambar

Tabel 3.
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komunitas online “X” dengan derajat Positive Relation with Others yang tinggi, mengevaluasi dirinya berhasil menjalin relasi yang baik dan hangat, merasa puas,

Sebaliknya, orang yang indeks Subjective well-beingnya rendah adalah adalah orang yang kurang puas dengan hidupnya, jarang merasa bahagia, dan lebih sering merasakan emosi yang

Berbeda dengan karyawan pria yang dalam Masa Persiapan Pensiunnya memiliki PWB rendah, mereka tidak tertarik untuk mengembangkan dirinya, tidak merasa puas dengan hidupnya,

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui

Seorang siswa dikatakan memiliki tingkat hubungan interpersonal yang tinggi maupun rendah ketika individu yang merasa puas akan bentuk fisiknya dan bangga atas apa yang ia miliki,

yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang.. lain dan skor yang rendah pada dimensi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well being pada janda lansia suku Batak Toba yang tinggal dengan anak melalui gambaran dimensi

Individu yang berada dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi