• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN

PERTUMBUHAN SPAT TIRAM MUTIARA

Pinctada maxima

(JAMESON) PADA KONDISI

LINGKUNGAN PEMELIHARAAN BERBEDA

TJAHJO WINANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN

PERTUMBUHAN SPAT TIRAM MUTIARA

Pinctada maxima

(JAMESON) PADA KONDISI

LINGKUNGAN PEMELIHARAAN BERBEDA

TJAHJO WINANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRACT

TJAHJO WINANTO. The study of growth and development of larvae and spat pearl oyster

Pinctada maxima

(Jameson) in different rearing environment conditions. Under the

supervisions of DEDI SOEDHARMA, RIDWAN AFFANDI and HARPASIS S. SANUSI.

Major constrain in the pearl oyster breeding that are lowest of growth and

development of larvae to spat and also low survival rate. One of the affected factors its

unknown the optimum of rearing environment conditions, such as temperature, salinity,

dissolved oxygen and light intensity. The objective of this research was to determine

feeding activity, levels of food consumption, types and correct density of feed for

optimizing of larvae growth and development of spat so that obtained high survival rate.

This research consisted of four levels experiments, which are the study of larvae

rearing in laboratory, spat rearing in laboratory, rearing of larvae and spat under optimum

environment condition and study of spat rearing in the sea. Factorial completely

randomized design was applied to know that effect of types and feed density, physiology

response of larvae and spat to the levels of temperature and salinity. Completely

randomized design was applied to the study of response of larvae and spat to the levels of

light intensity. Randomized block design was applied to the study of spat in natural sea

waters.

Result of the research showed that environment factors such as temperature,

salinity, oxygen consumption and light intensity were significant affected (P

0.05) to the

survival rate, growth of larvae and spat. Optimum temperature and salinity for larvae and

spat were 20

o

C and 32, 34 ‰ (P

0.05). Energetic cost for routine metabolism of larvae

was average 5.65; 5.98 Calorie g wet weigh

-1

hour

-1

(21.62; 24.70 J/g wet weigh

-1

hour

-1

)

and for spat was 2.18; 2.28 Calorie g wet weigh

-1

hour

-1

(9.54; 10.02 J/g wet weigh

-1

hour

-1

). The optimum light intensity for larvae was

200 lux and for spat was

500 lux.

Larvae were eat in the fist time after hatching at 22–24 hour age (first critical

period) and suitable food is

I. galbana

. Life food type and density were significantly

affected (P

0.05) to the survival rate, development of larvae and growth of spat.

Feeding schedule for larvae and spat: stage I larvae was fed

I. galbana

(2600

4200 cells

ml

-1

hour

-1

). Stage II:

I. galbana

(3700

7800 cells ml

-1

hour

-1

) or P

. lutheri

(2300

7800

cells ml

-1

hour

-1

). Stage III:

I. galbana

(50 %) +

P. lutheri

(50 %) by fed density was

7700

9300 cells ml

-1

hour

-1

. Spat D25–D28: mixture food of

I. galbana

(50 %) +

T.

tetrathele

(50 %), by density 8900

10000 cells ml

-1

hour

-1

. D28

D35: mixture fed of

I.

galbana

(25 %) +

P. lutheri

(25 %) +

T. tetrathele

(50 %). Food density at D28

D31:

9100

15800 cells ml

-1

hour

-1

. D31

D33: 14600

18200 cells ml

-1

hour

-1

. D33

D35:

17200–18925 cells ml

-1

hour

-1

.

(4)

RINGKASAN

TJAHJO WINANTO. Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat tiram mutiara

Pinctada maxima

(Jameson) pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda. Dibimbing

oleh DEDI SOEDHARMA, RIDWAN AFFANDI dan HARPASIS S. SANUSI.

Kendala utama pada pembenihan tiram mutiara adalah perkembangan serta

pertumbuhan larva dan spat yang lambat dan sintasan rendah. Diduga, salah satu faktor

penyebabnya adalah kondisi lingkungan pemeliharaan optimum (seperti suhu, salinitas,

konsumsi oksigen dan intensitas cahaya) yang belum diketahui.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang aktivitas makan,

tingkat konsumsi pakan, jenis dan densitas pakan yang tepat untuk mengoptimumkan

perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Mendapatkan informasi tentang kondisi

lingkungan pemeliharaan yang optimum (suhu, salinitas, konsumsi oksigen, intensitas

cahaya) sehingga diperoleh pertumbuhan dan sintasan larva serta spat yang tinggi.

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu kajian pemeliharaan larva di

laboratorium, pemeliharaan spat di laboratorium, pemeliharaan larva dan spat pada

kondisi lingkungan optimum dan kajian pemeliharaan spat di laut. Metode observasi

digunakan pada percobaan perkembangan larva, aktivitas makan dan tingkat konsumsi

pakan. Disain rancangan acak kelompok faktorial digunakan untuk mengatahui pengaruh

jenis dan densitas pakan, suhu dan salinitas, konsumsi oksigen, metabolisme rutin larva

dan spat terhadap pertumbuhan dan sintasan. Percobaan tentang toleransi larva dan spat

terhadap intensitas cahaya menggunakan rancangan acak lengkap dan kajian spat di laut

menggunakan rancangan acak kelompok.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu, salinitas, laju konsumsi oksigen, laju

metabolisme dan intensitas cahaya berpengaruh nyata (P

0,05) terhadap perkembangan,

pertumbuhan, sintasan larva dan spat. Suhu dan salinitas optimum untuk larva dan spat

adalah 28

o

C dan 32, 34 ‰ (P

0,05). Belanja energi untuk metabolisme rutin larva pada

kondisi tersebut rata-rata 5,65; 5,98 Kalori/g berat basah/jam (21,62; 24,70 J/g berat

basah/jam dan pada spat rata-rata 2,18; 2,28 Kalori/g berat basah/jam (9,54; 10,02 J/g

berat basah/jam. Intensitas cahaya optimum untuk larva adalah

200 lux dan untuk spat

500 lux.

Larva pertama kali makan pada umur 22–24 jam setelah menetas (masa kritis

pertama) dan pakan yang sesuai

I. galbana

. Jenis dan densitas pakan hidup berpengaruh

nyata (P

0,05) terhadap sintasan, perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Jadwal

pemberian pakan untuk larva dan spat: larva stadia I diberi pakan

I. galbana

(2600

4200

sel/ml/hari. Stadia II:

I. galbana

(3700

7800 sel/ml/hari) atau

P. lutheri

(2300

7800

sel/ml/hari). Stadia III:

I. galbana

(50 %) +

P. lutheri

(50 %) densitas pakan 7700

9300

sel/ml/hari. Spat D25–D28: campuran pakan:

I. galbana

(50 %)+

T. tetrathele

(50 %),

densitas 8900

10000 sel/ml/hari. D28

D35 diberi pakan campuran

I. galbana

(25 %) +

P. lutheri

(25 %) +

T. tetrathele

(50 %). Densitas pakan D28

D31: 9100

15800

sel/ml/hari. D31

D33: 14600

18200 sel/ml/hari. D33

D35: 17200–18925 sel/ml/hari.

(5)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Perkembangan Larva dan

Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Pada Kondisi

Lingkungan Pemeliharaan Berbeda adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2009

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviati P. Zamani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWAT yang telah berkenan memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga paripurna penelitian dan dapat terselesaikan disertasi dengan judul Kajian Perkembangan Larva dan Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Pada Kondisi Lingkungan

Pemeliharaan Berbeda.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc, yang telah berkenan memberikan saran, bimbingan serta pengarahan selama penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan disertasi hingga publikasi. Kepada Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc, Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, Dr. Ir. Edward Danakusumah, M.Sc., PU dan Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan terbuka.

Ungkapan terima kasih dari hati yang terdalam juga penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan Fakultas Sain dan Teknik, Ketua Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan dan teman-teman dosen Unsoed Purwokerto, Drs. M. Jimo dan teman-teman dosen Stiper Surya Dharma Bandar Lampung, Pimpinan dan staf C.V. Mina Mitra Usaha di Manado, P.T. Mariat Utama di Sorong, teman-teman di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung, teman-teman Program Doktoral (S3) IPB, Program Studi IKL khususnya Ir. Suparno, M.Si, Dr. Ir. M. Hatta, M.Si, Dr. Yulianus Paonganan, S.Si, M.Si. Utamanya untuk istri tercinta Ir. Esty Juliaty, ananda tersayang Muthiary Nitzschia Nur Iswari dan Bintang Ramanditya terima kasih atas dukungan, pengorbanan serta ketulusan doa dan kasih sayangnya. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayah dan Ibu, keluarga besar Bapak H. Slamet Atmowirono (Almarhum) dan Ibu Sumariyati, kakanda Nanik Widiastuti sekeluarga, Irawan Wijaya sekeluarga serta adiku Kusumo Wibowo sekeluarga.

Sangat disadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, namun demikian semoga bermanfaat dan dapat menjadi sumber informasi untuk pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya aplikasi produksi missal spat tiram mutiara dan pengembangan hatchery skala rumah tangga.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang tanggal 5 Agustus 1961, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan R. Soegiono Kartosaputro (Almarhum) dan Rr. S. Yuniati. Pendidikan sarjana ditempuh di Stiper Surya Dharma Lampung, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Magister Sain pada Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pasca Sarjana IPB dan lulus tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada perguruan tinggi dan program studi yang sama diperoleh tahun 2004.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

PENDAHULUAN ………. 1

Latar Belakang ………... 1

Perumusan Masalah ………... 3

Tujuan Penelitian ………... 5

Manfaat Penelitian ………... 5

Hipotesis ………... 5

TINJAUAN PUSTAKA... 8

KAJIAN PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT DI LABORATORIUM …… 18

Pengaruh Jenis dan Densitas Pakan Hidup Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)... 19

Abstract ... 19

Pendahuluan ... 19

Bahan dan Metode ………... 21

Hasil dan Pembahasan... ……… 27

Simpulan ... 50

Daftar Pustaka ... 50

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) ... 56

Abstract ... 56

Pendahuluan ... 56

Bahan dan Metode ………... 58

Hasil dan Pembahasan ………... 62

Simpulan ... 81

Daftar Pustaka ... 82

Pengaruh Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larvadan SpatTiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)…...………. 87

Abstract ... 87

Pendahuluan ... 87

Bahan dan Metode ………... 88

Hasil dan Pembahasan ……….... 91

Simpulan ... 101

(11)

Halaman

APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA

MEDIA OPTIMUM………... 104

Pengaruh Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda Terhadap Sintasan Serta Laju Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)... 105

Abstract ... 105

Pendahuluan ... 105

Bahan dan Metode ………... 106

Hasil dan Pembahasan ………... 108

Simpulan ... 113

Daftar Pustaka ... 113

KAJIAN PEMELIHARAAN SPAT DI LAUT ... 116

Pengaruh Umur Pemindahan Terhadap Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)………. 117

Abstract ... 117

Pendahuluan ... 117

Bahan dan Metode ………... 118

Hasil dan Pembahasan ………... 121

Simpulan ... 125

Daftar Pustaka ... 126

Pengaruh Tingkat Kepadatan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Terhadap Sintasan dan Laju Pertumbuhan ……… 128

Abstract ... 128

Pendahuluan ... 128

Bahan dan Metode ………... 129

Hasil dan Pembahasan ………... 131

Simpulan ... 136

Daftar Pustaka ... 136

PEMBAHASAN UMUM ………... 138

SIMPULAN DAN SARAN ………... 149

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Spesies microalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna………... 17 2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima... 28 3. Sintasan (%) larva P. maxima stadia veliger sampai stadia plantigrade

(rata-rata ± SD; n = 30) pada berbagai jenis dan densitas pakan

hidup……….. 39 4. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis

dan densitas pakan hidup ... 44 5. Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g berat basah/jam) larva P. maxima

(rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas ... 62 6. Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g berat basah/jam) spat P. maxima (rata-

rata ± SD; n = 20) pada berbagai suhu dan salinitas... 64 7. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) larva

P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas... 67

8. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (K-J/g berat basah/jam) spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 70

9. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai

tingkat suhu dan salinitas... 74 10. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas... 76 11. Sintasan larva P. maxima (rata-rata + SD) pada berbagai tingkat intensitas

cahaya... 94 12. Uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan dan pertumbuhan panjang relatif

pada larva dan spat tiram mutiara P. maxima... 109 13. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) terhadap lama waktu pemindahan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian larva dan spat tiram mutiara P. Maxima di lab... 6

2. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian spat tiram mutiara P. Maxima di lab... 7 3. Siklus hidup tiram mutiara Pinctada maxima... 12 4. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) larva

tiram mutiara P. maxima …... 24 5. Larva P. maxima stadia bentuk-D diantara telur-telur, ditemukan

pertama kali 18 – 20 jam setelah menetas... 27 6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima.

(A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot;

(E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade ……….. 29 6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D;

(B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo

akhir (pediveliger); (F) Plantigrade ………... 30 7. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) larva P. maxima pada berbagai

tingkatan stadia... 32 8. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) spat tiram mutiara P. maxima

pada berbagai tingkat umur... 33 9. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima dari stadia veliger (D1)

sampai stadia plantigrade (D20)... 34 10. Tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima dari umur 25 – 35 hari... 38 11. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada

berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 40 12. Jadwal pemberian pakan larva tiram mutiara P. maxima dari umur 1–20 hari... 40 13. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada

berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 45 14. Jadwal pemberian pakan spat tiram mutiara P. maxima dari umur 25–35 hari... 45 15. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade (D20) pada berbagai

jenis dan densitas pakan hidup...…………... 48 16. Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen larva

tiram mutiara P. maxima... 60 17. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva stadia I, II dan III pada berbagai

(14)

Halaman

18. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas………... 77 19. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada

berbagai tingkat suhu dan salinitas………... 79 20. Posisi pengambilan sampel untuk mengetahui behavior larva secara

kuantitatif …... 90 21. Distribusi larva P.maxima stadia veliger sampai platigrade pada berbagai

tingkat intensitas cahaya. (A) 0 lux; (B) 200 lux; (C) 500 lux; (D) 800 lux….... 92 22. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada

berbagai tingkat intensitas cahaya... 95 23. Warna spat tiram mutiara P. maxima, (I) Perlakuan A dan B;

(II) Perlakuan C, D dan E... 97 24. Sintasan spat (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat intensitas cahaya... 99 25. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat

intensitas cahaya sampai spat... 99 26. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)... 108 27. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I

sampai spat (D25)... 109 28. Pertumbuhan panjang spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai waktu

pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari... 123 29. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai

waktu pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari... 123 30. Pertumbuhan spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat

kepadatan selama percobaan ... 130 31. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat

kepadatan selama percobaan ... 134 32. Pertumbuhan cangkang spat P. maxima yang tidak normal, (A) Memanjang

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1a. Lokasi Penelitian kajian pemeliharaan larva dan spat tiram mutiara

P. maxima di laboratorium, Desa Mangkit, Kec. Belang, Kab. Minahasa

Tenggara, Prop. Sulawesi Utara... 165 1b. Lokasi penelitian kajian pemeliharaan spat P.maxima di P. Kabra Kecil

dan Selat Kabra, Kabupaten Raja Empat, Prop. Irian Jaya Barat ... 165 2. Komposisi Pupuk Walne dan Hirata ... 166 3. Jumlah pakan yang dikonsumsi larva P. Maxima (sel/ml/hari) pada

berbagai tingkat stadia... 167 4. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima... 168 5. Tingkat konsumsi pakan spat tiram mutiara P. maxima... 168 6. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada

berbagai jenis dan densitas pakan hidup …..………... 169

7a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup ... 170 7b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik AP

larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 171 7c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik DV

larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 172 8a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 173 8b. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan

spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 173 9a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai jenis dan

densitas pakan hidup... 174 9b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik spat

P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup... 174

10a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P.maxima pada berbagai jenis dan densitas fitoplankton... 176 10b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap lama waktu (hari) pencapaian stadia

plantigrade larva P.maxima pada berbagai jenis dan densitas fitoplankton... 176

11. Hasil pengamatan parameter kualitas air pada percobaan pemeliharaan larva

dan spat ……… 177 12. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap konsumsi oksigen

(mg O2/g berat basah/jam) larva P. maxima stadia veliger sampai

plantigrade pada berbagai suhu dan salinitas... 178 13. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju konsumsi oksigen

spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 179

(16)

Halaman

15. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju metabolisme basal spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 181

16. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas... 182

17a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas………... 183 17b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan

spesifik AP x DV larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu

dan salinitas………... 184 18a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 186 18b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap sintasan spat

P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 186

19a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai suhu dan

salinitas... 187 19b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan

spesifik (%) AP spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 187 19c. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan

spesifik (%) DV spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas... 188

20a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade pada suhu dan salinitas

berbeda………..…. 189 20b. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadap lama waktu (hari)

pencapaian stadia plantigrade pada suhu dan salinitas berbeda…….………... 189

21. Distribusi larva P. maxima pada berbagai intensitas cahaya……… 190 22. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva P. maxima

pada berbagai intensitas cahaya………... 191 23a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat

intensitas cahaya……….……... 192 23b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laja pertumbuhan spesifik (AP) larva

P. maxima pada berbagai intensitas cahaya……….. 192 23c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laja pertumbuhan spesifik (DV) larva

P. maxima pada berbagai intensitas cahaya……….. 193

24a. Sintasan, laja pertumbuhan spesifik (rata-rata ± SD) spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya... 194 24b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan, laja pertumbuhan spesifik

spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya... 195 25a. Sintasan dan laja pertumbuhan spesifik spat pada kondisi

lingkungan optimum... 197 25b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan dan laju pertumbuhan

(17)

Halaman

26. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan spat P. maxima pada lama waktu pemindahan dari lab ke tempat pemeliharaan di laut... 200

27a. Pertumbuhan Panjang spat P. maxima terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke tempat pemeliharaan di laut... 201 27b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap pertumbuhan panjang

spat P. maxima terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke tempat pemeliharaan di laut... 203

28a. Hasil pengamatan beberpa parameter fisika dan kimia air pada lokasi

pemeliharaan spat tiram mutiara P. maxima di Selat Kabra... 204 28b. Jenis dan kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian perairan Selat Kabra... 204 29a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan... 205 29b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan spat P. maxima

pada berbagai tingkat kepadatan... 206

30a. Pertumbuhan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan ... 207 30b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap pertumbuhan spat P. maxima pada

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil mutiara “South Sea Pearl” dari tiram mutiara Pinctada maxima yang sangat digemari di pasaran dunia. Sebagian besar produksi South Sea Pearl yang dipasarkan berasal dari hasil budidaya (Anna 2006). Perkembangan usaha budidaya mutiara saat ini sudah mengarah pada kegiatan industri yang terintegrasi (Fassler 1995). Berdasarkan nilai ekspor hasil perikanan pada tahun 2006, mutiara dapat dijadikan sebagai salah satu andalan penyumbang devisa negara. Ekspor mutiara sekitar 1,94 % dari total ekspor hasil perikanan, dengan jumlah ekspor mencapai 18.000 kg, atau senilai US $ 13.793.000 (DKP 2006).

Diperkirakan, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 65 perusahaan budidaya mutiara, dari jumlah tersebut hanya 10 % yang mempunyai unit pembenihan sendiri, sisanya masih tergantung pada hasil tangkapan dari alam. Kecenderungan yang berkembang saat ini, khususnya perusahaan-perusahaan di daerah Indonesia Bagian Tengah dan Timur ternyata lebih memilih spat yang berasal dari hatchery untuk kemudian dibesarkan, karena ukurannya seragam, lebih mudah beradaptasi dan dalam waktu relatif singkat dapat diperoleh jumlah yang banyak. Menurut Gricourth et al. (2006) pada kondisi permintaan spat dari alam menjadi isu utama, maka permintaan akan produksi spat dari hatchery juga akan terus meningkat secara efisien.

Pada umumnya, dalam satu siklus implantasi atau operasi pemasangan inti bulat dibutuhkan tiram antara 10.000–40.000 ekor. Perusahan bermodal besar, dalam satu siklus biasanya mengimplan 20.000–50.000 ekor, sedangkan perusahaan kecil antara 5.000–10.000 ekor (Daryatmo 2003). Dari sekitar 58 perusahaan yang tidak memiliki unit pembenihan, setiap siklus operasi (1 tahun dua siklus) membutuhkan tiram mutiara rata-rata 25.000 ekor. Diperkirakan setiap tahun ada permintaan tiram mutiara ukuran implantasi sebesar 2.900.000 ekor.

(19)

Berkembangnya budidaya mutiara ternyata juga menjadi pemicu meningkatnya permintaan spat dan tiram siap operasi. Sedangkan spat dan calon induk yang berasal dari alam jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim. Penyediaan spat secara terkendali melalui hatchery merupakan alternatif yang tepat untuk menanggulangi terbatasnya spat alam. Hatchery mampu menyediakan spat secara massal, tepat waktu dan jumlah, disamping ukurannya seragam serta berkualitas tinggi. Menurut Jeffrey et al. (1990) tujuan utama dari kegiatan pembenihan adalah memproduksi jutaan juvenil (spat) dengan cara memelihara larva pada tingkat kepadatan yang lebih tinggi dari kondisi di alam. Produksi spat melalui hatchery merupakan pendekatan yang paling memungkinkan untuk menyediakan spat dalam skala besar dan berkesinambungan (Rupp et al. 2005).

Kendala utama pada pembenihan tiram mutiara saat ini adalah pertumbuhan yang lambat dan sintasan rendah dalam pemeliharaan larva dan spat. Sintasan dari larva (D1) sampai menjadi spat berukuran 2–3 cm sekitar 0,05 % dan untuk mencapai ukuran 2–3 cm diperlukan waktu pemeliharaan selama 3–4 bulan (BBL 2001). Menurut Taufiq (2009) sintasan spat P. maxima umur 30 hari pemeliharaan di laboratorium antara 6–7 %. Diduga, salah satu faktor yang menyebabkan sintasan rendah dan pertumbuhan lambat adalah kondisi lingkungan pemeliharaan seperti suhu, salinitas, pH, DO dan pakan optimum yang belum diketahui. Menurut Odum (1976); Asha and Muthiah (2005) kondisi lingkungan mempunyai peranan yang vital pada saat perkembangan larva, lebih spesifik lagi kondisi kualitas air secara menyeluruh berpengaruh terhadap komunitas perairan. Apabila salah satu faktor lingkungan melewati batas toleransi spesies atau jika salah satu unsur tersebut jumlahnya menurun sampai di bawah batas kebutuhan minimum spesies sehingga menjadi faktor pembatas, maka spesies tersebut akan mengalami perubahan pola dispersi, aktivitas fisiologis terganggu, bahkan dapat mengakibatkan kematian.

(20)

menyampaikan status budidaya tiram mutiara P. maxima pada PT. Autore Pearl Culture di Sumbawa. Taufiq et al. (2009) dan Mangidi et al. (1009) melakukan studi pertumbuhan tiram mutiara P. maxima di perairan Sumbawa dan Sekotong, Lombok (NTB). Di India, Alagarswami et al. (1983; 1987), CFMRI (1991), Dharmaraj et al. (1991) melakukan studi pembenihan tiram mutiara P. fucata. Studi aspek lingkungan dan budidaya P. margaritifera di laut telah dilakukan oleh Friedman and Bell (1996; 1999), Friedman and Southgate (1999), Southgate et al. (1998). Taylor et al. (1997; 1998) di Australia lebih banyak melakukan penelitian pada P. maxima di alam. Studi tentang larva Pteria sterna dilakukan oleh Martinez-Fernandez et al. (2004) dan Wayne et al. (2004) melakukan pengkajian pada embrio dan juvenil P. imbricata.

Sampai saat ini, sebagian besar kegiatan pembenihan tiram mutiara di Indonesia masih dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar milik swasta, dengan menggunakan tenaga ahli asing, sehingga penyebaran informasi teknologinya sangat terbatas (Winanto 2004). Sedangkan, tuntutan akan penyediaan spat dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, serta kebutuhan informasi teknologi pembenihan tiram mutiara sangat dibutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang kebutuhan lingkungan optimum, untuk mengoptimalkan sintasan dan laju pertumbuhan larva serta spat tiram mutiara P. maxima, sehingga dapat dibuat standar operasional prosedure (SOP) untuk produksi

spat secara massal dan terkendali. SOP tersebut dapat dilakukan oleh praktisi atau pembudidaya perikanan, pengusaha dan masyarakat perikanan pada umumnya.

Perumusan Masalah

Rasionalisasi dari perkembangan usaha budidaya mutiara menjadi industri budidaya adalah kemampuan menyediakan tiram implan dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan. Konsekuensinya adalah eksploitasi tiram dari alam dengan intensitas tinggi, akibatnya populasi di alam menurun drastis. Sampai saat ini, sebagian besar perusahaan budidaya mutiara di Indonesia masih sangat tergantung pada spat alam dan kegiatan penyelaman tiram mutiara sangat tergantung pada musim.

(21)

2005). Upaya penyediaan spat melalui hatchery, merupakan langkah yang paling bijaksana untuk mengurangi perburuan tiram mutiara di alam.

Pada pemeliharaan larva sampai spat diperlukan kondisi lingkungan yang optimum dan terkendali, karena pada stadia tersebut kondisinya masih sangat rentan, jika terjadi perubahan lingkungan dalam pemeliharaan dapat mengakibatkan kematian, sehingga berbagai kajian yang berkaitan dengan pemeliharaan larva dan spat baik yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan (laut) sangat diperlukan. Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimal, seperti untuk perkembangan, pertumbuhan dan proses-proses fisiologis yang mengatur serta mengontrol kondisi biota laut.

Perkembangan, pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), pH dan intensitas cahaya. Menurut Alfaro (2005); Asha dan Muthiah (2005); Martinez-Fernandez et al. (2004) dalam memproduksi spat skala besar di hatchery, sangat diperlukan informasi tentang pengaruh suhu, salinitas, DO dan pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan larva serta spat.

Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi (Gambar 1, 2), yaitu melakukan pengkajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Kajian ini dibagi menjadi tiga tahap penelitian, yaitu Penelitian Tahap Pertama: Kajian pemeliharaan larva dan spat di laboratorium, terdiri dari tiga seri percobaan yaitu studi pendahuluan pengaruh jenis dan densitas pakan hidup terhadap sintasan dan pertumbuhan, mengkaji pengaruh suhu dan salinitas terhadap sintasan dan pertumbuhan, serta mengkaji pengaruh berbagai tingkat intensitas cahaya terhadap sintasan dan pertumbuhan. Penelitian Tahap Kedua: Aplikasi pemeliharaan larva dan spat pada kondisi lingkungan optimum. Penelitian Tahap Ketiga: Kajian pertumbuhan spat di laut, terdiri dari dua seri percobaan yaitu mengkaji umur pemindahan dan tingkat kepadatan spat.

(22)

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui parameter kualitas air optimum (suhu, salinitas, tingkat konsumsi oksigen dan intensitas cahaya), untuk mendapatkan sintasan, perkembangan dan pertumbuhan larva dan spat yang tinggi.

2. Mengetahui umur pemindahan yang tepat dan tingkat kepadatan optimum, untuk mendapatkan sintasan dan pertumbuhan spat yang tinggi.

3. Membuat standar operasional prosedure (SOP) pemeliharaan larva dan spat untuk mengoptimalkan sintasan dan laju pertumbuhan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah meningkatkan sintasan serta laju pertumbuhan larva dan spat, sehingga dapat menjadi informasi dasar bagi pengembangan hatchery skala rumah tangga tiram mutiara P. maxima. Hasil studi juga diharapkan berguna untuk pengembangan produksi massal spat di masa datang dan atau penebaran benih kembali (restocking) di alam. Lebih lanjut, produksi hatchery tersebut dapat mencukupi kebutuhan spat secara nasional, sehingga dapat mengurangi perburuan tiram mutiara di alam dan menjaga kelestarian sumberdayanya. Perkembangan teknologi hatchery skala rumah tangga yang dikelola oleh anak-anak bangsa, diharapkan bisa mengurangi dominansi tenaga ahli asing, membuka lapangan kerja dan memberi peluang berkembangnya swasta nasional dan usaha kecil budidaya mutiara.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan sintasan, perkembangan, pertumbuhan larva dan spat pada suhu, salinitas, tingkat konsumsi oksigen dan intensitas cahaya optimum yang berbeda.

(23)

MASALAH PENDEKATAN MASALAH

ASPEK KAJIAN PARAMETER YANG

DIAMATI

LUARAN APLIKASI

Gambar 1. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian larva dan spat tiram mutiara P. maxima di laboratorium Spat

Pakan Hidup

Lingkungan

Tingkah laku Morfologi

Suhu

Salinitas

Intensitas Cahaya

Oksigen (DO) Larva

Metabolisme Respon Larva & Spat

Konsumsi Oksigen

Jadwal Pemberian Pakan

Lingkungan Optimum Sintasan

Pertumbuhan

Biometri Morfogenesis Jenis & Densitas

Aktivitas Makan

Tingkat Konsumsi Pakan

Umur Mulai Makan

Stadia Mulai Makan

Waktu Pencapaian Stadia

Produksi Masal Spat, Berkualitas &

Kontinyu

(24)

MASALAH PENDEKATAN MASALAH

ASPEK KAJIAN PARAMETER YANG DIAMATI

LUARAN APLIKASI

Gambar 2. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian spat tiram mutiara P. maxima di laut Spat

Sintasan

Pertumbuhan

Ketepatan Umur Pemindahan dan

Padat Tebar Optimum Waktu Pemindahan

Tingkat Kepadatan

Kualitas Air

Produksi Massal Spat, Berkualitas dan Kontinyu Biometri

Morfogenesis Suhu

Salinitas

pH

DO

Nitrat

Fosfat

Silikat

Kelimpahan Plankton

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)

Tiram mutiara spesies P. maxima termasuk moluska laut, dengan tubuh

dilindungi atau ditutupi oleh sepasang cangkang, termasuk kelas Bivalvia dan famili

Pteriidae (Cahn 1949).

P. maxima merupakan salah satu jenis tiram penghasil mutiara yang

mempunyai nilai ekonomis paling tinggi dan ukuran paling besar. Di pasaran

internasional, mutiara yang diproduksi sering kali disebut dengan nama “South Sea

Pearl” (Shirai 1981). Spesies ini mempunyai diameter dorso-ventral dan

anterior-posterior hampir sama sehingga bentuknya agak bundar. Bagian dorsal berbentuk

datar dan panjang serta dihubungkan oleh semacam engsel berwarna hitam

(Takemura and Kafuku 1957).

Tiram muda atau spat mempunyai warna cangkang bervariasi dengan warna

dasar kuning pucat, kuning tua atau kuning kecoklatan, coklat kemerahan, merah

anggur dan kehijauan. Pada cangkang bagian luar terdapat garis-garis radier yang

menonjol seperti sisik, berwarna lebih terang dari warna dasar cangkang, berjumlah

10 – 12 buah dan ukurannya lebih besar dibandingkan pada spesies lain.

Umumnya setelah dewasa warna cangkang menjadi kuning tua sampai kuning

kecoklatan, warna garis radier biasanya sudah memudar. Cangkang bagian dalam

(nacre) berkilau dengan warna putih-keperakan, bagian tepi nacre (nacreous-lip) ada

yang berwarna keemasan sehingga sering disebut “Gold-lip Pearl Oyster” dan yang

berwarna perak disebut juga “Silver-lip Pearl Oyster”. Pada bagian luar nacre

(non-nacreous border) berwarna coklat kehitaman.

Habitat dan Daerah Penyebaran

P. maxima disebut juga Shirocho-gai merupakan spesies tiram mutiara yang

ukurannya paling besar (Shirai 1981; Takemura and Kafuku 1957). Tempat hidupnya

mulai dari perairan dangkal dengan dasar perairan berpasir, atau pasir berkarang yang

(26)

pada karang hingga kedalaman 10–75 m. Ditemukan juga di perairan laut dalam

dengan substrat bersedimen di daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan

paparan pulau, dimana airnya agak keruh. Biasanya dapat ditemukan banyak individu

tergeletak di atas substrat tanpa bisus (Gervis and Sims 1992; Tun and Winanto

1987; Yukihira et al. 1999, 2006). Di lokasi sekitar budidaya mutiara sering kali

ditemukan hidup menempel pada karang di kedalaman 50–100 cm (Winanto et al.

1992).

Daerah penyebaran P. maxima mulai dari laut Arafuru, Australia bagian

Utara, Philipine, Myanmar, Thailand, Papua New Guiniea dan Indonesia. Di perairan

Indonesia Pinctada maxima dapat ditemukan mulai dari Kep Aru, Papua, Laut

Banda, Kep. Maluku, Kep. Bacaan, Laut Seram, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, pantai Utara Jawa Barat dan Banten,

Kalimantan Barat dan Bangka-Belitung. Namun demikian polulasi terbesar berada di

daerah Indonesia bagian Tengah dan Timur (Tun and Winanto 1987; Winanto et al.

1992).

Siklus Hidup dan Reproduksi

Tiram mutiara mempunyai jenis kelamin terpisah, kecuali pada beberapa

kasus tertentu ditemukan sejumlah individu yang hermaprodit. Perubahan kelamin

(sex reversal) biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada

stadia awal perkembangan gonad. Fenomena sex reversal juga diamati Wada and

Wada (1939) dalam Cahn (1949) terhadap tiram P. maxima, hasilnya menunjukkan

bahwa jenis kelamin tiram ternyata tidak tetap, sejumlah jantan berubah menjadi

betina dan sebaliknya betina bisa menjadi jantan.

Bentuk gonad tebal-menggembung, pada kondisi matang penuh gonad

menutupi seluruh organ dalam (perut, hati dan yang lain) kecuali bagian kaki. Secara

eksternal sulit untuk membedakan antara gonad jantan dan betina, utamanya pada

stadia awal, keduanya berwarna krem kekuningan. Tetapi setelah stadia matang

penuh, gonad tiram P. maxima jantan berwarna putih krem, sedang yang betina

berwarna kuning tua. Sedangkan menurut Chellam (1987); CMFRI (1991) gonad

jantan P. fucata berwarna krem pucat keputihan dan betina berwarna krem

(27)

Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan menjadi lima stadia

(deskripsi perkembangan gonad ini hanya didasarkan pada tiram betina) yaitu :

Stadia I : Tahap tidak aktif/salin/ istirahat (inactive/spent/resting); Stadia II:

Perkembangan/ pematangan (developing/maturing); Stadia III: Matang (mature);

Stadia IV: Matang penuh/memijah sebagian (fully maturation/partially spawned);

Stadia V : Salin (spent). Pada stadia awal perkembangan gonad, tiram jantan dan

betina menunjukkan perkembangan reproduksi yang sama, oleh karena itu pada

stadia II dan III warna gonad krem pucat. Pada stadia gametogonesis yang lain,

gonad jantan dan betina nampak sama jika diamati secara ekternal (Chellam 1987;

CMFRI 1991; Winanto 2004).

Pada berbagai kasus di lapangan, para praktisi (breeder) sering kali

menggunakan induk stadia III dan IV untuk pemijahan. Spesifikasi induk betina

stadia III adalah gonad tersebar merata hampir di seluruh jaringan organ, biasanya

berwarna krem kekuningan. Sebagian besar oocyt berbentuk buah peer, dengan

ukuran 68 x 50 .μm, ukuran inti 25 μm. Sedangkan induk Stadia IV mempunyai

ciri-ciri gonad menggembung, tersebar merata dan secara konsisten akan keluar dengan

sendirinya atau jika ada sedikit trigger. Oocyt bebas dan terdapat di seluruh dinding

kantong gonad. Hampir semua oocyt berbentuk bulat dan berinti, dengan ukuran

rata-rata 51,7 .μm.

Menurut Wada et al. (1995) pengetahuan tentang biologi reproduksi tiram

mutiara sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri budidaya mutiara,

khususnya memahami perkembangan gonad dan dinamika populasinya di alam.

Pengetahuan ini dapat digunakan untuk mengembangkan teknik pembenihan dan

perbaikan teknik penempatan inti bulat di dalam gonad pada budidaya mutiara.

Hasil pengamatan Winanto et al. (2002) terhadap stadia kematangan gonad

dan musim pemijahan P. maxima di Teluk Hurun, Lampung dari tahun 1996–2002

menunjukkan, bahwa kematangan gonad terjadi setiap bulan, namun stadia

kematangan gonad penuh (TKG IV) hanya terjadi pada bulan Maret, Mei dan

Agustus sampai Nopember. Gonad dalam masa istirahat (resting phase) terjadi pada

bulan Desember, stadia I dan II terjadi hampir sepanjang tahun. Selama tujuh tahun

pengamatan, dicatat stadia perkembangan gonad tertinggi hanya sampai TKG II

terutama pada bulan April dan Juni. Sedangkan TKG III terjadi pada bulan Januari–

(28)

Chellam (1987); CMFRI (1991) menyatakan bahwa beberapa jenis tiram

mutiara dapat dijumpai matang gonad sepanjang tahun. Sedangkan Chacko (1970)

dan Rao (1970) melaporkan bahwa musim pemijahan Pinctada spp terjadi setiap

bulan sepanjang tahun. Musim puncak kematangan gonad identik dengan musim

puncak pemijahan. Pada musim tertentu, induk tiram di alam yang telah dewasa

akan bertelur. Telur-telur tersebut kemudian akan dibuahi oleh sel kelamin jantan

(sperma) dan pembuahan terjadi secara eksternal di dalam air.

Telur yang telah dibuahi akan mengalami perubahan bentuk, mula-mula

terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar lobe II yang merupakan awal proses

pembelahan sel dan akhirnya menjadi multisel. Tahap berikutnya adalah fase

trocofor, dengan bantuan bulu-bulu getar trocofor dapat berenang-renang dan

bergerak berputar-putar. Beberapa jam kemudian trocofor akan berkembang menjadi

veliger atau larva bentuk D (Gambar 3), dengan ditandai tumbuhnya organ mulut

dan pencernaan. Larva mulai makan dan tubuhnya telah ditutupi cangkang tipis.

Perkembangan selanjutnya adalah tumbuh velum, pada fase ini biasanya sangat

sensitif terhadap cahaya dan sering berenang-renang di permukaan air. Selama stadia

planktonis, larva biasanya berenang-renang dengan menggunakan bulu-bulu getar

atau menghanyut dalam arus air.

Pada saat mencapai stadia umbo (Gambar 3) secara bertahap cangkang juga

ikut berkembang. Bentuk sepasang cangkangnya sama dan mantel sudah berfungsi

secara permanen. Pada akhir stadia umbo, larva bergerak dengan menggunakan

velum.

Stadia pediveliger (Gambar 3) ditandai dengan berkembangnya kaki,

gerakan-gerakan sederhana dari berenang sampai berputar-putar dilakukan dengan

velum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan baik velum akan menghilang,

lembaran-lembaran insang mulai nampak jelas.

Proses pencarian tempat atau substrat untuk menempel dan menetap dimulai

sejak larva mencapai stadia pediveliger. Pertumbuhan awal cangkang terlihat pada

bagian tepi cangkang, bentuknya sangat tipis, transparan, tersusun oleh selaput tipis

conchiolin. Pada waktu yang sama kelenjar bisus akan mensekresikan

benang-benang bisus untuk menempel. Organ lain yang berkembang yaitu labial palp dan

insang. Stadia pertumbuhan setelah pediveliger ini biasanya disebut Plantigrade

(29)

Perkembangan akhir larva yaitu perubahan stadia plantigrade menjadi spat

(Gambar 3). Bentuk spat menyerupai tiram dewasa, mempunyai engsel, auricula

depan dan belakang serta terdapat takik bisus pada bagian anterior. Cangkang

sebelah kiri lebih cembung dari pada yang kanan. Spat-spat bisa menempel pada

substrat dengan bantuan benang-benang bisus. Laju pertumbuhan dari stadia larva

sampai spat pada satu tempat dan tempat yang lain berbeda-beda, tergantung dari

faktor lingkungan.

Gambar 3. Siklus hidup tiram mutiara Pinctada maxima (modifikasi dari Tun and Winanto 1987; Winanto 1988; Ikenoue and Kafuku 1992). (1) Telur dan sperma. (2) Telur dibuahi. (3) Pembelahan sel. (4) Gastrula. (5) Larva bentuk-D. (6) Stadia umbo. (7) Spat. (8) Dewasa.

Sistem Pencernaan

Seperti halnya pada jenis kekerangan yang lain, tiram mutiara mampu

memanfaatkan phytoplankton yang terdapat secara alamiah di sekitarnya. Tiram

mutiara bersifat filter feeder atau mengambil makanan dengan jalan menyaring

pakan yang ada di dalam air laut. Getaran silia pada insang menimbulkan arus air

yang masuk ke dalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan

phytoplankton yang berada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau

melalui simpul bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam

mulut (Gosling 2004; Velayudhan and Gandhi 1987).

Mulut terletak pada bagian ujung depan saluran pencernaan atau di sebelah

(30)

yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan

kulit luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Dari

perut sisa makanan (kotoran) akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek

dan bentuknya seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan and Gandhi

1987).

Sistem Pernafasan

Insang merupakan organ yang mempunyai peran fungsional baik dalam

pernafasan maupun osmoregulasi. Sel-sel yang berperan pada proses osmoregulasi

adalah sel-sel chlorida yang terletak pada bagian dasar lembaran-lembaran insang.

Insang berjumlah empat buah, berbentuk sabit, dua insang berada di sisi kanan dan

kiri, menggantung pada pangkal mantel seperti lipatan buku (Velayudhan and

Gandhi 1987).

Air yang masuk melalui saluran inhalen akan terhenti pada bagian mantel,

lalu secara cepat dan kompak bekerjasama dengan insang sehingga dapat

memanfaatkan udara yang terangkut dan air dikeluarkan kembali melaui saluran

ekshalen. Air serta darah yang tidak berwarna masuk melalui beberapa filamen

tunggal lalu mengalir ke luar menuju pinggir insang, kemudian melintas ke atas

berputar kembali melalui filamen dan masuk ke branchial atau ctenidial. Dengan

bantuan silia-silia pada branchial dapat menimbulkan arus yang masuk ke bilik palial

dan melintas keatas, melalui lamela branchial. Jadi selain menjalankan fungsi

pernafasan, filamen pada insang dan mantel dapat memperlancar peredaran darah

(Gosling 2004; Velayudhan and Gandhi 1987).

.

Kualitas Air

Perkembangan, pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara sangat dipengaruhi

oleh kualitas air di lingkungan tempat hidupnya. Beberapa parameter kualitas air

tersebut antara lain suhu, kecerahan, salinitas, Oksigen terlarut (DO), pH. dan pakan

hidup (CMFRI 1991; Gricourth et al. 2006; O’Connor and Lawler 2004; Soria et al.

(31)

Suhu

Perubahan suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologi tiram

mutiara di dalam air. Menurut Cahn (1949) suhu yang baik untuk kelangsungan

hidup tiram mutiara berkisar antara 25−30 oC. Sedangkan menurut Suharyanto et al. (1993), suhu air pada kisaran 27−31 oC dianggap cukup layak untuk kehidupan tiram mutiara P. margaritifera (japing-japing).

Menurut Nayar dan Mahadevan (1987); Alagarswami et al. (1983 a), selama

pemeliharaan di dalam laboratorium, suhu yang bervariasi dapat mempengaruhi

waktu penempelan larva tiram mutiara. Pada suhu 28,2−29,8 oC, larva akan menempatkan diri untuk menetap-melekat pada substrat setelah umur 24 hari.

Selanjutnya pada rentang suhu 24,3−27,2 oC larva baru akan melekat setelah 32 hari. Pada suhu yang rendah, sebagian besar waktu tiram mutiara akan dihabiskan untuk

melakukan metamorfose secara lengkap dan melekatkan diri untuk menetap.

Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme.

Perubahan suhu walaupun kecil selama pemeliharaan larva dapat mengakibatkan

kematian. Pada suhu antara 24−30 oC, tiram mutiara P. margaritifera sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme, sedangkan pada suhu 18−20 oC tidak aktif lagi. Suhu air yang baik untuk pemeliharaan larva berkisar antara 25−27 oC (Hisada dan Komatsu, 1985; Holliday et al. 1993; Shokita et al. 1991). Di Balai Budidaya Laut

Lampung, Larva dan spat P maxima menunjukkan pertumbuhan dan kelangsungan

hidup yang baik pada kisaran suhu 26 – 28 oC (BBL 2001).

Kecerahan

Kecerahan air berpengaruh terhadap fungsi dan struktur invertebrata dalam

air. Lama penyinaran akan berpengaruh terhadap proses pembukaan dan penutupan

cangkang. Cangkang tiram akan terbuka sedikit bila ada cahaya, dan terbuka lebar

bila suasananya gelap. Oleh sebab itu ruang pemeliharaan larva dan spat biasanya

dibuat agak gelap, dengan tujuan agar organisme yang dipelihara merasa nyaman dan

cangkang bisa bebas terbuka, sehingga proses filtrasi pakan dapat berlangsung

(32)

Kecerahan yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva stadia

veliger dari radiasi sinar ultra violet. Karena larva masih bersifat fototaksis positif

dan umumnya di dalam proses metamorfose menghendaki sinar yang sesuai (CMFRI

1991).

Lokasi pemeliharaan induk sebaiknya mempunyai kecerahan antara 4,5–6,5

m. Apabila kecerahan lebih dari kisaran tersebut akan menyulitkan pemeliharaan,

karena demi kenyamanan induk harus dipelihara di kedalaman melebihi tingkat

kecerahan yang ada (Tun and Winanto 1987).

Salinitas

Dilihat dari habitatnya tiram mutiara lebih menyukai hidup pada salinitas

yang tinggi. Tiram mutiara toleran terhadap kisaran salinitas 24 dan 50 %o, namun

hanya untuk jangka waktu yang pendek yaitu sekitar 2–3 hari.

Lokasi pembenihan sebaiknya dipilih di lokasi perairan yang memiliki

salinitas antara 32–35 %o, karena baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup

larva dan spat. Pada salinitas 14 %o dan 50 %o, dapat mengakibatkan kematian tiram

mutiara sampai 100 % (BBL 2001; Tun and Winanto 1987).

Oksigen terlarut (DO)

Bagi organisme akuatik yang dibudidayakan, oksigen terlarut dapat menjadi

faktor pembatas kelangsungan hidup, perkembangan dan pertumbuhan. Menurut

Imai (1982), tiram dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen

terlarut berkisar antara 5,20−6,60. Pengamatan Darmaraj (1983) di daerah populasi alami tiram P. sugilata menunjukkan bahwa kadungan rata-rata oksigen terlarut di

bagian permukaan air 4,22 ml/l dan dasar perairan 4,37 ml/l. Sadangkan

pengamatannya di daerah budidaya mencatat kandungan oksigen terlarut di bagian

permukaan 5,05 ml/l dan di dasar perairan 4,77 ml/l.

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Nayar dan Mahadevan (1987),

bahwa tiram mutiara tidak akan mengalami banyak stres pada kisaran konsentrasi

(33)

kebanyakan moluska tergantung pada batas tekanan oksigen terlarut, sampai

mencapai batas tekanan terendah hingga oksigen terlarut akan naik kembali.

Hasil penelitian Dharmaraj (1983) tentang kebutuhan oksigen terlarut tiram

mutiara P. fucata, menunjukkan bahwa tiram berukuran 40−50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 μl/l; ukuran 50−60 mm mengkonsumsi 1,650 μl/l dan ukuran 60−70 mm mengkonsumsi 1,810 μl/l.

Di tempat pemeliharaan yang terkendali seperti hatchery, sebenarnya

kebutuhan oksigen terlarut tidak menjadi masalah, karena ketersediaannya dapat

diatasi dengan memberikan pengudaraan buatan menggungkan alat blower (CMFRI

1991).

pH

pH air yang layak untuk kehidupan tiram mutiara P. maxima berkisar antara

7,8–8,6 (Matsui 1960). Sedangkan pada pH 7,9–8,2 tiram mutiara dapat berkembang

biak dan tumbuh dengan baik.

Menurut Mahadevan and Nayar (1974); Nayar and Mahadevan (1987), pada

prinsipnya habitat tiram mutiara berada pada perairan dengan pH lebih tinggi dari

6,75. Tiram tidak akan bereproduksi kembali bila pH lebih tinggi dari 9,00. Aktivitas

tiram akan meningkat pada pH 6,75–7,00 dan menurun pada pH 4–6,5., pada kisaran

pH tersebut jumlah tiram yang normal hanya sekitar 10 %.

Pakan Hidup

Pakan merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan kegiatan

pembenihan tiram mutiara. Ketersediaan pakan yang tepat waktu, jumlah dan jenis

akan sangat mendukung sukses produksi massal spat. Pakan utama yang biasa

diberikan pada larva tiram mutiara yaitu jenis flagelata, berukuran kurang dari 10

mikron. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis

galbana, Pavlova lutheri/Monochrysis lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp.,

Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp. Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang

spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva,

(34)

Haptophyceae) dengan ukuran sekitar 7 μm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis

tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran

induk (Alagarswami et al. 1987; Dharmaraj et al. 1991; Winanto el al. 2001;

Winanto 2004). Menurut Martinez-Fernandez (2004) beberapa jenis mikroalga yang

digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp, Pavlova

lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri,

Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis

tetrathele, Tetraselmis suecica (Tabel 1). Namun mikroalga yang dapat dicerna oleh

[image:34.612.112.542.293.545.2]

larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana.

Tabel 1. Spesies mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna

Kelompok (Devisi)

Kelas Spesies Ukuran

(μm)

Karakteristik Diatom (Bacillariophyta) Alga hijau (Chlorophyta) Flagelata (Haptophyta) Bacillariophyceae Coscinodiscophyceae Chlorophyceae Prasinophyceae Prymnesiophyceae Phaeodactilum tricornutum (Bohlin) Chaetoceros meulleri (Paulsen) Takano C. calcitran (Lemmermann) Thalassiosira weisflogii (Grun) Dunaliella salina (Teodoresco) Nannochloris sp Tetraselmis tetrathele (G.S. West)

T. suecica (Kylin)

Isochrysis aff. galbana (Green)

Pavlova lutheri (Droop)

25 x 5

4–5

5 x 5

11 x 4

8–10

2–3

8 x 16

12–15

6–8

5

Sel memanjang, spines besar

Dinding sel kaku, spines besar

Sel besar motile, flagela dua

Sangat kecil, dinding sel berserat glikoprotein Sel besar motile, flagela 4 Dinding sel dilindungi bahan organik

Flagela dua, bentuk bulat – oval. Dinding sel dilapisi polisakarida

Sumber: Martinez-Fernandez (2004)

Preferensi larva terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan spesies,

masing–masing jenis tiram mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam

memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, mikro alga yang

digunakan sebagai pakan larva tiram atau organisme laut lainnya adalah mempunyai

ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah

dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan

(35)

KAJIAN PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT DI LABORATORIUM

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kondisi lingkungan yang optimum (suhu, salinitas, tingkat

konsumsi oksigen, intensitas cahaya) pada pemeliharaan larva dan spat P. maxima.

Penelitian Tahap I, kajian pemeliharaan larva dan spat di laboratorium terdiri dari

tiga seri percobaan yaitu :

¾ Pengaruh jenis dan densitas pakan hidup terhadap sintasan serta pertumbuhan

larva dan spat (merupakan studi pendahuluan).

¾ Pengaruh suhu dan salinitas terhadap sintasan serta pertumbuhan larva dan

spat.

¾ Pengaruh berbagai tingkat intensitas cahaya terhadap sintasan serta

pertumbuhan larva dan spat.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Pebruari sampai Mei 2007. Aktivitas

penelitian dilakukan di laboratorium C.V. Mina Mitra Usaha, Desa Mangkit,

Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara, Propinsi Sulawesi Utara

(36)

Pengaruh Jenis dan Densitas Pakan Hidup Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)

Abstract

Microalgae are the major food source for bivalve. The objective of this research is to obtain information of required food types and densities, to determined of feeding schedule for larva and spat. An experiment was conducted using observations method, factorial randomized block and completely design. The result showed that firstly D-shape larvae was found during 18–20 hours after fertilization and was firstly fed of fitoplankton at 22–24 hours (first critical period). Larvae and spat was consuming food all the day. The larvae was have highest food consumption in the morning at 8 am and the evening at 6 pm, while spat was have tendency consumed a lot of food at about 8–10 am in the morning and evening from 4 to 6 pm. Feeding schedule of larvae could be divided into three groups: (1) D1–D8: larvae fed I. galbana at 2,600–4,200 cells ml-1 day-1. (2) D8–D16: larvae fed I. galbana at 3,700–7,800 cells ml-1 day-1 or P. lutheri at 2,300–7,800 cells ml-1 day-1. (3) D14–D20: larvae fed mixed algae of I. galbana (50 %) and P. lutheri (50 %) at 7,700–9,300 cells ml-1 day-1. Feeding schedule of D25–D28 spat are mixtures food of I. galbana (50 %) + T. tetrathele (50 %) at density 8,900–10,700 cells ml-1 day-1. Food type for D28–D35 spat: mixtures food of I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %). Food density of D28–D31 spat, 11,000–15,800 cells ml-1 day-1. D31–D33: 15,800–18,200 cells ml-1 day-1 and D33–D35: 18,200–18,900 cells ml-1 day-1 density. Highest survival rate of larvae stage I, was recorded for treatment AD (90.47 %); Stage II at treatment AE (82.28 %) and stage III at treatment CF (62.50 %). The highest survival rate of spat was showed by treatment CE (86.53 %) or combination of I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) at density 15,000 cells ml-1. The best of relative growth length of larvae stage I, was showed by treatment AD (AP x DV = 32.50 x 25.63 µm); at stage II, by treatment AE (66.95 x 55.44 µm) and at stage III, by treatment CF (60.37 x 56.71 µm).The quickest of attainment time of plantigrade stage was found on treatment CF (days 19,2) and at longest on treatment BD (days 28,28). The highest of relative growth was found at treatment CE (681.44 x 566.34 µm) and 15,000 cells ml-1 density.

Keywords: Pinctada maxima; larvae; spat; life foods; survival rate; growth.

Pendahuluan

Mikroalga merupakan sumber pakan utama bagi bivalvia (Knauer and

Southgate 1999). Flagelata berukuran kurang dari 10 mikron merupakan jenis pakan

hidup yang paling disukai larva tiram mutiara. Beberapa jenis mikroalga yang umum

diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/Monochrysis

lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp.

Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis

alga tersebut. Namun jenis flagelata yang paling penting untuk pakan stadia awal

larva adalah I. galbana (Klas: Haptophyceae) dengan ukuran sekitar 3–5 μm.

(Alagarswami et al. 1987; Dharmaraj et al. 1991). Larva Pteria sterna dapat diberi

pakan Nannochloris sp, Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum

(37)

Dunaliella salina, Tetraselmis tetrahele, Tetraselmis suecica. Namun mikroalga yang

dapat dicerna oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis

galbana (Martinez-Fernandez et al. 2004).

Preferensi larva terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan spesies.

Masing-masing jenis tiram mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, dalam

memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, mikro alga yang

digunakan sebagai pakan larva tiram atau organisme laut lainnya, hendaknya

mempunyai ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva, cepat dicerna,

mengandung nilai nutrisi tinggi, potensial dikultur skala masal, cepat tumbuh dengan

kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Coutteau 1996; Ponis et al.

2006).

Berdasarkan pada nilai nutrisinya, berbeda spesies mikroalga mempunyai

daya dukung terhadap pertumbuhan yang berbeda pula, utamanya pada tingkat atau

stadia yang bervariasi. I. galbana mengandung PUFAs 20: 5

w

3 (7,2 mg) dan 22: 6

w

3 (4,3 mg), kandungan PUFAs sangat penting bagi perkembangan dan

pertumbuhan organisme laut dan ini hanya dapat diperoleh dari alga. Khususnya

PUFAs, merupakan komponen esensial dari membran sel semua stadia kehidupan

bivalvia moluska (Jeffrey et al. 1990). P. lutheri juga merupakan sumber asam lemak

yang baik, asam lemak yang terkandung seperti SAFA 27 mg, MUFA 8,0 mg, PUFA

72,1 mg, EPA + DHA 43,9 mg (Martinez-Fernandez et al. 2006). T. tetrathele

mempunyai kandungan asam lemak penting dari seri w6, seperti linoleic, gamma

-linolenic, dihomo-gamma-linolenic dan kandungan asam arachidonic (AA) yang

relatif tinggi. Pada spesies lain AA merupakan komponen sangat minor, sehingga

jarang dilaporkan. Kandungan asam lemak w6 seri (persen total asam lemak) yang

terdiri dari 18:2w6 sebanyak 6,5 %, 18:3w6 = 0,1 %, 20:3w6 = 0,2 % dan 20:4w6 =

2,4 % (Napolitano et al. 1990).

Melalui pemberian pakan dengan jenis yang sesuai dan dalam jumlah tepat,

diharapkan dapat meningkatkan sintasan dan laju pertumbuhan spat. Namun

sayangnya informasi dan publikasi yang berkaitan langsung dengan jadwal pemberian

pakan larva dan spat tiram mutiara P. maxima khususnya masih sangat terbatas,

(38)

pakan hidup merupakan studi pendahuluan dan akan menjadi dasar percobaan

selanjutnya.

Tujuan

Tujuan dari studi pendahuluan ini adalah untuk mendapatkan informasi

tentang jenis dan jumlah pakan yang sesuai, serta menentukan jadwal pemberian

pakan larva dan spat. Informasi hasil yang diperoleh akan menjadi dasar percobaan

pemeliharaan larva dan spat di laboratorium.

Bahan dan Metode

Kultur Pakan Hidup

Pakan hidup yang digunakan sebagai pakan adalah fitoplankton jenis

Isochrysisgalbana, Pavlova lutheri dan Tetraselmis tetrathele. Pakan disiapkan satu

bulan sebelum percobaan dimulai, dengan kepadatan 8–10 juta sel/ml. Media pupuk

kultur fitoplankton adalah formula Walne dan Hirata (Alagarswami et al. 1987;

CMFRI 1991) (Lampiran 2)

Pemeliharaan Larva

Percobaan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap I, melakukan pengkajian

terhadap perkembangan larva, aktivitas makan dan tingkat konsumsi pakan. Tahap II,

mengkaji pengaruh jenis dan densitas pakan terhadap sintasan, pertumbuhan dan

waktu pencapaian stadia larva.

Lama waktu percobaan 20 hari. Padat penebaran larva disesuaikan dengan

stadia perkembangannya, yaitu Stadia I: stadia bentuk-D sampai umbo awal (D6)

dengan kepadatan 5 ekor/ml; Stadia II: stadia umbo awal (D7) sampai umbo akhir

(D14), kepadatan 3 ekor/ml dan Stadia III: stadia umbo akhir (D15) sampai stadia

plantigrade (D20), kepadatan 2 ekor/ml (BBL 2001).

Media air laut yang digunakan untuk pemeliharaan telah melalui beberapa

tahapan proses penyaringan seperti sand filter, catrage (15, 10, 5 µm), cotton filter

dan sterilisasi ultra violet. Setiap 2–3 hari dilakukan penggantian air sebanyak 50–

(39)

Percobaan Tahap I

Percobaan tahap I merupakan dasar dari percobaan tahap II. Percobaan

dilakukan dengan menggunakan metode observasi, dilaksanakan di dalam

laboratorium dan mengkondisikan ruangan dengan pencahayaan rendah atau ruangan

tertutup.

Prosedur percobaan

Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan uji berupa larva P. maxima

stadia bentuk-D (D1). Larva diperoleh dari hasil pemijahan Induk P. maxima dengan

menggunakan kombinasi metode kejut suhu dan ekspose (CMFRI 1991; Winanto

2004). Wadah percobaan bak fiberglass ukuran 500 liter. Padat penebaran larva dan

densitas pakan (N2) dihitung berdasarkan metode volumetrik, yang merupakan hasil

perkalian volume air stok (ml)(V1) dan kepadaan stok (sel/ml)(N1), dibandingkan

dengan volume air percobaan (ml)(V2).

2 2 1

1

N

V

N

V

=

Pengamatan terhadap perkembangan larva dan aktivitas makan dilakukan

dalam satu wadah percobaan, sedangkan pengamatan terhadap tingkat konsumsi

pakan dilakukan pada wadah yang berbeda dengan volume sama. Pengamatan

dilakukan dengan menggunakan mikroskop (perbesaran 40−60 kali), jumlah sampel 10 ml.

Untuk mengetahui tahap awal perkembangan stadia larva dilakukan

pengamatan setiap jam, dimulai dari saat pembelahan sel hingga trokofor.

Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap 6 jam, mulai dari stadia awal larva (D1)

sampai stadia plantigrade (D20). Aktivitas makan diketahui melalui pengamatan

densitas pakan dalam media yang dilakukan setiap 2 jam selama 24 jam pada stadia

D1, D6, D14 dan D20.

Pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan harian dilakukan dengan

menempatkan hewan uji di dalam tiga wadah yang masing-masing diberi pakan

berbeda yaitu I. galbana (A), P. lutheri (B) dan I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %)

(C). Densitas pakan pada stadia D1–D3: 4000 sel/ml, D4–D6: 5000 sel/ml, D7–D9:

6000 sel/ml. D10–D11:7000 sel/ml. D12–D14: 8000 sel/ml. D15–D17:9000 sel/ml

dan D18–D20: 10.000 sel/ml. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari antara 5–6

(40)

Percobaan Tahap II

Rancangan percobaan

Disain percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial

(RAK-Faktorial 3 x 3). Pengelompokan berdasarkan pada stadia perkembangan larva.

Perlakuan terdiri dari 2 faktor dan masing-masing diberi ulangan 3 kali. Faktor (I)

Jenis Pakan Hidup dan (II) Densitas Pakan. Faktor I terdiri dari 3 taraf faktor, yaitu

Isochrysis galbana (A), Pavlova lutheri (B) dan Kombinasi I. galbana (50 %)+ P.

lutheri (50 %)(C). Faktor II terdiri dari 3 taraf faktor: 4000 sel/ml (D); 7000 sel/ml

(E) dan 10.000 sel/ml (F). Model linear dari rancangan yang digunakan adalah:

Y

ijkl

=

µ

+

τ

i

+

δ

j

+ (

τ

δ

)

ijk

+

β

k

+

ε

ijkl

Keterangan:

Yijkl = Respon pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j, kelompok stadia ke-k

dan ulangan ke-l.

µ = Rataan umum.

τi = Pengaruh jenis pakan ke-i.

δj = Pengaruh densitas pakan ke-j. βk = Pengaruh kelompok stadia ke-k.

(τδ)ijk = Pengaruh interaksi jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j & stadia ke-k. εijkl = Pengaruh galad pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j, stadia ke-k

dan ulangan ke-l.

Prosedur percobaan

Hewan uji berupa larva P. maxima stadia bentuk-D (D1), ditempatkan di

dalam ember berukuran 20 liter. Pakan hidup diberikan sesuai dengan perlakuan,

jumlah plankton dihitung dengan haemocytometer.

Pengambilan sampel sebanyak 10 ml dilakukan pada hari ke 6 (D6), D14 dan

D20, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40–60 kali. Jumlah

larva dihitung dengan menggunakan sadgewick rafter cell. Pengukuran panjang

antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) (Gambar 4) dilakukan dengan

(41)

Gambar 4. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) larva tiram mutiara P. maxima

Pemeliharaan Spat

Percobaan dilakukan selama 10 hari. Hewan uji yang digunakan adalah spat

P. maxima

Gambar

Tabel 1. Spesies mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna
Tabel  2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima
Gambar 6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade
Gambar 6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, ketika digunakan dalam kelompok kecil (sekitar delapan anak), Big Book memperkaya perkembangan bahasa lisan melalui membaca permodelan. Penggunaan media

Rumusan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah hasil pembelajaran menulis cerpen kelas kontrol dengan penggunaan metode ceramah pada mata pelajaran bahasa Indonesia kelas X di SMA

Pengaruh Organizational Culture Terhadap Firm Performance Melalui Learning Organization pada Sektor Non Manufaktur di Surabaya.. Jurnal

Kerapatan purun tikus dan lama kontak tidak menunjukkan perbedaan terhadap perubahan pH tanah (Tabel 1) Keadaan ini disebabkan oleh pengukuran pH tanah tidak

penelitian ini dilakukan dua pendekatan yakni membuat pirit berada dalam kondisi reduksi atau membiarkan pirit teroksidasi kemudian dilindi, namun air hasil

Justru manusia disini akan terhubung dengan Ilmu Ilahi bukan dalam level individualnya tetapi dalam esensinya yang tidak berbeda dari Ilahi, karena manusia disitu adalah imej

Berdasarkan pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh negara peserta KTT Keamanan Nuklir dalam

Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa faktor genetik berupa riwayat astigmatisma dalam keluarga dan gaya hidup yang terdiri dari kebiasaan menggunakan