• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

SRI PUJIYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ” Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal”, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 29 Februari 2008

Sri Pujiyati

(3)

SRI PUJIYATI C.526010011. The Hydroacoustic Method Approach for Interrelatedness Analysis of Sea Bottom Substrate Type with Demersal Fish Community. Supervised by Bonar P. Pasaribu, Indra Jaya, Djisman Manurung.

The sea bottom substrate has an important role for biota life in sea bottom area. Sea bottom is habitat for benthic, demersal fishes and other marine biota. Therefore, the accuracy and precision to classify the sea bottom substrate become essential.

However, data and information on sea bottom substrate type and its relation to biota, particularly demersal fishes, are scanty. This condition is caused by the used method, in general, is limited to grab method which is only covered and mapped a very limited area based on sea bottom sampling station.

Nowadays, the new method to obtain sea bottom substrate information has been developed very well, that is hydroacoustic method. Sea bottom substrate, sediments, benthic and vegetations can be accessed by using echosounder and processed digitally. The difference of sea bottom substrate types can be distinguished through the coarseness of topography and hardness of sea bottom substrate which consisted of coral, stone, sand, mud, and clay.

The research objective is to analyze the interrelatedness of sea bottom substrate type with demersal fish community by hydroacoustic method approach. Therefore, the obtained data consisted of sea bottom substrate, demersal fish, oceanographic data, and other related data. Those data were obtained from several locations, i.e. Belitung Island in the years of 2002 and 2005, Java Sea (2002 and 2005), East Borneo (2004), and around Pari Island of Seribu Islands (2007). Data processing was done by using several echo data post processing programs, namely Simrad EP-500, Echoview version 3.5 and Simrad BI-60. The hydroacoustic data of sea bottom substrates and grab sampling results were classified based on Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis. The relation between the abiotic factors and demersal fish community was overlaid descriptively over horizontal distribution map of sea bottom substrate and demersal fish species by using surfer program.

The result of bottom sounding shows that the harder the sea bottom substrate, the stronger the backscattering value. On the opposite, the softer the sea bottom substrate, the weaker the backscattering value. Based on PCA and cluster analysis, it is known that strongest backscattering strength value of sea bottom substrate is from coral substrate, followed by backscattering values from sand, muddy sand, sandy mud, and mud, which is weaker respectively. The obtained sea bottom substrate backscattering values can be applied to assess and distinguish sea bottom substrate type in other sea bottom area.

The hydroacoustic detection of demersal fishes and swept area by trawl give information of fish density higher at shallow water (<36,5 m) and have small value of fish target strength. These small fish was identified as Leiognathus splenden (“ikan pepetek”).

The relation between abiotic factors and demersal fish community in Java Sea shows that:

1) Fish species of Leiognathus splenden does not live in all sea bottom with muddy substrate. This fish was found in the muddy area in a shallow water near coastal zone. 2) Fish species of Upeneus sulphureus has high appearance frequency at all trawl swept

(4)

appeared in all trawl station. The distribution of this fish species is more or less like Upeneus sulphureus, that is in muddy substrate and the total weight of fish (swept by trawl) is gradually higher at the area more farther from coastal zone.

5) Other species was Saurida longimanus, the third most frequent species appeared in all trawl station. This fish species prefers to stay in muddy sea bottom at middle area of sea.

The conclusion can be drawn from all research results, that hydroacoustic method is an efficient and effective tool in detecting and classifying the sea bottom substrate type. Sea bottom which consisted of various substrates, such as coral, sand, muddy sand, sandy mud, and mud are each gives different backscattering strength value. In Java Sea, the abiotic factors such as sea bottom substrate types and oceanographic condition, strongly influence the distribution of demersal fish community. Relation between interrelatedness of sea bottom substrate type and demersal fish community in Java Sea showed the different pattern for five dominant fish species, namely Leiognathus splenden, Upeneus sulphurus, Nemipterus japonicus, Leiognathus bindus and Saurida longimanus.

(5)

SRI PUJIYATI. C. 526010011/TKL. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal. Dibimbing oleh Bonar P. Pasaribu, Indra Jaya, Djisman Manurung.

Substrat dasar perairan berperan penting bagi kehidupan biota yang hidup di daerah dasar perairan. Dasar perairan adalah habitat bagi bentos, ikan demersal dan juga biota laut lainnya. Oleh karena itu, akurasi dan kecermatan yang tinggi untuk mengklasifikasikan substrat dasar menjadi penting.

Namun data mengenai tipe dasar perairan dan hubungannya dengan biota, khususnya ikan demersal masih sangat kurang. Hal ini disebabkan metode yang dipergunakan secara umum terbatas pada metode grab yang hanya mampu memetakan areal yang sempit berdasarkan stasiun sampling di dasar perairan.

Dewasa ini sudah berkembang metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe substrat dasar perairan, yaitu metode hidroakustik. Substrat dasar laut, sedimen, bentos dan vegetasi dapat diakses dengan menggunakan echosounder dan diproses secara digital. Perbedaan tipe substrat dasar perairan dapat diketahui melalui kekasaran topografi dan kekerasan substrat dasar perairan yang terdiri dari karang, batu, pasir, lumpur dan tanah liat.

Penelitian ini mengkaji keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal dengan pendekatan metode hidroakustik. Oleh karena itu data yang diperoleh terdiri dari data substrat dasar perairan, data ikan demersal, data oseanografi dan data lainnya yang berhubungan. Data tersebut diperoleh dari lokasi Belitung tahun 2002 dan 2005, Laut Jawa tahun 2002 dan 2005, Kalimantan Timur 2004 dan Pulau Pari (Kepulauan Seribu) tahun 2007. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan beberapa program pengolahan data echo, yaitu Simrad EP-500, echoview versi 3,5 dan Simrad BI 60. Klasifikasi dasar perairan dilakukan berdasarkan analisis komponen utama (AKU) dilanjutkan dengan analisis pengelompokan (cluster analysis) terhadap data hidroakustik dan substrat dasar perairan hasil pengambilan dengan grab. Hubungan faktor abiotik dan komunitas ikan demersal dilakukan secara deskriptif dengan melakukan overlay peta sebaran horisontal tipe substrat, dan sebaran ikan dengan menggunakan program surfer.

Hasil dalam pendeteksian dasar perairan menunjukkan bahwa semakin keras substrat dasar perairan, maka nilai hambur balik dasar perairan yang diperoleh akan semakin kuat. Sebaliknya bila semakin lunak substrat dasar perairan, maka nilai hambur balik yang diterima semakin lemah. Berdasarkan AKU dan analisis pengelompokan dapat diketahui bahwa kekuatan hambur balik dari dasar perairan dengan substrat karang adalah paling kuat, diikuti hambur balik dari pasir, pasir berlumpur dan lumpur berpasir yang berturut-turut semakin lemah. Selanjutnya hasil klasifikasi berdasarkan nilai hambur balik dasar perairan tersebut dapat digunakan untuk menduga tipe substrat yang ada di perairan lain.

Deteksi hidroakustik dan sapuan trawl terhadap ikan demersal memberikan informasi bahwa densitas ikan demersal lebih tinggi di perairan dangkal (<36,5 m) dengan nilai Target Strength ikan tunggal yang kecil. Ikan-ikan kecil ini diidentifikasi sebagai jenis pepetek (Leiognathus splenden).

(6)

kemunculan yang tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Ikan ini ditemukan di daerah dengan substrat lumpur dan semakin menjauhi pantai jumlah berat ikan hasil sapuan trawl semakin meningkat.

3) Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan spesies dominan ketiga, spesies ini ditemukan di daerah berlumpur yang berada di tengah-tengah perairan.

4) Ikan pepetek (Leiognathus bindus) merupakan spesies kedua yang memiliki frekuensi kemunculan tinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Penyebaran spesies ini mirip dengan ikan biji nangka (Upeneus sulphurus) yaitu ditemukan di subtrat lumpur dan semakin menjauhi pantai berat sapuan semakin besar.

5) Ikan beloso (Saurida longimanus) merupakan spesies dengan frekuensi kemunculan ke tiga tertinggi di seluruh stasiun sapuan trawl. Spesies ini penghuni substrat lumpur di tengah perairan.

Hasil keseluruhan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode hidroakustik adalah instrumen yang efisien dan efektif dalam pendeteksian dan pengklasifikasian tipe substrat dasar perairan. Substrat dasar perairan yang terdiri dari karang, pasir, pasir berlumpur, dan lumpur berpasir masing-masing memberikan nilai hambur balik yang berbeda. Di Laut Jawa, faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan dan kondisi oseanografis sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan, yaitu Leiognathus splenden, Upeneus sulphurus, Nemipterus japonicus, Leiognathus bindus dan Saurida longimanus.

(7)

© Hak Cipta milk Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya tulis, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

Oleh : SRI PUJIYATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Komunitas Ikan Demersal

Nama : Sri Pujiyati

NRP : C.526010011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Ketua

Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr.Ir. Djisman Manurung, M. Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Prof. Dr.Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(10)

Ucapan syukur penulis naikkan kepada DIA yang memberikan anugerah yang melimpah. Penulis menyadari bahwa apa yang telah terjadi dalam proses disertasi ini bukan karena gagah dan kuatnya penulis, tapi karena kasih-NYA semata.

Penelitian ini merupakan hasil keikutsertaan penulis pada survei yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT) - Jakarta pada tanggal 5 September sampai 30 Oktober 2002, dilengkapi dengan data survei tahun 2002, 2005 dan 2007 yang dilakukan oleh tim Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) - Jakarta.

Penelitian ini berisikan gagasan penulis untuk memanfaatkan metode hidroakustik untuk menduga tipe substrat dasar perairan dan menganalisis hubungan antara tipe substrat dengan komunitas ikan demersal yang ada. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, sebagai ketua komisi atas bimbingan dan pengarahan, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Demikian juga kepada Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc, sebagai komisi pembimbing atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan tulisan ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terima kasih kepada Almarhum Dr. Ir. Johanes Widodo, MS, APU sebagai pembimbing semasa hidupnya,

2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, sebagai penguji tamu pada ujian tertutup atas masukan yang diberikan pada tulisan ini,

3. Dr. Ir. Chandra Nainggolan, M.Sc dan Dr. Ir. Bambang Sadhotomo, M.S, sebagai penguji tamu pada ujian terbuka atas masukan dan ide-ide cemerlang untuk kelanjutan penelitian ini,

4. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.S dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.S selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB,

5. Prof. Dr. Daniel M. Monintja, atas perhatian dan dorongan semangat yang beliau berikan selama studi,

6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, atas ijin yang diberikan untuk melanjutkan program doktor,

(11)

9. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB dan staf yang memberikan semangat dan bantuannya.

10. Teman-teman seperjuangan Ir. Diniah, M.S; Rusyadi, SH., MH; Dr. Nurjanah; Dr. Priyanto Rahadjo, M.Sc.; Dr. Nyoman I. S.; Dr. Moh. Imron; Dr. Simon; Dr. Asmika; Dr. Linda; Erina Hertanti, M.Si dan teman-teman yang terus berbagi semangat.

Penulis juga memberikan penghargaan dan ucapan terma kasih kepada suami tercinta Ir. Arif Prayitno Santoso dan kedua anak Ariel Hananya, Adiel Kurnia Bakti atas keiklasannya untuk berkorban, berbagi, mendorong dan berdoa tanpa henti hingga selesainya tulisan ini. Tak lupa kepada keluarga besar Bapak Ibu Wagiman Mardisutrisno, Ibu Dyahsih Anti, Keluarga Ir. Agung Prasetsyo, MT yang selalu berdoa dan memberikan dukungan yang luar biasa.

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak kan retak, oleh karena itu perbaikan dan penelitian selanjutnya masih terus dikembangkan dan dilakukan, dengan harapan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Bogor, 29 Februari 2008

(12)

Penulis lahir di Purworejo, 21 Oktober 1967, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara pasangan Bapak Wagiman Mardi Sutrisno dan Ibu Saikem. Pada tahun 1990 penulis lulus dari Fakultas Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dengan judul skripsi ”Suatu Deskripsi Serta Analisis Efisiensi Teknis-Ekonomis Unit Penangkapan Gemplo dan Bagan Tancap dalam Penangkapan Ikan Teri di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah”.

Pada tahun 1992 menjadi calon pegawai sipil di Fakultas Perikanan dan hingga saat ini menjadi staf pengajar di Bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...xxii

DAFTAR ISTILAH...xxiii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut ... 8

2.2 Perikanan Demersal Secara Umum ... 9

2.3 Perikanan Pemersal di Laut Jawa dan Sekitarnya ...12

2.4 Habitat dan Penyebaran Ikan Demersal ...13

2.5 Metode Hidroakustik ...14

2.6 Deteksi Ikan dengan Metode Hidroakustik ...17

2.7 Kondisi Umum di Daerah Penelitian ...20

3. TEORI PANTULAN DASAR PERAIRAN 3.1 Pantulan Gelombang Akustik dari Dasar Permukaan ...30

3.2 Atenuasi Suara dalam Sedimen...33

3.3 Kecepatan Suara Rata-rata di dalam Sedimen...35

3.4 Echo Sounding pada Dasar Laut ...36

3.5 Program Pengklasifikasi Permukaan Dasar Perairan ...40

4. BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...41

4.2 Bahan dan Peralatan ...42

4.3 Pengambilan Data...45

4.3.1 Data Hidroakustik ...45

4.3.2 Data Sapuan Alat Tangkap Ikan ...45

4.3.3 Data Oseanografi ...45

4.4 Pengolahan Data ...45

4.4.1 Pengolahan Data Hidroakustik...45

4.4.2 Pengolahan Data Sapuan Alat Tangkap Ikan ...47

4.4.3 Pengolahan Data Oseanografi ...48

4.5 Analisis Data ...49

4.5.1 Analisis Spasial dan Selang Kelas Kedalaman...49

4.5.2 Analisis Komponen Utama (AKU) ...49

4.5.3 Analisis Kelompok ...50

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ...51

(14)

5.2.1 Nilai Hambur Balik Dasar Perairan Hasil Olahan Program EP-500 ...57

5.2.1.1 Perairan Jawa (2002)...57

5.2.1.2 Perairan Belitung (2002) ...60

5.2.2 Nilai Hambur Balik Dasar Perairan dengan Program Echoview 3.5 ...62

5.2.2.1 Perairan Laut Jawa (2005)...62

5.2.2.2 Perairan Belitung (2005) ...62

5.2.2.3 Perairan Kepulauan Seribu (2007)...64

5.3 Estimasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik ...65

5.3.1 Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II-2002)...65

5.3.2 Perairan Laut Jawa (Musim Barat-2005) ...69

5.3.3 Perairan Belitung (Musim Peralihan I-2002) ...72

5.3.4 Perairan Belitung (Musim Peralihan II-2005) ...74

5.3.5 Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) ...77

5.4 Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl ...80

5.4.1 Perairan Laut Jawa (Musim Peralihan II-2002) ...80

5.4.2 Perairan Laut Jawa (Musim Barat-2005) ...84

5.4.3 Perairan Kalimantan Timur (Musim Peralihan II-2004) ...88

6. PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian... 92

6.1.1 Batimetri... 92

6.1.2 Substrat Dasar Perairan ... 93

6.1.3 Oseanografi Perairan... 96

6.2 Hambur Balik Dasar Perairan ...101

6.3 Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan ...103

6.4 Estimasi Stok Ikan Demersal Secara Hidroakustik ...111

6.5 Estimasi Stok Ikan Demersal Hasil Sapuan Trawl...112

6.6 Hubungan antara Faktor Abiotik dan Komunitas Ikan Demersal...114

6.7 Penyebaran Ikan Demersal Berdasarkan Selang Kelas Kedalaman ...117

6.7.1 Perairan Laut Jawa...117

6.7.2 Perairan Belitung ...119

6.7.3 Perairan Kalimantan Timur ...121

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 123

7.2 Saran ...124

DAFTAR PUSTAKA ...125

(15)

1. Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005) ... 8

2. Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal ... 10

3. Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, tahun 2000 ... 12

4. Rata-rata pengukuran dan penghitungan konstanta elastis sedimen di Pasifik Utara (Hamilton (1971a) in Clay, 1982) ... 37

5. Waktu pengambilan data di lapangan ... 41

6. Kisaran suhu dan salinitas di Laut Jawa ... 54

7. Kisaran suhu dan salinitas di perairan Belitung ... 55

8. Nilai rata-rata suhu dan salinitas di perairan Laut Jawa, Belitung dan Kalimantan Timur berdasarkan selang kelas kedalaman perairan... 56

9. Nilai hambur balik dasar perairan di Laut Jawa 2002 ... 57

10. Kisaran nilai hambur balik dasar perairan di perairan Belitung ... 60

11. Nilai rata-rata hambur balik dasar di perairan Laut Jawa dan perairan Belitung.. 64

12. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di Laut Jawa ... 82

13. Spesies yang dominan di setiap selang kelas kedalaman ... 84

14. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Barat di Laut Jawa... 86

15. Spesies yang mendominan di setiap selang kelas kedalaman ... 88

16. Frekuensi kemunculan spesies pada Musim Peralihan II di perairan Kalimantan Timur... 90

17. Spesies yang mendominasi pada setiap selang kelas kedalaman ... 91

18. Perbandingan nilai rata-rata per lapisan di Laut Jawa dan perairan Belitung ... 102

19. Perbandingan panjang ikan hasil sapuan ... 113

20. Analisis selang kelas kedalaman substrat di Laut Jawa ... 120

(16)
(17)

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7

2. Aplikasi tetrahedron untuk klasifikasi tekstur (Krumbein and Sloss,

1951, dimodifikasi)... 9 3. Produksi sumberdaya ikan demersal di perairan Indonesia ... 11

4. Prinsip pengoperasian alat akustik dan pengintegrasian echo (Sumber :dimodifikasi dari http://www.frs-

scbtland.gov.uk/frs.web/delivery/displaystandalone,aspx?) ... 15 5. Echogram hasil deteksi alat hydroakustik (Sumber :

http://www.frs-scbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx) ... 16

6. Proses deteksi tipe dasar perairan yang berbeda

(Sumber : http://www.marine.questertangent.com/m_rd_oasc)... 16

7. Pengambilan data dengan menggunakan kombinasi

peralatan hidroakustik dan trawl. Sumber : http:\cg.ensmp.fr/˜ bez/catefa/ ... 19

8. Arah angin muson selama Januari dan Juli (Fieux, 1987 in sadhotomo, 2006) ... 21

9. Pergerakan arus permukaan di perairan Indonesia (Wyrtki, 1961) ... 22

10. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Laut Jawa

(Purwandani, 2001) ... 25

11. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar

(Purwandani 2001) ... 26

12. Sebaran salinitas pada empat musim di perairan Laut Jawa

(Purwandani, 2001) ... 28

13. Salinitas permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar

(Purwandani, 2001) ... 29

14. Refleksi gelombang pada dua media (Siwabessy, 2001) ... 31 15. Hubungan sudut datang dan nilai pantulan dasar pada berbagai frekuensi

(Siwabessy, 2001) ... 32

16. Hubungan sudut datang dengan pantulan dasar yang sangat kasar

(18)

18. Lokasi penelitian ... 42

19. Lintasan survei di enam lokasi studi ... 44

20. Sebaran substrat di perairan Belitung berdasarkan citra Landsat 7 ETM (2002)... 54

21. Rata-rata nilai hambur balik dasar perairan di selang kelas kedalaman ... 58

22. Sebaran nilai rata-rata hambur balik dasar perairan Laut Jawa ... 59

23. Sebaran nilai hambur balik dasar perairan (dB) pada kedalaman perairan di Laut Jawa ... 59

24. Nilai rata-rata hambur balik dasar perairan pada setiap selang kelas kedalaman ... 60

25. Sebaran hambur balik dasar perairan di perairan Belitung... 61

26. Sebaran nilai hambur balik dasar perairan pada kedalaman perairan di perairan Belitung... 61

27. Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Laut Jawa ... 62

28. Penyebaran nilai hambur balik dasar perairan Belitung ... 63

29. Penyebaran nilai hambur balik dasar pertama di perairan Kepulauan Seribu... 64

30. Penyebaran rata-rata target strength ikan demersal di perairan Laut Jawa pada Musim Peralihan II ... 65

31. Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Peralihan II di Laut Jawa ... 66

32. Rata-rata nilai target strength pada setiap selang kelas kedalaman perairan ... 67

33. Rata-rata jumlah ikan tunggal ikan demersal pada setiap selang kelas kedalaman perairan ... 67

34. Penyebaran nilai rata-rata densitas ikan demersal pada Musim Peralihan II di perairan Laut Jawa ... 68

35. Nilai densitas ikan demersal pada selang kelas kedalaman di perairan Laut Jawa saat Musim Peralihan II... 68

(19)

38. Jumlah ikan tunggal pada kisaran nilai target strength saat Musim Barat

di Laut Jawa... 70

39. Sebaran densitas ikan sepanjang lintasan pada Musim Barat di Laut Jawa ... 71

40. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas Kedalaman pada

Musim Barat di Laut Jawa ... 71 41. Penyebaran nilai rata-rata target strength ikan tunggal di perairan Belitung

pada Musim Peralihan I ... 72

42. Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap nilai target strength di

perairan Belitung pada Musim Peralihan I... 72

43. Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada

Musim Peralihan I ... 73

44. Nilai rata-rata densitas ikan demersal di perairan Belitung pada

Musim Peralihan I ... 73

45. Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada

Musim Peralihan I di perairan Belitung ... 74 46. Penyebaran nilai rata-rata target strength di perairan Belitung pada

Musim Peralihan II ... 75

47. Jumlah ikan demersal tunggal pada setiap kisaran nilai target strength

di perairan Belitung pada Musim Peralihan II ... 75 48. Nilai rata-rata target strength ikan demersal di perairan Belitung pada

Musim Peralihan II ... 75

49. Penyebaran densitas di perairan Belitung pada Musim Peralihan II ... 76

50. Rata-rata densitas ikan di setiap selang kelas kedalaman pada

Musim Peralihan I di perairan Belitung ... 76

51. Jumlah target tunggal pada setiap kisaran nilai target strength di

perairan Kalimantan Timur ... 76

52. Sebaran nilai rata-rata target strength di perairan Kalimantan Timur

pada Musim Peralihan II ... 78

53. Nilai rata-rata target strength di setiap selang kelas kedalaman di

perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II... 78

(20)

56. Total sapuan ikan demersal di perairan Laut Jawa pada

Musim Peralihan II (2002)... 81

57. Spesies ikan demersal yang mendominasi sapuan di Laut Jawa pada Musim Peralihan II (2002)... 81

58. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman ... 82

59. Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman ... 83

60. Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman ... 83

61. Total sapuan ikan demersal di perairan Jawa Musim Barat 2005 ... 85

62. Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Laut Jawa pada Musim Barat 2005 ... 85

63. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman ... 86

64. Rata-rata jumlah spesies di setiap selang kelas kedalaman ... 87

65. Rata-rata jumlah famili di setiap selang kelas kedalaman ... 87

66. Total sapuan ikan demersal di perairan Kalimantan Timur pada Musim Peralihan II (2004)... 89

67. Spesies ikan demersal yang mendominasi hasil sapuan di perairan Kalimantan Timur 2004... 89

68. Rata-rata densitas ikan demersal di setiap selang kelas kedalaman ... 90

69. Total spesies di setiap selang kelas kedalaman... 91

70. Total famili di setiap selang kelas kedalaman... 91

71. Substrat dasar Laut Jawa (A) Losse and Dwiponggo, 1977, (B) :Emery et al (1972) in Sadhotomo (2006)) ... 94

72. (a) Time-longitude plot SPL dari Januari-Desember dan (b) tahun 1990-1994 (Gaol dan Sadhotomo, 2006) ... 97

73. Potongan melintang temperatur di Laut Jawa pada waktu Musim Timur (atas) dan Musim Barat (bawah) (Gaol dan Sadhotomo, 2006). ... 98

(21)

76. Penyebaran suhu secara vertikal di perairan Selat Makasar

(Gordon, 2005) ... 100

77. Nilai hambur balik dasar dari tipe substrat ... 103

78. Hubungan nilai hambur balik dan tipe substrat ... 104

79. Nilai hambur balik pantulan pertama (atas) dan nilai hambur balik pantulan ke dua (bawah) ... 105

80. Analisis komponen utama tipe substrat... 106

81. Dendrogram grab ... 107

82. Dendrogram hidroakustik ... 108

83. Klasifikasi substrat di Laut Jawa 2005 ... 109

84. Klasifikasi substrat di perairan Belitung... 110

85. Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus splenden (pepetek) ... 115

86. Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Upeneus sulphureus (biji nangka)... 115

87. Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Nemipterus japonicus (kurisi)... 116

88. Hubungan antara substrat lumpur dan berat sapuan Leiognathus bindus (pepetek) ... 116

(22)
(23)

Absorption : merupakan proses hilangnya energi dikarenakan adanya gesekan diantara partikel-partikel batuan yang berosilasi atau pergerakan cairan dalam suatu pori-pori batuan. Proses pergesekan ini menyebabkan konversi energi getaran menjadi energi panas. Pelemahan yang disebabkan konversi energi ini disebut juga Intrinsic Antenuation.

Acoustic (Akustik) : Ilmu tentang suara, sifat dan karakteristiknya di dalam suatu medium (air).

Backscattering (hambur balik)

: Jumlah energi per satuan waktu yang dipantulkan oleh target selama transmisi suara dari transducer.

Backscattering cross section coefficient

: Koefisien dari area (penampang) yang menghamburbalikkan energi atau gelombang suara.

Backscattering volume : Perbandingan antara kekuatan intensitas

suara yang dipantulkan dengan intensitas suara yang mengenai target yang terintegrasi pada volume tertentu .

Beam (sorot) angle : Besarnya sudut yang dibentuk oleh titik-titik yang menghasilkan respon setengah sudut sorot dari sumbu utama.

(24)

Echogram : rekaman dari rangkaian gema.

Scattering : merupakan penyerapan energi yang tidak

beraturan yang disebabkan ketidakhomogenan media yang dilalui energi

tersebut.

Spherical divergence : Pelemahan energi yang disebabkan adanya sifat penyerapan energi ke segala arah dari sumber energi sehingga energi didistribusikan seperti suatu permukaan bola imaginer.

Target strength : Perbandingan antara intensitas yang

mengenai target dengan intensitas gema yang diukur pada jarak 1 meter dari target.

Transducer : Komponen dalam echosounder yang

berfungsi untuk mengubah energi listrik menjadi energi suara dan sebaliknya.

Transmission Loss : penyerapan energi yang disebabkan adanya

(25)

1.1 Latar Belakang

Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya mata rantai makanan bagi biota-biota laut lainnya. Kesuburan suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan.

Salah satu jenis makrofauna adalah ikan demersal. Ikan demersal mempunyai potensi yang seharusnya diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan potensi sumberdaya ikan demersal memberikan sumbangan terbesar ke dua setelah ikan pelagis untuk total produksi ikan di Indonesia. Selain itu ikan demersal memiliki nilai ekonomis penting, baik untuk di ekspor ke luar negeri maupun untuk konsumsi dalam negeri.

Salah satu sumberdaya ikan demersal yang memiliki potensi yang cukup besar berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) III yaitu Perairan Laut Jawa dan sekitarnya, yaitu sebesar 431,20 x 103 ton/tahun namun baru 40,18 % tingkat pemanfaatnya. Menurut Boer et al (2001) sumberdaya ikan demersal di perairan ini masih memiliki peluang pengembangannya sebesar 49,82%.

(26)

Lasem yang menghasilkan tangkapan terbanyak adalah ikan pepetek, dengan rata-rata laju tangkapan 285 kg/jam.

Penelitian-penelitian mengenai ikan demersal ini umumnya menggunakan metode swept area. Metode swept area memiliki beberapa kendala antara lain bukaan mulut jaring yang sering tidak optimal, diperlukan kapal yang berukuran besar, dan diduga menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan, sebab alat ini memiliki selektivitas yang rendah. Melihat kendala yang dimiliki oleh metode ini maka perlu dipikirkan inovasi-inovasi baru untuk menjawab permasalahan yang ada, atau dikembangkan metode lain yang sanggup melakukan eksplorasi tanpa merusak sumberdaya ikan yang ada.

Metode hidroakustik merupakan satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk dapat memberikan informasi mengenai ikan tunggal, densitas dan keberadaan ikan. Metode ini dapat melakukan pendeteksian langsung kepada target ikan dari permukaan hingga dasar perairan. Informasi yang diperoleh nantinya dapat memberikan masukan baru dalam pemetaan sumberdaya ikan demersal di setiap perairan.

Penggunaan teknologi hidroakustik semakin dikenal di dunia perikanan Indonesia, yaitu dengan adanya kerjasama antara Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta bekerja sama dengan ORSTOM (Perancis) di bawah naungan Java Sea Pelagic Fisheries Assessment Project dari tahun 1992 hingga 1997. Penelitian hidroakustik ini dilakukan di Perairan Laut Jawa namun masih terbatas dalam eksplorasi ikan pelagis.

Di Indonesia sendiri klasifikasi mengenai dasar perairan masih relatif sedikit. Wyrtki (1961) telah mengklasifikasikan tipe substrat dasar di Laut Jawa, sedangkan di wilayah yang lebih luas dan perairan yang lebih dalam masih belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan metode yang dipergunakan masih menggunakan metode sampling yang menggunakan grab, yang memiliki kelemahan hanya dapat dipergunakan dalam wilayah yang terbatas dan dangkal dengan waktu yang lama.

(27)

campurannya. Beberapa program pengolahan data yang digunakan adalah RoxAnnTM and QTC ViewTMsystems.

Penelitian mengenai klasifikasi akustik dasar dari habitat laut di perairan subtropis sudah dilakukan Freitas et al. (2003) di daerah pesisir barat Portugal, dengan menggunakan program QTC View dan RoxAnn yang memberikan hasil bahwa ada tiga kelas akustik yang teridentifikasi yaitu pasir dengan campuran sedikit lumpur dan liat, pasir halus dan Lumpur dan tiga kelompok biota bentik dengan indek keragaman dan kelimpahan yang berbeda.

Siwabessy (2001) juga telah melakukan penelitian untuk melihat hubungan tipe substrat dan biota bentik, bento pelagik dengan metode akustik yang dilengkapi program ECHO. Hasil yang diperoleh adanya empat tipe substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar dan di temukan juga empat kelompok berdasarkan komposisinya.

Alat yang dipergunakan dalam penelitian Siwabessy (2001) adalah echosounder Simrad EK-500 dengan frekuensi 12, 38, 120 KHz. Freitas et al. (2003) menggunakan frekuensi 20 dan 5000 KHz. Penggunaan alat dengan frekuensi tinggi ini karena lokasi penelitian di lokasi dangkal. Namun berdasarkan informasi dari SIMRAD (2006), frekeunsi 12 KHz sanggup untuk mendeteksi hingga kedalaman 11.000 m.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk dapat mengklasifikasikan tipe substrat dasar perairan dan sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi, yaitu dengan metode hidroakustik dan di verifikasi dengan data hasil sapuan trawl dan pengambilan contoh dengan grab di perairan dangkal di daerah tropis, dengan menggunakan peralatan Simrad EY-500 (38 KHZ), EY-60 dan EK-60 (120 KHz) serta program EP-EY-500 dan Echo View. Hasil penelitian ini juga menjawab apakah faktor abiotik memiliki hubungan dengan komunitas ikan demersal di lokasi penelitian.

(28)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis nilai hambur balik dasar perairan dari berbagai tipe substrat dan mengklasifikasinya serta menerapkan nilai tersebut untuk mengestimasi tipe substrat dasar perairan di lokasi lain.

2. Menganalisis faktor abiotik (parameter oseanografi) dari setiap habitat ikan demersal.

3. Menganalisis nilai target strength dan densitas ikan demersal hasil deteksi hidroakustik di setiap habitat.

4. Menganalisis hasil tangkapan ikan demersal dengan trawl untuk mengetahui keberadaan komunitas ikan demersal di setiap habitat. 5. Mencari hubungan antara keterkaitan faktor abiotik yaitu tipe substrat

dasar dan parameter oseanografi terhadap keberadaan ikan demersal.

1.3 Hipotesis

(1) Nilai hambur balik dasar perairan yang dimiliki oleh karang, pasir, dan lumpur sangat berbeda. Nilai hambur balik ini dipengaruhi oleh besarnya butiran partikel dari subtrat dasar perairan itu sendiri,

(2) Faktor abiotik mempengaruhi keberadaan komunitas ikan demersal.

1.4 Kerangka Pemikiran

Penentuan klasifikasi substrat dasar perairan dan sebaran sumberdaya ikan demersal dengan akurasi yang tinggi sangat di butuhkan dalam dunia kelautan dan perikanan. Hal ini di sebabkan substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna, dimana mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain.

(29)

Namun untuk mendapatkan atau menentukan jenis subsrat dasar di suatu perairan mengalami kendala yang disebabkan metode yang selama ini dipergunakan (metode grab) belum mampu memberikan informasi mengenai pemetaan dasar secara luas dan jelas. Selain itu penelitian mengenai pemetaan dasar perairan belum dikaji lebih lanjut hubungannya dengan biota-biota yang ada di dalamnya.

Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian mengenai habitat dan sumberdaya ikan demersal dengan pendekatan terpadu yaitu metode hidroakustik, dilengkapi hasil sapuan trawl, sampling grab dan parameter oseanografi. Data sapuan trawl dan grab dipergunakan sebagai verifikasi data yang diperoleh integrasi hidroakustik. Metode hidroakustik akan memberikan informasi mengenai nilai hambur balik substrat dasar perairan beserta target strength dan densitas ikan demersal. Hasil sapuan trawl akan memberikan informasi mengenai densitas dan komposisi ikan demersal, grab akan memberikan informasi mengenai tipe substrat dasar perairan, dan parameter oseanografi akan memberikan informasi mengenai penyebaran suhu, salinitas dari habitat ikan. Semua itu nantinya akan memberikan informasi mengenai faktor abiotik dan komunitas ikan demersal dan selanjutnya akan dicari hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas sumberdaya ikan demersal Gambar 1.

Tahapan yang akan dilakukan untuk menjawab permasalah di atas adalah: Tahap I. Analisis dugaan tipe substrat dasar perairan berikut sebarannya

berdasarkan hasil deteksi hidroakustik.

Dugaan tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian diperoleh dengan menggunakan nilai hambur balik dasar perairan hasil pengolahan data hidroakustik dengan program EP-500 dan Echo view. Data ini akan di analisis untuk mengetahui tipe-tipe substrat dasar perairan secara hidroakustik dan selanjutnya dipetakan untuk mendapatkan penyebarannya.

Tahap II. Analisis Faktor Oseanografi-grab dari dasar Perairan

(30)

Tahap III. Estimasi target strength dan densitas Ikan demersal

Tahapan ini dilakukan dengan pengambilan data di lapangan dengan menggunakan peralatan Split Beam Acoustic System model EY-500 dan EY-60 sepanjang lintasan kapal. Selanjutnya, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program EP-500 dan BI, kemudian dilakukan analisis untuk memetakan densitas dan target strength ikan.

Tahap IV. Identifikasi kawanan ikan demersal hasil sapuan trawl

Tahapan ini dilakukan pengoperasian alat tangkap trawl, kemudian hasil tangkapan dipisah-pisahkan sesuai jenisnya dan dilakukan identifikasi. Selain itu dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat total setiap jenis, selanjutnya dilakukan pengambilan contoh dari setiap jenis/spesies yang ada kemudian diukur panjang dan berat dari masing-masing contoh. Data ini digunakan sebagai verifikasi data hidroakustik yang diperoleh dengan alat akustik split beam transducer.

Tahap V. Keterkaitan faktor abiotik dan komunitas ikan demersal

(31)

SV bottom SV,

TS Jenis, Komposisi

ikan demersal

Suhu, Salinitas

arus perlu dilakukan pengkajian mengenai

tipe substrat dasar sebagai habitat ikan demersal dan SDI demersal

hidroakustik

Faktor Abiotik SDI demersal

Permasalahan Utama

Saran Pemecahan

Pemecahan Masalah: Pendekatan terpadu yang melibatkan metode hidroakustik, swept area dan sampling grab

[image:31.612.106.566.68.726.2]

Hasil

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Dasar perairan merupakan habitat

bagi fauna dan flora yang

keberadaannya dipengaruhi oleh tipe substrat

Data substrat dasar perairan sangat terbatas, sehingga sulit mengkaitkan tipe substrat dasar dengan keberadaan fauna bentik (khususnya SDI demersal)

Penentuan tipe substrat dasar perairan dan sebaran SDI demersal dengan akurasi yang tinggi

CTD

Trawl

Hubungan antara faktor abiotik terhadap komunitas SDI demersal Densitas

Grab

(32)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sedimen Dasar Laut

Menurut asal usul sedimen dasar laut dapat digolongkan sebagai (Wibisono, 2005):

(1) Lithogeneous : Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.

(2) Biogenous : sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri dari remah-remah tulang, gigi geligi dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro.

(3) Hydrogenous : sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga menjadi pengendapan (deposisi) di dasar laut.

(4) Cosmogenous : sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak unsur besi sehingga mempunyai respons magnetik dan berukuran antara 10 -640 m.

[image:32.612.133.471.462.701.2]

Klasifikasi sedimen dapat dilakukan berdasarkan besaran butiran seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005)

Fraksi Sedimen Partikel Ukuran Butir (mm)

Bongkahan >256 Krakal 64-256 Kerikil 4-64 Batu

Butiran 2-4

Pasir sangat kasar 1 - 2

Pasir kasar 0,5 - 1

Pasir sedang 0,25 - 0,5

Pasir halus 0,125 - 0,25

Pasir

Pasir sangat halus 0,063 - 0,125

Lumpur kasar 0,031-0,063

Lumpur sedang 0,016-0,031

Lumpur halus 0,008-0,016

Lumpur

Lumpur sangat halus 0,004-0,008

Lempung kasar 0,002-0,004

Lempung sedang 0,001-0,002

Lempung halus 0,0004-0,001

Lempung

(33)
[image:33.612.117.507.114.438.2]

Klasifikasi campuran sedimen dapat dilakukan berdasarkan komposisi partikel di dalam sedimen itu sendiri. Komposisi partikel sedimen dapat dipetakan didalam tetrahedron yang di gambarkan dalam bentuk segitiga (Gambar 2) untuk mendapatkan campuran yang pas dari komposisi yang ada.

100 % SAND

SAND

75% 25%

SILTY CLAYEY

50 % SAND SAND 50 %

MUDDY

SANDY CLAYED SANDY

SILT SANDY CLAY

25 % 75 %

SILT CLAYEY SILTY CLAY SILT CLAY

100 % 75 % 50 % 25 % 100 %

SILT CLAY

Gambar 2. Aplikasi tetrahedron untuk klasifkasi tekstur (Krumbein and Sloss, 1951, dimodifikasi)

2.2 Perikanan Demersal Secara Umum

(34)

Ikan demersal dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (1) round fish misalnya cod, haddock, hake dan (2) flat fish yang beradaptasi lebih luas dengan kehidupannya di atas dasar laut, misalnya plaice, sole dan halibut. Ikan yang hidup berdekatan dengan dasar akan beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya, memiliki modifikasi struktur dimana badan mereka terpipihkan dan kedua matanya bergeser ke satu sisi dari kepalanya. Ikan plaice (Pleuronectes platessa) adalah contoh ikan yang telah mengalami modifikasi dalam beberapa hal seperti cara berbaring di atas dasar dengan sisi kanannya di sebelah atas, warnanya yang menyesuaikan sehingga sama persis dengan lingkungan, perilaku gerakan sirip-siripnya dan sebagainya. Contoh lain adalah ikan pari dimana pemipihan terjadi pada arah yang berlawanan, dan badannya lebih simetris.

[image:34.612.99.542.422.663.2]

Ikan-ikan utama yang termasuk ke dalam kelompok ikan demersal dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil. Dua kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Namun dilihat dari nilai ekonomisnya, ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu ikan kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, bawal hitam.

Tabel 2. Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal

No. Sub kelompok Nama Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah

Barramundi, Lutjanus malabaricus L.. sanguineus Kakap merah

Giant sea perch L.. johni Kerapu Groupers Epinephelus spp. Manyung Sea catfishes Arius spp.

Polynemus spp. Senangin

Thread fins

Eleutheroneme tetradactylum Pari Rays Trigonidae Remang Murrays Muraenesex spp.

Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus Bawal hitam Black pomfret Formio niger Tiga waja Drums Scianidae Ketang-ketang Spotted Sickelfish Drepane punctata Gulamah Croackers Scianidae 1 Demersal Besar

Layur Hairtails, cutlass fishes Trichiurus spp. Pepetek Pony fishes, slip mounts Leiognathidae Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus Beloso Lizard fishes Saurida spp. Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp. Gerot-gerot Grunters, sweetlips Pomadasys spp. 2 Demersal Kecil

Sebelah Indian halibuts Psettodidae

(35)

Produksi ikan di Indonesia tahun 2002 menunjukkan hasil yang tinggi dimana Ikan pelagis kecil 1.546,33 x 103 ton (46%), diikuti ikan demersal 1.085,36 x 103,ton (32%) dan ikan pelagis besar 737,18 x 103 ton (22%) Gambar 3.

Gambar 3. Produksi sumberdaya ikan demersal di perairan Indonesia

Daerah penangkapan ikan demersal di Indonesia cukup luas, antara lain meliputi hampir seluruh perairan Paparan Sunda yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Juga di Paparan Sahul yang mencakup Laut Arafura yaitu sekitar Dolak, Tembaga Pura, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Selain itu di perairan pantai barat Sumatera mulai dari Aceh Barat, pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kesemuanya merupakan daerah penangkapan yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua perairan sampai dengan kedalaman 100 meter dengan permukaan dasar relatif rata, jenis substrat lumpur dan lumpur berpasir serta sedikit berkarang merupakan daerah penyebaran yang potensi untuk penangkapan ikan demersal, namun menurut Ridho et al (2002) informasi mengenai distribusi ikan demersal yang dikumpulkan dan dianalisis baru terbatas pada sebagian perairan Paparan Sunda, yaitu Laut Jawa dan perairan Laut Cina Selatan.

Boer et al (2001) telah melakukan pendataan pada 8 wilayah pengelolaan untuk mengetahui potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Produksi ikan x 103 ton

737.18

1546.33 1085.36

(36)

Tabel 3. Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, tahun 2000

Sumber : Boer, et al. 2001

Ridho et al (2001) telah melakukan penelitian mengenai distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Pantai Bengkulu dengan metode swept area menunjukkan bahwa total biomassa ikan demersal di setiap stasiun berkisar 50,8 – 2.336,8 kg/km2. Rhido et al (2002) juga melakukan penelitian dengan judul Distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di perairan Laut Cina Selatan, dengan metode swept area juga menunjukkan biomassa ikan demersal sebesar 214,86 – 1009,46 kg/km2 pada 19 stasiun.

2.3 Perikanan Demersal di Laut Jawa dan Sekitarnya

Kegiatan penelitian sumberdaya ikan demersal secara teratur di perairan Laut Jawa telah dimulai sejak tahun 1974 melalui kerjasama Indonesia-Jerman. Selama dasa warsa terakhir telah berkembang alat tangkap cantrang yang digunakan secara luas untuk menangkap ikan demersal, terutama di perairan utara Pulau Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sadhotomo (1990) telah melakukan penelitian di Laut Jawa dari perairan sebelah utara Madura hingga Cirebon diperoleh hasil bahwa ada dua tipe komunitas ikan demersal yaitu di sebelah Barat Tanjung Mandalika dengan dominasi subtrat lumpur banyak tertangkap Leiognathus splendens, Sciaenidae, Lactarius lactarius dan Anadontostoma. Di sebelah timur Tanjung Mandalika dengan dominansi subtrat pasir atau pasir berkarang tertangkap jenis Pentaprion longimanus, Pomadasysdae, Synodontidae dan Nemipteridae.

No. Wilayah Pengelolaan Perikanan

Luas sapuan (103 km)

Densitas (ton/km2)

Potensi (103

ton/th)

Produksi (103 ton)

Tingkat Pemanfaatan (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Selat Malaka Laut Cina Selatan Laut Jawa

Selat Makasar dan Laut Flores Laut Banda

(37)

Boer et al (2001) menyatakan bahwa potensi ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-3) yaitu perairan Laut Jawa rata-rata sebesar 178,48 x 103 ton/tahun dari tahun 1993 hingga 2000. Sumiono et al (2002) menyatakan bahwa hasil analisis penangkapan ikan demersal melelui survei trawl dengan kapal KM Mutiara IV pada bulan Juni 2000 di Perairan antara Semarang – Pekalongan dan Rembang – Lasem pada kedalaman 30 meter diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal sebesar 43,3 kg/jam dengan kepadatan stok sebesar 0,8 ton/km2.

2.4 Habitat dan Penyebaran Ikan Demersal

Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya mata rantai makan bagi biota-biota laut lainnya. Kesuburan suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan.

Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di substrat dasar perairan. Makanan ikan demersal berupa bentos, moluska maupun biota kecil lainnya.

Longhurst and Pauly (1987) menyatakan bahwa ada dua grup dari scorpaeniformes melimpah di daerah tropis, biasanya pada substrat dasar perairan yang berpasir. Sciaenidae menyukai daerah substrat yang berlumpur dan ikan snapper menyukai daerah yang berbatu-batu.

(38)

Labropoulou dan Papaconstantinou (2004) menyatakan bahwa hasil analisis dari 501 hasil tangkapan trawl dasar di Perairan Laut Aegean Utara dan Laut Thrasia (Mediterranian) menunjukkan bahwa keanekaragaman dari ikan demersal mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman perairan, dimana hubungan antara hasil tangkapan dan kedalaman memiliki koefisien regresi 0,89. Kelimpahan terbesar pada kedalaman 25 – 32 m untuk perairan Laut Aegean Utara dan 16 – 28 m untuk perairan Laut Thrasia.

Hasil tangkapan nelayan trawl komersial Soviet pada musim panas menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan demersal pada perairan dangkal (10 – 50 m) lebih besar dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam (50 – 100 m) yaitu 56,8 % dari dan 32,1 % seluruh hasil tangkapan. Pada musim dingin mengalami perubahan yaitu pada kedalaman perairan dangkal (10 - 50 m) 53,7% dari total tangkapan dan pada kedalaman perairan 50 – 100 m adalah 54,0% dari total hasil tangkapan. Ikan yang mendominasi adalah berasal dari famili Sciaenidae ( WorldFish, 2006).

WorldFish (2006) juga menyatakan hasil dugaan stok ikan demersal di Perairan Mozambik secara hidroakustik sebesar 350.000 – 400.000 ton lebih tinggi dibandingkan pendugaan stok dengan alat trawl yang hanya 100.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien efisiensi trawl dasar hanya 0,3.

2.5 Metode Hidroakustik

Prinsip dari pengoperasian alat hidroakustik ditunjukkan pada Gambar 4. Unit pengendali mengirimkan pulsa listrik dengan frekuensi tertentu dan mengatur unit transmisi yang selanjutnya akan memodulasi pulsa tersebut dan meneruskan ke transducer. Selanjutnya, transducer mengubah pulsa listrik menjadi energi akustik yang berupa sinyal bunyi dan dipancarkan ke dalam kolom air. Gelombang akustik tersebut akan merambat di dalam kolom air, dan pada saat membentur sebuah sasaran target (misal ikan, plankton atau dasar perairan) maka gelombang akustik akan dipantulkan dalam bentuk gema (echo), kemudian diterima oleh transducer yang sama untuk kemudian mengubahnya kembali menjadi energi listrik dan diteruskan ke unit penerima. Unit penerima/penguat setelah menerima dan memperkuat maka pulsa listrik akan diteruskan ke unit peraga. Unit peraga dapat menampilkan echogram.

(39)

sebagai dasar perairan yang berupa garis hitam (1), gerombolan ikan berupa jejak yang berwarna coklat (2) , plankton yang berupa jejak berwarna hijau (3).

Keras atau lunaknya dasar perairan juga akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Echogram akan menggambarkan bentuk dasar yang berbeda sesuai keras, kasarnya tipe substrat (Gambar 6).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung dari tahun 1999 – 1994 di sepanjang perairan Laut Jawa dari bagian barat hingga bagian timur dengan metode pantul dangkal, menginformasikan bahwa substrat dasar perairan sangat beragam diantaranya lumpur, lanun, lanau pasiran, pasir, lempung, lumpur pasiran, pasir lumpuran, lumpur kerikilan dan lain-lain. Beragamnya substrat ini dipengaruhi oleh daratan (PPGL 1991). Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kedalaman dan substrat dasar perairan berupa peralatan sistem akustik yaitu peralatan yang menggunakan sinyal suara dan hasil pemantulan diamati untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Contoh alat yang digunakan dalam penelitian di perairan Laut Jawa adalah Echosounder 200 KHz (Simrad EA 300 P) Echosounder 3,5/12 KHz (Raytheon), Furuno FE 6200 (Side Scan Sonar), maupun peralatan seismik pantul dangkal.

[image:39.612.154.489.424.661.2]

Gambar 4. Prinsip pengoperasian alat akustik dan pengintegrasian echo

sumber : dimodifikasi dari http://www.

(40)

Gambar 5. Echogram hasil deteksi alat hiroakustik

sumber : http://www. frs-cbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx

Gambar 6. Proses deteksi tipe dasar perairan yang berbeda Sumber : http://www.marine.questertangent.com/m_rd_oasc

Echosounder frekuensi 200 KHz SIMRAD EA 300 P merupakan alat bantu untuk mendapatkan informasi kedalaman perairan, sekaligus berfungsi sebagai koreksi geometris bagi hasil rekaman seismik. Alat ini biasanya dipasang di kedalaman dua meter dari permukaan dan memiliki tingkat ketelitian pembacaan sampai 10 cm. Hasil dari alat ini dapat dicetak pada kertas pencatat maupun disimpan dalam disket.

(41)

Furuno Model FE 680 merupakan alat yang dilengkapi dengan dua macam transducer yaitu transducer keramik 200 KHz dengan lebar beam 12 derajat dan transducer keramik 50 KHz dengan lebar beam 21-42 derajat, umumnya untuk operasi di perairan dangkal seperti Laut Jawa digunakan transducer dengan frekuensi 200 KHz untuk mendapatkan ketelitian yang optimum. Alat ini memberikan informasi mengenai kedalaman perairan dengan memancarkan daya sebesar 500 watt. Data dicetak pada kertas pencatat hingga kedalam 80 meter (Silitonga, et al 1990).

Alat seismik pantul dangkal dapat merekam hingga kedalaman 100 meter dari dasar perairan dengan cara memancarkan energi gelombang akustik tersebut yang terjadi pada bidang batas (reflector) antara dua lapisan sedimen yang memiliki karakteristik yang berbeda, dan mencerminkan pola-pola reflector tertentu. Pola-pola ini memberikan informasi tentang sebaran seismik fasies, struktur geologi, rembesan gas, dan sebagainya.

Peralatan seismik pantul dangkal dioperasikan dengan dua buah sumber seismic spark array EG dan G/267 dengan elektroda, uniboom dan air gun. Spark array dibentangkan sepanjang 25 meter dibelakang buritan kapal dan berjarak 4 meter terhadap streamer menggunakan energi 600 – 800 Joule. Air gun menggunakan tekanan 1500 - 1.750 PSI, dengan sistem perekaman dilakukan secara analog.

Klasifikasi tipe substrat dasar perairan biasanya dianalisis dari echogram bila menggunakan peralatan yang masih analog, namun dengan menggunakan alat yang lebih canggih yang bersifat digital, klasifikasi dari tipe substrat dasar perairan dapat menggunakan program pengolahan data yang dapat menunjukkan kedalaman dan dengan signal strength relativedari dasar perairan yang dapat diindikasikan dengan perbedaan warna.

2.6 Deteksi Ikan dengan Metode Hidroakustik

(42)

dari 20 – 60 meter, dengan peluang keberadaan siang dan malam relatif sama (Nugroho, 2003).

Penelitian hidroakustik juga pernah dilakukan di perairan Selat Sunda menggunakan Dual Beam sistem frekuensi 38 KHz (Pujiyati, 1996) maupun split beam system EY-500 dan EK-500 (Pasaribu et al, 2000), dari dua penelitian ini menunjukkan bahwa ikan umumnya berukuran kecil dan penyebarannya berubah pada musim yang berbeda.

Penelitian akustik untuk eksplorasi ikan demersal pernah dilakukan oleh Dickie et al (1984) untuk melihat hasil deteksi ikan demersal dengan metode akustik dual beam system dengan transduser frekuensi 50 KHz baik di laboratorium maupun di lapangan dengan menggunakan trawl, menunjukkan hasil yang signifikan untuk target yang sama, baik dalam perkiraan rata panjang ikan, rata densitas dan rata-rata dalam jumlah ikan untuk setiap penarikan (towing).

Pengamatan Engas and Ona (1990) untuk melihat distribusi ikan cod, haddock dan saithe dengan menggunakan Simrad FS 3300 menunjukkan bahwa penyebaran ikan-ikan demersal ini baik siang maupun malam tidak berbeda nyata, dimana ikan-ikan ini banyak terdapat di kolom perairan bawah dekat dasar perairan dan pada lapisan lebih atas jumlahnya akan lebih sedikit.

Manik (2006) melakukan penelitian untuk mengobservasi habitat ikan demersal dengan menggunakan echosounder frekuensi 38 kHz di perairan selatan Jawa yang menunjukkan nilai scattering volume (SV) berkisar -60,00 sampai -30,00 dB.

(43)
[image:43.792.110.685.133.375.2]

.

(44)

2.7 Kondisi Umum di Daerah Penelitian

Posisi geografis Indonesia sangat unik, berada di daerah tropis dalam posisi yang menyilang antara dua benua yaitu : Asia dan Australia dan dua Samudera yaitu : Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Posisi di titik silang ini menyebabkan kondisi laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berkembang di kedua benua dan di kedua samudera tersebut.

Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson (Monsoon). Angin muson bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, sedangkan pada satu periode lainnya angin bertiup secara mantap pula dengan arah yang berlawanan. Nontji (1993) menyatakan bahwa di Indonesia terbagi menjadi empat musim yaitu :

• Angin Musim Barat terjadi pada Bulan Desember – Pebruari dengan angin bertiup dari utara melintasi katulistiwa. Di Indonesia musim hujan.

• Musim Peralihan I terjadi bulan Maret - Mei. Angin lemah dan hujan menurun di Indonesia

• Angin Musim Timur terjadi pada Bulan Juni – Agustus. Angin dari Selatan dan Indonesia musim kemarau.

• Peralihan II terjadi musim September – Nopember.

(45)
[image:45.612.125.567.246.461.2]

Melihat frekuensi kejadian dan arahnya, komponen angin timur dan tenggara selama muson tenggara lebih besar dari barat dan barat laut selama musim yang berlawanan. Selama Musim Peralihan (Maret-Mei dan Oktober-Nopember), arah angin kelihatan lebih bervariasi sebagai indikasi dari angin lokal yang berhembus dari dan menuju daratan. Kelihatannya angin lokal terjadi karena perbedaan tekanan udara di atas laut dan darat, kadang-kadang lebih penting peranannya dari angin muson. Seperti penyataan Durand dan Petit (1995), angin daratan dapat memegang peranan penting sebagai pengatur arus selama musim pancaroba dan muson barat laut (Gambar 8).

Gambar 8. Arah angin muson selama Januari dan Juli (Fieux, 1987 in Sadhotomo,2006)

Pergerakan arus juga diatur oleh angin muson, umumnya angin yang menggerakkan arus menunjukkan pergerakan permukaan massa air saja. Hal ini digambarkan oleh Wyrtki (1961). Bulan Januari yang mewakili Musim Barat, bulan April yang mewakili Musim Peralihan I, bulan Juli mewakili Musim Timur dan bulan Oktober yang mewakili Musim Peralihan II (Gambar 9 ).

(46)

[F e b ru a ry ]

5 °

0 °

-5 °

-1 0 °

9 5 ° 1 0 0 ° 1 0 5 ° 1 1 0 ° 1 1 5 ° 1 2 0 ° 1 2 5 ° 1 3 0 ° 1 3 5 ° 1 4 0 °

95° 100° 105° 110° 115° 120° 125° 130° 135° 140°

-10° -5° 0° 5°

[ A p r i l ]

9 5 ° 1 0 0 ° 1 0 5 ° 1 1 0 ° 1 1 5 ° 1 2 0 ° 1 2 5 ° 1 3 0 ° 1 3 5 ° 1 4 0 ° - 1 0 °

[image:46.612.128.541.85.672.2]

- 5 ° 0 ° 5 °

[ J u n e ]

[October]

9 5 ° 1 0 0 ° 1 0 5 ° 1 1 0 ° 1 1 5 ° 1 2 0 ° 1 2 5 ° 1 3 0 ° 1 3 5 ° 1 4 0 ° -1 0 °

-5 ° 0 ° 5 °

C

L e g e n d :

c = c o n v e r g e n t a r e a C u r r e n t v e lo c it y :

1 2 c m / s e c

2 5 c m / s e c 3 8 c m / s e c

(47)

Pengamatan arus di perairan Laut Jawa digambarkan sebagai berikut: bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari adalah musim dingin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagan selatan. Pada saat itulah terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Pada bulan-bulan ini arus musim bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa dan Laut Flores. Pada musim ini terjadi banyak hujan di berbagai wilayah Indonesia bagian barat, sehingga terjadi banyak pengenceran salinitas yang diakibatkan oleh banyaknya hujan dan sungai-sungai yang bermuara di Laut Cina dan Laut Jawa. Pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi arus yang sebaliknya, dimana arus yang berasal dari Laut Flores masuk ke perairan laut Jawa, arus ini membawa massa air yang bersalinitas tinggi. Air yang bersalinitas tinggi ini mendorong air yang bersalinitas rendah kembali ke barat. Akibatnya isohalin 33%o menyusup masuk hingga ke tengah Laut Jawa yaitu di utara Semarang.

Adapun pergerakan arus di Selat Makasar menunjukkan sepanjang tahun arus bergerak dari Laut Sulawesi masuk ke Selat Makasar. Meski pada Musim Timur arus dari Laut Flores masuk ke selat namun tidak signifikan pengaruhnya.

(48)

kecepatan mencapai 5,00 m/dt. Massa air ini lebih dingin dengan suhu berkisar 28,00-29,00 oC, dan massa air dingin ini akan mendorong air hangat ke barat menyusuri Pantai Kalimantan.

Musim Peralihan II (Oktober), arus bergerak tidak menentu dengan kecepatan arus yang lebih kecil dibandingkan Musim Timur. Suhu perairan berkisar 28,00-29,00 oC, dimana di selatan Kalimantan lebih dingin dibandingkan di utara Pantai Jawa (Gambar 10).

Gambar 11 menggambarkan sebaran suhu dan arus di Selat Makasar. Pada umumnya sepanjang tahun di Selat Makasar, arus bergerak menuju ke arah bawah (selatan). Namun pada musim-musim tertentu terlihat massa air dari Laut Jawa maupun Laut Flores memasuki selat dan bercampur di tengah selat.

Bulan Januari penyebaran arus dan suhu di perairan Selat Makasar tidak berbeda dengan kondisi di perairan Laut Jawa, dimana arus bergerak memasuki Selat Makasar dan bertemu dengan massa air dari Laut Sulawesi, dengan kecepatan arus mencapai 4,00 m/dt. Suhu pada bagian atas dan bawah selat lebih dingin dibandingan di tengah selat, suhu berkisar dari 28,00-29,00 oC.

(49)
[image:49.612.104.542.99.674.2]
(50)
[image:50.612.101.519.73.618.2]
(51)

Gambar 12 dan 13 adalah gambaran sebaran salinitas di Perairan Jawa dan Selat Makasar. Sebaran salinitas di perairan Laut Jawa pada Musim Barat terlihat berkisar 31,00 – 33,00 psu, dimana massa air dari Laut Cina Selatan yang memiliki salinitas tinggi terlihat memasuki perairan Laut Jawa, di tengah perairan Laut Jawa terlihat massa air lebih encer, hal ini diakibatkan oleh pengenceran air hujan dan sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa.

Saat Musim peralihan I, massa air dari Laut Cina Selatan semakin jauh memasuki perairan Laut Jawa hingga di atas kota Semarang, namun secara umum sebaran salinitas lebih encer semakin terdorong ke arah timur hingga di Selat Makasar yaitu berkisar 31,00-32,00 psu.

Musim Timur kondisi salinitas tinggi mendorong massa air ke arah barat, dimana di Selat Makasar berkisar 34,00 psu sedangkan di Laut Jawa dan sekitarnya 33,5 psu dan di perairan Belitung masih berkisar 33,00 psu. Massa air ini berasal dari Laut Flores yang masuk ke perairan Laut Jawa. Massa air yang bersalinitas tinggi ini akan mendorong massa air bersalinitas rendah ke arah barat. Musim Peralihan II, salinitas berkisar 34,00 psu di Laut Jawa maupun Selat Makasar. Namun di Selat Makasar terdapat lokasi yang tidak ada datanya (kosong) dan di perairan Belitung berkisar 33,50 psu.

Penyebaran salinitas di Selat Makasar tidak jauh berbeda dengan Laut Jawa. Pada Musim Barat, massa air dari Laut Sulawesi yang memiliki salinitas 33,00 psu memasuki perairan Selat Makasar, semakin ke arah selatan maka salinitas semakin rendah. Hal ini disebabkan adanya pengenceran akibat pasokan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di pantai Timur Kalimantan.

(52)
(53)
[image:53.612.98.536.72.644.2]
(54)

3. TEORI PANTULAN DASAR PERAIRAN

Laut merupakan suatu lingkungan yang sangat kompleks baik ditinjau dari segi biotik maupun abiotik. Tak terkecuali dengan dasar perairan, dasar perairan merupakan satu medium yang dihuni oleh berbagai biota baik yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar. Demikian pula dari segi abiotik bahwa dasar perairan merupakan suatu medium dengan berbagai tipe ukuran partikel yang menyusunnya dari yang bersifat halus seperti lumpur hingga yang berukuran besar seperti batu-batuan.

3.1 Pantulan Gelombang Akustik dari Dasar Permukaan

Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap kuat atau lemahnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Secara ringkas, gelombang akustik yang terjadi pada antar muka (interface) air laut-dasar laut mencakup pantulan dan pembauran pada daerah itu dan transmisi di medium kedua. Proses ini ditentukan secara umum dengan beda impedansi akustik (Ζ=

ρ

c) antara kedua media. Pada kasus dataran yang paling sederhana, keadaan gelombang normal, koefisien refleksi tekanan akustik ℜ ditentukan sebagai (Clay and Medwin, 1977):

u u l l u u l l u l u l r i c c c c p p

ρ

ρ

ρ

ρ

+ − = Ζ + Ζ Ζ − Ζ = = ℜ

dimana pidan prmasing-masing menunjukkan tekanan gelombang datang (incident) dan terpantul (reflected), Ζadalah tahanan/impedansi akustik,

ρ

adalah densitas media, cadalah kecepatan suara, sedangkan u dan l

menunjukkan media atas dan bawah. Meskipun rumus ini didasarkan pada dan sesuai untuk interface cair, ini tetap dapat diterapkan pada interface cair-padat, dan ini adalah pendekatan yang paling sederhana untuk pendekatan antar muka (interface) air laut-dasar laut (Gambar 14).

(55)

i ϕ i r ϕ ϕ = i p r p u uc ρ l lc ρ t p t ϕ z i ϕ i r ϕ ϕ = u uc ρ l lc ρ t ϕ z i u r u t u

a) Kondisi Pertama

t r

i

p

p

p

+

=

b) Kondisi Kedua

t t i r i

t

u

u

[image:55.612.111.539.76.330.2]

u

cos

ϕ

+

cos

ϕ

=

cos

ϕ

Gambar 14. Refleksi gelombang pada dua media (Siwabessy, 2001)

Ada beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari pulsa Akustik yang datang/dikirimkan (Siwabessy, 2001):

(1) ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut-dasar laut menyebabkan pembauran permukaan dari pulsa utama,

(2) parameter akustik dari instrument,

(3) penetrasi sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran pulsa utama,

(4) arah pemantulan pada interface air laut - dasar laut akibat dari kekasaran dasar laut,

(5) keterlambatan waktu kembali yang miring karena penyebaran yang bulat dengan perubahan kedalaman,

(6) respon pembauran dari permukaan laut, gelembung-gelembung permukaan, dan lambung kapal untuk gema dasar akustik kedua,

(56)

Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transducer. Pada frekuensi rendah, pantulan dasar akustik ditentukan oleh sedimen dasar perairan yang berbeda-beda. Dasar perairan yang sangat keras memiliki pantulan dasar yang lebih kuat dari dasar perairan yang lunak. Dasar perairan yang keras memiliki pantulan lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya. Gambar 15 menggambarkan

[image:56.612.111.512.162.476.2]

hubungan kekuata

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1.  Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005)
Gambar 2. Aplikasi tetrahedron untuk  klasifkasi tekstur  (Krumbein and Sloss, 1951, dimodifikasi)
Tabel 2.  Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui CPUE ikan demersal dalam penelitian ini menggunakan hasil produksi dan trip standar selama 5 tahun, untuk data produksi alat tangkap arad di

Selama ini penelitian tentang ikan demersal hanya terbatas pada sumber daya ikannya tanpa mencoba mengkaji keterkaitannya dengan faktor lingkungan. Tulisan ini membahas tentang

(6) Untuk mendapatkan nilai densitas ikan demersal yang sinkron dengan tinggi bukaan vertikal jaring trawl, maka integrasi data akustik dilakukan pada kolom perairan sampai

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara tipe substrat dasar perairan terhadap kelimpahan epifauna serta adanya pengaruh jarak

Tujuan penelitian ini adalah mengukur nilai volume backscattering strength (SV) dan nilai surface backscattering strength (SS) berbagai tipe substrat dasar perairan di

Deskripsi Spasial Lokasi Pengambilan Data Pengambilan data kelimpahan ikan demersal dengan metode swept area dilakukan pada 30 stasiun untuk tahun 2005 dan 34 stasiun untuk

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis ikan demersal laut dalam di perairan ZEE selatan Jawa terdiri dari 220 jenis dan yang mendominasi

Analisis nilai hambur balik E1 dan E2 substrat dasar perairan dapat dilakukan dengan menggunakan metode hidroakustik, dimana E1 merupakan pantulan pertama