• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tipe Dasar Perairan terhadap Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tipe Dasar Perairan terhadap Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan 2011"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

HIDAYANTO AKBAR

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP

DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN

PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Febuari 2013

(3)

HIDAYANTO AKBAR. Hubungan Tipe Dasar Perairan terhadap Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan 2011. Dibimbing oleh Sri Pujiyati

Ikan demersal atau ikan dasar merupakan ikan yang sebagian atau seluruh hidupnya mendiami suatu perairan dimana habitatnya menempel atau 5 meter di dekat dasar perairan. Tipe dasar perairan atau substrat dasar berpengaruh terhadap sebaran jenis ikan demersal. Substrat dasar berperan penting untuk tempat tinggal, mencari makan, dan reproduksi ikan demersal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan hubungan tipe dasar perairan terhadap distribusi ikan demersal dengan menggunakan data survei akustik dan hasil tangkapan ikan demersal nelayan setempat sebagai verifikasi jenis ikan (species). Penelitian ini menggunakan data hasil survei Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 8-12 Oktober 2011 di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan mulai bulan April sampai September 2012 di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dan Laboratorium Akustik Keluatan, Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan perangkat BioSonics dengan tipe tranduser split beam frekuensi operasi 201 kHz. Pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak echoview 4.0 untuk menghasilkan nilai backscattering volume dasar perairan (E1 dan E2) dan ikan demersal. Analisis data dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana dan analisis komponen utama (AKU), dan selang kelas kedalaman.

(4)

© Hak cipta milik Hidayanto Akbar, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

(5)

HIDAYANTO AKBAR

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Nama Mahasiswa : Hidayanto Akbar

Nomor Pokok : C54080057

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si NIP. 19671021 199203 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

(7)

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Tipe Dasar Perairan terhadap Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan 2011” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta (Budi Sumarno dan Sri Astuti), kakakku Mba Asih dan Mas Anti beserta ponakanku Aghi, kedua adikku Rahmawati dan Taufik R. yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian serta dukungan baik secara moril maupun materil.

2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Pembimbing Akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen ITK.

4. M. Natsir, S.Pi, M.Si, Rodo Manulu, S.Pi dan seluruh staf Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) atas bantuan dan bimbingannya selama pengolahan data hidroakustik.

5. Sri Ratih Deswati, S.Pi, M.Si dan Asep Mamun, S.Pi atas bantuan selama proses pengolahan data.

6. Nurlela Herlinawati rekan penelitian, Suhaidi, Saifur Rohman, S.Ik dan ITK 45, terima kasih atas dukungan dan perjuangan selama berada di ITK. 7. Janti, Bento, Caca, Tiaz, Ali, Adit, Yogi, Amri, Tedi, Ichsan, Feris atas

kebersamaannya dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini serta skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Febuari 2013

(8)

Halaman

2.TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Deteksi Ikan Demersal dengan Metode Hidroakustik ... 4

2.2. Deteksi Tipe Dasar Perairan dengan Metode Hidroakustik ... 5

2.3. Ikan Demersal ... 7

2.4. Klasifikasi Dasar Perairan (Bottom Classification) ... 8

2.5. Sistem Akustik Beam Terbagi (Split Beam Acoustic System) ... 11

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Volume Backscattering Dasar Perairan First Bottom (E1) ... 24

4.2. Volume Backscattering Dasar Perairan Second Bottom (E2) ... 28

4.3. Volume Backscattering Dasar Perairan ... 31

4.4. Sebaran Data Akustik untuk Ikan Demersal ... 38

4.5. Hasil Tangkapan Pelabuhan Pangkajene ... 41

4.6. Verifikasi Hasil Tangkap terhadap Data Akustik ... 42

4.6. Hubungan Sv Ikan terhadap Kedalaman dan E1 ... 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 46

(9)
(10)

Halaman

1. Geometri echo dasar perairan secara akustik ... 10

2. Klasifikasi berbagai jenis substrat dasar berdasarkan nilai E1 dan E2 ... 11

3. Lokasi Penelitian ... 15

4. Diagram alir pengolahan data ... 17

5. Diagram alir proses integrsai Svikan, E1 dan E2 ... 19

6. Sebaran vertikal E1 terhadap kedalaman perairan ... 25

7. Sebaran horizontal E1 terhadap lintasan ... 26

8. Sebaran vertikal E2 terhadap kedalaman perairan ... 29

9. Sebaran horizontal nilai E2 terhadap lintasan ... 30

10. Kontur E1 pada lokasi penelitian ... 34

11. Kontur E2 pada lokasi penelitian ... 34

12. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan nilai E2 dan E1 ... 36

13. Sebaran tipe substrat di lokasi penelitian ... 37

14. Sebaran vertikal Sv ikan terhadap kedalaman perairan ... 38

15. Sebaran horizontal Sv ikan terhadap lintasan ... 39

16. Persentase hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Pangkajene Oktober 2011………..42

(11)

Halaman

1. Penelitian tentang nilai acoustic bakcscattering strength dasar perairan ... 6

2. Jumlah tangkapan ikan demersal di Perairan Sulawesi Selatan (2011) ... 8

3. Setting BioSonics ... 16

4. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan E1 dengan keberadaan pada lintasan ... 26

5. Rata-rata E1 serta tipe substrat pada kedalaman yang berbeda ... 28

6. Rata-rata E2 pada kedalaman yang berbeda ... 31

7. Selang nilai E1 dan E2 serta tipe substrat ... 32

8. Rata-rata Sv ikan ikan pada kedalaman berbeda ... 41

(12)

Halaman

1. Tranduser BioSonics Split Beam ... 51

2. Tampilan Echogram ... 52

3. Rata-rata nilai E1, E2, dan Sv ikan pada setiap lintasan ... 56

4. Contoh data hasil integrasi echogram pada echoview 4.0 ... 58

(13)

1.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim terbesar ke-3 di dunia, dua pertiga Negara Indonesia merupakan lautan. Hal ini memungkinkan Indonesia memiliki sumberdaya alam laut yang tinggi, hal tersebut ditunjukkan dengan volume produksi perikanan tangkap tahun 2010 tercatat sebesar 5.384.418 ton. Volume produksi ini naik 5,41% dibandingkan dengan volume produksi tahun 2009. Peningkatan ini disebabkan karena naiknya volume produksi perikanan tangkap di laut sebesar 4,72%. Data produksi perikanan tangkap tahun 2010 tersebut

menunjukkan bahwa sebanyak 10,10% didaratkan di Pantai Selatan Sulawesi (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2011).

Pengetahuan mengenai sumberdaya laut merupakan hal penting, baik sumberdaya biotik dan abiotik. Setiap sumberdaya laut tersusun dalam suatu ekosistem dengan karakteristik interaksi tertentu. Interaksi antar ekosistem ini membentuk suatu keseimbangan lingkungan laut. Keterkaitan antar interaksi dari ekosistem laut dapat saling mempengaruhi, seperti interaksi ikan demersal (ikan dasar) terhadap sedimen (dasar perairan). Jenis substrat dasar perairan juga

berpengaruh terhadap sebaran jenis ikan demersal dalam suatu perairan (Siswanto, 2008).

(14)

menjadi bahan-bahan organik yang kemudian dimanfaatkan bagi

organisme lain. Ikan demersal sebagai makrofauna juga sangat bergantung pada substrat dasar perairan, hal ini disebabkan karena ikan demersal banyak

mengambil makanan di substrat dasar perairan. Makanan ikan demersal berupa bentos, moluska maupun biota kecil lainnya yang berada pada substrat dasar perairan (Pujiyati, 2008).

Salah satu cara mengetahui karakteristik lautan dengan cara mempelajari bentuk atau karakteristik dasar perairan itu sendiri. Salah satunya dengan

mempelajari tipe-tipe substrat dasar perairan yakni berupa pasir, lumpur, pasir berlumpur, lumpur berpasir. Beberapa ikan lebih menyukai terumbu karang sebagai tempat hidupnya, namun ada beberapa ikan yang lebih menyukai substrat pasir atau lumpur sebagai tempat hidupnya. Pada substrat pasir atau lumpur terdapat berbagai jenis bentos yang hidup di dalamnya (Wibisono, 2005 dalam Nugraheni, 2011)

Metode hidroakustik merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi tentang objek dibawah air dengan cara pemancaran gelombang suara dan

mempelajari echo yang dipantulkan. Metode hidroakustik mampu mengetahui kelimpahan ikan demersal dan jenis susbtrat dasar perairan. Hubungan antara substrat dasar perairan dan ikan demersal dapat dilakukan dengan metode hidroakustik. Penelitian yang menghubungkan dasar perairan dan ikan demersal antara lain hubungan habitat dengan volume backscattering strength ikan demersal (Ginting, 2010). Hubungan antara distribusi ikan demersal, makrozoobentos, dan susbtrat di perairan Selat Malaka (Nugraheni, 2011).

(15)

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengajukan judul hubungan tipe dasar perairan terhadap distribusi ikan demersal di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan tahun 2011.

1.2.Tujuan

(16)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deteksi Ikan Demersal dengan Metode Hidroakustik

Eksplorasi ikan demersal dapat terbagi menjadi dua metode yakni dengan menggunakan alat tangkap dan metode hidroakustik. Eksplorasi ikan demersal dapat dilakukan dengan alat tangkap, antara lain trawl, gill net dasar, cantrang, purse seine, dll. Penggunaan alat tangap dalam pendugaan eksplorasi ikan

demersal masih memiliki kendala. Kendala yang dimiliki oleh pengoperasian alat tangkap ini adalah bila harus dioperasikan di perairan yang luas dan dalam akan membutuhkan kapal yang besar maupun waktu operasional yang lama (Pujiyati et al., 2007).

Metode hidroakustik sangat baik digunakan dalam potensi sumberdaya perikanan karena memiliki keunggulan komperatif. Keunggulan dari metode tersebut adalah pendugaan stok ikan secara langsung (direct estimation), tanpa percobaan tagging dan berkecepatan tinggi (great speed). Keunggulan lain metode ini adalah mencakup wilayah yang sangat luas dengan ketepatan dan ketelitian yang tinggi, memperoleh dan memproses data secara real time. Selain itu, metode hidroakustik tidak berbahaya bagi pemakai maupun target serta dapat digunakan jika metode lain tidak dapat digunakan (Munawir, 2006).

Deteksi ikan demersal dengan menggunakan hidroakustik dapat diketahui dengan nilai target strength dan backscattering volume. Menurut Ginting (2010) Sv ikan demersal akan semakin menurun dengan semakin bertambahnya

(17)

dangkal dari 50 meter, sedangkan ikan lebih besar cenderung berada di perairan yang kedalaman lebih dari 50 meter. Makrozoobentos merupakan faktor yang lebih berpengaruh terhadap jumlah total ikan karena perubahan tipe substrat cenderung kurang mengakibatkan perubahan yang signifikan pada jumlah total ikan demersal.

Nilai Sv ikan pada kedalaman dasar perairan kurang dari 5 meter yaitu pada daerah dekat pantai lebih besar dibandingkan Sv ikan pada kedalaman lebih dari 5 meter yang lebih ke lepas pantai. Hal ini disebabkan karena daerah pantai dan mendekati pantai merupakan daerah yang subur, akibat nutrien yang terbawa oleh arus sungai yang mampu mencapai daerah tersebut sehingga terdapat lebih banyak persediaan makanan (Ginting, 2010).

2.2 Deteksi Tipe Dasar Perairan dengan Metode Hidroakustik

Teknik echosounder single beam akustik untuk klasifikasi dasar perairan telah banyak dilakukan, baik digunakan untuk pengukuran yang berhubungan khususnya dengan tipe substrat (Siwabessy, 2005). Teknik akustik ini digunakan sebagai pelengkap dari sistem berbasis satelit udara, karena ketika didalam perairan terdapat faktor pembatas seperti kedalaman air dan kekeruhan yang membatasi ruang lingkup penginderaan optik.

Metode akustik untuk klasifikasi dasar perairan menggunakan sinyal hambur balik (acoustic backscatter) untuk menduga kekerasan (hardness/E2) dari dasar laut, dan pengukuran terhadap waktu lamanya echo kembali untuk

(18)

Kekasaran permukaan dasar laut merupakan variabel penting dalam

kaitannya dengan intensitas backscatter akustik dengan frekuensi tinggi. Pengaruh dari kekasaran pada intensitas backscatter bervariasi tergantung tipe, magnitudo, dan orientasi dari kekasaran dasar perairan (Flood and Ferrini, 2005).

Bentuk echo yang dipantulkan akan sangat bergantung dengan kekerasan dan kekasaran dasar laut. Permukaan sedimen yang kasar akan memantulkan energi hambur balik yang lebih dibandingkan pada permukaan sedimen yang halus, sehingga permukaan yang lebih kasar akan menghasilkan puncak yang rendah dan ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan permukaan sedimen yang halus dengan komposisi yang sama (Siwabessy, 2005).

Hubungan lain yang dapat dijelaskan antara kekasaran (roughness/E1) dan kekerasan (hardness/ E2) dapat memperlihatkan jenis atau tipe sedimen yang terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras.

Penelitian mengenai dasar laut telah banyak dilakukan dengan

menggunakan metode hidroakustik. Beberapa penelitian diantaranya yang telah dilakukan Irfania (2009), Pujiyati (2008), Jayantie (2009), Oktavia (2009), Gaol (2012), dan Allo (2008), dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penelitian tentang nilai acoustic backscattering strength dasar perairan

Peneliti Lokasi

Nilai Volume Backscattering Strength (dB)

Pasir Pasir

berlumpur

Lumpur

berpasir Lumpur

Oktavia 2009 Kepulauan Pari - -17,30 - -

Irfania 2009 Peraiaran Arafura -19,53 -21,83 -22,28 -25,48

Pujiyati 2008 Perairan Babel dan Jawa -20,00 - - -35,91

Jayantie 2009 Selat gaspar -7,00 -13,00 -15,00 -23,00

Allo 2008 Perairan Pandeglang -18,05 -21,09 -27,04 -30,02

(19)

Nilai dari setiap klasifikasi berbeda-beda disebabkan beberapa faktor. Menurut Pujiyati (2008) hal ini menjelaskan bahwa nilai backscattering dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai backscattering dasar atau substrat dapat diduga adanya pengaruh dari faktor lain seperti porositas, kandungan zat organik dan biota yang berada dalam substrat. 

 

2.3.Ikan Demersal

Menurut Ilo (2009) dalam Nugraheni (2011), yang termasuk ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap dasar seperti cantrang, trawl, trammel net, rawai dasar, dan jaring klitik. Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang mendiami suatu perairan dimana habitatnya berada dekat dasar

perairan. Ikan demersal pergerakannya lamban dan aktifitas mencari makan pada malam hari. Ikan demersal dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: round fish

(misalnya ikan cod, haddock, dan hake) dan flat fish yang beradaptasi lebih luas dengan kehidupannya di atas dasar laut (misalnya ikan plaice, dan halibut). Ikan yang hidup berdekatan dengan dasar akan beradaptasi terhadap lingkungannya, memiliki modifikasi struktur, badan mereka terpipihkan dan kedua matanya bergeser ke satu sisi dari kepalanya (misalnya ikan pari) (Pujiyati, 2008).

Tipe substrat dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup didasar perairan. Ikan-ikan yang termasuk ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir. Keadaan lain yang berpengaruh adalah salinitas, dimana salinitas optimum bagi ikan demersal adalah sekitar 33‰.

(20)

tingkah laku mencari makan, secara umum ikan demersal mencari makan pada malam hari (nocturnal) dan beristirahat pada siang hari. Hasil tangkapan ikan demersal di Perairan Sulawesi Selatan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah tangkapan ikan demersal di Perairan Sulawesi Selatan (2011) Nama Indonesia Nama Ilmiah Jumlah (ton)

Bawal Hitam Formio niger 475

Bawal putih Pampus argenteus 552

Layur Trichiurus spp. 793

Pepetek Leiognathidae 5.902

Kakap Merah Lutjanus malabaricus 8.237

Kuniran Upeneus sulphureus 496

Kurisi Nemipterus spp. 4.417

Senangin Polynemus spp. 254

Kerapu Epinephelus spp. 7.116

Pari Trigonidae 1.737

(Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2012)

2.4.Klasifikasi Dasar Perairan (Bottom Classification)

Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi perairan secara umum dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS. Sinyal echo ini dapat diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan ke suatu tabel digital. Verifikasi hasil, sampel fisik dasar perairan harus diobservasi melalui penyelaman atau dengan menggunakan kamera bawah air (underwater camera) yang harus direkam bersamaan dengan pengambilan data akustik sehingga pada saat verifikasi kembali data yang ada dapat digunakan untuk membandingkan tipe dasar perairan yang belum diketahui (Burczynski, 2002).

(21)

frekuensi dan transducer beamwidth) (Burczynski, 2002). Kloser et al., (2001) dan Schlagintweit (1993) mengamati klasifikasi dasar laut dari 2 frekuensi akustik yang berbeda. Perbedaan indeks kekasaran diamati berdasarkan perbedaan dua frekuensi yang mereka gunakan. Selanjutnya, Schlagintweit (1993) menemukan bahwa perbedaan timbul dari frekuensi 40 dan 208 kHz yang disebabkan oleh perbedaan penetrasi dasar laut berdasarkan frekuensi kedalaman pada berbagai tipe dasar perairan.

Pada frekuensi rendah dimana panjang gelombang akustik lebih besar dari skala kekasaran dasar laut, dasar laut secara akustik akan tampak lembut. Di sisi lain, pada frekuensi tinggi dimana panjang gelombang akustik lebih kecil dari skala penyebaran kekasaran dasar laut, penyebaran kekasaran dapat mendominasi sinyal yang dikembalikan dan dasar laut mungkin secara akustik dianggap kasar. Sebagai tambahan, ketika dasar laut menyerap lebih sedikit energi pada frekuensi rendah dibanding frekuensi tinggi, lapisan di bawah permukaan dasar laut boleh jadi tampak secara akustik . Oleh karena itu, backscatter dasar laut dan

(22)

Sumber : Siwabessy, 2000

Gambar 1. Geometri echo dasar perairan secara akustik

Klasifikasi habitat dasar perairan meliputi penggolongan dari semua organisme yang hidup pada dasar perairan dimana memiliki hubungan yang erat dengan karateristik dari sedimen. Tentunya habitat yang hidup pada dasar perairan akan memilih daerah yang sesuai dengan karateristiknya.

Parameter echo dasar perairan bervariasi secara luas dari ping ke ping. Oleh karena variabilitas ini, perlu dilakukan penyaringan data dan mengambil suatu nilai rata-rata parameter echo dasar perairan di atas sejumlah ping.

(23)

menggambarkan karateristik dari sinyal dasar perairan yaitu (Ostrand et al., 2005):

1. Energy of the 1st bottom echo (E1) 2. Energy of the 2nd bottom echo (E2)

Ostrand et al., (2005) menerangkan hubungan antara E1 (Roughness) dan E2 (Hardness) dapat memperlihatkan jenis/tipe sedimen yang terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian besar memiliki kenampakan megaskopis (Gambar 2).

Sumber : www.BioSonics.com

Gambar 2. Klasifikasi berbagai jenis substrat dasar berdasarkan nilai E1 dan E2

2.5.Sistem Akustik Beam Terbagi (Split Beam Acoustic System)

(24)

Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi transducer yang digunakan, dimana pada echosounder ini transducer dalam empat kuadran. Menurut Simrad (1993), pada prinsipnya tranducer split beam terdiri dari empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft (buritan kapal), Port (sisi kiri kapal), dan Starboard (sisi kanan kapal).

Sistem akustik bim terbagi modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data akustik yang berfungsi secara otomatis untuk mengeliminir pengaruh R (range = depth) dan meminimalisasi pengaruh atenuasi yang disebabkan oleh frekuensi suara yang dikirim, medium yang digunakan, dan resistansi dari medium yang digunakan maupun absorbsi suara ketika merambat dalam air.

Sistem ini menggunakan transducer dimana beam yang terbentuk memiliki empat kuadran, dimana ke empat beam memiliki frekuensi yang sama. Pengiriman sinyal akustik menggunakan full beam namun penerimaan sinyal akustik secara terpisah.

Peralatan hidroakustik memiliki berbagai tipe di antaranya echosounder split beam SIMRAD EK60 yang merupakan scientific echosounder modern. SIMRAD EK60 mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan dengan echosounder lainnya, yaitu (Simrad, 1993) :

1. Sistem lebih fleksibel dan mudah digunakan,

2. Menu pemakai dan fungsi sistem menggunakan mouse sedangkan input data menggunakan keyboard,

(25)

4. Tampilan EK60 dibuat dengan menyesuaikan dengan cara kerja Microsoft Windows sehingga lebih mudah,

5. Data output dalam bentuk kertas echogram dapat dikurangi karena data yang tidak terproses tersimpan secara langsung ke hard disk.

Deskripsi detail tentang EK60 meliputi : frekuensi beam terbagi transducer tersedia dari 12~710 kHz, dapat berhubungan dengan sensor lain seperti navigasi (GPS), motion, sensor twal input, datagram output dan remote control. General Purpose Transceiver (GPT) terdiri dari transmitter dan receiver elektronika dimana receiver didesain memilki kepekaan rendah terhadap noise dan memerlukan dynamic amplitude range sebesar 160 dB, kabel ethernet antara GPT dengan komputer bisa lebih dari 100 m, mayoritas fungsi-fungsi pada echosounder berhubungan dengan software dimana penerapan algoritma pendeteksian dasar berbeda-beda untuk setiap frekuensi yang dipakai (Simrad, 1993).

(26)

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan data hasil survei Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta, yang dilaksanakan pada tanggal 8-12 Oktober 2011 dengan pengambilan lokasi di Perairan Pangkajene Sulawesi Selatan yaitu pada posisi 4°46’9” LS dan 119°28’36” BT sampai 5°1’41” LS dan 119°21’13” BT. Data yang diambil merupakan bagian dari survei rutin pendugaan sumberdaya ikan di Perairan Indonesia.

Gambar 3 menunjukkan peta lokasi dan juga memperlihatkan desain lintasan (track) pada saat pengambilan data akustik. Gambar menunjukkan bahwa pola cruise track yang digunakan adalah pola systematic parallel transect. Profil lintasan (track) kapal diolah dengan menggabungkan semua data akustik dengan menggunakan perangkat lunak echoview 4.0 sehingga diperoleh nilai lintang dan bujur, melalui menu cruise track. Tampilan peta lokasi serta lintasan hidroakustik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis.

(27)
(28)

3.2 Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan untuk pengolahan data pada penelitian ini adalah : Personal Computer (PC), Echoview 4.0 beserta Dongle, Surfer 9,

ArcMap, Minitab 16, dan Microsoft Office. Bahan yang digunakan pada penelitian adalah data akustik dan data hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Pangkajene.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Perolehan Data

Pengambilan data akustik menggunakan perangkat BioSonics dengan tipe transducer split beam. Setting alat dari BioSonics dapat dilihat pada Tabel 3. Survei akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat (15 GT). Perekaman data akustik dilakukan sepanjang lintasan (track) secara kontinu, dan diperoleh sebanyak 64 file sesuai dengan perekaman data akustik.

Tabel 3. Setting BioSonics

Spesifikasi BioSonics Setting Operasi Transmit Frekuensi (Hz) 201.000 Hz

Suhu (°C) 30 °C

Salinitas (‰) 32 ‰

pH 8 Pulse Duration (s) 0,5 ms

Sound Speed (m/s) 1542,43 meter/detik

Range (m) 1-100 meter

Absoption Koeffisien (dB/Km) 0,08472 dB/Km (Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 2012)

Data ikan demersal yang digunakan sudah dalam bentuk olahan, yaitu Microsoft Excel. Data ikan demersal merupakan hasil tangkapan dari nelayan setempat dengan alat tangkap berupa pancing rawai yang diperoleh dari

(29)

Sv Ikan Substrat (E1 dan E2)

Hubungan Tipe Dasar Perairan Terhadap Distribusi Ikan Demersal

Microsoft Excel Dongle

Ikan Substrat Hasil Tangkapan

Data Akustik

Echoview Sortir Data

(perhari)

3.3.2 Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian diolah di Laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta. Sebanyak 64 data yang diolah sesuai dengan pengambilan data akustik saat survei. Diagram alir pengolahan data akustik untuk mendapatkan hubungan tipe dasar perairan terhadap distribusi ikan demersal dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir pengolahan data

(30)

berdasarkan hari saat pengambilan data bertujuan untuk memudahkan dalam pengolahan. Penomoran lintasan dilakukan saat permulaan pengambilan data. Pengolahan data di Echoview 4.0 menghasilkan dua parameter yakni ikan demersal dan substrat dasar perairan. Kemudian hasil olahan data akustik ikan demersal dan substrat dasar perairan diolah pada Microsoft Excel, pengolahan tersebut untuk mendapatkan nilai Sv mean dari ikan demersal dan Sv mean dari dasar perairan. Data hasil tangkapan nelayan setempat diolah dengan

menggunakan Microsoft Excel untuk mendapatkan komposisi dari setiap jenis ikan. Data hasil tangkapan digunakan untuk verifikasi dengan nilai Sv ikan

demersal. Penggabungan dari nilai Sv ikan demersal dan Sv substrat perairan akan menghasilkan hubungan tipe dasar perairan terhadap distribusi ikan demersal.

(31)

Gambar 5. Diagram alir proses integrsai Sv ikan, E1 dan E2

Pada proses integrasi volume backscattering strength (SV Ikan, E1 dan E2), data yang akan diolah dan dianalisis terlebih dahulu disortir berdasarkan hari pada saat pengambilan data. Pengolahan dengan menggunakan software Echoview 4.0 beserta dongle yang disimpan dalam format *.raw. Dongle dibutuhkan agar proses integrasi melalui export dapat dilakukan. Saat membuka data, pada jendela raw variables pilih sv split beam pings untuk menganalisis nilai Sv pada saat export data.

Hal yang harus dilakukan agar data sesuai dengan informasi yang diinginkan adalah pada Echoview 4.0 pilih menu echogram kemudian pilih

variabel properties (F8) dan masukan nilai-nilai yang akan diamati. Pada distance Export dalam *.csv

Data Akustik (*raw)

Echoview Dongle

Variable Properties (F8) Echogram

Integrasi (E1, E2, dan Sv Ikan)

(32)

grid menggunakan 300 ping yang berarti pembagian ESDU (Elementary Distance Sampling Unit) berdasarkan jumlah ping dengan range grid sebesar 58,00 m.

Integrasi nilai E1 (energy of the 1st bottom echo) menggunakan range threshold sebesar 50 dB dan jarak integrasi sebesar 0,38561 meter. Integrasi nilai E2 (energy of the 2nd bottom echo), menggunakan range threshold sebesar 70 dB dan jarak integrasi secara manual dengan menggunakan parallelogram yakni membuat polygon secara manual mengikuti kontur perairan second bottom. Integrasi nilai Sv ikan dengan menggunakan range threshold sebesar 46 dB dan jarak integrasi sebesar 5 meter.

Jika data yang dibutuhkan sudah disesuaikan, maka proses selanjutnya adalah export data. Export data dilakukan dengan cara pilih echogram, pilih export, pilih analysis by cell, kemudian pilih integration. Data tersimpan dalam format *.csv berupa posisi lintang dan bujur, volume backscattering strength (SV Ikan, E1 dan E2), dan depth mean.

3.4 Analisis Data

Penyajian data hasil olahan data akustik ditampilkan dengan menggunakan Microsoft Excel, penentuan selang kelas kedalaman, regresi linear sederhana, dan analisis komponen utama. Penyajian data dengan menggunakan Micsoroft Excel ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel, penyajian grafik untuk melihat sebaran nilai E1, E2, dan Sv ikan demersal, sebaran horizontal terhadap lintasan dan sebaran vertikal terhadap kedalaman perairan.

(33)

masing-masing lintasan. Ubah kembali menjadi bentuk logaritma (dB) dari rata-rata E1, E2 dan Sv ikan dari masing-masing lintasan, dapat dilakukan dengan meggunakan cara sebagai berikut.

E1, E2, dan Sv Ikan Linear = ^ / ...(1) Rata-rata perlintasan = ∑ / ...(2) Rata-rata E1, E2, dan Sv Ikan (dB) = ∑ / ...(3) dimana n merupakan banyaknya data E1, E2, dan Ikan

Analisis perubahan nilai E1, E2, dan Sv ikan terhadap perubahan kedalaman perairan dengan membagi berdasarkan selang kelas kedalaman. Pembagian selang kelas kedalaman dengan menggunakan rumus (Nasoetion dan Barizi, 1985 dalam Pujiyati, 2008).

3,3 ...………...………...(4)

dimana n merupakan banyaknya data kedalaman (1.397 data kedalaman). Selang kelas kedalaman E1, E2 dan ikan dibagi menjadi 11 kelas dengan interval kelas 4,8 meter. Kedalaman berada pada kisaran 5,65 meter sampai 58,45 meter.

Pendugaan tipe substrat menggunakan pustaka Allo (2008) hal ini dikarenakan pada saat pengambilan data akustik tidak dilakukan pengambilan sampel jenis substrat dasar perairan pada setiap lintasan. Tipe substrat yang diperoleh mengacu dari nilai E1 dari hasil penelitian Allo (2008).

Pengolahan data untuk analisa hubungan E2 terhadap E1 dengan

(34)

memiliki satu peubah yang dihubungkan dengan satu peubah tidak bebas (Walpole, 1992). Bentuk umum dari persamaan regresi linier untuk populasi adalah

...(5)

Di mana:

Y = Variabel takbebas X = Variabel bebas a = Parameter Intercep

b = Parameter Koefisisen Regresi Variabel Bebas

Menentukan koefisien persamaan a dan b dapat dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, yaitu cara yang dipakai untuk menentukan koefisien persamaan dan dari jumlah pangkat dua (kuadrat) antara titik-titik dengan garis regresi yang dicari yang terkecil .

Pengolahan data untuk analisa hubungan dasar perairan terhadap distribusi ikan demersal menggunakan analisa komponen utama (AKU). Analisis kompoen utama digunakan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi sehingga variabel yang

jumlahnya cukup banyak akan diganti dengan variabel yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya objektivitas analisis (Andi, 2002 dalam Nugraheni, 2011). Analisis komponen utama bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda 2. Mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah yang biasanya terdiri

(35)

3. Menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi yang kecil

Pada penelitian ini analisis komponen utama digunakan untuk melihat hubungan antara distribusi ikan demersal (Sv ikan) terhadap tipe dasar perairan atau substrat (E1) serta kedalaman perairan (depth). Hasil analisis komponen utama yang dilakukan terhadap matriks korelasi menghasilkan sumbu-sumbu faktorial yang mengekstraksi secara maksimum informasi-informasi yang didapat dari parameter-parameter yang digunakan.

(36)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Volume Backscattering Dasar Perairan First Bottom (E1)

  Berdasarkan data hidroakustik yang diolah dalam penelitian ini. Perairan

Pangkajene memiliki kedalaman yang dangkal dengan kedalaman berkisar antara 5,73 m sampai 58,40 m, dengan rata-rata kedalaman di Perairan Pangkajene 35,02 m. Posisi terdangkal terdapat pada kordinat 4°45’28” LS dan 119°27’28” BT, sedangkan posisi terdalam terdapat pada kordinat 4°34’45” LSdan 119°12’44 BT. Kedalaman perairan yang diperoleh menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur, pulau-pulau kecil yang terdapat di Perairan Pangkajene menyebabkan perbedaan kedalaman perairan sehingga kedalaman menjadi bervariasi.

Data hidroakustik yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 64 lintasan. Nilai E1 (backscattering volume first bottom) menggambarkan kekasaran dasar perairan. Gambar 6 menunjukkan nilai hambur balik E1 dimana terjadi perbedaan setiap kedalaman. Nilai E1 dari Perairan Pangkajene sebesar -25,83 dB. Nilai E1 terbesar berada pada posisi 4°46’6” LS dan 119°28’35” BT dengan nilai sebesar -19,91 dB berada pada kedalaman 9 m. Nilai E1 terkecil terdapat pada posisi 4°28’10” LS dan 119°33’55” BT dengan nilai E1 sebesar -33,24 dB berada pada kedalaman 30 m.

Sebaran vertikal nilai E1 menggambarkan hambur balik terhadap

kedalaman, nilai E1 berada pada kisaran kedalaman 7 m sampai 53 m dengan nilai E1 yang bervariasi pada setiap kedalaman. Nilai E1 mengalami penurunan

(37)

nilai E1 mengalami penurunan pada kisaran nilai E1 -19,91 dB sampai -29,00 dB, meskipun ada juga nilai E1 terendah pada kisaran kedalaman 25 m sampai 45 m.

 

 

(Diolah dari Lampiran 3) 

Gambar 6. Sebaran vertikal E1 terhadap kedalaman perairan

(38)

 

(Diolah dari Lampiran 3) 

Gambar 7. Sebaran horizontal E1 terhadap lintasan

Pengklasifikasian tipe substrat di Perairan Pangkajene mengacu pada Pustaka Allo (2008), hasil penelitian yang dilakukan di Perairan Sumur,

Pandeglang Banten. Saat survei tidak dilakukan pengambilan sampel tipe substrat pada setiap lintasan sehingga tipe substrat mengacu nilai E1 yang dihasilkan pada penelitian Allo (2008). Nilai E1 untuk tipe substrat pasir di Perairan Sumur berkisar -18,05 dB sampai -20,31 dB. Tipe substrat pasir berlumpur nilai E1 berkisar -21,09 dB sampai -26,99 dB. Tipe substrat lumpur berpasir nilai E1 berkisar 27,00 dB sampai 29,97 dB. Tipe substrat lumpur nilai E1 berkisar -30,02 dB sampai -34,84 dB. Pengklasifikasikan tipe substrat dasar perairan dapat dilihat dari nilai E1 yang berkisar antara -19,71 dB sampai -33,24 dB sehingga didapat tipe susbtrat pada setiap lintasan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan E1 dengan keberadaan pada lintasan

E1 (dB) Tipe Substrat Lintasan

-19,71 sampai -21,01 Pasir 1, 2, 16 dan 35 -21,35 sampai -26,91 Pasir berlumpur 3-9, 11-15, 17-19, 30-34,

(39)

Tipe Substrat dasar perairan di Perairan Pangkajene didominsai oleh tipe substrat pasir berlumpur terdapat pada 44 lintasan. Tipe substrat lumpur berpasir terdapat pada 9 lintasan, substrat lumpur terdapat pada 7 lintasan dan substrat pasir yang terendah terdapat pada 4 lintasan.

Nilai sebaran E1 diklasifikasikan berdasarkan selang kelas kedalaman untuk menentukan nilai rata-rata E1 pada setiap kedalaman. Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata E1 terhadap selang kelas kedalaman. Nilai hambur balik pada setiap selang kelas kedalaman dapat menunjukkan bahwa nilai hambur balik berkisar pada nilai -20,39 dB sampai -28,61 dB. Nilai tersebut menunjukkan perbedaan tipe substrat pada setiap selang kelas kedalaman. Tipe substrat mengacu hasil nilai E1 dari pustaka Allo (2008). Selang kelas kedalaman 5,65 m sampai 10,45 m dengan nilai E1 -20,39 dB menunjukkan tipe substrat pasir. Selang kelas kedalaman 10,45 m sampai 15,25 m; 15,25 m sampai 20,05 m; 20,05 m sampai 24,48 m; 24,48 m sampai 29,65 m; 29,65 m sampai 34,45 m; 34,45 m sampai 39,25 m; 39,25 m sampai 44,05 m; dan 44,05 m sampai 48,85 m dengan nilai E1 berkisar antara -21,29 dB sampai -26,90 dB menunjukkan bahwa tipe substrat dasar perairan pada 8 selang kelas kedalaman tersebut pasir berlumpur. Selang kelas kedalaman 48,85 m sampai 53,65 m dan 53,65 m sampai 58,45 m, menunjukkan bahwa tipe substrat dasar lumpur berpasir. Tipe substrat yang dominan pada Perairan Pangkajene terhadap perubahan kedalaman adalah pasir berlumpur, sedangkan tipe substrat lumpur tidak terdapat di Perairan Pangkajene terhadap perubahan kedalaman.

(40)

Irfania (2009) menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar perairan yang lebih keras akan lebih besar dibandingkan nilai backscattering dasar perairan yang lunak. Menurut Pujiyati (2008) dimana nilai backscattering dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai backscattering dasar dapat diduga adanya pengaruh dari faktor lain seperti porositas, kandungan zat organik dan biota yang berada dalam susbtrat.

Tabel 5. Rata-rata E1serta tipe substrat pada kedalaman yang berbeda Selang Kelas Kedalaman (meter) E1 (dB) Tipe Substrat

5,65-10,45 -20,39 Pasir

10,45-15,25 -21,29 Pasir berlumpur

15,25-20,05 -22,43 Pasir berlumpur

20,05-24,48 -22,15 Pasir berlumpur

24,48-29,65 -22,88 Pasir berlumpur

29,65-34,45 -23,94 Pasir berlumpur

34,45-39,25 -25.42 Pasir berlumpur

39,25-44,05 -26,15 Pasir berlumpur

44,05-48,85 -26,90 Pasir berlumpur

48,85-53,65 -28,36 Lumpur berpasir

53,65-58,45 -28,61 Lumpur berpasir

(Diolah dari Lampiran 4)

4.2 Volume Backscattering Dasar Perairan Second Bottom (E2)

Nilai volume backscattering second bottom E2 merupakan nilai hambur balik kedua dari dasar perairan. Hambur balik E2 menggambarkan kekerasan dari dasar dengan nilai kedalaman 2 kali dari kedalaman hambur balik E1. Nilai rata-rata E2 dari Perairan Pangkajene -58,35 dB. Nilai E2 terbesar berada pada posisi 4°44’6” LS dan 119°22’32” BT dengan nilai sebesar -48,35 dB. Nilai E2 terendah terdapat pada posisi 4°29’39” LS dan 119°24’47” BT dengan nilai E2 sebesar -69,97 dB (Gambar 8).  

(41)

           (Diolah dari Lampiran 3)

Gambar 8.Sebaran vertikal E2 terhadap kedalaman perairan

Sebaran nilai E2 secara vertikal menggambarkan hambur balik kedua terhadap kedalaman, dapat dilihat pada Gambar 8. Nilai E2 pada perairan Pangkajene bervariasi pada setiap kedalaman, nilai E2 dominan berada pada kisaran kedalaman 24 m sampai 50 m dengan nilai E2 yang berada pada kisaran -54,00 dB sampai -59,00 dB pada setiap kedalaman, meskipun terjadi hambur balik kedua pada kedalaman 7 mdengan nilai E2 -62,37 dB dan terjadi pada kedalaman 9 mdengan nilai E2 -57,77 dB. 

(42)

dan 62-64. Lintasan 20 dan 21 memiliki nilai E2 yang rendah yaitu lebih kecil dari -70 dB (-70 dB merupakan batas vulome backscattering second bottom). Pada lintasan 59 dan 60 nilai E2 berada di kedalaman melebihi 100 meter (100 meter merupakan batas kedalaman pada tampilan echogram).

 

       (Diolah dari Lampiran 3) 

Gambar 9.Sebaran horizontal nilai E2 terhadap lintasan

Nilai sebaran E2 diklasifikasikan berdasarkan selang kelas kedalaman untuk menentukan nilai rata-rata E2 pada setiap kedalaman. Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata E2 terhadap selang kelas kedalaman. Nilai hambur balik pada setiap selang kelas kedalaman dapat menunjukkan bahwa nilai hambur balik berkisar pada nilai -56,18 dB sampai -60,35 dB, terjadi perubahan nilai pantulan yang rendah dengan perubahan nilai dari yang tertinggi dengan yang terendah sebesar 4,17 dB. Kekerasan substrat dasar bervariasi terhadap perubahan kedalaman,. Tipe substrat keras terdapat pada 6 selang kelas kedalaman yaitu 5,65 m sampai 10,45 m; 10,45 m sampai 15,25 m; 15,25 m sampai 20,05 m; 20,05 m sampai 24,48 m; dan 24,48 m sampai 29,65 m; dan 48,85 m sampai 53,65 m. Tipe substrat lunak

(43)

sampai 39,25 m; 39,25 m sampai 44,05 m; dan 44,05 m smpai 48,85 m. Kelas ke 11 atau selang kelas kedalaman 53,65 m sampai 58,45 m tidak terdapat nilai E2 dikarenakan tidak memiliki second bottom pada kedalaman tersebut.

Tabel 6. Rata-rata E2 pada kedalaman yang berbeda Selang Kelas Kedalaman (meter) E2 (dB)

5,65-10,45 -58,16

4.3 Volume Backscattering Dasar Perairan

(44)

kekerasan yang sedanag, sedangkan tipe substrat lumpur merupakan tipe substrat halus dan lunak dikarenakan memiliki nilai E1 dan E2 yang rendah.

Tabel7. Selang nilai E1 dan E2 serta tipe substrat

E1 (dB) E2 (dB) Tipe Substrat

-19,71 sampai -21,01 -54,45 sampai -62,37 Pasir -21,35 sampai -26,91 -54,41 sampai -63,83 Pasir berlumpur -27,67 sampai -28,94 -55,75 sampai -63,63 Lumpur berpasir -30,64 sampai -33,24 -65,77 sampai -69,37 Lumpur (Diolah dari Lampiran 3)

Sebaran substrat di Perairan Pangkajene dapat dilihat pada Gambar 10 yang menggambarkan sebaran nilai pantulan pertama (E1) dari dasar perairan. Sebaran nilai E1 dari dasar perairan pada daerah dekat pantai dengan posisi 5°06’00” LS sampai 4°42’00” LS memiliki nilai pantulan yang besar. Pada daerah tersebut tipe substrat yang mendominasi pasir dan pasir berlumpur dengan kisaran -21,00 dB sampai -22,50 dB. Allo (2008) menyatakan bahwa daerah pantai memiliki substrat pasir dan pasir berlumpur disebabkan memiliki kedalaman yang dangkal serta dipengaruhi oleh faktor pergerakan arus dan gelombang yang kuat. Adanya pengaruh arus dan gelombang dapat

mengakibatkan fraksi lumpur dan lumpur berpasir tidak dapat mengendap di sepanjang pantai, akibatnya pada daerah ini hampir sebagian besar didominasi oleh kedua tipe substrat pasir dan pasir berlumpur. Tipe substrat pasir tergambar dekat pantai pada posisi lintang 4°54’00” LS sampai 4°48’00” LS dengan nilai -21,00 dB, tipe substrat pasir memiliki sebaran yang sempit.

(45)

Hal berbeda terjadi pada bagian utara Perairan Pangkajene pada posisi 4°30’00” LS sampai 4°42’00” LS, semakin ke utara nilai hambur balik E1 mengalami penurunan nilai hambur balik pada kisaran -23,50 dB sampai -31,00 dB. Pada daerah tersebut memiliki tipe substrat lumpur berpasir dan lumpur. Daerah dekat pantai pada wilayah utara dan selatan menunjukkan perbedaan substrat, hal ini digambarkan dari nilai hambur balik E1 yang berbeda. Bagian selatan dekat pantai Perairan Pangkajene memiliki tipe substrat pasir dan pasir berlumpur sedangkan bagian utara dekat pantai Perairan Pangkejene memiliki tipe substrat lumpur berpasir dan lumpur, dikarenakan pada kedua daerah tersubut terjadi perbedaan kedalaman sehingga mengakibatkan perbedaan tipe substrat. Substrat lumpur berpasir dan lumpur terdapat pada perairan yang lebih dalam.

(46)

             (Diolah dari Lampiran 3)

Gambar 10. Kontur E1 pada lokasi penelitian

          (Diolah dari Lampiran 3)

(47)

Hubungan antara nilai hambur balik E1 dan E2 dapat ditunjukkan dengan analisis regresi linear sederhana. Analisis regresi linear sederhana menunjukkan bahwa peningkatan hambur balik E2 terhadap hambur balik E1 membentuk garis linear positif dengan persamaan Y = 0,85 X – 38,38 dengan kofisien determinasi 0,50 dan nilai korelasi 0,71. Nilai kofisien korelasi berkisar antara 0,7 – 1

sehingga menunjukkan bahwa hubungan kuat pada nilai hambur balik E2 terhadap hambur balik E1. Hasil persamaan tersebut mengakibatkan pada selang

kepercayaan 95% setiap kenaikan hambur balik E1 sebesar 1 dB akan menaikan hambur balik E2 sebesar 0,85 dB.

Tipe substrat dapat diterangkan dengan menggunakan hubungan antara E2 (hardness/kekerasan) dan E1 (roughness/kekasaran) (Gambar 12), semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis substrat suatu perairan berupa substrat keras dan kasar. Pada gambar terbagi menjadi 9 kuadran untuk klasifikasi tipe substrat dengan tingkat kekerasan dan kekasaran berdasarkan nilai dari E2 dan E1. Kuadran pertama (I) memiliki tipe substrat keras dan kasar dikarenakan nilai E2 dan E1 memiliki nilai yang tinggi, tipe substrat tersebut terdapat pada 24 lintasan. Kuadran kedua (II) memiliki tipe substrat dengan kekerasan yang sedang dan kekasaran yang tinggi, tipe substrat tersebut terdapat pada 5 lintasan. Kuadran ketiga (III) memiliki tipe substrat lunak dan kasar, tipe substrat tersebut tidak terdapat pada lintasan.

(48)

dan kekasaran sedang, tipe substrat tersebut tidak terdapat pada lintasan. Kuadran ketujuh (VII) memiliki tipe substrat lunak dan kasar, tipe substrat tersebut tidak terdapat pada lintasan. Kuadran kedelapan (VIII) memiliki tipe substrat lunak dan kekasaran yang sedang, tipe substrat tersebut terdapat pada 1 lintasan. Kuadran kesembilan (IX) memiliki tipe substrat lunak dan halus, tipe substrat tersebut berada pada 6 lintasan. Tipe substrat di Perairan Pangkajene adalah keras dan kasar, dikarenakan lebih dominan berada pada 24 lintasan dari 64 lintasan.

(Diolah dari Lampiran 3)

Gambar 12. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan nilai E2 dan E1

(49)

(Diolah dari Lampiran 3)

(50)

4.4 Sebaran Data Akustik untuk Ikan Demersal

Sebaran data akustik untuk ikan demersal ditunjukkan berdasarkan hambur balik ikan (backscattering volume). Nilai hambur balik ikan menunjukan nilai pantulan dari suatu kelompok ikan yang terdeteksi. Nilai rata-rata Sv ikan dari Perairan Pangkajene -63,36 dB. Nilai Sv ikan terbesar berada pada posisi 4°59’59” LS dan 119°14’26” BT dengan nilai sebesar -48,92 dB berada pada kedalaman 38 m. Nilai Sv ikan terendah terdapat pada posisi 4°45’34” LS dan 119°27’37” BT dengan nilai Sv ikan sebesar -79,74 dB berada pada kedalaman 6 m. Gambar 14 menunjukkan sebaran vertikal hambur balik ikan terhadap

kedalaman perairan. Terjadi variasi nilai hambur balik ikan terhadap

kedalamanperairan. Nilai hambur balik ikan lebih dominan berada pada kisaran kedalaman 24 m sampai 54 m dengan nilai hambur balik -55,00 dB sampai -72,00 dB. Terjadi hambur balik ikan pada kedalaman 7 m dengan nilai hambur balik -70,46 dB dan pada kedalaman 9 m dengan nilai hambur balik -60,10 dB.

    (Diolah dari Lampiran 3)

(51)

Sebaran hambur balik ikan demersal digambarkan secara horizontal berdasarkan lintasan pada Gambar 15. Masing-masing lintasan memiliki hambur balik yang berbeda, nilai hambur balik lebih dominan berada pada kisaran -60,00 dB sampai -70,00 dB. Nilai Sv ikan diklasifikasikan menjadi 2 yakni memiliki nilai Sv ikan tinggi atau Sv ikan rendah. Nilai Sv ikan tinggi (55,00 dB sampai -63,26 dB) terdapat pada 17 lintasan yaitu 2, 6-9, 11,12, 16, 19, 20, 31, 36, 39, 42, 52, 53, dan 61, dan 61. Nilai Sv rendah (-63,62 dB sampai -76,31 dB) terdapat pada 47 lintasan yaitu 1, 3-5, 10, 13-15, 17, 18, 21-30, 32-35, 37, 38, 40, 41, 43-51, 54-60, dan 62-64.

 

    (Diolah dari Lampiran 3)

Gambar 15. Sebaran horizontal Sv ikan terhadap lintasan

Nilai sebaran Sv ikan diklasifikasikan berdasarkan selang kelas kedalaman untuk menentukan nilai rata-rata Sv ikan pada setiap kedalaman. Setiap selang kelas kedalaman dapat dikatagorikan berada pada nilai Sv ikan tinggi atau rendah. Tabel 8 menunjukkan nilai rata-rata Sv ikan terhadap selang kelas kedalaman. Nilai hambur balik pada setiap selang kelas kedalaman dapat menunjukkan bahwa kisaran hambur balik pada nilai -55,65 dB sampai -67,95 dB. Terjadi perbedaan

(52)

nilai hambur balik ikan pada setiap kelas kedalaman. Kedalaman 5,65 m sampai 10,45 m memiliki nilai Sv ikan rendah dengan nilai -62,29 dB. Nilai hambur balik ikan mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman 10,45 m sampai 58,45 m dengan kisaran Sv ikan-55,65 dB sampai -67,95 dB, tetapi terjadi

peningkatan nilai hamur balik ikan pada selang kedalaman 44,05 m sampai 48,85 m dan 53,65 m sampai 58,45 m. Pada selang kedalaman tersebut terdapat scooling ikan yang mengakibatkan nilai Sv ikan menjadi meningkat.

Hambur balik tinggi terdapat pada 6 kelas selang kedalaman yaitu pada kedalaman 5,65 m sampai 10,45 m; 10,45 m sampai 15,25 m; 15,25 m sampai 20,05 m; 20.05 m sampai 24,48 m; 24,48 m sampai 29,65 m; dan 29,65 m sampai 34,45 m. Kedalaman yang memiliki hambur balik rendah terdapat pada 5 selang kelas kedalaman yaitu 34,45 m sampai 39,25 m; 39,25 m sampai 44,05 m; 44,05 m sampai 48,85 m; 48,85 m sampai 53,65 m; dan 53,65 m sampai 58,45 m. Semakin besar nilai Sv maka pengelompokkan target semakin besar, semakin kecil nilai Sv yang diperoleh maka pengelompokkan target yang terdeteksi akan semakin sedikit (Burdah, 2008).

(53)

Tabel 8. Rata-rata Sv ikan pada kedalaman berbeda Selang Kelas Kedalaman (meter) Sv Ikan (dB)

5,65-10,45 -62,29

4.5 Hasil Tangkapan Pelabuhan Pangkajene

Gambar 16 merupakan diagram pie dari persentase jumlah hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Pangkajene pada bulan Oktober 2011 dengan jumlah total hasil tangkapan sebesar 1.259 Kg. Nelayan Pangkajene merupakan nelayan kecil dan nelayan setempat, dimana lokasi penangkapan ikan di sekitar Perairan Pangkajene. Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap pacing rawai. Hasil tangkapan yang diperoleh memiliki jumlah yang sedikit.

(54)

       (Diolah dari Lampiran 5)

Gambar 16. Persentase hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Pangkajene Oktober 2011

4.6. Verifikasi Hasil Tangkapan terhadap Data Akustik

Distribusi ikan demersal di Perairan Pangkajene yang ditemukan pada kedalaman 10,45 m sampai 15,25 m memiliki nilai Sv ikan yang tinggi, sebagai ikan kakap dan jenaha (Lutjanidae) serta kerapu dan sunu (Serranidae), sesuai hasil tangkapan nelayan. Hal ini didukung pernyataan Melianawati dan Aryati (2012) bahwa ikan kakap (Lutjanus) merupakan ikan yang memiliki habitat luas. Ikan ini dapat hidup di perairan tropis dan subtropis, pada kedalaman sekitar 100 m dengan habitat terumbu karang dan juga dasar perairan berpasir. Allen dan Talbot (1985) dalam Langkasono (1998) menyatakan bahwa habitat ikan kakap (Lutjanus) umumnya dapat ditemukan disekitar perairan sekitar daerah terumbu karang (Coral reef), lagoon, dan paparan yang dangkal sampai kedalaman 60 m.

Hadisubroto dan Djamal (1992) menjelaskan bahwa jenis ikan kerapu habitat hidupnya di daerah karang bergerak tidak begitu jauh dari habitatnya,

(55)

perairan yang banyak ditumbuhi akar bahar (Gorgonian). Ikan kerapu banyak tertangkap di lokasi kapal tenggelam atau pada perairan dengan kedalaman sekitar 45 m. Nursida (2011) menyatakan bahwa dalam siklus hidupnya kerapu macan hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 m sampai 3 m, selanjutnya menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7 m sampai 40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan senja hari.

4.7. Hubungan Sv Ikan terhadap Kedalaman dan E1

Korelasi antara tipe substrat terhadap distribusi ikan demersal (E1, Depth, dan Sv ikan) dapat dianalisis dengan menggunakan analisis komponen utama (AKU). Data yang digunakan adalah data akustik yakni E1, depth, Sv ikan, dan E2.

Analisis komponen utama yang dilakukan terhadap data pengamatan di Perairan Pangkajene menunjukkan nilai keragaman data sampai 77,6%. Gambar 17 dapat dijelaskan bahwa faktor 1 memiliki nilai keragaman sebesar 53,08% dengan nilai akar ciri (eigenvalue) sebesar 2,12 dan faktor 2 memiliki nilai keragaman sebesar 24,52% dengan nilai akar ciri (eigenvalue) sebesar 0,98. Faktor 3 memiliki nilai keragaman sebesar 19,17% dengan nilai akar ciri (eigenvalue) sebesar 0,77. Sumbu faktor 1 dan faktor 2 digunakan untuk

menggambarkan peubah-peubah baru yang akan menjelaskan komponen utama karena kontribusi hasil penjumlahan antara keduanya lebih besar dibandingkan dengan penjumlahan antara faktor 1 dan faktor 3 atau faktor 2 dan faktor 3.

(56)

Legendre (1983) dalam Allo (2008) menyatakan bahwa matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Suatu korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya 0,50 sampai 1,00. Parameter yang dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran 0,50 sampai 1,00 dan jika nilainya berada diantara -0,50 sampai -0,50 tidak mempunyai pengaruh nyata baik positif ataupun negatif. Tabel 9 dapat diketahui bahwa hubungan antara Sv ikan terhadap tipe substrat (E1) dan hubungan antara Sv ikan terhadap kedalaman perairan (depth) tidak berpengaruh nyata secara positif dilihat dari nilai matriks korelasi untuk kedua hubungan yakni 0,26 dan 0,31 dimana matriks korelasi tersebut berada pada kisaran -0,50 sampai 0,50.

Korelasi antara parameter juga dapat dilihat dari kedekatan garis parameter tersebut. Gambar 17 menunjukkan Sv ikan memiliki kedekatan hubungan dengan kedalaman perairan (depth), hal ini dikarenakan kedekatan garis antara kedua parameter tersebut yang berada pada sumbu negatif faktor 2. Sv ikan dengan E1 memiliki nilai korelasi yang rendah, hal ini dapat dilihat dari kedekatan antara kedua garis yang berada pada sumbu positif (E1) dan sumbu negatif (Sv Ikan) faktor 2. E1 cenderung memilki kedekatan hubungan yang kuat dengan E2, hal ini dikarenakan kedekatan garis atara kedua parameter berada pada sumbu positif faktor 2.

Tabel 9. Korelasi antar parameter

Variable Sv Ikan E1 Depth E2

Sv Ikan 1 0,259 0,305 0,198

E1 0,259 1 0,571 0,710

(57)

(Diolah Ga

h dari Lamp ambar 17. G

iran 3)

(58)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Perairan Pangkajene memiliki kedalaman yang dangkal dengan rata-rata kedalaman 35,02 m. E1 akan mengalami penurunan semakin bertambahnya kedalaman yang menunjukkan tipe subsrat akan berubah dari kasar hingga halus. E2 bervariasi dengan bertambahnya kedalaman yang menunjukkan substrat keras terdapat di kedalaman dangkal dan kedalaman dalam, sedangkan substrat lunak ada pada kedalaman sedang.

Distribusi ikan demersal terbesar berada di kedalaman 10,45 m sampai 15,25 m dengan nilai Sv ikan sebesar -55,65 dB, menyukai tipe substrat pasir berlumpur, misalnya ikan kakap dan jenaha (Lutjanidae). Kedalaman perairan (depth) lebih mempengaruhi distribusi ikan demersal (Sv ikan) dibandingkan tipe substrat (E1), ditunjukkan dengan nilai korelasi antara depth dengan Sv ikan lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi antara Sv ikan dengan E1.

5.2. Saran

(59)

Allo O. A. T. 2008. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan instrumen hidroakustik SIMRAD EY60 di Perairan Sumur, Pandeglang-Banten. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 100 hlm.

Burczynski, J. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc. www.BioSonics.com. Burdah R. 2008. Pengukuran Densitas Ikan Menggunakan Sistem Akustik Bim

Terbagi (Split Beam) di Laut Jawa pada Bulan Mei 2006. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 95 hlm.

Flood R. D. dan Ferrini V. L. 2005. The Effect of Fine Scale Surface Rougness and Grain Size on 300 Khz Multibeam Backscatter Intensity in Sandy Marine Sedimentary Environment. Marine Geology Journal. 228: 153-172.

Gaol K. L. 2012. Pengukuran Hambur Balik Akustik Dasar Laut di Sekitar Kepulauan Seribu Menggunakan Split Beam Echosounder. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Ginting P. 2010. Hubungan Habitat dengan Volume Backscattering Strength Ikan Demersal di Perairan Sumur Banten menggunakan Instrumen Hidroakustik Simrad EY-60. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Hadisubroto I. dan Djamal R. 1992. Usaha Perikanan Pancing Tangan (Kakap Merah dan kerapu) di Desa Sungai Teluk-Bawean. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (68):37-47.

Irfania R. 2009. Pengukuran Nilai Acoustic Backscattering Strength berbagai Tipe Substrat Dasar Perairan Arafura dengan Instrumen Simrad EK60. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 57 hlm.

Jayantie R. 2009. Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Selat Gaspar dan Sekitarnya menggunakan Instrumen Simrad EK60. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 68 hlm.

Kloser, R. J., N. J. Bax, T. Ryan, A. Williams dan B. A. Baker. 2001. Remote sensing of seabed types in the Australian South East Fishery –

development and application of normal incident acoustic techniques and associated ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research 552: 475-489.

(60)

Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Perairan Sulawesi Selatan Oktober 2011. http://statistik.kkp.go.id. [27 November 2012].

Langkasono. 1998. Catatan Tentang Beberapa Aspek Biologi Ikan Kakap (Lutjanus kasmira) di Maluku Tenggara. Torani Buletin Ilmu Kelautan. 8(1):38-45.

Melianawati R. dan Aryati R. W. 2012. Budidaya Ikan kakap Merah (Lutjanus sebae). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4(1):80-88.

Munawir. 2006. Interpretasi Sebaran Nilai Target Strength (TS) dan Densitas Ikan Demersal dengan Metode Hidroakustik di Teluk Pelabuhan Ratu. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Nugraheni A. D. 2011. Hubungan antara Distribusi Ikan Demersal,

Makrozoobentos, dan Substrat di Perairan Malaka. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 67 hlm.

Nursida N. F. 2011. Polimerfisme Ikan Kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus) yang Tahan Bakteri Vibrio alginolitycus dan Toleran Salinitas Rendah serta Salinitas Tinggi. [skripsi]. Makassar. Universitas Hasanuddin. 39 hlm.

Oktavia S. 2009. Perbedaan Ketebalan Integrasi Dasar Perairan dengan Instrumen Hidroakustik Simrad EY-60 di Perairan Kepulauan Pari. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 80 hlm.

Ostrand W. D., Tracey A. G., Howlin, S. dan Robards, M. D. 2005. Habitat Selection Models For Pacific Sand Lance (Ammodytes Hexapterus) In Prince William Sound, Alaska. Washington D.C.

Penrose J.D., P.J.W. Siwabessy, A. Gavrilov, I. Parnum, L.J. Hamilton, A. Bickers, B. Brooke, D.A. Ryan dan P. Kennedy. 2005. Acoustic

Techniques for Seabed Classification. Coastal for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report 32.

Pujiyati S, Suwarso, Pasaribu B. P, Jaya I. Manurung D. 2007. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Eksplorasi Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Utara Jwa Tengah. Ichthyos. 1(7):15-20.

(61)

Schlagintweit, G. E. O. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean ’93: 214-219

(http://www.coastalcrc.com). (4 Febuari 2012).

Simrad. 1993. Simrad EP 500 (Operational Manual). Horten. Norway. 74p. Siswanto, A. Y. 2008. Sebaran Nilai Target Strength dan Densitas Ikan Demersal

di Perairan Laut Jawa (108°-106° BT) pada Bulan Mei. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 81 hlm.

Siwabessy, P. J. W. 2000. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques. Australia.

Siwabessy, P. J. W. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. The Coastal Water Habitat Mapping (CWHM) Project of the Cooperative Research Centre for Coastal Zone. Sydney. Australia

(62)
(63)

Lampiran 1. Tranduser BioSonics Split Beam

Spesifikasi Biosonics Setting Operasi

BioSonics DT-200-615-0106

Tipe Tranduser Split Beam

Serial Number Tranduser X701605

Beam Width (deg) 6,8 deg

Transmit Frekuensi (Hz) 201000 Hz Transmit Source Level (dB/UPa) 223 dB/UPa Receive Sensitivity (dB/Upa) -53,2 dB/UPa Calibration Corection Narrow (dB) 0 dB

Beam Pattern Faktor 0,001273

Suhu (°C) 30 °C

Salinitas (‰) 32 ‰

pH 8

Pulse Duration (s) 0,5 ms

Range (m) 100 m

Treshold (dB) -100 dB

Sound Speed (m/s) 1542,43 m/s

(64)

Lampiran 2. Tampilan Echogram

Echogram hambur balik pertama (first bottom)

Integrasi E1 (energy of the 1st bottom echo), maka pada data ganti nilai minimum threshold dengan -50 dB dan maximum threshold dengan 0 dB. Pada display, minimum yang digunakan sebesar -50 dB dan color display range sebesar 50. Jarak integrasi dilakukan dengan membuat dua garis pada dasar perairan, dimana garis pertama dibuat secara manual mengikuti kontur dasar perairan first bottoms ehingga akan terbentuk line 1. Garis kedua dengan menggunakan line draw tools(2) dengan memilih new editable line kemudian ganti nilai nilai multiply depth by dengan 1 dan then add dengan 0,38561 meter ke arah dalam dasar perairan dari garis pertama yaitu sesuai dengan nilai ketebalan integrasi.

(65)

Lanjutan Lampiran 2.

Echogram hambur balik kedua (second bottom)

Integrasi E2 (energy of the 2nd bottom echo), ubah nilai minimum threshold dengan -70 dB dan maximum threshold dengan 0 dB. Pada display, minimum yang digunakan sebesar -70 dB dan color display range sebesar 70. Pembentukan line second bottom dilakukan dengan menggunakan parallelogram (3) yakni membuat polygon secara manual mengikuti kontur perairan second bottom, dikarenakan tidak semua dasar perairan memiliki second bottom. Analisis second bottom sedikit berbeda, pada exclude above line pilih none dan exclude below line pilih none dikarenakan analisis second bottom dilakukan secara manual setelah membuat polygon kemudian klik kanan pilih integrate cell (catat nilai Sv mean dan depth mean).

(66)

Lanjutan Lampiran 2.

Echogram hambur balik ikan demersal

Integrasi Sv ikan nilai minimun threshold diganti dengan -80 dB dan maximum threshold dengan -34 dB. Pada display, minimum yang digunakan sebesar -80 dB dan color display range sebesar 46. Jarak integrasi ikan demersal dengan membuat line 1 menggunakan line draw tools(2) dengan memilih new editable line kemudian ganti nilai nilai multiply depth by dengan 1 dan then add dengan -0,38561, namun untuk line 2, ganti nilai multiply depth by dengan 1 dan then add dengan -5 m. Setelah garis pertama dan garis kedua terbentuk, kemudian pada echogram, variable properties (F8) pilih analysis, pada exclude above line masukkan nilai line 1 dan exclude below line masukkan nilai line 2.

(67)

Lanjutan Lampiran 2.

Echogram yang tidak memiliki hambur balik kedua (second bottom)

(68)

Lampiran 3. Rata-rata nilai E1, E2, dan Sv ikan pada setiap lintasan. 10 -4.7503 119.1337 48.85 -27.68 -58.49 -67.15 11 -4.7042 119.1812 37.22 -23.93 -56.83 -57.95 12 -4.6718 119.2132 24.44 -23.69 -55.15 -55.00 13 -4.6818 119.2277 38.68 -22.54 -54.41 -68.78 14 -4.6828 119.2662 34.54 -22.20 -56.29 -65.51 15 -4.6595 119.3107 34.37 -23.05 -59.21 -64.19 16 -4.6643 119.3579 28.54 -19.70 -54.45 -62.90 17 -4.6707 119.3882 30.26 -21.91 -58.49 -65.43 18 -4.6277 119.3873 34.21 -24.48 -63.83 -67.17 19 -4.5798 119.371 33.00 -24.86 -62.92 -61.27

20 -4.576 119.444 27.25 -30.64 - -62.60

21 -4.5427 119.4715 28.57 -32.38 - -65.22

(69)

Lanjutan lampiran 3.

Lintasan Posisi Depth E1 E2 Sv Ikan

Lintang Bujur

42 -4.8643 119.0827 45.36 -25.64 -60.65 -63.25 43 -4.9019 119.071 47.51 -26.49 -61.91 -76.31 44 -4.9097 119.0732 44.87 -26.06 -59.45 -69.42 45 -4.9115 119.1173 43.86 -27.89 -62.82 -63.62 46 -4.9133 119.1637 42.15 -27.73 -63.06 -69.53 47 -4.914 119.2146 34.90 -24.42 -60.12 -64.98 48 -4.916 119.2632 28.56 -22.73 -58.82 -64.58 49 -4.9155 119.3093 27.21 -21.80 -58.66 -64.51 50 -4.9468 119.3305 26.85 -21.76 -58.97 -67.75 51 -4.9813 119.3443 25.24 -21.35 -57.75 -68.08 52 -4.9662 119.329 29.96 -22.07 -57.76 -62.64 53 -4.9993 119.2488 28.91 -22.27 -60.57 -60.00 54 -5.0017 119.2047 39.77 -25.45 -60.22 -67.39 55 -5.0012 119.1588 42.95 -23.05 -55.41 -71.88 56 -5.0057 119.1283 47.43 -24.68 -57.72 -70.26 57 -5.0508 119.1335 47.37 -24.01 -55.25 -63.73 58 -5.0742 119.1345 45.25 -24.05 -55.09 -65.24

59 -5.081 119.1822 52.18 -28.94 - -67.51

60 -5.0821 119.2294 50.21 -28.73 - -67.51

(70)

Lampiran 4. Contoh data hasil integrasi echogram pada echoview 4.0

4 -4.7656 119.4712 7.32 -18.18 -54.75 -70.88

5 -4.7647 119.4697 8.14 -31.72 - -69.67

6 -4.7638 119.4682 8.88 -31.62 - -71.37

7 -4.7630 119.4667 9.06 -22.35 -65.48 -75.27 8 -4.7621 119.4652 8.22 -16.40 -56.16 -74.35 9 -4.7612 119.4637 7.71 -16.38 -55.67 -76.46

10 -4.7603 119.4622 7.50 -29.35 - -78.40

20 -4.7522 119.4474 8.00 -26.99 -67.65 -72.15 21 -4.7513 119.4460 7.95 -19.19 -61.43 -73.23 22 -4.7504 119.4445 8.00 -16.63 -58.15 -68.38 23 -4.7494 119.4431 7.78 -16.02 -56.12 -71.22 24 -4.7485 119.4416 8.32 -17.00 -57.52 -69.47 25 -4.7478 119.4400 8.41 -16.40 -57.64 -73.44 26 -4.7469 119.4385 7.50 -17.11 -59.00 -67.26 135930 1 -4.7451 119.4355 8.77 -18.46 -61.98 -62.40

(71)

Lampiran 5. Hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Pangkajene April-Oktober 2011

Nama lokal (Species) Hasil Tangkapan (kg) pancing rawai

Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Kerapu dan Sunu Serranidae 94,5 108,1 82,3 91,4 46,9 117,6 355,9

Langgoa/K. Lumpur E. coioides 17 13,8 12,6 26 13,2 24 24,5

Dungu E. bleekri 0 3,6 3,6 1,2 0,5 1,2 1,1

Nae/K. Marmer E. microdon 0 1,8 0,6 0 0,7 0,2 2,3

Sunu P. leopardus 0,8 8,4 0,2 0 0,2 0,5 0,3

Sunu bone P. maculatus 0,8 1,3 2,1 1,8 0 0,5

Sunu macan dll. Plectropomus spp 0,2 0 0 0 0,3 1,4

Kerapu macan E. fuscogutatus 0,3 1,3 0 0,8 0,3

Kakap dan Jenaha Lutjanidae 411 453,9 361,5 200 240,4 318,3 803,1

Kakap merah L. malabaricus 73,4 77,5 74,9 66 83,3 65,1 60,3

Unga L. johni 6,2 3,3 6,5 03 6,4 6,3

Dumung L. bohar 1,8 1

Tinadoro L. argentimaculatus 1,3 2

Ikan Lainnya

Kaneke Plecthorinchus spp 1,9 0,3 0,3

Lencam. Lausu Lethrinus spp 0,5 0,6

(72)

Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1989 dari Bapak Budi Sumarno dan Ibu Sri Astuti. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 2005 – 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 80 Jakarta. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Akustik Kelautan pada alih tahun (semester ganjil) 2012 – 2013. Selain itu penulis juga pernah menjadi anggota organisasi internal kampus Divisi Keilmuan Sistem Informasi Geografis Kelautan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB pada tahun 2011 – 2012.

Gambar

Tabel 1. Penelitian tentang nilai acoustic backscattering strength dasar perairan
Tabel 2. Jumlah tangkapan ikan demersal di Perairan Sulawesi Selatan (2011)
Gambar 1. Geometri echo dasar perairan secara akustik
Gambar 2. Klasifikasi berbagai jenis substrat dasar berdasarkan nilai E1 dan E2
+7

Referensi

Dokumen terkait

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1999.. Judul Tesis Studi Tentang Hubungan Antara Suhu ·dan Kedalaman Mata. Pancing Terdadap Hasil Tangkapan Tuna Longline di

Distribusi Densitas Ikan hingga Kedalaman 50 m di Perairan Laut Cina Selatan dengan; (a) Sebaran Suhu dan (b) Sebaran Salinitas Permukaan - 64.. Smart CTD (Conductivity

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1999.. Judul Tesis Studi Tentang Hubungan Antara Suhu ·dan Kedalaman Mata. Pancing Terdadap Hasil Tangkapan Tuna Longline di

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bobot tubuh dan panjang total pada ikan layang jantan dan betina, baik yang tertangkap di perairan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan parameter oseanografi (suhu permukaan laut, kedalaman,

Tuna (Thunnus sp) dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan sumberdaya ikan pelagis besar yang banyak dieksploitasi oleh nelayan di wilayah perairan Teluk Bone

Hasil pengamatan terhadap hasil tangkapan semua teknologi penangkapan ikan cakalang (Gambar 2) di perairan Teluk Bone didapatkan bahwa ukuran ikan cakalang

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bobot tubuh dan panjang total pada ikan layang jantan dan betina, baik yang tertangkap di perairan