• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN

SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM

PHYTO ARDI RAHMAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN

SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2009

(3)

PHYTO ARDI RAHMAWATI. Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan YUNI PUJI HASTUTI.

Ditengah tuntutan untuk meningkatkan produktivitasnya, sektor akuakultur menghadapi tantangan semakin sempitnya lahan di darat dan ancaman hujan asam yang meningkat akibat perindustrian dan perubahan iklim global. Tetapi sektor akuakultur juga mendapatkan peluang untuk ekstensifikasi dengan adanya lahan gambut yang luas dan belum banyak dimanfaatkan dan juga harapan untuk mengembangkan udang galah di air asam dengan adanya pemuliaan udang galah yang sedang dilakukan. Sebagai informasi, udang galah merupakan krustasea air tawar yang mempunyai harga mahal dan permintaan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelangsungan hidup dan pertumbuhan 3 strain udang galah yaitu Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang dipelihara di pH asam.

Penelitian ini dilakukan selama 30 hari, dengan menggunakan udang galah tokolan strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik dengan bobot awal berturut-turut 0,45±0,26 gram, 0,23±0,15 gram, 0,18±0,04 gram dan panjang awal berturut-turut 3,77±0,6 cm, 3,05±0,64 cm, 2,88±0,24 cm. Udang yang digunakan pada masing-masing strain adalah 6 individu x 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan media pemeliharaan asam (memiliki nilai pH 5) dan normal (memiliki nilai pH 7). Udang dipelihara pada akuarium yang berukuran 20 x 20 cm2 dengan volume air 4 liter. Masing-masing individu udang dipelihara pada lubang shelter yang terbuat dari pipa PVC yang disusun seperti sarang lebah. Air pemeliharaan asam dibuat dengan menambahkan 25 gram daun ketapang kering yang telah disimpan selama 1 bulan dan dipotong dengan ukuran 2 cm kedalam 4 liter air dengan tetap memberikan aerasi dan didiamkan selama 4 hari sebelum penelitian. Selama pemeliharaan, udang diberi pakan 10% dari biomassa setiap hari. Sifon dilakukan 3 hari sekali dan ganti air dilakukan setiap 10 hari. Kelangsungan hidup diamati setiap hari, bobot dan panjang udang setiap 15 hari dan kualitas air setiap 10 hari.

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam

Nama : Phyto Ardi Rahmawati.

Nomor Pokok : C14104040

Disetujui

Pembimbing l Pembimbing ll

Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. Yuni Puji Hastuti S.Pi

NIP. 196302121989031003 NIP. 198106042007012001

Diketahui

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 196104101986011002

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Evaluasi

Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah Macrobrachium

rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada Media Asam” dapat diselesaikan.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

pada Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada:

1. Orang tua, Adik, Kakek dan Nenek yang sangat berjasa.

2. Bapak Dr. Eddy Supriono, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah banyak memberikan bimbingan dan juga tema penelitian.

3. Ibu Yuni Puji Hastuti, S. Pi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak memberikan bimbingan.

4. Ibu Yani Hadiroseyani sebagai dosen Pembimbing Akademik

5. Bapak Dr. Fauzan Ali yang telah banyak memberikan masukan

6. Pak Jajang, Bang Abe, Pak Mar, Mbak Yuli, Kang Asep atas bantuannya

7. Emawati Nugraheni Putri, S. Pi., M. Faisol Riza Ghozali, S. Pi dan

teman-teman BDP ’41 yang telah banyak memberikan bantuan

8. Vamdi, BDP ‘42, ’43 dan ‘44 yang banyak memberikan dukungan

Semoga skripsi ini mendapat ridho dari Allah SWT, serta dapat memberikan

manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lumajang, pada tanggal 7 April 1987, sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Mu’ashol dan Ir. Hanawati.

Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SDN Wonokerto I, SLTPN I

Lumajang dan SMUN 2 Lumajang. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk

IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan memilih Program Studi

Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan penulis pernah melakukan Praktik Lapang di

Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Penulis juga pernah menjadi asisten mata

kuliah Oseanografi Umum semester genap 2007/2008 dan 2008/2009 ,

Dasar-dasar Akuakultur Semester Genap 2007/2008, Rekayasa Wadah Akuakultur

tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009, Fisika Kimia Perairan semester genap

2007/2008 dan Pendidikan Agama Islam semester genap 2007/2008. Penulis

juga pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama

(DPM TPB) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa

(MPM KM) IPB periode 2004-2005, Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa

(LPPM) biRU dari tahun 2005-2008, Himpunan Mahasiswa Akuakultur

(HIMAKUA) dari tahun 2005-2008, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI) 2004-2009 dan Aquatechnopreneurship dari tahun 2006-2009. Tugas

akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang

berjudul ”Evaluasi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah

Macrobrachium rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar belakang... 1

1.2 Tujuan... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Udang Galah ... 3

2.1.1 Biologi Udang Galah... 3

2.1.2 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup... 5

2.1.3 Pergantian Kulit (Molting) ... 5

2.2 Strain ... 7

2.2.1 Strain dan Ketahanannya Terhadap Lingkungan ... 7

2.2.2 Karakter dan Morfometrik Udang Galah Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik ... 8

2.3 Keasaman ... 9

2.3.1 Derajat Keasaman (pH) ... 9

2.3.2 Gambut... 10

2.3.3 Hujan Asam ... 11

2.4 Daun Ketapang (Terminalia cattapa)... 11

2.5 Kualitas air... 12

2.5.1 Oksigen Terlarut ... 12

2.5.2 Karbondioksida ... 12

2.5.3 Suhu ... 13

2.5.4 Alkalinitas ... 13

2.5.5 Kesadahan ... 14

2.5.6 Total Amonia Nitrogen (TAN) ... 15

2.5.7 Nitrit (NO2) ... 16

2.5.8 Kecerahan ... 16

2.5.9 Warna ... 16

2.5.10 Kekeruhan ... 17

(8)

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Media dan Biota... 18

3.2.1 Udang Uji... 18

3.2.2 Air Pemeliharaan ... 18

3.2.3 Pakan ... 19

3.2.4 Wadah dan peralatan lain... 19

3.3 Metode penelitian ... 19

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 19

3.3.2 Pelaksanaan penelitian ... 21

3.3.3 Parameter penelitian ... 22

3.3.5 Analisis data: ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1 Hasil... 25

4.1.1 Fisika kimia air ... 25

4.1.2 Derajat Kelangsungan Hidup... 26

4.1.3 Laju Pertumbuhan Harian (LPH) ... 28

4.1.4 Frekuensi molting ... 34

4.2 Pembahasan ... 34

4.2.1 Fisika Kimia Air ... 34

4.2.2 Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan Harian (LPH) serta Frekuensi Molting ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 41

5.1 Kesimpulan... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA... 42

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pakan ... 4

Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia

et al. 2008 dan Jenerik (Putri 2009)... 8 Tabel 3. Deskripsi suhu harian media pemeliharaan (ºC) ... 26

Tabel 4. Data kualitas air media pemeliharaan ... 26

Tabel 5. Frekuensi dan periode molting pada udang strain Jawa, Sulawesi dan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Nilai harian pH pada media pemeliharaan udang galah

Macrobrachium rosenbergii selama 30 hari pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik... 25

Gambar 2. Gambaran derajat kelangsungan hidup harian udang galah strain

Sulawesi, Jawa dan Jenerik selama 30 hari pemeliharaan... 27

Gambar 3. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 5... 27

Gambar 4. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 7... 28

Gambar 5. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 29

Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 30

Gambar 7. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 31

Gambar 8. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 32

Gambar 9. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 33

(11)

EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN

SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM

PHYTO ARDI RAHMAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EVALUASI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN STRAIN

SULAWESI, JAWA, DAN JENERIK PADA MEDIA ASAM

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2009

(13)

PHYTO ARDI RAHMAWATI. Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan YUNI PUJI HASTUTI.

Ditengah tuntutan untuk meningkatkan produktivitasnya, sektor akuakultur menghadapi tantangan semakin sempitnya lahan di darat dan ancaman hujan asam yang meningkat akibat perindustrian dan perubahan iklim global. Tetapi sektor akuakultur juga mendapatkan peluang untuk ekstensifikasi dengan adanya lahan gambut yang luas dan belum banyak dimanfaatkan dan juga harapan untuk mengembangkan udang galah di air asam dengan adanya pemuliaan udang galah yang sedang dilakukan. Sebagai informasi, udang galah merupakan krustasea air tawar yang mempunyai harga mahal dan permintaan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelangsungan hidup dan pertumbuhan 3 strain udang galah yaitu Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang dipelihara di pH asam.

Penelitian ini dilakukan selama 30 hari, dengan menggunakan udang galah tokolan strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik dengan bobot awal berturut-turut 0,45±0,26 gram, 0,23±0,15 gram, 0,18±0,04 gram dan panjang awal berturut-turut 3,77±0,6 cm, 3,05±0,64 cm, 2,88±0,24 cm. Udang yang digunakan pada masing-masing strain adalah 6 individu x 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan media pemeliharaan asam (memiliki nilai pH 5) dan normal (memiliki nilai pH 7). Udang dipelihara pada akuarium yang berukuran 20 x 20 cm2 dengan volume air 4 liter. Masing-masing individu udang dipelihara pada lubang shelter yang terbuat dari pipa PVC yang disusun seperti sarang lebah. Air pemeliharaan asam dibuat dengan menambahkan 25 gram daun ketapang kering yang telah disimpan selama 1 bulan dan dipotong dengan ukuran 2 cm kedalam 4 liter air dengan tetap memberikan aerasi dan didiamkan selama 4 hari sebelum penelitian. Selama pemeliharaan, udang diberi pakan 10% dari biomassa setiap hari. Sifon dilakukan 3 hari sekali dan ganti air dilakukan setiap 10 hari. Kelangsungan hidup diamati setiap hari, bobot dan panjang udang setiap 15 hari dan kualitas air setiap 10 hari.

(14)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Evaluasi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Galah Macrobrachium rosenbergii De Man Strain Sulawesi, Jawa, dan Jenerik pada Media Asam

Nama : Phyto Ardi Rahmawati.

Nomor Pokok : C14104040

Disetujui

Pembimbing l Pembimbing ll

Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. Yuni Puji Hastuti S.Pi

NIP. 196302121989031003 NIP. 198106042007012001

Diketahui

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 196104101986011002

(15)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Evaluasi

Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah Macrobrachium

rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada Media Asam” dapat diselesaikan.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

pada Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada:

1. Orang tua, Adik, Kakek dan Nenek yang sangat berjasa.

2. Bapak Dr. Eddy Supriono, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah banyak memberikan bimbingan dan juga tema penelitian.

3. Ibu Yuni Puji Hastuti, S. Pi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak memberikan bimbingan.

4. Ibu Yani Hadiroseyani sebagai dosen Pembimbing Akademik

5. Bapak Dr. Fauzan Ali yang telah banyak memberikan masukan

6. Pak Jajang, Bang Abe, Pak Mar, Mbak Yuli, Kang Asep atas bantuannya

7. Emawati Nugraheni Putri, S. Pi., M. Faisol Riza Ghozali, S. Pi dan

teman-teman BDP ’41 yang telah banyak memberikan bantuan

8. Vamdi, BDP ‘42, ’43 dan ‘44 yang banyak memberikan dukungan

Semoga skripsi ini mendapat ridho dari Allah SWT, serta dapat memberikan

manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2009

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lumajang, pada tanggal 7 April 1987, sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Mu’ashol dan Ir. Hanawati.

Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SDN Wonokerto I, SLTPN I

Lumajang dan SMUN 2 Lumajang. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk

IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan memilih Program Studi

Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan penulis pernah melakukan Praktik Lapang di

Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Penulis juga pernah menjadi asisten mata

kuliah Oseanografi Umum semester genap 2007/2008 dan 2008/2009 ,

Dasar-dasar Akuakultur Semester Genap 2007/2008, Rekayasa Wadah Akuakultur

tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009, Fisika Kimia Perairan semester genap

2007/2008 dan Pendidikan Agama Islam semester genap 2007/2008. Penulis

juga pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama

(DPM TPB) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa

(MPM KM) IPB periode 2004-2005, Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa

(LPPM) biRU dari tahun 2005-2008, Himpunan Mahasiswa Akuakultur

(HIMAKUA) dari tahun 2005-2008, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI) 2004-2009 dan Aquatechnopreneurship dari tahun 2006-2009. Tugas

akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang

berjudul ”Evaluasi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang Galah

Macrobrachium rosenbergii de Man Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik pada

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar belakang... 1

1.2 Tujuan... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Udang Galah ... 3

2.1.1 Biologi Udang Galah... 3

2.1.2 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup... 5

2.1.3 Pergantian Kulit (Molting) ... 5

2.2 Strain ... 7

2.2.1 Strain dan Ketahanannya Terhadap Lingkungan ... 7

2.2.2 Karakter dan Morfometrik Udang Galah Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik ... 8

2.3 Keasaman ... 9

2.3.1 Derajat Keasaman (pH) ... 9

2.3.2 Gambut... 10

2.3.3 Hujan Asam ... 11

2.4 Daun Ketapang (Terminalia cattapa)... 11

2.5 Kualitas air... 12

2.5.1 Oksigen Terlarut ... 12

2.5.2 Karbondioksida ... 12

2.5.3 Suhu ... 13

2.5.4 Alkalinitas ... 13

2.5.5 Kesadahan ... 14

2.5.6 Total Amonia Nitrogen (TAN) ... 15

2.5.7 Nitrit (NO2) ... 16

2.5.8 Kecerahan ... 16

2.5.9 Warna ... 16

2.5.10 Kekeruhan ... 17

(18)

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Media dan Biota... 18

3.2.1 Udang Uji... 18

3.2.2 Air Pemeliharaan ... 18

3.2.3 Pakan ... 19

3.2.4 Wadah dan peralatan lain... 19

3.3 Metode penelitian ... 19

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 19

3.3.2 Pelaksanaan penelitian ... 21

3.3.3 Parameter penelitian ... 22

3.3.5 Analisis data: ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1 Hasil... 25

4.1.1 Fisika kimia air ... 25

4.1.2 Derajat Kelangsungan Hidup... 26

4.1.3 Laju Pertumbuhan Harian (LPH) ... 28

4.1.4 Frekuensi molting ... 34

4.2 Pembahasan ... 34

4.2.1 Fisika Kimia Air ... 34

4.2.2 Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan Harian (LPH) serta Frekuensi Molting ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 41

5.1 Kesimpulan... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA... 42

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pakan ... 4

Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia

et al. 2008 dan Jenerik (Putri 2009)... 8 Tabel 3. Deskripsi suhu harian media pemeliharaan (ºC) ... 26

Tabel 4. Data kualitas air media pemeliharaan ... 26

Tabel 5. Frekuensi dan periode molting pada udang strain Jawa, Sulawesi dan

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Nilai harian pH pada media pemeliharaan udang galah

Macrobrachium rosenbergii selama 30 hari pada strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik... 25

Gambar 2. Gambaran derajat kelangsungan hidup harian udang galah strain

Sulawesi, Jawa dan Jenerik selama 30 hari pemeliharaan... 27

Gambar 3. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 5... 27

Gambar 4. Keterangan kematian strain Sulawesi (a), Jawa (b) dan Jenerik (c) pada 10 hari pertama di pH 7... 28

Gambar 5. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 29

Gambar 6. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jawa: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 30

Gambar 7. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 31

Gambar 8. Pertumbuhan Panjang Udang Galah Strain Jenerik: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 32

Gambar 9. Pertumbuhan Bobot Udang Galah Strain Sulawesi: (a) Pertumbuhan (b) Laju Pertumbuhan Harian... 33

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Morfologi Udang Galah... 45

Lampiran 2. Daun Ketapang, Shelter dan Desain penelitian... 46

Lampiran 3. Data Pengamatan Harian pH pada Media Pemeliharaan ... 47

Lampiran 4. Data Pengamatan Suhu ... 49

Lampiran 5. Data Bobot dan Panjang Udang Galah Selama Penelitian ... 50

Lampiran 6. Anova Kelangsungan Hidup ... 53

Lampiran 7. Anova Laju Pertumbuhan Harian ... 55

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Budidaya perikanan merupakan sektor yang masih terus berkembang

sampai saat ini. Menurut Anonimous (2007b), luas usaha perikanan budidaya di

kolam air tawar meningkat secara nyata yaitu 99.740 Ha pada tahun 2004

menjadi 107.785 Ha pada tahun 2005. Sektor ini mengemban tugas yang berat

untuk tetap mempertahankan dan atau meningkatkan produktivitasnya ditengah

kondisi yang semakin sulit untuk melakukan ekstensifikasi. Hal tersebut terjadi

karena lahan budidaya perikanan di daratan semakin sempit akibat berkompetisi

dengan manusia dan bahan pangan lainnya. Sebenarnya masih terdapat potensi

untuk melakukan ekstensifikasi budidaya perikanan di daratan diantaranya

adalah dengan memanfaatkan lahan gambut.

Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mempunyai luas 20 juta Ha yang

tersebar di beberapa pulau di Indonesia, yaitu pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan,

Sulawesi, Papua dan kepulauan Maluku (Soekardi dan Hidayat 1988 dalam Noor

2001). Lahan gambut tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk perikanan

dikarenakan memiliki sifat yang khas diantaranya adalah keasaman yang tinggi,

warna airnya hitam dan kandungan oksigennya rendah. Kendala yang paling

utama dalam pengembangan usaha perikanan dikawasan tersebut adalah

keasaman airnya.

Selain permasalahan sempitnya lahan, sektor budidaya perikanan juga

menghadapi ancaman perairan asam yang dikhawatirkan semakin meningkat

akibat dari hujan asam dan juga perubahan iklim global (global climate change)

(Wikipedia 2009). Berbagai daerah dilaporkan sudah mengalami hujan asam,

diantaranya di Taiwan, hujan asam yang melanda perkotaan mempunyai kisaran

pH 4,06-4,57 dan di pedesaan adalah 4,5-5,24 (Chen dan Chen 2002).

Dalam upaya pemanfaatan perairan asam dari lahan gambut maupun

upaya antisipasi perairan yang memiliki pH rendah karena hujan asam, maka

dunia perikanan terutama budidaya perikanan perlu melakukan studi untuk

mengkaji spesies ataupun strain-strain komoditas yang tahan terhadap kondisi

asam.

Indonesia memiliki spesies budidaya perikanan yang potensial untuk

dipelihara pada perairan asam. Salah satu dari spesies tersebut adalah udang

(23)

memiliki nilai LC50 pada pH 4,08 dalam waktu 96 jam. Sehingga dengan

demikian diharapkan udang galah mampu menjadi komoditas yang dapat

dikembangkan di perairan asam. Perbedaan strain pada satu spesies

mempunyai hubungan dengan ketahanan pada lingkungan hidupnya (Wanasuria

2008). Saat ini berbagai strain udang galah di Indonesia sedang dikaji dan

dikembangkan keunggulannya. Sebagai contoh, strain Jawa dari sungai Citarik

dikenali sebagai udang galah yang mempunyai tingkat kelangsungan hidup larva

yang tinggi, atau strain Sulawesi dari sungai Jeneberang yang dikenali sebagai

udang galah yang tingkat pertumbuhannya rendah (Ali 2009). Dengan dimilikinya

berbagai strain udang galah di Indonesia, maka diharapkan peluang untuk

menjadikannya komoditas unggulan di perairan asam menjadi lebih besar.

Selain potensinya untuk dipelihara di perairan asam, udang galah juga

merupakan komoditas unggulan.

Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun

skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang

baik dan pola makan yang omnivora (pemakan segala). Budidaya udang galah

banyak ditemukan di China, India, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan

Taiwan. Juga ditemukan di Ekuador (Nandlal dan Pickering 2005). Menurut

Anonimous (2005) untuk industri pembekuan, udang galah diperoleh dari impor

senilai 47,304 miliar rupiah dan dari pasar dalam negeri senilai 246,161 miliar

rupiah. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut diatas maka perlu

dilakukan penelitian yang dapat mengevaluasi daya tahan berbagai strain unggul

yang dapat dibudidayakan di perairan asam.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi derajat kelangsungan

hidup dan pertumbuhan udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Galah

2.1.1 Biologi Udang Galah

Kingdom : Animalia

Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Palaemoidae

Genus : Macrobrachium

Spesies : Macrobrachium rosenbergii

Udang galah Macrobrachium rosenbergii (Lampiran 1) adalah udang air

tawar yang pertama dipelajari secara intensif dan dibudidayakan secara

komersial. Udang ini ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Laut Utara

dan juga Kepulauan Pasifik sebelah selatan (Nandlal dan Pickering 2005).

Nandlal dan Pickering (2005) juga menyatakan bahwa udang galah yang dewasa

banyak ditemukan di perairan tawar. Udang galah termasuk dalam kelompok

udang Pelaemonid yang hidup di air tawar. Dalam kehidupannya, udang galah

menempati dua habitat. Pada saat dewasa dan menetas sampai larva, udang

galah senang hidup di air payau. Tetapi setelah menjadi juvenil sampai usia

dewasa, udang galah lebih senang hidup dalam air tawar (Murtidjo 1992). Udang

galah selalu berganti cangkang, karena kulitnya tidak elastis. Setiap mengalami

perkembangan tubuh, udang harus melepas cangkangnya dan menggantinya

dengan cangkang baru. Semakin tua, udang galah semakin jarang berganti

cangkang karena pertumbuhan tubuhnya semakin lambat.

Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun

skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang

baik dan pola makan yang omnivora. Budidaya udang galah banyak ditemukan di

China, India, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan Taiwan. Juga

ditemukan di ekuador (Nandlal dan Pickering 2005).

Pada usia juvenil, udang galah berganti kulit setiap 10 hari sekali,

mendekati usia dewasa 30 hari sekali dan pada usia dewasa 60 hari sekali.

(25)

selama 40 sampai 60 hari untuk mencapai bobot sekitar 1 gram (Hadie dan

Hadie 2001).

Udang galah aktif mencari makanan pada malam hari. Udang galah

dewasa dapat memakan udang yang lebih kecil atau udang dewasa yang

sedang berganti kulit jika makanannya tidak mencukupi (Murtidjo 1992). Menurut

Nandlal dan Pickering (2005), udang galah pada masa benih dan dewasa

merupakan hewan omnivora yang biasanya memakan moluska kecil, krustacea

kecil, ikan kecil, kacang, biji, buah, alga, daun dan batang dari tanaman air.

Mereka memilih mengkonsumsi hewan, dan kadang-kadang juga berperilaku

kanibal. Udang galah juga mengkonsumsi cangkangnya sehabis molting. Dimulai

dari stadia pascalarva, udang galah sudah dapat memakan daging cumi,

udang-udang kecil dan pakan yang berbentuk pellet. Berikut ini patokan pakan buatan

yang diberikan selama pemeliharaan udang galah (Jain 2002).

Tabel 1. Jadwal Pakan

Lama Budidaya Rata-rata bobot tubuh Tingkat pakan % Frekuensi pakan

01-10 0.01–1.00 10.0–8.0 2

Krustasea dapat hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebar,

dengan kata lain dapat hidup disemua habitat atau mayoritas dari krustasea

mempunyai toleransi terhadap temperatur yang lebar (Cameron dan Mangum

1983). Menurut New (1995) dalam Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa

temperatur dan pH optimal untuk udang galah adalah 29-31 ºC dan 7,0-8,5.

Penelitian Satyani et al. (1992), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

yang nyata pada pemeliharaan udang galah tanpa dan dengan pelindung. Pada

pemeliharaan udang tanpa pelindung, terdapat kematian yang besar karena

(26)

menyerang dan memangsa tinggi. Pasca larva yang ganti kulit dengan mudah

akan diserang oleh udang lainnya (Segal dan Roe 1975 dalam Satyani et al.

1992).

2.1.2 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan dapat dikatakan sebagai pertambahan panjang, volume,

berat basah maupun kering seiring dengan pertambahan waktu. Pola

pertumbuhan pada udang tidak kontinyu karena dibatasi oleh eksoskeleton

(Nandlal dan Pickering 2005). Dengan demikian, pertumbuhan akan terjadi

setelah terjadinya pergantian kulit udang. Pertumbuhan udang pada saat

pascalarva relatif cepat, tetapi biasanya menghasilkan hasil yang beragam

(Nandlal dan Pickering 2005). Hasil penelitian Said (1989) menyatakan bahwa

udang galah pascalarva yang berasal dari satu induk dalam periode produksi

yang sama dan tempat pemeliharaan yang relatif homogen menunjukkan

pertumbuhan yang bervariasi, semakin lama masa pemeliharaan, perbedaan

semakin besar. Variasi pertumbuhan yang terjadi cenderung dikarenakan oleh

faktor genetik. Menurut Anonimous (2009) udang galah jantan mempunyai

ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan udang galah betina.

Tingkat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai

persentasi jumlah ikan yang berpeluang untuk hidup selama masa pemeliharaan

tertentu dalam suatu wadah budidaya. Tingkat kelangsungan hidup sangat

menentukan hasil dari produksi budidaya (Effendi 2004).

2.1.3 Pergantian Kulit (Molting)

Pada udang galah, frekuensi molting merupakan indikator dari

pertumbuhan udang (Nandlal dan Pickering 2005). Menurut Passano (1960)

terdapat 2 hal yang penting dalam molting, yaitu pelembutan lapisan dalam dari

lapisan kutikula yang sudah tua yang membebaskannya dari epidermis dan

pertumbuhan kutikula baru yang tipis dan elastis yang mengikuti pertambahan

tubuh dari udang.

Molting merupakan proses melepaskan cangkang udang dan

demineralisasi. Saat lepas cangkang, ukuran udang meningkat secara linear.

Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi molting, yaitu faktor eksternal yang terdiri

dari stressor, nutrisi, fotoperiod dan temperatur serta faktor internalnya adalah

(27)

Wagabhusanah, Thompson 1997 dalam Azis 2008). Passano (1960) menyatakan bahwa dalam pembentukan kulit udang sangat diperlukan kalsium.

Kalsium dan mineral lainnya dapat diperoleh dari media hidupnya dan dari pakan

(Dall 1965; Dennel 1960; Sedwick 1979 dalam Edy 1990). Rendahnya

ketersediaan kalsium pada lingkungan hidup udang secara potensial akan

menghambat proses ganti kulit, karena terhambatnya kalsifikasi (Passano 1960).

Sebagian besar endapan kalsium di kulit berada dalam bentuk CaCO3 (Wickins

2002).

Ling (1961) dalam Hadie dan Hadie (2001) menyatakan bahwa udang

galah yang akan molting ditandai dengan nafsu makan yang menurun,

pergerakan lambat, otot daging berwarna putih susu, mata suram dan terdapat

bayangan kulit baru dibawah kulit lama.

Secara rinci Lockwood (1967) dalam Edy (1990) mengemukakan tahapan

ganti kulit, yaitu:

Tahap A. Pasca ganti kulit, udang tidak makan. Eksoskeleton udang sangat

lunak sehingga udang tidak mampu menyangga tubuhnya sendiri.

Bobot tubuh meningkat karena terjadi penyerapan air. Setelah itu

mulai dilakukan mineralisasi kutikula sampai udang mampu berdiri.

Tahap B. Periode kalsifikasi kutikula. Pada periode ini sekresi kalsium ke

cangkang terus berlangsung.

Tahap C. Kutikula sudah ada meskipun kalsifikasi tetap berlangsung, udang

sudah mulai makan. Pada saat ini, jaringan udang tumbuh pesat

kemudian kutikula anggota badan menjadi elastis sampai integumen

menjadi kaku dan kalsifikasi terjadi pada samping maupun depan

karapas. Setelah itu berlangsung masa antar ganti kulit (intermolt).

Tahap D. Persiapan untuk ganti kulit. Terjadi penyerapan kalsium dari lapisan

kutikula kedalam hepatopankreas. Pada saat ini udang berhenti

makan dan aktifitasnya menurun. Penyerapan kalsium ini

menyebabkan celah pada kutikula yang memungkinkan pelepasan

cangkang dari tubuh udang. Selain itu juga terjadi pelepasan kalsium

ke lingkungan melalui insang (Wheatly 1996 dalam Azis 2008).

Tahap E. Eksoskeleton lama terlepas. Air media diserap oleh udang sehingga

berat udang meningkat drastis.

Malley (1980) dalam Edy (1990) menyatakan bahwa pengambilan

(28)

terhambat jika air media mempunyai pH kurang dari 5,75. Jika pH air rendah

maka HCO3- dan Ca2+ akan berkurang sehingga mempengaruhi pertukaran ion

H+ pada udang dengan Ca2+ pada media pemeliharaan. Penelitian Chen dan

Chen (2002) juga menunjukkan bahwa terdapat frekuensi molting yang lebih

kecil pada udang galah yang dipelihara di air berpH rendah. Sedangkan Mills dan

Lake (1976) dalam Edy (1990) mengemukakan bahwa rendahnya kalsium

diperairan tawar untuk kebutuhan udang dikompensasikan dengan mereduksi

mineral eksoskeletonnya. Sehingga udang yang hidup di perairan asam

cenderung memiliki karapas yang tipis (France 1981 dalam Edy 1990). Brown et

al (1991) dalam Chen dan Chen (2002) mengamati bahwa intermolt (fase keras)

pada udang dapat lebih singkat pada kesadahan lebih dari 53 mg/L CaCO3

meskipun tumbuhnya lebih lambat daripada udang yang hidup pada kesadahan

yang lebih rendah.

2.2 Strain

2.2.1 Strain dan Ketahanannya Terhadap Lingkungan

Strain adalah ras, keturunan, keluarga (Anonimous 2008). Ketahanan

hidup larva dan pascalarva dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan induknya,

disamping kondisi lingkungan dimana larva dan pascalarva itu hidup (Sarver et al

1980 dalam Satyani 1988). Penelitian Newkirk, Freeman dan Dicckie (1980)

dalam Satyani (1988) dengan remis menunjukkan bahwa produksi juwana di pembenihan dan populasi yang ditanam pada berbagai tempat mempunyai laju

pertumbuhan yang berbeda sesuai dengan asal induknya. Hasil penelitian

Satyani (1988) juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan larva udang galah

dari induk alami lebih cepat daripada larva udang galah dari induk hasil

budidaya. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kelangsungan hidup

pascalarva yang berasal dari induk alami lebih rendah daripada pascalarva dari

induk budidaya.

Perbaikan strain secara genetik dengan persilangan dapat berpengaruh

pada ketahanan tubuh ikan atau udang terhadap faktor lingkungannya. Hal ini

dapat terjadi karena induk yang dikawinsilangkan mempunyai sifat unggul

masing-masing yang dapat diturunkan, sehingga hasil keturunannya hanya

dipilih yang mempunyai sifat-sifat unggul induknya. Misalnya ikan nila gift hasil

persilangan induk-induk dari beberapa negara, menghasilkan ikan nila yang

(29)

salinitas air yang tinggi hingga 29 gr/L dan lebih tahan terhadap serangan

penyakit (Wanasuria 2008).

2.2.2 Karakter dan Morfometrik Udang Galah Strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik

Ali (2009) mengemukakan bahwa udang galah strain Jenerik memiliki laju

pertumbuhan yang cepat dimana larva sampai pascalarva dicapai dalam waktu

22 hari sedangkan udang galah normal memerlukan waktu 30-45 hari. Hal

tersebut dikarenakan sifat unggul dari induk betinanya yang berasal dari sungai

Citarik (strain Jawa). Fase larva strain Jawa ditempuh selama 28 hari dan

mempunyai tingkat kelangsungan hidup / Survival Rate (SR) yang tinggi yaitu

16,9% dimana normalnya SR udang galah memiliki kisaran 10-15 % dan pada

saat mencapai tokolan ukuran 5 cm nilai SR udang galah strain Jawa mampu

mencapai nilai 89,3%.

Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia et al. 2008 dan Jenerik (Putri 2009)

Karakteristik Sulawesi Jawa Jenerik

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Panjang Total Tubuh (cm) Panjang Baku Tubuh

(cm)

Panjang Rostrum (cm)

4,76±0,

Panjang Karapas (cm)

3,75±0,

Lebar Karapas (cm)

2,60±0,

Panjang Telson (cm)

1,54±0,

Bobot Total (gr)

31,49±4

Induk jantan udang Jenerik berasal dari sungai Jeneberang (strain

Sulawesi). Pertumbuhan larva strain Sulawesi ini membutuhkan waktu 35 hari

dan memiliki SR larva yang lebih rendah, 14,9%. Pada saat mencapai tokolan,

tingkat kelulusan hidupnya mencapai 83,3%. Dibandingkan strain Jawa ukuran

tokolan strain Sulawesi lebih tidak seragam tetapi saat dikawinkan sifat unggul

induk Sulawesi muncul, terbukti dengan SR larva Jenerik yang mencapai 46,2%

dan pada fase tokolan SR mencapai 86,7%. Keunggulan Jenerik tetap muncul

meskipun antara jantan dan betinanya saling ditukar antara strain Jawa dan

(30)

2.3 Keasaman

2.3.1 Derajat Keasaman (pH)

Menurut Boyd (1982), tingkat keasaman (pH) merupakan negatif

logaritma dari konsentrasi ion hidrogen. Kebanyakan perairan alami mempunyai

nilai pH 6,5 – 9, titik lethal asam dan basa untuk ikan adalah pH 4 dan 11. Jika

perairan lebih asam dari pH 6,5 atau lebih basa dari pH 9,5 dalam waktu lama,

pertumbuhan dan reproduksi organisme aquatik akan terhambat (Swingle 1961:

Mount 1973 dalam Boyd 1982). Penelitian Chen dan Chen (2002) menyatakan

bahwa udang galah mempunyai LC50 pada pH 4,08 dalam waktu 96 jam.

Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa bobot dan panjang total udang galah

ukuran awal 0,13±0,101 yang dipelihara selama 42 hari di pH 5,6 lebih rendah

(p<0,05) daripada yang dipelihara di pH 8,2. Penelitian ini juga menunjukkan

bahwa terdapat frekuensi molting yang rendah pada pH 6,8 dibandingkan pH 8,2,

7,4, 6,2 dan 5,6. Sedangkan menurut Godfrey (1988), ikan dapat hidup pada

kisaran pH 5,0-9,0, produksi ikan optimal pada pH 6,5 sampai 8,5, kisaran pH

dibawah 4,0 ikan mengalami kematian dan ikan tidak dapat memijah pada

kisaran pH 2,0 – 5,0. Nilai pH dapat turun karena konsentrasi CO2 yang

meningkat (Boyd 1982).

Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila

alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke

nilai semula, dari setiap gangguan terhadap pengubahan pH. Dengan demikian

kunci dari penurunan pH terletak pada penanganan alkalinitas dan tingkat

kesadahan air (Anonimous 2007a). Menurut Anonimous (2007a), untuk

menurunkan pH dapat dilakukan dengan melalukan air melewati gambut (peat),

bisa juga dilakukan dengan mengganti sebagian air dengan air yang

berkesadahan rendah, air hujan atau air yang direbus, air bebas ion, atau air

suling (air destilata). Selain itu bisa juga dapat dilakukan dengan menambahkan

bogwood kedalam akuairum. Bogwood adalah semacam kayu yang memliki

kemampuan menjerap kesadahan. Bogwood berfungsi sama seperti daun

ketapang, pohon asam dan sejenisnya. Menaikkan pH dapat dilakukan dengan

memberikan aerasi yang intensif, melewatkan air melewati pecahan koral,

pecahan kulit kerang atau potongan batu kapur. Cara lain dengan dengan

menambahkan dekorasi berbahan dasar kapur seperti tufa, atau pasir

koral. Penggantian air juga dapat dilakukan untuk menaikkan pH (Anonimous

(31)

Nilai pH pada perairan dipengaruhi oleh CO2 yang terlarut dari atmosfir

atau yang dihasilkan oleh metabolisme ikan, asam-asam mineral dan polusi,

asam-asam organik yang terjadi secara alamiah dari deposit humus atau

hidrolisis garam-garam dari deposit mineral yang tercuci ke dalam suplai air

(Boyd 1992). Udang galah optimal hidup pada pH 7 sampai 8,5 (New 1995

dalam Chen dan Lee 1997). Haines (1981) dalam Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa pada air yang asam, krustasea dan ikan bisa mengalami

kelainan pertumbuhan dan perubahan tulang. Keberadaan kandungan

karbondioksida di perairan dipengaruhi oleh pH dan suhu. Menurut Effendi

(2003) bahwa nilai pH 4,3 di perairan banyak terdapat CO2, H2CO3, sedangkan

pada pH 8,3 diperairan CO2 dan H2CO3 digantikan oleh HCO3-.

2.3.2 Gambut

Menurut Noor (2001) gambut adalah material atau bahan organik yang

tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat

dan tidak atau sedikit mengalami perombakan. Menurut Rachman (1996) dalam

Noor (2001), luas lahan gambut di Indonesia sebesar 20 juta Ha. Soekardi dan

Hidayat (1988) dalam Noor (2001) menyebutkan bahwa lahan gambut tersebar di

pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Kepulauan Maluku.

Berdasarkan iklim, gambut di Indonesia dikategorikan sebagai gambut tropika.

Gambut tropika biasanya bersifat masam dengan kisaran pH sebesar 4 sampai

5 (Noor 2001) dan menurut Andriesse (2003) pada gambut tropika sebagian

besar mengandung kapur hanya sebesar 0,3%.

Pada tanah gambut, sumber keasamannya adalah dari pirit (senyawa

sulfur) dan asam-asam organik. Tanah gambut mempunyai asam-asam organik

yang terdiri atas asam humat, asam fulvat, dan humin. Asam humus merupakan

campuran kompleks dari bahan yang telah terdekomposisi. Tannin, lignin dan

asam fulvat adalah subkelas dari asam humus yang dapat mengubah air menjadi

kuning. Asam humus mengandung sulfur, nitrogen dan fosfor dalam jumlah yang

berbeda-beda. Asam humus juga mengandung logam seperti Ca, Mg, Cu dan Zn

yang bisa membentuk chelat dengan cara yang belum diketahui. Semakin sadah

(32)

2.3.3 Hujan Asam

Asam dapat terbentuk dari saat nitrogen oksida dan sulfur dioksida

dihasilkan oleh mobil, minyak, industri dan pembakaran batubara. Pada saat

hujan, bahan-bahan tersebut dimunculkan dalam bentuk asam nitrit dan asam

sulfur. Menurut Godfrey (1988) hujan asam terjadi pada awal abad ke 19,

meningkat secara drastis pada tahun 1950 dan mencapai level off pada 1980.

Nilai pH rata-rata air hujan di Massacusetts adalah 4,2 dan mengandung

hidrogen, sulfat serta nitrat yg menimbulkan asam. Fakta menyebutkan bahwa

dari 18 anak sungai di Massacusetts yang mempunyai ikan-ikan sehat diawal,

setelah hujan asam 2 anak sungainya kehilangan seluruh ikan dan 8 anak sungai

lainnya tersisa satu ekor ikan serta hanya 8 anak sungai sisanya dapat

mempertahankan eksistensinya. Dilaporkan juga oleh Chen dan Chen (2002)

bahwa di Taiwan, hujan asam yang melanda perkotaan mempunyai kisaran pH

4,06-4,57 dan di pedesaan adalah 4,5-5,24. Beamish et al (1975) dalam Boyd

(1982) menyatakan bahwa terjadi bencana terhadap populasi ikan di beberapa

kota penting di Eropa dan Amerika utara akibat dari presipitasi asam yang lama

terhadap sungai dan danau.

2.4 Daun Ketapang (Terminalia cattapa)

Banyak ikan-ikan tropis yang mempunyai habitat alami pada air hitam. Air

hitam mempunyai warna coklat teh dan mengandung banyak bahan-bahan

organik terlarut. Ketapang (Lampiran 2) yang mempunyai nama lain Tropical

Almond, Badamier, Java Almond, Amandier de Cayenne, Wild Almond, Indian

Almond, Myrobalan, Malabar Almond, Singapore Almond, Huu Kwang, Sea

Almond, Kobateishi mempunyai daun yang mengeluarkan cairan yang mampu

membunuh parasit. Daun kering Ketapang yang jatuh ke air akan menimbulkan

warna coklat di air. Cairan tersebut penuh dengan asam-asam organik seperti

asam humus dan tannin yang dapat menurunkan pH dan menyerap

bahan-bahan kimia lain (Yew 2004). Menurut Lemmens (1992), Ketapang mengandung

berbagai macam bahan, pada kulit kayu yang berwarna kuning kecoklatan

dikandung 11-23 % tannin, daging berisi 75% air dan 5% protein, biji yang kering

matahari mengandung asam lemak seperti asam palmitat (55,5%), asam oleat

(23,3%), asam linoleat (7,6%), asam stearat (6,3%) dan asam miristat (1,6%),

dan daunnya mengandung 12 hidrolisa tanin, asam gallat, asam ellagat,

(33)

Pohon Ketapang sangat baik hidup di tanah maritim subtropis dan iklim

tropis dengan hujan dalam kisaran 1000-3500 per tahun, yang merata sepanjang

tahun. Pohon ini tumbuh pada kisaran suhu 23-32 ºC. Pohon ini bertumbuh baik

pada daerah yang menerima sinar matahari penuh. Pohon ini juga dapat

mentoleransi kekeringan selama 6 bulan. Banyak manfaat dari pohon ketapang,

baik itu daun, pohon dan buahnya. Tannin diproduksi dari kulit kayu, daun, akar

dan cangkang buah. Daun ketapang dapat digunakan sebagai obat seperti

diaphoretik, anti-indigesti dan anti disentri (Anonimous 2006).

2.5 Kualitas air

2.5.1 Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO), yaitu banyaknya kandungan oksigen yang terlarut di dalam suatu perairan yang dinyatakan dalam mg/liter. Kelarutan oksigen

dalam air dipengaruhi suhu air, salinitas, agitasi dan tekanan. Menurut Boyd

(1982), kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan

kelarutan gas dalam air menurun dengan meningkatnya salinitas. Pengaruh

tekanan udara terhadap oksigen terlarut yaitu mempercepat proses kelarutan

dan pelepasan oksigen. Berkurangnya oksigen terlarut dalam air, tentu saja akan

mempengaruhi fisiologi repirasi ikan.

Biological Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik

sedangkan Chemical Oxygen Demand (COD) adalah menyatakan jumlah total

oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang

terdapat di perairan. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya

nilai bahan organik di perairan (Effendi 2003).

2.5.2 Karbondioksida

Karbondioksia berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan hijau dan

fitoplankton di perairan. Karbondioksida dalam perairan berasal dari hasil

respirasi hewan, tumbuhan dalam air, difusi CO2 dari udara dan hasil

dekomposisi bahan organik (Effendi 2003). Karbondioksida yang dimanfaatkan

dalam proses fotosintesis terutama karbondioksida bebas. Kandungan

karbondioksida bebas yang sangat tinggi dapat meracuni kehidupan ikan dan

organisme air lainnya. Keracunan karbondioksida terjadi karena daya serap

(34)

dalam Darussalam (2005) di dalam perairan terdapat tiga bentuk karbondioksida, yaitu :

1. Karbondioksida bebas (CO2)

2. Karbondioksida setengah terikat dalam bentuk bikarbonat seperti

Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2

3. Karbondioksida terikat dalam monokarbonat seperti CaCO3 dan MgCO3.

Karbondioksida bersenyawa dengan air membentuk asam karbonat

(H2CO3) yang akan menghasilkan kondisi asam diperairan melalui disosiasi ion

H+ dan HCO

3-. Semakin tinggi konsentrasi CO2 diperairan, maka semakin banyak

H2CO3 yang terbentuk sehingga kondisi perairan menjadi semakin asam.

Boyd (1982) menyatakan seiring dengan tingginya suhu, maka CO2

menurun. Perairan yang diperuntukkan bagi perikanan sebaiknya memiliki kadar

CO2 bebas <5 mg/L. Sebagian organisme aquatik masih dapat bertahan hidup

hingga kadar karbondioksida bebas mencapai 60 mg/L (Hart 1944 dalam Boyd

1982).

2.5.3 Suhu

Suhu juga mempengaruhi kelarutan gas-gas dalam air termasuk oksigen,

semakin tinggi suhu maka semakin kecil kelarutan oksigen dalam air dan proses

biologi serta kimia akan meningkat, sehingga konsumsi oksigen akan meningkat

pula (Haris 1988 dalam Darusalam 2005). Pada saat suhu meningkat, presentasi

amoniak yang tidak terionisasi terhadap total amoniak akan meningkat (Boyd

1982)

Ikan dan krustasea adalah organisme yang bersifat poikilothermal atau

berdarah dingin, sehingga suhu tubuhnya selalu mengikuti kondisi suhu air

disekitarnya. Suhu air mengalami perubahan secara harian maupun musiman

sehingga suhu tubuh ikan dan crustacea akan berubah dari waktu ke waktu

(Boyd 1982). Udang galah dapat dipelihara pada suhu diantara 14 sampai 35 ºC,

tetapi yang optimal adalah 29-31 ºC (New 1995 dalam Chen dan Lee 1997).

2.5.4 Alkalinitas

Alkalinitas adalah kriteria yang penting untuk mendefinisikan efek dan

konsentrasi dari kriteria kualitas air dan juga merupakan ketentuan umum untuk

kehidupan ikan dan udang (Departement of Water Affairs and Forestry 1996

(35)

bermuatan negatif seperti ion karbonat (CO3-), ion bikarbonat (HCO3-) dan ion

OH- (Effendi 2003). Secara umum, alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa

atau bahan yang mampu menetralisir keasaman dalam air. Alkalinitas biasanya

dinyatakan dalam satuan ppm (mg/L) kalsium karbonat (CaCO3).

Moyle (1945); Mairs (1966) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa air

alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/L atau lebih CaCO3 akan lebih produktif

daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut. Menurut Departement of

Water Affairs and Forestry (1996) dalam Andhikari et al (2007), ikan air tawar

pada alkalinitas 100-150 mg/L CaCO3 memerlukan sedikit energi untuk

osmoregulasi dan menghasilkan pertumbuhan yang baik. Sedangkan Effendi

(2003) menyatakan bahwa alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/L

CaCO3.

2.5.5 Kesadahan

Kesadahan merupakan kandungan Ca+, Fe2+, Mg2+ dan Al3+. Kesadahan

dapat melindungi ikan dari absorbsi darah ikan terhadap logam seperti arsenik,

dan cadmium. Amonia dan fenol terlihat lebih toksik pada softwater. Kalsium dan

Magnesium sangat penting untuk memelihara eksoskeleton udang tetap kuat.

Hasil penelitian dari Andhikari et al. (2007) pada udang yang mempunyai

bobot 0,045±0,007 g, dalam pemeliharaan selama 25 hari menghasilkan derajat

kelangsungan hidup yang paling rendah pada 384 mg/L CaCO3 dan yang

tertinggi pada 92 mg/L CaCO3. Laju pertumbuhan yang tinggi pada 132, 92 dan

192 mg/L CaCO3 dan menurun secara nyata pada 228 dan 384 mg/L CaCO3.

New dan Singholka (1985) dalam Andhikari et al. (2007) menyatakan

bahwa kesadahan yang cocok untuk udang galah adalah 40 sampai 100 mg/L

CaCO3. Menurut Wetzel (2001) dalam Andhikari et al. (2007), kisaran kesadahan

air yang ideal antara 50 sampai 200 mg/L CaCO3 untuk pertumbuhan optimum

dari udang galah.

Kesadahan sekitar 940 dan 1060 mg/L CaCO3 tidak berpengaruh pada

pertumbuhan asalkan airnya mempunyai alkalinitas yang rendah antara 58 and

86 mg/L CaCO3 (Bartlett and Enkerlin 1983 dalam Andhikari et al. 2007).

Howlader dan Turjoman (1984) dalam Andhikari et al. (2007)juga melaporkan

bahwa pertumbuhan menurun pada kesadahan dari 688 sampai 987 mg/L

CaCO3. Penelitian Andhikari et al. (2007) ini mengungkapkan bahwa kesadahan

(36)

Hadie dan Hadie (1993) menyatakan bahwa penelitian terkini menyebutkan

bahwa derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan M. rosenbergii mempunyai

hubungan erat dengan kesadahan dan alkalinitas.

Saat kesadahan terlalu rendah, udang akan memerlukan waktu lebih

lama setelah molting dalam pembentukan eksoskeleton. Udang saat fase lembut

akan sangat mudah dibunuh oleh predator. Udang yang dipapar pada air lunak

lebih rawan terkena penyakit pada kondisi kualitas air yang lain. Kesadahan yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan masalah bagi kelangsungan hidup dan

pertumbuhan udang. Menurut Sawyer dan Mc Carty (1967) dalam Boyd (1982)

jenis air terbagi berdasarkan kesadahannya dalam mg/L CaCO3 sebagai berikut:

Kesadahan Nilai (mg/CaCO3)

0-75 lunak

75-150 sadah moderat

150-300 sadah

>300 sangat sadah

2.5.6 Total Amonia Nitrogen (TAN)

Amonia yang terkandung di perairan berasal dari perombakan bahan

organik dan pengeluaran hasil metabolisme ikan maupun biota akuatik lainnya

melalui ginjal dan jaringan insang. Di samping itu, amonia di kolam maupun

tambak berasal dari proses dekomposisi protein yang berasal dari sisa pakan

dan organisme yang mati. Kadar Total Amonia Nitrogen (TAN) dalam bentuk NH3

maupun NH4+ di dalam suatu perairan dipengaruhi juga oleh pH dari perairan

tersebut. Pada pH 7 atau kurang, nilai TAN diperairan lebih banyak dalam bentuk

ionisasi yang bersifat kurang toksik. Sebaliknya pada pH lebih dari 7, TAN lebih

banyak dalam bentuk tak terionisasi (bebas) yang bersifat toksik. Selain pH, suhu

perairan juga akan mempengaruhi besarnya kadar amonia (NH3). Dengan

meningkatnya suhu maka akan dapat meningkatkan kadar amonia di dalam

perairan. Pada pH 7,0; 7,2 dan 7,4 pada suhu 26 ºC presentase amonia bebas

terhadap amonia total adalah berturut-turut adalah 0,6%, 0,95% dan 1,50%

(Effendi, 2003). Amonia yang terlalu tinggi akan mempengaruhi permeabilitas

ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuhnya sehingga

akan mempengaruhi tekanan osmotik tubuhnya, dengan demikian ikan akan

(37)

kemampuan darah dalam mengedarkan oksigen. Kadar amonia (NH3) yang

dapat ditoleransi oleh ikan adalah 0,0125 ppm (Boyd 1982). Menurut The

European Inland Fisheries Advisory Commision (1973) dalam Boyd (1982),

konsentrasi ammonia yang bersifat toksik pada paparan singkat untuk semua

spesies adalah 0,6-2 mg/L NH3-N untuk semua spesies.

2.5.7 Nitrit (NO2)

Nitrit (NO2) merupakan produk hasil proses nitrifikasi dan reduksi nitrat

atau merupakan produk pertengahan dari konversi amonia pada proses nitrifikasi

(Eddy dan Williams 1987 dalam Chen dan Lee 1997). Daya racun nitrit dihasilkan

dalam proses reduksi hemoglobin atau dalam fungsi darah. Keracunan nitrit

sering disebut methemoglobinemia (HbNO2). Darah yang mengandung

methemoglobin dalam jumlah yang banyak akan berwarna coklat, sehingga

umumnya keracunan nitrit disebut brown blood disease. Hal ini disebabkan

karena disaat NO2 dalam perairan tinggi Hb cenderung lebih berikatan dengan

NO2 daripada dengan O2 sehingga terbentuk HbNO2. Krustasea mengandung

hemosianin yang bersenyawa dengan tembaga dalam heme sebagai pengganti

besi. Reaksi nitrit dengan hemosianin masih kurang dipahami, tetapi nitrit dapat

beracun bagi krustacea (Boyd 1990). Penelitian Amstrong et al. (1976) dalam

Chen dan Lee (1997) menyatakan bahwa LC50 larva udang galah selama 10-14

hari yang dipelihara di salinitas 12 ppt adalah 8,6 mg/L NO2.

2.5.8 Kecerahan

Kecerahan merupakan gambaran intensitas cahaya matahari yang masuk

ke perairan. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kemampuan

daya tembus sinar matahari sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan

bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan,

kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Wardoyo 1975 dalam Maraswati

1998 dalam Antara 2006 ). Kecerahan merupakan ukuran transparasi perairan,

yang ditentukan secara visual menggunakan secchi disk (Effendi 2003).

2.5.9 Warna

Warna air biasanya disebabkan oleh keberadaan ion-ion metal atau

logam seperti besi, mangan, humus, plankton, serta bahan-bahan terlarut dan

(38)

sedangkan oksida mangan menyebabkan air berwarna kecokelatan atau

kehitaman. Bahan-bahan organik misalnya tannin, lignin dan asam humus yang

berasal dari dekomposisi tumbuhan yang mati menimbulkan warna kecoklatan.

Warna air terbagi dua yaitu warna asli dan warna tampak. Warna asli ditentukan

setelah air difiltrasi atau disentrifus, sehingga warna air hanya disebabkan oleh

bahan-bahan terlarut. Warna tampak ditentukan langsung pada air yang tidak

mengalami perlakuan, sehingga warna air tersebut disebabkan oleh semua

bahan yang terlarut dan tersuspensi (Effendi 2003).

2.5.10 Kekeruhan

Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya sinar (cahaya yang dipancarkan) dan diserap oleh partikel-partikel

yang ada dalam air tersebut. Kekeruhan terutama dipengaruhi oleh bahan-bahan

tersuspensi seperti: lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton serta

organisme mikroskopik lainnya. Secara langsung kekeruhan dapat mengganggu

proses pernafasan organisme perairan seperti menutupi insang ikan. Kekeruhan

juga dapat mengurangi penetrasi cahaya ke perairan.

Kekeruhan diukur dengan turbiditimeter dengan satuan JTU (Jackson

Turbidit Unit), FTU ( Formazin Turbidity Unit) atau NTU (Nephelometric Turbidity

Unit), tergantung pada alat yang digunakan. Peningkatan kekeruhan sebesar 5

NTU di danau dan di sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut

sebesar 75% dan 3%-13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan

terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat

(39)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di laboratorium lingkungan Departemen Budidaya

Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada

bulan Maret sampai Agustus 2008 dilaksanakan persiapan dan pendahuluan

penelitian dan pada bulan Agustus sampai dengan November 2008 dilakukan

penelitian inti.

3.2 Biota dan Media 3.2.1 Udang Uji

Udang uji didatangkan dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI di Bogor.

Udang yang dipakai sebanyak 3 strain yaitu Sulawesi, Jawa dan persilangan

antara Sulawesi dan Jawa (Jenerik) dengan bobot awal berturut-turut 0,45±0,26

gram, 0,23±0,15 gram, 0,18±0,04 dan panjang awal berturut-turut 3,77±0,6 cm,

3,05±0,64 cm, 2,88±0,24 cm. Setiap strain diperlukan sebanyak 36 ekor dan

mempunyai cadangan udang berjumlah 90 ekor udang masing-masing strain.

Udang tersebut diuji pada saat pascalarva (PL) 35.

3.2.2 Air Pemeliharaan

Nilai pH 5 ditetapkan sebagai tingkat keasaman air untuk pemeliharaan

udang galah dengan air asam. Cara memperolehnya adalah dengan

menambahkan air sebanyak 4 liter yang sudah diaerasi selama 3 hari dengan 25

gr potongan (±2 cm) daun ketapang. Daun ketapang yang digunakan adalah

daun ketapang kering yang sudah jatuh ke tanah dan dikeringkan lagi selama 3

hari, daun tersebut kemudian disimpan selama 1 bulan di dalam plastik tertutup.

Air yang bercampur daun tersebut kemudian ditunggu selama 4 hari untuk

mendapatkan pH 5. Sedangkan pH 7 ditetapkan menjadi nilai keasaman air

pemeliharaan yang memiliki pH normal yang digunakan sebagai kontrol. Air

tersebut diperoleh dengan mengaerasi air tandon sebanyak 4 liter selama

minimal 2 hari. Untuk adaptasi, digunakan air yang memiliki pH 6, yang diperoleh

dengan cara mencampurkan air yang memiliki pH 5 dan yang memiliki pH 7

dengan perbandingan 1:1. Air pemeliharaan asam maupun normal tersebut tetap

(40)

3.2.3 Pakan

Udang galah diberi pakan komersial berbentuk pellet ukuran P1 dengan

kandungan protein kasar 42 %. Pakan diperoleh dari penjual pakan di Kedung

Halang, Bogor.

3.2.4 Wadah dan peralatan lain

Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah 18 buah akuarium uji

dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Sedangkan peralatannya adalah shelter,

selang aerasi, batu aerasi, alat saring, baskom, timbangan digital dengan

ketelitian 0,01 yang bermerek Helen, jangka sorong, pH pen yang bermerek

Hanna, dan peralatan pengukur karbondioksida bebas (CO2), Disolved Oxygen

(DO), Total Amonia Nitrogen (TAN), dan alkalinitas. Shelter (pemisah antar

individu biota) (Lampiran 2) dibuat dari pipa PVC ukuran 2 inchi sepanjang 6 cm.

Salah satu sisi dari pipa persebut ditutup dengan kain strimin plastik yang diikat

menggunakan karet gelang. Pipa yang sudah tertutup strimin tersebut direkatkan

satu sama lain sampai membentuk sarang lebah yang berjumlah 7 lubang

menggunakan lem silikon. Shelter yang terbentuk kemudian diberi lubang pada

kedua sisi atas untuk tempat pengait yang berbahan kawat. Pada pemeliharaan

di air asam, shelter yang sudah jadi direndam dalam air asam (ekstrak ketapang)

selama 15 hari dan untuk tempat udang di pH normal, sarang direndam di air

biasa selama 15 hari.

3.3 Metode penelitian

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Uji pendahuluan yang dilakukan adalah menentukan metode untuk

membuat media uji yang mempunyai pH stabil dan tidak membuat udang galah

mati, menggunakan metode trial and error sebagai berikut:

Tahap I. Dengan meneteskan HCl ke air media uji sampai ber pH 3 dan 5

dengan tetap memberikan aerasi pada air tersebut. Setelah udang

ditebar, pH yang diperoleh tidak stabil dan kemudian terjadi

kematian pada seluruh udang

Tahap II. Dengan mencampurkan media uji dengan HCl yang sudah diencerkan

secara gradual. Udang ditebar dari awal pada saat pH air masih

normal kemudian air media uji diturunkan pHnya sebesar 1 digit

(41)

kemudian didapatkan nilai pH yang tidak stabil dan terjadi kematian

udang

Tahap III. Dengan meneteskan CH3COOH ke air media uji sampai ber pH 3, 5

dan 7 dengan tetap memberikan aerasi pada air tersebut. Setelah

udang ditebar, pH yang diperoleh tidak stabil dan kemudian terjadi

kematian pada seluruh udang

Tahap IV. Dengan mencampurkan media uji dengan CH3COOH yang sudah

diencerkan secara gradual. Udang ditebar dari awal pada saat pH

air masih normal kemudian air media uji diturunkan pHnya sebesar

0,2 digit per 2 jam sampai pH 5 dengan tetap memberikan aerasi

dan kemudian didapatkan nilai pH yang tidak stabil dan terjadi

kematian udang

Tahap V. Dengan membuat air ekstrak daun ketapang yang sudah diblender

terlebih dahulu. Ekstrak daun ketapang diperoleh dari LIPI yang

sudah disimpan selama lebih dari 1 bulan. Air 15 liter ditambahkan

dengan 100 gr ekstrak daun ketapang kering dan dihasilkan pH 4,2.

Air tersebut kemudian dicampur dengan air biasa sehingga pada hari

ke-2 menghasilkan pH 5. tetapi saat media uji diberi udang, dalam

waktu 1 hari terjadi kematian pada seluruh udang uji. DO yang

diukur mengindikasikan DO yang sangat kecil yaitu < 2 ppm.

Tahap VI. Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang

kering dengan tetap memberikan aerasi, hari ke-3 setelah perlakuan

sampai hari ke-8 didapatkan pH 5 yang stabil dan kemudian media

tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke 8 tersebut, udang

yang ditebar masih hidup.

Tahap VII

a). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun

ketapang dan ditambahkan dengan CH3COOH dengan tetap

memberikan aerasi, pada hari dilakukannya perlakuan telah

didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-1, media

tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-8 pemeliharaan,

udang yang ditebar masih hidup.

b). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun

ketapang dan ditambahkan dengan CH3COOH dan tanah dengan

(42)

didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-1, media

tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-8 pemeliharaan,

udang yang ditebar masih hidup.

c). Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun

ketapang dan ditambahkan dengan tanah dengan tetap

memberikan aerasi, pada hari ke-3 dilakukannya perlakuan telah

didapatkan pH 5 yang stabil sampai hari ke-8. pada hari ke-3, media

tersebut ditebar dengan udang. Sampai hari ke-5 pemeliharaan,

udang yang ditebar masih hidup.

Tahap VIII. Dengan mencampurkan 4 liter air dengan 7 lembar daun ketapang

yang dipotong-potong 2 cm dengan tetap memberikan aerasi, pada

hari ke-4 dilakukannya perlakuan telah didapatkan pH 5 yang stabil

sampai hari ke-8. Pada hari ke-4, media tersebut ditebar dengan

udang. Sampai hari ke-8 tersebut, udang yang ditebar masih hidup.

Tahap IX. Menentukan bahwa proses di tahap VIII untuk perlakuan dipilih. Bobot

daun di ukur dan diketahui bahwa daun yang digunakan adalah

kurang lebih 25 gram untuk 4 liter air.

3.3.2 Pelaksanaan penelitian 3.3.2.1 Media pemeliharaan

Air media disiapkan pada akuarium uji dengan komposisi 9 akuarium

memiliki nilai pH 5 dan 9 akuarium sisanya memiliki nilai pH 7.

3.3.2.2 Adaptasi dan Penebaran udang

Aklimatisasi dilakukan terhadap udang di akuarium penampungan udang.

Setelah diadaptasi selama 2 hari pada akuarium tersebut, sebagian udang

kemudian dipindahkan ke akuarium yang sudah berisi air berkisaran pH 6 yang

sudah diaerasi. Setelah 2 hari udang diukur dan dicatat panjang dan bobotnya

kemudian ditebar pada shelter dengan masing masing lubang di isi 1 ekor udang.

Udang yang sudah diadaptasi pada pH 6 ditebar pada air pemeliharaan yang

memiliki nilai pH 5 dan udang yang hidup diair normal ditebar pada air

(43)

3.3.2.3 Pemeliharaan

Udang diberi pakan dengan tingkat pakan 10% dari bobot tubuh dan

frekuensi pakan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Aerasi ditempatkan

pada bagian dasar akuarium (berada pada posisi di bawah shelter). Pada air

pemeliharaan normal, dilakukan sifon setiap 3 hari sekali. Dan pada air yang

asam, dilakukan pembersihan kain strimin dan batu aerasi dari sisa pakan dan

kotoran lain setiap 3 hari sekali atau sesuai kebutuhan. Air pemeliharaan diganti

setiap 10 hari sekali. Dan setiap air baru, sebelumnya dilakukan cek kualitas air

terlebih dahulu untuk menjamin bahwa kualitas air sesuai dengan kisaran

kehidupan udang. Air pemeliharaan yang berumur 10 hari (akan diganti) juga

dilakukan pengecekan kualitas air. Adapun kualitas air yang diukur kualitasnya

adalah: pH, suhu, kecerahan, kekeruhan, kandungan oksigen terlarut (DO),

karbondioksida bebas (CO2), alkalinitas, kesadahan, total amoniak nitrogen

(TAN), nitrit, dan warna.

3.3.3 Parameter penelitian

3.3.3.1 Derajat kelangsungan hidup

Data kelangsungan hidup didapatkan dengan pengamatan harian. Udang

yang hidup dihitung (Nt) dan Jumlah udang pada awal tebar dicatat.

Kelangsungan hidup merupakan presentase udang yang hidup dengan formula

sebagai berikut (Effendie, 1997) :

%

SR = tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = jumlah individu pada akhir perlakuan (hari ke-t)

N0 = jumlah individu pada awal perlakuan (hari ke-0)

3.3.3.2 Laju Pertumbuhan Harian Bobot dan Panjang

Bobot dan panjang udang diukur pada awal perlakuan, tengah (hari

ke-15), dan akhir perlakuan. Kemudian dengan formulasi sebagai berikut dihitung α /

(44)

Bobot

wt = bobot rata-rata pada akhir perlakuan (hari ke-t)

w0 = bobot rata-rata pada awal perlakuan (hari ke-0)

Panjang

wt = panjang rata-rata pada akhir perlakuan (hari ke-t)

w0 = panjang rata-rata pada awal perlakuan (hari ke-0)

3.3.3.3 Frekuensi dan Periode Molting

Frekuensi molting merupakan nilai yang merepresentasikan tingkat

keseringan molting pada udang selama pemeliharaan sedangkan periode

molting merupakan lama waktu rata-rata yang diperlukan untuk molting. Nilai

perode diperoleh dari lama pemeliharaan dibagi dengan frekuensi molting.

i

n = jumlah mollting perindividu selama pemeliharaan

i = jumlah individu

3.3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah

(45)

Rancangan perlakuannya adalah sebagai berikut:

1. Perlakuan menggunakan udang Sulawesi dengan kisaran pH 5

2. Perlakuan menggunakan udang Jawa dengan kisaran pH 5

3. Perlakuan menggunakan udang Jenerik dengan kisaran pH 5

4. Perlakuan menggunakan udang Sulawesi dengan kisaran pH 7

5. Perlakuan menggunakan udang Jawa dengan kisaran pH 7

6. Perlakuan menggunakan udang Jenerik dengan kisaran pH 7

Model percobaan sesuai dengan Matjik dan Sumertajaya (2002), yaitu:

ij

Yij=

μ

+

τ

+

ε

Keterangan:

Yij = Data hasil pengamat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Nilai tengah umum

τ

= Pengaruh perlakuan ke-I = 1, 2, 3,….,n ij

ε

= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j

3.3.5 Analisis data:

Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis statistik dengan

menggunakan Microsoft Excel 2003, yang meliputi:

1. Analisis keragaman dengan one way anova pada microsoft excel 2003

dengan selang kepercayaan 95%, digunakan untuk mengetahui pengaruh

antar perlakuan terhadap derajat kelangsungan hidup.

2. Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan harian,

diambil data individu sebagai ulangan dengan bobot dan panjang awal

yang seragam.

3. Analisis deskripsi yang digunakan untuk melihat kelayakan air

pemeliharaan, membaca keterangan kematian pada udang serta

frekuensi dan periode molting, yang disajikan dalam bentuk gambar dan

Gambar

Tabel 1. Jadwal Pakan
Tabel 2. Karakter morfometrik induk udang galah strain Sulawesi, Jawa (Rosellia et al
Gambar 1. Nilai harian pH pada media pemeliharaan udang galah
Tabel 4. Data kualitas air media pemeliharaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kapur (CaCO3) berpengaruh pada pertambahan bobot, panjang total, panjang abdomen, dan frekuensi moulting udang

panjang udang galah ( Macrobrachium rosenbergii de Man) pada Gambar 1 menunjukan nilai tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 3,85 cm diikuti dengan perlakuan P2

Pengaruh inokulasi bakteri Vibrio harveyi 10 5 cfu/ml pada media pemeliharaan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva udang galah dari sumber populasi yang berbeda dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kalsium dalam kadar yang berbeda berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian udang galah... Tahapan terakhir adalah moulting

pada salinitas yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva udang galah ( Macrobrchium rosenbergii ) asahan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk mendapatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan tertinggi pada udang galah disarankan pemberian kentang sebanyak 3

Perkembangan teknologi budidaya perikanan dan riset pemuliaan diharapkan dapat menghasilkan varietas udang galah yang tidak saja unggul dari segi pertumbuhan, tetapi juga unggul

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kalsium dalam kadar yang berbeda berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian udang galah... Tahapan terakhir adalah moulting