S
S
TR
T
R
AT
A
TE
EG
GI
I
D
D
AL
A
LA
AM
M
M
ME
EN
N
GA
G
AT
T
AS
A
SI
I
P
PE
ER
RB
B
ED
E
D
AA
A
AN
N
T
T
IN
I
N
GK
G
KA
AT
T
P
PE
ER
RK
KE
E
MB
M
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KE
E
LO
L
OM
M
PO
P
OK
K
U
US
SA
AH
HA
A
B
BE
E
RS
R
SA
AM
MA
A
(
(K
KU
UB
B
E
E
)
)
M
ME
E
NG
N
GA
AC
C
U
U
P
P
AD
A
D
A
A
T
T
IP
I
PO
OL
LO
OG
GI
I
P
P
ER
E
R
KE
K
EM
MB
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KU
UB
BE
E
(STUDI KASUS DI RW 01 KELURAHAN KEBON WARU KECAMATAN BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT)
Heni Holiah
Komisi Pembimbing :
Dr. Er. I
r. Pudji
S
S
E
E
K
K
O
O
L
L
A
A
H
H
P
P
A
A
S
S
C
C
A
A
S
S
A
A
R
R
J
J
A
A
N
N
A
A
I
IN
N
S
S
TI
T
IT
T
UT
U
T
P
P
ER
E
R
T
T
AN
A
N
IA
I
AN
N
B
BO
OG
GO
OR
R
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pengembangan
masyarakat dengan judul “Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi
Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat”, adalah benar
merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas
akhir ini.
Bogor, Nopember 2006
HENI HOLIAH, Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, Dibimbing oleh WINATI WIGNA dan NURMALA K. PANDJAITAN.
Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan pada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami kegagalan disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya.
Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat perkembangan pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3, walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Mengacu pada tipologi perkembangan, KUBE HPMBK-1 bertipologi berkembang sedangkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.
Oleh karena itu, perlu disusun strategi dalam mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE agar tingkat perkembangan KUBE relatif sama sehingga keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.
Tingkat perkembangan KUBE yang berbeda menimbulkan permasalahan umum dan khusus yang dihadapi masing- masing KUBE. Permasalahan umum adalah permasalahan yang sama-sama dihadapi ketiga KUBE. Pemasalahan khusus hanya dihadapi oleh KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3. Jadi kedua KUBE tersebut selain menghadapi permasalahan umum juga menghadapi permasalahan khusus. Hal inilah yang menyebabkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 masih tetap berada pada tipologi tumbuh. .
Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (tipologi tumbuh): 1) Pengurus tidak menjalankan tugas sesuai dengan pembagian kerja yang telah ditetapkan, 2) Anggota kurang mematuhi aturan kelompok yang telah disepakati bersama, 3) Kurangnya kerjasama antar anggota dalam mengembangkan KUBE, 4) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha,
5) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 6) Kurangnya jaringan kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.
Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-1 (tipologi berkembang): 1) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 2) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha, 3) Kurangnya jaringan
kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.
anggota terhadap aturan yang menjadi kesepakatan kelompok, 3) Peningkatan kerjasama antar anggota, 4) Peningkatan kemampuan permodalan, 5) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam pengelolaan KUBE, 6) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Program pada KUBE HPMBK-1
bertipologi berkembang adalah peningkatan pengelolaan KUBE melalui: 1) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam
HENI HOLIAH. The strategy in handling level differences of Entrepreneurship Group (KUBE) development based on KUBE development typology: A case study at RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat. Advised by Winati Wigna and Nurmala K. Pandjaitan.
Poverty is a condition of inability to fulfill the basic needs based on values or norms in the community. The empowerment strategy used is one intended to handle poverty using a group approach through KUBE. Yet, there are a lot of KUBEs organized by the government fail to achieve their goals because of the ir unification in the development strategy.
The study results showed that there were level differences of development in KUBE of “Bhakti Kesuma Organized Community Empowerment-1” (KUBE HPMBK-1), KUBE HPMBK-2, and KUBE HPMBK-3, even when those KUBE began to organize they were in the same condition and quality. Referring to the development typology, the typology of KUBE HPMBK-1 was in the developing one, KUBE HPMBK-2 and 3 were in the growing typology. The differences of KUBE typology indicated the lameness in KUBE development level.
Accordingly, the formulation of strategy in handling the level differences of KUBE development is needed based on KUBE development typology so that there would be a unification of KUBE development. The successful of KUBE could be reached not only in organizational but also in economical and social aspects.
The KUBE differences made the emergence of general and special problems experienced by each KUBE. The general problem was experienced by those three KUBE, while special problem was only faced by KUBE HPMBK-2 and 3. This condition made KUBE HPMBK-2 and 3 were still in a growing position.
Problems faced by KUBE HPMBK-2 and 3 (growing typology) were: 1) The agency officers do not work suitable with their job description, 2) The members of KUBE do not obey the rules appropriately, 3) The lack of
co-operation among the members in developing KUBE, 4) The lack of capitalization for business development, 5) The lack of knowledge and skills in organizing KUBE, 6) The lack of networking or partnership with the other parties. Problems faced by KUBE HPMBK-1 (developing typology) are: 1) The lack of knowledge and skills to organize KUBE, 2) The lack of capitalization to develop the business, 3) The lack of networking or partnership with other parties.
The problems that are faced by the three KUBE need to be overcome in order that there will not be the lameness in KUBE. Therefore, KUBE needs a strategy in the form of a program that is intended to handle the lameness of KUBE development level. The programs on KUBE HPMBK-2 and 3 are increasing the motivation and organization of KUBE through:1) Officers re-organization, 2) Increasing the consciousness of members toward the rules agreed by all members, 3) Increasing the cooperation among the members, 4) Increasing the capitalization, 5) Increasing the knowledge and skills of the officers in organizing KUBE, 6) Developing the networking/partnership. The KUBE HPMBK-1 program is increasing the KUBE organization through: 1) Increasing the
knowledge and skills of the officers and members in organizing KUBE, 2) Increasing the capitalization capacity, 3) Developing networking/partnership. It
S
S
TR
T
R
AT
A
TE
EG
GI
I
D
D
AL
A
LA
AM
M
M
ME
EN
N
GA
G
AT
T
AS
A
SI
I
P
PE
ER
RB
B
ED
E
D
AA
A
AN
N
T
T
IN
I
N
GK
G
KA
AT
T
P
PE
ER
RK
KE
E
MB
M
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KE
E
LO
L
OM
M
PO
P
OK
K
U
US
SA
AH
HA
A
B
BE
E
RS
R
SA
AM
MA
A
(
(K
KU
UB
B
E
E
)
)
M
ME
E
NG
N
GA
AC
C
U
U
P
P
AD
A
D
A
A
T
T
IP
I
PO
OL
LO
OG
GI
I
P
P
ER
E
R
KE
K
EM
MB
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KU
UB
BE
E
(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Komisi Pembimbing :
Dr. Er. Ir. Pudji
Heni Holiah
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat
memperoleh Gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
S
SE
E
KO
K
OL
LA
AH
H
P
PA
AS
SC
C
AS
A
SA
AR
RJ
JA
AN
N
A
A
I
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi perkembangan KUBE
(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Nama Mahasiswa : HENI HOLIAH Nomor Pokok : A.154050115
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Dra. Winati Wigna, MDS Ketua
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pengembangan
masyarakat dengan judul Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi
Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat sebagai salah satu
persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan karena dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Ketua Komisi Pembimbing.
2. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing.
3. Responden dan informan yang telah memberikan data-data yang diperlukan
dalam kajian.
4. Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial
Departemen Sosial RI.
5. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
6. Drs. Nelson Aritonang MSSW, selaku Penguji dari Luar Komisi Pembimbing.
7. Dra. Neni Kusumawardhani, MS selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial (STKS) Bandung.
8. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan
Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB)
9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogo r (IPB) dan STKS Bandung.
10.Orang tuaku dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
11.Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga kajian ini bermanfaat bagi semua.
Bogor, Nopember 2006
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang... 1
Rumusan Masalah... 5
Tujuan Kajian... 6
Manfaat Kajian... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Kemiskinan... 7
Pemberdayaan Masyarakat... 9
Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat... 13
Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)... 15
Kelompok Usaha Bersama (KUBE)... 17
Kerangka Pemikiran ... 22
METODE KAJIAN ... 24
Tipe dan Aras Kajian... 24
Strategi Kajian... 24
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kajian... 25
Metode Pengumpulan Data... 26
Analisis Data ... 29
Penyusunan Program... 29
PETA SOSIAL KELURAHAN KEBON WARU ... 30
Gambaran Lokasi ... 30
Masalah Kemiskinan Dalam Komunitas... 31
KERAGAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) HIMPUNAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BHAKTI KESUMA (HPMBK) DI KELURAHAN KEBON WARU ... 43
Deskripsi Program ... 43
KUBE sebagai Aspek Pengembangan Sosial dan Ekonomi... 44
Sejarah Pembentukan KUBE... 47
Keanggotaan dan Jenis Usaha serta Permodalan KUBE ... 49
Sumber Daya Manusia dalam KUBE... 54
Sruktur KUBE... 55
S
S
TR
T
R
AT
A
TE
EG
GI
I
D
D
AL
A
LA
AM
M
M
ME
EN
N
GA
G
AT
T
AS
A
SI
I
P
PE
ER
RB
B
ED
E
D
AA
A
AN
N
T
T
IN
I
N
GK
G
KA
AT
T
P
PE
ER
RK
KE
E
MB
M
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KE
E
LO
L
OM
M
PO
P
OK
K
U
US
SA
AH
HA
A
B
BE
E
RS
R
SA
AM
MA
A
(
(K
KU
UB
B
E
E
)
)
M
ME
E
NG
N
GA
AC
C
U
U
P
P
AD
A
D
A
A
T
T
IP
I
PO
OL
LO
OG
GI
I
P
P
ER
E
R
KE
K
EM
MB
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KU
UB
BE
E
(STUDI KASUS DI RW 01 KELURAHAN KEBON WARU KECAMATAN BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG PROPINSI JAWA BARAT)
Heni Holiah
Komisi Pembimbing :
Dr. Er. I
r. Pudji
S
S
E
E
K
K
O
O
L
L
A
A
H
H
P
P
A
A
S
S
C
C
A
A
S
S
A
A
R
R
J
J
A
A
N
N
A
A
I
IN
N
S
S
TI
T
IT
T
UT
U
T
P
P
ER
E
R
T
T
AN
A
N
IA
I
AN
N
B
BO
OG
GO
OR
R
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir kajian pengembangan
masyarakat dengan judul “Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi
Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat”, adalah benar
merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas
akhir ini.
Bogor, Nopember 2006
HENI HOLIAH, Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat, Dibimbing oleh WINATI WIGNA dan NURMALA K. PANDJAITAN.
Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan pada nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami kegagalan disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya.
Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat perkembangan pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3, walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Mengacu pada tipologi perkembangan, KUBE HPMBK-1 bertipologi berkembang sedangkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 bertipologi tumbuh. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.
Oleh karena itu, perlu disusun strategi dalam mengatasi perbedaan tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE agar tingkat perkembangan KUBE relatif sama sehingga keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial.
Tingkat perkembangan KUBE yang berbeda menimbulkan permasalahan umum dan khusus yang dihadapi masing- masing KUBE. Permasalahan umum adalah permasalahan yang sama-sama dihadapi ketiga KUBE. Pemasalahan khusus hanya dihadapi oleh KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3. Jadi kedua KUBE tersebut selain menghadapi permasalahan umum juga menghadapi permasalahan khusus. Hal inilah yang menyebabkan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 masih tetap berada pada tipologi tumbuh. .
Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (tipologi tumbuh): 1) Pengurus tidak menjalankan tugas sesuai dengan pembagian kerja yang telah ditetapkan, 2) Anggota kurang mematuhi aturan kelompok yang telah disepakati bersama, 3) Kurangnya kerjasama antar anggota dalam mengembangkan KUBE, 4) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha,
5) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 6) Kurangnya jaringan kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.
Permasalahan yang dihadapi KUBE HPMBK-1 (tipologi berkembang): 1) Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan KUBE, 2) Kurangnya permodalan untuk pengembangan usaha, 3) Kurangnya jaringan
kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak lain.
anggota terhadap aturan yang menjadi kesepakatan kelompok, 3) Peningkatan kerjasama antar anggota, 4) Peningkatan kemampuan permodalan, 5) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam pengelolaan KUBE, 6) Membangun jaringan kerjasama/kemitraan. Program pada KUBE HPMBK-1
bertipologi berkembang adalah peningkatan pengelolaan KUBE melalui: 1) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengurus dan anggota dalam
HENI HOLIAH. The strategy in handling level differences of Entrepreneurship Group (KUBE) development based on KUBE development typology: A case study at RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat. Advised by Winati Wigna and Nurmala K. Pandjaitan.
Poverty is a condition of inability to fulfill the basic needs based on values or norms in the community. The empowerment strategy used is one intended to handle poverty using a group approach through KUBE. Yet, there are a lot of KUBEs organized by the government fail to achieve their goals because of the ir unification in the development strategy.
The study results showed that there were level differences of development in KUBE of “Bhakti Kesuma Organized Community Empowerment-1” (KUBE HPMBK-1), KUBE HPMBK-2, and KUBE HPMBK-3, even when those KUBE began to organize they were in the same condition and quality. Referring to the development typology, the typology of KUBE HPMBK-1 was in the developing one, KUBE HPMBK-2 and 3 were in the growing typology. The differences of KUBE typology indicated the lameness in KUBE development level.
Accordingly, the formulation of strategy in handling the level differences of KUBE development is needed based on KUBE development typology so that there would be a unification of KUBE development. The successful of KUBE could be reached not only in organizational but also in economical and social aspects.
The KUBE differences made the emergence of general and special problems experienced by each KUBE. The general problem was experienced by those three KUBE, while special problem was only faced by KUBE HPMBK-2 and 3. This condition made KUBE HPMBK-2 and 3 were still in a growing position.
Problems faced by KUBE HPMBK-2 and 3 (growing typology) were: 1) The agency officers do not work suitable with their job description, 2) The members of KUBE do not obey the rules appropriately, 3) The lack of
co-operation among the members in developing KUBE, 4) The lack of capitalization for business development, 5) The lack of knowledge and skills in organizing KUBE, 6) The lack of networking or partnership with the other parties. Problems faced by KUBE HPMBK-1 (developing typology) are: 1) The lack of knowledge and skills to organize KUBE, 2) The lack of capitalization to develop the business, 3) The lack of networking or partnership with other parties.
The problems that are faced by the three KUBE need to be overcome in order that there will not be the lameness in KUBE. Therefore, KUBE needs a strategy in the form of a program that is intended to handle the lameness of KUBE development level. The programs on KUBE HPMBK-2 and 3 are increasing the motivation and organization of KUBE through:1) Officers re-organization, 2) Increasing the consciousness of members toward the rules agreed by all members, 3) Increasing the cooperation among the members, 4) Increasing the capitalization, 5) Increasing the knowledge and skills of the officers in organizing KUBE, 6) Developing the networking/partnership. The KUBE HPMBK-1 program is increasing the KUBE organization through: 1) Increasing the
knowledge and skills of the officers and members in organizing KUBE, 2) Increasing the capitalization capacity, 3) Developing networking/partnership. It
S
S
TR
T
R
AT
A
TE
EG
GI
I
D
D
AL
A
LA
AM
M
M
ME
EN
N
GA
G
AT
T
AS
A
SI
I
P
PE
ER
RB
B
ED
E
D
AA
A
AN
N
T
T
IN
I
N
GK
G
KA
AT
T
P
PE
ER
RK
KE
E
MB
M
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KE
E
LO
L
OM
M
PO
P
OK
K
U
US
SA
AH
HA
A
B
BE
E
RS
R
SA
AM
MA
A
(
(K
KU
UB
B
E
E
)
)
M
ME
E
NG
N
GA
AC
C
U
U
P
P
AD
A
D
A
A
T
T
IP
I
PO
OL
LO
OG
GI
I
P
P
ER
E
R
KE
K
EM
MB
B
AN
A
N
GA
G
AN
N
K
KU
UB
BE
E
(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Komisi Pembimbing :
Dr. Er. Ir. Pudji
Heni Holiah
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat
memperoleh Gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
S
SE
E
KO
K
OL
LA
AH
H
P
PA
AS
SC
C
AS
A
SA
AR
RJ
JA
AN
N
A
A
I
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi perkembangan KUBE
(Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat)
Nama Mahasiswa : HENI HOLIAH Nomor Pokok : A.154050115
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Dra. Winati Wigna, MDS Ketua
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir kajian pengembangan
masyarakat dengan judul Strategi Dalam Mengatasi Perbedaan Tingkat
Perkembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Mengacu Pada Tipologi
Perkembangan KUBE, Studi Kasus di RW 01 Kelurahan Kebon Waru,
Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat sebagai salah satu
persyaratan menyelesaikan studi pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan karena dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Ketua Komisi Pembimbing.
2. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing.
3. Responden dan informan yang telah memberikan data-data yang diperlukan
dalam kajian.
4. Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Sosial
Departemen Sosial RI.
5. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
6. Drs. Nelson Aritonang MSSW, selaku Penguji dari Luar Komisi Pembimbing.
7. Dra. Neni Kusumawardhani, MS selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial (STKS) Bandung.
8. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan
Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB)
9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogo r (IPB) dan STKS Bandung.
10.Orang tuaku dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
11.Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga kajian ini bermanfaat bagi semua.
Bogor, Nopember 2006
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang... 1
Rumusan Masalah... 5
Tujuan Kajian... 6
Manfaat Kajian... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Kemiskinan... 7
Pemberdayaan Masyarakat... 9
Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat... 13
Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)... 15
Kelompok Usaha Bersama (KUBE)... 17
Kerangka Pemikiran ... 22
METODE KAJIAN ... 24
Tipe dan Aras Kajian... 24
Strategi Kajian... 24
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Kajian... 25
Metode Pengumpulan Data... 26
Analisis Data ... 29
Penyusunan Program... 29
PETA SOSIAL KELURAHAN KEBON WARU ... 30
Gambaran Lokasi ... 30
Masalah Kemiskinan Dalam Komunitas... 31
KERAGAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) HIMPUNAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BHAKTI KESUMA (HPMBK) DI KELURAHAN KEBON WARU ... 43
Deskripsi Program ... 43
KUBE sebagai Aspek Pengembangan Sosial dan Ekonomi... 44
Sejarah Pembentukan KUBE... 47
Keanggotaan dan Jenis Usaha serta Permodalan KUBE ... 49
Sumber Daya Manusia dalam KUBE... 54
Sruktur KUBE... 55
xii
Jaringan Kerjasama dengan Pengusaha Lokal
dan Kelembagaan Ekonomi ... 60
Tingkat Perkembangan KUBE Mengacu pada Tipologi Perkembangan KUBE... 62
Permasalahan yang menyebabkan Terjadinya Tingkat Perkembangan KUBE yang berbeda... 70
PROGRAM DALAM MENGATASI KETIMPANGAN TINGKAT PERKEMBANGAN KUBE ... 78
Analisis Masalah 78 Permasalahan Umum pada KUBE HPMBK-1, KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3... 79
Permasalahan Khusus pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3... 80
Proses Penyusunan Program... 81
Potensi Lokal dan Penentuan Masalah... 82
Penentuan Masalah pada KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh)... 83
Penentuan Masalah pada KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang)... 85
Program Peningkatan Motivasi dan Pengelolaan KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh)... 87
Program Peningkatan Pengelolaan KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang)... 90
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 96
Kesimpulan ... 96
Rekomendasi ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 98
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jadwal Pelaksanaan Kajian ... 26
2 Masalah, Topik, Sumber data,
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 28 3 Peruntukan Lahan di Kelurahanan Kebon Waru
Tahun 2005 ... 31 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Kebon Waru
Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 ... 33
5 Komposisi Penduduk Kelurahan Kebon Waru
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005 ... 35
6 Komposisi Penduduk Kelurahan Kebon Waru
Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2005 ... 37
7 Keanggotaan dan Jenis Usaha KUBE HPMBK
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 50 8 Perkembangan Modal KUBE HPMBK (dalam ribuan)
Di Kelur ahan Kebon Waru tahun 2005/2006 ... 52 9 Komposisi Anggota KUBE HPMBK Berdasarkan Pendidikan
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 54
10 Stuktur Kepengurusan KUBE HPMBK
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 56 11 Tahap Perkembangan KUBE HPMBK
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 63 12 Pencapaian Tingkat Keberhasilan KUBE HPMBK
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 68
13 Masalah Umum dan Khusus pada KUBE HPMBK
Di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2006 ... 71 14 Masalah, Sebab-sebab Masalah dan Cara Mengatasi Masalah
pada KUBE HPMBK-2 dan HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh) ... 84
15 Masalah, Sebab-sebab Masalah dan Cara Mengatasi Masalah
pada KUBE HPMBK-1 (Tipologi Berkembang) ... 86
16 Rencana Program Peningkatan Motivasi dan Pengelolaan
KUBE HPMBK-2 dan KUBE HPMBK-3 (Tipologi Tumbuh) ... 88
17 Rencana Program Penge lolaan KUBE HPMBK-1
xiv
Halaman
1 Bagan Kerangka Pemikiran Kajian ... 23
2 Piramida Penduduk Kelurahan Kebon WaruTahun 2005 ... 33
3 Komposisi Keluarga Miskin di Kelurahan
Kebon Waru Berdasarkan Pendidikan Tahun 2005 ... 36
4 Komposisi Keluarga Miskin di Kelurahan Kebon Waru
Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2005 ... 38
5 Pelapisan Sosial di Kelurahan Kebon Waru ... 40
6 Kondisi dan Kualitas KUBE HPMBK
di Kelurahan Kebon Waru Tahun 2005 ... 49 7 Perkembangan Modal KUBE HPMBK (dalam Ribuan)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Lokasi Kajian ... 101 2 Pedoman Studi Dokumen ... 102
3 Pedoman Pengamatan Berperanserta ... 103
4 Pedoman Wawancara ... 105
Latar Belakang
Kegagalan program-program pembangunan di masa lampau berimplikasi
pada bergesernya paradigma baru yang memandang pentingnya masyarakat
sebagai pelaku utama dalam pembangunan. Kesadaran tersebut semakin
meningkat sejalan bangkitnya era reformasi setelah terjadi perubahan besar dalam
sistem pemerintahan dan kenegaraan sejak tahun 1997. Menurut Adi (2001),
pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan
menunjukkan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan
(growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Namun demikian, akibat telah terma rjinalisasi dalam waktu lama, masyarakat
mengalami kesulitan untuk mengartikulasikan otonominya sebagai pelaku utama
pembangunan. Dalam konteks ini, pemberdayaan sangat diperlukan sebagai
strategi dalam pengembangan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang kini
sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat
martabat keluarga miskin. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena
memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak
dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang
pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan
belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat
diberi kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi
kerangka acuan mengenai kemampuan yang melingkup aras sosial, ekonomi,
budaya, politik dan kelembagaan. Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan
2
Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan adalah pemberian akses
kepada masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik.
Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa salah satu penyebab kemiskinan dalam
masyarakat adalah kurangnya akses terhadap sumberdaya yang disebabkan
kurangnya pengetahuan dan keterampilan dan kurangnya kesediaan pemerintah
atau kelompok kuat untuk membagi sumberdaya kepada kelompok lemah
(Haeruman dan Eriyatno, 2001)
Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
yang dialami oleh individu maupun kelompok masyarakat yang didasarkan pada
nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain, seseorang
dikatakan miskin apabila tingkat pendapatan mereka tidak memungkinkan untuk
mentaati tata nilai dan norma masyarakat (Nugroho dan Dahuri , 2004). Lebih
lanjut, Supriatna (1997), mengemukakan bahwa umumnya suatu keadaan disebut
miskin bila ditandai oleh kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat
kebutuhan dasar manusia. Termasuk dalam kebutuhan dasar ini adalah kebutuhan
akan sandang, pangan dan tempat tinggal.
Pendekatan kelompok melalui kelompok usaha merupakan strategi
pemberdayaan masyarakat yang efektif untuk masyarakat lapisan bawah
(Sumodiningrat, 1997). Keberadaan kelompok akan memberikan manfaat lebih
besar bagi anggotanya karena dapat dipakai untuk meningkatkan kemampuan
berusaha, mengembangkan pengetahuan dan sistem nilai yang mendukung
kehidupan usaha, menyuburkan moralitas usaha yang baik, dan meningkatkan
kualitas kehidupan yang lebih luas seperti usaha, kerumahtanggaan,
kemasyarakatan dan sebagainya (Supriyanto, 1997).
Salah satu program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan
kelompok adalah pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dalam
program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga. Asistensi Kesejahteraan Sosial
Keluarga (AKSK) adalah program penanggulangan kemiskinan dari Departemen
dan rehabilitasi, serta pemberdayaan dengan melibatkan pendamping sosial pada
KUBE agar program dapat dilaksanakan secara optimal. Pendamping sosial dapat
diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pengembang
masyarakat untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti:
merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, memobilisasi sumber
daya setempat, memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses
bagi pemenuhan kebutuhan, dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
Pendamping sosial merupakan agen perubahan yang turut terlibat membantu
memecahkan persoalan yang dihadapi keluarga miskin yang disebabkan oleh
lemahnya kondisi sumberdaya manusia untuk mengakses sumberdaya ekonomi
dan sosial (Suharto, 2005).
Bagi keluarga miskin, manfaat KUBE tidak hanya mencakup
pengembangan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial. KUBE merupakan media
untuk meningkatkan pendapatan, mengembangkan usaha, membangun interaksi
dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber ekonomi
lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar,
menyelesaikan berbagai masalah serta memenuhi kebutuhan (Departemen Sosial,
2005). Namun demikian, banyak KUBE yang telah dibentuk dan dikembangkan
oleh pemerintah tidak mencapai sasaran bahkan banyak pula yang mengalami
kegagalan. Hal ini disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dari program,
sedangkan perkembangan KUBE itu tidak sama sehingga permasalahan dan
kebutuhannya pun berbeda.
Menurut Departemen Sosial (2005), tahap perkembangan KUBE
digolongkan kedalam 3 tipologi, yaitu tumbuh, berkembang, dan maju atau
mandiri. KUBE Tumbuh adalah KUBE yang kegiatan kelompok baru berjalan,
telah menerima bantuan UEP dan telah memiliki pendamping sosial. KUBE
berkembang adalah KUBE yang kegiatannya telah didasarkan pada pembagian
4
terbentuk modal. KUBE Maju atau mandiri adalah KUBE yang telah menjalankan
manajemen dengan baik.
Bila mengacu pada tipologi perkembangan KUBE, maka terdapat KUBE
dengan tahap perkembangan berbeda walaupun pada awal pembentukannya
memiliki kondisi dan kualitas relatif sama, yaitu ada KUBE yang tidak
berkembang dalam arti masih tergolong tipologi tumbuh, ada yang tergolong
tipologi berkembang bahkan maju atau mandiri. Kondisi ini memunculkan
permasalahan sehingga perlu dilakukan tindak lanjut yang efektif untuk
mengatasi tahap perkembangan KUBE yang berbeda tersebut.
Di Kelurahan Kebon Waru Kecamatan Batununggal Kota Bandung,
program AKSK diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi
kemiskinan mengingat di wilayah ini jumlah keluarga miskin merupakan
mayoritas dibandingkan dengan jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) lainnya, yakni 1.780 KK (38, 12%) dari 4.669 KK (Sumber:
Praktek lapangan 1). Program AKSK di wilayah ini dilakukan dalam bentuk
penyerahan bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) selama dua periode,
yaitu periode pertama pada akhir tahun 2003 dan periode kedua pada akhir tahun
2004 yang dilaksanakan melalui Kelompok Usaha Bersama Himpunan
Pemberdayaan Masyarakat Bhakti Kesuma (KUBE HPMBK). Di wilayah ini
terdapat tiga KUBE dengan jumlah anggota masing- masing 10 orang yaitu KUBE
HPMBK-1, KUBE HPBMK-2, dan KUBE HPMBK-3. Ketiga KUBE tersebut
dibentuk dengan kondisi dan kualitas relatif sama, baik dari aspek permodalan,
kepemilikan aset maupun kualitas SDM anggota dan pengurus.
Jenis usaha yang dilakukan anggota KUBE bervariasi. Sebagian besar
anggotanya bergerak dalam bidang usaha dagang dan sebagian lainnya
mempunyai bidang usaha olahan makanan dan konveksi yang dijalankan oleh
masing- masing anggota. Walaupun kegiatan usaha dijalan secara individu, hal ini
tidak melanggar ketentuan KUBE karena berdasarkan acuan KUBE usaha boleh
Masing-masing anggota menerima bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
secara bergulir.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah dari ketiga KUBE di
Kelurahan Kebon Waru memiliki tingkat perkembangan yang berbeda. Tingkat
perkembangan KUBE HPMBK-1 lebih baik daripada KUBE HPMBK-2 dan
KUBE HPMBK-3 yang ditunjukkan dari perkembangan permodalan lebih besar,
peran pemimpin dan pembagian kerja lebih jelas serta anggota berpartisipasi
dalam berbagai kegiatan kelompok, padahal ketiga KUBE tersebut pada awal
pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama. Hal ini menunjukkan
adanya ketimpangan dalam tingkat perkembangan KUBE.
Oleh karena itu menarik untuk mengkaji permasalahan yang menyebabkan
terjadinya tingkat perkembangan KUBE yang berbeda tersebut, sehingga dapat
disusun strategi yang tepat untuk mengatasi perbedaan tingkat perkembangan
KUBE dengan mengacu pada tipologi perkembangan KUBE. Tujuannya agar
tingkat perkembangan setiap KUBE relatif sama dan tidak terjadi ketimpangan,
sehingga keberhasilan KUBE baik dari aspek organisasi, ekonomi dan sosial dapat
tercapai.
Rumusan Masalah
Sebagai upaya untuk memecahkan masalah di atas, maka permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana keragaan ketiga KUBE di Kelurahan Kebon Waru?
2. Bagaimana tingkat perkembangan ketiga KUBE mengacu pada tipologi
perkembangan KUBE?
3. Apa saja permasalahan yang menyebabkan terjadinya tingkat perkembangan
KUBE yang berbeda pada ketiga KUBE yang pada awal pembentukannya
memiliki kondisi dan kualitas relatif sama?
4. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan agar ketiga KUBE tidak mengalami
6
Tujuan Kajian
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, tujuan kajian secara terperinci
adalah:
1. Mengetahui keragaan ketiga KUBE di Kelurahan Kebon Waru.
2. Mengetahui tingkat perkembangan ketiga KUBE mengacu pada tipologi
perkembangan KUBE.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang menyebabkan
terjadinya tingkat perkembangan KUBE yang berbeda pada ketiga KUBE
yang pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas relatif sama.
4. Menyusun strategi agar ketiga KUBE tidak mengalami ketimpangan dalam
perkembangannya.
Manfaat Kajian
Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah:
1. Memberikan masukan tentang model dalam mengatasi perbedaan tingkat
perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE kepada
pendamping sosial, pengurus dan anggota KUBE.
2. Memberikan masukan kepada Departemen Sosial selaku penyelenggara
program di tingkat pusat dan Dinas Sosial selaku penanggungjawab program
di daerah tentang strategi berupa program untuk mengatasi ketimpangan
tingkat perkembangan KUBE mengacu pada tipologi perkembangan KUBE
agar setiap KUBE mengalami tingkat perkembangan relatif sama, sehingga
keberhasilan KUBE dapat tercapai baik dari aspek organisasi, ekonomi dan
T
T
IN
I
NJ
J
AU
A
UA
AN
N
P
PU
US
ST
T
AK
A
KA
A
Kemiskinan
Kemiskinan lazimmya dilukiskan sebagai kekurangan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok. Mereka berada di bawah garis
kemiskinan apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pokok, seperti sandang, pangan, tempat berteduh dan lain- lain (Salim, 1984).
Selanjutnya Baharsjah dalam Jamasy (2004), menyatakan bahwa kemiskinan
bukan hanya suatu ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar
bagi suatu kehidupan yang layak, tetapi juga berkaitan erat dengan keadaan sistem
kelembagaan yang tidak mampu memberikan kesempatan yang adil bagi anggota
masyarakat untuk memanfaatkan dan memperoleh manfaat dari sumberdaya yang
tersedia. Menurut Rusli (1995), kemiskinan dapat merupakan kemiskinan absolut
ataupun kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut dikaitkan dengan kemampuan
pemenuhan kebutuhan minimum, kebutuhan pokok ataupun kebutuhan dasar
sehingga dapat hidup (survive), sedangkan kemiskinan relatif, ditekankan pada kesenjangan antar golongan, lapisan atau kelompok dalam masyarakat.
Suharto (2005) menyatakan bahwa kemiskinan dapat dikategorikan pada
empat kategori, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural
dan kemiskinan struktural.
1. Kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan
pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan
transportasi.
2. Kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau
kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat. Jika batas
kemiskinan misalnya Rp 100.000,- per kapita per bulan, maka seseorang yang
memiliki pendapatan Rp 125.000,- per bulan secara absolut tidak miskin,
tetapi jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp 200.000,- per
8
3. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial
budaya masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat
modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha.
4. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik strruk tur politik, sosial,
maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau kelompok orang
menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia untuk
mereka.
Kemiskinan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berupa ketidakmampuan dari dalam individu atau kelompok
masyarakat seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia, sikap dan perilaku
miskin, ketidakcakapan bekerja, pasrah terhadap kondisi miskin. Faktor eksternal,
yaitu faktor dari luar yang menyebabkan mereka tidak berdaya untuk memiliki
akses dan sumberdaya. Namun demikian, sangat sulit untuk memisahkan faktor
penyebab kemiskinan karena penyebab kemiskinan sangat kompleks dan saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat dapat
dikatakan karena disebabkan gabungan berbagai faktor yang saling terkait, yaitu:
ekonomi misalnya tidak punya pendapatan tetap, tidak punya modal usaha; politik
misalnya tidak pernah aktif dalam urusan pemerintahan, tidak aktif berpartisipasi
dalam pembangunan di daerahnya/lingkungannya, diskriminasi dan eksploitasi;
dinamika sosial misalnya pasif, kurang pergaulan, tidak mau bergaul, tidak mau
bermasyarakat; dan latar belakang sikap atau budaya misalnya pemalas, gengsi,
tidak kreatif, tidak mau bekerja keras ( Jamasy, 2004).
Terlepas dari faktor- faktor yang menyebabkan miskin, kemiskinan
merupakan kondisi yang menggambarkan ketidakberdayaan. Kemiskinan dalam
masyarakat menunjukkan lemahnya kemandiriaan masyarakat. Oleh karena itu,
upaya untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan membuat mereka berdaya, baik
dalam dimensi sosial, ekonomi maupun politik. Strategi untuk membuat
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam konteks
ini, upaya memberdayakan masyarakat dimulai dengan menciptakan iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi atau daya
yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini, pemberdayaan adalah upaya untuk
membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya (Kartasasmita, 1995). Selanjutnya Hikmat (2004),
menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan
yang menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah
pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan
kata lain pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru
pembangunan yang bersifat people-centred, participatory, empowering, dan
sustainable.
Pemberdayaan masyarakat menyangkut dua kelompok yang saling terkait,
yaitu masyarakat yang belum berkembang sebagai pihak yang harus
diberdayakan, dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang
memberdayakan. (Sumodiningrat, 1997). Pemberdayaan rakyat mengandung
makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi
tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala
bidang dan sektor kehidupan. Hal tersebut mengandung arti melindungi dan
membela dengan berpihak pada yang lemah. (Priyono, 1996).
Menurut Suharto (2005), pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang,
khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau
kemampuan dalam:
10
melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan.
2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah
sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu- individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang
berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun
sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi,
mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan
sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan
sebagai sebuah proses.
Menurut Payne dalam Adi (2001), mengemukakan proses pemberdayaan
pada intinya ditujukan untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk
menga mbil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait
dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa
percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain dengan
menggunakan daya dari lingkungan.
Modal Sosial
Dalam pemberdayaan masyarakat, tujuan-tujuan organisasi akan tercapai
secara efektif apabila didukung oleh sumberdaya yang memadai (Siswanto, 2005).
efektif dalam mencapai tujuannya apabila didukung oleh sumberdaya. Salah satu
sumberdaya tersebut adalah modal sosial.
Modal sosial menunjuk pada hubungan sosial, institusi dan struktur sosial
serta berhubungan dengan trust, resiprositas, hak dan kewajiban dan jejaring sosial. Secara umum modal sosial didefinisikan sebagai “informasi, kepercayaan,
dan norma- norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial“
(Woolcock dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Modal sosial merupakan suatu
sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekono mi, seperti
pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal- modal lainnya (fisik, manusiawi,
budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan (Colletta dan Cullen dalam Nasdian dan Utomo,
2005)
Berbeda dengan modal fisik dan modal manusia yang sifatnya lebih
kongkret, dapat diukur dan dapat diperhitungkan secara eksak untuk suatu proses
produksi, wujud modal sosial tidak sejelas kedua jenis modal tersebut.
Pemahaman tentang modal sosial menekankan pada hubungan timbal balik antara
modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal
sosial tidak bersifat netral, ditandai dengan adanya hubungan saling
menguntungkan antara dua orang, kelompok, kolektivitas, atau katagori sosial
atau manusia pada umumnya.
Modal sosial menurut Grootaert yang dikutip Marliyantoro (2002), adalah
sebagai kemampuan seseorang untuk memanfaatkan berbagai keunggulan
jaringan sosial atau struktur sosial dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya
Hanifan dalam Marliyantoro (2002), menyatakan bahwa modal sosial sebagai
kenyataan yang dimiliki warga berupa kehendak baik, simpati, persahabatan,
hubungan antar individu dan antar keluarga yang dapat mengatasi persoalan
warga masyarakat.
Menurut Woolcock yang dikutip Colletta dan Cullen dalam Nasdian dan
12
1. Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik dan agama.
2. Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama
3. Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk
menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
4. Sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations).
Motivasi
Sebagai upaya pemberdayaan keluarga miskin melalui KUBE,
permasalahan yang ada dalam KUBE sebagaimana telah dikemukakan dalam latar
belakang kajian bahwa perkembangan usaha KUBE tidak dapat mencapai tingkat
keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun sumberdaya berupa modal
sosial, pasar, institusi pemerintah terdapat disekitar Kelurahan Kebon Waru,
tetapi mereka tidak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk peningkatan
usaha. Hal ini mengindikasikan ada faktor- faktor yang mempengaruhi arah
perilaku anggota KUBE sebagai organisasi. Faktor penting yang mempengaruhi
perilaku selain pengetahuan dan keterampilan juga motivasi, yaitu dorongan untuk
melakukan suatu tindakan. Siagian (2004), mengemukakan bahwa motivasi
adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau
dan rela untuk mengerahkan kemampuan dala m bentuk keahlian atau
keterampilan, tenaga dan waktunya untuk melakukan kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya dan melaksanakan kewajibanya dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi. Dalam hal ini motivasi sangat berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya
Motivasi menurut Gray dan Starke sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan
(2005), menunjuk pada proses yang menimbulkan antusiasme dan kemantapan
bahwa orang akan termotivasi untuk menghasilkan aktivitas yang baik jika
mereka dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan pribadinya.
Sebagaimana dikemukakan Maslow dalam Pandjaitan (2005), Kebutuhan
manusia bersifat hierarkis. Hierarki (jenjang) kebutuhan manus ia tersebut adalah:
1. Basic Physiological Needs/kebutuhan dasar fisik seperti makanan dan minuman atau pangan, sandang dan papan.
2. Safety and security needs, mencakup kebutuhan akan keamanan, kestabilan, ketiadaan penderitaan, ancaman, dan kehidupan yang teratur.
3. Social (affection) needs, mencakup kebutuhan atas kontak personal, afeksi, rasa memiliki, cinta, dan hubungan persahabatan.
4. Esteem needs, mencakup kebutuhan atas kompetisi, kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri, pencapaian prestasi, dan kebutuhan
dihargai (dalam bentuk reputasi, status, kekuasaan).
5. Self-actualisation needs, mencakup kebutuhan untuk tumbuh dan mengembangkan diri dalam rangka menunjukkan jatidiri.
Dalam pemuasan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia akan
melakukannya secara berjenjang, pertama-tama manusia akan berupaya untuk
memuaskan kebutuhan pada jenjang terendah, kemudian beralih pada kebutuhan
yang memiliki jenjang lebih tinggi, dan begitu seterusnya sampai pada jenjang
kebutuhan yang tertinggi. Menurut Sarwono (2000), mengacu pada Hierarki
Kebutuhan Maslow menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan yang berada pada
jenjang yang paling rendah/kebutuhan dasar termasuk di dalamnya sandang,
pangan, dan papan sifatnya mendesak sehingga pemenuhan kebutuhan tersebut
perlu diprioritaskan. Berdasarkan pengertian itu, pemuasan kebutuhan merupakan
dorongan yang menimbulkan antusiasme keluarga miskin sebagai anggota KUBE
untuk melakukan perubahan tindakan dalam mengembangkan KUBE.
Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat
Kelompok merupakan media pemberdayaan masyarakat yang paling efektif
sebagai salah satu upaya membangkitkan inisiatif dan partisipasi masyarakat,
14
mudah untuk dirubah. Hal ini dipertegas oleh Lewin sebagaimana dikutip oleh
Soekanto (2005), yang menyatakan bahwa lebih mudah untuk mengubah pola
tingkah laku individu- individu yang terkait dalam suatu kelompok daripada secara
individual.
Menurut Vitayala (1986), mengemukakan bahwa pendekatan kelompok
mempunyai kelebihan antara lain dapat mempercepat proses adopsi, karena
adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi
satu sama lain. Selanjutnya Soekanto (2005), menyatakan bahwa dalam kelompok
terjadi hubunga n timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran untuk saling tolong- menolong berdasarkan kesamaan nasib,
kepentingan, dan tujuan sehingga hubungan antara anggota bertambah erat.
Mengacu pada konsepsi tersebut, maka di dalam kelompok manusia dapat
mengembangkan kemampuannya dan dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan Garvin (1986), bahwa beberapa kebutuhan
manusia ada yang hanya dapat dipenuhi melalui kelompok dan terdapat
kemampuan-kemampuan manusia hanya dapat dikembangkan melalui kelompok.
Lebih lanjut Haeruman dan Eriyatno (2001), menyatakan bahwa pendekatan
kelompok adalah yang paling tepat dalam pengembangan ekonomi masyarakat.
Dalam kelembagaan yang didasarkan oleh kelompok diharapkan dapat
mendorong kemandirian dan berkembang usaha secara berkelanjutan.
Menurut Darmajanti (2004), menjelaskan bahwa kelompok sebagai
gambaran kehidupan berorganisasi suatu komunitas, merefleksikan dinamika
tindakan kolektif warga dalam mengatasi masalah bersama, termasuk peningkatan
pendapatan rumah tangga (safety net) di komunitas. Dengan demikian maka keluarga miskin sebagai anggota kelompok usaha bersama (KUBE) diharapkan
dapat bertindak secara kolektif dalam pengembangan KUBE agar dapat mencapai
keberhasilan usaha KUBE.
Untuk bertindak secara kolektif dalam mencapai keberhasilan tujuan
kelompok, maka diperlukan kekuatan yang memelihara perasaan kebersamaan
dalam kelompok Terjadinya kekuatan yang mempersatukan anggota yang terlibat
di dalam kelompok menunjukkan adanya kohesivitas kelompok. Menurut
kelompok adalah kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam
kelompok. Mengikuti konsepsi tersebut maka kohesivitas kelompok penting
adanya dalam pengembangan KUBE untuk mencapai tujuan akhir dari KUBE
yaitu kesejahteraan anggota KUBE sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Program Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK)
Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga merupakan suatu program
penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat melalui bantuan stimulan modal usaha ekonomi produktif (UEP)
bergulir dalam kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Asistensi
Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) adalah bentuk kegiatan yang dilakukan
secara terarah, terencana dan sistematik untuk membantu kehidupan sosial,
ekonomi dan psikologis keluarga agar tetap berkemampuan memelihara fungsi
dan peranan sosialnya yang pada hakekatnya untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Sasaran AKSK adalah keluarga yang telah mendapat
pembinaan melalui program/kegiatan lain di luar AKSK dan lintas program baik
pusat, propinsi maupun kabupaten/kota dengan kriteria:
1. Telah menikah sekurang-kurangnya 5 tahun/keluarga dewasa.
2. Mempunyai embrio usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan.
3. Berkategori rentan, dengan indikator sebagai berikut:
a. Keterbatasan kemampuan sosial ekonomi, sehingga berpotensi
bermasalah.
b. Berada pada ambang batas marginal pemenuhan kebutuhan fisik minimal
(KFM) di daerah yang bersangkutan.
c. Pekerjaan tidak tetap atau punya pekerjaan tetapi tidak memiliki
keterampilan khusus.
d. Tidak mampu mengakses sumber-sumber pelayanan kesejahteraan sosial
terdekat.
Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) merupakan satu alternatif
yang dapat digunakan sebagai tahapan lanjut bagi eks keluarga binaan sosial dari
16
rehabilitasi maupun pemberdayaan. Agar pelaksanaan program AKSK lebih
optimal maka program ini melibatkan pendamping sosial pada KUBE sebagai
upaya menggerakkan dan memotivasi keluarga miskin untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Penyelenggara AKSK di tinggkat pusat adalah Departemen Sosial dengan
mekanisme pelaksanaan kegiatan sebagai berikut:
1. Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga sebagai pembina dan regulator
AKSK serta menyediakan pedoman umum pelaksanaan.
2. Dinas/Instansi Sosial Propinsi melakukan persiapan dalam bentuk orientasi
dan observasi serta penyusunan Panduan Teknis AKSK yang dapat diterapkan
di lapangan serta melakukan monitoring.
3. Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota melakukan need assesment keluarga dan jenis program yang diperlukan, serta menyiapkan tenaga pendamping
sosial dengan mekanisme sebagai berikut :
a. Sosialisasi rekruitmen tenaga pendamping sosial AKSK hingga tingkat
kelurahan/desa/komunitas.
b. Pihak kelurahan menghimpun usulan tenaga pendamping sosial yang
diusulkan oleh Rukun Warga (RW), kemudian menyampaikan ke seksi
kesra di kecamatan.
c. Selanjutnya pihak kecamatan melakukan seleksi terhadap usulan tenaga
pendamping sosial yang diajukan oleh tiap- tiap kelurahan.
d. Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota menetapkan tenaga pendamping
sosial, dari hasil seleksi yang dilakukan kecamatan dan menyampaikan ke
Dinas/Instansi Sosial provinsi.
e. Dinas/Instans i Sosial provinsi menghimpun hasil penetapan tenaga
pendamping sosial dari masing- masing kabupaten/kota dan
menyampaikan ke Dit. PPK Departemen Sosial.
4. Seksi kesra kantor kecamatan sebagai mediator dan mengkoordinir para
pendamping sosial dalam melaksanakan perannya.
5. Kelurahan/desa/komunitas membantu pendamping sosial dalam melaksanakan
6. Pendamping sosial melakukan peran pendamping sosial, yaitu pemberi informasi, perencana, fasilitator, partisipator, mobilisator, edukator dan
advokator.
Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan pengorganisasian dari
orang-orang yang mempunyai kegiatan usaha tertentu yang dilakukan secara
bersama-sama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Departemen Sosial
(2005), bahwa Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok Keluarga
Binaan Sosial (KBS) yang atas bimbingan dan kesadaran bersama, diberi
tanggung jawab untuk mengelola bantuan stimulan Usaha Ekonomi Produktif
(UEP). Maksud pembentukan KUBE ini adalah meningkatkan motivasi, interaksi
dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakanan potensi dan sumber daya
ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar
dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak terkait. Keberadaan KUBE bagi
warga miskin ditengah-tengah masyarakat diharapkan menjadi sarana untuk
menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, wahana untuk
meningkatkan usaha ekonomi produktif, menyelesaikan masalah sosial yang
dirasakan keluarga miskin, menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan
keluarga miskin, pengembangan diri, dan sebagai wadah berbagi pengalaman
antar anggota. Pada intinya KUBE mempunyai tujuan agar keluarga miskin dapat
mencapai tinggkat kesejahteraannya..
Kelompok Usaha Bersama bagi keluarga miskin merupakan himpunan
keluarga yang tergolong miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas
dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal
dalam satuan wilayah tertentu dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan
sosial antar anggota, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah dan
menjadi wadah pengembangan usaha bersama.
Jumlah anggota KUBE didasarkan atas kebutuhan nyata di lapangan, bisa
menjadi kelompok kecil (antara 3-5 orang) atau kelompok besar (lebih dari 5
orang). Banyak anggota KUBE dalam perkembangannya dapat berjumlah menjadi
18
pendamping sosial dirasakan jumlah anggota KUBE tidak terlampau banyak (5-10
orang), sehingga jumlah anggota KUBE yang banyak dapat dibagi-bagi dalam
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Proses pembentukan KUBE dilakukan
berdasarkan: 1) Kedekatan domisili, dengan tujuan untuk memudahkan
berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan maupun dalam mekanisme
pembinaan. 2) Mempunyai tujuan yang sama untuk merubah nasib. 3) Jenis usaha
dapat bervariatif atau satu jenis dan dapat dikelola per individu asalkan terikat
dalam satu kelompok. 4) Saling mengenal dan saling percaya. 5) Pemberian nama
KUBE berdasarkan musyawarah anggota. 6) Terdapat susunan pengurus yang
terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota.
Tahap Perkembangan KUBE
Departemen Sosial (2005), menggolongkan KUBE kedalam 3 tipologi
berdasarkan tahap perkembangannya, yaitu:
1. Tumbuh
KUBE dikatakan dalam tahap tumbuh memiliki ciri-ciri:
a. Sudah memiliki pendamping sosial KUBE.
b. Pernah mengikuti pelatihan.
c. Pengurus dan organisasi telah dibentuk sebanyak 10 orang.
d. Telah menerima bantuan UEP.
e. Mempunyai papan nama KUBE.
f. Kegiatan kelompok baru berjalan.
2. Berkembang
KUBE dikatakan dalam tahap berkembang memiliki cari-ciri:
a. Kegiatan kelompok telah dijalankan sesuai dengan kepengurusannya.
b. Keuntungan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) sudah ada untuk modal,
kesejahteraan anggota dan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS).
c. Kepercayaan dan harga diri anggota KUBE dan keluarga meningkat.
d. Pergaulan antara anggota KUBE dengan masyarakat semakin meningkat.
3. Maju/Mandiri
KUBE dikatakan dalam tahap maju/mandiri memiliki cari-ciri:
a. Keuntungan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) meningkat dan modal
semakin besar.
b. Mampu menyisihkan dana Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS) untuk
anggota kelompok, keluarga miskin lainnya dan berpartisipasi dalam
pembangunan di lingkungannya.
c. Manajemen Usaha Ekonomi Produktif (UEP) telah dikelola dengan baik.
d. Mempunyai hubungan baik dan saling menguntungkan dengan lembaga
ekonomi dan pengusaha.
e. Hubungan sosial dengan masyarakat dan lembaga- lembaga sosial semakin
baik dan melembaga.
f. Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) semakin maju dan
berkembang.
Tahap-tahap perkemabangan KUBE yang lebih baik perlu dicapai oleh
KUBE yang sudah terbentuk. Dari beberapa observasi, ada tindakan khusus/sanksi
dari pihak penyelenggara program yang diberlakukan apabila KUBE tidak bisa
mengembangkan dirinya/bubar disebabkan anggota tidak bisa mengembalikan
pinjaman sehingga mengakibatkan modal dan jumlah anggota tidak
bertambah/berkurang bahkan modal habis. Sebagai sanksi, maka kelurahan
penerima program tersebut tidak akan menerima program-program bantuan
berik utnya dari pihak penyelenggara program. Sanksi yang diterapkan tersebut
penting bagi KUBE-KUBE yang pada awal pembentukannya memiliki kondisi
dan kualitas relatif sama tetapi pada proses perkembangannya mengalami tingkat
perkembangan yang berbeda agar KUBE-KUBE terpacu untuk lebih maju dan hal
ini ada kaitannya dengan tingkat pencapaian keberhasilan KUBE baik dari aspek
organisasi, ekonomi dan sosial.