• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi ex-ante kelayakan ekonomi dan keberlanjutan usahatani jagung transgenik serta analisis faktor-faktor penentu adopsi benih transgenik Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Valuasi ex-ante kelayakan ekonomi dan keberlanjutan usahatani jagung transgenik serta analisis faktor-faktor penentu adopsi benih transgenik Di Indonesia"

Copied!
389
0
0

Teks penuh

(1)

EDWIN SANSO SARAGIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

VALUASI

EX-ANTE

KELAYAKAN EKONOMI DAN

KEBERLANJUTAN USAHATANI JAGUNG TRANSGENIK

SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI

(2)

Catatan persembahan dan terima kasih kepada istriku Herlina Purba, SE. yang penuh pengertian dan perhatian serta mendoakan dan mendukung saya serta anak-anakku Regita, Raymond dan Ricky Saragih yang selalu mendoakan ayahnya selama studi S3 di IPB. Juga ucapan terima kasih kepada orangtuaku Bp. E. Saragih (ayah) dan Ibu K. Purba (ibu) serta Ibu M. Siregar (ibu mertua)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul “Valuasi ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia” ini adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Penulis dengan senang hati sekiranya Disertasi ini dapat dijadikan rujukan untuk topik penelitian/studi sejenis. Sekiranya ada peneliti atau pengamat yang tertarik mendiskusikan sesuatu hal berkaitan dengan topik ini atau bagian-bagian tertentu dalam Disertasi ini, penulis dengan senang hati mempelajari hal-hal baru, berdiskusi dan berbagi informasi melalui surat elektronik dengan alamat:

edwin.bogor@gmail.com.

Bogor, Desember 2008

(4)

ABSTRACT

EDWIN SANSO SARAGIH. Ex-ante Valuation of Transgenic Corn Economic Feasibility and Sustainability at Farm Level and Analysis of Factors to Enable Transgenic Seed Adoption in Indonesia. Under the direction of SANTUN R. P. SITORUS as Chairman of Advisory Committee, HARIANTO and SUGIONO MOELJOPAWIRO as Members of the Advisory Committee.

An ex-ante valuation was carried out to determine economic feasibility and sustainability of transgenic corn seeds adoption at farm level. Farm surveys had been conducted in Jawa Timur and Lampung provinces to collect data from existing corn farming. Data were analyzed with several methods namely input-output analysis, CVM (contingent valuation method) and MAVT (multi-attribute value theory). Simulated input-output analysis (with vs. without) was conducted using previously available trial data and reference from a neighbouring country. Concerning enabling factors for effective adoption of transgenic crops, experts were requested to weight potential alternatives based on various criteria, sub-criteria and indicators using analytical hierarchy process (AHP) technique.

Economic valuation showed that transgenic corn seeds would provide higher farm revenue than that of conventional hybrid corn seed. Therefore, transgenic corn seeds adoption also increased corn farming profitability. Without transgenic corn seeds adoption, such economic benefits would not materialize at the farm level. Furthermore, more than 1 million ton grain adding to national corn production would not be possible without adoption. On the other hand, dependence on corn grain import could be reduced and could create reserve saving as much as Rp 3.6 trillions with adoption. Majority of farmers would like to pay higher price for transgenic corn seeds. However, it should not exceed 10% than the price of hybrid corn seeds. Few farmers were willing to pay transgenic corn seeds price 30% more expensive than the hybrid corn seeds price. Sustainability index calculated at farm level showed slightly better agregate index with the transgenic corn seeds adoption compared with that of the existing hybrid corn farming.

Institutional aspect was weighted as the most determinant key for a go or no go in the development and application of transgenic seeds in Indonesia. In this regards, regulation and public perception were judged as most critical aspects in ensuring successful adoption of the transgenic crop seeds. Looking more in depth with public perception, pesticide residue was perceived as having more risk than transgenic seed application. Concerning regulatory regime, decision making instrument in managing safe application and release of transgenic seeds has not yet existed despite the fact that capacity for biosafety assessment conduct is undoubtedly more than sufficient. The regulation on biosafety (PP No. 21/2005) opens opportunities for assessing transgenic product safety, however, food safety statement of imported transgenic products have not been in place, despite the fact especially imported transgenic corn and soybean have already been used for domestic use and consumption for years.

(5)

ABSTRAK

EDWIN SANSO SARAGIH. Valuasi ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia. Dibawah bimbingan SANTUN R. P.

SITORUS sebagai Ketua Komisi, HARIANTO dan SUGIONO

MOELJOPAWIRO sebagai Anggota Komisi.

Valuasi ex-ante dilakukan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan keberlanjutan adopsi jagung transgenik pada tingkat usahatani. Survei usahatani dilaksanakan di propinsi Jawa Timur dan Lampung untuk mengumpulkan data dari kegiatan usahatani jagung saat ini. Data diolah dengan beberapa metode yakni analisis input-output, contingent valuation method (CVM) dan multi-attribute value theory (MAVT). Analisis input-output yang disimulasikan (with vs. without) menggunakan data percobaan sebelumnya dan merujuk pada data dari negara tetangga. Terkait dengan faktor-faktor penentu adopsi tanaman transgenik yang efektif, dilakukan wawancara dengan para pakar untuk menimbang alternatif-alternatif potensial berdasarkan berbagai kriteria, sub-kriteria dan indikator dengan menggunakan teknik AHP (analytical hierarchy process).

Valuasi kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa jagung transgenik memberikan penerimaan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida biasa. Demikian juga halnya keuntungan usahatani jagung lebih tinggi dengan adopsi benih jagung transgenik. Jika tidak terjadi adopsi, maka manfaat ekonomi pada tingkat usahatani tidak dapat dinikmati oleh petani. Secara makro tanpa adopsi, maka potensi kenaikan produksi jagung nasional sebesar lebih dari 1 juta ton tidak terjadi. Sebaliknya, ketergantungan impor jagung dari luar negeri dapat dikurangi sekaligus menghemat devisa minimal Rp 3,6 triliun dengan adopsi. Sebagian besar petani bersedia membayar lebih mahal untuk benih jagung transgenik, namun demikian, harga tersebut sebaiknya tidak melebihi 10% daripada harga benih jagung hibrida. Sebagian kecil petani bersedia membayar benih jagung transgenik dengan harga 30% lebih mahal dari harga benih jagung hibrida. Indeks keberlanjutan yang dihitung pada tingkat usahatani menunjukkan indeks agregat sedikit lebih baik dengan adopsi benih jagung transgenik dibandingkan dengan indeks agregat dengan usahatani jagung hibrida.

Faktor kelembagaan paling menentukan untuk jalan (go) atau tidaknya (no go) pengembangan dan aplikasi benih transgenik di Indonesia. Kerangka regulasi dan persepsi publik dinilai sebagai aspek-aspek paling kritikal agar adopsi benih transgenik berhasil. Dari aspek persepsi publik, residu pestisida dianggap lebih berisiko dibandingkan dengan aplikasi benih transgenik. Mengenai rejim regulasi, instrumen pengambil keputusan untuk mengelola aplikasi dan pelepasan benih transgenik secara aman belum terbentuk, walaupun kapasitas pengkajian keamanan hayati lebih dari memadai. Regulasi keamanan hayati (PP No.21/2005) membuka peluang untuk pengkajian produk transgenik. Namun demikian, hingga saat ini pernyataan keamanan pangan untuk produk transgenik (khususnya jagung dan kedelai impor) untuk kebutuhan dan konsumsi domestik belum terlaksana.

(6)

EXECUTIVE SUMMARY

In Indonesia corn is a strategic food crop after rice. With the corn hectarage of 3.5 millions ha and national production in 2007 exceeding 13 metric tons, domestic need still could not be fulfilled. Slower adoption of high-yielding varieties was identified as one amongst various constraints in boosting higher yield. Data from year 2005 showed that average corn yield in Indonesia was 3.42 tons/ha, much lower than corn yield in China, Argentina and US which were 5.06, 7.12 and 9.31 ton/ha, respectively. Indonesia is currently a net importer of corn from several countries including from those 3 countries.

In US and Argentina, higher corn yield was partly contributed by insect-resistant and herbicide-tolerant corn varieties adopted since 1997. In 2007, globally around 24% or 35.5 million hectares of total corn area (148 million hectares) was planted with transgenic seeds. Many studies in various countries have shown, for instance, farmers benefits provided by Bt corn seeds such as yield increase, pesticide residue reduction, mycotoxin contamination decrease and farm labor efficiency. During more than 1 decade of transgenic seed planting, there has never been found any adverse effect to human health and environment.

Based on adopting countries experiences mentioned above, it is expected that similar benefits could also help increasing corn productivity in Indonesia. However, transgenic product is also perceived of having risks to human health and environment. There are also concerns over small-holding farmers dependence on seed supply from multinational corporations. Therefore it is necessary to carry out research works to weight whether transgenic corn seeds adoption is feasible in Indonesia, and to determine factors that would likely enable such adoption being successful. This research aims at analyzing: (1). financial feasibility at farm level for transgenic corn vs. conventional hybrid corn; (2). farmers‟ willingness to pay for transgenic corn seeds; (3). sustainability index with the adoption of transgenic cornseeds; (4). factors that enable successful adoption of transgenic seeds by farmers; and (5). current regulations/laws and institutional framework in order to realize adoption.

(7)

resistance potato, pod borer resistance soybean, multiple-viral diseases resistance tomato, Bt, RR, and RR+Bt corns.

Economic valuation showed that transgenic corn seeds provided higher farm revenue than that of conventional hybrid corn seeds. Farm revenue with transgenic corn seeds ranged Rp 10.7-14.4 millions while that of hybrid corn seeds ranged Rp 10.2-12.4 millions. Transgenic corn seeds adoption increased farm profitability to Rp 5.6-9.4 millions from Rp 4.6-6.4 millions. R/C ratio with transgenic corn seeds ranged 2.1-2.9 higher than that of hybrid cornseeds ranged 1.8-2.1. Transgenic corn seeds improved break event point becoming 2.5-3.1 ton/ha from 3.3 ton/ha. With a simulation of cost saving for insecticide use and labors, it was found that total farm cost ranged Rp 4.4-5.6 millions/ha which was more efficient than those of hybrid corn seeds with total farm cost of Rp 5.6-6.0 millions/ha.

Without transgenic corn seeds adoption, those economic benefits would not materialize at the farm level. Furthermore, potential macro impact on national production increase as more than 1 million ton grain would not be possible without adoption. On the other hand, dependence on corn grain import could be reduced and could create reserve saving as of Rp 3.6 trillions with adoption.

Farmers were highly interested in adopting transgenic corn seeds. Percentage of farmers willing to plant RR, Bt, and RR+Bt corn seeds were 94%, 87% and 86%, respectively. These interest and willingness were reflected in farmers‟ WTP showing more expensive price for transgenic corn seeds than that of hybrid corn seeds. However, most farmers wanted a price level of transgenic seeds which was not more than 10% of average price for hybrid corn seeds. Few farmers were willing to pay transgenic corn seeds price 30% more expensive than the hybrid corn seeds price.

Sustainability aggregate analysis simulated at farm level showed slight change in value of sustainability index (SI) due to transgenic corn seeds adoption i.e. 91 for Bt corn, 89 for RR, 92 for RR+Bt and 88 for hybrid seeds, respectively. Paired T-test comparisons were run to see if the indices change were statistically significant. Test results showed: SI of RR transgenic corn similar to SI of hybrid corn; SI of Bt transgenic corn > SI of hybrid corn; and SI of RR+Bt > SI of hybrid corn. This concluded that sustainability index of corn farming with trasgenic corn seeds adoption remains largely unchanged or even performs better condition if the variant of the transgenic seeds contain Bt component.

(8)

technology, product maturity and transfer mechanism played an equally important role in ensuring end-user successully adopted the transgenic seeds. Among the 7 alternatives synthesized towards adoption focus in AHP analysis, transgenic corn seeds positioned at higher level priorities (17-18%) compared with others (11-14%). This result reflected the fact that majority of corn was used for feed raw materials, while other crops (rice, potato, soybean¸and tomato) were directly consumed by human.

In line with the analysis of factors above, decision making by institutional framework for biosafety (environmental, food and feed safety) was key determinant factor in enabling application and release of transgenic seeds in Indonesia. Meanwhile, transgenic Bt (event MON810) and RR (event GA21) corn were assessed in 1999 and both were granted safety statement for environment and biodiversity.

Based on the feasibility of transgenic crop seeds (especially corn and other food crops as well: rice, soybean, potato, tomato) assessed on social, economic, ecologic and institutional factors, it is suggested to establish biosafety committee to fully implement government regulation on biosafety (PP No. 21/2005). The next important recommendation to be prioritized is food safety assessment for imported transgenic products.

(9)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Di Indonesia jagung merupakan salah satu komoditas pangan strategis setelah padi. Dengan luas areal sekitar 3,5 juta ha dan produksi nasional tahun 2007 sekitar 13 juta ton ternyata belum mampu mencukupkan kebutuhan jagung domestik. Berbagai faktor menjadi kendala peningkatan produksi jagung, termasuk adopsi varietas unggul melambat sehingga laju produktifitas cenderung stagnan. Produktifitas jagung di Indonesia pada tahun 2005 adalah 3,42 ton/ha, lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China dan AS berturut-turut sebesar 7,12; 5,06 dan 9,31 ton/ha. Indonesia merupakan net importir jagung dalam jumlah besar termasuk dari ketiga negara tersebut.

Di AS dan Argentina tingginya produktifitas jagung antara lain disumbangkan oleh adopsi benih transgenik tahan hama dan tahan herbisida sejak tahun 1997. Saat ini dari luas tanam jagung global 148 juta ha, sebesar 24% atau 35,5 juta ha ditanami dengan benih jagung transgenik. Berbagai studi di negara lain menyimpulkan manfaat jagung Bt bagi petani antara lain peningkatan hasil, pengurangan residu pestisida, penurunan kontaminasi mikotoksin dan penghematan tenaga kerja. Selama lebih 1 dekade penanaman benih transgenik tidak ditemukan pengaruh buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Belajar dari pengalaman negara lain, benih jagung transgenik diharapkan dapat membantu peningkatan produksi jagung di Indonesia. Namun demikian, selain memiliki keunggulan, produk transgenik dipersepsikan memiliki resiko keamanan pangan dan lingkungan. Terdapat pula kekhawatiran akan dominasi dan ketergantungan benih pada korporasi multinasional. Dengan latar belakang ini suatu penelitian dilakukan untuk menilai apakah adopsi benih jagung transgenik layak di Indonesia dan faktor apa saja yang menentukan berhasil tidaknya adopsi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis: (1). kelayakan finansial usahatani jagung transgenik dibandingkan dengan jagung hibrida; (2). kebersediaan petani membayar benih jagung transgenik; (3). keberlanjutan usahatani dengan adopsi benih transgenik; (4). faktor-faktor penentu agar petani berhasil mengadopsi benih transgenik; dan (5). peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang ada saat ini guna mendukung terjadinya adopsi.

(10)

melalui wawancara pakar dengan teknik AHP (analytical hierarchy process). Untuk analisis AHP ini selain benih jagung transgenik juga dimasukkan alternatif tanaman transgenik lainnya sehingga seluruhnya ada 7 alternatif yakni: padi Bt, kentang LBR (leaf blight resistance), kedelai tahan hama penggerek polong, tomat tahan penyakit virus, jagung Bt, jagung RR dan jagung RR+Bt.

Valuasi kelayakan menunjukkan bahwa jagung transgenik memberikan penerimaan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida konvensional. Penerimaan usahatani rata-rata sebesar Rp 10,7–14,4 juta untuk benih transgenik dibandingkan dengan Rp 10,2–12,4 juta untuk benih hibrida. Keuntungan meningkat dengan adopsi benih jagung transgenik menjadi Rp 5,6 – 9,4 juta per ha dibandingkan dengan Rp 4,6 – 6,4 juta per hekatar. Rasio R/C untuk benih transgenik dengan kisaran 2,1 – 2,9 lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida dengan kisaran 1,8 – 2,1. Titik impas produksi dengan benih transgenik adalah 2,5 – 3,1 ton/ha dibandingkan dengan benih hibrida adalah 3,3 ton/ha dengan tingkat harga jual jagung yang sama. Dengan simulasi penghematan biaya insektisida dan tenaga kerja namun terjadi penambahan biaya benih, biaya total usahatani masih lebih efisien dengan kisaran Rp 4,4 – 5,6 juta per hektar sedangkan untuk benih hibrida berkisar Rp 5,6 – 6,0 juta per hektar.

Jika tidak terjadi adopsi maka diperkirakan manfaat ekonomi pada tingkat usahatani tidak dapat dinikmati oleh petani. Secara makro jika tidak terjadi adopsi, maka potensi kenaikan produksi sebesar > 1 juta ton tidak terjadi. Ketergantungan impor jagung dari luar negeri dapat dikurangi sekaligus menghemat devisa sebesar minimal Rp 3,6 triliun dengan adanya adopsi.

Minat petani untuk mengadopsi jagung transgenik tergolong tinggi. Secara keseluruhan, persentase petani yang ingin menerapkan benih jagung RR, Bt, RR+Bt secara berturut-turut adalah sebesar 94, 87, dan 86%. Untuk itu petani mau membeli (WTP, willingness to pay)dengan harga rata-rata lebih tinggi untuk jagung transgenik lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida. Namun demikian sebagian besar petani menginginkan tingkat harga yang tidak melebihi 10% dari harga rata-rata benih hibrida saat ini. Sebagian kecil petani bersedia membayar benih jagung transgenik dengan harga 30% lebih mahal dari harga benih jagung hibrida.

Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan adanya masukan teknologi transgenik memperlihatkan ada perubahan indeks keberlanjutan (IK) usahatani bilamana petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 92, sebesar 91 untuk Bt, sebesar 89 untuk RR dibandingkan dengan 88 untuk hibrida biasa. Uji-t berpasangan (paired T-test) rerata IK jagung transgenik dilakukan terhadap nilai IK jagung hibrida. Hasilnya adalah: IK jagung transgenik RR = IK jagung hibrida; IK jagung transgenik Bt > IK jagung hibrida; dan IK jagung transgenik RR+Bt > IK jagung hibrida. Hasil ini menunjukkan bahwa secara agregat keberlanjutan usahatani jagung tetap atau malah lebih baik dengan adanya masukan benih transgenik terutama jika benihnya mengandung komponen Bt.

(11)

dengan bobot 65%, kemudian kapasitas SDM kelembagaan (24%) dan terakhir variabel industri benih (11%). Selanjutnya apabila aplikasi teknologi transgenik terlaksana, dalam menilai kemungkinan berhasilnya adopsi faktor Persepsi publik memiliki bobot paling besar yakni sebesar 62% kemudian diikuti oleh faktor profil pengguna akhir dan proses transfer masing-masing 24 dan 14%. Dari aspek persepsi publik, persepsi terhadap residu pestisida (68%) terlihat lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik (32%). Aspek pendidikan menunjukan pengaruh yang kuat dalam menentukan suksesnya adopsi. Aspek kematangan produk dan mekanisme transfer berperan sama pentingnya dalam proses transfer teknologi hingga diadopsi oleh pengguna. Dari 7 alternatif tanaman transgenik yang disintesis dalam AHP, jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (17-18%) sementara lainnya berkisar 11-13%. Hal ini mencerminkan fakta bahwa sebagian besar jagung digunakan untuk bahan baku pakan, sedangkan padi, kentang, kedelai dan tomat umumnya langsung dikonsumsi oleh manusia.

Sejalan dengan analisis faktor kelembagaan di atas, faktor kelembagaan pengambilan keputusan untuk keamanan hayati (keamanan lingkungan, pangan dan pakan) merupakan proses penentu untuk aplikasi dan pelepasan benih transgenik di Indonesia. Khusus mengenai jagung transgenik, hasil pengkajian keamanan hayati yang dilakukan pada tahun 1999 menunjukkan jagung Bt (event MON810) dan RR (event GA21) dinyatakan aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Dengan kelayakan teknologi benih transgenik (terutama jagung dan juga tanaman pangan lainnya: padi, kedelai, kentang, tomat) dari faktor-faktor sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan yang diperoleh dalam penelitian ini, disarankan agar kelembagaan KKH (komisi keamanan hayati) untuk implementasi PP No. 21/2005 perlu segera direalisasikan. Rekomendasi penting lainnya adalah: keputusan keamanan pangan bagi produk transgenik impor.

(12)

EDWIN SANSO SARAGIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

VALUASI

EX-ANTE

KELAYAKAN EKONOMI DAN

KEBERLANJUTAN USAHATANI JAGUNG TRANSGENIK

SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI

(13)

Ujian Tertutup dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 2008

Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor)

Ujian Terbuka dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2008

Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS (Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Muhammad Herman (Peneliti Utama Balai

(14)

Judul Disertasi : Valuasi ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia

Nama : Edwin Sanso Saragih

NRP : P062050574

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Ketua

Dr. Ir. Harianto, MS Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(15)

PRAKATA

Penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan kekuatan yang daripadaNya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan.

Pengalaman pertama penulis mengenal benih jagung transgenik adalah sejak tahun 2000 ketika berkesempatan melakukan ujicoba terbatas di lapangan bersama-sama dengan Dr. Subandi (salah seorang sesepuh pemulia jagung), dan tahun 2005 mulai merumuskan sinopsis Disertasi. Pada saat itu, penulis bekerja pada perusahaan Monsanto Indonesia. Penulis tertarik pada aspek-aspek penilaian manfaat, kelayakan adopsi teknologi dan analisis kebijakan yang terkait dengan adopsi. Suatu hal yang „mengganggu‟ bagi penulis adalah mengapa hingga saat ini belum ada benih transgenik yang ditanam oleh petani-petani di Indonesia padahal di negara-negara lain sejak lebih 1 dekade lalu sudah terjadi adopsi. Penulis berkesempatan melihat langsung aplikasi benih tanaman transgenik secara komersial di lahan petani di berbagai Negara seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Cina, India dan Filipina dimana petani mendapatkan manfaat yang tidak sedikit dengan adopsi teknologi baru ini. Pertanyaan itu menjadi „kalau petani di negara lain sudah bisa menanam benih transgenik dengan aman dan menguntungkan mengapa petani Indonesia belum?‟

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus (Guru Besar Fakultas Pertanian IPB), Dr. Ir. Harianto, MS (Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB) dan Ir. Sugiono Moeljapawiro, M.Sc, PhD (Peneliti Utama Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian) selaku Komisi Pembimbing yang memberikan arahan dan saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian Disertasi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Penguji Luar Komisi pada ujian pra-kualifikasi dan ujian tertutup atas masukan yang berharga mengenai continget valuation dan juga beberapa poin penting tentang tantangan pengembangan bioteknologi di Indonesia. Demikian juga terima kasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Dr. Muhammad Herman sebagai Penguji Luar Komisi pada ujian akhir Doktor.

Penulis berterima kasih kepada Ir. Dahri Tanjung, MS, Ir. Agit Kriswantriyono, MS, dan Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc yang membantu dalam survei usahatani dan analisis input-output usahatani jagung hibrida di Jawa Timur dan Lampung melalui kerjasama CARE LPPM IPB dengan Monsanto Indonesia. Tidak lupa juga terima kasih kepada rekan-rekan sejawat sewaktu bekerja di Monsanto yakni Ir. Tumpal Silalahi dan dr. Fatmasari Permata, MARS atas dukungannya, serta Ir. Febri Hendrayana, MP dan Ir. Wildi Djulkarnain yang juga membantu pelaksanaan survei usahatani di Lampung dan Jawa Timur. Demikian juga rekan dari negara tetangga Filipina Dr. Victor Alpuerto dan Mr. Jan Samson yang membantu memberikan beberapa data, bahan dan informasi rujukan tentang kinerja benih jagung transgenik di Filipina.

Semoga Disertasi ini bermanfaat.

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Mei 1965 di desa Simpang Dalig Raya, Simalungun, Sumatera Utara, merupakan anak pertama dari empat orang bersaudara, dari Ayah E. Saragih dan Ibu K. br. Purba. Penulis menikah dengan Herlina Purba, SE pada tahun 1995 dan dikarunia 3 orang anak Regita, Raymond dan Ricky Saragih.

Penulis tamat dari SD Negeri 3 Sondi Raya (1977), tamat dari SMP Negeri 1 Pematang Raya (1981), dan tamat dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar (1984). Pada bulan Mei 1984 penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Gelar Sarjana Pertanian dalam bidang Ilmu Tanah diperoleh pada tahun 1989. Pada tahun 1993-1996 penulis mengikuti kuliah Program Pascasarjana Strata-2 di IPB dan mendapatkan gelar Magister Sains dalam bidang Ilmu Tanah.

Pengalaman kerja antara lain sebagai Kepala Departemen Technology Development pada Monsanto Indonesia (2006 – Juli 2008) memimpin program pengujian benih jagung hibrida dan memfasilitasi pelatihan teknis bagi tim pemasaran dan penjualan benih di lapangan. Tugas lain yang pernah diemban adalah Koordinator Program Bioteknologi pada asosiasi industri CropLife (2005-2007), karyawan PT Monagro Kimia dengan berbagai peran seperti Manager Government & Public Affairs (2004-2006) dan Manager Pengembangan Produk (2000-2003) di Jakarta, dan Staf Pengembangan Produk (1997-2000) di Palembang. Sebelumnya, penulis pernah menjadi dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen, Medan (1989-1997).

Selama periode tahun 2000-2007, penulis menulis berbagai makalah yang mengambil topik antara lain tentang olah tanah konservasi (conservation tillage), pengembangan teknologi benih jagung hibrida, dan kajian regulasi dan kebijakan tentang tanaman transgenik.

Sejak tahun 2005 mengikuti Program Strata-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(17)

DAFTAR ISI

PRAKATA ………... xiv

RIWAYAT HIDUP ………... xv

DAFTAR TABEL ……….... xix

DAFTAR GAMBAR ………... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ……….... xxv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Perumusan Masalah ... 8

1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

1.5. Kebaruan dalam Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Berkelanjutan dan Pengaruh Adopsi Teknologi ... 14

2.2. Teknologi Benih Transgenik dan Jagung Transgenik ... 19

2.3. Kerangka Regulasi Agrobioteknologi: Internasional dan Nasional 22 2.3.1. Perdebatan Global ……….... 2.3.2. Status dan Tantangan Regulasi Bioteknologi ....…………... 24 26 2.4. Dampak Ekonomi dan Lingkungan dari Adopsi Agrobioteknologi 28

2.4.1. Manfaat dan Risiko Lingkungan ……….. 2.4.2. Kajian Keamanan Hayati Tanaman Transgenik …………... 35 38 2.5. Penilaian ex-ante Manfaat Ekonomi dan Adopsi Teknologi Baru .. 39

2.6. Sistem Produksi Usahatani Jagung ... 51

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56

3.2. Rancangan Penelitian ... 3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati ……….. 56 58 3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Kerangka Pengambilan Responden ... 61

(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik . 81 4.1.1. Karakterisitik Petani Jagung Hibrida ……...

4.1.2. Keragaan Budidaya Jagung Hibrida …... 4.1.3. Simulasi Keragaan Usahatani Jagung Transgenik vs.

Jagung Hibrida ………....………..

4.1.4. Pengaruh Makro Adopsi dan Potensi Kerugian Tanpa Adopsi ...………...

81 84

95

98

4.2. Kebersediaan Petani Membayar (willingness to pay) Benih Jagung Transgenik ...……….

4.2.1. Penggunaan Benih dan Tingkat Harga Benih Jagung Hibrida saat ini ………….………....

102

102

4.2.2. Pengetahuan dan Minat Petani tentang Benih Jagung

Transgenik ………. 105

4.2.3. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik .. 111 4.3. Analisis Indeks Keberlanjutan Usahatani ..………. 118 4.3.1. Indeks Keberlanjutan Ushatani Jagung Hibrida Saat ini ...

4.3.2. Simulasi Pengaruh Adopsi Benih Transgenik pada Indeks Keberlanjutan ...…….

118

123

4.4. Analisis Faktor-faktor Penentu Kelayakan Pengembangan dan Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik ……....…...…………...

4.4.1. Analisis Kriteria Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan

Kelembagaan ...…………..

4.4.2. Analisis Sukses Adopsi Introduksi Benih Transgenik ……..

131

131

138 4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang

Terkait ………...

4.5.1. State of the Art Kerangka Regulasi tentang Produk

Rekayasa Genetika …………...

4.5.2. Faktor-faktor Lain sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan …………...

4.5.3. Analisis Implikasi Kebijakan dan Kelembagaan Guna Merealisasikan Potensi Manfaat Benih Transgenik ………..

142

142

147

(19)

4.5.4. Variabel Pendaftaran Varietas dan Hak Perlindungan

Varietas Tanaman (PVT) ... 153

4.6. Gabungan Kelayakan Adopsi Benih Jagung Transgenik dari

Berbagai Aspek ………... 154

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ……….

5.2. Saran ………

156 159

DAFTAR PUSTAKA ……….. 161

(20)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman 1 Tingkat produktifitas jagung di Indonesia, Argentina, China dan AS

(2000-06), dan volume serta nilai impor jagung Indonesia (2000-05) ….

2 Pemilihan indikator dengan pertimbangan faktor wilayah dan dimensi waktu (Zhen dan Routray, 2003) ...

3 Tipe benih GMO (Tripp, 1999) ………...

4 Perbandingan nilai potensial ekonomi dari tanaman padi transgenik (transformasi cekaman kekeringan) dan padi transgenik Bt di beberapa negara (Hareau, et al., 2004) ...

5 Penelitian terdahulu tentang penilaian dampak ekonomi kapas Bt dan metode yang digunakan (Smale, et al., 2006)...

6 Pertanyan valuasi kontingen untuk bahan pangan sereal pada situasi hipotetis (Moon dan Balasubramanian, 2003)………...

7 Produktifitas jagung (ton/ha) di berbagai negara ………..

8 Volume dan nilai impor-ekspor jagung Indonesia, 2000-2005 (volume dalam ribu ton dari 2 sumber data, nilai dalam US $ ribu) ………...

9 Pertumbuhan produksi, areal panen, produktifitas varietas unggul baru (%/tahun), 1976-2003 (Sudaryanto dan Rusastra, 2006) ………..

10 Rancangan penelitian yang dilakukan guna memenuhi tujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian …...……….

11 Data dan informasi yang dikumpulkan pada tingkat usahatani …...

12 Penentuan jumlah/ukuran contoh berdasarkan nilai statistik dari survei sebelumnya dan jumlah responden yang diambil ……….

13 Teknik payment card untuk mengetahui WTP benih transgenik ………..

14 Asumsi penggunaan agroinput pada usahatani jagung hibrida dan jagung transgenik di wilayah penelitian ...

15 Keragaan benih jagung transgenik berdasarkan percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia dan data yang diperoleh dari Filipina ...

16 Matriks skor alternatif terhadap kriteria/indikator ... 2

16

22

34

45

50

53

54

55

57

58

64

65

68

69

(21)

Tabel Teks Halaman

18 Deskripsi pembandingan keterangan dengan scoring ………...

19 Persentase petani pada tiap kategori karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian ...

20 Rata-rata tingkat penggunaan agroinput per hektar dalam usahatani jagung di wilayah penelitian ……….

21 Tahapan budidaya jagung di Jawa Timur dan Lampung ………..

22 Produktifitas rata-rata (kg/ha) per musim dan produktifitas total (kg/ha) per tahun petani jagung hibrida di wilayah penelitian …….. ...

23 Tingkat produktifitas jagung (kg/ha) di wilayah penelitian ………..

24 Penerimaan total, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp) di wilayah penelitian ………...

25 Produktifitas (kg/ha), penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp/ha) per musim dan per tahun menurut kabupaten ...

26 Biaya tenaga kerja dan agroinput usahatani jagung (Rp 000/ha) per

musim menurut kabupaten ………...

27 Simulasi peningkatan produktifitas (kg/ha), penerimaan (Rp „000/ha), penghematan biaya serta keuntungan (Rp „000/ha) dengan masukan benih jagung transgenik ………...

28 Simulasi analisis laba usahatani dengan harga benih transgenik premium (50%) terhadap harga benih hibrida biasa ……….

29 Perbandingan harga benih jagung di Jawa Timur dan Lampung (2007) ..

30 Kisaran harga benih jagung hibrida per kg di wilayah penelitian …...

31 Jumlah dan persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik setelah mendengarkan penjelasan dan melihat gambar pada alat bantu ………...

32 Korelasi antar variabel minat benih jagung transgenik ………...

33 Jumlah petani yang berniat akan benih jagung transgenik dan yang secara eksplisit menyatakan WTP menurut kisaran harga ………

34 Statistik deskriptif nilai WTP premium (lebih mahal) ………..

77

81

85

87

90

91

92

94

95

96

97

103

104

108

109

112

(22)

Tabel Teks Halaman 35 Ringkasan hasil sidik ragam WTP terhadap berbagai faktor ………

36 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut propinsi ………...

37 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida

menurut kabupaten ………

38 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida ……….

39 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut tingkat penggunaan insektisida ………...

40 Nilai indeks menurut indikator, dimensi dan agregat pada usahatani jagung hibrida dan simulasi adopsi Bt, RR, dan RR+Bt ………..

41 Nilai indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik menurut kabupaten ...

42 Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan

berpasangan ………...

43 Nilai skor prioritas alternatif tanaman transgenik secara agregat, ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ………...

44 Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan

berpasangan sukses adopsi ………

45 Hirarki regulasi terkait dengan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika dan kelembagaan pemegang wewenang/mandat dalam manajemen implementasinya ………

46 Gabungan kelayakan pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik di Indonesia ……….

117

120

121

123

125

126

130

133

138

140

142

(23)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman 1. Kerangka mata pencaharian berkelanjutan dan masukan teknologi

baru (modifikasi dari Meinzen-Dick (2001, dalam Falck-Zepeda, et

al., 2002) ………..

2. Kerangka perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian ……

3. Indikator operasional dalam mengukur keberlanjutan pertanian di negara berkembang (Zhen dan Routray, 2003) ..……….

4. Analisis strategis lingkungan suatu inovasi ……..………..

5. Adopsi dan dampak ekonomi dan lingkungan dari teknologi generasi pertama agro-bioteknologi (Kalaitzandonakes, 2003) ……….

6. Tahap-tahapan inovasi baru dalam pertanian (Qaim, et al., 2000) …..

7. Kurva adopsi teknologi (Graff, et al., 2000) ………...

8. Sentra produksi jagung di Indonesia pada tahun 2004 (Swastika, et al., 2004) ………...

9. Perkembangan areal panen dan tingkat produktiftas jagung di

Indonesia tahun 1990-2004 ……….

10.Struktur hirarki untuk pengembangan benih transgenik ……….

11.Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi transgenik ..

12.Skema tahapan pemilihan sampel ………...

13.Ilustrasi cara penyiangan gulma (cara manual dan kimiawi) ………..

14.Kurva sigmoid persentase adopsi dari luas pertanaman jagung hibrida ...

15.Hirarki kriteria dan indikator-indikatornya yang digunakan dalam metode MAVT untuk penentuan indeks keberlanjutan usahatani …...

16.Analisis masalah kebijakan dan sistem peraturan (dimodifikasi dari Weimer dan Vining, 1998) ………..

17.Distribusi (persentase petani) luas pengusahaan jagung di wilayah penelitian Jawa Timur dan Lampung ………..

7

11

15

18

30

40

42

52

54

60

61

63

71

72

74

79

(24)

Gambar Teks Halaman

18.Rata-rata dan kisaran minimum-maksimum kontribusi usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga ………..

19.Alasan petani memilih usahatani jagung di Jawa Timur dan Lampung ...

20.Kurva jumlah petani terhadap penggunaan benih (kg/ha) ...

21.Pola penggunaan pupuk dan kompos ...

22.Pola penggunaan herbisida dan insektisida ...

23.Penerimaan usahatani dan tingkat keuntungan usahatani jagung (Rp 000/ha) di wilayah penelitian ...

24.Biaya total agroinput, biaya total tenaga kerja (HOK) dan biaya total usahatani jagung di wilayah penelitian ………

25.Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik ...

26.Persentase petani yang pernah dan tidak pernah mendengar jagung transgenik ...

27.Ilustrasi pengendalian gulma pada jagung non-RR dan RR ...

28.Ilustrasi gejala serangan hama pada jagung non-Bt ...

29.Persetase minat responden terhadap jenis jagung transgenik ...

30.Sumber informasi mengenai teknologi atau produk ………

31.Sumber permodalan petani... ………..

32.Proporsi petani yang mau membayar harga benih transgenik: (1). RR, (2). Bt, dan (3). RR+Bt lebih mahal daripada harga benih hibrida ...

33.Kurva jumlah petani peminat vs. WTP premium benih transgenik di Jawa Timur dan Lampung ………...

34.Persentase harapan petani terhadap sifat jagung transgenik ………...

35.Rata-rata indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik menurut propinsi ...

84

83

85

86

86

93

93

100

106

107

107

109

110

111

114

115

118

(25)

Gambar Teks Halaman 36.Agregat indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida

dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan insektisida

intensif ………...

37.Agregat indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan herbisida

intensif ………...

38.Hasil analisis hirarki (AHP) faktor-faktor penentu kelayakan adopsi benih transgenik di Indonesia ………. ...

39.Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih

transgenik ………

40.Diagram hasil analisis peluang sukses adopsi berbagai alternatif

produk tanaman transgenik ………..

41.Analisis posisi stakeholders adopsi benih kapas transgenik Bt (2000-2003) ………

130

131

132

139

141

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1 Daftar lembaga tempat responden pakar ……….

2 Contoh hasil wawancara dengan responden petani jagung ………….

3 Penentuan jumlah sampling di Jawa Timur dan Lampung berdasarkan survei produktifitas jagung ………

4 Hasil analisis jawaban responden pakar dengan teknik AHP untuk menentukan faktor-faktor penentu adopsi teknologi benih transgenik

5 Hasil analisis kuesioner AHP untuk menilai faktor sukses adopsi

teknologi benih transgenik ………..

6 Perbandingan komponen harga-harga dalam usahatani jagung di wilayah penelitian ………

7 Perhitungan proyeksi produksi jagung dengan asumsi adopsi konservatif dan progresif ……….

8 Analisis regresi plot minat terhadap benih transgenik terhadap logaritma berbasis natural harga rata-rata kisaran WTP ……….

9 ANOVA dari WTP terhadap tingkat pendidikan, IP dam skala usaha

10 Hasil tabulasi indeks keberlanjutan secara agregat, dimensi dan indikator pada aspek lahan, penggunaan pestisida dan tingkat

pendidikan petani ……….

11 Uraian detil sistem/hirarki perundang-undangan yang menyebut pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika ………..

170

171

177

179

192

200

201

204

206

210

213

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini jagung yang adalah komoditas strategis global berkembang sangat dinamis. Selain untuk pangan dan pakan, jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Dengan istilah yang populer jagung dimanfaatkan untuk food, feed dan fuel (pangan, pakan dan energi/bahan bakar). Pertambahan jumlah penduduk dunia khususnya di negara-negara yang memanfaatkan jagung sebagai bahan pangan membutuhkan produksi jagung yang semakin meningkat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan juga kemajuan ekonomi dengan daya beli yang makin tinggi membuat permintaan akan protein juga meningkat. Kebutuhan akan protein ini dipenuhi dari ketersediaan daging hewani dan telur. Jagung sebagai bahan baku pakan ternak merupakan komponen yang signifikan jumlahnya dalam produksi pakan. Porsi jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol juga meningkat sangat signifikan. Sebagai contoh di AS produsen dan eksportir jagung terbesar dunia, pada tahun 2005 sekitar 13% produksi jagung (setara 38 juta ton) digunakan untuk produksi bioetanol. Pada tahun 2012 diproyeksikan sebesar 140 juta ton (42% dari produksi jagung) akan dikonversi menjadi bioetanol di AS (Cassman, 2007). Oleh karena itu permintaan akan jagung semakin meningkat dan harganya juga mengalami peningkatan karena stok untuk perdagangan global mulai berkurang.

(28)

Hasil penelitian Irawan, et al. (2003) mensinyalir terjadinya pelambatan produksi pangan yang disebabkan oleh adopsi varietas unggul melambat sehingga laju produktifitas cenderung stagnan, peningkatan mutu melambat, gejala kelelahan lahan, perlambatan luas panen akibat perubahan pola tanam, konversi lahan, anomali iklim dan pembangunan irigasi yang semakin lambat. Sudaryanto dan Rusastra (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan produksi, areal panen, dan produktifitas varietas unggul baru melambat selama periode 1976-2003.

Berkaitan dengan produktifitas jagung, di Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih pada kisaran 2,8 – 3,4 ton per hektar, tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China dan AS. Indonesia mengimpor jagung dari ketiga negara dalam volume setidak-tidaknya 1 juta ton per tahun selama periode tahun 2000-2005 terakhir seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat produktifitas jagung di Indonesia, Argentina, China dan AS (2000-2006) dan volume serta nilai impor jagung Indonesia (2000-2005).

Keterangan Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Produktifitas jagung (ton/ha) beberapa negara

Argentina 5,43 5,45 6,17 6,47 6,43 7,12 5,90

China 4,60 4,70 4,93 4,81 5,12 5,06 5,37

Indonesia 2,76 2,84 3,09 3,24 3,34 3,42 3,47

USA 8,59 8,67 8,16 8,92 10,06 9,31 9,36

Impor dan ekspor jagung Indonesia

Volume impor (juta ton) 1,265 1,036 1,154 1,346 1,089 1,856 Nilai impor (juta US $) 158 126 138 169 178 309 Volume ekspor (ribu ton) 28 91 16 34 33 54 Nilai ekspor (US $ juta) 4,98 10,50 3,33 5,52 9,07 9,05

Sumber: FAOSTAT data, 2006 (http://faostat.fao.org/faostat/)

(29)

benih tahan hama dan tahan herbisida dan terbukti menaikkan produksi serta ekspornya dalam perdagangan internasional.

Aplikasi bioteknologi modern di bidang pertanian mempercepat proses pemuliaan untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang unggul termasuk melalui transformasi rekayasa genetika (transgenik). Pemenang Nobel Perdamaian tahun 1970, seorang agronomis Norman Borlaug mengatakan bahwa aplikasi bioteknologi bagi penemuan varietas-varietas unggul baru merupakan bentuk baru revolusi pertanian (Borlaug, 2001) karena: (1). memajukan sistem produksi pangan melalui perbaikan tanaman, dan (2). menggantikan secara potensial terhadap teknologi lama dan konvensional. Suatu laporan FAO (2004) mengemukakan peranan bioteknologi pertanian yang berpotensi untuk mengatasi masalah produksi pangan di negara berkembang.

Dewasa ini secara global luas areal pertanaman transgenik telah meningkat dari 1,7 juta hektar (ha) tahun 1997 menjadi 114,3 juta ha tahun 2007 di 23 negara (ISAAA, 2008) dengan jenis tanaman seperti kedelai, jagung, kapas, alfalfa, kanola, pepaya, tomat dan squash. Survey yang dilakukan baru-baru ini oleh Brookes dan Barfoot (2007, dalam James, 2007) menunjukkan bahwa selama 1996-2006 diperkirakan manfaat ekonomi bersih bagi petani pada tahun 2006 sebesar US $ 7 miliar. Pada tahun 2007 dari total luas tanam jagung global 148 juta Ha sebesar 24% atau 35,5 juta ha ditanami dengan benih jagung transgenik (James, 2007). Ini mengalami peningkatan dari 20,1 juta ha pada tahun 2006.

Di Argentina, produksi biji-bijian meningkat drastis yakni 26 juta ton pada tahun 1988/89 menjadi lebih 75 juta ton pada tahun 2002/03 yang terutama disebabkan oleh introduksi benih transgenik (Trigo dan Cap, 2003). Huesing dan English (2004) yang mengkaji dampak jagung Bt di 18 negara seluas 67 juta hektar menyimpulkan manfaat yang diperoleh petani meliputi peningkatan hasil tanaman, pengurangan residu pestisida, kontaminasi jamur (mikotoksin) berkurang, dan penghematan tenaga kerja.

(30)

Kalaitzandonakes (2003), Qaim et al. (2000), Brookes dan Barfoot (2005), dan Hareau, et al. (2006). Dari aspek ekonomi secara spesifik ditunjukkan keunggulannya mampu menghasilkan output dengan produktivitas yang tinggi, mutu lebih baik dan biaya produksi relatif rendah dibandingkan dengan non transgenik, sehingga akan berdampak positif terhadap pendapatan petani.

Sebelum komersialisasi benih transgenik, pada tahun 1992 Agenda 21 global yang disepakati pada KTT Bumi dalam Bab 16 diuraikan peran bioteknologi untuk pengembangan ketahanan pangan melalui cara-cara pertanian yang berkelanjutan (UNCED, 1992)1. Pada tahun 1997, Kantor Menteri Lingkungan Hidup telah menyusun dokumen Agenda 21 Indonesia (KMLH, 1997). Dalam salah satu bab dikemukakan potensi peranan bioteknologi dalam: (1). memecahkan masalah pertanian, kesehatan dan lingkungan; dan (2). mempertimbangkan aspek keamanan hayati (biosafety) sehingga dampak negatif bisa dicegah. Jauh sebelumnya Indonesia telah memulai program bioteknologi sejak tahun 1985 sebagai salah satu prioritas pengembangan IPTEK di kantor Menristek dan pendirian pusat antar universitas untuk bioteknologi pertanian. Pada tahun 1989 dibentuk divisi bioteknologi pada Pusat Penelitian Tanaman Pangan (Moeljopawiro, 1999; Witarto, 2006).

Dalam konteks pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adopsi input teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi/terkait dengan ketiga dimensi tersebut. Selain adopsi varietas unggul, faktor penggunaan input produksi yakni applikasi pupuk dan pestisida merupakan indikator yang sering digunakan dalam analisis keberlanjutan (UN-CSD, 2001).

Sementara negara-negara lain mulai mendapatkan manfaat dari pengembangan dan adopsi benih tanaman bioteknologi ini, Indonesia belum sampai pada tahap demikian. Belajar dari pengalaman negara lain, produk benih transgenik diharapkan dapat membantu peningkatan produksi jagung di Indonesia. Selain memiliki keunggulan, produk transgenik dipersepsikan dengan beberapa

1

(31)

isu misalnya dalam aspek keamanan pangan dan risiko lingkungan sehingga menimbulkan kontroversi. Disamping itu muncul pula kekhawatiran akan dominasi dan ketergantungan suplai benih pada korporasi multi-nasional. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah penerimaan publik dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan atau keputusan Pemerintah untuk meregulasi pengembangan, introduksi/adopsi benih varietas transgenik.

Beranjak dari latar belakang ini perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah untuk menilai apakah petani akan diuntungkan bila mengadopsi benih transgenik dan juga dilihat pengaruhnya bagi dampak ekonomi yang lebih luas misalnya peningkatan produksi jagung, apakah pengembangan dan aplikasi benih jagung transgenik di Indonesia layak secara lingkungan, dan apakah dapat diterima secara sosial dan kelembagaan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka teoritis dalam menganalisis kelayakan adopsi suatu teknologi baru termasuk benih transgenik dalam penelitian ini merujuk pada Qaim, et al. (2000). Disebutkan bahwa perlunya penelitian atau introduksi teknologi semestinya ditentukan oleh permintaan petani untuk peningkatan produksi/efisiensi. Petani selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya dengan mata pencaharian sebagai petani secara berkelanjutan. Hal ini tentu terkait dengan potensi manfaat dari teknologi tersebut apakah akan memberikan manfaat atau tidak. Proses adopsi teknologi baru membutuhkan waktu yang relatif lama dan banyak faktir pendukung yang mempengaruhinya berupa kebijakan penelitian dan pengembangan, ijin sesuai dengan regulasi yang berlaku, rencana produksi, penyiapan pemasaran dan distribusi produk. Secara komprehensif kelayakan suatu teknologi dilihat dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Dengan demikian tujuan atau sasaran dikembangkan dan diterapkannya teknologi itu dapat tercapai yakni memberikan dampak yang baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan.

(32)

kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat. Dimensi ekonomi diwakili oleh indikator pertumbuhan, peningkatan output, pembentukan modal, dan peningkatan daya saing. Dimensi sosial umumnya diukur dengan aspek kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman. Dimensi ekologis meliputi aspek pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak eksternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.

Masukan teknologi pertanian yang diadopsi akan mempengaruhi dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terkait dengan usahatani komoditas tertentu yang diusahakan. Seberapa besar pengaruh perubahan yang ditimbulkan oleh adopsi teknologi baru terhadap dimensi keberlanjutan usahatani dapat diukur dengan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. Indikator ekonomi yang dapat dipakai adalah produksi atau satuan produktifitas yang tinggi dan berkualitas, kelayakan dan efisiensi ekonomi usahatani, dan peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan kesejahteraan juga terkait dengan indikator sosial yang diukur besar kontribusinya pada kesejahteraan masyarakat atau pedesaan. Indikator sosial yang lain adalah status atau situasi sosial petani pengadopsi. Dimensi lingkungan pada usahatani didekati dengan mengukur faktor penggunaan input produksi aeperti aplikasi pupuk, kompos dan pestisida serta aspek fisik lahan.

(33)
[image:33.595.106.519.192.776.2]

Secara langsung dan tidak langsung, profil dan kegiatan petani dalam usahataninya dapat dikelompokkan ke dalam 3 pilar sosial, ekonomi dan lingkungan/ekologis. Demikian sebaliknya ketiga pilar tersebut juga dapat mempengaruhi sikap dan kinerja petani.

Gambar 1. Kerangka mata pencaharian berkelanjutan dan masukan teknologi baru (modifikasi dari Meinzen-Dick (2001, dalam Falck-Zepeda, et al., 2002).

(34)

pengembangan produk atau aplikasi teknologi dan realisasi nilai tambah bagi pengguna. Di antara regulasi dan petani, masih terdapat kalangan swasta dan industri yang juga dapat berperan sebagai penyedia teknologi. Apakah saat ini faktor regulasi/kebijakan sudah memberikan kepastian prosedur yang jelas dalam pengembangan, penyediaan dan pemanfaatan teknologi/produk hasil rekayasa genetika (transgenik) perlu ditelaah secara mendalam.

1.3. Perumusan Masalah

Perumusan masalah penelitian dimulai dengan pertanyaan mengapa setelah 10 tahun litbang dan upaya pengembangan/ introduksi benih bioteknologi (transgenik) ternyata belum ada varietas benih yang dilepas secara nasional dan dapat diadopsi oleh petani di Indonesia. Sejak tahun 1998 hingga 2002 telah dilakukan kajian keamanan hayati terhadap beberapa tanaman2 transgenik dan beberapa diantaranya adalah jagung Bt, kedelai RR, jagung RR-GA21, jagung RR-NK603, kapas Bt, kapas Bt+RR, dan ada juga enzim probiotik yang dikaji. Namun sampai sekarang belum ada satupun yang diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk ditanam secara komersial oleh petani kecuali kapas Bt yang pernah dilepas secara terbatas di Sulawesi Selatan selama kurun waktu 2000-2003. Penting untuk diingat bahwa hasil dari suatu kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menemukan varietas unggul baru seyogyanya dapat diaplikasikan pada tingkat pengguna (petani).

Komoditas jagung merupakan komoditi penting secara ekonomis, ketergantungan pada impor, budidaya yang intesif, dan peran industri benih yang relatif berkembang. Dalam konteks ini, faktor pasar global juga mempengaruhi tingkat harga, permintaan atau kebutuhan komoditas jagung. Pertanyaan sentral dalam penelitian ini adalah apakah benih transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial kelembagaan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani? Adakah kebijakan/regulasi adopsi/introduksi tidak berjalan semestinya, atau masih ada

2

(35)

kesenjangan implementasi? Merujuk pada pengalaman kapas Bt di Sulawesi Selatan, parameter apa yang agaknya merupakan kegagalan kebijakan (policy failure). Persoalan penerimaan teknologi merupakan suatu faktor yang menentukan, baik dari sisi konsumen, produsen, dan kelembagaan. Pada satu sisi, perdebatan pro dan kontra dapat mempengaruhi pembuatan kerangka kebijakan atau memperlambat pengambilan keputusan dalam penyusunan regulasi. Pada sisi lain, informasi kuantitatif dan kualitatif yang terbatas tentang manfaat suatu kandidat hasil penelitian – yang menjadi input bagi pengambilan keputusan – bisa saja memperkecil kemungkinan sukses adopsi.

Apakah dengan aplikasi dan adopsi benih transgenik oleh petani maka tingkat kesejahteraan rumah tangga petani makin baik dan indeks keberlanjutan usahatani juga semakin baik? Dari sisi petani berapa besar tingkat penerimaan (acceptance) dan nilai yang mau mereka bayar untuk teknologi baru ini. Komoditas jagung dipilih dalam penelitian ini karena merupakan komoditi penting secara ekonomis, adanya ketergantungan pada impor, budidaya yang intensif, peran industri benih yang relatif berkembang, dan berdasarkan tingkat kesiapan produk/teknologi baru untuk memasuki tahap introduksi untuk adopsi. Apakah nantinya introduksi benih jagung transgenik dapat membawa manfaat bagi petani? Komoditas tanaman jagung merupakan contoh tanaman budidaya yang bernilai ekonomi tinggi yang dikelola secara intensif oleh petani serta banyak menggunakan masukan input teknologi untuk meningkatkan produksi termasuk penggunaan masukan input agrokimia berupa pupuk anorganik dan pada keadaan tertentu juga menggunakan pestisida.

Apakah adopsi produk agro-bioteknologi dalam bentuk benih transgenik bermanfaat bagi petani Indonesia khususnya petani jagung di sentra produksi utama? Atau apakah sebagai akibat dari adopsi itu terdapat kemungkinan resiko yang tercermin dari indeks keberlanjutan? Disamping itu ingin juga diperoleh jawaban dengan pendekatan kuantitatif apakah ada kerugian/risiko akibat tidak memanfaatkan benih transgenik baik dari segi produksi maupun konsumsi.

(36)

berkelanjutan. Atau dengan kata lain apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial/kelembagaan. Dengan demikian fokus utama perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) yakni:

(1) Apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi atau secara finansial memberikan keuntungan bagi usahatani jagung?

(2) Jika layak secara finansial, bagaimana dengan kebersediaan petani membeli benih jagung transgenik?

(3) Setelah diketahui kelayakan finansial/ekonomi, apakah adopsi benih transgenik menjamin tingkat keberlanjutan usahatani?

(4) Faktor-faktor apa sajakah yang perlu diperhatikan agar petani sebagai pengguna akhir berhasil mengadopsi teknologi benih jagung transgenik?

(5) Apakah faktor kebijakan dan regulasi saat ini mendukung untuk terjadinya proses aplikasi dan adopsi benih jagung transgenik di Indonesia?

(37)
[image:37.595.102.531.55.741.2]

Gambar 2. Kerangka perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian

Latar belakang

masalah

 Menjawab apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi, lingkungan serta dapat diterima secara sosial

 Menyarankan bagi pembuat kebijakan dan masukan informasi manajemen bagi stakeholders yang terkait

 Peningkatan kebutuhan jagung (industri pengguna bahan baku jagung bertumbuh), harga jagung meningkat karena variasi penggunaan untuk food, feed dan fuel, Indonesia masih impor jagung dalam jumlah besar.

 Benih jagung transgenik sebagai suatu pilihan untuk peningkatan produksi nasional, peningkatan penerimaan petani

 Namun di sisi lain, ada pro dan kontra mengenai teknologi transgenik

Benih jagung transgenik sebagai suatu alternatif solusi bagi peningkatan produksi dan menyumbang peningkatan penerimaan

(38)

Analisis terhadap faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan apabila petani dapat diharapkan mengadopsi benih jagung transgenik. Untuk ini dilakukan wawancara dengan pakar dengan metode AHP (analytical hierarchy process) untuk menilai dan membuat urutan prioritas benih teknologi transgenik yang ada. Dalam kaitan ini dilakukan juga tinjauan terhadap kebijakan adopsi benih transgenik dengan menggunakan metode rasionalis dan analisis kesenjangan (gap analysis). Tinjauan difokuskan pada aspek implementatif dan prosedural dari kebijakan dan regulasi yang ada (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis), mengingat bahwa payung hukum dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) sudah ada. Selain itu dikaji juga parameter atau elemen-elemen ada saja yang masih menjadi kendala dalam upaya adopsi dimaksud dapat tercapai, berhasil dan berlanjut.

Kajian keberlanjutan usahatani yang diukur pada tingkat rumah tangga petani melalui indikator-indikator sosial, ekonomi dan lingkungan dengan metode MAVT (multi-attribute value theory) sehingga terlihat apakah adopsi benih jagung transgenik memberi pengaruh yang baik pada keberlanjutan usahatani.

Dengan demikian, dalam penelitian akan dikembangkan suatu model kerangka penilaian terhadap kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial dari pengembang, introduksi atau adopsi benih jagung transgenik. Mengingat saat ini benih jagung transgenik belum ada yang dipasarkan, maka kerangka penilaian yang diajukan adalah penilaian (valuasi) ex-ante,3 yakni penilaian sebelum adopsi suatu teknologi.

1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan jagung transgenik di Indonesia dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Untuk itu secara rinci penelitian ini ditujukan untuk:

3

(39)

(1) Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi benih jagung transgenik dibandingkan dengan benih jagung hibrida;

(2) Menganalisis kebersediaan petani untuk membayar benih jagung transgenik dibandingkan dengan benih jagung hibrida;

(3) Menganalisis apakah adopsi benih jagung transgenik menjamin keberlanjutan usahatani jagung;

(4) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan apabila diharapkan petani dapat berhasil mengadopsi benih jagung transgenik; dan

(5) Menganalisis apakah peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang ada saat ini mendukung terjadinya adopsi di Indonesia.

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk menajamkan program pengembangan produk teknologi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, khususnya dalam menetapkan rekomendasi prioritas R & D yang dapat memenuhi kebutuhan petani baik bagi lembaga pemerintah maupun lembaga swasta. Pada tingkat nasional, informasi dari hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perancangan regulasi dan aspek-aspek penentu agar akses agro-bioteknologi terbuka bagi investasi dan adopsinya di tingkat pengguna. Pada tingkat usahatani diperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi, khususnya kendala penghambat, disamping aspek kelayakan ekonomis dan lingkungannya serta penerimaan petani terhadap teknologi ini.

1.5. Kebaruan dalam Penelitian

(40)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Berkelanjutan dan Pengaruh dari Adopsi Teknologi

Munasinghe (1993, dalam Sanim, 2003) menyatakan bahwa 3 tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan yakni tujuan ekonomi, tujuan sosial, dan tujuan ekologis dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat. Tujuan ekonomi: pertumbuhan, peningkatan output, pembentukan modal, dan peningkatan daya saing. Tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman. Tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak eksternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.

Menurut Conway (1994, dalam Stevenson dan Lee, 2001), sistem pertanian berkelanjutan harus memiliki ciri produktif, stabil dalam situasi fluktuasi kondisi sosial dan lingkungan, tahan (resilient) terhadap perubahan yang tiba-tiba, serta memberikan akses yang merata bagi cara-cara produksi. Zhen dan Routray (2003) serta Zhen, et al. (2005) mengemukakan konsep pertanian berkelanjutan ditelaah dari tiga dimensi, yakni kelayakan lingkungan dengan penggunaan input eksternal secara rasional guna mencegah degradasi sumberdaya lahan dan air serta mengurangi risiko bagi kesehatan manusia, kelayakan ekonomi yang memastikan kegiatan produksi yang stabil dan menguntungkan, serta penerimaan sosial-kelembagaan yang menjamin kecukupan pangan dan adopsi teknologi konservasi. Zhen dan Routray (2003) mengemukakan indikator-indikator operasional guna mengukur keberlanjutan pertanian di negara-negara berkembang (Gambar 3).

(41)
[image:41.595.103.513.192.741.2]

penelitiannya disusun 30 indikator keberlanjutan dengan masing-masing dimensi memiliki 10 indikator. Indikator ekonomi baik yang bersifat on-farm dan off-farm terdiri dari: (1). keadaan irigasi, (2). pendapatan kotor, (3). luas lahan pertanian, (4). jenis kegiatan, (5). pinjaman bank, (6). subsidi, (7). pekerja penuh-waktu, (8). pekerja paruh-waktu, (9). pemakaian mesin, dan (10). alokasi waktu.

Gambar 3. Indikator operasional dalam mengukur keberlanjutan pertanian di negara berkembang (Zhen dan Routray, 2003).

Ekonomis

• Produktifitas tanaman • Pendapatan usahatani netto • Rasio manfaat-biaya produksi

• Produksi biji-bijian per kapita

Ekologis

Sosial

• Swasembada pangan

• Distribusi pangan dan pendapatan

• Akses terhadap sumberdaya dan dukungan pelayanan

• Pengetahuan petani dan kesadaran mengenai konservasi lahan dan air

• Jumlah pupuk yang digunakan per unit luas tanaman

• Jumlah pestisida yang digunakan per unit luas tanaman

• Kandungan unsur hara tanah

• Kedalaman muka air tanah • Kualitas air tanah untuk irigasi

(42)

Indikator sosial menekankan pada aspek kualitas hidup dengan indikator: (1). standar hidup, (2). sosiabilitas, (3). hubungan dalam masyarakat, (4). pendidikan formal, (5). pendidikan agronomi, dan (6). sarana pembelajaran; aspek kesadaran ekologis dengan indikator: (7). kesadaran akan faktor-faktor eksternal, (8). alasan pemilihan sistem produksi, (9). alasan preservasi sumberdaya alam, dan (10). penggunaan teknologi. Dimensi ekologi berkaitan dengan aspek biofisik seperti air dan tanah, dan aspek penggunaan energi. Kesehatan manusia, walaupun tidak secara langsung dipengaruhi oleh masalah ekologi, dapat mengalami dampak buruk akibat penggunaan pestisida. Tindakan atau praktek agronomi juga berperan penting dalam dimensi ekologi karena memiliki konsekuensi bagi konservasi tanah dan produktivitas. Sepuluh indikator ekologis terdiri dari: (1). penggunaan pestisida, (2). penggunaan pupuk kimiawi, (3). masalah tanah, (4). pencemaran air, (5). penggunaan pupuk kandang, (6). masa bera, (7). rotasi tanaman, (8). tanpa olah tanah, (9). penyakit tanaman, dan (10). masalah kesehatan (Miranda, 2001).

Selanjutnya Zhen dan Routray (2003) menyatakan bahwa pemilihan indikator yang akan digunakan tergantung pada faktor ruang/wilayah dan dimensi waktu (Tabel 2). Pada skala lokal dengan jangka pendek, prioritas diberikan pada aspek ekonomi yang diikuti dengan aspek sosial dan ekologis, karena manfaat ekonomi merupakan kebutuhan utama. Dalam jangka panjang, ketiga aspek ini memiliki prioritas yang sama bobotnya.

Tabel 2. Pemilihan indikator dengan pertimbangan faktor wilayah dan dimensi waktu (Zhen dan Routray, 2003).

Ruang Jangka pendek

(1-5 tahun)

Jangka menengah (5-10 tahun)

Jangka panjang (10-20 tahun)

Nasional 1 > 2 > 3 3 > 1 = 2 1 = 2 = 3

Wilayah (propinsi) 1 > 2 > 3 3 > 1 = 2 1 = 2 = 3 Lokal (disrik/sub-distrik) 1 > 2 > 3 1 > 2 = 3 1 = 2 = 3 1 = aspek ekonomis; 2 = aspek sosial; 3 = aspek ekologis

(43)

suatu wilayah memerlukan perubahan teknologi dan kelembagaan untuk m

Gambar

Gambar 1.  Kerangka mata pencaharian berkelanjutan dan masukan
Gambar 2. Kerangka perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian
Gambar 3.  Indikator
Gambar 4.  Analisis strategis lingkungan suatu inovasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini sesuai dengan teori terdahulu yang mengemukakan bahwa penghasilan seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi persepsi dikarenakan

Telah dilakukan penelitian pengaruh suhu pirolisis terhadap kadar senyawa fenolik dari asap cair cangkang sawit dan karakterisasinya pada suhu 600 – 950 o C dengan interval suhu

Berdasar pada perhitungan-perhitungan di atas yang meliputi tahanan kapal selam, thrust yang dibutuhkan, serta besarnya mesin yang disediakan maka desain propeller Kapal Selam

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lidah buaya ( Aloe vera ) dan waktu penutupan luka sayat pada mukosa rongga mulut tikus wistar.. Lidah buaya diambil

Pengembangan media pembelajaran fisika pembelajaran berbasis multimedia interaktif terintegrasi dengan lembar kerja siswa dibuat dengan mengikuti langkah yang

Sehubungan dengan kinerja Perseroan pada tahun 2013, kami sarankan kepada Direksi untuk meningkatkan daya saing produk Perseroan baik dari sisi kualitas maupun harga di

Aspal minyak yang digunakan untuk konstruksi perkera- san Jalan merupakan residu dari proses destilasi minyak bumi, yang sering disebut aspal semen.. Aspal semen bersi- fat

Pada dasarnya aliran fluida dalam pipa akan mengalami penurunan tekanan atau pressure drop seiring dengan panjang pipa ataupun disebabkan oleh gesekan dengan