• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Komunitas ForaminiferaBentik di Selat Makassar Berdasarkan Kedalaman Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Komunitas ForaminiferaBentik di Selat Makassar Berdasarkan Kedalaman Laut"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

WISNU ADITHYA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Kedalaman Laut. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI. Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang) berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa: Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26 stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturut-turut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut, marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.

ABSTRACT

WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.

(3)

WISNU ADITHYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

NRP : G34101053

Disetujui: Pembimbing I,

Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc NIP. 131916787

Pembimbing II,

Dra. Ricky Rositasari NIP. 320005726

Diketahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA NIP.131578806

(5)

empat bersaudara, dari pasangan Nasa Heryanto dan Yetty Haryaty.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Purwakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas MIPA.

(6)

atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Struktur Komunitas Foraminifera Bentik di Selat Makassar Berdasarkan Kedalaman Laut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari M.Sc. dan Ibu Dra. Ricky Rositasari atas bimbingan, kesabaran, dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi. Ucapan terimakasih penulis ucapkan terutama kepada Ir. Sulistijorini, MSi. yang telah menguji tulisan ini dengan teliti, sehingga tulisan Karya Ilmiah ini lebih sempurna lagi. Penulis mengucapkan lebih dari kata “terima kasih” kepada papa, yang telah menjadi “sahabat” yang bijaksana, dan terutama mama, yang penuh kasih sayang yang tidak terbalas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sudah membantu, baik langsung maupun tidak langsung, dalam penelitian dan penulisan Karya Ilmiah ini, yaitu: my best friend Cynthia L. M. Marbun dan Khrisna Nugraha, “kakakku” Puji Rianti, “adik kecilku” Rut Normasari, serta kepada teman-temanku yang tidak mungkin disebutkan namanya satu-persatu di sini (sebab akan menghabiskan lebih dari satu halaman). Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua staf Departemen Biologi, Laboratorium Zoologi, IPB dan staf Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian Oseanografi- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) atas bantuannya. Yang terakhir saya ucapkan terimakasih kepada mereka yang “membenci” diriku, penulis tidak bisa menemukan kesalahan-kesalahan diri sendiri tanpa keberadaan mereka.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2008

(7)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN... 1

METODE ... 2

Bahan dan Alat ... 2

Metode ... 2

Pengambilan sedimen... 3

Perlakuan sedimen... 3

Identifikasi dan penghitungan spesimen... 3

Analisis data secara umum... 3

Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman... 4

HASIL ... 4

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum ... 4

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman... 6

Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela... 7

PEMBAHASAN ... 7

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum ... 7

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman... 7

Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela ... 9

SIMPULAN... 9

SARAN... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(8)

1 Hasil analisis secara umum ... 5

2 Hasil analisis berdasarkan zonasi kedalaman ... 6

3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut ... 7

4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian... 8

5 Perbandingan marga-marga ... 8

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur Foraminifera secara umum (Albani 1979) ... 1

2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh... 2

3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut secara umum ... 4

4 Hubungan Indeks Pielou dengan kedalaman laut secara umum ... 4

5 Hubungan Indeks Margalef dengan kedalaman laut secara umum... 4

6 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut secara umum ... 5

7 Hubungan indeks Shannon-Wiener dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi... 6

8 Hubungan indeks Pielou dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi... 6

9 Hubungan indeks Margalef dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ... 6

10 Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi ... 6

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar ... 13

2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian... 14

(9)

PENDAHULUAN

Nama Foraminifera berasal dari istilah Latin foramen rongga, dan ferre menghasilkan. Foraminifera merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di laut. Diameter tubuhnya berkisar antara 0,1 hingga 2 mm dan hanya beberapa jenis mempunyai ukuran yang lebih besar. Pada umumnya, Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang) berongga dan menjadi fosil dalam sedimen batuan (Albani 1979).

Gambar 1 Struktur Foraminifera secara umum (Albani 1979).

Foraminifera termasuk ke dalam Filum Protozoa, Subfilum Sarcodina, Kelas Granuloreticulosea, dan Ordo Foraminiferida. Foraminifera digolongkan ke dalam Subfilum Sarcodina karena memiliki pseudopodia dan non-flagelata (Haq & Boersma 1978), dan dimasukkan ke dalam Granuloreticulosea karena mempunyai pseudopodia seperti jala atau reticulopodia (Ruppert & Barnes 1991). Foraminifera dibagi menjadi 2 tipe test, yaitu (1) tipe agglutinated atau arenaceous, memiliki ruang tunggal (dibangun dari material sekelilingnya yang dilekatkan oleh semen organik) dan (2) tipe calcareous (gampingan), memiliki banyak ruang. Tipe calcareous dibagi dua, yaitu tipe porcellanous (porselen) dan hyalin (mirip kaca) (Lee & Anderson 1991).

Berdasarkan cara hidup, Foraminifera terbagi dua yaitu (1) planktonik, yang hidup pada kolom air di kedalaman 0-200 m, (2) bentik, yang hidup di permukaan dasar perairan. Foraminifera bentik terbagi menjadi organisme vagile (bergerak bebas) dan sesile (diam). Foraminifera hidup di laut, meskipun begitu famili Allogromidae dan Lagynidae hidup di air tawar (Haq & Boersma 1978). Pola sebaran Foraminifera bentik di-pengaruhi terutama oleh tipe sedimen permukaan (Lee & Anderson 1991). Pola

sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi juga oleh faktor fisik-kimia lainnya yaitu kedalaman, suhu, tekanan hidrostatik, cahaya, kekeruhan air, gerakan aktif (arus vertikal, dan pergerakan habitat), salinitas, pH, oksigen terlarut, unsur nutrisi dan kondisi tropik (Haq & Boersma 1978; Lee & Anderson 1991; Drinia et al 2004) serta substansi racun dan interaksi biologi (Colom 1974, Murray 1991 dan Jorissen 1999 dalam Mendes et al. 2004). Secara ekologis, Foraminifera memiliki peranan penting sebagai bioindikator (Haunold et al. 1997 dalam Mendes et al. 2004). Menurut Hallock et al. (2003), Foraminifera merupakan organisme indikator ideal karena: (1) digunakan secara luas se-bagai indikator lingkungan dan lingkungan purba dalam berbagai konteks, (2) siklus hidupnya yang relatif singkat memfasilitasi peristiwa cekaman episodik, dibandingkan siklus hidup koloni koral yang lama mewakili indikator penurunan kualitas air dalam jangka waktu lama, (3) ukurannya yang relatif kecil dan jumlahnya melimpah, membuatnya sebagai contoh ukuran statistik yang signifikan, (4) mudah dikoleksi dari alam dengan biaya murah, (5) komponen ideal dari program pengawasan yang komprehensif, (6) pengoleksiannya memiliki dampak minimal terhadap sumberdaya alam.

Burone et al. (2006) menambahkan, Foraminifera, terutama Foraminifera bentik, dijadikan sebagai bioindikator karena mereka sensitif terhadap cekaman lingkungan. Salah satu kasusnya, yaitu penggunaan Foraminifera sebagai bioindikator polutan logam di Laguna Goro, Italia, oleh Luciani (2007)

Perairan Selat Makasar memiliki arus air sepanjang tahun selalu dari Utara ke Selatan (Wyrtky 1961 dalam Anonim 2004), yang di-sebut ARLINDO (Anonim 2004; Waworuntu et al. 2001). Selat Makassar diamati sebagai saluran utama aliran air menuju laut-laut di Indonesia. Waworuntu et al. (2001) me-nyatakan bahwa sebagian besar faktor suhu dan aliran air laut di Selat Makassar bukan di-sebabkan oleh perbedaan tekanan barotropik, melainkan komponen baroklinik yang besar. Lapisan air pada kedalaman 0-200 m dipengaruhi oleh salinitas maksimum dari Laut Subtropis Pasifik Utara, sedangkan lapisan pada kedalaman lebih dalam dari 200 m dipengaruhi oleh salinitas minimum Laut Intermediet Pasifik Utara (Hautala et al. 1996 dalam Waworuntu et al. 2001).

Kaki semu

apertur

endoplasma

Badan golgi

test

ektoplasma

Nukleus & mikro nukleus

(10)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk men-gidentifikasi struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar, yang dilihat dari sebaran, kelimpahan marga, keragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis. Penelitian ini juga melihat hubungan struktur komunitas Foraminifera bentik dengan kedalaman laut.

Waktu dan Tempat

Pengambilan sedimen dilakukan pada tanggal 13-20 Oktober 2004 di Selat Makassar pada area koordinat 0º 40.038’ LU sampai 5º 5.8818’ LS serta 116º 49,914‘ BT sampai 119º 47.058’ BT (Lampiran 1). Penelitian di laboratorium dimulai sejak tanggal 1 Juni 2005 hingga 30 April 2006. Kegiatan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: perlakuan sedimen, identifikasi, dan analisis data. Perlakuan sedimen dan analisis data dilakukan di Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sedimen dari Selat Makassar. Alat-alat yang digunakan yaitu piston core (Lampiran 2), penggaris, pisau palet/sendok semen, saringan 0,125 mm, oven, counting cell glass, mikroskop stereo, jarum, botol contoh, timbangan digital, kuas berbagai ukuran, serta komputer.

Metode

Secara keseluruhan terdapat 28 stasiun (St.), namun karena hal teknis, St. 12 dan 13 tidak disertakan dalam penelitian. Oleh karena itu, jumlah stasiun menjadi sebanyak 26 stasiun, termasuk satu stasiun harian yaitu St. 27 harian. Nama stasiun dalam penelitian ini tidak diubah, kecuali St. 27 harian diubah menjadi St. 28 (Gambar 2).

Pekerjaan penelitian terbagi dalam empat tahap, yaitu pengambilan sedimen, perlakuan sedimen, identifikasi dan penghitungan spesimen serta analisis data.

(11)

Pengambilan sedimen. Sedimen diambil oleh Tim Ekspedisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) Jakarta menggunakan piston core (Holme & McIntyre 1984) di Kapal Riset (KR) Baruna Jaya VII. Sedimen kemudian disimpan di dalam pipa-pipa penyimpanan.

Perlakuan sedimen. Sedimen dalam pipa penyimpanan diiris melintang setebal 3 cm dari permukaan teratas sedimen untuk dikeringkan dalam oven, lalu ditimbang. Setelah itu, dilakukan penyaringan basah dan dikeringkan lagi untuk diidentifikasi. Sedimen yang akan diidentifikasi disebut spesimen.

Identifikasi dan penghitungan spesimen. Mikroskop stereo digunakan untuk meng-identifikasi dan menghitung spesimen. Identifikasi dilakukan berdasarkan struktur morfologi test, seperti bentuk, susunan dan jumlah ruang; struktur apertur; tipe test; struktur permukaan luar test; serta bentuk dan struktur ruang basal (Setiawati 2005). Identifikasi dilakukan hingga ke tingkat jenis, namun pada beberapa individu hanya sampai pada tingkat marga. Buku identifikasi utama yang digunakan yaitu Barker (1960) dan sebagai buku acuan lainnya yaitu Graham & Militante (1959), serta Albani (1979).

Analisis data secara umum. Sebelum analisis data dilakukan, dibuat asumsi awal yaitu bahwa semua individu memiliki peluang yang sama untuk terambil dalam setiap taburan dan bobot-total taburan tiap stasiun merupakan bagian dari bobot contoh tiap stasiun. Oleh karena itu, sub-contoh diambil maksimum sebanyak 5 taburan per stasiun. Data analisis berasal dari hasil penghitungan spesimen

Hasil analisis data berupa indeks-indeks, yang merupakan hasil analisis univariabel menggunakan piranti lunak Primer 5.0. Indeks-indeks yang digunakan pada penelitian ini yaitu Indeks Keragaman Shannon-Wienner (H’(log2)), Kemerataan Pielou (J’), dan Kekayaan Margalef (d) (Clarke & Warwick 2001). Data juga dianalisis secara manual untuk mendapat Kelimpahan Marga (A). Indeks H’(log2) digunakan untuk mengukur keragaman hayati (Clarke & Warwick 2001; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006), dengan cara merangkum komposisi dan kelimpahan jenis tiap stasiun. Indeks ini menunjukkan nilai kelimpahan relatif dan keragaman jenis pada tiap-tiap stasiun (Anonim 2003). Semakin besar nilai indeks H’(log2), maka kelimpahan relatif dan keragaman jenis di setiap stasiun semakin

makin besar. Penggunaan H’(log2) dilakukan menurut Mendes et al. (2004), yaitu jika nilainya 0-2 disebut keragaman rendah, 2-4 keragaman sedang, dan lebih besar dari 4 keragaman tinggi. Berikut adalah rumus Indeks keragaman Shannon-Wiener.

H’= -∑ pi log2 (pi)

H’ = Indeks Shannon-Wienner P1 = Proporsi jenis ke i

Indeks J‘ digunakan untuk mengukur meratanya kelimpahan jenis yang tersebar dalam suatu komunitas. Nilai tersebut selalu dalam kisaran 0 dan 1. Dalam hal ini nilai 1 adalah kemerataan sempurna, sedangkan nilai 0 menunjukkan sebaran sangat tidak merata (Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006). Berikut merupakan definisi Indeks kemerataan Pielou.

J’ = H’ / H’max = H’ / log S

J’ = Indeks Pielou

H’ = Indeks Shannon-Wienner H’max = Nilai Kemungkinan Maksimum

Indeks Shannon-Wienner S = Jumlah total jenis

H’max dapat tercapai jika semua jenis sama-sama melimpah, yaitu jika dan hanya jika log S. Hal tersebut berarti semua data kelimpahan tetap dapat dianalisis, meskipun terdapat selang perbedaan besar diantara data kelimpahan masing-masing jenis. Analisis data kelimpahan tersebut dapat dilakukan karena nilai S dimasukkan ke dalam fungsi log, menjadi log S.

Indeks d menunjukkan nilai kekayaan jenis dan keragaman komunitas tiap-tiap stasiun; semakin besar nilainya, maka kekayaan jenis dan keragaman komunitas pada stasiun tersebut semakin besar (Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006).

d = (S-1) / Log N

d = Indeks Margalef S = Jumlah total spesies N = Jumlah total individu

(12)

marga dominan. Dominansi dianalisis dari data Kelimpahan Marga.

A = (Ng / %w ) * 100

A = kelimpahan absolut Marga (individu/gram contoh) Ng = jumlah individu tiap marga %W = persentase jumlah bobot per

stasiun dibagi bobot kering contoh yang kemudian dikalikan seratus persen

Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar dapat terlihat lebih spesifik dengan menggunakan analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Zonasi-zonasi kedalaman tersebut telah ditentukan sebelumnya.

Pada penelitian ini, kedalaman laut dibagi berdasarkan kontur kedalaman laut menurut zonasi kedalaman Boersma (Haq & Boersma 1978) termodifikasi (Lampiran 3). Zonasi kedalaman laut tersebut yaitu Pesisir (0-30 m di bawah permukaan laut atau dpl), Paparan Dalam (30-100 m dpl), Lereng Kontinental I (300-1000 m dpl), Lereng Kontinental II (1000-2000 m dpl), dan Abissal (lebih dalam dari 2000 m dpl).

Hasil analisis data berdasarkan zonasi yaitu berupa nilai rata-rata indeks-indeks dan kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang sudah dikelompokkan ke dalam masing-masing zonasi.

Data kedalaman laut pada tulisan ini merupakan data sekunder dari laporan Studi Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi (Anonim 2004). Penelitian ini merupakan bagian dari survei yang dilakukan oleh tim Ekspedisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Jakarta dengan menggunakan KR Baruna Jaya VIII (Lampiran 2).

HASIL

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum

Empat belas stasiun memiliki indeks H’(log2) tinggi, 10 stasiun kategori sedang, dan 2 stasiun kategori rendah (Tabel 1). Nilai indeks H’(log2) tertinggi sebesar 5,24 di St. 27 dan terendah sebesar 1,44 di St. 24. Rata-rata

nilai H’(log2) sebesar 3,82. Indeks H’(log2) memiliki kecenderungan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 3).

Hasil penghitungan indeks J’, diketahui terdapat 24 stasiun dengan nilai indeks lebih besar dari 0,8, dan 4 stasiun dengan nilai kurang dari 0,8 (Tabel 1). Indeks J’ memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 4).

Untuk indeks d, diperoleh nilai tertinggi sebesar 12,53 di St. 27. Nilai indeks d terendah sebesar 1,44 di St. 15 (Tabel 1). Indeks d memiliki kecenderungan yang sama dengan Indeks H’(log2). Semakin bertambah kedalaman laut maka nilai indeks d semakin berkurang (Gambar 5).

Gambar 3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener (H’) dengan kedalaman laut secara umum.

-3000

Indeks keragaman Shannon-Wiener

K

Indeks kekayaan jenis Margalef

K

Gambar 5 Hubungan Indeks Margalef (d) dengan kedalaman laut secara umum. Gambar 4 Hubungan Indeks Pielou (J’) dengan

kedalaman laut secara umum. -3000

Indeks kemerataan Pielou

(13)

Tabel 1 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera bentik secara umum

Stasiun S

(∑ spesies)

N

(∑ individu) d J' H'(log2)

Kelimpahan Marga (individu/ g sedimen)

Kedalaman Laut (m)

1 12 18 3,81 0,95 3,42 4.163 -617

2 21 70 4,71 0,95 4,18 14.526 -1737

3 14 112 2,76 0,90 3,47 31.991 -1994

4 31 218 5,57 0,90 4,51 14.113 -2161

5 8 10 3,04 0,98 2,92 315 -988

6 24 43 6,12 0,95 4,34 5.438 -1765

7 49 199 9,07 0,63 3,56 6.116 -2216

8 41 95 8,79 0,90 4,82 2.460 -1839

9 34 84 7,45 0,93 4,71 7.509 -474

10 11 15 3,70 0,95 3,28 11.719 -54

11 60 154 11,71 0,81 4,80 10.528 -461

14 25 88 5,36 0,90 4,18 7.112 -740

15 3 4 1,44 0,95 1,50 57 -2399

16 22 96 4,60 0,79 3,50 5.473 -2074

17 38 400 6,18 0,81 4,25 49.432 -83

18 37 178 6,95 0,83 4,31 3.417 -81

19 8 19 2,38 0,85 2,54 2.751 -2205

20 14 23 4,15 0,87 3,32 3.366 -2423

21 29 66 6,68 0,90 4,41 2.482 -1353

22 26 64 6,01 0,90 4,26 6.546 -2522

23 25 219 4,45 0,80 3,71 22.969 -559

24 16 651 2,32 0,36 1,44 111.359 -339

25 45 158 8,70 0,86 4,74 6.237 -71

26 15 65 3,36 0,93 3,64 5.449 -38

27 61 120 12,53 0,89 5,24 6.044 -29

28 22 85 4,73 0,95 4,24 14.662 -43

Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener.

Kelimpahan marga tertinggi dimiliki oleh St. 24, yaitu sebesar 111.359 individu per gram sedimen. Kelimpahan terendah dimiliki oleh St. 15, yaitu sebesar 57 individu per gram sedimen (Tabel 1). Kelimpahan Marga memiliki kecenderungan semakin menurun seiring bertambahnya kedalaman laut (Gambar 6). Secara umum, di Selat Makassar terdapat kelimpahan rata-rata sebesar 13.702 individu per gram sedimen.

Gambar 6 Hubungan Kelimpahan Marga (A) dengan kedalaman laut secara umum.

-3000 -2500 -2000 -1500 -1000 -500 0

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

Kelimpahan Marga (individu/ g contoh)

K

eda

la

m

a

n l

a

u

t

(m

(14)

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman

Nilai indeks Kekayaan (d) dan Keragaman (H’log2) jenis tertinggi ada pada zona Pesisir, indeks Kemerataan tertinggi (J’) di zona Lereng Kontinental II, sedangkan Kelimpahan Marga tertinggi ada pada zona Lereng Kontinental I (Tabel 2).

Terdapat 3 zona yang termasuk ke dalam kategori keragaman tinggi, yaitu Pesisir, Paparan Dalam, dan Lereng Kontinental II. Zona Lereng Kontinental I dan Abisal termasuk ke dalam kategori sedang.

Indeks keragaman Shannon-Wiener berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambah dalamnya kedalaman laut. (Gambar 7).

Indeks kemerataan Pielou berdasarkan zonasi berada pada kisaran nilai 0,8. Pada zona Lereng Kontinental II terdapat pe-ningkatan nilai indeks menjadi kisaran 0,9 (Tabel 2). Indeks kemerataan Pielou ber-dasarkan zonasi memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan semakin dalamnya kedalaman laut (Gambar 8).

Indeks kekayaan Margalef tertinggi berdasarkan zonasi terletak di zonasi Pesisir, yaitu sebesar 12,53 (Tabel 2). Indeks ini memiliki kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 9).

Kelimpahan Marga tertinggi berdasarkan zonasi terdapat di zona Lereng Kontinental I, sebesar 23.422,14 individu per gram sedimen (Tabel 2). Kelimpahan Marga berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan semakin tingginya kedalaman laut (Gambar 10).

Tabel 2 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera berdasarkan zonasi kedalaman

Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener

Nilai rata-rata Zonasi

d J' H'(log2)

Kelimpahan Marga (individu/ g sedimen)

Pesisir 12,53 0,88 5,24 6.044,00

Paparan Dalam 5,60 0,89 4,08 15.152,67

Lereng Kontinental I 5,45 0,82 3,60 23.422,14

Lereng Kontinental II 5,81 0,92 4,23 11.379,40

Abisal 4,75 0,84 3,31 5.488,85

Gambar 7 Hubungan indeks Shannon-Wiener (H’) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

Gambar 8 Hubungan indeks Pielou (J’) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

Gambar 9 Hubungan indeks Margalef (d) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5 Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

0 10000 20000 30000

Kelimpahan marga

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

(15)

Tabel 3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut

Marga Dominan ke- (% Fatela) Zonasi

1 2 3 4 5

Pesisir Tubinella

(19,17)

Paparan Dalam Cibicides

(15,89)

Lereng Kontinental I Uvigerina

(52,30)

Lereng Kontinental II Bolivina

(31,39)

Abisal Cibicides

(15,70)

Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela

Marga Foraminifera bentik dominan di Selat Makassar secara umum adalah Uvigerina (27,05%). Selanjutnya berturut-turut adalah Bolivina (8,82 %), Euuvigerina (8,00 %), dan Cibicides (7,02 %) yang termasuk ke dalam kategori marga aksesoris. Seratus sembilan belas marga lainnya merupakan marga Foraminifera bentik kategori langka/jarang/kebetulan.

Marga Foraminifera bentik dominan berdasarkan zonasi kedalaman laut yaitu berbeda-beda sesuai dengan zonasinya, kecuali pada zona Paparan Dalam dan Abisal yang memiliki 2 marga tertinggi yang sama (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan 258 jenis Foraminifera bentik yang termasuk ke dalam 123 marga. Setelah diidentifikasi berdasarkan Graham & Militante (1959), umumnya, jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar serupa dengan kawasan Samudera Pasifik, khususnya kawasan Filipina.

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum

Menurut Rositasari (komunikasi pribadi 2007), keragaman Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk kedalam kategori tinggi. Namun, berdasarkan rata-rata indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), di-ketahui bahwa keragaman jenis di Selat Makassar termasuk kategori sedang (H’(log2) = 3,81). Meskipun demikian, nilai rata-rata H’(log2) yang mendekati nilai 4 menunjukkan bahwa keragaman jenis di Selat Makassar adalah cukup tinggi.

Nilai indeks Kemerataan Pielou (J’) menunjukkan bahwa kelimpahan jenis

Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah merata. Hal tersebut didukung dengan nilai rata-rata indeks sebesar 0,86 yang berarti mendekati kemerataan sempurna.

Berdasarkan grafik hubungan indeks keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), kemerataan Pielou (J’), dan kekayaan Margalef (d) dengan kedalaman laut, terlihat adanya kecenderungan nilai indeks H’(log2) dan nilai indeks d menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa jenis-jenis bentik yang berhasil beradaptasi di laut dalam adalah terbatas. Dengan kata lain, jenis-jenis Foraminifera bentik yang hidup di Selat Makassar dibatasi oleh tingkat kedalaman laut.

Hubungan indeks J’ dengan kedalaman laut memperlihatkan kecenderungan yang meningkat seiring bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut berarti penyebaran jenis-jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah semakin merata seiring dengan bertambahnya kedalaman laut.

Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut secara umum (Gambar 6) memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan semakin tinggi kedalaman laut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Haq & Boersma (1978), menyatakan bahwa semakin besar kedalaman air laut, maka jenis bentik akan semakin berkurang.

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman

(16)

lingkungan yang mempengaruhinya ber-dasarkan zonasi kedalaman laut.

Perbandingan pembagian zona yang dilakukan di Selat Makassar dengan lokasi penelitian yang dilakukan oleh Murgese & Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss (1994) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun perbandingan marga-marga yang ditemukan pada ketiga lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Beberapa marga yang disebutkan Murgese & Deckker (2005); serta Rathburn & Corliss (1994), seperti Oridorsalis, Epistominella, dan Siphonina tidak ditemukan dalam penelitian di Selat Makassar (Tabel 5). Hal ini diduga karena perbedaan lokasi penelitian, sehingga terjadi perbedaan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap beberapa marga Foraminifera bentik.

Hasil perhitungan beberapa indeks yang dikaji di Selat Makassar menunjukkan kecenderungan sama, baik pada analisis secara umum maupun secara zonasi, kecuali pada Indeks Kemerataan Pielou. Pada Indeks Pielou pada analisis secara umum memperlihatkan peningkatan seiring dengan kedalaman laut (Gambar 4). Indeks Pielou pada analisis zonasi memperlihatkan kecenderungan penurunan seiring

ber-tambahnya kedalaman laut (Gambar 8). Perbedaan kecenderungan tersebut disebabkan adanya perbedaan indeks di zona Lereng Kontinental II (Tabel 2).

Nilai indeks Pielou berdasarkan analisis zonasi memiliki keunikan, yaitu nilai indeks Pielou mulai dari zona Pesisir hingga Lereng Kontinental I berada pada kisaran 0,8. Kemudian, pada zona Lereng Kontinental II nilainya naik pada kisaran 0,9. Indeks Pielou turun kembali hingga kisaran 0,8 di zona Abisal (Tabel 2).

Indeks Pielou ditujukan untuk mengukur meratanya kelimpahan jenis yang tersebar dalam suatu komunitas. Berdasarkan indeks ini, habitat ideal bagi Foraminifera bentik di Selat Makassar yaitu area yang berada pada zona Lereng Kontinental II. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemerataan yang tinggi di zona ini.

Di sisi lain, Kelimpahan Marga tertinggi bukan pada zona Lereng Kontinental II, melainkan di zona Lereng Kontinental I (Tabel 2). Hal ini juga berarti zona Lereng Kontinental I merupakan habitat ideal bagi Foraminifera bentik.

Tabel 4 Perbandingan pembagian zonasi penelitian

Zonasi di Selat Makassar Nama peneliti

(Lokasi

penelitian) Pesisir

Paparan Dalam

Lereng Kontinental I

Lereng

Kontinental II Abisal

Murgese & Deckker (Samudera

Hindia sebelah Timur)

- - 700 hingga 4.335 m dpl.

Rathburn & Corliss

Tabel 5 Perbandingan marga-marga

Nama Jenis Murgese &

Deckker (2005)

Rathburn &

Corliss (1994) Penelitian di Selat Makassar

Nummoloculina Ada - Ada, tapi tidak termasuk 5 dominan

Epistominella Ada - Tidak Ada

Pyrgo Ada - Dominan ke-5 di Abisal

Oridorsalis Ada Ada Tidak Ada

Cibicidoides Ada Ada Cibicides, termasuk 5 dominan di semua

zonasi kecuali di Lereng Kontinental II

Uvigerinid Ada Ada Sangat dominan di Lereng Kontinental I, ke-5

di pesisir, dan ke-3 di Abisal

Bolivina - Ada Dominan ke-3 di Pesisir dan ke-1 di Lereng

Kontinental II

Siphonina - Ada Tidak Ada

Gyroidinoides - Ada Gyroidina, tidak termasuk ke dalam 5

dominan

(17)

Adanya 2 zona yang berpotensi menjadi habitat ideal bagi Foraminifera bentik diduga disebabkan oleh dua faktor yang berbeda. Zona Lereng Kontinental II dapat dijadikan habitat ideal karena ditunjukkan dengan nilai indeks kemerataan Pielou yang tinggi. Indeks Pielou yang tinggi tersebut diduga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik seperti kuat arus air, salinitas, kandungan oksigen terlarut dan sebagainya. Pada zona Lereng Kontinental I, diduga lebih banyak di-pengaruhi oleh sumber nutrisi yang terdapat pada sedimen, terutama sedimen yang berasal dari Sungai Mahakam. Pada zona Lereng Kontinental I diketahui bahwa Kelimpahan Marganya merupakan yang tertinggi diantara zona lainnya.

Dengan tidak adanya data sekunder mengenai sedimen dan faktor-faktor fisik/ lingkungan, maka penulis hanya mampu menduga penyebab keunikan nilai indeks Kemerataan Pielou dan Kelimpahan Marga berdasarkan zonasi tersebut di atas. Namun, secara keseluruhan terlihat bahwa nilai indeks Kemerataan Pielou, baik berdasarkan hasil analisis secara umum maupun berdasarkan zonasi kedalaman laut, berada pada kisaran yang lebih besar dari nilai 0,8. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemerataan jenis di Selat Makassar adalah tinggi.

Secara keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.

Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela

Uvigerinid mendominasi seluruh area di Selat Makassar, terdiri dari 3 marga yaitu, Uvigerina, Euuvigerina, dan Neouvigerina. Uvigerinid ditemukan dalam jumlah besar hanya di stasiun 24, yaitu sebesar 106.569 individu per gram sedimen. Adapun beberapa contoh spesimen dapat dilihat di Lampiran 2. Barker (1960), menyatakan bahwa uvigerinid tidak ditemukan pada laut dangkal (0-180 m dpl). Namun, di Selat Makassar uvigerinid juga ditemukan di laut dangkal, yaitu di St. 17, 18, 25, dan 27. Guimerans & Currado (1999) menemukan bahwa pola sebaran uvigerinid dipengaruhi oleh faktor sedimen, yaitu pada sedimen lumpur-pasiran. Mendes et al (2004) menemukan Uvigerinid pada jenis sedimen lumpuran pasiran bioklastik berkerakal (ciri khas sedimentasi sungai) di laut dangkal (sekitar -95 m). Mendukung kedua pernyataan tersebut, Rositasari (2007 komunikasi pribadi)

menyatakan bahwa uvigerinid merupakan Foraminifera bentik oportunis, ditemukan pada setiap tingkat kedalaman laut, bahkan ditemukan juga pada perairan keruh dengan tingkat oksigen rendah.

Di Selat Makassar, uvigerinid ditemukan melimpah di laut dangkal dan diduga bersedimen lumpur-pasiran bioklastik (area utara dan timur laut Selat Makassar), yang berasal dari hasil sedimentasi aktif Sungai Sangkulirang. Uvigerinid merupakan spe-simen umum di Selat Makassar yang pola sebarannya lebih dipengaruhi tipe sedimen daripada kedalaman laut.

Pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar berdasarkan analisis zonasi terlihat sangat dominan di Lereng Kontinental I. Hal tersebut wajar karena stasiun 24 berada pada zonasi Lereng Kontinental I. Uvigerinid ditemukan sebagai peringkat ke 5 paling dominan pada zona Pesisir, peringkat ke 2 pada zona Lereng Kontinental II, peringkat ke 3 pada zona Abisal. Uvigerinid tidak termasuk ke dalam 5 peringkat paling dominan di zona Paparan Dalam (Tabel 3). Hal ini membuktikan bahwa pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar tidak tergantung kepada kedalaman laut. Pola sebaran uvigerinid di Selat Makassar merupakan salah satu keunikan struktur komunitas Foraminifera bentik.

Secara umum, pola sebaran Foraminifera bentik pada laut dalam disebabkan oleh rendahnya energi air pasang dan kandungan oksigen, serta butiran sedimen, dan lapisan air dingin yang berhubungan dengan arus naik (upwelling) musiman (Mendes et al. 2004).

SIMPULAN

Di Selat Makassar, Foraminifera bentik pada contoh sedimen ditemukan sedikitnya 258 jenis yang termasuk kedalam 123 marga. Secara umum, keragaman dan kekayaan jenis Foraminifera bentik termasuk kategori sedang (rata-rata nilai H’(log2) sebesar 3,82) dengan tingkat kemerataan sebesar 0,86. Marga Foraminifera bentik dominan secara umum berturut-turut adalah Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides, sedangkan Foraminifera bentik dominan berdasarkan zonasi kedalaman yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II).

(18)

Secara keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.

SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keunikan-keunikan komunitas Foraminifera bentik di beberapa area sehingga dapat diketahui penyebab keunikan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Albani DA. 1979. Recent Shallow Water Foraminiferida from New South Wales, AMSA Handbook No. 3. Australia: Australian Marine Sci. Ass.

Anonim. 2003. Draft Benthic Survey Report Anacosta River, Washington DC. Los Angeles: Horne Engineering Services, Inc. Anonim. 2004. Studi Dinamika Selat

Makassar serta Interaksinya dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Hadikusuma, Koord. Jakarta: P2O, LIPI.

Barker RW. 1960. Taxonomic Notes, Special Publication No. 9. Tulsa: Society of Economic Paleontologists and Mineralogists.

Burone L, Pires-vanin AMS. 2006. Foraminiferal assemblages in Ubatuba Bay, South-Eastern Brazilian Coast. Scientia Marina 70: 203-217.

Burone L, Lessa G, Machado A, Figuêredo J. 2006. Benthic foraminiferal assemblages and morphological abnormalities in the Subaé Estuarine System, Bahia – Brazil. Anuário do Instituto de Geociências-UFRJ. 29: 405-406.

Clarke KR, Warwick RM. 2001. Change in Marine Communities, An Approach to Stastical Analysis and Interpretation, 2nd Ed. Plymouth: PRIMER-E Ltd.

Drinia H, Antonarakou A, Tsaparas N. 2004. Diversity and abundance trends of benthic foraminifera from the southern part of the Iraklion Basin, Central Crete. Bulletin of the Geological Society of Greece 36: 772-781.

Guimerans PV, Currado JLC. 1999. The recent uvigerinids (benthic foraminifera) in the Northeastern Gulf of Cadiz. Bol. Inst. Esp. Oceanogr. 15: 191-202.

Graham JJ, Militante PJ. 1959. Recent Foraminifera from The Puerto Galera

Area, Northern Mindoro, Philipines. Stanford: Stanford University Pub. Hallock P, Lidz BH, Cockey-Burkhard EM,

KB Donnelly. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the FORAM index. Env. Monitoring & Assess. J. 81: 221-238. [terhubung berkala].

http://www.springerlink.com/content/rg728 1310u174w28/. [26 Januari 2008].

Haq BU, Boersma A Ed. 1984. Introduction to Marine Micropaleontology. New York: Elsevier Biomedical.

Holme NA, McIntyre AD. 1984. Methods for The Study of Marine Benthos, IBP Handbook No. 16, Ed ke-2. Oxford: Blackwell Scientific.

Lee JJ, Anderson OR. 1991. Biology of Foraminifera. London: Academic Pr. Luciani V. 2007. Test abnormalities in

Benthic Foraminifera and Heavy Metal pollution at the Goro Lagoon (Italy): a multy-year history. Geophysical Research Abstract Vol 9. [terhubung berkala]. http://www.cosis.net/abstract/EGU2007/09 765/EGU2007-J-09765.pdf. [26 Januari 2007].

Mendes I, Gonzalez R, Dias J.M.A, Lobo F, Martins V. 2004. Factors influencing recent benthic foraminifera distribution on the Guadiana Shelf (Southwestern Iberia). J. Marine Micpal 51: 171-192.

Murgese DS, Deckker PD. 2005. The distribution of deep-sea benthic foraminifera in core tops from the Eastern Indian Ocean. J. Marine Micpal 56: 25-49.

[terhubung berkala].

http://www.sciencedirect.com/science?_ob

Rathburn AE, Corliss BH. 1994. The ecology of living (stained) deep-sea benthic foraminifera from the Sulu Sea. Aleoceanography 9: 87–150. [terhubung berkala].

http://www.agu.org/pubs/crossref/1994/93 PA02327.shtml. [23 Maret 2008].

Rositasari R. 2002. Komunitas foraminifera di Teluk Banten, Jawa Barat. Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi, dan Lingkungan: 47-52.

(19)

Setiawati M. 2005. Komunitas Foraminifera Bentik di Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu Bagian Selatan (Pulau Pari) dan Bagian Utara (Pulau Semak Daun). [Skripsi] Jakarta: Universitas Nasional Jakarta.

(20)
(21)

Lampiran 1 Posisi sebaran stasiun di Selat Makassar

Stasiun Lintang, U/S Bujur Timur, T Kedalaman laut (m)

1 50 59.882’ 1160 49.911’ -617

2 40 45.124’ 1170 39.954’ -1737

3 40 0.031’ 1180 19.975’ - 1994

4 30 0.015’ 1180 28.994’ -2161

5 20 5.044’ 1190 7.984’ -988

6 20 5.014’ 1180 40.052’ -1765

7 20 4.979’ 1180 15.031’ -2216

8 20 5.051’ 1170 47.03’ -1839

9 20 5.02’ 1170 19.962’ -474

11 10 10’ 1170 47.005’ -461

17 00 35.114’ 1170 47.027’ -83

16 00 35.023’ 1180 14.991’ -2074

15 00 35.095’ 1180 39.941’ -2399

14 00 35.004’ 1190 29.979’ -740

21 00 39.923’ 1190 47.056 -1353

22 00 39.967 1190 27.028’ -2522

23 00 40.009’ 1180 45.332’ -559

24 00 39.992’ 1180 15.029’ -339

25 00 40.038’ 1170 48.038’ -17

18 00 14.928’ 1170 47.005’ -81

19 00 14.978’ 1180 14.999’ -2205

20 00 15.166’ 1180 39.969’ -2423

13 10 10.012 1180 40.002’ -2209

12 10 9.974’ 1180 14.989’ -2189

10 10 9.976 1170 20.05’ -54

28 10 4.203’ 1170 16.777’ -43

26 10 18.973’ 1170 1.001’ -38

(22)

Lampiran 2 Contoh spesimen dan peralatan yang digunakan dalam penelitian

Piston core di atas dek kapal. KR Baruna Jaya VIII Pengambilan sedimen dengan Piston core Globorotalia menardii

333 µm

Streblus schroeterianus

133 µm

333 µm

Flintina sp. Triloculina sp.

333 µm

Kumpulan Uvigerinid

333 µm

Uvigerina sp. 333

µm

Operculina sp.

333 µm

Bulimina aculeata

333 µm

Amphicoryna hirsuta

333 µm

Amphicoryna hirsuta

(23)

Lampiran 3 Peta zonasi kedalaman laut.

Î Paparan Dalam

Î Lereng Kontinental 1

Î Lereng Kontinental 2

Î Abisal Keterangan:

(24)

WISNU ADITHYA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)

Kedalaman Laut. Dibimbing oleh dan . Foraminifera bentik merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di permukaan dasar laut. Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang) berongga. Foraminifera bentik membentuk sebuah struktur komunitas yang dipengaruhi terutama oleh kedalaman laut, sedimen dan arus laut. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar dianalisis menggunakan analisis univariabel dengan PRIMER 5.0. Hasilnya berupa: Indeks Shannon-Wienner(H’(log2)), Pielou (J’), dan Margalef (d). Analisis manual digunakan untuk memperoleh Kelimpahan Marga (A). Untuk hasil spesifik, dilakukan analisis berdasarkan zonasi kedalaman laut. Foraminifera bentik yang ditemukan yaitu sebanyak 258 jenis, yang tersebar di 26 stasiun pengambilan sedimen. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, keragaman dan kekayaan jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk ke dalam kategori sedang dengan tingkat kemerataan sebesar 0,863. Marga Foraminifera bentik dominan, secara umum, berturut-turut yaitu Uvigerina, Bolivina, Euuvigerina, dan Cibicides. Berdasarkan zonasi kedalaman laut, marga Foraminifera bentik dominan yaitu Tubinella (Pesisir), Cibicides (Paparan Dalam dan Abisal), Uvigerina (Lereng Kontinental I) dan Bolivina (Lereng Kontinental II). Secara keseluruhan, kedua analisis, baik secara umum maupun zonasi kedalaman, menunjukkan hasil struktur komunitas yang sama di Selat Makassar.

ABSTRACT

WISNU ADITHYA. The Structure of Benthic Foraminifera Community in Makassar Straits Based on Sea-Depth. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI dan RICKY ROSITASARI.

(26)

PENDAHULUAN

Nama Foraminifera berasal dari istilah Latin foramen rongga, dan ferre menghasilkan. Foraminifera merupakan organisme eukariot uniselular yang hidup di laut. Diameter tubuhnya berkisar antara 0,1 hingga 2 mm dan hanya beberapa jenis mempunyai ukuran yang lebih besar. Pada umumnya, Foraminifera mensekresi materi cairan mineral sehingga menghasilkan test (cangkang) berongga dan menjadi fosil dalam sedimen batuan (Albani 1979).

Gambar 1 Struktur Foraminifera secara umum (Albani 1979).

Foraminifera termasuk ke dalam Filum Protozoa, Subfilum Sarcodina, Kelas Granuloreticulosea, dan Ordo Foraminiferida. Foraminifera digolongkan ke dalam Subfilum Sarcodina karena memiliki pseudopodia dan non-flagelata (Haq & Boersma 1978), dan dimasukkan ke dalam Granuloreticulosea karena mempunyai pseudopodia seperti jala atau reticulopodia (Ruppert & Barnes 1991). Foraminifera dibagi menjadi 2 tipe test, yaitu (1) tipe agglutinated atau arenaceous, memiliki ruang tunggal (dibangun dari material sekelilingnya yang dilekatkan oleh semen organik) dan (2) tipe calcareous (gampingan), memiliki banyak ruang. Tipe calcareous dibagi dua, yaitu tipe porcellanous (porselen) dan hyalin (mirip kaca) (Lee & Anderson 1991).

Berdasarkan cara hidup, Foraminifera terbagi dua yaitu (1) planktonik, yang hidup pada kolom air di kedalaman 0-200 m, (2) bentik, yang hidup di permukaan dasar perairan. Foraminifera bentik terbagi menjadi organisme vagile (bergerak bebas) dan sesile (diam). Foraminifera hidup di laut, meskipun begitu famili Allogromidae dan Lagynidae hidup di air tawar (Haq & Boersma 1978). Pola sebaran Foraminifera bentik di-pengaruhi terutama oleh tipe sedimen permukaan (Lee & Anderson 1991). Pola

sebaran Foraminifera bentik dipengaruhi juga oleh faktor fisik-kimia lainnya yaitu kedalaman, suhu, tekanan hidrostatik, cahaya, kekeruhan air, gerakan aktif (arus vertikal, dan pergerakan habitat), salinitas, pH, oksigen terlarut, unsur nutrisi dan kondisi tropik (Haq & Boersma 1978; Lee & Anderson 1991; Drinia et al 2004) serta substansi racun dan interaksi biologi (Colom 1974, Murray 1991 dan Jorissen 1999 dalam Mendes et al. 2004). Secara ekologis, Foraminifera memiliki peranan penting sebagai bioindikator (Haunold et al. 1997 dalam Mendes et al. 2004). Menurut Hallock et al. (2003), Foraminifera merupakan organisme indikator ideal karena: (1) digunakan secara luas se-bagai indikator lingkungan dan lingkungan purba dalam berbagai konteks, (2) siklus hidupnya yang relatif singkat memfasilitasi peristiwa cekaman episodik, dibandingkan siklus hidup koloni koral yang lama mewakili indikator penurunan kualitas air dalam jangka waktu lama, (3) ukurannya yang relatif kecil dan jumlahnya melimpah, membuatnya sebagai contoh ukuran statistik yang signifikan, (4) mudah dikoleksi dari alam dengan biaya murah, (5) komponen ideal dari program pengawasan yang komprehensif, (6) pengoleksiannya memiliki dampak minimal terhadap sumberdaya alam.

Burone et al. (2006) menambahkan, Foraminifera, terutama Foraminifera bentik, dijadikan sebagai bioindikator karena mereka sensitif terhadap cekaman lingkungan. Salah satu kasusnya, yaitu penggunaan Foraminifera sebagai bioindikator polutan logam di Laguna Goro, Italia, oleh Luciani (2007)

Perairan Selat Makasar memiliki arus air sepanjang tahun selalu dari Utara ke Selatan (Wyrtky 1961 dalam Anonim 2004), yang di-sebut ARLINDO (Anonim 2004; Waworuntu et al. 2001). Selat Makassar diamati sebagai saluran utama aliran air menuju laut-laut di Indonesia. Waworuntu et al. (2001) me-nyatakan bahwa sebagian besar faktor suhu dan aliran air laut di Selat Makassar bukan di-sebabkan oleh perbedaan tekanan barotropik, melainkan komponen baroklinik yang besar. Lapisan air pada kedalaman 0-200 m dipengaruhi oleh salinitas maksimum dari Laut Subtropis Pasifik Utara, sedangkan lapisan pada kedalaman lebih dalam dari 200 m dipengaruhi oleh salinitas minimum Laut Intermediet Pasifik Utara (Hautala et al. 1996 dalam Waworuntu et al. 2001).

Kaki semu

apertur

endoplasma

Badan golgi

test

ektoplasma

Nukleus & mikro nukleus

(27)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk men-gidentifikasi struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar, yang dilihat dari sebaran, kelimpahan marga, keragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis. Penelitian ini juga melihat hubungan struktur komunitas Foraminifera bentik dengan kedalaman laut.

Waktu dan Tempat

Pengambilan sedimen dilakukan pada tanggal 13-20 Oktober 2004 di Selat Makassar pada area koordinat 0º 40.038’ LU sampai 5º 5.8818’ LS serta 116º 49,914‘ BT sampai 119º 47.058’ BT (Lampiran 1). Penelitian di laboratorium dimulai sejak tanggal 1 Juni 2005 hingga 30 April 2006. Kegiatan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: perlakuan sedimen, identifikasi, dan analisis data. Perlakuan sedimen dan analisis data dilakukan di Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sedimen dari Selat Makassar. Alat-alat yang digunakan yaitu piston core (Lampiran 2), penggaris, pisau palet/sendok semen, saringan 0,125 mm, oven, counting cell glass, mikroskop stereo, jarum, botol contoh, timbangan digital, kuas berbagai ukuran, serta komputer.

Metode

Secara keseluruhan terdapat 28 stasiun (St.), namun karena hal teknis, St. 12 dan 13 tidak disertakan dalam penelitian. Oleh karena itu, jumlah stasiun menjadi sebanyak 26 stasiun, termasuk satu stasiun harian yaitu St. 27 harian. Nama stasiun dalam penelitian ini tidak diubah, kecuali St. 27 harian diubah menjadi St. 28 (Gambar 2).

Pekerjaan penelitian terbagi dalam empat tahap, yaitu pengambilan sedimen, perlakuan sedimen, identifikasi dan penghitungan spesimen serta analisis data.

(28)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk men-gidentifikasi struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar, yang dilihat dari sebaran, kelimpahan marga, keragaman, kemerataan, dan kekayaan jenis. Penelitian ini juga melihat hubungan struktur komunitas Foraminifera bentik dengan kedalaman laut.

Waktu dan Tempat

Pengambilan sedimen dilakukan pada tanggal 13-20 Oktober 2004 di Selat Makassar pada area koordinat 0º 40.038’ LU sampai 5º 5.8818’ LS serta 116º 49,914‘ BT sampai 119º 47.058’ BT (Lampiran 1). Penelitian di laboratorium dimulai sejak tanggal 1 Juni 2005 hingga 30 April 2006. Kegiatan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: perlakuan sedimen, identifikasi, dan analisis data. Perlakuan sedimen dan analisis data dilakukan di Laboratorium Geologi, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sedimen dari Selat Makassar. Alat-alat yang digunakan yaitu piston core (Lampiran 2), penggaris, pisau palet/sendok semen, saringan 0,125 mm, oven, counting cell glass, mikroskop stereo, jarum, botol contoh, timbangan digital, kuas berbagai ukuran, serta komputer.

Metode

Secara keseluruhan terdapat 28 stasiun (St.), namun karena hal teknis, St. 12 dan 13 tidak disertakan dalam penelitian. Oleh karena itu, jumlah stasiun menjadi sebanyak 26 stasiun, termasuk satu stasiun harian yaitu St. 27 harian. Nama stasiun dalam penelitian ini tidak diubah, kecuali St. 27 harian diubah menjadi St. 28 (Gambar 2).

Pekerjaan penelitian terbagi dalam empat tahap, yaitu pengambilan sedimen, perlakuan sedimen, identifikasi dan penghitungan spesimen serta analisis data.

(29)

Pengambilan sedimen. Sedimen diambil oleh Tim Ekspedisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) Jakarta menggunakan piston core (Holme & McIntyre 1984) di Kapal Riset (KR) Baruna Jaya VII. Sedimen kemudian disimpan di dalam pipa-pipa penyimpanan.

Perlakuan sedimen. Sedimen dalam pipa penyimpanan diiris melintang setebal 3 cm dari permukaan teratas sedimen untuk dikeringkan dalam oven, lalu ditimbang. Setelah itu, dilakukan penyaringan basah dan dikeringkan lagi untuk diidentifikasi. Sedimen yang akan diidentifikasi disebut spesimen.

Identifikasi dan penghitungan spesimen. Mikroskop stereo digunakan untuk meng-identifikasi dan menghitung spesimen. Identifikasi dilakukan berdasarkan struktur morfologi test, seperti bentuk, susunan dan jumlah ruang; struktur apertur; tipe test; struktur permukaan luar test; serta bentuk dan struktur ruang basal (Setiawati 2005). Identifikasi dilakukan hingga ke tingkat jenis, namun pada beberapa individu hanya sampai pada tingkat marga. Buku identifikasi utama yang digunakan yaitu Barker (1960) dan sebagai buku acuan lainnya yaitu Graham & Militante (1959), serta Albani (1979).

Analisis data secara umum. Sebelum analisis data dilakukan, dibuat asumsi awal yaitu bahwa semua individu memiliki peluang yang sama untuk terambil dalam setiap taburan dan bobot-total taburan tiap stasiun merupakan bagian dari bobot contoh tiap stasiun. Oleh karena itu, sub-contoh diambil maksimum sebanyak 5 taburan per stasiun. Data analisis berasal dari hasil penghitungan spesimen

Hasil analisis data berupa indeks-indeks, yang merupakan hasil analisis univariabel menggunakan piranti lunak Primer 5.0. Indeks-indeks yang digunakan pada penelitian ini yaitu Indeks Keragaman Shannon-Wienner (H’(log2)), Kemerataan Pielou (J’), dan Kekayaan Margalef (d) (Clarke & Warwick 2001). Data juga dianalisis secara manual untuk mendapat Kelimpahan Marga (A). Indeks H’(log2) digunakan untuk mengukur keragaman hayati (Clarke & Warwick 2001; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006), dengan cara merangkum komposisi dan kelimpahan jenis tiap stasiun. Indeks ini menunjukkan nilai kelimpahan relatif dan keragaman jenis pada tiap-tiap stasiun (Anonim 2003). Semakin besar nilai indeks H’(log2), maka kelimpahan relatif dan keragaman jenis di setiap stasiun semakin

makin besar. Penggunaan H’(log2) dilakukan menurut Mendes et al. (2004), yaitu jika nilainya 0-2 disebut keragaman rendah, 2-4 keragaman sedang, dan lebih besar dari 4 keragaman tinggi. Berikut adalah rumus Indeks keragaman Shannon-Wiener.

H’= -∑ pi log2 (pi)

H’ = Indeks Shannon-Wienner P1 = Proporsi jenis ke i

Indeks J‘ digunakan untuk mengukur meratanya kelimpahan jenis yang tersebar dalam suatu komunitas. Nilai tersebut selalu dalam kisaran 0 dan 1. Dalam hal ini nilai 1 adalah kemerataan sempurna, sedangkan nilai 0 menunjukkan sebaran sangat tidak merata (Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006). Berikut merupakan definisi Indeks kemerataan Pielou.

J’ = H’ / H’max = H’ / log S

J’ = Indeks Pielou

H’ = Indeks Shannon-Wienner H’max = Nilai Kemungkinan Maksimum

Indeks Shannon-Wienner S = Jumlah total jenis

H’max dapat tercapai jika semua jenis sama-sama melimpah, yaitu jika dan hanya jika log S. Hal tersebut berarti semua data kelimpahan tetap dapat dianalisis, meskipun terdapat selang perbedaan besar diantara data kelimpahan masing-masing jenis. Analisis data kelimpahan tersebut dapat dilakukan karena nilai S dimasukkan ke dalam fungsi log, menjadi log S.

Indeks d menunjukkan nilai kekayaan jenis dan keragaman komunitas tiap-tiap stasiun; semakin besar nilainya, maka kekayaan jenis dan keragaman komunitas pada stasiun tersebut semakin besar (Anonim 2003; Drinia et al. 2004; Setiawati 2005; Burone & Pires-vanin 2006).

d = (S-1) / Log N

d = Indeks Margalef S = Jumlah total spesies N = Jumlah total individu

(30)

marga dominan. Dominansi dianalisis dari data Kelimpahan Marga.

A = (Ng / %w ) * 100

A = kelimpahan absolut Marga (individu/gram contoh) Ng = jumlah individu tiap marga %W = persentase jumlah bobot per

stasiun dibagi bobot kering contoh yang kemudian dikalikan seratus persen

Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar dapat terlihat lebih spesifik dengan menggunakan analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Zonasi-zonasi kedalaman tersebut telah ditentukan sebelumnya.

Pada penelitian ini, kedalaman laut dibagi berdasarkan kontur kedalaman laut menurut zonasi kedalaman Boersma (Haq & Boersma 1978) termodifikasi (Lampiran 3). Zonasi kedalaman laut tersebut yaitu Pesisir (0-30 m di bawah permukaan laut atau dpl), Paparan Dalam (30-100 m dpl), Lereng Kontinental I (300-1000 m dpl), Lereng Kontinental II (1000-2000 m dpl), dan Abissal (lebih dalam dari 2000 m dpl).

Hasil analisis data berdasarkan zonasi yaitu berupa nilai rata-rata indeks-indeks dan kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang sudah dikelompokkan ke dalam masing-masing zonasi.

Data kedalaman laut pada tulisan ini merupakan data sekunder dari laporan Studi Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi (Anonim 2004). Penelitian ini merupakan bagian dari survei yang dilakukan oleh tim Ekspedisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Jakarta dengan menggunakan KR Baruna Jaya VIII (Lampiran 2).

HASIL

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum

Empat belas stasiun memiliki indeks H’(log2) tinggi, 10 stasiun kategori sedang, dan 2 stasiun kategori rendah (Tabel 1). Nilai indeks H’(log2) tertinggi sebesar 5,24 di St. 27 dan terendah sebesar 1,44 di St. 24. Rata-rata

nilai H’(log2) sebesar 3,82. Indeks H’(log2) memiliki kecenderungan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 3).

Hasil penghitungan indeks J’, diketahui terdapat 24 stasiun dengan nilai indeks lebih besar dari 0,8, dan 4 stasiun dengan nilai kurang dari 0,8 (Tabel 1). Indeks J’ memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 4).

Untuk indeks d, diperoleh nilai tertinggi sebesar 12,53 di St. 27. Nilai indeks d terendah sebesar 1,44 di St. 15 (Tabel 1). Indeks d memiliki kecenderungan yang sama dengan Indeks H’(log2). Semakin bertambah kedalaman laut maka nilai indeks d semakin berkurang (Gambar 5).

Gambar 3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener (H’) dengan kedalaman laut secara umum.

-3000

Indeks keragaman Shannon-Wiener

K

Indeks kekayaan jenis Margalef

K

Gambar 5 Hubungan Indeks Margalef (d) dengan kedalaman laut secara umum. Gambar 4 Hubungan Indeks Pielou (J’) dengan

kedalaman laut secara umum. -3000

Indeks kemerataan Pielou

(31)

marga dominan. Dominansi dianalisis dari data Kelimpahan Marga.

A = (Ng / %w ) * 100

A = kelimpahan absolut Marga (individu/gram contoh) Ng = jumlah individu tiap marga %W = persentase jumlah bobot per

stasiun dibagi bobot kering contoh yang kemudian dikalikan seratus persen

Analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Struktur komunitas Foraminifera bentik di Selat Makassar dapat terlihat lebih spesifik dengan menggunakan analisis data berdasarkan zonasi kedalaman. Zonasi-zonasi kedalaman tersebut telah ditentukan sebelumnya.

Pada penelitian ini, kedalaman laut dibagi berdasarkan kontur kedalaman laut menurut zonasi kedalaman Boersma (Haq & Boersma 1978) termodifikasi (Lampiran 3). Zonasi kedalaman laut tersebut yaitu Pesisir (0-30 m di bawah permukaan laut atau dpl), Paparan Dalam (30-100 m dpl), Lereng Kontinental I (300-1000 m dpl), Lereng Kontinental II (1000-2000 m dpl), dan Abissal (lebih dalam dari 2000 m dpl).

Hasil analisis data berdasarkan zonasi yaitu berupa nilai rata-rata indeks-indeks dan kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang sudah dikelompokkan ke dalam masing-masing zonasi.

Data kedalaman laut pada tulisan ini merupakan data sekunder dari laporan Studi Dinamika Selat Makassar serta Interaksinya dengan Daratan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi (Anonim 2004). Penelitian ini merupakan bagian dari survei yang dilakukan oleh tim Ekspedisi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Jakarta dengan menggunakan KR Baruna Jaya VIII (Lampiran 2).

HASIL

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum

Empat belas stasiun memiliki indeks H’(log2) tinggi, 10 stasiun kategori sedang, dan 2 stasiun kategori rendah (Tabel 1). Nilai indeks H’(log2) tertinggi sebesar 5,24 di St. 27 dan terendah sebesar 1,44 di St. 24. Rata-rata

nilai H’(log2) sebesar 3,82. Indeks H’(log2) memiliki kecenderungan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 3).

Hasil penghitungan indeks J’, diketahui terdapat 24 stasiun dengan nilai indeks lebih besar dari 0,8, dan 4 stasiun dengan nilai kurang dari 0,8 (Tabel 1). Indeks J’ memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 4).

Untuk indeks d, diperoleh nilai tertinggi sebesar 12,53 di St. 27. Nilai indeks d terendah sebesar 1,44 di St. 15 (Tabel 1). Indeks d memiliki kecenderungan yang sama dengan Indeks H’(log2). Semakin bertambah kedalaman laut maka nilai indeks d semakin berkurang (Gambar 5).

Gambar 3 Hubungan Indeks Shannon-Wiener (H’) dengan kedalaman laut secara umum.

-3000

Indeks keragaman Shannon-Wiener

K

Indeks kekayaan jenis Margalef

K

Gambar 5 Hubungan Indeks Margalef (d) dengan kedalaman laut secara umum. Gambar 4 Hubungan Indeks Pielou (J’) dengan

kedalaman laut secara umum. -3000

Indeks kemerataan Pielou

(32)

Tabel 1 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera bentik secara umum

Stasiun S

(∑ spesies)

N

(∑ individu) d J' H'(log2)

Kelimpahan Marga (individu/ g sedimen)

Kedalaman Laut (m)

1 12 18 3,81 0,95 3,42 4.163 -617

2 21 70 4,71 0,95 4,18 14.526 -1737

3 14 112 2,76 0,90 3,47 31.991 -1994

4 31 218 5,57 0,90 4,51 14.113 -2161

5 8 10 3,04 0,98 2,92 315 -988

6 24 43 6,12 0,95 4,34 5.438 -1765

7 49 199 9,07 0,63 3,56 6.116 -2216

8 41 95 8,79 0,90 4,82 2.460 -1839

9 34 84 7,45 0,93 4,71 7.509 -474

10 11 15 3,70 0,95 3,28 11.719 -54

11 60 154 11,71 0,81 4,80 10.528 -461

14 25 88 5,36 0,90 4,18 7.112 -740

15 3 4 1,44 0,95 1,50 57 -2399

16 22 96 4,60 0,79 3,50 5.473 -2074

17 38 400 6,18 0,81 4,25 49.432 -83

18 37 178 6,95 0,83 4,31 3.417 -81

19 8 19 2,38 0,85 2,54 2.751 -2205

20 14 23 4,15 0,87 3,32 3.366 -2423

21 29 66 6,68 0,90 4,41 2.482 -1353

22 26 64 6,01 0,90 4,26 6.546 -2522

23 25 219 4,45 0,80 3,71 22.969 -559

24 16 651 2,32 0,36 1,44 111.359 -339

25 45 158 8,70 0,86 4,74 6.237 -71

26 15 65 3,36 0,93 3,64 5.449 -38

27 61 120 12,53 0,89 5,24 6.044 -29

28 22 85 4,73 0,95 4,24 14.662 -43

Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener.

Kelimpahan marga tertinggi dimiliki oleh St. 24, yaitu sebesar 111.359 individu per gram sedimen. Kelimpahan terendah dimiliki oleh St. 15, yaitu sebesar 57 individu per gram sedimen (Tabel 1). Kelimpahan Marga memiliki kecenderungan semakin menurun seiring bertambahnya kedalaman laut (Gambar 6). Secara umum, di Selat Makassar terdapat kelimpahan rata-rata sebesar 13.702 individu per gram sedimen.

Gambar 6 Hubungan Kelimpahan Marga (A) dengan kedalaman laut secara umum.

-3000 -2500 -2000 -1500 -1000 -500 0

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

Kelimpahan Marga (individu/ g contoh)

K

eda

la

m

a

n l

a

u

t

(m

(33)

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman

Nilai indeks Kekayaan (d) dan Keragaman (H’log2) jenis tertinggi ada pada zona Pesisir, indeks Kemerataan tertinggi (J’) di zona Lereng Kontinental II, sedangkan Kelimpahan Marga tertinggi ada pada zona Lereng Kontinental I (Tabel 2).

Terdapat 3 zona yang termasuk ke dalam kategori keragaman tinggi, yaitu Pesisir, Paparan Dalam, dan Lereng Kontinental II. Zona Lereng Kontinental I dan Abisal termasuk ke dalam kategori sedang.

Indeks keragaman Shannon-Wiener berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambah dalamnya kedalaman laut. (Gambar 7).

Indeks kemerataan Pielou berdasarkan zonasi berada pada kisaran nilai 0,8. Pada zona Lereng Kontinental II terdapat pe-ningkatan nilai indeks menjadi kisaran 0,9 (Tabel 2). Indeks kemerataan Pielou ber-dasarkan zonasi memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan semakin dalamnya kedalaman laut (Gambar 8).

Indeks kekayaan Margalef tertinggi berdasarkan zonasi terletak di zonasi Pesisir, yaitu sebesar 12,53 (Tabel 2). Indeks ini memiliki kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut (Gambar 9).

Kelimpahan Marga tertinggi berdasarkan zonasi terdapat di zona Lereng Kontinental I, sebesar 23.422,14 individu per gram sedimen (Tabel 2). Kelimpahan Marga berdasarkan zonasi memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan semakin tingginya kedalaman laut (Gambar 10).

Tabel 2 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera berdasarkan zonasi kedalaman

Keterangan: (1) d = Indeks Margalef, (2) J’ = Indeks Pielou, (3) H’(Log2) = Indeks Shannon-Wiener

Nilai rata-rata Zonasi

d J' H'(log2)

Kelimpahan Marga (individu/ g sedimen)

Pesisir 12,53 0,88 5,24 6.044,00

Paparan Dalam 5,60 0,89 4,08 15.152,67

Lereng Kontinental I 5,45 0,82 3,60 23.422,14

Lereng Kontinental II 5,81 0,92 4,23 11.379,40

Abisal 4,75 0,84 3,31 5.488,85

Gambar 7 Hubungan indeks Shannon-Wiener (H’) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

Gambar 8 Hubungan indeks Pielou (J’) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

Gambar 9 Hubungan indeks Margalef (d) dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi.

-5 Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

0 10000 20000 30000

Kelimpahan marga

Paparan Dalam

Kontinental I

Kontinental II

Abisal

(34)

Tabel 3 Dominansi Marga (%Fatela) berdasarkan zonasi kedalaman laut

Marga Dominan ke- (% Fatela) Zonasi

1 2 3 4 5

Pesisir Tubinella

(19,17)

Paparan Dalam Cibicides

(15,89)

Lereng Kontinental I Uvigerina

(52,30)

Lereng Kontinental II Bolivina

(31,39)

Abisal Cibicides

(15,70)

Foraminifera bentik dominan menurut dominansi Fatela

Marga Foraminifera bentik dominan di Selat Makassar secara umum adalah Uvigerina (27,05%). Selanjutnya berturut-turut adalah Bolivina (8,82 %), Euuvigerina (8,00 %), dan Cibicides (7,02 %) yang termasuk ke dalam kategori marga aksesoris. Seratus sembilan belas marga lainnya merupakan marga Foraminifera bentik kategori langka/jarang/kebetulan.

Marga Foraminifera bentik dominan berdasarkan zonasi kedalaman laut yaitu berbeda-beda sesuai dengan zonasinya, kecuali pada zona Paparan Dalam dan Abisal yang memiliki 2 marga tertinggi yang sama (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan 258 jenis Foraminifera bentik yang termasuk ke dalam 123 marga. Setelah diidentifikasi berdasarkan Graham & Militante (1959), umumnya, jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar serupa dengan kawasan Samudera Pasifik, khususnya kawasan Filipina.

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut secara umum

Menurut Rositasari (komunikasi pribadi 2007), keragaman Foraminifera bentik di Selat Makassar termasuk kedalam kategori tinggi. Namun, berdasarkan rata-rata indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), di-ketahui bahwa keragaman jenis di Selat Makassar termasuk kategori sedang (H’(log2) = 3,81). Meskipun demikian, nilai rata-rata H’(log2) yang mendekati nilai 4 menunjukkan bahwa keragaman jenis di Selat Makassar adalah cukup tinggi.

Nilai indeks Kemerataan Pielou (J’) menunjukkan bahwa kelimpahan jenis

Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah merata. Hal tersebut didukung dengan nilai rata-rata indeks sebesar 0,86 yang berarti mendekati kemerataan sempurna.

Berdasarkan grafik hubungan indeks keragaman Shannon-Wiener (H’(log2)), kemerataan Pielou (J’), dan kekayaan Margalef (d) dengan kedalaman laut, terlihat adanya kecenderungan nilai indeks H’(log2) dan nilai indeks d menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa jenis-jenis bentik yang berhasil beradaptasi di laut dalam adalah terbatas. Dengan kata lain, jenis-jenis Foraminifera bentik yang hidup di Selat Makassar dibatasi oleh tingkat kedalaman laut.

Hubungan indeks J’ dengan kedalaman laut memperlihatkan kecenderungan yang meningkat seiring bertambahnya kedalaman laut. Hal tersebut berarti penyebaran jenis-jenis Foraminifera bentik di Selat Makassar adalah semakin merata seiring dengan bertambahnya kedalaman laut.

Hubungan Kelimpahan Marga dengan kedalaman laut secara umum (Gambar 6) memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan semakin tinggi kedalaman laut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Haq & Boersma (1978), menyatakan bahwa semakin besar kedalaman air laut, maka jenis bentik akan semakin berkurang.

Indeks-indeks dan kelimpahan marga serta hubungannya dengan kedalaman laut berdasarkan zonasi kedalaman

Gambar

Gambar 1 Struktur Foraminifera secara umum    (Albani 1979).
Gambar 2 Peta area stasiun pengambilan sedimen contoh.
Tabel 1 Hasil analisis data struktur komunitas Foraminifera bentik secara umum
Gambar 9 Hubungan indeks Margalef (d) dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

85*(16,',7(5$3.$11<$35,16,3*22'&25325$7( *29(51$1&(3$'$3(1*(/2/$$1 3(586$+$$1'$(5$+ 0DULD)UDQVLVND2ZDGD6DQWR )DNXOWDV+XNXP8QLND:LG\D0$QGLUD.XSDQJ

Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi sehubungan dengan kinerja yang telah dicapai, dimana ada keberhasilan yang telah diperoleh maupun kegagalan akibat kendala /

Persoalannya " sejauhmanakah pembelajaran bentuk ini memberi kesan kepada pengajaran melalui penilaian terhadap kefahaman, dan perubahan sikap pelajar terhadap rekabentuk Modul

Sehingga dapat dilihat pengaruh tingkat kebisingan (variabel bebas) terhadap perubahan tekanan darah sebelum dan setelah terpapar kebisingan (variabel

Android Studio merupakan suatu aplikasi yang bisa digunakan untuk membuat suatu aplikasi yang dapat berfungsi pada perangkat smartphone android dengan jenis ekstensi

Demikian halnya pendapat Sarwoto (2000:144) mengenai insentif yaitu salah satu sarana motivasi yang dapat diberi batasan sebagai perangsang ataupun pendorong

TOTAL LABA (RUGI) KOMPREHENSIF TAHUN BERJALAN Pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi PENDAPATAN (BEBAN) NON OPERASIONAL. Keuntungan (kerugian) penjualan aset tetap

Dari model layanan diatas, petugas layanan sering mengeluhkan ketidak-efektifan ketika harus melakukan agenda manual setiap ada pemohon yang melakukan pendaftaran. Proses