• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang Berbeda"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

Fauzia Ningsih. D14080158. 2012. Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan

Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang

Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Maria Ulfah, Spt., M.Sc.Agr. Pembimbing Anggota : Prof. drh. Arief Boedioni, PhD.

Ayam Arab merupakan salah satu ayam lokal pendatang yang berkembang pesat di Indonesia karena memiliki produktivitas yang tinggi. Telur yang dihasilkan ada yang dimanfaatkan sebagai telur konsumsi maupun telur tetas. Kualitas telur tetas salah satunya dipengaruhi oleh umur induk. Telur tetas yang berkualitas baik mampu menghasilkan telur tetas berkualitas dengan viabilitas yang baik, yaitu sehat, aktif dan baik untuk dijadikan ayam Arab penghasil telur konsumsi maupun pedaging. Umur induk juga mempengaruhi sehubungan nutrien yang dibutuhkan embrio selama masa inkubasi. Perkembangan somite (tulang belakang) merupakan perkembangan awal embrio sebelum berkembang menjadi tulang belakang dan otot skeletal. Perkembangan somite pada tiga hari pertama inkubasi merupakan salah satu masa kritis dalam penetasan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh umur induk terhadap kualitas telur tetas dan perkembangan somite pada embrio ayam Arab serta mengetahui umur induk optimum yang baik untuk menghasilkan telur tetas yang berkualitas dan perkembangan somite optimum pada tahap awal perkembangan embrio. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Sembilan puluh sembilan butir telur tetas digunakan pada penelitian ini, sembilan butir telur untuk pengujian kualitas telur dan sembilan puluh butir telur untuk pengamatan kualitas fisik telur dan perkembangan somite. Rancangan Acak Lengkap digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh umur induk terhadap berat telur, indeks bentuk telur, berat kerabang, dan ketebalan kerabang. Data pengamatan jumlah somite dan perkembangan awal embrio dianalisis secara deskriptif. Peubah lainnya yang diamati adalah kualitas pakan induk dan suhu serta kelembaban inkubator.

Kualitas pakan yang diberikan memenuhi standar minimal pakan ayam lokal petelur. Umur induk memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) pada berat telur tetas dan ketebalan kerabang. Berat telur tetas pada ayam Arab yang berumur 54 minggu (51,86±0,283 gram) lebih besar dari pada berat telur tetas dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu (46,57±0,915 dan 47,57±0,528 gram). Telur tetas dari induk yang berumur 54 minggu lebih tipis (0,319±0,005 mm) dari pada telur tetas dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu (0,337±0,005 dan 0,337±0,007 mm). Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada indeks bentuk telur tetas dan berat kerabang (P>0,05).

(2)

dibandingkan dengan 54 minggu. Telur tetas dari induk yang berumur 36 minggu memiliki perkembangan somite yang lebih baik dibandingkan dengan telur tetas dari induk yang berumur 42 dan 54 minggu.

(3)

ABSTRACT

The Hatching Egg Qualities and Somite Development in Arab Chicken Embryos on Different Hen Age

Ningsih, F., M. Ulfah and A. Boediono

Arab chicken is one of the most favorite local layer chicken developed in Indonesia due to their high productivities. The egg qualities are highly influenced by the hen age. Somitogenesis is an early step in chick embryo development. The data of somite development on chick embryo is very limited, especially in Arab chicken. Therefore this research aimed to analyze the influence of hen breeder age on formation of somites. There were 99 eggs from 36, 42, and 54 weeks of hen age will be used in this study. The embryo samples were harvested in 24, 33, and 48 hours after incubation. The Complete Randomized Design was used to analyze exterior and interior of egg qualities such as the egg weight, egg shape index, shell weight and shell thickness. The number of somites will be analyzed descriptively. The results show that hen age had effect significantly the egg weight and the shell thickness (P<0,05). Hen age did not affect the egg shape index and the shell weight (P>0,05). There were died embryos from hen age of 54 weeks (22%) and 42 weeks (15,38%). The embryo from 42 week of hen age developed slower (15,38%) than embryo from 36 and 54 weeks.

(4)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ayam Arab merupakan salah satu ayam lokal pendatang di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat sebagai ayam petelur dengan sifat produksi telur yang tinggi mencapai 300 butir per tahun. Ayam Arab yang berkembang saat ini merupakan ayam Arab hasil persilangan ayam lokal atau lebih dikenal dengan ayam Arab Hibrid (Sulandari et al., 2007).

Ayam Arab ada yang menghasikan telur untuk ditetaskan ataupun yang dikonsumsi. Ayam Arab penghasil telur tetas diharapkan mampu menghasilkan telur tetas berkualitas dengan viabilitas yang baik, yaitu sehat, aktif dan baik untuk dijadikan ayam Arab penghasil telur konsumsi maupun pedaging.

Umur induk memiliki peranan penting untuk menghasilkan telur tetas berkualitas yang baik. Umur induk yang berbeda menghasilkan telur tetas dengan kandungan nutrien yang berbeda (Peebles et al., 2001). Hal ini tentu mempengaruhi perkembangan embrio sehubungan dengan ketersediaan nutrien untuk perkembangan embrio lebih lanjut. Perkembangan somite atau tulang belakang merupakan perkembangan dasar pada embrio ayam sebelum berkembang lebih lanjut menjadi tulang belakang dan otot skeletal (Pourquie, 2004). Somite yang tidak baik perkembangannya akan menghambat proses perkembangan embrio. Perkembangan

somite pada tiga hari inkubasi merupakan salah satu masa kritis dalam penetasan. Semakin banyak embrio yang mati pada saat inkubasi akan menurunkan daya tetasnya. Embrio yang berkembang dengan baik tidak hanya menetas tetapi juga mampu menghasilkan viable chick yang baik pula. Oleh karena itu, umur induk dapat berpengaruh pada kualitas telur, proses embriogenesis, daya tetas telur, dan viabilitasnya.

(5)

perkembangan somite juga dapat membantu peneliti selanjutnya dalam mengidentifikasi standar perkembangan awal embrio pada ayam Arab.

Tujuan

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Arab

Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang berasal dari Belgia, Eropa. Ayam Arab yang merupakan keturunan Braekels bersifat gesit, aktif, dan daya tahan tubuh kuat (Sulandari et al., 2007). Secara genetik ayam Arab merupakan ayam petelur unggul karena memiliki kemampuan memproduksi telur yang tinggi. Masyarakat memanfaatkan ayam ini sebagai penghasil telur, bukan daging. Ayam Arab memiliki kulit yang kehitaman dan daging yang tipis jika dibandingkan ayam lokal lainnya sehingga dagingnya kurang disukai oleh konsumen di Indonesia (Sulandari et al., 2007).

Ayam Arab juga memiliki sifat mengeram yang rendah, oleh karena itu keuntungan ini dijadikan sebagai potensi yang baik sebagai penghasil telur (Binawati, 2008). Ayam Arab dibedakan atas dua jenis yaitu ayam Arab Silver dan ayam Arab Golden, perbedaan ini didasarkan pada warna bulunya (Sulandari et al.,

2007).

Ayam Arab Silver

Ayam Arab Silver memiliki wana bulu putih hitam lurik dan bulu leher berwarna putih seperti jilbab (Gambar 1). Warna bulu dari kepala hingga leher putih keperakan dan warna bulu badan total hitam putih/lurik hitam putih. Warna hitam juga dijumpai pada lingkar mata, kulit, shank, dan paruh. Ayam ini memiliki bobot dewasa berkisar antara 1,4-2,3 kg pada jantan dan 0,9-1,8 pada betina. Ayam ini merupakan ayam Arab yang banyak dikembangkan di Indonesia (Sulandari et al.,

2007).

Ayam Arab Golden

(7)

Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B) Sumber: Robert (2008)

Gambar 2. Ayam Arab Golden Betina Sumber: Association for Promotion of Belgian Poultry(2003)

Telur Tetas Ayam Arab

Karakteristik Fisik Telur Tetas

Karakteristik fisik telur merupakan parameter dalam menentukan kualitas fisik telur. Hal-hal yang dapat diamati secara fisik, yaitu kebersihan telur, bentuk telur, indeks telur, berat telur, kedalaman kantung udara, dan kerabang telur. Telur yang kotor dapat dibersihkan dengan air bersih dan hangat (Williamson dan Payne, 1993). Karakteristik fisik telur yang berhubungan dengan penetasan adalah bentuk telur dan ukuran telur (indeks telur) (Ensminger et al., 2004). Karakteristik fisik telur tetas ditunjukkan pada Tabel 1.

(8)

Tabel 1. Karakteristik Fisik Telur Tetas

Karakteristik Standar kualitas

Ayam ras Ayam Lokal

Berat telur (g) 57,5-68,8 Minimal 37a

Indeks telur (%) - 76-78

Penyimpanan telur maksimal (hari) 7b 7a

Bentuk telur Ovala Ovala

Tebal kerabang (mm) 0,32-0,34c 0,35-0,39d Suhu penyimpanan (°C) 12,5e-18f 22-25a

Sumber: Zakaria et al. (2005), aKementrian Pertanian (2006), bWilliamson dan Payne (1993),

c

Fasenko et al. (2009), dDewi (2006), eOluyemi dan Robert (1979), fReijrink et al. (2009)

Telur yang memiliki bentuk tidak normal tidak akan menetas dengan baik karena akan mempengaruhi perkembangan embrio di dalamnya (Ensminger et al.,

2004). Bentuk telur secara visual menurut Robert (2008) ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk-bentuk Telur Sumber: Robert (2008)

Indeks telur berkaitan dengan ukuran telur. Ukuran telur sangat berkaitan dengan daya tetas telur pada semua spesies unggas. Telur yang memiliki bentuk terlalu besar atau kecil tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004). Indeks bentuk telur menurut Romanoff dan Romanoff (1949) yaitu sebesar 79%. Indeks telur ayam Arab berkisar antara 0,77-0,93 mm (Sodak, 2011).

(9)

Berat telur ayam Arab pada umur induk 52 sampai dengan 58 minggu memiliki perbedaan yang tidak nyata (Sodak, 2011).

Kedalaman kantung udara sangat berkaitan dengan umur penyimpanan telur (Sodak, 2011). Penyimpanan telur tetas yang baik adalah pada suhu 12,8 °C dengan kelembaban relatif 60%-70% (Williamson dan Payne, 1993).

Karakteristik Kimia Telur Tetas

Telur unggas mengandung nutrien yang sangat lengkap terdiri dari protein yang seimbang, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang menunjang perkembangan ayam di dalam kerabang selama 21 hari (Ensminger et al., 2004). Protein pada telur memiliki keseimbangan asam amino dan nilai biologis yang hampir sempurna. Karbohidrat merupakan sumber energi utama pada empat hari pertama inkubasi (North dan Bell, 1990). Komponen lemak sebagian besar diperoleh dari demobilisasi lemak tubuh dan memiliki asam lemak yang tidak jenuh. Mineral yang terkandung pada telur seperti kalsium dan fosfor merupakan komponen utama dalam pembentukan tulang sedangkan vitamin A dan D juga dapat dijumpai pada Sumber: Sodak (2011); 1Yuwanta (2010)

(10)

berat telur, berat kering, dan persentase kuning telur, sehingga persentase kerabang, putih telur, padatan putih telur menurun (North dan Bell, 1990).

Peningkatan umur induk dapat menyebabkan mobilisasi kalsium (Ca) dan Fosfor (P) semakin rendah karena banyaknya jumlah kerabang yang dihasilkan oleh ayam (Sodak, 2011). Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio selanjutnya sehubungan dengan Ca dan P yang banyak disuplai dari kerabang. Oleh karena itu, suplemen Ca dan P dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kerabang telur pada induk tua (Roberts, 2010).

Inkubasi Telur

Inkubasi merupakan suatu manajemen yang sangat penting untuk perkembangan embrio untuk menjadi seekor ayam yang normal. Ada dua metode inkubasi yang selama ini diketahui, yaitu inkubasi alami dan inkubasi dengan mesin tetas. Menurut Ensminger et al. (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah fertilitas, genetik, nutrien pakan, penyakit, seleksi telur, dan manajemen.

Fertilitas

Telur menjadi fertil apabila terjadi pembuahan antara sperma dan sel telur pada oviduct. Beberapa telur yang ditelurkan pada 24 jam setelah kopulasi akan fertil dan apabila dalam waktu dua minggu setelah kelompok dikawinkan maka fertilitas yang baik dapat diperoleh (Funk dan Irwin, 1955).

Genetik

Closebreeding atau perkawinan antara tetua dengan anaknya, tanpa seleksi pada ayam dapat menurunkan daya tetas karena adanya gen lethal. Gen lethal dan semi lethal juga dapat menyebabkan kematian pada embrio sebelum akhir inkubasi berlangsung (Ensminger et al., 2004). Crossbreeding dapat meningkatkan daya tetas, hal itu dapat terlihat dari strain produksi, fertilitas, dan daya tetes telur yang lebih tinggi (Oluyemi dan Robert, 1979).

Nutrien

(11)

untuk menyuplai nutrien yang diperlukan untuk perkembangan embrio (Ensminger et al., 2004). Protein, karbohidrat, dan lemak merupakan kebutuhan umum yang harus tersedia lebih banyak guna menghasilkan telur tetas yang baik (Funk dan Irwin, 1955). Kebutuhan lain yang harus dipenuhi adalah vitamin A, D, E, B12, riboflavin, asam pantothenis, niacin, dan mineral mangan (Ensminger et al., 2004).

Anggorodi (1985) berpendapat bahwa tahap produksi merupakan salah satu faktor penentu kebutuhun protein pakan. Defesiensi protein akan mengakibatkan ayam rontok bulu, produksi telur akan terhenti, dan penurunan bobot badan. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi tambahan apabila nilai energi bahan makanan lainnya tidak tercapai untuk induk. Serat berfungsi hanya sebagai bulk, tidak essensial bagi ransum ayam (Anggorodi, 1985).

Kalsium merupakan komponen mineral yang perlu diperhatikan dalam ransum ayam Arab (Dewi, 2006). Nutrien pakan induk harus mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dan ketebalan kerabang yang dihasilkan guna memenuhi kebutuhan embrio selama inkubasi. Komposisi nutrrien ransum pada ayam lokal betina periode bertelur ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Ransum Ayam Lokal Periode Bertelur

Komposisi nutrient Kandungan

Penyakit pullorum disebabkan oleh S. pullorum. Mycoplasma gallisepticum.

(12)

Contoh penyakit lain yang mempengaruhi penetasan yang dapat mempengaruhi embrio secara langsung adalah Newcastle Disease (ND) dan infeksi bronchitis. Telur yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umumnya tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004).

Seleksi Telur

Seleksi telur untuk tujuan ditetaskan meliputi seleksi kualitas eksterior seperti: bentuk telur, indeks telur, berat telur, dan besarnya rongga udara telur kerabang telur dan kualitas interior seperti berat kerabang, tebal kerabang dan komposisi kimia telur ayam Arab. Telur yang besar akan menyebabkan penetasan yang terjadi berjalan lambat, sedangkan telur yang kecil akan menyebabkan telur menetas lebih cepat (Ensminger et al., 2004). Berat telur ayam Arab menurut Sodak (2011) berkisar antara 33,33-53,27 g/butir. Bentuk yang tidak normal juga akan menyebabkan telur menetas tidak baik. Kualitas kerabang menunjukkan jumlah kalsium dan vitamin D yang dapat dimanfaatkan embrio untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang. Kerabang telur pada saat cuaca panas cenderung lebih tipis dari pada cuaca dingin (Ensminger et al., 2004). Penipisan kerabang juga akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia induk (Bennet, 1992). Komposisi kimia telur ayam pada umur yang berbeda juga memiliki kandungan nutrien dalam telur yang berbeda (Peebles et al., 2001).

Sistem Inkubasi Telur

Terdapat enam faktor penting pada inkubasi telur yaitu suhu, kelembaban, ventilasi, posisi telur, peneropongan, dan waktu inkubasi. Suhu merupakan hal yang paling kritis untuk menentukan keberhasilan penetasan (Ensminger et al., 2004). Pada pengeraman alami, telur tetas memanfaatkan panas dari tubuh induknya untuk proses inkubasi (Ensminger et al., 2004).

Suhu

(13)

mempercepat penetasan telur, namun suhu yang terlalu randah maupun terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian embrio pada saat inkubasi berlangsung (Oluyemi dan Robert, 1979).

Kelembaban

Kelembaban relatif tergantung pada jenis mesin tetas dan telur pada mesin tetas. Suhu dan ventilasi pada mesin tetas menyebabkan kelembaban dan gas yang hilang dari telur keluar melalui pori-pori telur. Kehilangan air berlebih disebabkan karena adanya kelembaban yang rendah, mengganggu proses chorio allantoic yang berperan penting pada proses pertukaran udara. Kelembaban yang perlu dijaga selama inkubasi selama 18 hari pertama adalah sekitar 60% dan selama tiga hari pada periode penetasan kelembaban harus 70% (Ensminger et al., 2004).

Ventilasi

Ventilasi pada mesin tetas diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan bahan berbahaya lainnya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979). Konsentrasi oksigen dan karbondioksida sangat mempengaruhi penetasan (Card dan Nasheim, 1972).

Posisi Telur

Telur pada umumnya diinkubasi pada bagian tumpul di atas. Embrio akan berkembang pada bagian ini, mendekati kantung udara. Apabila telur diletakkan pada bagian runcing di atas, kepala embrio tidak akan berkembang sehingga embrio tidak akan menetas (Card dan Nasheim, 1972).

Peneropongan

(14)

Waktu Inkubasi

Waktu inkubasi pada ayam adalah 21 hari. Telur yang berukuran lebih besar maka waktu penetasan yang diperlukan juga semakin lama, begitu juga dengan telur yang berukuran kecil maka waktu penetasan juga semakin cepat seperti puyuh yang hanya membutuhkan waktu inkubasi selama 18 hari (Ensminger et al., 2004).

Perkembangan Awal Embrio

Pembelahan blastodisc dimulai sejak telur fertil masuk ke saluran isthmus, kurang lebih 3,5 jam setelah fertilisasi. Sel-sel hasil pembelahan ini disebut blastomer. Blastodisc yang telah membelah disebut blastoderm. Embrio dapat terlihat seperti sebuah piringan sel tipis kecil (blastoderm) yang menutupi kuning telur dan menempel pada membran vitelin (Marshall, 1960). Blastoderm ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Telur Fertil Sumber: Cobb Vantress (2011)

Pembelahan pertama terjadi di tengah blastodic menghasilkan dua blastomer, pembelahan kedua menghasilkan empat blastomer. Proses ini kemudian berkelanjutan sehingga membentuk banyak sel dan menyebar (Marshall, 1960). Blastomer daerah sentral telah membelah sempurna dan blastomer daerah perifer membelah parsial. Daerah sentral blastoderm disebut area pellucida dan daerah perifer disebut area opaca (Gambar 5) (Marshall, 1960).

(15)

menyebar mengelilingi kuning telur dan berdeferensiasi menjadi beberapa bagian, yaitu ektoderm, endoderm, dan mesoderm (Card dan Nasheim, 1972).

Gambar 5. Germinal Disc.

Keterangan : ap= area pellucida ao= area opaca; ps= primitive streak

Sumber : Radbound University Nijmegan (2011)

Proses pembentukan ketiga lapisan kecambah, ektoderm, mesoderm dan endoderm disebut proses gastrulasi. Gambar 6 menunjukkan perpindahan pada proses gastrulasi pada embrio ayam. Tiga bagian tersebut akan berkembang menjadi organ dan sistem perkembangan tubuh (Card dan Nasheim, 1972). Ektoderm akan berkembang menjadi kulit, bulu, paruh, cakar, sistem syaraf, lensa dan retina mata, dan lapisan lubang mulut. Tulang, otot, darah, organ reproduksi dan ekskresi berkembang dari mesoderm. Entoderm berkembang menjadi sistem pencernaan dan organ pernafasan (Card dan Nasheim, 1972).

Gambar 6. Diagram Sistematik Perpindahan pada Proses Gastrulasi Embrio Ayam. Keterangan : ap= Area pellucida; ao= Area opaca; ps= Primitive streak, 1= Epiblast (Pembentuk

Ektoderm); 2= Blastosul; 3= Hipoblast (Pembentuk Endoderm); 4= Subgerminal Cavity; 5= Kuning Telur

Sumber : Radbound University Nijmegan (2011)

(16)

5. Pembentukan garis primitif membagi embrio menjadi sisi kiri dan kanan. Garis primitif merupakan perubahan struktur pertama yang terlihat setelah telur diinkubasi (Card dan Nasheim, 1972).

Sel kemudian masuk ke dalam embrio melalui primitive streak dengan cara menyebar antara epiblast dan hipoblast, pada tahap ini sel-sel menggantikan sel hipoblast dengan mendorongnya ke periphery (Kardong, 2009). Pergerakan ke dalam (ingresi) mengakibatkan garis primitif mengalami pelekukan (Gambar 6) (Patten, 1920). Sel-sel epiblas bermigrasi kontak dengan hipoblas dan menggantikan sel-sel hipoblas untuk membentuk lapisan endoderm. Migrasi terus berlanjut sehingga sel-sel di garis primitif masuk ke dalam blastosul, digantikan dengan sel-sel lain. Mesoderm tumbuh ke luar diantara hipoblas dalam (endoderm) dan superficial epiblast

(ektoderm) (Kardong, 2009).

Sel-sel epiblas di anterior tumbuh lebih cepat dibandingan di daerah posterior sehingga area pellucida terlihat membentuk buah pear (Gambar 7). Garis primitif pada tahap ini tumbuh mencapai garis maksimum (Card dan Nasheim, 1972). Tahap selanjutnya, garis primitif regresi ke arah kaudal (ekor), notokorda yang terbentuk akan semakin panjang. Pada tahap inilah neurasi atau proses pembentukan buluh syaraf dari lapis kecambah ektoderm tumbuh (Kardong, 2009).

Gambar 7. Embrio Ayam Sumber: Patten (1920)

Perkembangan Somite (Tulang Belakang)

Somitogenesis merupakan proses pembagian anterior-posterior pada

embryonic axis hewan bertulang belakang menjadi unit morfologi yang umumnya lebih dikenal dengan sebutan somite (Nurunnabi et al., 2010). Kardong (2009) membagi secara umum mesoderm ke dalam tiga bagian, yaitu: epimere, mesomere

(17)

Somite terbagi menjadi tiga komponen: dermatome (dermis), myotome (otot skeletal), dan sclerotome (vertebral colomn dan rusuk) (Stern dan Keynes, 1987).

Perkembangan awal morfologi embrio pada ayam menurut Radbound University Nijmegan (2011) dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu 18-20, 22-28, 33-36, 48, dan 72 jam setelah inkubasi (Radbound University Nijmegan, 2011). Tahap 72 jam adalah tahap penyempurnaan jumlah somite.

(18)
(19)

Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam (Lanjutan) 9= Telencephalon; 10= Branchial arches; 11= Heart;

12= Forelimb (wing) bud; 13= Vitelline arteria/vein; 14= Hindlimb (leg) bud; 15= Tail

Sumber: Radbound University Nijmegan (2011)

(20)
(21)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Persiapan telur tetas dan penetasan dilaksanakan di Laboratorium Penetasan Telur, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan perkembangan somite dan embrio ayam dilakukan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas nutrien telur dilakukan di Laboratorium Industri dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Telur Tetas Ayam Arab

Materi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 99 telur tetas ayam Arab Hibrid berumur 0 hari. Telur tetas ayam Arab diperoleh dari breeder ayam Arab “Trias Farm”, Leuwiliang, Bogor. Telur berasal dari induk yang berbeda, yaitu induk berumur 36, 42, dan 54 minggu masing-masing sebanyak 30 telur untuk pengamatan kualitas telur dan somite serta tiga butir telur untuk pengujian kualitas nutrien dalam telur pada masing-masing umur induk.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan mesin tetas manual. Peralatan yang digunakan adalah termometer bola kering bola basah, mesin tetas manual Lyon Rural Electric™, timbangan digital model BL-1500, jangka sorong, candler, mikrometer Mitutoyo™ 0,01 mm, kamera digital, pemanas, alat bedah (pinset, gunting bengkok, dan lurus), pipet, cawan petri kaca (diameter 9 cm), cawan petri plastik (diameter 5 dan 3,5 cm), gelas piala 30 ml, kertas saring, object glass, cover glass 22 mm, dan mikroskop Olympus model CH20.

(22)

formalin 37% : asam asetat glacial= 15 : 5 : 1), ethanol 70%, alkohol 96%, alkohol

absolute, xylol, entellan, dan pewarna carmin.

Prosedur

Persiapan Mesin Tetas dan Telur Tetas

Persiapan mesin tetas diantaranya adalah fumigasi mesin tetas. Fumigasi bertujuan meminimalkan jumlah mikroorganisme patogen penyebab kematian embrio. Fumigasi mesin tetas dilakukan sehari sebelum inkubasi. Bahan yang digunakan untuk fumigasi mesin tetas adalah formalin dan kalium permanganat. Fumigasi mesin tetas menggunakan tiga kali kekuatan yaitu dengan dosis 120 ml formalin 40%, kalium permanganat (KMnO4) 60 gram untuk setiap volume ruang sebesar 2,83 m3.

Sampel telur tetas yang digunakan segera dikoleksi setelah ditelurkan oleh ayam. Telur tetas kemudian diseleksi berdasarkan kebersihan dan bentuk telur tetas menurut Robert (2008). Telur tetas diamati karakteristik eksteriornya seperti: indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara dan berat telur. Telur kemudian disanitasi. Sanitasi telur tetas menggunakan fumigasi telur tetas dengan satu kali kekuatan. Dosis satu kali kekuatan adalah 40 ml formalin 40%, kalium permanganat (KMnO4) 20 gram untuk setiap volume ruang sebesar 2,83 m3.

Koleksi Embrio Ayam

Embrio dipanen pada jam ke 24-26 jam untuk embrio tahap 24 jam, 33-36 jam untuk embrio tahap 33 jam, dan 48-52 jam untuk embrio tahap 48 jam. NaCl 0,72% dipanaskan pada suhu 32-37 °C. Telur kemudian diletakkan di atas gelas piala dengan posisi ujung tumpul diatas. Kerabang telur dikupas setengahnya secara perlahan dengan mengetuk secara perlahan ujung atas telur dengan ujung pinset, kemudian putih telur dibuang, lalu kuning telur dituangkan ke cawan petri besar. Kuning telur digulingkan hingga posisi embrio tepat di atas. Embrio diambil dengan cara menempelkan kertas saring berbentuk raket pada permukaan embrio, selaput vitelin kemudian digunting pada daerah di sekeliling kertas saring, lalu kertas saring diangkat sehingga embrio menempel pada kertas saring.

(23)

berisi NaCl hangat. Selaput vitelin dipisahkan dari embrio dengan menggoyang-goyangkan kertas saring sampai embrio (blastoderm) terlepas. Embrio dicuci beberapa kali dengan NaCl hangat dengan cara memipet NaCl dari cawan petri lalu NaCl baru ditambahkan tanpa memindahkan embrio. Setelah embrio bersih, NaCl yang tersisa dipipet sambil diatur posisi embrio agar terentang sempurna (tidak terdapat lipatan).

Fiksasi embrio menggunakan larutan Bouin (Bellairs, 1963). Larutan ini diteteskan secara perlahan hingga embrio terendam dengan cukup (2/3 tinggi cawan petri). Larutan Bouin diganti setelah 24 jam dengan ethanol 70%, kemudian diganti 2-3 kali dengan selang 24 jam dengan ethanol 70% sampai warna kuning dari pikrat hilang. Embrio dapat disimpan sampai proses pembuatan preparat selanjutnya selama larutan ethanol 70% dijaga agar tidak habis menguap.

Pembuatan Preparat Whole Mount

Embrio yang telah difiksasi dan dicuci dengan ethanol 70%, diwarnai dengan pewarna carmin selama 18-24 jam (Nurunnabi et al., 2010). Embrio kemudian dicuci sebanyak 3-6 kali dalam larutan ethanol 70% dengan selang 15-30 menit hingga intensitas warna sesuai kebutuhan. Embrio dibandingkan dengan preparat yang telah jadi untuk perbandingan warna. Pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan 0,5% HCl dalam ethanol 70%. Embrio kemudian diganti berturut-turut ke dalam ethanol 96% sebanyak dua kali, ethanol absolute sebanyak dua kali dan xylol sebanyak tiga kali dengan selang masing-masing 15-30 menit.

(24)

Peubah yang diamati pada penelitian ini antara lain: 1) Kualitas Telur Tetas

a) Kualitas Eksterior

i) Bentuk telur diamati secara visual disesuaikan dengan bentuk telur menurut Robert (2008) (Gambar 3). Telur diseleksi berdasarkan bentuknya.

ii) Indeks bentuk telur diperoleh dari perhitungan lebar dan panjang telur. Rumus perhitungan indeks telur adalah sebagai berikut:

Indeks Bentuk Telur = Lebar Telur / Panjang Telur

iii) Besarnya rongga udara dilihat dengan cara peneropongan atau candling.

Rongga udara diukur dengan memberi tanda menggunakan pensil, kemudian diukur kedalaman atau tinggi menggunakan official egg air cell gauge. Besar rongga 1/8 inchi masuk dalam kriteria AA, 3/16 inchi masuk ke dalam kriteria A, dan 3/8 inchi ataulebih besar masuk ke dalam kriteria B (United States Department of Agriculture, 2002). iv) Berat telur diperoleh dengan cara menimbang telur dengan timbangan

digital. b) Kualitas Interior

i) Berat kerabang diperoleh dengan cara menimbang kerabang yang telah dikeringkan dengan timbangan digital.

ii) Tebal kerabang telur diukur menggunakan mikrometer setelah selaput putih dalam kerabang dilepas.

iii) Komposisi kimia telur ayam Arab seperti kandungan abu, protein kasar, lemak kasar dianalisis menggunakan metode Association of Official Analytical Chemistis (2005). Kandungan Ca dan P kerabang dianalisis dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS) dan fotometri. 2) Kualitas Pakan

(25)

dengan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS) dan fotometri. Kandungan Energi Bruto dianalisis dengan metode Bomb Calorimetry.

3) Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban dicatat pada pukul 07.00, 13.00, dan 19.00 WIB selama dua hari inkubasi. Data suhu diambil dari suhu bola kering termometer. Data kelembaban didapat dari tabel pada termometer bola kering dan bola basah. Data suhu dan kelembaban disajikan dalam bentuk kisaran.

4) Somite

Pengamatan somite dilakukan dengan mengamati preparat embrio pada tahap 24, 33, dan 48 jam. Perkembangan somite disesuaikan dengan Radbound University Nijmegan (2011) dan Nurunnabi et al. (2010).

5) Perkembangan Awal Embrio

Pengamatan perkembangan embrio pada setiap tahap diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4 x 10.

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (Gasperz, 2001). Setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan dengan menggunakan sepuluh butir telur per ulangan (n=10)

Model matematikanya sebagai berikut:

Yij = µ + Pi + €ij Keterangan:

Yijk = hasil pengamatankualitas eksterior dan interior telur ayam Arab pada umurinduk ke-i dan ulangan ke-j

(26)

Hipotesisnya sebagai berikut:

H0 : Umur induk yang berbeda (36, 42, dan 54 minggu) tidak berpengaruh terhadap kualitas eksterior, dan kualitas interior telur ayam Arab.

H1 : Umur induk yang berbeda (36, 42, dan 54 minggu) berpengaruh terhadap kualitas eksterior, dan kualitas interior telur ayam Arab.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang Menentukan Keberhasilan Penetasan Kualitas Pakan

Pakan ayam Arab pada umur induk 36, 42, dan 54 minggu pada peternakan ayam Trias Farm menggunakan pakan komplit ayam Ras Petelur UFEED umur 20 minggu hingga ayam diafkir (Tabel 5). Tidak terdapat perbedaan pemberian pakan pada ketiga umur induk tersebut. Menurut Kementrian Pertanian (2006), perbedaan manajemen pemberian pakan pada ayam lokal petelur diberikan ketika ayam berada pada umur 0-6 minggu, 6-12 minggu, 12-22 minggu, dan periode bertelur.

Tabel 5. Komposisi Nutrien Pakan Komplit Ayam Petelur UFEED

Komposisi Nutrien Kandungan

Energi Metabolis (EM)4 2399,025 - 2600 kkal ME Sumber: 1Hasil Analisa Lab. Pusat Sumberdaya Hayati & Bioteknologi, Pusat Antar Universitas IPB

(2012); 2Hasil analisis Lab. Industri dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012);

3

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% - (abu+PK+LK+SK)%; 4EM= 0,725EB National Research Council (1994); 5Hasil Analisa Pakan pada Label UFEED; 6Kementrian Pertanian (2006)

(28)

sehubungan dengan asupan nutrien telur tetas untuk embrio di dalamnya. Iriyanti et al. (2005) juga berpendapat bahwa kandungan nutrien dalam telur ditentukan oleh ransum induk. Kandungan nutrien pokok seperti karbohidrat, protein, lemak, dan kalsium harus tersedia lebih banyak guna menghasilkan telur tetas yang berkualitas (Funk dan Irwin, 1955). Telur tetas yang berkualitas mampu menyediakan nutrien yang mencukupi guna perkembangan embrio di dalamnya.

Serat kasar dalam pakan komplit lebih rendah dari pada standar maksimum menurut Kementrian Pertanian (2006) yaitu 5%. Serat kasar ini juga memenuhi label standar analisis UFEED yaitu dengan kandungan maksimal 7%. Unggas tidak membutuhkan serat yang tinggi dalam pakan. Serat kasar sulit dicerna oleh unggas karena unggas tidak memiliki sistem pencernaan yang kompleks seperti ruminansia. Serat berfungsi hanya sebagai bulk, tidak essensial bagi ransum ayam (Anggorodi, 1985).

Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi tambahan apabila nilai energi bahan makanan lainnya tidak tercapai untuk induk. Lemak ini juga memenuhi label standar analisis UFEED dengan kandungan maksimal 7%. Lemak juga dapat mengurangi debu ransum dan meningkatkan palatabilitas, akan tetapi lemak yang melebihi standar maksimal akan mempercepat proses ketengikan pakan (Anggorodi, 1985).

Energi metabolis menunjukkan besar energi yang dibutuhkan ayam untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi telur, dan mempertahanakan temperatur tubuh (Anggorodi, 1985). Energi metabolis pada ransum UFEED berada di bawah standar pakan komplit ayam lokal menurut Kementrian Pertanian (2006). Peningkatan energi metabolis pakan dapat dilakukan dengan pemberian pakan dengan kandungan gross energy yang tinggi.

(29)

Kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor berturut-turut pada pakan komplit adalah 4,67 dan 0,31 (Tabel 5). Kandungan kalsium tersebut lebih tinggi 1,27% sedangkan kandungan fosfor lebih rendah 0,03% dibandingkan dengan standar kandungan kalsium dan fosfor minimal pakan komplit pada ayam lokal petelur umur 20 minggu. Kandungan kalsium hasil analisis juga melebihi kisaran kandungan pada label standar analisis UFEED, berbeda dengan kandungan fosfor yang bahkan lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan kalsium pada pakan komplit ayam Arab diatas umur 20 minggu pada peternakan Trias Farm memenuhi standar minimal pakan komplit ayam lokal petelur sedangkan kandungan fosfor berada sedikit di bawah standar pakan komplit ayam lokal petelur menurut Kementrian Pertanian (2006).

Kalsium dan fosfor merupakan komponen mineral yang perlu diperhatikan dalam ransum ayam Arab petelur (Dewi, 2006). Mineral tersebut harus tersedia seimbang guna mencukupi kebutuhan pokok dan produksi telur terutama dalam memproduksi kerabang telur. Defesiensi kalsium mengakibatkan induk menggunakan cadangan kalsium tubuh untuk memproduksi kerabang telur. Kekurangan kalsium juga akan menyebabkan pertumbuhan tulang pada induk tidak sempurna dan menurunnya kualitas kerabang (Sodak, 2011). Kualitas kerabang yang rendah akan menghambat perkembangan tulang pada embrio ayam, sehingga akan menyebabkan DOC lumpuh bahkan kematian embrio. Hal ini dikarenakan kerabang merupakan sumber kalsium terbesar untuk pembentukan struktur (khususnya tulang) yang diperlukan embrio selama inkubasi berlangsung (Card dan Nasheim, 1972).

Faktor Lingkungan

(30)

dari 35 °C) maupun terlalu tinggi (lebih dari 40 °C) dapat menyebabkan kematian embrio.

Tabel 6. Suhu dan Kelembaban Inkubator Selama Penelitian

Tanggal Pukul Suhu (°C) Kelembaban (%) Bola Kering Bola Basah

29 Maret 2012 19.08 37 33 73

30 Maret 2012 13.10 37 34 79

30 Maret 2012 18.00 37 34 79

31 Maret 2012 6.00 37 30 59

31 Maret 2012 13.00 37 32 66

31 Maret 2012 18.30 37 34 79

Perkembangan embrio akan sempurna apabila suhu dan kelembaban mesin tetas sesuai dengan tumbuh kembang embrio di dalamnya. Kelembaban pada mesin tetas manual yang digunakan selama penelitian berkisar 59%-79%. Terdapat kelembaban yang cenderung rendah pada tanggal 31 Maret 2012, pukul 06.00 dan 13.00 WIB yaitu sebesar 59% dan 66%, namun hal ini sesuai dengan pendapat Ensminger et al. (2004) bahwa kelembaban yang perlu dijaga selama inkubasi selama 18 hari pertama adalah sekitar 60% dan selama tiga hari pada periode penetasan kelembaban adalah 70%.

(31)

Karakteristik Eksterior Telur Kantung Udara Telur

Telur tetas dari induk berumur 36 minggu yang memiliki kantung udara sebesar 1/8 atau setara dengan klasifikasi kualitas AA adalah sebanyak 86,67%, terdapat 13,33% (empat butir) telur tetas yang memiliki kantung udara sebesar 3/16 atau setara dengan kualitas United States Department of Agriculture (2002) (Tabel 7). Telur tetas dari induk berumur 42 dan 54 minggu memiliki kantung udara 1/8 atau setara dengan klasifikasi AA. Hal tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari besar kantung udaranya telur tetas tersebut memiliki kualitas baik.

Tabel 7. Kondisi Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu kantung udara ≤ 3/16 inchi (United States Department of Agriculture, 2002)

Besarnya kantung udara dipengaruhi oleh lama waktu penyimpanan dan lingkungan (suhu dan kelembaban). Telur yang digunakan pada ketiga umur induk merupakan telur berumur 0 hari. Telur sementara disimpan pada egg room yang dengan suhu 16-20 °C dan kelembaban 80%. Hal tersebut menyebabkan penguapan berlebihan dapat dicegah sehingga kualitas telur dapat dipertahankan. Penguapan yang berlebihan dapat menyebabkan pelebaran kantung udara sehingga telur akan kehilangan air dan gas (Sodak, 2011). Telur tetas dengan kantung udara yang besar akan mempengaruhi ketersediaan air di dalamnya sehubungan dengan perkembangan embrio yang juga membutuhkan air.

Berat Telur

(32)

Tabel 8. Rataan Berat Telur Ayam Arab yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu

Umur Induk (minggu) Ulangan Berat Telur (g/butir)

36 3 46,570±0,915a

42 3 47,570±0,528a

54 3 51,860±0,283b

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Umur induk ayam Arab pada penelitian ini mempengaruhi berat telur tetas yang dihasilkannya. Tidak ada perbedaan nyata pada berat telur dari induk berumur 36 dan 42 minggu. Perbedaan yang nyata terjadi pada berat telur tetas dari induk ayam Arab berumur 36 dan 42 minggu dengan berat telur tetas ayam Arab dari induk berumur 54 minggu. Berat telur tetas dari induk berumur 54 minggu lebih tinggi 5,29 gram (11,35%) dan 4,29 gram (9,01%) berturut-turut jika dibandingkan dengan telur tetas dari induk berumur 36 dan 42 minggu. Hal ini didukung oleh pendapat Roberts (2010) yang menyatakan bahwa berat telur akan meningkat seiring dengan peningkatan umur induk. Induk tua akan menghasilkan telur tetas dengan ukuran telur yang lebih besar sehingga berat telurnya juga meningkat. Hal ini disebabkan karena umur induk akan mempengaruhi komposisi nutrien telur di dalamnya. Peningkatan umur induk akan meningkatkan berat telur, berat kering, dan persentase kuning telur, sehingga persentase kerabang, putih telur, padatan putih telur menurun (North dan Bell, 1990).

Indeks Bentuk Telur

(33)

induk berumur 54 minggu. Indeks bentuk telur tetas pada induk ayam Arab berumur 36, 42, dan 54 minggu sesuai dengan indeks bentuk telur menurut Romanoff dan Romanoff (1949) yaitu sebesar 79%.

Tabel 9. Rataan Indeks Bentuk Telur Ayam Arab yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu

Umur Induk (minggu) Ulangan Indeks Telur

36 3 0,789±0,015a

42 3 0,812±0,017a

54 3 0,792±0,008a

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Karakteristik Interior Telur Tetas Karakteristik Kerabang Telur Tetas Ayam Arab

Berat kerabang telur tetas ayam Arab pada peternakan Trias Farm dengan tiga perlakuan umur yang berbeda berada pada kisaran 4,08-4,56 g/butir. Ketebalan kerabang telur tetas berkisar 0,310-0,337 mm. Berat dan ketebalan kerabang telur tetas ayam Arab dari induk berumur 36, 42, dan 54 minggu ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Berat dan Ketebalan Kerabang Telur Tetas Ayam Arab yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu

Umur Induk

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

(34)

berat kerabang pada umumnya terjadi seiring meningkatnya umur induk (hingga ayam berumur empat tahun), yang disebabkan oleh peningkatan berat isi telur sehingga berat telur juga meningkat akan tetapi persentase kerabang telur menurun sehingga berat kerabang menurun (Roberts, 2010). Peningkatan berat kerabang telur yang tidak nyata dapat disebabkan oleh adanya peningkatan berat telur. Peningkatan berat telur yang diduga salah satu penyebabnya adalah peningkatan berat isi telur pada hal ini tidak mempengaruhi persentase kerabang telur. Hal ini menunjukkan bahwa induk ayam Arab berumur 54 minggu mampu mempertahankan persentase kerabang telur walaupun berat isi telur meningkat.

Penipisan kerabang telur yang nyata ditemukan pada hasil penelitian ini, yaitu pada telur tetas dari induk yang berumur 54 minggu. Ketebalan kerabang dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu adalah sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa induk yang berumur 42 minggu mampu mempertahankan ketebalan kerabang telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Romanoff dan Romanoff (1949) bahwa peningkatan umur induk dapat menurunkan ketebalan kerabang telur. Penipisan kerabang telur pada induk tua dapat disebabkan oleh adanya penurunan kemampuan induk untuk menyerap, memobilisasikan, atau menyimpan cadangan kalsium, yang mengakibatkan pembentukan kerabang kurang makasimal. Suplemen kalsium pada induk tua perlu diberikan apabila kualitas ketebalan kerabang berada di bawah standar. Ketebalan kerabang pada telur tetas ayam Arab dari induk berumur 33, 42, dan 54 minggu tidak berbeda dengan ketebalan telur konsumsi ayam Arab dari induk berumur 52 dan 58 minggu yaitu sebesar 0,31-0,34 mm (Sodak, 2011).

Komposisi Kimia Telur Kerabang Telur

Peningkatan bahan kering terjadi pada kerabang yang berasal dari induk yang berumur 36, 42, dan 54 minggu. Terdapat selisih yang lebih tinggi sebesar 0,79%-4,12% pada bahan kering kerabang telur tetas dari induk berumur 42 dan 54 minggu jika dibandingkan dengan bahan kering kerabang dari induk yang berumur 36 minggu (Tabel 11). Menurut Yuwanta (2010), bahan kering kerabang telur ayam umumnya adalah sebesar 98,4% dengan kadar air sebesar 1,6%.

(35)

peningkatan sebesar 1,8% pada induk berumur 54 minggu. Kandungan abu atau mineral kerabang telur ayam menurut Yuwanta (2010) adalah sebesar 95,1%.

Tabel 11. Komposisi Nutrien Kerabang Telur Ayam Arab yang dihasilkan Induk

Keterangan : Hasil Penelitian Lab. Industri dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012)

Kandungan Ca dan P meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan abu. Hal ini didukung oleh pendapat Sodak (2011) bahwa kandungan mineral atau bahan anorganik seperti Ca dan P memiliki hubungan dengan besarnya kandungan abu. Penurunan kandungan abu sebesar 0,49% pada persentase berat kering kerabang telur tetas dari induk berumur 42 minggu ternyata tidak memiliki korelasi positif dengan kandungan Ca dan P yang meningkat. Kandungan kalsium dan fosfor kerabang juga meningkat seiring dengan meningkatnya umur induk. Telur tetas dari induk yang berumur 54 minggu memiliki kandungan kalsium dan fosfor lebih tinggi walaupun secara kualitas fisik ketebalan kerabang menurun.

North dan Bell (1990) berpendapat bahwa kalsium kerabang telur merupakan mineral yang penting dalam metabolisme embrio. Kekurangan mineral kalsium menyebabkan kelumpuhan, lengan dan sayap yang pendek, daya tetas yang rendah, paruh, lengan, dan leher yang bengkok. Kekurangan fosfor menyebabkan kelumpuhan, lengan dan paruh yang empuk, tingginya kematian pada 14 dan 16 hari penetasan.

Kuning dan Putih Telur

(36)

tua (berumur 54 minggu. Salah satu komponen penentu berat kering pada telur tetas adalah komponen putih telur. Penurunan berat kering telur tetas dapat disebabkan oleh adanya peningkatan kadar air putih telur pada telur tetas yang berasal dari induk tua (berumur 54 minggu). Hal ini didukung oleh pendapat Yuwanta (2010) bahwa kadar air putih telur akan meningkat selaras dengan peningkatan umur induk, sehingga berat kering putih telur akan menurun. Bahan kering pada telur tetas ayam Arab berkisar 24,79%-27,31%, tidak berbeda jauh dengan bahan kering telur ayam menurut Yuwanta (2010) yaitu sebesar 21,67%-24,17%. Bahan kering pada telur menurut Ensminger et al. (2004) adalah 35,5% atau setara dengan kadar air 65,5%. Tabel 12. Komposisi Nutrien Telur Tetas Ayam Arab (Putih dan Kuning Telur) yang

dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu Umur

Induk (minggu)

Kandungan Campuran Putih dan Kuning Telur (%) Bahan

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% - (abu+PK+LK+SK)%

(37)

Kandungan protein pada telur tetas pada telur tetas dengan berat kering 100% dari induk yang berumur 36 minggu memiliki selisih 0,62% dan 1,09% jika dibandingkan dengan telur tetas dari induk berumur 54 dan 42 minggu (Tabel 12). Ketidakselarasan kandungan protein kasar pada bahan segar dan kering dipengaruhi oleh kandungan air yang tidak seragam. Kandungan protein kasar telur tetas pada berat kering 100% menurun sebesar 1,09% pada telur tetas dari induk berumur 42 minggu, sedangkan terjadi peningkatan kandungan protein kasar sebesar 0,62% pada protein kasar telur tetas dari induk berumur 54 minggu. Sodak (2011) menyatakan bahwa kandungan protein telur yang tinggi umumnya disebabkan oleh kualitas pakan. Namun, tidak terdapat perbedaan manajemen pemberian pakan pada ketiga umur induk tersebut. Perbedaan kandungan protein kasar dapat disebabkan oleh perbedaan masing-masing induk, walaupun kondisi lingkungan sama, bahkan dalam satu manajemen peternakan yang sama memungkinkan terjadi keragaman kandungan protein kasar. Kandungan protein pada bahan telur segar adalah sebesar 12,08%-12,84%. Kandungan tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan telur menurut Ensminger et al. (2004) yaitu 11,8 % dan Yuwanta (2010) yaitu 10,67%-11,67%.

North dan Bell (1990) berpendapat bahwa lemak dari kuning telur merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan embrio pada tahap akhir inkubasi. Kandungan lemak kasar menurun sebesar 1,15%-9,66% berturut-turut pada telur tetas yang berasal dari induk yang berumur 42 dan 54 minggu (Tabel 12). Kandungan lemak kasar di atas tergolong rendah, berkisar antara 5,17%-8,02%. Ensminger et al. (2004) juga berpendapat bahwa kandungan lemak pada whole egg adalah sebesar 11%. Hal ini juga didukung oleh pendapat Yuwanta (2010) bahwa kandungan lemak pada campuran putih dan kuning telur berkisar 10,17%-11,5 %.

(38)

9,66%. BETN dalam telur tetas dari induk tua (berumur 54 minggu) diduga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kandungan BETN pada pakan.

Variasi komposisi kimia telur tetas ayam Arab dapat disebabkan karena perbedaan umur induk. Hal ini didukung oleh pendapat Yuwanta (2010) bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proporsi dan komposisi kimia telur adalah umur ayam, pakan, temperatur, genetik, dan cara pemeliharaan. Kandungan nutrien telur merupakan satu-satunya asupan nurien yang akan digunakan embrio sebagai sumber energi, protein, dan mineral selama pembentukan embrio berlangsung (Ensminger et al., 2004). Asupan nutrien yang rendah akan mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio di dalamnya. Protein pada telur memiliki keseimbangan asam amino sebagai penyusun embrio selama inkubasi. Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk embrio selama empat hari pertama perkembangan (Oluyemi dan Robert, 1979).

Perkembangan Somite

Jumlah somite pada embrio tahap 24 jam dari telur tetas yang dihasilkan oleh induk berumur 36, 42, dan 54 minggu berturut-turut adalah 0-5, 0-6, dan 3-6 pasang

(39)

Tabel 13. Jumlah Somite pada Embrio Ayam Arab dari Telur Tetas yang dihasilkan Induk Berumur 36, 42, dan 54 Minggu

Umur Induk N Tahap Jam Perkembangan (pasang somite)

(40)

Terdapat tiga embrio dari induk yang berumur 36 minggu yang masih berada pada tahap garis primitif (Gambar 8), sedangkan dari induk yang berumur 42 minggu terdapat lima embrio (Tabel 13). Sel-sel epiblas di anterior tumbuh lebih cepat dibandingan di daerah posterior sehingga area pellucida terlihat membentuk buah

pear yang menunjukkan bahwa embrio mencapai garis maksimum (Card dan Nasheim, 1972). Embrio yang berada pada tahap 24 jam terlihat seperti pear

(Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa embrio pada tahap 24 embrio mencapai garis maksimum.

Gambar 8. Garis Primitif.

Keterangan : ap= area pellucida; ao= area opaca; gp= garis primitif

Jumlah somite pada embrio tahap 33 jam dari induk berumur 36, 42, dan 54 minggu berturut-turut adalah berkisar 5-10, 6-13, dan 6-10 pasang somite (Tabel 13) (Gambar 9B). Rataan jumlah pasang somite terendah terdapat pada embrio dari induk yang berumur 36 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap 33 jam somite dari induk yang berumur 36 minggu berkembang lebih lambat jika dibandingkan dengan

somite pada embrio dari induk yang berumur 42 dan 54 minggu. Somite yang terbentuk pada tahap 33 jam inkubasi menurut Radbound University Nijmegan (2011) adalah sebanyak 12-13 pasang. Jumlah pasang somite ayam Arab pada tahap ini secara rataan juga lebih rendah dari pada rataan pasang somite ayam Plymouth Rock (Broiler) maupun ayam lokal Deshi yaitu 10,24±2,58 dan 12,26±2,14 pasang (Nurunnabi et al., 2010).

Keterlambatan perkembangan embrio tahap 33 jam terjadi pada embrio dari telur tetas pada induk yang berumur 36 dan 42 minggu, sedangkan kematian embrio terjadi dari telur tetas pada induk yang berumur 42 dan 54 minggu. Embrio yang memiliki tiga dan lima pasang somite diduga besar mengalami keterlambatan dalam

ao ap

(41)

perkembangan ataupun berhenti berkembang sejak tahap 24 jam. Satu (11,11%) embrio dari induk yang berumur 36 minggu memiliki lima pasang somite sedangkan dua (20%) embrio memiliki somite berjumlah 3 pasang dari telur tetas yang dihasilkan oleh induk berumur 42 minggu (Tabel 13). Tiga embrio (30%) dan empat embrio (57%) yang mati ditemukan pada telur tetas dari induk yang berumur 42 dan 54 minggu. Embrio yang berada pada tahap garis primitif pada embrio yang dipanen tahap 33 jam dapat diduga mati atau berhenti berkembang sejak tahap 20 jam inkubasi. Keterlambatan berkembang dan kematian embrio diduga karena terdapat perbedaan suhu yang diterima telur saat inkubasi pada setiap posisi telur. Hal ini didukung oleh pendapat Nurunnabi et al. (2010) bahwa salah satu penyebab perbedaan perkembangan somite pada indivindu telur adalah karena perbedaan suhu yang diterima telur pada setiap posisi telur selama inkubasi.

Jumlah somite pada embrio tahap 48 jam dari telur tetas yang dihasilkan oleh induk berumur 36, 42, dan 54 minggu berturut-turut adalah berkisar 11-17, 12-16, dan 12-25 pasang (Tabel 13) (Gambar 9C). Radbound University Nijmegan (2011) berpendapat bahwa jumlah somite ayam pada tahap 48 jam inkubasi adalah sebanyak 21-22 pasang. Rataan jumlah pasang somite ayam Plymouth Rock (Broiler) dan ayam lokal Deshi pada tahap 48 jam adalah sebesar 18,62±0,84 dan 21,26±2,14 pasang (Nurunnabi et al., 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan

(42)

Induk 36 minggu Induk 42 minggu Induk 54 minggu

Gambar 9. Tahap Perkembangan Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang Berbeda Keterangan: Embrio pada tahap 24 Jam. A1= Embrio dari Induk 36 Minggu; A2= Embrio dari Induk 42 Minggu; A3= Embrio dari Induk 54 Minggu. Embrio pada Tahap 33 Jam. B1= Embrio dari Induk 36 Minggu; B2= Embrio dari Induk 42 Minggu; B3= Embrio dari induk 54 Minggu. Embrio pada Tahap 48 Jam. C1= Embrio dari Induk 36 Minggu; C2= Embrio dari Induk 42 Minggu; C3= Embrio dari Induk 54 Minggu; tanda panah menunjukkan somite

c

Tahap 24 Jam

Tahap 33 Jam

Tahap 48 Jam

A1 A2 A3

B1 B2 B3

(43)

Dua (22,2%) dan satu embrio (14,29%) berturut-turut dari induk berumur 42 dan 54 minggu mengalami keterlambatan dalam berkembang pada tahap 48 jam (Tabel 13). Hal ini diduga embrio terlambat berkembang sejak tahap 33 jam inkubasi. Terdapat satu embrio dari induk yang berumur 42 minggu yang memiliki bentuk abnormal (Gambar 10a). Bentuk abnormal pada kasus tersebut menunjukkan bahwa embrio mengalami kembar pada bagian anterior. Pemisahan blastomer diduga terjadi pada tahap pembentukan garis primitif, yaitu pada tahap 18-20 jam inkubasi. Bagian anterior embrio membelah menjadi dua bagian sehingga terdapat dua bagian

somite dan kepala. Kasus kembar pada bagian anterior juga ditemukan oleh Arora dan Kosin (1966) pada kalkun (Gambar 10b). Perbedaan pada embrio ayam Arab dari induk yang berumur 42 minggu adalah terdapat pemisahan pada bagian tubuh dan dua buah kepala yang berhimpit. Embrio kembar tersebut berada pada tahap lima pasang somite yang mengindikasikan bahwa embrio mati sejak tahap 24-33 jam.

Gambar 10. Embrio Kembar pada Bagian Anterior. (a) Embrio Ayam Arab Kembar dari Induk Berumur 42 Minggu; (b) Embrio Kalkun Kembar pada Bagian Anterior; tanda panah menunjukkan somite

Sumber : b. Arora dan Kosin (1966)

Kembar pada ayam tidak hanya dapat terjadi pada bagian anterior tetapi juga posterior (Gambar 11a). Kasus kembar pada ayam dapat mengakibatkan kematian pada embrio (Mohamad et al., 1997). Embrio kembar dempet yang sama menurut Mohamad et al. (1997) memungkinkan kedua embrio kembar tersebut dapat bertahan hidup apabila dilakukan pemisahan (Gambar 11b). Berbeda halnya dengan kasus kembar dempet pada embrio ayam Arab dari induk yang berumur 42 minggu yang memiliki bagian kaudal (ekor) yang sama (dalam satu garis primitif) dan memiliki

(44)

dua buah badan dan kepala, tinggi kemungkinan embrio kembar tersebut mati, atau dapat bertahan hidup dengan memisahkan salah satu embrio. Kasus kembar yang ditemukan dari induk berumur 42 minggu apabila diketahui lebih dini, diduga dapat pula dipertahankan untuk hidup jika salah satu embrio dipisahkan.

Gambar 11. Embrio Ayam Kembar. (a) Embrio Kalkun Kembar pada Bagian Posterior; (b) Kembar Sama pada Embrio Ayam

Sumber : a. Arora dan Kosin (1966) b. Mohamad et al. (1997)

Keterlambatan perkembangan dan embrio kembar diduga karena penurunan kelembaban yang cukup tinggi selama inkubasi dari kelembaban sebelumnya, yaitu 73%-79% menjadi 59% dan 66% pada jam 06.00 WIB (35 jam inkubasi) hingga pukul 13.00 WIB (42 jam inkubasi), walaupun kelembaban ini sesuai dengan pendapat Ensminger et al. (2004) bahwa kelembaban yang perlu dijaga selama inkubasi selama 18 hari pertama adalah sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban yang stabil walaupun lebih tinggi dari kelembaban optimum, lebih baik dari pada kelembaban yang sedikit lebih rendah maupun lebih tinggi dari optimum namun memiliki fluktuasi suhu yang tinggi.

Satu embrio berkembang jauh lebih cepat, yaitu yang memiliki somite

berjumlah 25 pasang ditemukan pada embrio dari induk yang berumur 54 minggu (Gambar 12a). Embrio mulai memasuki tahap 72 jam. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan embrio ayam menurut Radbound University Nijmegan (2011) (Gambar 12b). Embrio sudah mulai tertutup organ sehingga pengamatan somite sulit diamati (Hamburger dan Hamilton, 1992). Hal ini diduga karena embrio sudah

(45)

berkembang sebelum inkubasi, sehingga pada saat inkubasi, embrio berkembang lebih cepat.

Gambar 12. Embrio dengan 25 pasang somite. (a) Embrio dari induk 54 minggu; (b) Embrio Ayam Tahap 72 Jam

Sumber : b. Radbound University Nijmegan (2011)

Rataan jumlah pasang somite embrio ayam Arab lebih rendah jika dibandingkan dengan perkembangan embrio ayam Ras maupun ayam lokal Deshi. Perkembangan yang lebih lambat dari rataan maupun kisaran terlihat sejak tahap 33 jam. Perkembangan yang lebih lambat ini salah satunya dipengaruhi besar oleh perbedaan genetik. Hal tersebut didukung oleh pendapat Dronca (2008) dan Nurunnabi et al. (2010) bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi laju perkembangan embrio. Hasil penelitian Nurunnabi et al. (2010) menunjukkan bahwa jumlah somite ayam Plymouth Rock berevolusi lebih lambat dibandingkan dengan ayam lokal (Deshi) pada setiap jam perkembangannya, yaitu 24, 36, 48, 60 dan 72 jam inkubasi. Berbeda dengan hasil penelitian Dronca (2008) bahwa ayam Plymouth Rock yang berevolusi lebih cepat dibandingkan dengan ayam Transylvanian Naked Neck pada tahap 26, 30, 40, 50 dan 60 jam inkubasi.

Perbedaan jumlah somite yang sangat beragam pada masing-masing indivindu diduga karena berasal dari induk yang berbeda. Hal ini didukung oleh pendapat Nurunnabi et al. (2010) bahwa perkembangan somite dari masing-masing induk yang berbeda juga memiliki perbedaan pada kualitas telur, selang pelontaran telur, dan ukuran masing-masing telur.

Perkembangan Awal Embrio

Embrio ayam Arab tahap 24 jam memiliki perkembangan yang tidak berbeda dengan standar perkembangan embrio menurut Ensminger et al. (2004); Oluyemi

(46)

dan Robert (1979); Radbound University Nijmegan (2011) (Tabel 14). Sebesar 53,33% dari total seluruh embrio 24 jam pada telur tetas yang dipanen masih berada pada tahap garis primitif dan sisanya berkembang dari tiga hingga enam pasang

somite. Embrio pada tahap garis primitif sudah memiliki lipatan kepala (Gambar 13a) sedangkan embrio yang sudah terbentuk somite, bagian-bagian seperti lipatan syaraf, lipatan kepala, dan mata sudah mulai terbentuk (Gambar 13b).

Tabel 14. Perkembangan Awal Embrio pada Tahap 24, 33, dan 48 Jam

Tahap Perkembangan Standar Perkembangan 33 Jam Jantung berdetak, spot darah,

gelembung mata

Amnion1, formasi kerongkongan2, peredaran darah3

Keterangan :1Ensminger et al. (2004), 2Oluyemi dan Robert (1979), 3 Radbound University Nijmegan (2011)

Terdapat 65,38% embrio tahap 33 jam yang memiliki jantung yang sudah berdetak. Spot-spot darah terlihat pada embrio tersebut (Gambar 13c). Bagian anterior embrio berkembang lebih cepat, mulai terlihat gelembung mata sedangkan bagian posterior embrio masih garis primitif. Hal ini sesuai dengan standar perkembangan embrio menurut Ensminger et al. (2004) dan Radbound University Nijmegan (2011) bahwa pada tahap 33 jam jantung mulai berdetak, terbentuk gelembung mata dan terlihat spot-spot darah. Terdapat 19,23% embrio yang masih berada pada garis primitif, sebanyak 7,69% berada pada tahap 24 jam (tiga pasang somite), dan 7,69% tidak berkembang sejak awal.

(47)

(Gambar 13d). Terdapat 17,39% embrio berkembang lebih lambat dan 4,35%

(48)

Kematian dan Keterlambatan pada Perkembangan Awal Embrio

Adanya perkembangan embrio menunjukkan bahwa telur tetas yang dipanen (100%) dari induk yang berumur 36, 42, dan 54 minggu merupakan telur fertil. Data keterlambatan dan kematian embrio ditunjukkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Keterlambatan Perkembangan dan Kematian Embrio dari Induk yang Berumur 36, 42, dan 54 Minggu

Hasil pengamatan jumlah pasangan somite dan perkembangan awal embrio (Tabel 15) menunjukkan bahwa hampir seluruh embrio dari induk yang berumur 36 minggu berkembang dengan normal, sebanyak satu embrio (5%) mengalami keterlambatan dalam perkembangan, akan tetapi tidak terdapat kematian hingga tahap 48 jam inkubasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa telur tetas dari induk yang berumur 36 minggu lebih resistan terhadap fluktuasi suhu dan kelembaban saat inkubasi berlangsung karena memiliki kualitas fisik dan kimia yang tergolong baik. Keterlambatan perkembangan tertinggi pada semua tahap perkembangan embrio (24, 33, dan 48 jam) terdapat pada induk yang berumur 42 minggu (15,38%) sedangkan kematian embrio tertinggi terdapat pada induk yang berumur 54 minggu (22,22%).

Keterlambatan perkembangan embrio pada telur tetas yang tinggi dari induk yang berumur 42 minggu diduga tidak disebabkan karena kualitas telur tetas akan tetapi disebabkan karena adanya perbedaan suhu yang diterima telur selama inkubasi (Nurunnabi et al., 2010). Perkembangan yang lebih lambat ini dapat dicegah dengan menggunakan inkubator dengan sistem pemanasan yang merata, guna suhu yang diterima pada setiap indivindu telur sama.

(49)

36 dan 42 minggu. Rendahnya persentase bahan kering menunjukkan bahwa telur tetas memiliki kandungan air yang tinggi, terutama pada komponen putih telur. Kandungan air yang tinggi akan menurunkan bahan kering komponen nutrisi pada putih telur salah satunya adalah glukosa. Yuwanta (2010) berpendapat bahwa putih telur mengandung glukosa bebas dengan konsentrasi dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan plasma darah ayam. Glukosa bebas merupakan energi utama yang digunakan oleh embrio (Yuwanta, 2010). Rendahnya kandungan glukosa ini sesuai dengan kandungan BETN yang lebih rendah jika dibandingkan telur-telur tetas dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu. BETN adalah sumber karbohidrat yang mudah dicerna yang merupakan sumber nutrisi utama bagi embrio selama empat hari pertama inkubasi (North dan Bell, 1990).

Induk ayam Arab yang berumur 36 minggu diduga merupakan umur optimal pembibitan ayam Arab karena induk mampu menghasilkan telur tetas dengan kualitas telur yang baik, yaitu memiliki berat telur, indeks telur, berat kerabang, dan ketebalan kerabang yang ideal serta perkembangan awal embrio yang baik. Tidak ditemukan embrio yang mati pada telur tetas dari induk yang berumur 36 minggu.

(50)

KUALITAS TELUR TETAS DAN PERKEMBANGAN

SOMITE

(TULANG BELAKANG) PADA EMBRIO AYAM ARAB DARI

UMUR INDUK YANG BERBEDA

SKRIPSI FAUZIA NINGSIH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(51)

KUALITAS TELUR TETAS DAN PERKEMBANGAN

SOMITE

(TULANG BELAKANG) PADA EMBRIO AYAM ARAB DARI

UMUR INDUK YANG BERBEDA

SKRIPSI FAUZIA NINGSIH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(52)

RINGKASAN

Fauzia Ningsih. D14080158. 2012. Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan

Somite (Tulang Belakang) pada Embrio Ayam Arab dari Umur Induk yang

Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Maria Ulfah, Spt., M.Sc.Agr. Pembimbing Anggota : Prof. drh. Arief Boedioni, PhD.

Ayam Arab merupakan salah satu ayam lokal pendatang yang berkembang pesat di Indonesia karena memiliki produktivitas yang tinggi. Telur yang dihasilkan ada yang dimanfaatkan sebagai telur konsumsi maupun telur tetas. Kualitas telur tetas salah satunya dipengaruhi oleh umur induk. Telur tetas yang berkualitas baik mampu menghasilkan telur tetas berkualitas dengan viabilitas yang baik, yaitu sehat, aktif dan baik untuk dijadikan ayam Arab penghasil telur konsumsi maupun pedaging. Umur induk juga mempengaruhi sehubungan nutrien yang dibutuhkan embrio selama masa inkubasi. Perkembangan somite (tulang belakang) merupakan perkembangan awal embrio sebelum berkembang menjadi tulang belakang dan otot skeletal. Perkembangan somite pada tiga hari pertama inkubasi merupakan salah satu masa kritis dalam penetasan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh umur induk terhadap kualitas telur tetas dan perkembangan somite pada embrio ayam Arab serta mengetahui umur induk optimum yang baik untuk menghasilkan telur tetas yang berkualitas dan perkembangan somite optimum pada tahap awal perkembangan embrio. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Sembilan puluh sembilan butir telur tetas digunakan pada penelitian ini, sembilan butir telur untuk pengujian kualitas telur dan sembilan puluh butir telur untuk pengamatan kualitas fisik telur dan perkembangan somite. Rancangan Acak Lengkap digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh umur induk terhadap berat telur, indeks bentuk telur, berat kerabang, dan ketebalan kerabang. Data pengamatan jumlah somite dan perkembangan awal embrio dianalisis secara deskriptif. Peubah lainnya yang diamati adalah kualitas pakan induk dan suhu serta kelembaban inkubator.

Kualitas pakan yang diberikan memenuhi standar minimal pakan ayam lokal petelur. Umur induk memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05) pada berat telur tetas dan ketebalan kerabang. Berat telur tetas pada ayam Arab yang berumur 54 minggu (51,86±0,283 gram) lebih besar dari pada berat telur tetas dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu (46,57±0,915 dan 47,57±0,528 gram). Telur tetas dari induk yang berumur 54 minggu lebih tipis (0,319±0,005 mm) dari pada telur tetas dari induk yang berumur 36 dan 42 minggu (0,337±0,005 dan 0,337±0,007 mm). Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada indeks bentuk telur tetas dan berat kerabang (P>0,05).

(53)

dibandingkan dengan 54 minggu. Telur tetas dari induk yang berumur 36 minggu memiliki perkembangan somite yang lebih baik dibandingkan dengan telur tetas dari induk yang berumur 42 dan 54 minggu.

(54)

ABSTRACT

The Hatching Egg Qualities and Somite Development in Arab Chicken Embryos on Different Hen Age

Ningsih, F., M. Ulfah and A. Boediono

Arab chicken is one of the most favorite local layer chicken developed in Indonesia due to their high productivities. The egg qualities are highly influenced by the hen age. Somitogenesis is an early step in chick embryo development. The data of somite development on chick embryo is very limited, especially in Arab chicken. Therefore this research aimed to analyze the influence of hen breeder age on formation of somites. There were 99 eggs from 36, 42, and 54 weeks of hen age will be used in this study. The embryo samples were harvested in 24, 33, and 48 hours after incubation. The Complete Randomized Design was used to analyze exterior and interior of egg qualities such as the egg weight, egg shape index, shell weight and shell thickness. The number of somites will be analyzed descriptively. The results show that hen age had effect significantly the egg weight and the shell thickness (P<0,05). Hen age did not affect the egg shape index and the shell weight (P>0,05). There were died embryos from hen age of 54 weeks (22%) and 42 weeks (15,38%). The embryo from 42 week of hen age developed slower (15,38%) than embryo from 36 and 54 weeks.

Gambar

Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B)
Tabel 1. Karakteristik Fisik Telur Tetas
Tabel 2. Komposisi Kimia Telur Ayam
Tabel 3. Komposisi Ransum Ayam Lokal Periode Bertelur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan nilai korelasi negatif sebesar -0,020 antara umur dengan produksi telur tetas (hatching egg production) parent stock ayam petelur

Penelitian ini menggunakan ayam arab umur 32-38 minggu, pengamatan dilakukan pada kualitas telur eksterior dan interior yang meliputi bentuk telur, kantung

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN..

Faktor lain yang menyebabkan perlakuan suhu kandang tidak berpengaruh terhadap berat putih telur yakni umur ayam Arab yang digunakan masih tergolong muda,

Embrio dari induk berumur 36 minggu memiliki kecepatan perkembangan yang meningkat pada minggu II (Trimester II) inkubasi dan akan menurun atau semakin meningkat

Penelitian bertujuan mengetahui perbedaan bobot telur tetas terhadap bobot tetas dan mortalitas selama 2 minggu pada ayam Kedu Jengger Merah (AKJM) dan ayam Kedu Jengger

Objek yang digunakan dalam penelitian adalah telur tetas yang berasal dari lima jenis induk Ayam Sentul betina yaitu Sentul Debu, Sentul Abu, Sentul Geni, Sentul

Pada hasil fertilitas, daya tetas serta berat netas atas telur ayam arab nyatanya tidak tergantung pada warna bola lampu kuning, hijau serta biru dalam mesin tetas