• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY

TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO

THE EFFECT OF HEN AGE AND SPECIFIC GRAVITY ON

HATCHABILITY AND EMBRYO MORTALITY

M. Reza Ardian*, Dani Garnida**, Iwan Setiawan**

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung – Sumedang KM 21 Sumedang 45363

*Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2016 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

e-mail : rezaardian770@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian mengenai “Pengaruh Umur Induk Itik dan Specific Gravity Terhadap Daya Tetas dan Mortalitas Embrio” telah dilakukan pada tanggal 8 Mei – 8 Juni 2016 di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur induk itik dan specific gravity terhadap daya tetas dan mortalitas embrio (fase early, middle dan late). Penelitian menggunakan 600 butir telur itik lokal (Anas sp.) yang berasal dari umur induk 25-35 minggu 200 butir, 36-55 minggu 200 butir dan 56-65 200 butir. Analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan, yaitu umur induk yang berbeda, terdiri dari P1 (25-35 minggu), P2 (36-55 minggu), P3 (56-65 minggu) dan 5 kelompok specific gravity (SG) yang terdiri dari K1 (SG 1.074), K2 (1.078), K3 (1.082), K4 (1.086) dan K5 (1.090). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap daya tetas dan mortalitas embrio (fase early, middle dan late).

Kata Kunci :umur induk, specific gravity, daya tetas, mortalitas embrio

ABSTRACT

Research about “the effect of hen age and specific gravity on hatchability and embryo mortality” was conducted from 10th

May – 8th June 2016, at Laboratory of Poultry Production, Faculty of Animal Husbandry, Padjadjaran Univesity.. The aim of the research was to know the effect of hen age and specific gravity on hatchability and embryo mortality (early, middle and late phase). Research used 600 eggs of local duck (Anas sp.) from different of hen age 25-35 weeks: 200 eggs, 36-55 weeks 200 eggs and 56-65 weeks 200 eggs. Research design was Randomized Block Design with three treatments of hen age namely P1 (25-35 weeks), P2 (36-55 weeks) and P3 (55-65 weeks) and 5 groups of specific gravity, K1 (SG 1.074), K2 (SG 1.078), K3 (SG 1.082), K4 (SG 1.086), and K5 (1.090). The results showed that hen age and specific gravity have not effect on hatchability and embryo mortality on early, middle and late phase.

(2)

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia sekarang telah banyak membudidayakan ternak itik untuk memenuhi kebutuhan protein, tetapi karena minimnya pengetahuan dan teknologi seakan usaha yang dilakukan kurang maksimal. Untuk meningkatkan peternak itik di Indonesia, maka kita memerlukan kegiatan pembibitan yang dapat menunjang permintaan konsumen akan bibit itik yang berkualitas baik. Salah satu cara yang digunakan untuk menghasilkan dan meningkatkan bibit sebagai cara untuk pengembangan populasi itik adalah dengan cara penetasan.

Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas. Umur induk itik merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan telur menetas. Semakin memasuki puncak maka tingkat persentase menetasnya juga tinggi. Saat pertama kali bertelur biasanya telur itik kecil dan ini merupakan awal belajar itik untuk bertelur. Jika telah memasuki afkir biasanya telur itik besarnya di atas rata-rata. Bobot telur itik yang di bawah atau di atas rata-rata akan mengurangi daya tetas dan tingkat mortalitas embrio.

Tebal tipisnya kerabang telur dapat diketahui atas nilai specific gravity. Semakin tinggi nilai specific gravity maka semakin tebal kerabang. Nilai specific gravity diperoleh melalui metode pengambangan telur dalam larutan garam dengan indikator diperoleh dari hidrometer sebagai alat ukur. Nilai specific gravity muncul akibat adanya daya tekan ke atas dari larutan garam terhadap permukaan telur. Specific gravity yang sama dapat diperoleh dari telur dengan bobot yang berbeda tetapi memiliki ketebalan kerabang yang sama. Begitu pula specific gravity berbeda dapat diperoleh dari telur dengan bobot sama.

Umur induk itik berpengaruh terhadap tebal dan tipisnya kerabang, sedangkan specific gravity merupakan cara alternatif yang digunakan untuk menentukan ketebalan kerabang telur. Jadi, daya tetas dan mortalitas embrio dapat dipengaruhi oleh umur induk karena ketebalan kerabang mempengaruhi daya serap panas dan penguapan air pada telur. Kerabang tipis dapat mempercepat penguapan isi telur sedangkan kerabang terlalu tebal dapat menyebabkan telur kurang terpengaruhi temperatur penetasan. Keadaan tersebut dapat mengganggu perkembangan embrio. Berarti setiap kenaikan dan penurunan nilai specific gravity memiliki hubungan dengan daya tetas dan mortalitas embrio.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh umur induk itik dan specific gravity terhadap daya tetas dan mortalitas embrio.

(3)

BAHAN, ALAT DAN METODE 1. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu 600 butir telur tetas itik pajajaran. Garam, air formalin dan kalium permanganat. Peralatan yang digunakan yaitu mesin tetas tipe Agitated kapasitas 600 butir, candler untuk mengetahui fertilitas telur, hydrometer skala 0,001 untuk mengukur nilai specific gravity larutan, alat tulis dan kamera.

2. Metode Penelitian a. Prosedur Penelitian

Mempersiapkan telur itik sebanyak 600 butir yang berasal dari induk berumur 25 – 35 minggu, 36 – 55 minggu dan 56 – 65 minggu, pembuatan larutan garam, Pengukuran nilai specific gravity telur, Pemberian nomor pada telur, fumigasi mesin tetas.

Memasukkan telur ke dalam mesin tetas dan dibagi berdasarkan umur induk pada mesin tetas, Telur diputar secara otomatis dari hari ke-2 sampai hari ke-25 dengan frekuensi pemutaran satu jam sekali, Candling dilakukan hari ke-7 untuk mengetahui fertilitas telur dan kematian embrio, hari ke-14 dan ke-21 untuk mengetahui embrio yang mati, Pengamatan mulai dilakukan pada hari ke-26 untuk melihat telur-telur yang menetas.

b. Peubah yang diamati 1. Daya tetas

Daya tetas diukur dengan cara menghitung persentase telur yang menetas dari sejumlah telur fertil yang ditetaskan.

2. Mortalitas embrio

Mortalitas embrio diukur dengan cara menghitung persentase jumlah telur yang mati dari jumlah telur yang fertil.

Ada 3 tahap periode kematian embrio 1. Early mortality

Kematian terjadi satu minggu pertama periode inkubasi (hari 1-7). 2. Middle mortality

Kematian terjadi diantara fase early sampai fase late (hari 8-25). 3. Late mortality

Kematian terjadi tiga hari terakhir periode inkubasi (hari 26-28). c. Analisis Statistik

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas

Daya tetas merupakan banyaknya telur yang menetas dari sejumlah telur yang fertil. Data daya tetas pada penelitian ini dihitung dengan cara menghitung banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil. Persentase daya tetas telur berdasarkan pengaruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas

Kelompok Perlakuan (Spesific Gravity) P1 P2 P3 ……….. (%) ...………. K1 8.33 6.67 11.67 K2 12.19 13.74 21.05 K3 13.33 5 23.81 K4 17.24 15.49 25 K5 7.65 16.67 3.7 58.74 57.57 85.23 11.75 11.51 17.05

Keterangan P1: Umur induk 25-35 mg; P2: Umur induk 36-55 mg; P3: Umur induk 56-65 mg; K1: SG 1,074; K2: SG 1,078; K3: SG 1,082 K4: SG 1.086; K5: SG 1.090

Berdasarkan hasil analisis statistik, umur induk dan specific gravity tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap daya tetas. Daya tetas dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh umur induk dan juga specific gravity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tetas pada fase puncak dan produksi sangat rendah dan berada dibawah rata-rata. Daya tetas pada penelitian ini berada pada kisaran 11-17%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Meliyati (2013) bahwa daya tetas telur itik mojosari berkisar antara 68,89% dan 74,70%. Hasil penelitian ini jauh lebih rendah dari hasil penelitian Meliyati (2013).

Rendahnya daya tetas dipengaruhi oleh ketidakstabilan tegangan listrik yang menyebabkan suhu dari mesin tetas tidak stabil. Suhu dan kelembaban selama masa pengeraman dapat memengaruhi daya tetas dan kualitas anak itik yang dihasilkan. Suhu yang baik untuk pertumbuhan embrio berkisar antara 35 - 37°C (Jasa, 2006), sedangkan pada hari ke-14 dan hari ke-21, suhu menurun hingga 33°C, dan menyebabkan pertumbuhan embrio menjadi lambat (Jasa, 2006). Kelembaban yang optimal berkisar antara 65-70%, agar tidak terjadi penguapan berlebihan (Shanaway, 1994) sedangkan kelembaban pada saat penelitian berkisar antara 55-65%. Kelembaban pada periode hatcher mempunyai peran penting dalam membantu embrio dalam proses penetasan, karena itu kelembaban ditinggikan pada periode

(5)

hatcher agar embrio dapat memecahkan kerabang telur yang keras sehingga memudahkan embrio dalam melakukan pipping. Hal ini sesuai pendapat Ningtyas, dkk. (2013) kegagalan menetasnya telur saat memasuki periode hatcher dapat disebabkan karena belum sempurnanya pembentukan embrio dan kurangnya kelembaban pada mesin tetas sehingga DOD tidak dapat memecahkan cangkang telur dan melakukan piping.

2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Embrio “Fase Early”

Mortalitas embrio fase early merupakan banyaknya embrio yang mati pada masa setter atau 7 hari di awal masa inkubator, yaitu dari hari ke 1-7. Data Mortalitas embrio fase early berdasarkan pengaruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Embrio “Fase Early”

Kelompok Perlakuan (Spesific Gravity) P1 P2 P3 ……….. (%) ...………. K1 16.67 33.33 20 K2 46.34 37.5 15.79 K3 30 37.5 28.57 K4 27.59 26.76 15.91 K5 25 27.8 37.04 145.6 162.89 117.31 29.12 32.58 23.46

Berdasarkan hasil analisis statistik, umur induk dan specific gravity tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap mortalitas embrio fase early. Tabel 2 menunjukkan bahwa mortalitas embrio fase early pada umur muda dan puncak lebih tinggi dari umur tua. Rata-rata mortalitas embrio fase early dalam penelitian ini adalah berkisar 23-32%.

Mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh perubahan lingkungan serta terjadi perubahan fisiologis. Perubahan tegangan listrik pada saat penelitian menyebabkan perubahan lingkungan penetasan. Embrio pada fase ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan serta terjadi perubahan fisiologis. Ini sesuai pendapat Paimin (2004) kegagalan pada penetasan banyak terjadi pada periode kritis yaitu tiga hari pertama sejak telur dieramkan dan tiga hari terakhir menjelang menetas.

Keberhasilan penetasan tergantung dari suhu, kelembaban, frekuensi pemutaran telur, ventilasi dan kebersihan telur (Tullet, 1990). Perubahan tegangan listrik menyebabkan suhu dalam mesin tetas berubah. Susanto (2013) menyatakan bahwa kondisi suhu mesin tetas yang tidak merata kemungkinan dapat menimbulkan kematian DOD. Hal ini juga menyebabkan

(6)

kondisi lingkungan (kelembaban dan temperatur) tidak stabil, karena pada hari 1-7 merupakan fase kritis dalam pertumbuhan embrio (Prasetyo dan Susanti, 2000). Hal ini menyebabkan pertumbuhan embrio menjadi terganggu sehingga membuat perkembangan organ-organnya tidak proporsional. Telur yang kurang terpengaruhi oleh temperatur akan membuat embrio sulit berkembang dan akhirnya mati (Mc. Daniel dkk., 1979).

3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Embrio “Fase Middle”

Mortalitas embrio fase middle merupakan banyaknya embrio yang mati diantara fase early sampai fase late. Fase middle pada itik yaitu dari hari ke-8 sampai hari ke-25 masa inkubasi. Mortalitas embrio pada fase middle persentase kematiannya harus lebih sedikit dibandingkan pada fase early dan late (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Embrio “Fase Middle”

Kelompok Perlakuan (Spesific Gravity) P1 P2 P3 ……….. (%) ...………. K1 8.33 33.33 20 K2 21.95 25 15.79 K3 26.67 30 23.81 K4 20.69 14.08 4.54 K5 50 5.55 7.41 127.64 107.96 71.55 25.28 21.59 14.31

Berdasarkan hasil analisis statistik, Umur induk dan specific gravity tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap mortalitas embrio fase middle, dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa mortalitas embrio fase middle pada umur muda dan puncak lebih tinggi dari umur tua. Rata-rata mortalitas embrio fase middle adalah P1 25,28%, P2 21,59% dan P3 14,31%.

Mortalitas yang tinggi pada penelitian ini disebabkan oleh ketidakmampuan embrio mengabsorbsi kuning telur. Telur yang mati kemudian dipecahkan terlihat embrio yang mati pada fase middle ini umumnya karena ketidakmampuan mengabsorbsi kuning telur, ini sesuai dengan pendapat Woodard (1973) Kematian embrio umumnya disebabkan embrio tidak mampu membentuk organ-organ penting atau organ-organ tersebut tidak berfungsi dengan baik. Kematian embrio terjadi akibat ketidakmampuan menyerap albumen yang tersisa dan mengabsorbsi kantong yolk (kuning telur).

(7)

Faktor lain yang mempengaruhi adalah penanganan eksplode atau meletusnya telur ternyata juga harus diperhatikan saat proses penetasan berlangsung. Kejadian eksplode ini terjadi pada hari ke-20 pada saat penelitian, karena embrio yang telah mati tidak segera diketahui sehingga terjadi pembusukan. Pembusukan ini terjadi karena tingginya kelembaban yang menyebabkan adanya pertumbuhan bakteri. Bakteri pada embrio yang mati mengeluarkan CO2, NH3, dan H2S yang akan menyebabkan telur meletus (Widyaningrum,

dkk, 2012). Kejadian eksplode di dalam mesin tetas ini akan menimbulkan percikan yang dapat menempel ke telur lain sehingga embrio yang terdapat didalam telur tersebut akan mati. Hal ini didukung oleh Fitri (2007) yang menyebutkan bahwa telur merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme, karena telur mengandung senyawa-senyawa yang dapat menjadi sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada telur.

4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas embrio “Fase Late”

Mortalitas embrio fase late merupakan banyaknya embrio yang mati pada masa hatcher atau tiga hari akhir masa inkubator, yaitu dari hari ke 26-28. Data mortalitas embrio fase late berdasarkan pengaruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Embrio “Fase Late”

Kelompok Perlakuan (Spesific Gravity) P1 P2 P3 ……….. (%) ...………. K1 66.67 26.67 48.33 K2 19.51 37.5 47.37 K3 30 27.5 23.81 K4 34.48 43.67 54.54 K5 25 33.33 51.85 175.66 168.67 225.9 35.13 33.73 45.18

Berdasarkan hasil analisis statistik, umur induk dan specific gravity tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap mortalitas embrio fase late. Banyaknya embrio yang mati pada fase ini dikarenakan pada tiga hari sebelum menetas merupakan masa-masa kritis bagi embrio. Embrio pada fase ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan serta terjadi perubahan fisiologis. Hal ini sesuai dengan pendapat Paimin (2004) kegagalan dalam penetasan banyak terjadi pada periode kritis yaitu tiga hari terakhir menjelang menetas. Periode kritis ini terjadi akibat perubahan fisiologis embrio yang sudah sempurna menjelang

(8)

penetasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noble dkk (1986) menyatakan bahwa kematian lebih tinggi embrio diakibatkan karena tidak memadainya asimilasi lipid pada minggu terakhir inkubasi. Penurunan penggunaan lemak pada yolk dapat menyebabkan kadar air yang lebih rendah pada tahap akhir.

Kelembaban pada penelitian ini berkisar antara 80-90% 3 hari terakhir menjelang penetasan, sehingga menyebabkan peningkatan mortalitas embrio. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robertson (1961) yang menyatakan bahwa kelembaban diatas 80% akan meningkatkan mortalitas. Kelembaban yang tinggi itu mengakibatkan embrio mengalami stres osmotik (Peebles, dkk., 2001). Kelembapan yang tinggi ini juga mempengaruhi kemampuan DOD untuk pipping dan tumbuh jamur dalam telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusandih (2001) dalam Ningtyas (2013) bahwa kebanyakan embrio tumbuh dan berkembang secara normal, tetapi tidak memiliki upaya untuk menerobos kerabang, karena nutrisi embrio yang buruk. Kulit telur yang terlalu lembab akan mempermudah tumbuh jamur ataupun kuman salmonella yang masuk kedalam telur dan membunuh embrio, ataupun anak itik akan mengalami kesulitan dalam mematuk kulit telur dan bahkan air masuk kedalam hidung dan dapat mematikan anak itik (Jasa, 2006).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa umur induk itik dan specific gravity tidak berpengaruh terhadap daya tetas dan mortalitas embrio.

SARAN

Teknis dalam penetasan itu sangat perlu diperhatikan, terutama dalam masalah mesin tetas dan ketidakstabilan tegangan listrik. Telur yang ingin ditetaskan juga perlu diperhatikan penanganan sebelum dan setelah telur dimasukkan ke dalam inkubator. Selain itu perlu adanya penambahan umur induk dan specific gravity yang lebih banyak untuk mengetahui pengaruh nyata pada daya tetas dan mortalitas embrio.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pembimbing utama, Ir. Dani Garnida, M.S. dan pembimbing anggota, Dr. Ir. Iwan Setiawan, DEA. yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya untuk membimbing.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Fitri. A. 2007. Pengaruh penambahan daun salam (Eugenia polyantha Wight) terhadap kualitas mikrobiologis, kualitas organoleptis dan daya simpan telur asin pada suhu kamar. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (5): 6-28.

Jasa, L., 2006. Pemanfaatan Mikrokontroler Atmega 163 Pada Prototipe Mesin Penetasan Telur Ayam. Jurnal Teknologi Elektro Vol 5 (1):30-36.

Mc Daniel,G. R., D. A. Roland and. MA. Coleman. 1979. The Effeck of Eggs Shell Quality on Hatchabillity and Embrionic Mortality. Poultry Science. 58 : 10 -13. Meliyati, N. 2013. Pengaruh Umur Telur Tetas Itik Mojosari dengan Cara Penetasan

Kombinasi Terhadap Fertilitas dan Daya Tetas. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Noble, R. C., F. Lonsdale, K. Conner, and D. Brown, 1986. Changes in the lipid metabolism of the chick embryo with parental age. Poultry Sci. 65:409– 416.

Ningtyas, M. S., Ismoyowati dan Ibnu H. S. 2013. Pengaruh Temperatur Terhadap Daya Tetas dan Hasil Tetas Telur Itik (Anas Plathyrinchos). Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1): 347-352.

Peebles E. D., Burnham M. R., Gardner C. W., Brake J., Bruzual J. J., and Gerard P.D. 2001. Effects of Incubational Humidity and Hen Age on Embryo Composition in Broiler Hatching Eggs from Young Breeders. Department of Poultry Science, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina.

Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan timbale balik antara itik Alabio dan Mojosari Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner , Vol. 5, No. 4 : 210 -213.

Robertson, I. S., 1961. Studies on the effect of humidity on the hatchability of hen’s eggs. II. A comparison of hatchability, weight loss and embryonic growth in eggs incubated at 40 and 70% RH. J. Agric. Sci. 57:195–198.

Shanawany. 1994. Quail Production Systems. FAO of The United Nations. Rome.

Susanto, S. 2013. Teknik Penggunaan Mesin Tetas Secara Sederhana. Badan Litbang Pertanian. BPTP Kalimantan Selatan.

Tullett, S. G., 1990. Science dan the art of incubation. Pult. Sci. 69 : 1-15

Widyaningrum, A., Sudjarwo, E dan Achmanu, Z. 2012. Pengaruh jenis bahan dan frekuensi penyemprotan terhadap daya tetas, bobot tetas, dan dead embryo telur itik khaki Campbell. Journal Indonesia Tropic Animal Agriculture. 6 (2): 2-13.

(10)

Woodard, A.E., H. Abplanalp, W.O. Wilson and P.Vohra. 1973. Japanese Quail Husbandry in Laboratory. Departement Of Avian Science University Of California.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan:    Setelah Setelah melaksanakan melaksanakan PI/PKL PI/PKL mahasiswa mahasiswa memahami tentang manajemen perusahaan/dunia industri memahami tentang manajemen

Di Pulau Barrang Lompo, kepadatan landak laut ditemukan pada kondisi lamun yang rapat, terutama pada padang lamun yang didominasi oleh T.. Kondisi lamun tidak

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kuliah sambil bekerja paruh waktu memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap prestasi nilai

Pada awalnya yang paling banyak digunakan dalam aplikasi mesin listrik yang membutuhkan pengaturan kecepatan dan torsi dengan kehandalan yang tinggi adalah motor DC karena fluks

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala atas berkah rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik guna memperoleh

Responsiveness, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap kepada pelanggan, meliputi kesigapan karyawan dalam

Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap paling terbaik, hasil tes (bukan nilai), atau informasi lain yang relevan

Pada penelitian Nurul Badriyah (2010) variabel yang digunakan yaitu persepsi yang berpengaruh terhadap perilaku wirausaha, sedangkan peneliti sekarang memasukan variabel