• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN LITERATUR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1. Service

Quality

(Kualitas Pelayanan)

Di zaman industri sekarang ini perusahaan juga memproduksi produk-produk yang tidak berwujud atau biasa disebut dengan jasa.

Menurut Kotler (2008:486) adalah:

“Jasa adalah tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan / tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.”

Sedangkan menurut Lovelock (2002:5):

“A service is an economic activity thae creates value and provides benefit for customers at a specific time and place, by bringing about a desired change in, or an behalfoy the recipient of the service.”

Dari definisi tersebut, jasa adalah suatu kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai dan memberikan manfaat bagi para konsumen pada waktu dan tempat tertentu, dengan menyediakan semua atau sebagian keinginan dari penggunaan jasa tersebut. Berdasarkan definisi-definisi diatas, tampak bahwa di dalam jasa selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak-pihak yang terlibat tidak menyadarinya, Jasa juga bukan merupakan barang, jasa adalah suatu proses atau aktivitas, dan aktivitas aktivitas tersebut tidak berwujud.

Produk jasa juga memiliki beberapa karakter. Menurut Kotler (2008:43), terdapat empat karakteristik jasa yaitu: a) Tidak berwujud (intangibility). Suatu jasa mempunyai

(2)

sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan dan dinikmati sebelum diberi oleh konsumen. b) Tidak dapat dipisahkan (inseparability). Pada umumnya jasa yang diproduksi dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, maka dia akan tetap merupakan bagian dari jasa tersebut. c) Bervariasi (variability). Jasa senantiasa mengalami perubahan tergantung dari siapa penyedia jasa dan penerima jasa dan kondisi dimana jasa tersebut diberikan. d) Tidak tahan lama (perishability). Daya tahan suatu jasa sangat tergantung suatu situasi yang diciptakan oleh berbagai faktor. Kualitas jasa yang diterima oleh konsumen sangatlah penting, oleh karena itu dalam mengeluarkan kualitas jasa, perusahaan harus dapat mengidentifikasi jasa/pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen.

Kualitas merupakan salah satu dimensi yang menentukan penilaian kepuasan. Menurut Kotler (2008:174) kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik dari produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memuaskan keinginan yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti menunjukkan bahwa fitur produk atau jasa menentukan kualitas yang kemudian memuaskan kebutuhan konsumen.

Zeithaml (2000:234-236), mengemukakan lima dimensi dalam menentukan kualitas pelayanan jasa, yaitu: a) Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan, ketepatan pelayanan. b)

Responsiveness, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap kepada pelanggan, meliputi kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan menangani proses perawatan, penanganan keluhan pelanggan. c) Assurance, meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan terhadap produk atau jasa secara tepat, keramah-tamahan, perhatian dan

(3)

kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan memberikan keamanan didalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.

Dimensi ini merupakan gabungan dari dimensi: a) Competence (kompetensi), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan. b) Courtesy (kesopanan), meliputi keramahan , perhatian dan sikap karyawan, contoh: resepsionis, dan Iain-lain. c). Credibility (kredibilitas), meliputi kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya. d) Emphaty,

yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan menghubungi perusahaan, berkomunikasi dengan pelanggan, dan memahami kemginan dan kebutuhan pelanggannya.

Dimensi emphaty ini merupakan gabungan dari dimensi:a) Accees (akses), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan perusahaan, lokasinya mudah dijangkau. akses telepon tidak terlalu sibuk, pelanggan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan pelayanan. b) Communication (komunikasi), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan, memperoleh masukan dari pelanggan, mampu menjelaskan tentang biaya layanan dan mampu mengatai masalah pelanggan. c) Understanding the customer (pemahaman pada pelanggan), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. d) Tangible, meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan tersedianya tempat parkir, kebersihan dan kerapian serta kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan dan penampilan karyawan. Kualitas pelayanan juga tergantung pada pelayanan yang didefinisikan oleh pelanggan, seperti pelanggan menilai seberapa

(4)

benar diagnosa dari dokter, dan bagaimana dokter tersebut dapat memberikan kepuasan bagi sang pasien terutama tentang pelayanannya dan apabila ternyata dokter tersebut dapat memberikan performance yang baik maka pelanggannya akan merasa puas (Lovelock, 2001:24). Perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan harus mendengarkan kebutuhan pelanggan dan berupaya untuk memenuhinya, dimana hal ini sangat berguna untuk perkembangan perusahaan itu dan dapat memberikan masukan-masukan yang membangun bagi perusahaan serta dapat memberikan saran yang berguna untuk peningkatan pelayanan (Cook, 1997:24).

Dalam hal pengendalian kualitas, perusahaan jasa dapat mengambil dua langkah pokok, yaitu: a) Menyeleksi dan melatih karyawan agar lebih terampil dalam memahami dan mengerjakan tugasnya. b) Selalu memantau perkembangan tingkat kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survey pasar dan saling membandingkan jasa yang dihasilkan dengan pesaing sehingga kualitas pelayanan yang kurang baik dapat dihindari dan dapat diperbaiki.

Kualitas pelayanan jasa juga dapat ditingkatkan dengan memberikan nilai tambah bagi pelanggan dalam arti memberikan pelayanan-pelayanan yang baru dan atraktif. Contohnya: adanya after sales service yang ditawarkan seperti pengurusan klaim asuransi yang biasanya dilakukan oleh agen asuransi tersebut.

Sedangkan menurut Han dan Leong, menyatakan bahwa suatu perusahaan akan berhasil apabila perusahaan tersebut dapat menyenangkan pelanggannya, yang diawali dengan peduli pada pelanggannya dan bukan hanya melalui senyuman serta mengatakan kata-kata yang manis kepada pelanggan,

(5)

tetapi lebih dari itu perusahaan harus dapat mengetahui keinginan pelangggannya, memudahkan prosedur kepada pelanggan, dan menciptakan atau mengembangkan

customer loyalty atau kesetiaan pelanggan (Han dan Leong, 1996:4). Pentingnya kualitas pelayanan jasa yang potensial yaitu bagaimana caranya perusahaan dapat mengatur atau memunculkan image pelayanan yang baik kepada pelanggannya, seperti bagaimana perusahaan dapat menyampaikan pelayanan secara tangible atau memberikan fasilitas fisik yang mengesankan sebagai indikator kualitas pelayanan jasa. Apabila perusahaan mampu melakukan hal ini maka hal ini akan menjadi keunggulan dari perusahaan tersebut, jika perusahaan menawarkan posisi pelayanan yang berkualitas tinggi maka perusahaan mungkin saja menawarkan harga yang lebih tinggi daripada pesaing dan hal ini tidak menjadi hambatan bagi pelanggannya karena perusahaan tersebut dinilai memiliki kualitas pelayanan yang terbaik menurut pelanggannya (Lovelock, 2001:45).

2.2 Kepuasan

Pelanggan

Tujuan dasar dari suatu bisnis adalah mampu menciptakan customer satisfaction

karena jika customer satisfaction dapat tercipta maka hal ini akan membawa beberapa manfaat terhadap pelanggan dan juga pelaku bisnis. Di antaranya hubungan antara konsumen dan perusahaan menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut dan pada akhirnya konsumen akan menjadi loyal dengan perusahaan.Pengertian secara umum mengenai kepuasan atau ketidakpuasan konsumen adalah hasil dari adanya perbedaan-perbedaan

(6)

antara harapan konsumen dengan kinerja yang dirasakan oleh konsumen tersebut.

Customer satisfaction merupakan suatu output, yang dihasilkan dari perbandingan konsumen setelah melakukan pembelian dari suatu harapan kinerja dengan kinerja sebenarnya dan timbulnya biaya (Churcill dan Surprenant, 1982 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005). Teori mengenai customer satisfaction digunakan dalam dua cara yang berbeda : transaksi dan umum (Yi, 1991 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005). Konsep dari transaksi khusus berhubungan dengan customer satisfaction sebagai suatu bentuk penilaian yang dibuat setelah suatu tujuan pembelian tertentu. Customer satisfaction

keseluruhan mengacu pada penilaian konsumen terhadap suatu merek, berdasarkan pada pertemuan dan pengalaman (Johnson dan Fornell, 1991 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005). Didalam kenyataannya, seluruh bentuk kepuasan dilihat sebagai suatu fungsi dari seluruh kepuasan terhadap transaksi tertentu (Jones dan Suh, 2000 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005).

Customer satisfaction secara keseluruhan merupakan seluruh bentuk evaluasi yang berdasarkan pada pembelian total dan pengalaman konsumen dengan barang atau jasa didalam suatu waktu. Yang dimana kepuasan dari transaksi khusus akan memberikan suatu informasi diagnosa mengenai suatu produk tertentu atau pelayanan jasa, kepuasan keseluruhan lebih merupakan suatu dasar pengukuran dari pengalaman dengan perusahaan di masa lalu, saat ini dan kinerja yang akan datang (Anderson, 1994 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005). Hal ini karena konsumen melakukan evaluasi pembelian kembali dan keputusannya berdasarkan pada pembelian dan pengalaman konsumsi yang ada, tidak hanya pada suatu transaksi khusus atau episode (Johnson, et al, 2001, p. 219 dalam Aydin, Ozer dan Orasil, 2005).

(7)

Customer satisfaction sangat tergantung pada pandangan dan harapan konsumen atau konsumen itu sendiri. Kebutuhan dan keinginan yang dirasakan oleh konsumen tersebut pada saat melakukan pembelian suatu produk atau jasa, pengalaman masa lalu saat menggunakan produk atau jasa tersebut, serta pengalaman dari rekan-rekan, teman atau kerabat yang telah menggunakan produk atau jasa tersebut, dan juga periklanan, dapat dikatakan sebagai faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh yang sangat penting terhadap pandangan dan harapan konsumen ketika melakukan pembelian atas sebuah produk atau jasa.

Dari beberapa penjelasan yang ada mengenai customer satisfaction yang telah diteliti dan didefinisikan oleh para ahli pemasaran, dapat disimpulkan bahwa customer satisfaction merupakan sebuah tanggapan akan perilaku konsumen yang dapat dilihat dalam bentuk evaluasi purna pembelian terhadap suatu produk atau jasa yang dirasakannya (kinerja produk) dibandingkan dengan harapan konsumen.Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa customer satisfaction merupakan perasaan senang atau kekecewaan seseorang yang dihasilkan dari perbandingan tampilan produk dalam hubungannya terhadap harapannya.

2.3. Loyalitas

Pelanggan

Customer Loyalty terbentuk karena konsumen merasa puas dengan suatu produk barang/jasa tertentu. Oleh sebab itu, konsumen yang loyal kecil kemungkinannya untuk melakukan brand switching. Karena dalam membuat keputusan switching, konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan (satisfaction) dan kegunaan (utility) mereka dalam menentukan pilihan (Luce 1998; Simonson

(8)

1992).

Customer Loyalty mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek dari suatu produk (barang atau jasa). Kesetiaan dari seorang konsumen dapat tercipta ketika konsumen tersebut menjadi penyokong bagi suatu perusahaan atau organisasi tanpa adanya dorongan dari perusahaan atau organisasi tersebut.

Menurut Brown (2000 : 55), pengertian Customer Loyalty sebagai berikut:

“Customer Loyalty is actually the result of an organization creating a benefit for a customer so that they will maintain or increase their purchases form the organization”.

Jadi, definisi dari Customer Loyalty tersebut adalah hasil dari perusahaan atau organisasi dalam menciptakan manfaat bagi konsumen sehingga mereka akan mempertahankan dan meningkatkan pembelian mereka dari perusahaan atau organisasi tersebut.

Adapun pengertian lain dari Customer Loyalty menurut Tjiptono (2000:110) adalah sebagai berikut:

“Loyalitas konsumen dapat didefinisikan sebagai komitmen konsumen terhadap suatu merek, toko/pemasok berdasarkan sikap yang positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten”.

Dari pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa kesetiaan dari konsumen terbentuk dari adanya komitmen terhadap suatu merek dan toko / pemasok yang dimana sikap yang diberikannya lebih cenderung positif sehingga konsumen secara konsisten melakukan pembelian yang berulang kali.

(9)

perilaku (Dick dan Basu, 1994:100) seperti yang dikutip oleh Suryani (1998:31)

Customer Loyalty lebih jauh lagi melibatkan dimensi sikap. Adapun faktor-faktor

antecedent yang merupakan komponen dari sikap yang berpengaruh dalam pembentukan

Customer Loyalty menurut Dick dan Basu (1999:85) adalah sebagai berikut:

1. Cognitive Antecedent. Dalam hal ini unsur-unsur dari aspek kognitif yang berupa pikiran dan segala proses yang terjadi di dalamnya mencakup : (a) Accessibility. Hal ini mengacu pada kemampuan perusahaan dalam menjangkau atau mencapai dan melayani tingkat segmen pasar atau segmen yang ditargetkan secara ekonomis. (b)

Confidence. Keputusan konsumen mengenai kebenaran sikap yang dimilikinya. (c).

Centrality. Pengetahuan atau segala sesuatu yang diharapkan konsumen tentang merek yang akan mereka gunakan. d) Clarity. Kejelasan mengenai sikap terhadap suatu produk atau jasa.

2. Affective Antecedent. Kondisi emosional yang merupakan komponen dari sikap akan membentuk Customer Loyalty, yaitu meliputi : (a) Emotions. Hal ini mengacu pada kerterlibatan yang tinggi dan biasanya berhubungan dengan perasaan atau emosi yang mendalam seperti kegembiraan, ketakutan, pengharapan dan sebagainya yang berkaitan dengan pembelian atau kepemilikan tertentu. (b) Feeling state/ mood. Feeling state/ mood adalah variasi sementara tentang bagaimana perasaan seseorang yang berkisar senang atau bahagia. (c) Primary affect. Perasaan yang diungkapkan secara spesifik apakah itu positif atau negatif dan secara khas diwakili oleh tanda seperti senang atau sedih dan bahagia atau tidak bahagia. (d) Satisfaction. Perasaan seseorang atas hasil menggembirakan atau kecewa dari perbandingan mengamati kinerja atau hasil produk yang dihubungkan dengan pengharapannya.

(10)

3. Behavioral Antecedent. Kondisi merupakan kecenderungan yang ada pada konsumen untuk melakukan tindakan tertentu. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecenderungan konsumen untuk berperilaku yang menunjukkan loyalitas terhadap suatu merek, yaitu : (a) Switching cost. Biaya yang dikeluarkan setelah menggunakan suatu produk atau berpindah ke produk lain. (b). Sunk cost Setiap pengeluaran pada faktor input dapat digunakan untuk tujuan-tujuan lain atau tidak dapat dijual kembali dengan mudah.(c) Expectation. Sebagai harapan yang dipercaya konsumen yang seharusnya akan terjadi dari produk jasa yang diberikan perusahaan.

Customer Loyalty mencakup dua komponen yang penting, yaitu loyalitas sebagai perilaku dan loyalitas sebagai sikap kombinasi. Kedua komponen tersebut menghasilkan empat situasi kemungkinan loyalitas. Adapun keempat situasi kemungkinan loyalitas menurut Nasution (2002:50), adalah sebagai berikut: (a). No Loyalty (ketidaksetiaan) Kelompok konsumen yang tidak memiliki kesetiaan adalah konsumen yang frekuensi pembelian ulangnya rendah dan sikapnya juga rendah.(b). Spurious loyalty (kesetiaan yang palsu). Kelompok konsumen yang kesetiaannya palsu merupakan konsumen yang berulang kali melakukan pembelian tetapi sikap terhadap merek relative rendah. (c)

Latent loyalty (kesetiaan yang tersembunyi). Konsumen mempunyai kesetiaan yang sembunyi banyak terjadi karena pengaruh dari lingkungan pasar dimana norma-norma dan situasi social kurang mendukung konsumen untuk melakukan pembelian ulang. (d)

Loyalty (kesetiaan yang loyal) Konsumen yang setia adalah yang sikapnya terhadap merek kuat serta pembelian ulang yang dilakukan juga kuat. Situasi ini merupakan situasi yang paling ideal yang diharapkan para pemasar, dimana konsumen bersikap positif terhadap produk atau produsen dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten.

(11)

Customer Loyalty pada dasarnya kepada suatu hubungan jangka panjang antara perusahaan dengan konsumennya. Banyak ahli yang menghubungkan antara konsep kepuasan dengan kesetiaan pembelian ulang, yang merupakan salah satu cermin konsumen yang setia, namun lebih melibatkannya komponen sikap dan keperilakuan atau konsumen tersebut.

2.4. Switching

Barrier

Menurut Kotler (2003), dari segi biaya, mempertahankan pelanggan lebih krusial daripada menarik pelanggan baru karena untuk mengakuisisi pelanggan baru lima kali lebih besar daripada biaya untuk mempertahankan pelanggan lama. Kotler juga mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mempertahankan pelanggan adalah dengan menciptakan hambatan (switching barrier) ke produk pesaing. Pelanggan cenderung tidak beralih ke produk atau merek lain jika untuk beralih terkesan adanya berbagai resiko serta ketidak pastian yang tinggi.

Kondisi yang menyebabkan adanya hambatan dari hubungan sikap dan perilaku (Rangkuti 2002) adalah:

1. Harga

Kenaikan harga pada merek yang disukai mungkin dapat menyebabkan konsumen berpindah merek tanpa suatu perubahan sikap. Selain itu, promosi harga khusus atau penawaran yang lebih baik daripada merek pesaing juga dapat menyebabkan konsumen membeli merek yang kurang disukai.

2. Ketersediaan produk

(12)

kurang disukai tanpa adanya perubahan sikap. 3. Perubahan kondisi pasar

Pengenalan produk baru atau merek yang ada dapat menyebabkan konsumen mengubah rencana pembeliannya

Dari penjelasan di atas, switching barrier untuk pelanggan jasa nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Terdapat beberapa sejumlah alasan mengenai perlunya perhatian yang lebih serius dari manajemen terhadap switching barrier dalam organisasi jasa. Pertama, karena sifat jasa intangibel dan interaktif (relative face-to-face), proses produksi dan konsumsinya relatif simultan, sehingga memerlukan konsumen hadir di pabrik jasa, maka kegagalan pelayanan akan memberi kesan emosional yang mendalam, dan sangat mungkin, akan diingat dalam waktu yang lama. Sementara ahli menyatakan bahwa kegagalan pelayanan dapat merusak reputasi organisasi. Kedua, dari sisi pelanggan, pengalaman emosional negatif, selain menjadi pemicu perpindahan ke pesaing, dapat juga menjadi sumber modifikasi ekspektasinya dimasa datang sekaligus memperlebar dan meperdalam kriteria yang digunakan dalam pencarian (informasi dan organisasi) alternatif sebagai mekanisme untuk mengurangi resiko dari pembuatan keputusan pembelian dimasa datang. Dengan kata lain, pengalaman negatif membuat konsumen memiliki keterlibatan yang tinggi ketika membuat keputusan pembelian.

Menurut Skogland et al. (2004), keterlibatan yang tinggi akan mengakibatkan loyalitas rendah dan sebaliknya. Salah satu solusi untuk mencegah munculnya persoalan-persoalan seperti tersebut di atas, Lovelock (1992) menyarankan digunakannya tiga fungsi manajemen pemasaran, operasi, dan sumber daya manusia (disebut sebagai trinitas jasa) yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya ketika organisasi menciptakan dan

(13)

menyajikan jasanya kepada para pelanggan. Oleh karena itu, khususnya bagi organisasi jasa yang padat karya dan tingkat kontak antara karyawan dan konsumennya tinggi, harus memiliki strategi pemasaran internal yang kuat, sehingga membuat semua karyawan atau operasi jasa berorientasi kepada konsumen. Alasannya adalah apabila diperlakukan dengan tepat, para karyawan akan memperlakukan konsumen secara tepat. Kalau demikian adanya berarti pemasaran internal dapat dijadikan basis bagi upaya penegakan

switching barriers.

Patterson (2004) mengusulkan sejumlah barrier untuk mencegah pindahnya pelanggan, seperti membangun hubungan interpersonal yang kuat dengan pelanggan, memilih menawarkan jasa yang supplier alternatifnya sedikit, membebankan biayabiaya persiapan dan penalti finansial yang tinggi untuk perpindahan dini. Semuanya itu merepresentasikan biaya (psikologis dan ekonomis) yang dimaksudkan sebagai strategi unik untuk mencegah perpindahan pelanggan ke jasa lain. Arti praktisnya adalah apabila pada suatu kondisi tertentu seorang pelanggan merasa tidak puas terhadap jasa yang dikonsumsinya, ia akan tetap meneruskan hubungan dengan organisasi jasa yang mengecewakannya itu karena biaya perpindahannya terlalu tinggi dan/atau karena telah memiliki hubungan personal yang baik. Menurut Jones dan Sasser (1995), program loyalitas pelanggan memiliki potensi sebagai strategi untuk mempertahankan pelanggan kunci. Lebih dari itu, sementara kepuasan pelanggan menjadi elemen penting dalam mengamankan patronage, menurut Jones et al. (2000) hubungan dengan pelanggan yang kuat tersebut bisa jadi bergantung kepada switching barriers yang diterapkan dalam konteks pelayanan.

(14)

memperhatikan beberapa hal. Switching Barrier mengacu pada tingkat kesulitan dalam menjaga pelanggan agar tidak beralih ke perusahaan lain, yang dikarenakan ketidakpuasnya terhadap beberapa hal seperti pelayanan, atau masalah financial dan social serta beban psikologis yang dirasakan oleh pelanggan ketika ingin berpindah ke perusahaan lain (Fornell, 1992). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat Switching Barrier, maka akan semakin banyak pelanggan yang dapat dipertahankan. Menurut sebuah studi sebelumnya, Switching Barrier terdiri dari switching cost, daya tarik alternatif (attractiveness of alternatives), dan interpersonal relationships.

2.4.1 Switching Cost (Biaya Perpindahan)

Switching cost secara khusus didefinisikan sebagai suatu biaya yang melibatkan kegiatan perubahan dari satu penyedia jasa ke penyedia jasa lainnya (Porter, 1998) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005). Menurut Jackson (1985) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005), hal tersebut merupakan jumlah keseluruhan dari ekonomi, biaya psikologis dan fisik.

Switching cost tidak hanya termasuk menjadi seorang pelanggan yang dapat mengukur keadaan ekonomis tetapi juga pengaruh psikologis dari menjadi suatu konsumen perusahaan yang baru, dan pada waktu terlibat didalam kegiatan pembelian merek baru (Klemper, 1995; Kim et al. 2003) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005). Dengan demikian, hanya konsumen tertentu saja yang mengalami Switching cost. (Shy, 2002) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005).

Biaya ekonomi atau finansial dari perpindahan dapat dinilai sebagai suatu biaya yang hilang, yang dimana nampak ketika konsumen merubah mereknya. Contohnya adalah biaya dari penutupan suatu rekening bank dan membuka dibank pesaingnya, biaya

(15)

dari perubahan pelayanan jasa lain (Klemperer, 1987b) atau biaya dari seseorang yang terjadi ketika pindah operator.

Switching cost dibentuk dari proses pembentukan keputusan dan implementasi konsumen dari keputusan. Proses lima tahapan terdiri dari kebutuhan akan penilaian, pencarian informasi, evaluasi dari pilihan, keputusan pembelian dan perilaku setelah pembelian.

Biaya psikologis dianggap sebagai biaya yang dibentuk dari ikatan sosial yang terbentuk didalam jalur waktu (sebagai contoh, hubungan staff dengan pelanggan) dan ketidakpastian dan resiko yang berhubungan dengan perpindahan terhadap merek yang tidak begitu terkenal (Patterson dan Sharma, 2000; Sharma, 2003) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005). Tingkat dari resiko yang dirasakan adalah tinggi ketika konsumen tidak mengevaluasi kualitas jasa sebelum melakukan pembelian (Sharma, et al, 1997) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005).

Switching cost memberikan keuntungan untuk perusahaan, dengan suatu pengaruh langsung pada tingkat Customer Loyalty. Sebagai contoh, hal tersebut mengurangi kepekaan terhadap harga dan tingkat kepuasan (Fornell, 1992) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005), dan dirasakan sebagai fungsi merek yang homogen yang dibedakan dengan merek heterogen (Klemper, 1987c) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005).

Dengan kata lain, didalam keberadaan dari Switching cost mungkin akan diharapkan untuk dipilih dari sejumlah fungsi merek yang sama yang menunjukkan kesetiaan merek (Klemper, 1987a) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005). Didalam keadaan yang sebenarnya, produk homogen mungkin akan dibedakan secara ex post

(16)

Arsil (2005). Lebih lanjut jika konsumen peka terhadap atribut produk seperti kualitas, ketidakpastian akan menurunkan kepekaan harga terhadap atribut produk seperti kualitas, ketidakpastian akan menurunkan kepekaan harga (Erdem et al, 2002) dalam Aydin, Ozer dan Arsil (2005), dan konsumen akan bertindak menjadi setia terhadap merek. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi switching cost menurut Aydin, Ozer dan Arsil (2005) adalah sebagai berikut : (a) Timbulnya biaya yang dikeluarkan oleh konsumen jika melakukan perpindahan merek (b) Harapan konsumen belum tentu sesuai dengan produk baru jika konsumen melakukan perpindahan merek. (c) Trust konsumen belum terbentuk. (d) Perbandingan antara merek produk. (e). Pengumpulan informasi yang membutuhkan waktu dan tenaga (f) Mempelajari merek baru.

2.4.2 Attractiveness of alternative

Menurut Van Trijp, Hoyer, dan Inman (1996), perpindahan merek yang dilakukan konsumen disebabkan oleh pencarian variasi atau alternatif. Dengan ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk tertentu akan menyebabkan perpindahan merek. Dimana untuk berpindah merek konsumen membutuhkan suatu variasi terhadap produk yang kelak akan dipilihnya. Konsumen yang sebelumnya memakai produk “A” yang kemudian mungkin karena sudah bosan, tidak cocok atau tidak sesuai dengan seleranya lagi, dan ingin mencari variasi lainnya maka ia akan berpindah ke produk “B” atau ke produk “C”. Ini yang disebut dengan proses perpindahan merek. Pendekatan perpindahan merek dapat membantu para pemasar untuk menguatkan loyalitas merek yang dimilikinya. Perilaku perpindahan merek pada pelanggan merupakan suatu fenomena yang sangat hangat dan dapat terjadi di setiap produk. Yang menyebabkan perpindahan

(17)

merek adalah karena adanya variasi yang ingin dicari oleh pelanggan, harga yang lebih murah dibandingkan merek lain, promosi yang ditawarkan jika membeli produk tersebut. Sedangkan menurut Dongoran (2001), ada beberapa hal yang menyebabkan perpindahan merek diantaranya adanya keinginan untuk mencari variasi, merubah perilaku keputusan pembelian dengan mencari alternatif lainnya agar mencapai kepuasan maksimum, merasa kepuasan lebih dengan menggunakan produk yang dirasakan, harga yang relatif lebih murah, image merek tersebut, terpengaruh oleh teman atau keluarga. Menurut Junaidi dan Dharmmesta (2002) menyatakan: “Perpindahan merek merupakan gambaran dari beralihnya pengkonsumsian konsumen atas suatu produk ke produk lainnya.”

2.4.3 Interpersonal Relationship

Perpindahan merek merupakan perilaku konsumen yang mencerminkan pergantian dari merek produk yang biasa dikonsumsi dengan produk merek lain (Ganes, Arnold, Reynolds : 2000). Pada dasarnya, setiap konsumen pernah melakukan peralihan dari satu merek ke merek lainnya yang lebih disukainya. Karena tidak ada konsumen yang benar-benar loyal pada satu merek produk, bahkan terdapat kelompok konsumen yang setia pada dua merek atau lebih yang ditawarkan di pasar. Konsumen akan melakukan pembelian terhadap merek - merek tersebut, selain loyal pada satu merek juga loyal pada merek lainnya sesuai dengan tujuan mereka. Hal ini terjadi apabila merek produk yang dicari konsumen tidak tersedia saat dibutuhkan sehingga konsumen akan memilih untuk beralih ke merek produk alternatif yang sudah dikenalnya sebagai pengganti atau merek produk baru yang dapat menjadi pertimbangan dibenaknya sesuai dengan kepribadiannya.

(18)

Peralihan merek merupakan pola pembelian konsumen yang tidak setia pada salah satu merek yang ditawarkan. Motif konsumen beralih merek karena keinginannya yang berubah terus, karena ingin mencoba merek-merek yang menawarkan beberapa atribut tambahan atau kualitas yang lebih baik, dan secara kebetulan saja konsumen merasa tertarik untuk membeli (situation motive). Ada kalanya pembelian dipengaruhi karena keinginan untuk mencari variasi (variety seeking) pada produk-produk merek baru. Motif-motif pembelian konsumen yang beralih merek itu terkait dengan perilaku personalnya/kepribadiannya. Menurut Ganes, Arnold dan Reynolds (2000), brand switching adalah perilaku konsumen yang telah berpindah dari suatu merek produk barang atau jasa kepada merek lain barang atau jasa yang sama karena faktor-faktor tertentu. Perilaku berpindah merek yang dilakukan oleh konsumen merupakan perilaku lanjut konsumen sebagai hasil evaluasi setelah menggunakan produk yang dikonsumsinya. Pada kenyataan sehari-hari, setiap individu dihadapkan pada keputusan memilih (choice decision) terhadap berbagai alternatif penawaran merek produk atau jasa yang tersedia di pasar. Asumsi dasar tentang perilaku pemilihan adalah bahwa para pembeli akan memilih merek yang paling sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Perilaku pemilihan merek tersebut merupakan suatu proses, dimana konsumen mengevaluasi berbagai alternatif dan membanding-bandingkan merek untuk dipilih. Dalam proses pemilihan tersebut konsumen tetap dipengaruhi faktor intrinsiknya dan ekstrinsik, misalnya perubahan selera, kepribadian, sikap terhadap nilai, dan daya belinya, sehingga keputusan akhir dari proses pemilihannnya tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kepribadiannya.

(19)

2.5. Keterkaitan Antara Konsep

a. Pengaruh Service Quality terhadap Customer Satisfaction

Salah satu faktor penting yang dapat membuat pelanggan puas adalah kualitas pelayanan (Shellyana dan Basu, 2002). Kualitas jasa ini mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan (Anderson dan Sullivan 1993). Produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan tidak setia. Jika kualitas diperhatikan, bahkan diperkuat dengan periklanan yang intensif, akan lebih mudah diperoleh pelanggan yang loyal.

b. Pengaruh Customer Satisfaction terhadap Customer Loyalty

Customer satisfaction menjelaskan bahwa konsumen yang puas belum tentu loyal, sebaliknya, konsumen yang loyal sudah tentu konsumen yang puas. Kepuasan akan mendorong pembelian ulang. Dengan demikian, kepuasan merupakan faktor penting loyalitas seorang pelanggan. Pernyataan di muka tidak dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kepuasan adalah satu-satunya penentu loyalitas pelanggan. Juga tidak dimaksudkan bahwa pembelian ulang adalah ukuran yang akurat untuk kesetiaan pelanggan. Karena, bisa jadi, seorang konsumen membeli suatu produk secara berulang meski produk tersebut tidak memuaskannya. Ia membeli dan membeli lagi karena tidak atau belum ada pilihan lain yang lebih baik baginya.

Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan misalnya, penelitian Selness (1993) pada 1062 perusahaan yang terdiri dari perusahaan telepon, asuransi, universitas dan supplier ikan salmon. Dalam Koskela (2002) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan dan

(20)

loyalitas pelanggan telah menjadi fokus peneliti seperti Fornell (1992). Mcllroy dan Barnett (2000) menyatakan bahwa konsep penting yang harus dipertimbangkan ketika membangun program loyalitas adalah kepuasan pelanggan. Kepuasan diukur dari sebaik apa harapan pelanggan dipenuhi. Sedangkan loyalitas pelanggan adalah ukuran semau apa pelanggan melakukan pembelian lagi

c. Pengaruh Switching Barrier terhadap Customer Loyalty

Switching barrier adalah hambatan yang dibangun untuk mencegah konsumen berpindah ke merek yang lain. Hambatan tersebut dapat bersifat ekonomis, sosial, psikologis, fungsional, dan ritual atau kebiasaan yang dilakukan. Biasanya, seorang konsumen akan memilih melanggar barrier tersebut dan mau menerima resiko apapun seperti tersebut di atas, ketika mendapati bahwa produk dengan merek yang diingininya tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Faktor lain yang mempengaruhi loyalitas yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching barrier) (Fornell, 1992). Rintangan berpindah terdiri dari; biaya keuangan (financial cost), biaya urus niaga (transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal customer discounts), biaya social (social cost), dan biaya emosional (emotional cost). Semakin besar rintangan untuk berpindah akan membuat pelanggan menjadi loyal, tetapi loyalitas mereka mengandung unsur keterpaksaan.

d. Pengaruh Service Quality terhadap Customer Loyalty

Salah satu faktor penting yang dapat membuat pelanggan puas adalah kualitas jasa (Shellyana dan Basu, 2002). Pemasar dapat meningkatkan kualitas jasa

(21)

untuk mengembangkan loyalitas pelanggannya. Produk yang berkualitas rendah akan menanggung resiko pelanggan tidak setia. Jika kualitas diperhatikan, bahkan diperkuat dengan periklanan yang intensif, loyalitas pelanggan akan lebih mudah diperoleh. Pengaruh kualitas terhadap loyalitas dapat disimpulkan dari peningkatan kualitas jasa akan memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan loyalitas. Bloomer, Ruyter dan Peeters (1998) mendapatkan kualitas jasa memiliki pengaruh langsung terhadap loyalitas dan mempengaruhi loyalitas melalui kepuasan. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh hasil penelitian Fornell (1992), Boulding et al. (1993), Andreasson dan Lindestad (1998).

Referensi

Dokumen terkait

Pengkajian kedelai di Purwakarta di bawah tegakan Jati muda berumur 4 tahun pada populasi dengan jarak tanam 3 m x 2 m menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi antara varietas

Pemanfaatan untuk level Dinas Kesehatan, baru dirasakan di bagian/seksi Sistem Informasi Kesehatan dan Surveilans, yaitu dengan tidak adanya pelaporan, artinya

• Kemampuan penyaringan yang andal selama masa pakai, bahkan dalam kondisi yang sangat ekstrem: filter bahan bakar Mercedes-Benz memiliki ketahanan terhadap tekanan 5 kali

Belanja Modal Pengadaan Perlengkapan /

Melihat banyak teman-teman saya yang kesulitan untuk mencari peluang bekerja sebagai karyawan membuat saya merasa berwirausaha merupakan pilihan yang lebih

Peta Tingkat Kerentanan akibat Bencana Gempa Bumi untuk Wilayah Indonesia dibuat berdasarkan tinjauan yang bersifat makro terhadap faktor bencana, faktor sosial, dan faktor

Hasil penelitian menunjukan bahwa indeks kepuasan konsumen berdasarkan indikator akses di BLK Provinsi Kalimanta Tengah yaitu 3,15 pada interval 78,81, dengan

Proses penyelesaian restitusi selain dari Pengusaha Kena Pajak, pajak tertentu dilakukan dengan melalui pemeriksaan. Untuk kepentingan Pemeriksaan, pemeriksa dapat