• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANGAN DAN OBAT

DI TAMAN WISATA ALAM MADAPANGGA

KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

YAYU YULIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

(3)

YAYU YULIATI. Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Taman Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Taman Wisata Alam (TWA) Madapangga merupakan salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bima yang memiliki sumberdaya tumbuhan yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan pola sebaran tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga, jenis tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat sekitar kawasan serta pengembangannya. Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan keanekaragaman jenis, dominansi jenis, pola sebaran dan kesamaan komunitas. Wawancara dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat.

Tumbuhan pangan ditemukan 36 jenis yang berasal dari 20 famili dan 4 habitus yang terdiri atas 25 jenis pohon, 1 jenis perdu, 9 jenis herba dan 1 jenis liana. Famili yang ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak yaituAnacardiaceae dan Leguminosae masing-masing 4 jenis, sedangkan Amaranthaceae, Myrtaceae dan Rutaceae masing-masing ada 3 jenis. Tumbuhan pangan yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga diketahui dimanfaatkan yaitu sebagai buah-buahan (17 jenis), sayuran (15 jenis), sebagai lalapan dan bumbu masak (masing-masing 5 jenis) serta sumber karbohidrat (3 jenis). Bagian dari tumbuhan tersebut yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagian besar berupa buah (25 jenis), daun (18 jenis), biji (4 jenis), bunga (3 jenis), umbi dan batang (masing-masing 2 jenis) dan seluruh bagian tanaman (1 jenis).

Tumbuhan obat ditemukan 76 jenis yang berasal dari 40 famili dan 6 habitus yang terdiri atas 38 jenis pohon, 10 jenis perdu, 23 jenis herba, 3 jenis liana, masing-masing 1 jenis epifit dan parasit. Famili yang ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu Leguminosae sebanyak 7 jenis, Euphorbiaceae sebanyak 6 jenis, Amaranthaceae, Anacardiaceae dan Rutaceae masing-masing 4 jenis serta Asteraceae, Moraceae dan Myrtaceae masing-masing 3 jenis. Tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga diketahui dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut dikategorikan ke dalam 15 kelompok penyakit/penggunaan. Bagian dari tumbuhan tersebut yang banyak dimanfaatkan yaitu daun (48 jenis), kulit batang (24 jenis), akar (19 jenis), buah (17 jenis), bunga (8 jenis), biji (21 jenis), rimpang, kulit buah dan umbi (masing-masing 2 jenis) serta seluruh bagian (11 jenis).

Indeks kekayaan Margalef tumbuhan obat dan pangan tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan intensif yaitu masing-masing 10.29 dan 6.09; sedangkan terendah pada blok perlindungan yaitu masing-masing 4.97 dan 2.77. Indeks keragaman Shannon-Wiener tertinggi juga terdapat pada blok pemanfaatan intensif yaitu masing-masing 3.66 dan 3.12; sedangkan terendah pada blok perlindungan yaitu masing-masing 2.66 dan 2. Indeks kemerataan jenis pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga cenderung tinggi dengan nilai

(4)

indica, Ziziphus mauritiana, Shcleicera oleosa, Protium javanicum, Psidium guajava, Syzygium cumini, dan Aleurites moluccana; sedangkan tumbuhan obat terdiri atas Alstonia scholaris, Strychnos ligustrina, Alstonia spectabilis,

Lagerstroemia speciosa dan Jatropha curcas. Tumbuhan pangan berhabitus semak dan herba didominasi oleh jenis Solanum indicum, Amaranthus spinosus,

Portulaca oleracea, Ocimum sanctum dan Lantana camara; sedangkan tumbuhan obat didominasi oleh jenis Zingiber aromaticum, Achyranthes aspera, Justicia gendarussa, S.indicum dan Amorphophallus variabilis. Liana yang tergolong tumbuhan pangan yang sering dijumpai di lokasi penelitian yaitu jenis Momordica charantia, sedangkan yang tergolong tumbuhan obat yaitu Tinospora crispa dan

Piper retrofractum. Epifit dan parasit masing-masing hanya ditemukan Asplenium nidus dan Dendropthoe sp.

Pola sebaran tumbuhan pangan dan obat sebagian besar mengelompok (76.32%), namun terdapat beberapa jenis yang memiliki pola sebaran seragam antara lain Ficus benjamina, Ceiba pentandra, M. charantia, Swietenia mahagoni, Melia azederach, P.retrofractum danSpondias dulcis. Nilai IS (indeks kesamaan) tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas serta antar blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif yaitu masing-masing 0.69 dan 0.64. Sebaliknya, nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan intensif kurang dari 0.3.

Tumbuhan pangan yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga dikelompokkan berdasarkan pengetahuan masyarakat sekitar ke dalam tiga kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 13 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai ekonomi (sudah dijual ke pasar) sebanyak 10 jenis, serta jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 13 jenis. Jenis tumbuhan pangan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga yaitu T.indica,

Mangifera sp., M.charantia, Syzygium aqueum, Anacardium occidentale, Citrus aurantifolia, P.guajava, A.moluccana, Annona squamosa dan Moringa oleifera.

Tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga dikelompokkan berdasarkan pengetahuan masyarakat sekitar ke dalam tiga kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 57 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan sebanyak 13 jenis dan jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 8 jenis. Jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu S.ligustrina, P.retrofractum,

T.indica, T.crispa, P.guajava, J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, Areca catechu,

Hibiscus tiliaceus, A.aspera dan Z.aromaticum.

Tingkat pengetahuan masyarakat sekitar (Desa Ndano dan Monggo) tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat yang cukup baik (48.33%). Terdapat perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan antar kelas umur responden (X2

hitung = 6.100 dan X2 (0,05;2) = 5.991). Pengembangan tumbuhan pangan dan obat

dapat dilakukan secara insitu dan eksitu; melibatkan masyarakat, LSM dan perguruan tinggi sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan; meningkat pengetahuan dan kesadaran konservasi masyarakat; pemanfaatan secara lestari; dan meningkatkan nilai ekonominya.

(5)

YAYU YULIATI. Diversity of food and medicinal plants in Madapangga Tourism Park Bima District of West Nusa Tenggara Province. Under direction by ERVIZAL A.M. ZUHUD and AGUS PRIYONO KARTONO.

Madapangga Tourism Nature Park is one of the conservation area in Bima District that has a high plants resources. This study aims to identify the species diversity of food and medicine plants, utilization by people around the area and its development. Vegetation analysis was conducted to determine species diversity, species dominance, distribution patterns and community similarity. Interviews were conducted to determine the common species used and the level knowledge of people about the use of food and medicinal plants.

Food plants are found 36 species from 20 families and 4 habitus consisting of 25 species of trees, 1 species of shrubs, 9 species of herbs and 1 species of liana. Anacardiaceae and Leguminosae were found with the highest number of species respectively 4 species, whereas Amaranthaceae, Myrtaceae and Rutaceae respectively 3 species. That food plants used as fruits (17 species), vegetables (15 species), fresh vegetables and spices (respectively 5 species), the source of carbohydrate (3 species). Part of the plants are used as food mostly fruits (25 species), leaves (18 species), seeds (4 species), flowers (3 species), bulbs and stems (respectively 2 species) and all parts of the plant (1 species).

Medicinal plants are found 76 species from 40 families and 6 habitus consisting of 38 species of trees, 10 species of shrubs, 23 species of herbs, 3 species of lianas, respectively 1 species from epiphyte and parasite. Leguminosae were found with the highest number of species are 7 species; Euphorbiaceae are 6 species; Amaranthaceae, Anacardiaceae and Rutaceae respectively 4 species; Asteraceae, Moraceae, and Myrtaceae respectively 3 species. That medicinal plants are used to treat a variety of illness. Utilization of these species are categorized into 15 groups of diseases / usage. Part of the plants used are the leaves (48 species), bark (24 species), roots (19 species), fruits (17 species), flowers (8 species), beans (21 species), roots, bark fruit and tubers (respectively 2 species) and all parts (11 species).

The highest richness and diversity of food and medicinal plants found in intensive utilization block. Margalef richness index food and medicinal plants in that block respectively 10.29 and 6.09, whereas Shannon-Wiener diversity index respectively 3.66 and 3.12. The lowest Margalef richness index of food and medicinal plants found in protection block respectively 4.97 and 2.77, whereas Shannon-Wiener diversity index respectively 2.66 and 2. Evenness value in the third block in the management tend to be higher with value each more than 0.7.

Tree habitus of food plants dominated by Tamarindus indica, Ziziphus mauritiana, Shcleicera oleosa, Protium javanicum, Psidium guajava, Syzygium cumini, and Aleurites moluccana; whereas medicinal plants consist of Alstonia scholaris, Strychnos ligustrina, Alstonia spectabilis, Lagerstroemia speciosa and

Jatropha curcas. Shrub and herb habitus dominated by Solanum indicum,

(6)

variabilis. Liana habitus belonging food plants are found in the study site is

Momordica charantia, whereas those belonging medicinal plants are Tinospora crispa and Piper retrofractum. Epiphyte and Parasite habitus are found respectively Asplenium nidus and Dendropthoe sp.

Distribution pattern of food and medicinal plants in mostly clustered (76.32%), but there are some species that have uniform distribution pattern include Ficus benjamina, Ceiba pentandra, M.charantia, Swietenia mahagoni, Melia azederach, P.retrofractum and Spondias dulcis. Community similarity index (IS) of food and medicinal plant inter protection block and limited utilization block; and inter limited utilization block and intensive utilization block respectively 0.69 and 0.64. In contrast, the IS value of food and medicinal plants inter protection block and intensive utilization block less than 0.3.

People around the site classifying food and medical plants are found in the site into 3 categories, namely the utilization of rare species used (minor), is often used and has economic value (already sold on the market) as well as the potential to be developed. Food plants are rarely used (minor) 13 species, is often used as many as 10 species and has the potential to be developed as many as 13 species. Food plants commonly used by the people such as T.indica, Mangifera sp.,

M.charantia, Syzygium aqueum, Anacardium occidentale, Citrus aurantifolia,

P.guajava, A.moluccana, Annona squamosa and Moringa oleifera.. Medicinal plants are rarely used (minor) as many as 57 species, 13 species are often exploited and potential to develop as many as 8 species. Medicinal plants commonly used by the people such as S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica,

T.crispa, P.guajava, J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, Areca catechu, Hibiscus tiliaceus, A.aspera dan Z.aromaticum.

There are significant differences level knowledge between respondents age class about the use of food and medicinal plants Development of food and medicinal plants that can be made are in situ and eksitu; involving local people, NGOs and university as partners in management activity, improve the knowledge and conservation awareness of people; sustainable use, and increase its economic value.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANGAN DAN OBAT

DI TAMAN WISATA ALAM MADAPANGGA

KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

YAYU YULIATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Wisata Alam Madapangga Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat

Nama : Yayu Yuliati

NIM : E351100111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku dosen pembimbing atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr Ir Agus Hikmat, MScF selaku dosen penguji atas saran yang membangun demi perbaikan tesis ini.

3. Bapak/Ibu di Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat dan Kantor Seksi Konservasi Wilayah III Bima Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat (Arap S.P, Faizin S.Hut, Maulana Ustadz, Marmo, Devi Natalia dan khususnya keluarga besar pak Rajiman atas bantuannya selama di lapangan).

4. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan.

5. Ayahanda Muhammad Nur dan Ibunda Siti Atni, suami tercinta Fahmi A.Wahab, adik-adik serta keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan doanya setiap waktu sampai saat ini.

6. Teman-teman Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika dan Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan angkatan 2010 atas diskusi dan motivasi-motivasinya.

7. Sekretariat Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas bantuan dan dukungan administratif yang telah diberikan.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Perumusan Masalah 2

Kerangka Pikir 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Tumbuhan Pangan 5

Tumbuhan Obat 6 Kedaulatan Pangan dan Obat 7

Kearifan Lokal 9

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 11

Keadaan Fisik Kawasan 11

Pengelolaan Kawasan TWA Madapangga 13

Potensi Biotik dan Abiotik 15

Potensi Wisata 16

Aksesibilitas 16

Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya 16

4 METODE PENELITIAN 20

Lokasi dan Waktu 20

Bahan dan Alat 20

Jenis Data yang Dikumpulkan 20

Pengumpulan Data 20

Analisis Data 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat

di TWA Madapangga 27

Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat

Berdasarkan Pengetahuan Lokal Masyarakat 43 Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat 56

6 SIMPULAN DAN SARAN 66

Simpulan 66

Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

(13)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata hari hujan, curah hujan dan suhu harian di wilayah Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima tahun 2009 – 2011 12 2 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo pada tahun 2009 dirinci

menurut jenis kelamin 16

3 Kepadatan penduduk Desa Ndano dan Monggo tahun 2009 17 4 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo yang bekerja di sektor

pertanian tahun 2009 17

5 Luas dan fungsi hutan yang ada di Kabupaten Bima 18 6 Jumlah tempat ibadah di Desa Ndano dan Monggo tahun 2009 19 7 Alokasi responden pada pengumpulan data pemanfaatan tumbuhan

pangan dan obat 23

8 Rekapitulasi lima (5) jenis tumbuhan pangan yang memiliki INP tertinggi secara keseluruhan di TWA Madapangga 37 9 Rekapitulasi lima (5) jenis tumbuhan obat yang memiliki INP tertinggi

secara keseluruhan di TWA Madapangga 38

10 Rekapitulasi jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki pola

sebaran seragam di TWA Madapangga 41

11 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga 43 12 Daftar sepuluh (10) jenis tumbuhan pangan yang sering dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga 44 13 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang berpotensi untuk

dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga 45 14 Daftar sepuluh (12) jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga 48

15 Tabel tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat

dengan kelas umur responden 55

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pikir penelitian 4

2 Strategi pengembangan kedaulatan pangan dan obat 8

3 Kegiatan wisata di TWA Madapangga 13

4 Skema penempatan petak-petak contoh pada tiap transek 21 5 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan famili 28 6 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus 28 7 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan bagian yang dimanfaatkan 29 8 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan kelompok pemanfaatan 29 9 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok

pengelolaan di TWA Madapangga 30

10 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus

dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga 31

(14)

12 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus 33 13 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan 34 14 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan kelompok

penyakit/penggunaan 34

15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada ketiga blok

pengelolaan di TWA Madapangga 35

16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus dan

tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga 36

17 Jenis-jenis pohon yang ditemukan mendominasi di TWA Madapangga 39 18 Jenis-jenis herba yang mendominasi di TWA Madapangga 39 19 Jenis-jenis liana yang mendominasi di TWA Madapangga 40 20 Indeks kesamaan komunitas antar blok pengelolaan

di TWA Madapangga 42

21 Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dijual ke pasar 46 22 Jenis-jenis tumbuhan obat yang dijual ke pasar 49

23 Kegiatan pengelolaan kawasan TWA Madapangga 57

24 Lahan pertanian di sekitar TWA Madapangga 58

25 Salah satu sumber mata air di TWA Madapangga 59 26 Hubungan antara pengelola dan masyarakat dalam usaha

pengembangan potensi TWA Madapangga 60

27 Kondisi TWA Madapangga dan sekitarnya 62

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 75

2 Keanekaragaman jenis tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA

Madapangga 76

3 Keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang ditemukan di TWA

Madapangga 77

4 Keanekaragaman pemanfaatan jenis tumbuhan pangan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga dan hasil

penelusuran literatur 79

5 Keanekaragaman pemanfaatan jenis tumbuhan pangan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga dan hasil

penelusuran literatur 82

6 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok

perlindungan di TWA Madapangga 89

7 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok

pemanfaatan terbatas di TWA Madapangga 90

8 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan pangan pada blok

pemanfaatan intensif di TWA Madapangga 92

9 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok

perlindungan di TWA Madapangga 94

10 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok

(15)

11 Hasil analisis data kenekaragaman jenis tumbuhan obat pada blok

permanfaatan intensif di TWA Madapangga 99

12 Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan pangan secara keseluruhan berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga 102 13 Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan obat secara keseluruhan

berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga 106 14 Pola sebaran jenis tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga 109 15 Hasil analisis chi-square tentang tingkat pengetahuan pemanfaatan

tumbuhan pangan dan obat masyarakat sekitar kawasan TWA

Madapangga 113

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mempunyai potensi sebagai penyedia keanekaragaman plasma nutfah sumber pangan dan obat. Berbagai bahan pangan dan obat teridentifikasi berasal dari kawasan hutan, baik jenis-jenis yang masih liar maupun yang sudah dibudidayakan. Keanekaragaman hayati tersebut merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung rediversifikasi pangan dan pengadaan bahan baku obat. Melalui rediversifikasi pangan diharapkan konsumsi pangan masyarakat menjadi bervariasi (Sinta 2000), sedangkan dalam hal pengadaan bahan baku obat semakin beragamnya jenis tumbuhan yang digunakan berarti bertambahnya bahan baku (Pribadi 2009).

Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan rediversifikasi pangan adalah menggali kembali potensi pangan lokal yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat suatu daerah (Ariani 2006). Potensi pangan lokal yang dimiliki tersebut dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Semakin beragamnya sumber pangan, kedaulatan sekaligus ketahanan pangan nasional diharapkan dapat terwujud.

Pengadaan bahan baku obat selama ini sebagian besar masih dipanen langsung dari alam, sementara usaha budidaya yang dilakukan masih terbatas (Kemala et al. 2003). Akibatnya jenis-jenis tumbuhan obat yang biasa digunakan sebagai bahan baku industri tradisional semakin langka dan sulit didapatkan. Semakin beragamnya jenis-jenis tumbuhan yang diketahui berpotensi sebagai obat, bahan baku juga menjadi semakin bervariasi (Sari 2006). Jenis-jenis berpotensi tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai bahan baku obat baik untuk usaha skala kecil, menengah maupun industri.

Kajian mengenai keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat pada kawasan hutan perlu terus dilakukan, khususnya di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Data yang diperoleh dari kajian tersebut sangat dibutuhkan dalam kegiatan pelestarian dan pemanfaatannya.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji:

1. Keanekaragaman jenis dan pola sebaran tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga

2. Keanekaragaman jenis tumbuhan pangan dan obat berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga

3. Pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat di sekitar TWA Madapangga

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan berupa ketersediaan

informasi tentang keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat

2. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat yang berminat mengembangkan usaha di bidang agribisnis pangan dan obat

3. Menjadi bahan pertimbangan bagi pengelola kawasan dalam kegiatan

pengelolaan khususnya pelestarian tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga Kabupaten Bima

Perumusan Masalah

Perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan pangan akhir-akhir ini terus meningkat, salah satunya dengan dikeluarkannya kebijakan rediversifikasi pangan. Rediversifikasi pangan merupakan usaha penganekaragaman kembali sumber-sumber pangan. Melalui kebijakan ini diharapkan konsumsi pangan masyarakat menjadi bervariasi (Sinta 2000). Salah satu usaha yang dilakukan untuk mewujudkan rediversifikasi pangan adalah menggali potensi pangan lokal yang telah biasa dikonsumsi oleh masyarakat suatu daerah, baik yang sudah dibudidayakan maupun yang masih liar di hutan (Ariani 2006). Namun usaha tersebut terkendala dengan semakin terkikisnya kearifan pengetahuan pemanfaatan pangan lokal masyarakat, sehingga perlu digiatkan kembali kegiatan eksplorasi dan inventarisasi sumberdaya pangan lokal di suatu wilayah. Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keragaman sumber pangan, mengamankan jenis dari kepunahan dan memanfaatkannya sebagai sumber dalam perbaikan atau pembentukan varietas baru yang unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan (Rais 2004).

(18)

Keberadaan kawasan hutan sebagai salah satu areal penyebaran jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat sangat penting diperhatikan, agar eksistensi alami jenis-jenis tersebut tetap terjaga dan dapat terus memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. TWA Madapangga merupakan salah satu kawasan konservasi di Kabupaten Bima yang diduga memiliki potensi keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan. Penelitian mengenai keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat yang terdapat di TWA Madapangga perlu dilakukan untuk merumuskan kegiatan konservasinya ke depan. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana keanekaragaman jenis dan pola sebaran tumbuhan pangan dan obat

di TWA Madapangga?

2. Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan pangan dan obat berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat sekitar TWA Madapangga?

3. Bagaimana pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga?

Kerangka Pikir

Saat ini, pasokan pangan dunia telah mengandalkan hasil budidaya. Terdapat 12 jenis tanaman budidaya yang memberikan kontribusi lebih dari 85-90% dari kebutuhan pangan dunia. Pemanfaatan tumbuhan pangan lokal yang berasal dari hutan di berbagai belahan dunia tidak dapat diabaikan (Grivetti & Ogle 2000). Teridentifikasi sekitar 26 jenis tumbuhan yang berasal dari areal hutan dan perkebunan di Indonesia yang telah dijadikan sebagai sumber karbohidrat. Jenis-jenis yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat antara lain Metroxylon spp., Marantha arundinacea, C.edulis dan Dioscorea esculenta. Namun, pemanfaatan tumbuhan pangan lokal yang berasal dari hutan masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Potensi tersebut masih dipandang rendah oleh sebagian masyarakat karena dianggap sebagai bahan pangan yang dikonsumsi oleh golongan menengah ke bawah/miskin (Sinta 2000). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengangkat citra bahan pangan lokal melalui penerapan teknik budidaya yang sesuai sehingga memiliki produktifitas yang tinggi dan mengolahnya produk-produk yang akan dihasilkan dengan menggunakan aplikasi teknologi. Adanya aplikasi teknologi terhadap proses produksi, produk-produk pangan tersebut diharapkan dapat diminati oleh masyarakat. Dukungan pemerintah, akademisi dan pihak swasta juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan tersebut.

(19)

dilakukan. Kondisi ini dapat menyebabkan tumbuhan obat rentan terhadap resiko kepunahan Lulekal et al. ( 2008).

Kekayaan plasma nutfah tumbuhan pangan dan obat dalam suatu kawasan hutan akan dapat dimanfaatkan secara optimal apabila telah diketahui potensinya. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan eksplorasi terhadap tumbuhan pangan dan obat di dalam suatu kawasan hutan untuk mengetahui keanekaragamannya. Data keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat dapat diperoleh melalui analisis vegetasi sedangkan kajian pengetahuan pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar kawasan dilakukan dengan wawancara terhadap responden terpilih. Data/informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun strategi konservasi dan pemanfaatan potensi kawasan TWA Madapangga. Skema kerangka pikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema kerangka pikir penelitian.

Ancaman :

Konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lainnya meningkat Pengetahuan tradisional pemanfaatan

tumbuhan pangan dan obat masyarakat terkikis

Potensi jenis tumbuhan pangan dan obat belum banyak diketahui Pengembangan tumbuhan pangan

dan obat belum dilakukan

Tumbuhan Pangan dan Obat

Pemanfaatan Diduga akan Meningkat

Pasokan Kebutuhan Masih Mengandalkan

dari Alam

Keberadaan Tumbuhan Pangan dan Obat dalam Kawasan Konservasi

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat

Pemanfaatan Tumbuhan Pangan dan Obat oleh Masyarakat Sekitar

Analisis vegetasi Wawancara dengan Masyarakat

Tumbuhan Pangan dan Obat Rentan Terhadap Resiko

Kepunahan

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tumbuhan Pangan

Menurut Poerwadarminto (1983) tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, berdaun, berbatang, berakar dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh manusia (apabila dikonsumsi oleh hewan disebut pakan). Bahan pangan yang dapat diperoleh dari hasil hutan berupa buah-buahan, kacang-kacangan, sayuran, dan tumbuhan yang mengandung karbohidrat. Berbagai potensi jenis tumbuhan pangan tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka (Sunarti et al. 2007). Tumbuhan pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga (Moeljopawiro & Manwan 1992) yaitu:

a. Komoditas utama yaitu Oriza sativa, Zea mays, Glycine max, Arachis hipogaea, Phaseolus radiatus, Manihot utilissima dan Ipomoea batatas

b. Komoditas potensial yaitu Andopogon sorgum, Vigna sinensis, Cajanus cajan,

Sesamum orientale, Colocasia esculenta, Dioscorea alata dan Metroxylon spp. c. Komoditas introduksi yaitu C.edulis, Panicum viridae, Triticum sativum dan

kara Dolichos lablab

Hutan tropika Indonesia yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem merupakan gudang keanekaragaman hayati termasuk tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 89 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu masak. Potensi tersebut apabila dikelola dengan baik dapat kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Kawasan hutan dan lahan perkebunan yang kita miliki diperkirakan dapat menghasilkan pangan sebanyak 1560 juta ton per tahun, sehingga Indonesia dapat menjadi pusat cadangan pangan dunia. Hasil tumpangsari dalam hutan sebenarnya cukup banyak dan dapat dikembangkan untuk menghadapi kondisi rawan pangan yaitu M. utilissima, M. arundinacea, C.

edulis dan D.esculenta (Sinta 2000).

Berbagai penelitian yang telah dilakukan di daerah-daerah sekitar hutan menunjukan bahwa masih terdapat ketergantungan masyarakat terhadap hutan dalam memenuhi kebutuhan akan bahan pangan. Salah satu contoh adalah masyarakat yang mendiami kawasan penggunungan di Papua memanfaatkan umbi-umbian, serelia, buah-buahan dan sayuran dari dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain di Papua, di beberapa kawasan pegunungan di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara juga menyimpan berbagai potensi sumberdaya pangan lokal (Hidayat et al. 2010).

(21)

mengolah produk-produk pangan tersebut agar memiliki nilai tambah sehingga diminati masyarakat. Selain itu perlu dukungan pemerintah, pihak swasta dan kalangan akademisi dalam pengembangan potensi pangan lokal tersebut sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Misra et al. 2008).

Penganekaragaman konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi penganekaragaman konsumsi pangan yaitu pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi) serta pengetahuan gizi, sedangkan faktor eksternal yaitu faktor agroekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan yang tersedia dan promosi/iklan. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia masyarakat (Ariani 2006).

Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat adalah semua tumbuhan baik yang sudah maupun belum dibudidayakan, dapat digunakan sebagai obat, berkisar dari yang terlihat dengan mata hingga yang hanya nampak dibawah mikroskop (Hamid et al. 1991). Menurut Zuhud & Haryanto (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat obat yang dikelompokkan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, (2) tumbuhan obat modern yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis, dan (3) tumbuhan obat potensial yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

Beberapa etnis di Indonesia telah memanfaatkan tumbuhan yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka untuk mengobati berbagai jenis penyakit yang diderita. Etnis Sunda diketahui memanfaatkan tumbuhan obat sebanyak 305 jenis, Etnis Melayu memanfaatkan 131 jenis, Etnis Jawa memanfaatkan 114 jenis, Etnis Dayak memanfaatkan 213 jenis dan Etnis Bali memanfaatkan 105 jenis. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan obat tersebut umumnya dilakukan secara tradisional dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi (Darusman 2004).

(22)

Beberapa hasil penelitian di India menunjukkan walaupun aksesibilitas terhadap pengobatan modern semakin mudah tetapi masih banyak masyarakat yang bergantung pada pengobatan tradisional dengan tumbuhan obat. Tumbuhan obat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit yang tergolong ringan seperti penyakit kulit, demam, masuk angin, batuk, sakit kepala, gigitan serangga beracun dan sakit gigi. Hal ini dilakukan karena pengobatan tradisional masih dianggap murah, bahkan untuk mendapatkan obat yang dibutuhkan dapat langsung memungutnya dari kebun atau hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Umumnya pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat hanya dimiliki oleh dukun atau tokoh-tokoh masyarakat yang usianya tergolong tua. Para generasi muda mulai meninggalkan tradisi pengobatan secara tradisional dan beralih ke pengobatan modern (Muthu et al. 2006)

Menurut Purwandari (2001) beberapa industri obat tradisional mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku tumbuhan obat di pasaran. Terdapat empat hal yang menyebabkan sulitnya tumbuhan obat tersebut diperoleh di pasaran, yaitu: 1. Tumbuhan obat memang sudah mulai langka keberadaannya di alam, sehingga

pasokannya menurun dan sulit didapatkan di pasaran 2. Adanya jalur distribusi yang tidak normal

3. Bahan baku berupa buah/biji hanya ditemukan pada musim tertentu dan jika bukan musimnya maka akan sulit ditemukan di pasaran

4. Adanya alih profesi masyarakat sekitar hutan yang bermata pencaharian sebagai pencari/pemungut bahan baku tumbuhan obat ke profesi lain

Pengadaan bahan baku obat dari hutan merupakan tantangan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi melonjaknya permintaan dan mencegah kelangkaan bahan baku maka harus dilakukan usaha budidaya. Kegiatan budidaya dapat dikembangkan dan dikelola dalam bentuk sentra-sentra produksi tumbuhan obat potensial. Usaha tersebut harus berbasiskan potensi wilayah dengan asas kelestarian dan pembagian keuntungan yang proporsional.

Dalam mengembangkan budidaya tumbuhan obat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (1) pengembangan pada lahan negara dan (2) pengembangan pada lahan milik masyarakat. Pengembangan pada lahan negara adalah pengembangan tumbuhan obat yang dilakukan pada lahan-lahan milik negara. Pengembangan budidaya tumbuhan obat pada lahan milik masyarakat dapat dilakukan pada lahan kebun, pekarangan, tegalan, sawah dan lain-lain. Kegiatan utama yang harus dilakukan di dalam usaha pengembangan tumbuhan obat adalah (1) pembentukan kemitraan dengan pihak swasta, (2) bimbingan, pendampingan dan pembinaan kepada masyarakat petani tumbuhan obat, (3) teknik budidaya tumbuhan obat, (4) pemanenan dan penanganan pasca panen tumbuhan obat, dan (5) pemasaran hasil/produk (Direktorat Aneka Usaha Kehutanan & Fakultas Kehutanan IPB 2000).

Kedaulatan Pangan dan Obat

(23)

pangan yang akan dikomsumsi dan sistem pertaniannya. Kedaulatan pangan mengindikasikan terjadi hubungan sosial baru yang bebas dari penindasan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan, masyarakat, kelompok ras, sosial dan kelas ekonomi serta generasi. Mulvany (2010) dalam Zuhud (2011) menyatakan bahwa deklarasi Nyéléni menghasilkan rumusan enam pilar ketahanan pangan yaitu: (1) makanan diperuntukan bagi manusia sebagai hak pangan bukan untuk komoditas ekspor, (2) menghormati nilai dan hak petani sebagai penyedia makanan bukan mengusir petani dari lahan, (3) membuat sistem pangan lokal, bukan mempromosikan perdagangan global yang tidak adil, (4) membangun lokal kontrol, bukan pengekangan dengan Trans National Coorperate, (5) membangun pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal, bukan tergantung pada teknologi asing, dan (6) bekerja sesuai kaidah lingkungan, bukan menggunakan metode yang membahayakan manfaat fungsi ekosistem seperti pertanian monokultur yang intensif dan perusahaan peternakan.

Berikut ini akan ditunjukan gambaran strategi pengembangan kedaulatan pangan dan obat yang diungkapkan oleh pakar tersebut yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Konsep ini diharapkan dapat membangkitkan produktifitas suatu kawasan hutan melalui pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat yang terdapat di dalamnya.

Ketersediaan pangan dan obat pada suatu kawasan hutan

C

C=Pemanfaatan pangan dan obat

oleh masyarakat

A=Industri(simplified, (low internal input production) high external input A

production)

IPTEKS

B=Tingkat (Pro rakyat, ramah lingkungan Produktifitas yang B dan eko-teknologi)

sedang berjalan saat ini

Rendah ...Keanekaragaman dan daya lenting... Tinggi Tinggi ...Biaya karbon... Rendah Tinggi ...Coorperate control... Rendah Rendah ...Kedaulatan pangan dan obat... Tinggi Rendah ...Kesejahteraan rakyat... Tinggi

Gambar 2 Strategi pengembangan kedaulatan pangan dan obat.

(24)

sehari-hari, melalui kegiatan budidaya masyarakat juga mempunyai peluang untuk mengembangkannya menjadi sebuah usaha yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraannya.

Pemanfaatan potensi suatu kawasan hutan akan maksimal apabila dilakukan pengelolaan yang tepat dan disertai dengan dukungan penuh dari masyarakat sekitar hutan. Kegiatan pengelolaan yang yang akan dilakukan harus mempertimbangkan kelestarian komponen biotik maupun abiotik dari kawasan. Selain itu, diperlukan adanya kemitraan dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi, LSM dan pihak swasta agar tujuan tersebut dapat tercapai. Perguruan tinggi dan LSM dapat dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan potensi kawasan baik dalam aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Pihak swasta dapat dilibatkan dalam kegiatan pengadaan transportasi untuk mengangkut hasil, penyedia teknologi, distribusi produk, dan promosi.

Kearifan Lokal

Kearifan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat yang terhimpun dari pengalaman panjang dalam mengelola alam dalam ikatan yang saling menguntungkan bagi manusia dan lingkungan secara berkelanjutan dan harmonis (Purba 2003). Zakaria (1994), mendefinisikan kearifan lokal merupakan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karena kearifan lingkungan itu merupakan pengetahuan yang ada di dalam kebudayaan tertentu, maka corak kearifan lokal dicirikan oleh corak kebudayaan dimana kearifan lingkungan (ecological wisdom) menjadi bagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Pengetahuan lokal masyarakat yang mengandung nilai-nilai kearifan pada dasarnya adalah hasil berbagai proses percobaan yang dilakukan secara turun temurun dan terbukti berhasil. Pengetahuan lokal tersebut dikembangkan untuk mendukung kelestarian lingkungannya. Kelestarian kehidupan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan terjadi karena mereka telah menerapkan sistem pengelolaan yang memperhatikan aspek konservasi (Arafah 2002).

(25)

pinggiran, terasing, misikin dan sebagainya, (2) tidak perlu mempertentangkan antara ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur karena pada dasarnya manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan logis berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilai-nilai yang dianut (Arafah 2002).

Interaksi kearifan masyarakat lokal dengan keanekaragaman hayati telah menghasilkan sistem pengetahuan yang dinamis dan bermanfaat bagi kelestarian sumberdaya hayati. Terdapat beberapa prinsip kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat yaitu: (1) ketergantungan manusia pada alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya, (2) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat ekslusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas atau kolektif yang dikenal dengan wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar, (3) sistem pengetahuan dan struktur pengaturan pemerintahan adat memberikan kemanpuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, (4) sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebih baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas, dan (5) mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama dapat meredam kecemburuan sosial ditengah masyarakat (Nababan 2002).

Prinsip-prinsip yang dikemukan di atas berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan/pengalaman masyarakat lokal selama ratusan tahun. Oleh karena itu prinsip-prinsip tersebut bersifat multi dimensi dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata masyarakat lokal yang bersangkutan. Masyarakat lokal telah membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Masyarakat lokal di pedesaan secara berkelanjutan menerapkan kearifan lokal dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti penyedia sumber pangan, obat dan sebagainya. Keberpihakan terhadap kearifan lokal dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan bangsa (Rudito et al. 2005).

(26)

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Fisik Kawasan

Letak, Luas dan Status

Kawasan hutan Madapangga ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan SK Menhutbun No.418/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999. Secara administrasi pemerintahan TWA Madapangga terletak di Desa Ndano Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Berdasarkan wilayah kerja TWA Madapangga berada dibawah pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah III Bima pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat (Lampiran 1). TWA Madapangga telah ditata batas fungsi seluas 232 ha dengan panjang batas fungsi 2.76 km yang termasuk dalam Kelompok Hutan Toffo Rompu (RKT.65) dengan batas-batas sebagai berikut (BKSDA NTB 2008):

a. Sebelah utara berbatasan dengan tegalan Desa Ndano Kecamatan Madapangga b. Sebelah selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Sampalu

c. Sebelah barat berbatasan dengan Madawau Kecamatan Madapangga

d. Sebelah timur berbatasan dengan tegalan dan sawah Desa Ndano Kecamatan Madapangga

Topografi

Keadaan topografi kawasan TWA Madapangga pada umumnya berbukit-bukit dengan kemiringan 15-40% terutama di bagian timur dan selatan. Tingkat kemiringan agak curam (15-25%) dengan luas ± 127 ha dan curam (25-40%) dengan luas ± 85 ha. Hanya sekitar ± 20 ha dari kawasan ini yang relatif datar yaitu pada lokasi sumber air yang berada di bagian utara jalan raya dan bagian timur kawasan yang berbatasan dengan sawah dan tegalan masyarakat. Kawasan TWA Madapangga dibelah oleh jalan raya Bima-Dompu dengan luas pada bagian utara ± 58 ha dan bagian selatan 174 ha dengan ketinggian bervariasi dari 200- 600 meter dpl (BKSDA NTB 2008).

Geologi dan Tanah

(27)

Iklim

Kawasan TWA Madapangga termasuk dalam tipe iklim E menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951). Berdasarkan data klimatologi dari BPS Kabupaten Bima tahun 2009 – 2011 diketahui suhu udara pada siang hari rata-rata 32.6C, sebaliknya pada malam hari rata-rata 26C. Suhu minimum rata-rata 24.8°C pada bulan Juli dan maksimum rata-rata 30.6°C pada bulan November. Curah hujan rata-rata 988.7 mm/tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 93 hari. Bulan basah terjadi pada bulan Desember – April, sedangkan bulan kering terjadi pada bulan Juni – September. Banyaknya hari hujan, curah hujan dan suhu harian di wilayah Kecamatan Madapangga pada tahun 2009 - 2011 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata hari hujan, curah hujan dan suhu harian di wilayah Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima tahun 2009 – 2011

Bulan Hari hujan (hari) Curah hujan (mm) Suhu harian (C)

Januari 16 166.3 27.5

Pebruari 13 165.7 27.3

Maret 14 113.3 27.7

April 11 114.0 28.5

Mei 4 47.7 25.9

Juni 0 0.0 25.5

Juli 1 7.0 24.8

Agustus 0 0.0 25.3

September 1 12.0 28.9

Oktober 5 53.0 29.8

November 6 58.0 30.6

Desember 14 175.7 29.5

Total 93 988.7 27.6

Sumber: BPS Kabupaten Bima tahun 2011.

Hidrologi

(28)

Pengelolaan Kawasan TWA Madapangga

TWA Madapangga termasuk dalam Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yaitu kawasan yang memiliki ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan TWA Madapangga dilakukan oleh Seksi Konservasi Wilayah III Bima pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat. Pengelola kawasan TWA Madapangga terdiri atas 1 orang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), 2 orang Polisi Hutan (Polhut) dan 2 orang Pam Swakarsa. Fasilitas yang dibangun untuk menunjang pengelolaan yaitu 1 unit pondok kerja, demplot tanaman obat dan kebun pembibitan.

Pola pemanfaatan kawasan TWA Madapangga ditujukan untuk kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Objek wisata yang menarik untuk dikunjungi pada kawasan tersebut adalah kolam pemandian dan gua persembunyian pada masa penjajahan Jepang yang dikenal dengan nama karombo nipo (Gambar 3). Gua tersebut merupakan salah satu objek wisata yang juga ramai dikunjungi oleh masyarakat. Selain itu di dalam kawasan tersebut juga terdapat sumber mata air yang jernih dan bersih serta panorama alam yang indah. Fasilitas penunjang yang terdapat dalam kawasan TWA Madapangga yaitu kolam renang, shelter, WC umum, mushola, tempat sampah dan jalan setapak untuk pengunjung yang memiliki hobi tracking. Fasilitas hotel maupun penginapan di sekitar TWA Madapangga belum ada. Pengunjung yang ingin lebih lama berkunjung dapat menginap di rumah masyarakat sekitar kawasan dengan membayar sewa sesuai kerelaan. Namun, apabila ingin penginapan yang lebih esklusif dapat ditemui di kota Bima dan Dompu.

Gambar 3 Kegiatan wisata di TWA Madapangga (a) kolam pemandian dan (b) gua karombo nipo.

Adanya lokasi-lokasi tertentu dalam kawasan yang telah dimanfaatkan untuk tujuan wisata alam oleh pengunjung, maka penataan kawasan mengacu pada kondisi riil di lapangan untuk mengakomodir berbagai kepentingan. Oleh karena itu, pembagian blok di dalam kawasan TWA Madapangga dilakukan sesuai dengan fungsi masing-masing yang meliputi blok perlindungan, blok pemanfaatan intensif dan blok pemanfaatan terbatas.

(29)

Blok Perlindungan

Blok perlindungan di TWA Madapangga dialokasikan seluas  134 ha yang berada pada lokasi antara Pal B.74 sampai dengan B.38. Blok ini memiliki potensi antara lain berupa sumber air, keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta panorama alam yang indah. Pertimbangan penetapan lokasi dan luas blok tersebut terutama untuk memberikan perlindungan fungsi hidrologi, perlindungan keseimbangan ekosistem, perlindungan tumbuhan dan satwa endemik/dilindungi. Kondisi areal pada blok ini memiliki kelerengan 25-40%, rawan erosi dan longsor. Penetapan blok perlindungan merupakan upaya konservasi dalam bentuk pengawetan sehingga tidak diperkenankan adanya kegiatan/aktifitas yang sifatnya eksploitatif. Aktifitas yang diperkenankan pada blok perlindungan yaitu kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan habitat dan populasi satwa (BKSDA NTB 2008).

Blok Pemanfaatan Intensif

Blok pemanfaatan intensif di TWA Madapangga dialokasikan seluas  37 ha yang berada antara Pal B.55 sampai B.74. Kondisi areal pada blok ini relatif datar dengan kemiringan < 20% dan banyak terdapat sumber air. Blok pemanfaatan intensif berada pada bagian utara jalan raya Dompu-Bima dan sebagian kecil lokasi yang berada di sebelah selatan jalan raya Dompu-Bima. Pertimbangan lokasi karena secara geografis relatif datar serta pada lokasi tersebut sudah dibangun sarana prasarana penunjang wisata. Sumber air pada blok tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, irigasi maupun objek wisata/rekreasi. Potensi pada blok pemanfaatan intensif berupa sumber air, flora, fauna, lokasi untuk camping ground serta pemandian (kolam renang) (BKSDA NTB 2008).

Blok Pemanfaatan Terbatas

(30)

Potensi Biotik dan Abiotik

Potensi Flora dan Fauna

Kawasan TWA Madapangga memiliki potensi flora yaitu pada bagian selatan kawasan didominasi oleh jenis P.javanicum, S.oleosa, Schoutenia ovate

dan F.benjamina. Bagian utara didominasi oleh jenis P.javanicum, T.indica,

S.mahagoni, Terminalia catappa, S.ovata serta jenis pohon endemik yaitu

S.ligustrina yang memiliki khasiat sebagai obat malaria. Selain jenis S.ligustrina

terdapat jenis lain yang dapat digunakan sebagai obat yaitu A.scholaris,

A.spectabilis dan Z.mauritiana (BKSDA NTB 2008).

Kawasan TWA Madapangga memiliki potensi fauna diantaranya adalah elang (Haliastur indus Boddaert 1783), koakiau (Philemon buceroides Swainson 1838)) dan burung hantu (Otus magicus Muller 1841), ayam hutan (Gallus varius

Shaw 1798), tekukur (Streptopelia chinensis Scopoli 1768), bubut hutan

(Centropus rectunguis Strickland 1846). Jenis mamalia yang ditemukan yaitu babi hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) dan kera abu-abu (Macaca fascicularis

Raffles 1821). Selain itu juga ditemukan berbagai jenis kupu-kupu (lebih dari 20 jenis) baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi (BKSDA NTB 2008).

Potensi Ekosistem

Kawasan TWA Madapangga merupakan tipe ekosistem hutan dataran rendah yang dicirikan dengan topografi yang bergelombang serta jenis flora khas yang ada di dalamnya. Kondisi kawasan ini masih relatif baik dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Potensi ekosistem yang menonjol adalah sebagai kawasan penyedia air bagi lingkungan sekitarnya serta panorama alam yang indah. Potensi tersebut dimanfaatkan juga sebagai objek wisata berupa kolam pemandian dan rekreasi alam. Keberadaan kawasan ini perlu dilindungi dan dipertahankan kondisi alaminya agar dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, menjaga ketersediaan sumber air dan kondisi lingkungan. (BKSDA NTB 2008).

Potensi Habitat

(31)

Potensi Wisata

Kawasan TWA Madapangga memiliki obyek-obyek wisata yang potensial untuk dikembangkan sebagai obyek rekreasi bagi wisatawan baik mancanegara maupun lokal. Kawasan tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat Bima dan Dompu sebagai tempat untuk berkemping bagi pelajar/pencinta alam. Kawasan TWA Madapangga memiliki panorama alam yang indah dan masih alami serta sungai dengan air yang sangat jernih dan bersih. Air sungai berasal dari mata air dalam kawasan tersebut yang juga digunakan sebagai irigasi dan objek wisata berupa kolam renang. Objek wisata di TWA Madapangga ramai dikunjungi masyarakat terutama pada hari libur dan hari besar keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jumlah pengunjung selama tiga tahun terakhir tercatat sekitar 5000 orang (BKSDA NTB 2010).

Aksesibilitas

Kawasan TWA Madapangga mudah dicapai karena lokasinya yang berada disamping jalan raya utama Bima-Dompu. Lokasi TWA Madapangga dapat dicapai dari kota Bima sejauh  50 km dan  12 km dari kota Dompu. Rute perjalanan untuk mencapai kawasan tersebut dari kota Mataram dapat ditempuh melalui dua alternatif yaitu melalui Bandara Internasional Lombok Praya ke Bandara M.Salahuddin Bima selanjutnya menempuh perjalanan darat ke TWA Madapangga menggunakan transportasi umum (bus) sejauh  28 km. Alternatif lain adalah dengan jalan darat dan laut melalui Sumbawa Besar kemudian Dompu selanjutnya menuju kawasan TWA Madapangga menggunakan kendaraan umum (bus) sejauh  12 km (BKSDA NTB 2008).

Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya

Kependudukan

Kawasan TWA Madapangga termasuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Madapangga. Kawasan ini berdekatan dengan Desa Ndano dan Monggo Kecamatan Madapangga. Jumlah penduduk pada kedua desa tersebut yaitu 6128 jiwa (BPS Kab.Bima 2010). Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo pada tahun 2009 dirinci menurut jenis kelamin

Desa Penduduk Jumlah Total

(Jiwa) Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa)

Ndano Monggo

637 2401

624 2466

1261 4867

Jumlah Total 3038 3090 6128

(32)

Tabel di atas menunjukan Desa Monggo memiliki jumlah penduduk yaitu 4867 jiwa terdiri atas 2401 jiwa untuk laki-laki dan 2466 jiwa untuk perempuan. Jumlah penduduk perempuan pada desa tersebut lebih banyak dari penduduk laki-laki. Desa Ndano memiliki jumlah penduduk yaitu 1261 jiwa dengan perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan tidak terlalu signifikan yaitu masing-masing 637 jiwa untuk laki-laki dan 624 jiwa untuk perempuan (BPS Kab.Bima 2010). Kepadatan penduduk Desa Ndano dan Monggo disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kepadatan penduduk Desa Ndano dan Monggo tahun 2009

Desa Luas (km2) Penduduk (jiwa) Kepadatan

Sumber: BPS Kabupaten Bima 2010.

Tabel diatas menunjukan bahwa Desa Monggo merupakan desa yang berdekatan dengan TWA Madapangga dan luas wilayahnya paling luas yaitu sekitar 35.01 km2 sedangkan Desa Ndano memiliki luas wilayah yang kecil hanya 6 km2. Kepadatan penduduk Desa Monggo yaitu 139 jiwa/km2 dan Desa Ndano yaitu 210 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk Desa Ndano dan Monggo diduga akan terus meningkat, hal ini dikhawatirkan akan berdampak terhadap keutuhan kawasan. Dampak yang mungkin ditimbulkan yaitu terjadinya perambahan dan adanya pengambilan kayu bakar yang ada di dalam kawasan TWA Madapangga (BPS Kab.Bima 2010).

Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat Desa Ndano dan Monggo bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai petani pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian pada Desa Monggo sebanyak 2071 orang dan Desa Ndano sebanyak 730 orang (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Ndano dan Monggo yang bekerja di sektor

Sumber: BPS Kabupaten Bima 2010.

(33)

pencaharian sebagai pedagang, pegawai negeri, wiraswasta, buruh, ojek, tukang batu, tukang kayu dan lain-lain (BPS Kab.Bima 2010).

Tata Guna Lahan

Pola penggunaan lahan pada tiap kecamatan maupun desa di Kabupaten Bima bervariasi, tergantung kondisi areal pada masing-masing daerah. Luas Desa Ndano yang meliputi TWA Madapangga seluas 1050 ha, dengan luas areal berhutan 560 ha atau 53% dari luas total areal. Luas TWA Madapangga 232 ha atau 41.43% dari luas total hutan yang ada di Desa Ndano, sedangkan 328 atau 58.57% merupakan hutan lindung. Penggunaan lahan di Desa Ndano yaitu sawah 224 ha, bangunan dan pekarangan 11 ha serta tegalan/kebun 196 ha. Penggunaan lahan di Desa Monggo yaitu sawah 1406 ha, bangunan dan pekarangan 35 ha serta tegalan/kebun 745 ha (BPS Kab.Bima 2010).

Perbandingan luas TWA Madapangga dengan kawasan hutan secara keseluruhan di Kabupaten Bima hanya 0.09%. Hal ini menunjukan bahwa kawasan yang dijadikan untuk tempat rekreasi masih sangat kecil komposisinya sehingga peluang pengembangan kawasan TWA Madapangga sebagai kawasan rekreasi cukup tinggi (BKSDA NTB 2008). Luas dan fungsi hutan di Kabupaten Bima disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas dan fungsi hutan yang ada di Kabupaten Bima

Fungsi Hutan Luas (Ha) Persentase (%)

Hutan Lindung 78171.96 30.98 %

Taman Wisata Alam 232.00 0.09 %

Taman Buru 16.586.59 6.57 %

Cagar Alam 21095.02 8.36 %

Suaka Margasatwa 17686.08 7.01 %

Hutan Produksi Terbatas 67012.04 26.56 %

Hutan Produksi Tetap 44740.03 17.73 %

HPK 6800.00 2.69 %

Jumlah 252323.72 100%

Sumber: BKSDA NTB 2010.

Pendidikan dan Kesehatan

Tingkat pendidikan masyarakat yang ada di Kecamatan Madapangga umumnya sudah mulai meningkat. Hal ini terlihat dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan/sekolah dari tingkat SD sampai SMU. Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di desa Monggo yaitu 4 unit TK, 4 unit SD, 1 unit SMP dan 1 unit SMA, sedangkan di desa Ndano terdapat 1 unit TK dan 2 unit SD. Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai mulai dari TK, SD, SLTP dan SMU agar program pendidikan nasional dapat tercapai.

(34)

penduduk usia produktif pada kedua desa tersebut memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah.

Dalam bidang kesehatan, sarana dan prasarana pada Desa Ndano dan Monggo sudah cukup memadai. Sarana kesehatan yang terdapat pada Desa Ndano yaitu 1 unit Poli Klinik Desa (Polindes) dengan 1 orang Bidan Desa, sedangkan \pada Desa Monggo terdapat 2 unit Polindes dengan masing-masing 1 orang Bidan Desa. Selain itu, pada Desa Ndano juga terdapat 3 orang dukun bersalin dan 2 orang tabib, sedangkan pada Desa Monggo terdapat 4 orang dukun bersalin dan 5 orang tabib.

Agama dan Adat Istiadat

Sebagian besar masyarakat Kecamatan Madapangga menganut agama Islam ( 98%). Dengan demikian adat istiadat lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Islam. Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari seperti nilai serta norma yang berlaku di masyarakat bersumber pada ajaran Islam yang mengutamakan Ukhuwah Islamiah (BPS Kab.Bima 2010). Penduduk Desa Ndano mayoritas menganut agama Islam, sedangkan pada Desa Monggo  90% penduduknya menganut agama Islam dan  10% menganut agama Kristen (Tabel 6). Penduduk Desa Monggo yang menganut agama Kristen sebagian besar bermukim pada Dusun Tolo Nggeru.

Tabel 6 Jumlah tempat ibadah di Desa Ndano dan Monggo tahun 2009

Desa Masjid

Sumber: BPS Kabupaten Bima 2010.

Pernikahan dalam masyarakat Bima merupakan hal yang penting dalam kehidupan karena dapat mengukuhkan status seseorang sebagai warga yang utuh dalam masyarakat. Melalui pernikahan setiap orang mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai warga kelompok/kerabat. Kekeluargaan antar kerabat dan sesama suku sangat kuat dalam budaya masyarakat Bima. Eratnya kekerabatan menyebabkan seseorang dalam kelompok tersebut harus tunduk dan patuh pada aturan kelompok. Adat pernikahan sama lazimnya dengan yang berlaku pada dearah lain seperti rangkaian pemilihan jodoh, peminangan, peresmian, penyerahan mahar serta peresmian pernikahan (akad). Terdapat kebiasaan untuk saling membantu dalam menyelenggarakan pernikahan. Kebiasaan tersebut yaitu

(35)

4 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan dari bulan Februari – Maret 2012. Lokasi pengamatan dan pengambilan sampel vegetasi dilakukan di TWA Madapangga. Kajian mengenai pengetahuan lokal masyarakat sekitar kawasan dalam pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat dilakukan di Desa Ndano dan Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Peta kawasan TWA Madapangga

2. Perlengkapan inventarisasi seperti: kompas, GPS, pita meter, meteran, tally sheet, tali rapia/tambang, hagameter dan patok dari bambu

3. Perlengkapan untuk pembuatan herbarium seperti: label, kantong plastik, koran, alkohol 70%, kamera digital

4. Panduan pertanyaan wawancara 5. Perlengkapan tulis menulis

Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data vegetasi dan pengetahuan lokal masyarakat sekitar kawasan dalam pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat meliputi:

1. Tingkat pohon, tiang dan pancang: nama jenis, jumlah individu, tinggi bebas cabang dan diameter

2. Tingkat semai, herba, semak, liana, epifit dan parasit: nama jenis dan jumlah individu

3. Data pengetahuan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat: nama lokal suku Mbojo Bima, habitus, bagian yang dimanfaatkan serta pemanfaatannya.

Pengumpulan Data

Analisis Vegetasi

(36)

dalam pengumpulan data vegetasi adalah metode garis berpetak yang diletakkan secara sistematis dengan awal acak. Tiap blok dibuat transek-transek dengan panjang 500 m, lebar 20 m dan jarak antar transek 100 m. Jumlah seluruh transek yang diamati adalah 16 transek (8 transek pada blok perlindungan, 5 transek pada blok pemanfaatan terbatas dan 3 transek pada blok pemanfaatan intensif). Tiap transek dibuat 13 petak contoh yang berukuran 20 m x 20 m dengan jarak antar petak 20 m. Tiap petak contoh dilakukan pengukuran semua tingkat tumbuhan yaitu petak ukuran 20 m x 20 m untuk pengukuran dan pencatatan tingkat pohon, liana, epifit dan parasit serta pohon inang. Petak ukuran 10 m x 10 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat tiang. Petak ukuran 5 m x 5 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat pancang. Petak ukuran 2 m x 2 m dilakukan pengukuran dan pencatatan untuk tingkat semai, semak dan herba seperti pada Gambar 4 (Soerianegara & Indrawan 1988).

20 m

A

20 m Arah rintisan

20 m

500 m

Gambar 4 Skema penempatan petak-petak contoh pada tiap transek. Keterangan :

A : Petak pengukuran untuk pohon, liana, epifit dan parasit (20 m x 20 m) B : Petak pengukuran untuk tiang (10 m x 10 m)

C : Petak pengukuran untuk pancang (5 m x 5 m)

D : Petak pengukuran untuk semai, semak dan herba (2 m x 2 m) Kriteria tumbuhan yang diukur adalah sebagai berikut :

1. Tingkat pertumbuhan:

a. Pohon adalah vegetasi pohon dengan diameter  20 cm. b. Tiang adalah vegetasi pohon muda diameter 10-20 cm.

c. Pancang adalah vegetasi anakan pohon yang mempunyai diameter  10 cm dan tinggi  1.5 cm.

d. Semai adalah anakan pohon yang mempunyai tinggi  1.5 cm. 2. Habitus:

a. Semak adalah tumbuhan berkayu yang pada saat dewasa mempunyai diameter < 7 cm, tumbuh rapat, berduri dan daun yang mudah gugur.

b. Herba adalah tumbuhan setahun atau menahun, tinggi 0.5-2 cm, tidak berkayu. c. Liana (non woody) adalah golongan tumbuhan yang walaupun tetap hijau tetapi

sangat tergantung pada kelompok tumbuhan lainnya dan mempunyai ketinggian > 1.5 m dari permukaan tanah.

A B B C CC D

D

A

(37)

d. Epifit adalah tumbuhan yang melekat pada batang, cabang bahkan pada daun tumbuhan lainnya. Pada umumnya tumbuhan ini tidak menimbulkan pengaruh buruk pada inang yang ditumpanginya.

e. Parasit adalah tumbuhan yang hidup menempel pada tumbuhan lain dan mengambil makanan dari tumbuhan inangnya.

Pembuatan Herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan terhadap jenis-jenis tumbuhan yang belum teridentifikasi. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium adalah sebagai berikut:

1. Mengambil spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, kalau ada bunga dan buahnya juga diambil.

2. Memotong contoh herbarium yang telah diambil dengan menggunakan gunting dengan panjang kurang lebih 40 cm.

3. Memasukkan contoh herbarium ke dalam kertas koran dengan memberi kertas label berukuran 3 cm x 5 cm. Kertas label memuat keterangan tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama pengumpul/kolektor. 4. Menyusun beberapa herbarium di atas sasak yang terbuat dari bambu dan

disemprot dengan alkohol 70% untuk selanjutnya dibawa ke camp.

5. Menjemur herbarium pada sinar matahari dan menyemprot kembali dengan alkohol 70%.

6. Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya.

Identifikasi Jenis Tumbuhan

Identifikasi jenis tumbuhan di lapangan dilakukan oleh petugas BKSDA NTB dengan menggunakan buku panduan identifikasi. Jenis-jenis yang belum teridentifikasi dibuat spesimen herbarium. Herbarium tersebut diidentifikasi oleh petugas identifikasi jenis Kebun Raya Bogor. Jenis-jenis yang telah teridentifikasi kemudian ditelusuri informasi pemanfaatannya melalui berbagai literatur/buku tentang tumbuhan pangan dan obat yang ada. Data yang diperoleh dari kedua kegiatan tersebut meliputi: nama lokal, nama ilmiah, famili, habitus, khasiat atau manfaat dan bagian-bagian yang dimanfaatkan.

Wawancara

Gambar

Gambar 1.  Ancaman :
Tabel 1  Rata-rata  hari hujan,  curah hujan dan suhu harian di wilayah Kecamatan
Gambar 3   Kegiatan wisata di TWA Madapangga (a) kolam pemandian dan
Gambar 5  Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan famili.
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Gambar Informasi Dalam Penelitian... Jumlah Penduduk Desa Sambori ... Daftar Jenis Tanaman Obat-obata yang Ditanam Pekarangan Rumah ... Dafta Jenis Tumbuhan Untuk Bahan Kerajinan

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai spesies tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Mbaham Mata di Kampung Werabuan

Dari 38 jenis vegetasi yang ditemukan di Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau Desa Buluh Cina, ditemukan tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat sebanyak 16 jenis. Persentase

Terdapat 85 jenis tumbuhan berkhasiat sebagai obat yang terdata dalam penelitian ini yang tersebar di berbagai strata pertumbuhan vegetasi yang terdiri dari

Banyaknya jenis semai dan tumbuhan bawah yang ditemukan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu membuat keanekaragaman jenis tumbuhan obat tingkat semai sangat tinggi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan berkhasiat obat yang ditemukan di kawasan estuaria Takisung yang diketahui dan digunakan oleh masyarakat setempat terdapat 15

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai spesies tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Mbaham Mata di Kampung Werabuan

dapat disimpulkan bahwa Indeks Nilai Penting yang tertinggi dari semua tingkatan terdapat pada tingkat tumbuhan bawah yaitu jukut rambet Lopatherum gracile brogn karena tumbuhan ini