• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pemanfaatan dan potensi sumberdaya tumbuhan di taman wisata alam ruteng, Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pemanfaatan dan potensi sumberdaya tumbuhan di taman wisata alam ruteng, Nusa Tenggara Timur"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

DAN POTENSI SUMBERDAYA TUMBUHAN

DI TAMAN WISATA ALAM RUTENG,

NUSA TENGGARA TIMUR

ELISA ISWANDONO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007

(3)

Resources in Ruteng Recreation Park, East Nusa Tenggara Province. Under supervise AGUS HIKMAT and AGUS PRIYONO KARTONO

Local people in surrounding area of Ruteng Recreation Park needs many plant resources for their daily life. Therefore, objectives of this study were: a) to identify utilization systems, kind of species, harvesting and intensity economic value of plant resources by local people and also time budgeting during one year, b) to analyze the independency level of people to plant resources in the Ruteng Recreation Park and c) to analyze the potential utilization of plant resources by local people.

This research was carried in Ruteng Recreation Park. Respondens were local people arround the park. The analysis of species and community was approached by vegetation analysis, Index of Shanon, Index of Similarity, and Evennes Index.

The result indicated that 133 speciese in 67 famili were used by local people for medicine, food, pesticide, wood building, firewood, etc. People used plant resources throughout the year and the intencity become less in March-April and September–October due to farm activities. The economic value of fire wood was 21,78% contributed to total family income and from wood building was 50,36% contributed to total family income. The level of people independency to plant forest resource were high (68,22%). The equation for the independency was Y = 0,708 + 0,0261X3 + 0,0216 X4 – 0,162 X8; where Y was the independency level

of people to the forest, X3 was number of family burden, X4 was the main

occupation and X8 was the distance between home and forest. The potency of

plant used for people is still high in the forest area.

(4)

ELISA ISWANDONO. Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS P. KARTONO.

Masyarakat sekitar kawasan TWA Ruteng yang memiliki ketergantungan hidup pada sumberdaya tumbuhan hutan. Diperlukan penelitian mengenai tingkat ketergantungan dan spesies tumbuhan yang dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng yang ditinjau dari segi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, waktu, intensitas dan nilai ekonomi dari hasil hutan yang diambil, menentukan tingkat ketergantungan masyarakat sekitar TWA Ruteng terhadap kawasan dan menentukan potensi sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng.

Metode penelitian secara garis besar terdiri dari 2 (dua) kegiatan utama, yaitu pengumpulan data primer berupa inventarisasi potensi sumberdaya tumbuhan dan wawancara, pengisian kuesioner dan pengumpulan data sekunder.

Masyarakat sekitar TWA Ruteng memanfaatkan 133 spesies dalam 67 famili tumbuhan yang ada di dalam hutan untuk kebutuhan tumbuhan obat 69 spesies (44 famili), pangan 38 spesies (17 famili), bahan bangunan 28 spesies (16 famili), pakan ternak 8 spesies (4 famili), pestisida nabati 4 spesies (4 famili), tumbuhan hias 4 spesies (4 famili), bahan tali dan kerajinan 3 spesies (3 famili), adat/budaya 3 spesies (3 famili), pewarna 2 spesies (2 famili), kayu bakar 2 spesies (2 famili), minuman 1 spesies dan lainnya 2 spesies (2 famili), serta 8 spesies tumbuhan potensial untuk kegunaan pewarna 6 spesies, pestisida nabati 1 spesies dan aromatik 1 spesies. Pemanfaatan sumberdaya tumbuhan hutan dilakukan sepanjang waktu selama satu tahun dengan intensitas kegiatan yang lebih rendah selama 4 bulan, yaitu: pada bulan Maret – April dan September – Oktober yang disebabkan oleh kegiatan menanam dan memanen padi pada lahan pertanian.

Kayu bakar memberikan rata-rata kontribusi terhadap total pendapatan keluarga sebesar 22,23% untuk kayu bakar dan kayu bangunan sebesar 50,4%. Frekuensi pengambilan hasil hutan sebagian besar adalah pengambilan kayu bakar, yaitu sebesar 58% dan kayu untuk bahan bangunan sebesar 12%, selebihnya sebesar 30% adalah untuk kebutuhan lainnya seperti pangan, pakan ternak, bahan tali dan kerajinan minuman dan kebutuhan lainnya. Sebagian besar masyarakat yang mendapatkan kontribusi pendapatan dari hasil hutan sebesar 10 – 20 juta dan lebih dari 20 juta per tahunnya berada di wilayah pegunungan. Sebagian besar masyarakat mendapatkan kontribusi dari hasil hutan sebesar 0-2 juta pertahun tinggal di dataran rendah.

Hasil perhitungan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan diperoleh nilai antara 20% sampai dengan 87% dengan nilai rata-rata 68,22%. Masyarakat yang tingkat ketergantungannya terhadap sumberdaya hutan sangat tinggi (81-100%) yang terbanyak adalah yang tinggal di wilayah pegunungan, sedangkan tingkat ketergantungan sangat rendah (0-20%) adalah yang berada di wilayah dataran rendah. Hasil analisis regresi diperoleh persamaan: Y= 0,708 + 0,0261 X3 + 0,0216 X4 – 0,162 X8. Hasil analisis korelasi Pearson diketahui

(5)

20,97%.

Di wilayah TWA Ruteng ditemukan sebanyak 219 spesies yang termasuk kedalam 160 genera dan 80 famili yang tercatat pada 13 transek pada berbagai ketinggian. Jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1600 sebanyak 109 spesies. Jumlah spesies terendah pada ketinggian 2100 sebanyak 44 spesies. Pada ketinggian 600 m dpl ditemukan jumlah spesies yang rendah yaitu sejumlah 69 spesies yang disebabkan lokasi kawasan yang relatif lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Pada wilayah hutan sub pegunungan yaitu pada ketinggian 900 sampai dengan 1.300 m dpl, jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 900 m dpl yaitu sejumlah 98 spesies. Jumlah spesies ini terus menurun seiring dengan penambahan ketinggian dan jumlah spesies terendah ditemukan pada ketinggian 1.300 m dpl yaitu sejumlah 74 spesies. Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl, wilayah yang terdekat dengan pemukiman penduduk adalah pada ketinggian 1.500 m dpl dan di wilayah ini ditemukan jumlah spesies yang rendah, yaitu hanya sebanyak 80 spesies.

Sebagian besar tumbuhan dominan di wilayah TWA Ruteng adalah yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kegunaan. Nilai indeks keanekaragaman spesies (H’) tergolong tinggi yaitu antara 3 sampai 4 pada berbagai ketinggian kecuali pada ketinggian 2.100 m dpl sebesar 2,477 atau katagori sedang. Nilai keanekaragaman spesies tertinggi pada ketinggian 1000 m dpl yaitu nilai rata-rata 3,620, nilai tertinggi untuk pohon 3,480 dan pancang 3,805 serta pada ketinggian 900 m dpl yaitu rata-rata 3,476, nilai tertinggi untuk tiang 3,575 dan pada tingkat anakan dan tumbuhan bawah sebesar 3,678. Nilai Tingkat keanekaragaman tumbuhan tertinggi untuk keseluruhan tingkat pertumbuhan adalah yang berada pada wilayah ketinggian 1.000 m dpl, yaitu sebesar 3,620 dan yang terendah adalah yang berada pada ketinggian 2.100 m dpl yang hanya sebesar 2,477.

Kawasan TWA Ruteng yang memiliki nilai indeks kemerataan terendah adalah yang berada pada ketinggian 1.500 m dpl sebesar 0,899. Nilai kemerataan yang rendah menandakan keseimbangan komunitas yang paling rendah dibandingkan wilayah ketinggian yang lain. Nilai indeks kemerataan yang tertinggi adalah yang berada pada ketinggian 2.000 m dpl sebesar 0,947, cukup banyak spesies dengan nilai domina nsi yang hampir sama.

Dilihat dari kesamaan komunitasnya, kelompok hutan di TWA Ruteng dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok hutan dengan kesamaan komunitasnya yaitu: ketinggian antara 600 sampai dengan 900 m dpl, ketinggian antara 1.000 sampai 1.700 m dpl dan yang terakhir adalah ketinggian lebih dari 1.800 m dpl.

Pengelolaan kawasan TWA Ruteng selama sepuluh tahun terakhir sebagian besar (57%) untuk memotivasi masyarakat melakukan konservasi tanpa aspek pemanfaatan. Program kegiatan sejumlah 35% diarahkan untuk mengetahui dan memperbaiki potensi kawasan dan yang sudah mulai terbuka terhadap pemanfaatan sebanyak 8%.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

DAN POTENSI SUMBERDAYA TUMBUHAN

DI TAMAN WISATA ALAM RUTENG,

NUSA TENGGARA TIMUR

ELISA ISWANDONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi Kehutanan pada

(8)

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama Mahasiswa : Elisa Iswandono

Nomor Pokok : E.051054055

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui: Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

NIP: 131 760 834 NIP:

(11)

Penulis mengucap syukur kepada Tuhan karena atas berkat anugerah-Nya penelitian dan penulisan tesis berjudul “Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng dan masyarakat di sekitarnya.

Tesis ini menguraikan tentang pola pemanfaatan sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng yang ditinjau dari segi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, waktu, intensitas dan nilai ekonomi dari hasil hutan yang diambil, tingkat ketergantungan masyarakat sekitar TWA Ruteng terhadap sumberdaya hutan dan potensi sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan tesis ini.

Bogor, Desember 2007

(12)

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc selaku ketua Komisi dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si selaku anggota komisi yang telah memberikan

saran dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan serta Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, M.S selaku dosen penguji luar komisi.

Terima kasih kepada orang tua, anak dan isteri yang telah memberikan dukungan moral dan material selama belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(13)

Penulis adalah bungsu dari enam bersaudara keluarga Bapak Soedigdo dan Ibu Soeparmi yang dilahirkan di Kediri pada tanggal 3 Maret 1976. Menikah pada tanggal 8 Januari 2005 dengan isteri tercinta Hariany Siappa, S.Si dan saat ini telah dikaruniai satu orang putera bernama Elia Immanuel Iswandono yang dilahirkan di kota Malang pada tanggal 21 Februari 2006.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Jember Kidul X pada tahun 1988, SMPN 9 Malang pada tahun 1991, SMAN I Malang pada tahun 1994 dan kemudian menyelesaikan Program Studi S-1 di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya pada tahun 1998.

(14)

Halaman

Pengertian Sumberdaya Tumbuhan ...………... 4

Pengertian Masyarakat Sekitar Hutan dan Kebutuhannya ... 5

Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 7

Daerah Penyangga ... 8

Jumlah Penduduk dan Matapencaharian ... 14

Sarana dan Prasarana ... 15

Sosial Budaya Masyarakat ... 16

Asal Usul Orang Manggarai ... 16

Pusat Budaya Manggarai ... 17

Kepemimpinan Adat ... 17

Pembentukan Wilayah dan Pengelolaan Lahan ... 18

Kepemilikan Tanah Adat ... 20

Upacara Adat dan Ikatan Perkawinan ... 21

Pembagian Pekerjaan Dalam Rumah Tangga ... 21

Sikap dan Penilaian Terhadap Hutan... 21

Sistem Permukiman dan Budidaya ... 22

Pengelolaan Taman Wisata Alam Ruteng ... 22

METODOLOGI ………...………... 24

Lokasi dan Waktu Penelitian ...………...…… 24

Alat dan Bahan ………..………... 24

Perumusan Masalah ... 25

Kerangka Pemikiran ... 26

(15)

Analisis Vegetasi ... 30

Pembuatan Herbarium ... 31

Klasifikasi Pemanfaatan Tumbuhan ... 32

Pengumpulan Data Sekunder ... 32

Analisis Data Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuha n Hutan ... 32

Nilai Ekonomi Hasil Hutan ... 33

Kontribusi Hasil Hutan Terhadap Pendapatan Total Keluarga ... 33

Kalender Musim ... 34

Analisis Data Potensi Tumbuhan ... 34

Komposisi dan Dominasi Spesies ... 34

Keanekaragaman Spesies ... 35

Kemerataan Spesies ... 35

Kesamaan Komunitas ... 36

Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Hutan ... 36

Analisis Kebijakan Pengelolaan ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

Pemanfaatan Tumbuhan Hutan ... 38

Tumbuhan Obat ... 43

Tumbuhan Sumber Pangan ... 47

Tumbuhan Penghasil Pewarna ... 52

Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati ... 52

Tumbuhan Hias ... 53

Tumbuhan Penghasil Pakan Ternak ... 54

Tumbuhan Penghasil Bahan Tali dan Anyaman Kerajinan ... 55

Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar ... 56

Tumbuhan Penghasil Minuman ... 57

Tumbuhan Penghasil Bahan Bangunan ... 58

Tumbuhan untuk Pemenuhan Adat/Budaya ... 62

Tumbuhan untuk Penggunaan Lainnya ... 63

Tumbuhan Potensial ... 64

Spesies Endemik dan Memiliki Status Perlindungan ... 65

Pola Waktu Pemanfaatan ... 67

Intensitas Pemanfaatan ... 68

Nilai Ekonomi Hasil Hutan ... 72

Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Hutan ... 74

Potensi Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng ... 77

Struktur dan Komposisi Flora ... 79

(16)

di Indonesia ... 125

Kesamaan Komunitas ... 127

Kebijakan Pengelolaan ... 129

Program dan Kegiatan 10 tahun terakhir ... 129

Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan TWA Ruteng ke depan ... 131

Prioritas Konservasi ... 132

SIMPULAN DAN SARAN ... 139

Simpulan …………...………...…… 139

Saran ………...…………...……… 140

DAFTAR PUSTAKA ...…… 141

(17)

Halaman 1. Rata-rata curah hujan dan hari hujan dan suhu harian di

wilayah Ruteng dan sekitarnya mulai tahun 1994 sampai

dengan Maret 2007 ... 12 2. Jumlah desa, rumah tangga, penduduk dan rata-rata anggota

rumah tangga sekitar TWA Ruteng tahun 2005 ... 15 3. Persentase yang berobat pada berbagai fasilitas kesehatan

selama tahun 2004 ... 16 4. Stratifikasi pengumpulan data primer ... 29 5. Klasifikasi kelompok kegunaan tumbuhan ... 32 6. Jumlah spesies dan famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar TWA Ruteng ... 39 7. Pemanfaatan sumberdaya tumbuhan hutan oleh masyarakat

sekitarnya di beberapa wilayah di Indonesia ... 40 8. Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh

masyarakat di berbagai daerah ... 45 9. Spesies tumbuhan obat yang paling sering dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar TWA Ruteng ... 46 10. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar TWA

Ruteng ... 47 11. Spesies tumbuhan hutan yang dimanfaatkan masyarakat

sekitar TWA Ruteng sebagai sumber karbohidrat ... 48 12. Spesies tumbuhan hutan TWA Ruteng yang dimanfaatkan

sebagai sayuran oleh masyarakat di sekitarnya ... 50 13. Spesies tumbuhan hutan TWA Ruteng yang dimakan

buahnya oleh masyarakat di sekitarnya ... 51 14. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai pestisida nabati ... 53 15. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai tumbuhan hias ... 54 16. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai bahan tali dan kerajinan ... 56 17. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang disukai masyarakat

oleh masyarakat sebagai penghasil kayu bakar ... 57 18. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh

(18)

masyarakat sebagai balok bangunan ... 61 20. Spesies tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk penggunaan lainnya ... 64 21. Spesies tumbuhan di TWA Ruteng yang memiliki potensi

Sebagai pewarna ... 65 22. Spesies yang memiliki memiliki status perlindungan dan

Endemik di TWA Ruteng ... 66 23 Pola pemanfaatan waktu kegiatan masyarakat sekitar TWA

Ruteng ... 67 24. Jenis-jenis pemanfaatan tumbuhan hutan dan nilai

kontribusinya terhadap total pendapatan keluarga ... 73 25. Jumlah spesies pada berbagai ketinggian di TWA Ruteng ... 80 26. Kerapatan pada berbagai tingkat pertumbuhan di TWA

Ruteng ... 84 27. Penyebaran kelas diameter di TWA Ruteng ... 87 28. Basal area per tingkat pertumbuhan di TWA Ruteng ... 91 29. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 600 m dpl ... 95 30. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 900 m dpl ... 97 31. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.000 m dpl... 9 32. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.100 m dpl... 101 33. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.200 m dpl... 103 34. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.300 m dpl... 105 35. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.500 m dpl... 107 36. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.600 m dpl... 109 37. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.700 m dpl... 111 38. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat

(19)

pertumbuhan dan INP ketinggian 1.900 m dpl... 115

40. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat pertumbuhan dan INP ketinggian 2.000 m dpl... 117

41. Beberapa spesies tumbuhan berdasarkan tingkat pertumbuhan dan INP ketinggian 2.100 m dpl... 119

42. Nilai INP famili di TWA Ruteng ... 121

43. Indeks Keanekaragaman Shanon Tumbuhan di TWA Ruteng ... 123

44. Indeks kemerataan tumbuhan di TWA Ruteng ... 125

45. Tingkat keanekaragaman tumbuhan di beberapa wilayah di Indonesia ... 126

46. Indeks kesamaan komunitas tumbuhan di TWA Ruteng ... 128

47. Program dan kegiatan aktual di TWA Ruteng sepuluh tahun terakhir ... 129

48. Frekuensi pemanfaatan tumbuhan hutan responden ... 133

49. Frekuensi pemanfaatan dan total volume pengambilan sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng ... 134

50. Potensi kerapatan tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di hutan pegunungan TWA Ruteng ... 134

51. Potensi kerapatan tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di hutan sub pegunungan TWA Ruteng ... 135

52. Potensi kerapatan tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di hutan dataran rendah TWA Ruteng ... 136

(20)

Halaman

1. Peta wilayah Taman Wisata Alam Ruteng ... 11

2. Rumah Raja Mangggarai ... 17

3. Sistem pembagian lahan pertanian di Manggarai (lingko) yang menyerupai sarang laba-laba ... 19

4. Lokasi pengambilan sampel di TWA Ruteng ... 24

5. Kerangka pemikiran analisis pemanfaatan dan potensi sumberdaya tumbuhan di TWA Ruteng, Nusa Tenggara Timur ... 27

6. Skema penempatan transek dan petak-petak pengukuran pada analisis vegetasi dengan metode garis berpetak di Taman Wisata Alam Ruteng ... 30

7. Jumlah spesies bagian tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Rute ng ... 41

8. Persentase jumlah responden mengenai upaya membudidayakan spesies hutan ... 41

9. Persentase bagian tumbuhan sebagai tumbuhan obat ... 44

10. Spesies tumbuhan sumber pangan di TWA Ruteng ... 48

11. Kulit kayu berkebo dan umbi raut sebagai pestisida nabati ... 53

12. Beberapa spesies di TWA Ruteng untuk tumbuhan hias ... 54

13. Kerajinan dari wua (Calamus heteracanthus) yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng ... 56

14. Penjualan kayu bakar kayu larang dan kebutuhan kayu bakar untuk kota Ruteng ... 57

15. Persentase frekuensi pemanfaatan tiap jenis hasil hutan TWA Ruteng ... 69

16. Persentase pemanfaatan kayu bangunan dan kayu bakar di wilayah TWA Ruteng ... 69

17. Frekuensi pemanfaatan tumbuhan TWA Ruteng selama setahun ... 70

18. Rata-rata frekuensi dan persentase frekuensi per individu pemanfaatan sumberdaya tumbuhan hutan di wilayah TWA Ruteng ... 71

19. Kontribusi pendapatan dari hasil hutan masyarakat sekitar TWA Ruteng ... 74

20. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan ... 75

(21)

22. Jumlah spesies pada berbagai ketinggian di TWA Ruteng ... 80 23. Jumlah spesies tingkat pohon pada berbagai ketinggian di

TWA Ruteng ... 81 24. Jumlah spesies tingkat tiang pada berbagai ketinggian di

TWA Ruteng ... 82 25. Jumlah spesies tingkat pancang pada berbagai ketinggian di

TWA Ruteng ... 82 26. Jumlah spesies anakan dan tumbuhan bawah pada berbagai

ketinggian di TWA Ruteng ... 83 27. Kerapatan tingkat pohon pada berbagai ketinggian di TWA

Ruteng ... 85 28. Kerapatan tingkat tiang pada berbagai ketinggian di TWA

Ruteng ... 85 29. Kerapatan tingkat pancang pada berbagai ketinggian di

TWA Ruteng ... 86 30. Kerapatan tingkat anakan dan tumbuhan bawah pada

berbagai ketinggian di TWA Ruteng ... 86 31. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 600 m dpl di

TWA Ruteng ... 88 32. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 900 m dpl di

TWA Ruteng ... 88 33. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.000 m dpl di

TWA Ruteng ... 88 34. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.100 m dpl di

TWA Ruteng ... 88 35. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.200 m dpl di

TWA Ruteng ... 89 36. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.300 m dpl di

TWA Ruteng ... 89 37. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.500 m dpl di

TWA Ruteng ... 89 38. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.600 m dpl di

TWA Ruteng ... 89 39. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.700 m dpl di

TWA Ruteng ... 90 40. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.800 m dpl di

(22)

41. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 1.900 m dpl di

TWA Ruteng ... 90 42. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 2000 m dpl di

TWA Ruteng ... 90 43. Penyebaran kelas diameter pada ketinggian 2.100 m dpl di

TWA Ruteng ... 91 44. Basal area tingkat pohon pada berbagai ketinggian di TWA

Ruteng ... 92 45. Basal area tingkat tiang pada berbagai ketinggian di TWA

Ruteng ... 92 46. Basal area tingkat pancang pada berbagai ketinggian di

TWA Ruteng ... 93 47. Indeks nilai penting famili ketinggian 600 m dpl ... 94 48. Indeks nilai penting famili ketinggian 900 m dpl ... 98 49. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.000 m dpl ... 100 50. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.100 m dpl ... 102 51. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.200 m dpl ... 104 52. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.300 m dpl ... 106 53. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.500 m dpl ... 108 54. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.600 m dpl ... 110 55. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.700 m dpl ... 112 56. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.800 m dpl ... 114 57. Indeks nilai penting famili ketinggian 1.900 m dpl ... 116 58. Indeks nilai penting famili ketinggian 2.000 m dpl ... 118 59. Indeks nilai penting famili ketinggian 2.100 m dpl ... 120 60. Persentase program dan kegiatan TWA Ruteng 10 tahun

(23)

Halaman

1. Indeks nilai penting untuk tingkat pohon tumbuhan di

Taman Wisata Alam Ruteng ... 146 2. Indeks nilai penting untuk tingkat tiang tumbuhan di Taman

Wisata Alam Ruteng ... 151 3. Indeks nilai penting untuk tingkat pancang tumbuhan di

Taman Wisata Alam Ruteng ... 157 4. Indeks nilai penting untuk tingkat anakan dan tumbuhan

bawah di Taman Wisata Alam Ruteng ... 163 5. Spesies tumbuhan yang yang dimanfaatkan oleh masyarakat

TWA Ruteng ... 172 6. Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat

sekitar TWA Ruteng ... 175 7. Data responden pada lokasi penelitian di TWA Ruteng ... 178 8. Scoring data responden penelitian di TWA Ruteng ... 180 9. Analisis regresi stepwise ... 181 10. Analisis regresi tingkat keterga ntungan masyarakat ... 182 11. Jenis tumbuhan dan frekuensi pengambilan selama satu

(24)

Latar Belakang

Pengelolaan kawasan konservasi yang dilaksanakan di Indonesia selama ini masih menitikberatkan pada upaya perlindungan yang hanya bertujuan untuk melindungi fungsi ekologis sehingga pemanfaatan kawasan konservasi bagi masyarakat sekitar menjadi terkesampingkan. Masyarakat tradisional sekitar hutan sebagian besar masih menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil hutan sehingga penetapan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi banyak menghadapi tantangan dari masyarakat di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan dasar mereka berupa kayu bakar, rotan, obat-obatan, pangan dan kebutuhan kayu bangunan berada di dalam kawasan, sedangkan menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya tidak diperbolehkan mengambil sumberdaya tersebut dari dalam kawasan.

Pengelolaan kawasan konservasi yang memisahkan penduduk dengan kawasan selama ini telah menimbulkan konflik antara pemerintah selaku pengelola kawasan dengan masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan demikian terbukti gagal meningkatkan mutu kehidupan masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Masyarakat tidak memberikan dukungan pada program konservasi bahkan cenderung lebih merusak karena pemanfaatan yang dianggap haram dan tidak terkontrol.

(25)

Masyarakat sekitar Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng sudah berinteraksi dengan kawasan sejak sebelum ditetapkan. Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TWA dilakukan terutama dalam hal pemanfaatan tumbuhan untuk berbagai keperluan yang telah berlangsung secara turun temurun sesuai dengan budaya dan kebutuhannya. Untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam pengelolaan TWA Ruteng maka perlu diberikan kebijakan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan yang ada di dalam kawasan. Pemanfaatan tersebut terbatas pada sumberdaya tertentu yang relatif lestari sebagai balasan atas dukungan masyarakat pada program konservasi.

TWA Ruteng merupakan taman wisata alam terluas di Indonesia, yakni seluas 32.245,6 hektar yang berbatasan dengan 57 desa dan 9 kecamatan. TWA ini dikelola melalui Proyek Konservasi Alam Terpadu (PKAT) sejak tahun 1993 sampai 1999 dan dilanjutkan pengelolaannya oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur hingga saat ini. Pengelolaan TWA lebih banyak menekankan pada kepentingan ekologi kawasan, sedangkan kepentingan sosial yang menyangkut pemanfaatan oleh masyarakat kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat membuka akses pemanfaatan terbatas bagi masyarakat lokal terhadap sumberdaya tertentu yang masih dapat ditoleransi fungsi perlindungannya sehingga diperoleh dukungan masyarakat sekitar bagi pengelola TWA.

Untuk melakukan kebijakan tersebut diperlukan data awal mengenai spesies tumbuhan yang dibutuhkan, pola pemanfaatan serta potensinya di dalam kawasan TWA Ruteng agar tercapai keseimbangan antara kepentingan ekologi dan sosial. Untuk itu diperlukan suatu penelitian melalui survei dan wawancara dengan masyarakat mengenai spesies-spesies tumbuhan yang dimanfaatkan dan kemudian dilakukan juga pengukuran potensinya.

(26)

dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur”.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi pola pemanfaatan sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng yang ditinjau dari segi spesies tumbuhan yang dimanfaatkan, waktu, intensitas dan nilai ekonomi dari hasil hutan yang diambil.

2. Menentukan tingkat ketergantungan masyarakat sekitar TWA Ruteng terhadap sumberdaya hutan.

3. Menentukan potensi sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada:

1. Pengelola TWA Ruteng sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan/keputusan yang menyangkut pelestarian hutan TWA Ruteng. 2. Pengembangan ilmu pengetahua n khususnya yang berhubungan dengan

keseimbangan kepentingan antara ekologi dan sosial.

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Sumberdaya Tumbuhan

Sumberdaya memiliki banyak pengertian. Pengertiannya secara umum

adalah sumber persediaan, baik cadangan maupun yang baru yang dari segi ekonomi diartikan sebagai suatu input dalam suatu proses produksi yang

selanjutnya membedakan sumberdaya alam tersebut menurut sifat kelimpahannya ke dalam tiga golongan (Soerianegara 1977), yaitu:

1. Sumberdaya yang dapat memperbaharui dirinya secara terus menerus namun akan terjadi kerusakan yang berakibat keterbatasan apabila salah menggunakannya. Contoh untuk hal ini adalah air dan udara yang akan rusak oleh pencemaran.

2. Sumberdaya yang dapat diperbaharui. Contoh untuk hal ini adalah hutan yang dapat ditanam kembali namun akan terjadi kerusakan dan bahkan kepunahan juga apabila pemungutan hasilnya tidak lagi memperhatikan kemampuan daya dukung ekologisnya.

3. Sumberdaya alam yang jumlahnya terbatas dan tidak terpulihkan. Contohnya adalah minyak yang tidak dapat dikonservasi namun sebagian produknya dapat didaur ulang untuk penghematan penggunaannya.

Chapman (1969) memberikan definisi sumberdaya sebagai hasil penilaian manusia terhadap unsur-unsur lingkungan hidup yang dibutuhkannya yang kemudian dibedakan menjadi:

1. Persediaan total (total stock), yaitu jumlah semua unsur lingkungan yang mungkin merupakan sumberdaya jika seandainya dapat diperoleh.

2. Sumberdaya (resources), yaitu suatu bagian dari persediaan total yang dapat diperoleh manusia.

3. Cadangan (reserve) ialah bagian dari sumberdaya yang diketahui dengan pasti dapat diperoleh.

(28)

dibedakannya sumberdaya tersebut ke dalam sumberdaya tanah, sumberdaya air dan udara, sumberdaya energi, serta sumberdaya hayati. Keberadaan masyarakat di sekitarnya tidak hanya berperan sebagai konsumen tetapi juga berperan sebagai pengelola, yang hasilnya baik langsung maupun tidak langsung bermanfaat untuk menunjang kehidupannya. Dalam pengelolaannya diperlukan suatu keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan sehingga diperoleh manfaat maksimal untuk mencegah kerusakan.

Dari pengertian di atas maka dalam tulisan ini yang dimaksud dengan sumberdaya tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng adalah semua unsur-unsur tumbuhan yang diperlukan oleh masyarakat di sekitar Taman Wisata Alam Ruteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari serta untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Pengertian Masyarakat Sekitar Hutan dan Kebutuhannya

Masyarakat secara umum mengandung pengertian sekelompok manusia yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu, sehingga memiliki budaya yang sama dan dapat bertindak secara terintegrasi dalam mencapai tujuan kolektif. Dalam kaitannya dengan hutan maka masyarakat sekitar hutan memiliki pengertian sebagai sekelompok orang baik yang disebut masyarakat adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang telah turun temurun bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan dan atau lahan hutan. Apabila terjadi permasalahan internal yang menyangkut akses sumberdaya hutan maka yang harus mendapatkan prioritas utama adalah masyarakat adat setempat (Sardjono 2004).

(29)

mereka juga berkembang selaras dengan dinamika permasalahan serta faktor-faktor eksternal lain yang mereka hadapi (Wiratno et al. 2004).

Sejalan dengan pengertian di atas, masyarakat sekitar hutan TWA Ruteng adalah masyarakat suku Manggarai dan menyebut diri mereka orang Manggarai. Walaupun masyarakat sekitar TWA Ruteng mengakui sebagai satu budaya namun bahasa mereka terbagi menjadi beberapa bahasa yaitu bahasa Manggarai Ruteng, Manus, Rembong dan Rongga Koe. Mereka semua mengaku adalah orang Manggarai dan apabila dua orang Manggarai dari bahasa yang berbeda bertemu maka bahasa yang dipakai adalah bahasa Manggarai Ruteng yang umum dipakai dan dikuasai oleh semua orang dalam logat atau dialek yang berbeda. Dengan adanya kendaraan umum yang masuk desa mulai ada perkawinan dengan orang luar desa, wilayah terdekat dalam satu wilayah Manggarai.

Masyarakat sekitar hutan termasuk ke dalam tipe masyarakat desa pertanian ladang, memiliki ciri tingkat homogenitas yang tinggi, mulai dari mata pencaharian, sistem pengetahuan, teknologi yang diterapkan, religi yang dianut, organisasi sosial, kesenian maupun bahasa daerah yang digunakan. Ciri-ciri ini diyakini mengandung nilai-nilai kearifan tradisional yang mampu menciptakan stabilitas kondisi sosial dan kehidupan harmonis (Nugraha dan Murtijo 2005).

Nilai-nilai kearifan tradisional tersebut terbentuk dari interaksi antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya secara berulang-ulang yang kemudian dapat mengakibatkan terbangunnya suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat sekitar hutan yang menyatu dengan ekosistem lingkungan. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar hutan untuk menopang sistem kehidupannya. Budaya tersebut terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumberdaya hutan (Nugraha dan Murtijo 2005).

(30)

pengelolaan kawasan konservasi yaitu adanya kepentingan paralel antara upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sistem sosial) dan mempertahankan kesinambungan struktur dan fungsi sumberdaya hutan (sistem alam).

Pengelolaan Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi ditetapkan sebagai suatu cara terpenting untuk menjamin agar suatu sumberdaya alam dapat dilindungi untuk memenuhi kebutuhan manusia di masa sekarang dan di masa yang akan datang melalui pelestarian. Konsep pelestarian yang dianut sebenarnya merupakan pemeliharaan dan pemanfaatan, yang keduanya harus berjalan beriringan secara seimbang. Konsep ini merupakan gabungan antara dua prinsip, yang pertama adalah kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya berdasarkan data dasar inventarisasi yang akurat serta kebutuhan melakukan tindakan perlindungan untuk menjamin agar sumberdaya tidak habis (MacKinnon et al. 1986).

Paradigma lama pengelolaan kawasan selalu memisahkan penduduk sekitar kawasan dengan kawasan konservasi atau kawasan yang dilindungi. Kawasan diperlakukan sebagai pulau yang terpisah yang tidak boleh disentuh sama sekali. Tertutupnya akses terhadap sumberdaya hutan membuat kesan tidak adanya manfaat ekonomi kawasan bagi masyarakat sekitarnya. Perbedaan cara pandang tersebut terkesan menimbulkan dikotomi. Para konservasionis memandang kawasan konservasi sebagai ekosistem yang harus dijaga keutuhan fisik dan kelestarian sumberdaya alam hayatinya semata-mata untuk menjaga keaslian dan keutuhannya sehingga akses masyarakat sekitar kawasan pada pemanfaatan harus ditutup sama sekali karena akan berdampak kerusakan. Para ekonom, memandang kawasan dengan segala potensi sumberdaya alamnya merupakan aset ekonomi yang dapat memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan apabila dieksploitasi atau dimanfaatkan secara langsung sehingga perlu dimanfaatkan seluas-luasnya dengan dukungan manusia dan teknologi (Darusman dan Widada 2004). Perbedaan cara pandang inilah yang menjadi penyebab makin hari semakin parahnya kerusakan lingkungan.

(31)

terhadap kawasan dalam cara pengelolaan hampir selalu dapat dipastikan kegagalan pengelolaannya, penduduk setempat akan menggagalkan pelestarian. Akan terjadi konflik sosial antara masyarakat sekitar hutan dan pemerintah yang berdasarkan sistem hukum dan perundang-undangan memiliki otoritas untuk mengelola hutan. Konflik tersebut dipicu oleh tiga faktor utama, yaitu: pertama adalah ketidakadilan distribusi pemanfaatan sumber daya hutan, kedua pemandulan kewenangan masyarakat desa hutan dan yang terakhir adalah kerusakan ekologi sumberdaya hutan. Ketiga faktor inilah yang pada akhirnya menjadi sebab marginalisasi masyarakat desa hutan, kurang berhasilnya program-program pembangunan kehutanan, demonstrasi masyarakat, hingga perambahan dan pengklaiman tanah hutan menjadi hak ulayat atau tanah milik masyarakat adat (Nugraha dan Murtijo 2005).

Bila pelestarian bermanfaat bagi masyarakat sekitar maka masyarakat akan mau bekerja sama dengan pengelola dalam rangka pelestarian. Bentuk manfaat bagi masyarakat yaitu pemanfaatan terbatas pada sumberdaya tertentu, hak tradisional dan kebiasaan budaya, preferensi khusus untuk memperoleh pekerjaan dan pelayanan sosial dalam batas-batas yang masih dapat ditoleransi fungsi perlindungan kawasannya (Mackinnon et al. 1986). Hal senada terkandung dalam arti konservasi yang sebenarnya menurut IUCN yaitu pengelolaan penggunaan manusia atas biosfer yang menghasilkan manfaat berkelanjutan terbesar pada generasi sekarang serta memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi-generasi masa depan. Dengan demikian konservasi itu positif mencakup pelestarian, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan mutu lingkungan alamiah (McNeely 1988).

Daerah Penyangga

(32)

Daerah penyangga diartikan sebagai suatu daerah yang berfungsi sebagai penyangga kawasan konservasi dari berbagai macam gangguan, untuk menjaga kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP Nomor 68 Tahun 1998). Tekanan dan gangguan dapat didefinisikan sebagai setiap kejadian yang secara relatif diskrit menurut waktu yang mengganggu ekosistem, komunitas atau struktur populasi dan mengubah sumberdaya, ketersediaan subtrat atau lingkungan fisik dan juga setiap proses yang dapat mengubah laju kelahiran dan kematian individu. Gangguan dan pengaruh dari daerah sekitarnya akan mempengaruhi komposisi spesies, perubahan laju dan proses-proses alam (MacKinnon et al. 1986). Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan daerah yang berbatasan dengan kawasan konservasi untuk ditujukan sebagai daerah penyangga. Lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa daerah penyangga dimaksudkan sebagai daerah yang berada di luar kawasan.

Daerah penyangga ini mutlak untuk dipahami dan diperlukan hanya apabila terlihat adanya gangguan-gangguan dari aktivitas manusia yang dinilai merugikan di dalam usaha melestarikan alam di dalam kawasan yang dilindungi atau diduga akan menimbulkan kerugian di dalam usaha pelestarian tersebut. Bagian pinggir kawasan yang berbentuk batas alam misalnya jurang, tebing tidak perlu untuk ditetapkan atau dianggap sebagai daerah penyangga (Roedja’i et al. 1990).

Selanjutnya menurut Roedja’i et al. (1990) yang dianggap sebagai ga ngguan dari daerah penyangga berdasarkan motivasinya, yaitu:

1. Mendapatkan sesuatu (hasil hutan) untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya: kayu bakar, kayu bangunan, berburu satwa, buah-buahan dan obat-obatan. 2. Mendapatkan sesuatu (hasil hutan) untuk meningkatkan pendapatannya

dengan cara menjual hasil hutan.

(33)

Gangguan kawasan dari daerah penyangga dapat juga terjadi tanpa masuknya manusia ke dalam kawasan, antara lain:

1. Perbuatan merusak tanpa disengaja, misalnya api yang menjalar dari kebun di batas sekitar kawasan konservasi.

2. Masuknya gas beracun dari pabrik yang terbawa angin. 3. Perburuan satwa yang keluar dari areal konservasi.

Panjang, lebar dan luasnya daerah penyangga tergantung dari lokasi terganggu dari besarnya gangguan, misalnya areal konservasi yang terganggu oleh pengambilan kayu bakar sepanjang perbatasan sejauh 10 km maka panjang kawasan penyangga tersebut juga 10 km. Panjang kawasan penyangga ini dapat diperpendek dengan cara mengkonsentrasikan pengambilan kayu bakar di suatu tempat dengan meningkatkan produktivitasnya (Roedja’i et al. 1990).

(34)

KONDISI UMUM LOKASI

Letak dan Luas

Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng secara administratif berada di Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis berada pada koordinat antara 8°30’ - 8°42’ LS dan 120°15’ - 120°50’ BT. Memiliki luas 32.245,6 hektar atau 0,45% dari luas Kabupaten Manggarai yang luasnya 7.136,40 km2, membujur dari arah timur ke barat yang berjarak sekitar 15 km dari pantai selatan dan 35 km dari pantai utara.

Gambar 1 Peta Wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.

Topografi

Kawasan TWA Ruteng merupakan daerah jajaran pegunungan yang dikenal sebagai pegunungan Ruteng. Terdiri dari tujuh puncak gunung, yaitu: Ranamese dengan ketinggian 1.790 m dpl, Poco Nembu 2.030 m dpl, Poco Mandosawu 2.350 m dpl, Poco Ranaka 2.140 m dpl, Poco Leda 1.990 m dpl, Ponte Nao 1.920

m dpl, Golocurunumbeng 1.800 m dpl. Sebagian besar kawasan TWA Ruteng merupakan daerah dengan ketinggian di atas 1.000 m dpl dengan keadaan

topografi bergelombang, terjal dan tidak rata, dan me miliki kecuraman lebih dari 40% (LIPI 1994).

U

Laut Flores

Selat Sumba

TN Komodo TW

A Ruten

g

PULAU FLORES

120

120

121

121

- 9 - 9

(35)

Iklim

TWA Ruteng dan sekitarnya termasuk dalam tipe iklim B atau tergolong dalam iklim basah menurut klasifikasi schmit dan ferguson. Curah hujan rata-rata 3.339,8 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 174. Bulan kering selama 3 bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm/bulan dan bulan basah selama 9 bulan dengan curah hujan diatas 100 mm/bulan. Bulan-bulan basah yaitu bulan September sampai dengan Mei dan bulan kering dari Juni sampai dengan Agustus. Suhu rata-rata minimum 18,4°C pada bulan Juli dan tertinggi 20,9°C pada bulan Desember. Data mengenai curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng dan sekitarnya selengkapnya seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata curah hujan, hari hujan dan suhu harian di wilayah Ruteng dan sekitarnya mulai tahun 1994 sampai dengan Maret 2007

Bulan Curah Hujan

Sumber: BMG Kabupaten Manggarai, 2007

Tanah

Tanah di kawasan TWA Ruteng merupakan tanah vulkanik yang tergolong subur dan dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) golongan, yaitu:

a. Andisol, pembentukannya mudah dijumpai di lereng atau pegunungan dan bukit yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik.

(36)

c. Inseptisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan tetapi tidak intensif sehingga tidak terlihat adanya bahan induk pembentukan tanah.

d. Ultisol, merupakan tanah yang sudah mengalami perkembangan lanjut sebagai akibat dari agresivitas klimatik yang intensif sehingga mineral-mineral liat terakumulasi di lapisan bawah.

Jenis-jenis tanah tersebut diatas mempunyai reaksi masam sampai sangat masam (pH 4 – 6,4) dengan kandungan bahan organik yang bervariasi mulai dari rendah sampai tinggi. Dengan karakteristik tanah yang demikian menyebabkan ion-ion basa (Na, K, Ca, dan Mg) dalam tanah umumnya rendah. Kondisi yang sama dijumpai pada unsur hara utama (N, P dan K) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Secara fisik tanah tersebut umumnya mempunyai kelas butir dari sedang sampai halus (tekstur lempung – liat) di lapisan atas dan agak halus di permukaan bawah (tekstur lempung halus – liat) (LIPI 1994).

Potensi Flora dan Fauna

Koleksi tumbuhan di wilayah pegunungan Ruteng telah dilakukan selama periode 25 tahun sejak tahun 1967-1992 oleh Verheijen. Semua spesimen dikoleksi dan disimpan di Museum Leiden Belanda. Sebanyak 252 spesies tumbuh-tumbuhan berbunga dan tidak berbunga ditemukan yang meliputi 94 famili dan 119 genera. Tanaman yang umum dijumpai adalah dari famili Euphorbiaceae dan Lauraceae (Verheijen 1982).

(37)

hutan alam pegunungan yang berada pada ketinggian 1.900 sampai 2.100 m dpl yang didominasi oleh spesies Podocarpus imbricatus dan Prunus arborea.

TWA Ruteng memiliki 65 spesies burung yang dapat dikelomp okkan ke dalam 35 famili. Beberapa spesies diantaranya merupakan spesies dilindungi seperti: elang putih (Accipiter novahollandiae), elang bondol (Haliastur indus), elang hitam (Spizaetus cirhatus), elang tikus (Elanus caeruleus), elang menara

(Falco molluccensis), raja udang ekor panjang (Tansiptera galatea), kokak

(Philemon buceroides) dan burung isap madu (Nectarina jugularis).

Mamalia besar yang dapat ditemui di wilayah ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), landak (Hystrix brachyura), babi hutan (Sus

sucrofa vitatus), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Rusa timor (Cervus

timorensis florensis) telah lama punah di TWA Ruteng. Spesies mamalia

endemik yang ada di TWA Ruteng adalah tikus besar betu (Papagomys

armandvillei) yang merupakan spesies terbesar di dunia, tikus poco ranaka (Rattus

hainaldi), dan kelelawar flores (Cynopterus nusatenggara) (Departemen

Kehutanan 1995).

Jumlah Penduduk dan Matapencaharian

Kawasan TWA Ruteng berbatasan dengan 57 desa pada 9 kecamatan di Kabupaten Manggarai. Jumlah penduduk keseluruhan adalah sejumlah 133. 175 jiwa yang terdiri dari 66.790 jiwa laki-laki dan 66.485 jiwa perempuan. (BPS Kabupaten Manggarai 2005)

(38)

Penduduk yang ada sebagian besar (86%) bekerja di sektor pertanian, sekitar 4% di sektor jasa, 2% di sektor industri, 2% perdagangan dan sisanya adalah petambangan (Galian C), komunikasi dan lainnya.

Tabel 2 Jumlah desa, rumah tangga, penduduk dan rata-rata anggota rumah tangga sekitar TWA Ruteng Tahun 2005

Kecamatan

Sumber: BPS Kabupaten Manggarai 2005.

Sarana dan Prasarana

Fasilitas pendidikan yang ada di sekitar TWA Ruteng cukup memadai. Fasilitas untuk pendidikan Sekolah Dasar telah ada di setiap desa sedangkan Sekolah Menengah Pertama ada di setiap kecamatan sejumlah 37 buah yang tersebar di setiap kecamatan. Pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas terdapat di kota Ruteng, dan untuk sekolah tinggi telah tersedia 2 Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan satu Universitas Jurusan Kehutanan dan Pertanian.

Desa-desa sekitar TWA Ruteng sudah dijangkau fasilitas penerangan listrik PLN mulai tahun 1997. Fasilitas ini membawa banyak perubahan pada pola hidup masyarakat seperti: adanya televisi dan parabola, seterika listrik, penanak nasi listrik, lemari es dan peralatan listrik lainnya. Waktu tidur lebih larut dan bangun tidur lebih awal sehingga waktu sepanjang hari menjadi terasa lebih panjang. Aktivitas harian tidak lagi dibatasi oleh terang sinar matahari.

(39)

Puskesmas dan Puskesmas Pembantu tersebar di setiap kecamatan sedangkan Balai Pengobatan/BKIA terdapat di Kecamatan Langke Rembong dan Kecamatan Elar. Keberadaan Puskesmas/Pustu yang tersebar di setiap kecamatan membantu memperbaiki kesehatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat, yakni sebesar 56,62% melakukan pengobatan di Puskesmas terdekat. Data mengenai persentase yang berobat pada berbagai fasilitas kesehatan selama Tahun 2004 selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase yang berobat pada berbagai fasilitas kesehatan Tahun 2004

Uraian Laki-laki Perempuan Total

RS Pemerintah 1,27 0,97 1,11

RS Swasta 1,65 0,6 1,14

Praktek Dokter 9,91 7,56 8,65

Puskesmas/Pustu 52,6 60,3 56,65

Poliklinik 9,49 4,8 6,69

Praktek Petugas Kesehatan 14,2 12,52 13,32

Praktek Tradisional 0,28 0,25 0,26

Lainnya 10,6 13 11,88

Sumber: BPS Kabupaten Manggarai (2005).

Sosial Budaya Masyarakat

Asal Usul Orang Manggarai

Menurut Hadiwiyono (1985), suku-suku di Nusa Tenggara Timur merupakan bagian dari suku-suku di Indonesia bagian timur. Bagian ini merupakan suatu daerah peralihan dari Indonesia dan Melanesia dan merupakan percampuran dari bermacam-macam unsur budaya dari daerah-daerah dengan berbagai tingkatan di berbagai daerah. Percampuran ini juga termasuk ras yaitu ras Melanesia dan Weddoid. Sedangkan penduduk pulau Flores secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok suku yaitu:

a) Flores barat yang terdiri dari suku Manggarai dan Riung

b) Flores barat tengah yang terdiri atas suku Ngada atau Nad’a atau Ngadha. c) Flores timur yaitu penduduk Flores selain Flores Barat dan Flores Barat

(40)

Pusat Budaya Manggarai

Rumah Raja Manggarai terletak di kampung Todo yang berjarak 32 kilometer sebelah barat daya Kota Ruteng. Rumah ini merupakan bekas kebesaran Kerajaan Manggarai yang dibangun pada abad 17. Orang Manggarai menyebut bangunan ini dengan Niang Mbowang Todo. Rumah tersebut merupakan simbol peradaban suku Manggarai yang masih bertahan saat ini dan tetap difungsikan sebagai tempat upacara adat untuk meminta bantuan gaib dari para leluhur.

Para keturunan raja pada waktu tertentu bertemu di tempat ini untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian. Di bawah pimpinan kepala suku yang dituakan semua permasalahan secara damai dibicarakan bersama.

Gambar 2 Rumah Raja Manggarai, bagian depan adalah pintu masuk, bangunan kecil sebelah kiri adalah tempat memasak saat upacara adat, batu bulat berbentuk lingkaran adalah compang, tempat mencurahkan darah binatang korban.

Kepimimpinan Adat

Berdasarkan sosial budaya, masyarakat Manggarai memiliki struktur adat tersendiri. Para ketua adat dalam struktur adat Manggarai mulai dari yang tertinggi adalah:

a. Tu’a gendang, pemimpin atas wilayah kekuasaan satu rumah gendang. b. Tu’a golo (kepala beo) berperan dalam kepemimpinan beo dan juga penentu

(41)

c. Tu’a teno berperan dalam pembagian tanah dan penentu penyelesaian permasalahan yang utamanya menyangkut masalah konflik batas tanah. d. Tu’a panga atau wa’u, panga artinya suku jadi tu’a panga berarti kepala suku

dalam satu keturunan. (Departemen Kehutanan 1995)

Pembentukan Wilayah Dan Pengelolaan Lahan

Orang Manggarai telah memiliki struktur pemerintahan tersendiri disamping yang memiliki kemiripan dengan sistem administrasi modern saat ini. Kerajaan Manggarai luasnya adalah sama dengan wilayah Manggarai saat ini (Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat). Kecamatan disebut juga dengan

kedaluan. Nama-nama kedaluan ini masih dipakai sebagai nama kecamatan saat

ini seperti misalnya Kedaluan Ruteng, Satar mese, Poco Leok, Ci’bal. Sedangkan bagian lebih kecil dari kedaluan yang mirip dengan desa adalah gelaran. Gelaran

ini juga merupakan pusat kampung orang Manggarai. Sedangkan wilayah dusun atau kampung yang merupakan bagian dari desa disebut juga dengan beo atau

golo.

Pembangunan rumah adat juga melalui prosesi upacara adat. Setelah dilakukan pemilihan pohon yang akan ditebang untuk siri bongkok (tiang induk), dilakukan acara adat dengan membawa satu ekor babi yang dimaksudkan untuk meminang pohon menjadi siri bongkok. Bila terjadi kerusakan rumah adat maka untuk merehabnya juga diadakan acara adat yang dimaksudkan untuk memberitahu leluhur yang dahulunya membangun rumah tersebut. Setelah pembangunan rumah adat dan pembagian lahan diadakan acara syukuran adat yang disebut penti. Acara penti ini diperingati oleh masyarakat Manggarai setiap tahun setiap bulan Juli atau Agustusmenunggu setelah musim panen.

(42)

Gambar 3 Sistem pembagian lahan pertanian di Manggarai (lingko) yang menyerupai sarang laba-laba.

Bagian pertama adalah untuk tu’a golo dan tu’a teno yang luasnya diperoleh dari besarnya dua ibu jari tu’a teno di pusat tanah, ditarik garis lurus membentuk segi tiga dari pusat tanah. Bagian ibu jari ini disebut dengan moso rembo. Bagian yang kedua adalah untuk keluarga tu’a panga yang luasnya diperoleh dari besarnya jari telunjuk tu’a teno di pusat tanah, ditarik garis lurus membentuk segi tiga dari pusat tanah. Bagian jari telunjuk ini disebut dengan moso koe. Bagian ketiga adalah bagian kecil-kecil yang diperoleh dari jari tengah yang dimiringkan untuk anak-anak tu’a golo dan tu’a teno. Bagian ini disebut moso iret. Iret artinya membelah karena jari tengah dimiringkan seperti membelah sesuatu. Bagian paling akhir yang juga disebut moso iret adalah jari manis yang dimiringkan yang diperuntukkan bagi keturunan para pendatang.

Satu bagian tanah seperti irisan kue pisa ini disebut dengan lodok. Sehingga besarnya lodok ditentukan oleh garis keturunan. Untuk tanda batas

lodok biasanya ditanami nao (Cordyline terminalis).

(43)

keluarga-keluarga baru yang jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Karena itu lingko disebut pula tanah adat milik keluarga.

Dalam bentuk penguasaan yang lebih luas tanah-tanah di Manggarai secara tradisional dikuasai keluarga-keluarga besar di dalam klan/suku. Dalam sistem penguasaan tanah yang semakin luas itu dikenal tanah milik atau lingko

milik klan/suku. Lingko adalah tanah pertanian yang sudah diakui hak miliknya secara komunal maupun perorangan yang merupakan bentuk ikatan garis keturunan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai hingga saat ini. Tempat tinggal yang sudah lama ditinggalkan dikenal dengan nama

bangka (Kampung lama). Kampung ini dtinggalkan karena alasan bencana

seperti tanah longsor, wilayah datar yang terlalu sempit atau karena terpencil sehingga sulit berkomunikasi dengan masyarakat luar. Tempat-tempat yang ditinggal pergi ini kemudian menghutan dan menurut masyarakat termasuk dalam kawasan-kawasan lindung dan menjadi sumber konflik antara pengelola TWA Ruteng dan masyarakat adat.

Semakin sempitnya lahan garapan memaksa masyarakat untuk kembali mengerjakan Tobok. Tobok adalah tanah kosong yang kritis dan biasanya terletak di punggung bukit diantara dua sungai kecil yang sempit. Tobok merupakan tanah yang tidak ada pemiliknya, yang tidak terpakai karena tidak subur dan tidak diatur oleh tu’a teno.

Di dalam sistem budaya Manggarai tidak ada istilah hutan. Hanya ada istilah lingko dan di dalam hutan tidak ada lingko. Hutan adalah kawasan yang tidak bertuan yang sejak turun temurun bebas untuk dirambah.

Kepemilikan Tanah Adat

(44)

Di dalam hukum tradisional wanita tidak dibenarkan mewarisi tanah lingko. Petak tanah (moso) di dalam lingko rame hanya untuk diwariskan kepada anak lakinya dan jika tidak punya anak laki diberikan kepada kakak laki-laki dan anak laki-laki-laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki.

Di satu beo terdapat satu rumah adat yang disebut rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang utamanya digantungkan 8 buah gendang sebagai pertanda arah angin yang dibunyikan saat upacara adat atau pengumpulan massa. Pusat tanah (teno) berada di pusat rumah gendang dan pusat

lingko yang merupakan simbol persatuan dari suku dan kampung tradisional.

Upacara adat dan Ikatan Perkawinan

Walaupun pengetahuan tentang kepercayaan setempat sudah berkurang, namun keterikatan dengan nenek moyang masih kuat. Dalam kepercayaan setempat nenek moyang dianggap sebagai kekuatan yang membuat subur tanah pertanian. Perkawinan mengikuti aturan adat dan disahkan oleh gereja. Biasanya ada mahar berupa kerbau, kuda dan juga uang tunai.

Pembagian Pekerjaan Dalam Rumah Tangga

Pria mempunyai tugas bekerja di kebun, mengumpulkan kayu bakar, membuat pagar, membangun rumah, memelihara kuda dan kerbau, menjadi buruh bangunan pada proyek pembangunan jalan, membawa hasil pertanian ke pasar atau melakukan transaksi dengan pembeli dan mengump ulkan kayu api dari hutan. Wanita mempunyai tugas memasak, mengurus anak, memberi makan ternak, mengambil air, mencuci pakaian dan bekerja di ladang, dan mencari kayu api dari ladang setiap hari. Anak-anak mempunyai tugas membantu mengambil air, kayu api dan memberi makan ternak.

Sikap dan Penilaian Terhadap Hutan

(45)

penghidupan. Tanpa hutan tidak akan ada air dan hujan. Sumb er mata air yang terletak di dalam hutan selalu dilindungi oleh sistem adat.

Penebangan pohon di sekitar mata air dilarang. Di desa-desa ada hutan adat atau yang disebut juga dengan pong sebagai tempat penjaga hutan (poti), sehingga tidak boleh dimasuki secara sembarangan. Memasuki pong secara sembarangan berarti bisa terkena bala apalagi menebang pohon khususnya pohon sejenis beringin (Ficus spp). Pong di wilayah Mano (sekitar TWA Ruteng) dan Iteng (hutan lindung Inem Mbele) masih terjaga hingga saat ini.

Sistem Permukiman dan Budidaya

Sistem permukiman sekitar TWA Ruteng seperti layaknya masyarakat tradisional Manggarai adalah berkelompok dan melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. Di pusat kampung ditanam pohon beringin (Ficus benjamina) dan merupakan tempat melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah gendang.

Sistem permukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di Manggarai walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini, hanya para tokoh adat dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah modern yang dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian samping atau belakang rumahnya.

Masyarakat umumnya hidup dari hasil kopi dan hasil kebun di belakang rumah. Sebagian dari mereka hidup dengan bertani sawah bertanam padi, tadah hujan dan juga irigasi semi teknis. Cara hidup subsisten masih terlihat dari jenis-jenis tanaman ynag ditanam terutama makanan pokok tidak untuk dijual tetapi hanya cukup untuk kebutuhan makanan keluarga. Sedangkan untuk kebutuhan uang didapatkan dari hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, vanili, kemiri, coklat, jambu mete dan merica (Wawo 1998).

Pengelolaan Taman Wisata Alam Ruteng

(46)

kelompok hutan tersebut kemudian ditetapkan sebagai satu kawasan hutan Taman Wisata Alam dengan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 456/Kpts-II/93 tanggal 24 Agustus 1993.

Sejak tahun 1993 kawasan ini dikelola Departemen Kehutanan melalui Proyek Konservasi Alam Terpadu (PKAT) dengan sistem pendekatan Integrated

Protected Area Systems (IPAS) yang merupakan salah satu dari dua bagian proyek

yaitu: Taman Wisata Alam Ruteng dan Taman Nasional Siberut di Sumatera Barat (Departemen Kehutanan 1995).

Pada tahun 1998 TWA Ruteng ditetapkan menjadi bagian dari pengelolaan Unit Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur II yang berkedudukan di Ruteng Kabupaten Manggarai dan merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kahutanan dan Perkebunan Nomor: 204/Kpts-II/1998, tanggal 27 Pebruari 1998. Dengan demikian sejak tahun itu TWA Ruteng bukan lagi satu pengelolaan tersendiri tetapi merupakan bagian dari UPT yang juga menangani 15 kawasan seluas 133.203,64 ha. Pada tahun 2002 status UPT ditingkatkan dari Eselon IV menjadi Eselon III menjadi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur II.

(47)

# T AMAN WISATA ALAM RUTENG

KABUP ATEN MANGG ARAI PROPINSI NT T

SKALA 1 : 25 0.000

3 0 3 6 9 KM

U

Kawas an TWA Ruteng # Kota Ruteng

Ds. Umung (Dtr. ren dah) Ds. Ranaka (Pegunungan)

Ds. Gololoni (Sub P egnan) LEGENDA

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tiga lokasi yang ditentukan secara acak. Daerah-daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel adalah: Desa Umung mewakili hutan dataran rendah, Desa Gololoni mewakili Desa Sub Pegunungan dan Desa Ranaka mewakili hutan pegunungan. Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan mulai bulan April sampai dengan Juni 2007. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel di TWA Ruteng

Alat dan Bahan

(48)

Perumusan Masalah

Kawasan konservasi memiliki arti penting menyangkut keseluruhan aspek penting sistem penopang kehidupan. Di dalamnya mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, siste m pengetahuan, etika dan kaitan diantara aspek ini. Pelestarian hutan yang bijaksana tidak hanya mementingkan satu sisi saja tetapi harus memperhatikan semua aspek penting tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang optimal untuk kesejahteraan bersama. Pendekatan pelestarian dari sisi nilai lingkungannya saja akan berdampak pada pengelolaan kawasan karena dianggap hanya menimbulkan biaya yang besar dengan sedikit manfaat serta tantangan dari masyarakat sekitarnya. Tantangan dari masyarakat diperkirakan akan timbul karena mereka merasa tidak mendapatkan manfaat langsung. Sebaliknya pendekatan dari sisi ekonomi jangka pendek saja berdampak eksploitasi yang tidak terkendali sehingga akan mengakibatkan kerugian berupa kerusakan lingkungan (BAPPENAS 2003).

Masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya terhadap sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Masyarakat merupakan bagian dari subyek pengelolaan kawasan konservasi yang diperlukan dukungannya untuk ikut berperan dalam pelestarian kawasan. Upaya pelestarian kawasan TWA Ruteng harus mempertimbangkan keberadaan masyarakat dan kebutuhan hidup yang diperlukan di dalam kawasan. Pengelolaan diarahkan pada kelestarian hutan sekaligus untuk mendukung dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya.

(49)

Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Spesies-spesies tumbuhan apa yang terdapat di dalam TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

2. Bagaimana pola waktu pemanfaatan sumberdaya hayati (kalender musim) yang dilakukan masyarakat sekitar TWA Ruteng.

3. Bagaimana ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan TWA Ruteng. 4. Seberapa besar potensi hasil hutan yang ada di dalam kawasan TWA Ruteng

Kerangka Pemikiran

Potensi sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng dan pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar secara tradisional penting untuk diketahui. Potensi yang ada di dalam TWA Ruteng dapat diketahui melalui kegiatan analisis vegetasi sedangkan pola pemanfaatannya dapat diketahui melalui kegiatan survey dan wawancara.

Melalui analisis vegetasi dapat diketahui seberapa besar potensi tumbuhan di dalam Taman Wisata Alam Ruteng yang meliputi spesies apa yang ada didalamnya, apa nilai kegunaan sumberdaya tersebut, indeks nilai penting, keanekaragaman spesies, kemerataan dan kesamaan komunitasnya. Demikian juga dari survey dan wawancara dengan masyarakat akan diketahui karakteristik interaksi dan pola waktu pemanfaatannya terhadap sumberdaya tumbuhan TWA Ruteng.

(50)

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dapat disusun diagram alir kerangka penelitian ”Analisis Pemanfaatan dan Potensi Sumberdaya Tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur” seperti disajikan pada Gambar 5.

sesuai tidak

sesuai sesuai

Gambar 5 Kerangka pemikiran analisis pemanfaatan dan potensi sumberdaya tumbuhan di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur.

Pengumpulan Data Pemanfaatan Hasil Hutan

Metode pengambilan sampel data primer pola pemanfaatan yang digunakan adalah Stratified Random Sampling. Sampel diambil secara acak dengan terlebih dahulu mengelompokkan atau melakukan stratifikasi (Singarimbun dan Efendi 1989). Dalam penelitian ini stratifikasi dilakukan berdasarkan tipe hutan dan jarak

Sumberdaya Tumbuhan di TWA Ruteng

Pemanfaatan oleh masyarakat (Survey dan Wawancara)

Program aktual 5 - 10 thn terakhir DATA DIPEROLEH

- Pola pemanfaatan - Tingkat ketergantungan

masyarakat sekitar hutan - Potensi tumbuhan

PROGRAM DAN KEGIATAN YANG DIDUKUNG DAN MELIBATKAN MASYARAKAT SEKITAR TWA RUTENG Potensi Tumbuhan

(Analisis Vegetasi)

ANALISIS DATA

KESEIMBANGAN ANTARA POTENSI DAN PEMANFAATAN

(51)

antara tempat tinggal dengan batas hutan TWA Ruteng. Untuk tipe hutan dibedakan atas hutan dataran rendah (ketinggian 600 m dpl), hutan sub pegunungan (ketinggian 900 – 1.300 m dpl) dan hutan pegunungan (ketinggian 1.500 – 2.100 m dpl) dan untuk jarak antara tempat tinggal denga n batas hutan dibedakan atas 0 – 1 km, 1 – 2 km dan 2 – 3 km.

Pengambilan tiga tipe hutan tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada di TWA Ruteng. Hutan di TWA Ruteng memiliki ketinggian antara 500 sampai dengan 2.350 m dpl (Departemen Kehutanan 1995). Pengambilan contoh sampel untuk hutan dataran rendah dilakukan pada ketinggian 600 m dpl, hutan sub pegunungan pada ketinggian 900 – 1.300 m dpl dan hutan pegunungan pada ketinggian 1.500 – 2.100 m dpl. Sedangkan jarak antar tempat tinggal disesuaikan dengan jarak antar kelompok masyarakat yang tinggal atau kampung yang berdekatan mulai dari yang terdekat dengan hutan. Jarak antar kampung di lokasi penelitian adalah sekitar 1 km.

Penentuan jumlah sampel dalam suatu penelitian ditentukan oleh teknik analisa data yang akan dilakukan. Untuk sampel yang akan dianalisa dengan teknik korelasi maka sampel yang harus diambil minimal 30 (Singarimbun dan Efendi 1989). Unit contoh dalam pengumpulan data yang bersumber dari responden pada penelitian ini adalah kepala keluarga. Jumlah unit contoh yang diamati pada setiap stratum penelitian sebanyak 10 orang yang dilakukan secara acak. Jumlah ini ditentukan karena dianggap telah mewakili dan memenuhi syarat dalam penelitian ini.

Berdasarkan jumlah strata tipe hutan dan jarak tempat tinggal dari batas kawasan hutan TWA Ruteng maka total unit contoh yang diamati adalah sebanyak 90 kepala keluarga. Sebaran unit contoh berdasarkan strata disajikan pada Tabel 4.

(52)

Tabel 4 Stratifikasi Pengumpulan Data Primer Jarak

(km)

Jumlah Unit Contoh (Kepala Keluarga)

Jumlah H. Dataran Rendah H. Sub Pegunungan H. Pegunungan

0 – 1 10 10 10 30

1 – 2 10 10 10 30

2 – 3 10 10 10 30

Jumlah 30 30 30 90

Dalam survey pada masyarakat sekitar TWA Ruteng dilakukan pengumpulan data penting yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Pola pemanfaatan hasil hutan

Pola pemanfaatan hasil hutan dibedakan atas jenis-jenis tumbuhan yang diambil, waktu, intensitas dan nilai ekonominya.

2. Motivasi pengambilan hasil hutan

Untuk mengetahui tujuan pengambilan hasil hutan tersebut, untuk keperlua n hidup sehari-hari (subsisten), untuk dijual (uang tunai) ataukah untuk keperluan bersama atau komunitas untuk tujuan kepentingan ritual adat. 3. Dicatat pula data-data lain yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber

daya seperti kebiasaan, cara dan budaya pemanfaatan dan data-data yang mendukung lainnya melalui wawancara yang mendalam dengan key informan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara eksploratif-partisipatif-deskriptif. Arah penelitian adalah penemuan fakta di lapangan berdasarkan potensi maupun gejala faktual yang ada pada lokasi penelitian yang selanjutnya fakta tersebut dapat dipakai sebagai deskripsi dan solusi melalui interpretasi dan informasi data yang diperoleh.

Teknik yang digunakan dalam pengambilan data kajian adalah pendekatan kualitatif dengan dukungan data kuantitatif yang diambil. Pertanyaan diajukan dengan terlebih dahulu membuatkan daftarnya (terstruktur) yang dilakukan melalui observasi lapangan terlebih dahulu, kemudian melakukan wawancara (Singarimbun dan Efendi 1989).

(53)

TWA Ruteng. Sedangkan untuk menggali data yang lebih mendalam dilakukan wawancara pada tokoh-tokoh adat desa dan pemuka masyarakat.

Pengumpulan Data Potensi Tumbuhan

Potensi sumberdaya tumbuhan yang menjadi tujuan utama penelitian adalah sumberdaya tumbuhan di dalam TWA Ruteng yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk mengetahui potensinya dilakukan dengan cara:

Analisis Vegetasi

Untuk mengetahui potensi sumberdaya tumbuhan di TWA Ruteng

dilakukan analisis vegetasi. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak. Peletakan garis/transek dilakukan secara sistematik sampling. Transek dibuat pada setiap ketinggian tempat dengan interval antar transek 100 m dpl. Pada setiap plot yang telah ditentukan dibuat garis transek sepanjang kurang lebih 200 m dengan arah tegak lurus kontur atau aliran sungai. Pada garis transek dibuat petak-petak contoh berukuran 20 x 20 m (Gambar 5).

Gambar 6 Skema penempatan transek dan petak-petak pengukuran pada analisis vegetasi dengan metode garis berpetak di Taman Wisata Alam Ruteng.

Keterangan:

A = Petak pengukuran untuk pohon (20 x 20 m) B = Petak pengukuran untuk tiang (10 x 10 m) C = Petak pengukuran untuk pancang (5 x 5 m)

D = Petak pengukuran untuk semai dan tumb uhan bawah (2 x 2 m)

Untuk setiap petak ukur dilakukan pengukuran terhadap semua tingkat tumbuhan, yaitu:

a. Petak 20 m x 20 m untuk pengukuran dan pencatatan tingkat pohon.

20 m D

C

Gambar

Gambar 1 Peta Wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.
Gambar 3 Sistem pembagian lahan pertanian di Manggarai (lingko) yang menyerupai sarang laba-laba
Gambar 4   Lokasi pengambilan sampel di TWA Ruteng
Gambar 5.
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Telah dilakukan penelitian deskriptif observasional tentang pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan oleh pengobat tradisional di Kecamatan Ile Mandiri, Lewolema dan

Tinjauan akan meliputi morfologi, fitokimia, dan etnofarmakologi dari tiga jenis tumbuhan Glochidion yang banyak dimanfaatkan di sekitar kawasan Ketambeyaitu menet

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jenis-jenis tumbuhan obat yang mempunyai nilai penggunaan tinggi oleh masyarakat sekitar TWA Bukit Kelam, menganalisis kesepakatan

Pemanfaatan tumbuhan obat dalam pengobatan merupakan kegiatan turun-temurun yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Kecamatan Alor Tengah Utara Kabupaten Alor,

Pemanfaatan tumbuhan obat dalam pengobatan merupakan kegiatan turun-temurun yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Kecamatan Alor Tengah Utara Kabupaten Alor,

2.198 523,6 74,8 Sangat Baik 4 Perilaku terhadap keberadaan Hutan TWA Bipolo 816 196,61 49,15 Netral Berdasarkan Tabel 4.9 di atas, di peroleh skor perhitungan