• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik dan Kinerja Enzim Mannanase pada Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sifat Fisik dan Kinerja Enzim Mannanase pada Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

i

RINGKASAN

FITRIA TSANI FARDA. D24070236. 2011. Sifat Fisik dan Kinerja Enzim

Mannanase pada Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir Erika B. Laconi, MS

Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit terus meningkat dengan perkiraaan total luas areal kelapa sawit sebesar 7 824 623 ha (Dirjen Perkebunan, 2010). Pembuatan minyak sawit (Crude Palm Oil, CPO) menghasilkan hasil samping berupa bungkil inti sawit (Palm Kernel Meal). Kendala utama pemberian bungkil inti sawit pada unggas adalah tingginya kandungan karbohidrat sukar larut yaitu mannan. Pengayakan dan perlakuan enzimatis merupakan metode yang digunakan saat ini dalam menangani permasalahan pada bungkil inti sawit. Pemberian enzim penghidrolisis serat pada bungkil inti sawit dapat meningkatkan kualitas bungkil inti sawit (Handoko, 2010). Penelitian ini mengkaji sifat fisik produk bungkil inti sawit hasil ayakan dengan ukuran ayakan berbeda serta mengkaji kinerja enzim pada bungkil inti sawit hasil ayakan terbanyak.

Perlakuan uji fisik dilakukan masing-masing tiga ulangan untuk menguji sifat fisik bungkil inti sawit giling berdasarkan empat jenis ukuran ayakan (mesh 16, mesh 30, mesh 50, mesh 100). Peubah yang diamati adalah berat jenis, daya ambang, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, derajat keasaman dan kelarutan total. Produk bungkil inti sawit dari mesh 30 kemudian ditambahkan enzim sebagai perlakuan dengan tiga ulangan yaitu pemberian enzim mannan komersial 0,1mL/gram BIS (setara dengan 919,27x106 U/liter), enzim cairan rumen 0,1mL/gram BIS (0,013x106 U/liter enzim cairan rumen) dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi berat jenis, sudut tumpukan, daya ambang, kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis bungkil inti sawit menurun seiring dengan menurunnya diameter lubang ayakan, sebaliknya sudut tumpukan dan daya ambang bungkil inti sawit meningkat seiring menurunnya diameter lubang ayakan. Pemberian enzim mannanase komersial dan pemberian enzim cairan rumen nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan gula pereduksi dari 4,806 mg/g menjadi 10,516 mg/g (meningkat sebesar 118,8%) dan 5,921 mg/g (meningkat sebesar 23,2%). Peningkatan gula pereduksi mengindikasikan adanya peningkatan karbohidrat sukar larut yang dapat dipecah. Penambahan enzim cairan rumen meningkatkan total gula pereduksi produk bungkil inti sawit mesh 30 sebesar 23,2% meskipun memiliki aktivitas enzim mannanase yang lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial.

(2)

ii

ABSTRACT

Phisycal Characteristic and Power of Mannanase Enzim of Palm Kernel Meal

Farda, F. T., Nahrowi, dan E. B. Laconi

The aim of this research were to examine physical characteristic and to evaluate performance of enzyme in hidrolyzing palm kernel meal. After milling, palm kernel meal was sieved using mesh 16, mesh 30, mesh 50, mesh 100 as treatments. The variables observed were a spesific grafity, floating rate, bulk density, compacted bulk density, angle of respose, acidity and total solubility. The palm kernel meal for sieving in mesh 30 was subjected to enzyme with following treatment i.e; commercial enzyme mannanase 0.1 ml/ g BIS (equivalent to 919.27x106 U/ liter), 0.1 ml of rumen fluid enzymes / BIS grams (equivalent to 0.013x106 U / liter) and controls. The results showed that sieving decreased (P<0.01) spesific grafity, bulk density and compacted bulk density, and increased angle of respose and floating rate. Addition of commercial enzyme mannanase and addition rumen fluid enzyme significantly (P <0.05) increased the amount of reducing sugars. It is concluded that spesific grafity, bulk density and compacted bulk density of palm kernel meal decreased and angle of respose and floating rate increased as decreasing the size of sieving. Rumen fluid enzyime was increased reducing sugar of palm kernel meal mesh 30 (23.2%), although mannanase activity of rumen lower than mannanase activity of commercial enzyme.

(3)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu cara meningkatkan produksi peternakan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas dari pakan ternak. Pakan yang baik dan berkualitas tinggi akan memberikan hasil yang baik pula. Pakan dapat berasal dari hasil samping pertanian dan perkebunan sehingga hasil samping pertanian dan perkebunan tidak terbuang sia-sia.

Industri perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber yang memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pakan lokal di Indonesia mengingat pengembangan sektor perkebunan ini yang terus meningkat setiap tahunnya yang memberikan konsekuensi pula terhadap peningkatan limbah atau hasil samping (Sukria, 2009). Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit cukup banyak sehingga hal ini dapat dijadikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan limbahnya. Kelapa sawit menghasilkan dua sumber hasil samping padat yaitu hasil samping dari areal perkebunan dan pabrik pengolahan. Hasil samping areal perkebunan berupa pelepah, daun, batang kelapa sawit, sedangkan dari pabrik berupa serat perasan buah, lumpur minyak sawit, dan bungkil inti sawit.

Pembuatan minyak sawit menghasilkan bungkil inti sawit (Palm Kernel Cake) sebagai hasil sampingnya. Oleh karena itu, pemanfaatan bungkil inti sawit cukup berpotensi untuk membantu dalam meningkatkan jumlah jenis pakan ternak yang baik. Bungkil inti sawit dinilai cukup berpotensi sebagai pakan ternak karena memiliki kandungan yang dibutuhkan oleh ternak, tetapi harus ditingkatkan kualitasnya agar mencapai mutu yang baik bagi produktifitas ternak.

(4)

2 Penelitian yang mengkombinasikan perlakuan ayakan dan enzim belum pernah dilakukan dan belum ada informasi terkait mengenai uji fisik sekaligus perlakuan enzim terhadap perubahan kualitas bungkil inti sawit. Penelitian ini mengkaji sifat fisik produk bungkil inti sawit hasil ayakan dengan ukuran ayakan berbeda serta mengkaji kinerja enzim mannanase pada bungkil inti sawit hasil ayakan terbanyak.

Tujuan

(5)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Bungkil Inti Sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi non migas dari sektor pertanian andalan Indonesia. Deptan (2010) melaporkan bahwa luas tanam kelapa sawit tahun 2008 mencapai 7 014 007 hektar dengan produksi crude palm oil (CPO) sebesar 18 106 396 ton (20% dari tandan buah segar yang dihasilkan). Indonesia memiliki perkebunan sawit yang tersebar di beberapa pulau besar. Perkiraaan total luas areal kelapa sawit sebesar 7 824 623 ha tahun 2010 dan sebesar 4 953 382 ha luas areal produktif dengan produksi minyak inti sawit mencapai 14 629 503 ton (Dirjen Perkebunan, 2010).

Produksi bungkil inti sawit yang dihasilkan di Indonesia cukup banyak sehingga berpotensi cukup ketersediaannya sebagai pakan ternak. Bungkil inti sawit (Palm Kernel Cake) merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan ternak. Kandungan protein kasarnya bervariasi antara 15-17%. Kandungan protein dipengaruhi oleh kualitas buah sawit dan sistem pengolahan. Bungkil inti sawit cukup potensial untuk pakan ternak dengan melihat kandungannya 15,43% protein kasar, 15,47% serat kasar, 7,71% lemak, 0,83% Ca, 0,86% P, dan 3,79% Abu (Amri, 2006). Asam lisin menjadi faktor pembatas pada bungkil inti sawit sebagai bahan pakan, yang diikuti asam amino yang mengandung sulfur (metionin, sistein) dan triptofan (Alimon, 2005).

Dinding sel bungkil inti sawit mengandung 57,1% mannose (Gambar 1) dari mannan dengan rataan sebesar 41,45% (Chong, 1999). ADF (Acid-Detergent Fiber) 52% menunjukkan bungkil inti sawit mengandung komponen dinding sel yang sulit dicerna, terutama bagi non-ruminan (Sukria et al., 2009).

HOCH

(6)

4 Dinding sel bungkil inti sawit relatif tebal, terutama merupakan polisakarida berupa a-gel like matrix yang keras oleh adanya lignin dan silika sehingga sukar dicerna oleh enzim. Komponen terbesar lainnya adalah sellulosa yang resisten terhadap degradasi biologis dan hidrolisis asam. Hidrolisis sellulosa dapat ditingkatkan dengan perlakuan penggilingan untuk memperluas bidang permukaan material, pengukusan atau perlakuan zat kimia (Sukria et al., 2009). Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien dan Energi Bungkil Inti Sawit

Nutrien A B

Keterangan : Protein dd = protein dapat dicerna; BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen; NDF= Neutral detergent fibre; EB = Energi bruto.

A = Simanjuntak (1998) B = Alimon (2005) * = Chong (1999)

Sifat Fisik Pakan

(7)

5 kedewasaan saat dipanen; (d) kematangan; (e) ukuran; (f) faktor-faktor penanaman; (g) kondisi penyimpanan; (h) temperatur. Sifat fisik dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan bahan. Sifat fisik suatu bahan akan berubah selama penyimpanan dan penanganan karena adanya penyerapan air, reaksi kimia atau adanya pergesekan mekanis bahan. Beberapa sifat fisik yang penting untuk diketahui adalah berat jenis, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis (Khalil, 1999).

Berat Jenis

Berat jenis adalah perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya dan memiliki satuan kg/m3. Berat jenis (BJ) memegang peranan yang sangat penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Berat jenis memberikan pengaruh berat terhadap daya ambang dari partikel. Berat jenis merupakan faktor penentu dari densitas curah. Berat jenis dan ukuran partikel mempengaruhi homogenitas penyampuran partikel dan stabilitasnya dalam pencampuran pakan sehingga pakan atau ransum yang terdiri atas partikel yang perbedaan berat jenisnya cukup besar akan tidak stabil dan cenderung terpisah kembali. Tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan dipengaruhi oleh berat jenis, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran dari dalam silo untuk dicampur atau digiling (Khalil, 1999). Ransum atau pakan diharapkan tidak mudah terpisah dan stabil sehingga perbedaan berat jenis diharapkan tidak jauh berbeda. Pakan yang berbeda berat jenisnya juga dapat dipengaruhi dari komposisi kimia bahan dan kandungan nutrisi bahan (Gautama, 1998) dan (Suadnyana, 1998).

Kerapatan Tumpukan

(8)

6 partikel yang sama. Waktu jatuh suatu bahan atau waktu mengalir lebih lama suatu bahan akan ditimbang lebih teliti dengan alat penakar otomatis jika pakan memiliki KT yang rendah (kurang dari 450 kg/m3), baik volumetrik maupun gravimetrik. Pakan yang memiliki KT lebih dari 1000 kg/m3 bersifat sebaliknya (Qomariyah, 2004).

Kerapatan Pemadatan Tumpukan

Densitas berwadah merupakan perbandingan berat bahan terhadap volume ruang yang ditempati setelah melalui proses pemadatan seperti digoncangkan dengan satuan kg/m3. Kerapatan pemadatan tumpukan (KPT) adalah perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan. Kapasitas silo, kontainer dan kemasan seperti karung terletak antara kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Komposisi kimia bahan turut mempengaruhi sifat fisik, terutama terhadap nilai kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis (Qomariyah, 2004).

Kerapatan pemadatan tumpukan dan kerapatan tumpukan memiliki hubungan sangat erat dan berperan pada penentuan kapasitas silo dan pencampuran bahan. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan menurun dengan semakin tingginya kandungan air (Khalil, 1999).

Daya Ambang

(9)

7

Sudut Tumpukan

Sudut tumpukan merupakan sudut yang dibentuk jika bahan dicurahkan dari suatu tempat pada bidang datar yang akan bertumpukan dan terbentuk suatu gundukan menyerupai kerucut antara bidang datar dan kemiringan tumpukan yang terbentuk jika bahan dicurahkan serta menunjukkan kebebasan bergerak suatu partikel dari suatu tumpukan bahan. Bentuk kerucut itu akan menandakan mudah tidaknya bahan meluncur pada bidang masing-masing karena pengaruh gaya gravitasi. Sudut lancip yang terbentuk oleh lereng gundukan dengan bidang datar disebut sudut tumpukan. Tangen sudut tersebut adalah koefisien gesekan antara butir yang satu dengan butir yang lainnya dalam bahan tersebut (Qomariyah, 2004).

Kegunaan praktis dari sifat sudut tumpukan adalah dalam pemindahan dan pengangkutan bahan karena akan mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan material handling lainnya. Sifat tersebut juga penting untuk menentukan derajat kemiringan dari dasar suatu gudang penyimpanan bahan untuk keperluan pengosongan oleh gaya gravitas. Kemampuan mengalir (flowability) bahan sangat mempengaruhi penanganan seperti kecepatan dan efisiensi pengosongan silo untuk memindahkan barang menuju unit pemindahan atau pencampuran (Qomariyah, 2004).

(10)

8

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan suatu gambaran yang dapat memperlihatkan konsentrasi ion hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein memiliki banyak muatan (polielektron) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa). Tiap-tiap molekul protein memiliki daya reaksi yang berbeda-beda dengan asam maupun basa, hal ini tergantung jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul protein tersebut. Derajat keasaman (pH) dalam saluran pencernaan akan dipengaruhi oleh pH pakan karena kehadiran pakan dalam lambung akan meningkatkan pH lambung (Qomariyah, 2004).

Kelarutan Total

Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut.

Pelarut adalah suatu substansi pada fase yang sama (padatan, cairan dan gas) sebagai bagian yang menyusun larutan. Pelarut yang baik adalah air karena air melarutkan atau mendispersi sebagai zat berdasarkan sifat dua kutub yang dimilikinya (Qomariyah, 2004).

Enzim

(11)

9

Penghambat Kerja Enzim

Enzim bekerja pada substratnya. Kerja enzim dapat dihambat oleh beberapa faktor. Faktor penghambat kerja enzim antara lain pengaruh suhu tinggi, konsentrasi substrat, pengaruh pH, inhibitor, regenerasi enzim, dan pengaruh suhu pembekuan.

Pengaruh Suhu Tinggi. Kinerja enzim dipengaruhi oleh tingginya suhu. Semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik yang tidak dikatalisis maupun yang dikatalisis oleh enzim. Enzim adalah protein, jadi semakin tinggi suhu proses aktivasi enzim juga meningkat. Keduanya mempengaruhi laju reaksi enzimatik secara keseluruhan. Suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim (Winarno, 2010).

Konsentrasi Substrat. Peningkatan konsentrasi substrat menyebabkan meningkatnya aktivitas enzim, namun konsentrasi substrat tersebut ada batasnya dalam meningkatkan aktivitas enzim. Peningkatan substrat di atas maksimum yang spesifik bagi suatu enzim akan menyebabkan menurunnya enzim terkait (McDonald et al., 2002).

Inhibitor. Inhibitor merupakan zat penghambat yang menyerupai enzim dan ikut melekat pada substrat. Penghambatan aktivitas enzim oleh beberapa jenis molekul kecil dan ion-ion sangat penting karena merupakan mekanisme pengendalian kerja enzim secara biologis (McDonald et al., 2002).

Regenerasi Enzim. Enzim dapat mengalami regenerasi yaitu aktif kembali. Pengolahan bahan pangan yang menggunakan panas, sering terjadi enzim yang sudah diinaktifkan kembali aktif selama penyimpanan (Winarno, 2010).

Pengaruh Suhu Pembekuan. Beberapa enzim dapat terdenaturasi pada suhu pembekuan, tetapi sebagian enzim masih tahan dalam pembekuan maupun proses thawing. Banyak enzim menunjukkan aktivitas yang nyata pada bahan setengah beku dan sebagian belum membeku (Winarno, 2010).

(12)

10 laju reaksi enzim dengan pH larutan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menjelaskan bahwa kinerja enzim meningkat pada pH tertentu yang disebut pH optimum, namun kinerja enzim semakin menurun dengan semakin meningkatnya pH diatas pH optimum. Enzim yang berbeda memiliki pH optimum yang berbeda pula.

Gambar 2. Hubungan Laju Reaksi Suatu Enzim dengan pH Larutan. (Sumber: Winarno, 2010).

Cara Kerja Enzim

Beberapa enzim disintesis dalam bentuk prekursor atau calon enzim yang tidak aktif dapat diaktifkan dalam lingkungan dan kondisi yang tepat. Tidak seluruh permukaan enzim aktif, dan bagian yang aktif relatif kecil (Winarno, 2010). Kerja enzim meliputi pembentukan kesatuan antara enzim dan substrat. Kesatuan tersebut membentuk suatu produk dan enzim tidak berubah (McDonald et al., 2002). Kerja enzim dilakukan dengan sistem gembok dan kunci. Enzim memiliki bentuk sesuai dengan bentuk bagian aktif substrat. Kerja substrat dan enzim dalam menghasilkan produk diilustrasikan dalam persamaan berikut

En + S (Substrat) ↔ EnS ↔ En (Enzim) + P (Produk)

(13)

11 Gambar 3. Model Kompleks Enzim-Substrat. (Sumber: Winarno, 2010).

Penggunaan Enzim dalam Meningkatkan Nilai Nutrisi Bungkil Inti Sawit

Penambahan enzim pada bungkil inti sawit dapat meningkatkan nilai nutrisinya. Iyayi dan Davies (2005) menyatakan bahwa penggunaan enzim pada bungkil inti sawit sebagai penyusun ransum ayam pedaging mampu memperbaiki beberapa komponen nutrien (protein, lemak, dan serat), memberikan keuntungan secara ekonomis dengan memecah ikatan polisakarida non pati dengan meningkatkan kecernaan bungkil inti sawit. Penggunaan enzim komersial pada bungkil kelapa yang digunakan sebagai bahan penyusun ransum ayam pedaging secara nyata meningkatkan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan konsumsi ransum (Sundu et al., 2006). Penggunaan enzim komersial Gamanase dan mannanase (Sundu et al., 2004) dan PKCase-Alltech Inc., KY (Chong, 1999) telah dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrisi BIS. Penambahan enzim pada BIS secara nyata meningkatkan efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al.,2004).

Ng dan Chong (2002) melaporkan bahwa penggunaan enzim [Allzyme VegproTM (Alltech Inc., KY), RonozymeTM VP (Hoffmann-La Roche Ltd., Basel) dan mannanase (Alltech Inc., KY)] juga mampu meningkatkan nilai nutrisi BIS. Selanjutnya dinyatakan bahwa suplementasi enzim pada panggunaan BIS sampai taraf 40% meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan protein ransum pada ikan Red Hybrid Tilapia.

(14)

12 mempercepat proses hidrolisis substrat yang digunakan. Semakin tinggi angka yang diperoleh memberikan indikasi semakin banyak gula yang tereduksi. Proses hidrolisis saat fermentasi berlangsung mempunyai kisaran pH antara 5,69-7,75 (Handoko, 2010).

Gula Pereduksi

Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keto bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi (Lehninger, 1982).

Umumnya gula pereduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktivitas enzim, dimana semakin tinggi aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama reaksi diukur dengan menggunakan pereaksi asam dinitro salisilat/ dinitrosalycilic acid (DNS) pada panjang gelombang 540 nm (Lehninger, 1982). Semakin tinggi nilai absorbansi yang dihasilkan, semakin banyak pula gula pereduksi yang terkandung (Kanti, 2005).

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber untuk menghasilkan energi dalam sebuah sel. Karbohidrat adalah zat organik yang tersusun dari atom karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) dalam suatu perbandingan tertentu (Pramayanti, 2000). Berdasarkan tingkat kekomplekannya, karbohidrat terbagi dalam 3 kelompok yaitu monosakarida, disakarida dan polisakarida. Disakarida dan polisakarida merupakan turunan (derivat) dari monosakarida. Monosakarida tidak dapat dihidrolisis lagi menjadi bentuk lebih sederhana. Disakarida dapat dihidrolisis membentuk dua molekul monosakarida, sedangkan polisakarida (termasuk oligosakarida) akan membentuk lebih dari tiga molekul monosakarida. Monosakarida diperoleh dari senyawa tanaman yang lebih komplek, larut dalam air dan rasanya manis (Usman, 2002). Beberapa karbohidrat memiliki sifat mudah larut dan sukar larut.

(15)

13 rumus empiris C6H12O6, merupakan produk utama yang terbentuk dari hidrolisis karbohidrat komplek dalam proses pencernaan. Glukosa yang terdapat di dalam sel dioksidasi untuk menghasilkan energi dan disimpan di dalam hati dan otot sebagai glikogen yaitu suatu karbohidrat komplek yang dikenal juga sebagai pati hewan (Usman, 2002).

(16)

14

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: bungkil inti sawit (BIS). Enzim mannan komersial dan enzim cairan rumen, dan bahan-bahan untuk analisis laboratorium.

Alat yang digunakan antara lain Rika moisture meter, Hammer mill, Gelas ukur 500 ml, sudip, penggaris, jangka sorong, Shaker water bath, timbangan digital, tabung sentrifuse, vortex mixer, kertas saring, oven 105°C, pH meter, baki plastik, sentrifuge, tabung reaksi, Erlenmeyer, labu ukur, gelas piala, pipet mikro, pipet volumetrik, wiseclean dan spektrofotometer.

Prosedur

Persiapan Bungkil Inti Sawit dan Pengayakan

Bungkil inti sawit yang digunakan dalam uji fisik digiling terlebih dahulu menggunakan Hammer mill 2 mm. Bungkil inti sawit hasil gilingan diayak menggunakan Rika Moisture Meter (Gambar 4). Pengayakan dilakukan dengan cara digetarkan sampai bungkil tersaring habis sesuai ukuran.

Hasil pengayakan diperoleh pada mesh 16, 30, 50 dan 100. Bungkil inti sawit hasil ayakan dengan masing-masing ukuran dilakukan uji fisik (sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, berat jenis, derajat keasaman, kelarutan total dan tingkat kehalusan) masing-masing tiga kali ulangan.

(17)

15

Prosedur Pengukuran Berat Jenis (Spesific Grafity)

Berat jenis diukur dengan menggunakan metode Khalil (1999). Bahan dimasukan ke dalam galas ukur 100 ml dengan menggunakan sendok teh secara perlahan sampai volume 30 ml. Gelas ukur yang sudah berisi bahan ditimbang. Aquades sebanyak 50 ml dimasukan ke dalam gelas ukur. Pengadukan menggunakan pengaduk mika dilakukan untuk menghilangkan udara antar partikel. Sisa bahan yang menempel pada pengaduk dimasukan dengan menyemprotkan aquades dan ditambahkan kedalam volume awal. Pembacaan volume akhir dilakukan setelah konstan. Perubahan volume aquades merupakan volume bahan sesungguhnya. Berat jenis dapat dihitung dengan rumus di bawah ini :

Prosedur Pengukuran Kerapatan Tumpukan (Bulk density)

Kerapatan tumpukan diukur dengan menggunakan metode Khalil (1999). Bahan dicurahkan ke dalam gelas ukur dengan menggunakan corong dan sendok teh sampai volume 100 ml. Gelas ukur yang telah berisi bahan ditimbang. Adapun perhitungan kerapatan tumpukan adalah dengan cara membagi berat bahan dengan volume ruang yang ditempati.

Prosedur Pengukuran Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)

Kerapatan pemadatan tumpukan diukur dengan menggunakan metode khalil (1999). Pengukuran hampir sama dengan pengukuran kerapatan tumpukan, namun volume bahan dibaca setelah dilakukan pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur dengan tangan selama 10 menit.

Prosedur PengukuranDaya Ambang (Floating Rate)

Daya ambang diukur dengan cara menjatuhkan 10 gram partikel bahan pada ketinggian 2 meter dari dasar lantai, kemudian diukur lamanya waktu (detik) yang dibutuhkan sampai mencapai lantai dengan menggunakan stopwatch (Khalil, 1999). Lantai tempat jatuhnya bahan diberi alas dengan alumunium foil untuk memudahkan pengamatan saat bahan jatuh. Diupayakan pengaruh udara diperkecil yaitu dengan menutup setiap lubang yang memungkinkan angin masuk (ventilasi,

(18)

16 jendela, pintu). Daya ambang dihitung dengan cara membagi jarak jatuh (meter) dengan lamanya waktu yang dibutuhkan (detik).

Prosedur PengukuranSudut Tumpukan (Angle of Respose)

Pengukuran sudut tumpukan dilakukan menggunakan metode Khalil (1999) dengan cara menjatuhkan bahan pada ketinggian 15 cm melalui corong pada bidang datar. Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada di bawah corong. Untuk mengurangi pengaruh tekanan dan kecepatan laju aliran bahan, pengukuran bahan dilakukan dengan volume tertentu (100 ml) dan dicurahkan perlahan-lahan pada dinding corong dengan bantuan sendok pada posisi corong tetap sehingga diusahakan jatuhnya bahan selalu konstan. Sudut tumpukan bahan ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan. Besarnya sudut tumpukan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Prosedur PengukuranTingkat Kehalusan (Modulus of Fineness)

Tingkat kehalusan diukur mengacu pada metode Khalil (1999) dengan cara memasukan bahan sebanyak 300 gr kedalam alat yang terdiri dari susunan rantang yang memiliki lubang sesuai dengan besarnya ukuran mesh. Besarnya sampel yang lolos pada setiap mesh didapat dari perhitungan

Setelah diketahui persentase (%) sampel pada setiap mesh, dapat dihitung nilai konversi dengan cara :

Nomor perjanjian adalah besarnya nomor yang diberikan pada setiap rantang yaitu berurutan dari 1 hingga 7 (dari mesh terkecil hingga mesh terbesar). Jumlah total nilai konversi dibagi seratus merupakan besarnya tingkat kehalusan (MF/ Modulusoffineness).

Berat sampel pada mesh tertentu (g) Total bahan (g)

X 100

Nilai konversi = % sampel x no. perjanjian

(19)

17

Prosedur PengukuranUji Kelarutan total (Total solubility)

Uji kelarutan dilakukan dengan cara mencampurkan 0,25 gram tepung BIS dengan 25 ml akuades. Selanjutnya, larutan di sentrifuse sehingga diperoleh padatan dan cairan. Jumlah padatan dikeringkan (oven 105°C) dan ditimbang (Stefanon etal., 1996). Perhitungan dalam uji kelarutan yaitu sebagai berikut:

Keterangan : x = bobot awal (gram)

y = bobot setelah di oven (gram)

Prosedur PengukuranPengukuran pH (Acidity)

Derajat keasaman bahan diukur dengan cara melarutkan sampel kedalam aquades dengan perbandingan 1:5 selama 15 menit selanjutnya diukur pHnya (Apriyantono et al., 2000).

Persiapan Enzim Cairan Rumen

Isi rumen sapi diambil dari sapi yang dipotong di RPH Elders, IPB Bogor. Pengambilan sampel isi rumen dari masing-masing sapi dilakukan pada pagi hari, dalam dua kali ulangan dan setiap ulangan diambil dari sampel yang berasal dari 3-5 ekor sapi. Cairan rumen diambil dari isi rumen sapi dengan cara filtrasi dibawah kondisi dingin. Cairan hasil filtrasi disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan supernatan dari isi sel mikroba (Lee et al., 2000). Supernatan kemudian diambil sebagai sumber enzim kasar (Murni, 2003).

Pengukuran Kandungan Gula Pereduksi

Pemberian Enzim dan Proses Ekstraksi. Bungkil inti sawit mesh 30 (hasil ayakan terbanyak) diberi enzim komersil dan enzim cairan rumen. Penambahan enzim pada bungkil inti sawit dilakukan dengan cara disemprotkan secara merata. Bungkil inti sawit yang telah tercampur dengan enzim kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam dan dihasilkan sampel yang digunakan untuk uji gula pereduksi. Pemberian enzim pada bungkil inti sawit hasil ayakan adalah sebanyak 0,1ml/gram BIS (setara dengan 919,27x106 U/liter enzim mannanase komersial dan 0,013x106 U/liter enzim cairan rumen).

(20)

18 Enzim yang diberikan pada bungkil inti sawit hasil ayakan terlebih dahulu diukur aktivitasnya. Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menimbang sampel 5 gram, sampel yang telah ditimbang dicampur dengan 30 ml ethanol 80%. Sampel dishaker selama 30 menit kemudian disaring untuk mendapatkan endapannya dan filtratnya ditampung. Setelah selesai, endapan yang terdapat dikertas saring diambil dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Hasil endapan yang diambil dari kertas saring dicampur dengan 30 ml ethanol 80% dan di shaker selama 30 menit. Hasil sampel yang telah dishaker disaring, filtrat ditampung di tempat tampungan awal. Endapan dari Erlenmeyer disaring dan endapan dicuci menggunakan akuades sampai tiga kali.

Hasil filtrat seluruhnya disimpan di Erlenmeyer kemudian ditambah CaCO3 sebanyak 5 sendok makan. Hasil campuran filtrat dengan CaCO3 dipanaskan pada penangas air 80 °C selama 30 menit untuk membunuh enzim atau menghentikan aktivitas enzim. Pemanasan yang dilakukan tidak boleh sampai kering, oleh karena itu harus ditambahkan akuades jika filtrat yang dipanaskan mulai berkurang, pemanasan dilakukan sampai alkohol hilang (dengan penciuman) dan dilakukan kurang lebih 2 jam. Pb asetat jenuh ditambahkan satu kali ambil pipet atau 1 ml setelah alkohol dalam filtrat hilang, dihomogenkan dan disaring langsung ke labu ukur 100 ml kemudian dicuci terus dengan akuades. Labu ukur ditera dan ditambahkan Natrium Oksalat/ Kalium Oksalat 1-1,5 gram, larutan dihomogenkan dengan pengocokan. Hasil dari pengocokan disaring dengan menggunakan Whatman 42. Preparasi HPLC menggunakan saringan filter 0,45μ.

Analisis Gula Pereduksi. Analisis dilakukan menggunakan metode DNS (Miller, 1959) dengan membuat pereaksi DNS terlebih dahulu. Asam 3,5-dinitrosalisilat sebanyak 10,6 gram dilarutkan dengan 19,8 gram NaOH ke dalam 1416 ml air. Kemudian ditambahkan 306 gram NaK-Tartrat, 7,6 ml fenol (dicairkan pada suhu 50 °C) dan 8,3 gram Na-metabisulfit dihomogenkan. Titrasi 3 ml pereaksi DNS dengan HCL 0,1 N dan indikator fenolftalein. Larutan gula standar 0,2-5,0 mg/ml.

(21)

19 dan dinginkan di suhu ruang. Sampel diencerkan sampai dapat terukur pada kisaran 20%-80% T pada panjang gelombang 550 nm. Air digunakan sebagai blanko.

Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan glukosa standar dengan kisaran 0,2-5 mg/ml. Pereaksi DNS 3 ml bereaksi dengan ± 10 mg glukosa. Sampel diencerkan sampai mengandung kurang dari 5 mg glukosa.

Skema Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama terdiri atas uji fisik dan uji kimia bungkil inti sawit (Gambar 5). Tahap kedua terdiri dari uji kandungan gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim mannanase (Gambar 6).

Gambar 5. Skema Tahap I. Uji Fisik dan Kimia Bungkil Inti Sawit

Digiling menggunakan Hammer Mill

Diayak menggunakan Rika Moisture

Meter**

**: Jumlah Hasil Ayakan Terbanyak yang Digunakan dalam Penelitian Tahap II

Bungkil Inti Sawit

Bungkil Inti Sawit Hasil Gilingan

BIS Mesh 16 BIS Mesh 30 BIS Mesh 50 BIS Mesh 100

(22)

20

Rancangan dan Analisis Data

Perlakuan

Penelitian terdiri atas empat perlakuan pada uji fisik yaitu uji fisik pada bungkil inti sawit hasil ayakan ukuran mesh 16, ukuran mesh 30, ukuran mesh 50 dan ukuran mesh 100. Penelitian penambahan enzim terdapat dua perlakuan yaitu enzim mannan komersial (setara dengan 919,27x106 U/liter) dan enzim cairan rumen, masing-masing sebanyak 0,1 ml mannanase /gram BIS (0,013x106 U/liter enzim cairan rumen) dan kontrol yang digunakan adalah enzim 0 ml/gram BIS.

Model

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model matematika yang digunakan dapat dilihat di bawah ini:

Yij = μ+ τi + εij

Diperoleh hasil analisis total gula pereduksi

BIS Hasil Ayakan Terbanyak

BIS + 0,1ml/gram BIS

Enzim Komersial

BIS + 0,1ml/gram BIS

Enzim Cairan Rumen Penambahan Enzim (disemprot, inkubasi 24 jam)

Uji Jumlah Gula Pereduksi (Metode DNS) Masing-Masing Tiga Ulangan

(23)

21 Keterangan:

Yij = nilai unit percobaan pada perlakuan uji ke-i, ulangan ke-j

µ = rataan umum

τi = pengaruh uji ke-i

εij = pengaruh galat percobaan

i = perlakuan

j = ulangan (1, 2, 3)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian berupa berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, tingkat kehalusan, sudut tumpukan, pH, kelarutan total dan jumlah gula pereduksi.

Analisis Data

(24)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit

Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan

Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi dengan saringan 2 mm menghasilkan produk yang lolos pada saringan mesh 4 dan 8, dan tidak lolos pada saringan mesh 16, 30, 50 dan 100.

Berdasarkan pengamatan umum yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua bungkil inti sawit memiliki penampilan warna cokelat dan memiliki aroma khas kelapa. Nomor mesh ayakan menunjukkan tekstur pada bungkil inti sawit. Nomor mesh 100 memiliki tekstur paling halus pada sampel bungkil inti sawit yang diamati. Tabel 2 menunjukkan persentase produk hasil ayakan bungkil inti sawit giling. Tabel 2. Persentase Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan

Ukuran Ayakan Persentase BIS (%)

Mesh 16 14,185

Mesh 30 57,09

Mesh 50 24,24

Mesh 100 4,47

Jumlah produk hasil ayakan terendah pada bungkil inti sawit gilingan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 4,47% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30 sebesar 57,09%. Penelitian lain menunjukkan hal yang serupa yaitu produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 2,31% dan tertinggi berada pada mesh 30 sebesar 29,04% (Harianto, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya penggilingan, persentase jumlah hasil ayakan lebih banyak diperoleh dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa digiling.

Tingkat Kehalusan

(25)

23 yang digunakan berada di taraf sedang. Hal ini disebabkan karena faktor penggilingan sebelum perlakuan pada bungkl inti sawit.

Penggilingan dilakukan dengan tujuan untuk memecah sisa dari batok bungkil kelapa sawit yang menjadikan bungkil inti sawit lebih halus sehingga jika diberikan kepada ternak dapat mudah dicerna. Bungki inti sawit yang telah diayak dan diukur tingkat kehalusannya disajikan pada Gambar 7.

Mesh 16 ulangan 1 Mesh 16 ulangan 2 Mesh 16 ulangan 3

Mesh 30 ulangan 1 Mesh 30 ulangan 2 Mesh 30 ulangan 3

Mesh 50 ulangan 1 Mesh 50 ulangan 2 Mesh 50 ulangan 3

Mesh 100 ulangan 1 Mesh 100 ulangan 2 Mesh 100 ulangan 3

Gambar 7. Perbedaan Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Pengayakan Menggunakan Rika Moisture Meter

Berat Jenis

(26)

24 ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis pada bungkil inti sawit. Nilai berat jenis pada bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Berat Jenis pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Berat Jenis (kg/m3)

16 1440±17,32A

30 1176±0,00B

50 1051±1,00C

100 987,33±54,41C

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01).

Gambar 8 menunjukkan korelasi berat jenis pada bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 83,60% dengan y sebagai berat jenis BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y= - 4,555x+1386. Pengayakan mempengaruhi besarnya berat jenis produk bungkil inti sawit, semakin besar nomor ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis bungkil inti sawit.

y = -4,555x + 1386.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa berat jenis dari produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 440 kg/m3 dan tertinggi pada mesh 8 sebesar 1403,33 kg/m3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 92,19% dengan persamaan y = -10,09x+1335 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukaan partikel adalah kandungan nutrien bahan. Hal ini sesuai

Gambar 8. Korelasi Berat Jenis BIS dan Nomor Ayakan Y=-4,555x+1386

(27)

25 dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel. Berat jenis berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan berat jenis cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali (Chung dan Lee, 1995).

Kerapatan Tumpukan

Kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui volume ruang yang dibutuhkan oleh suatu bahan dengan berat tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Berat jenis erat hubungannya dengan kerapatan tumpukan, semakin besar berat jenis maka kerapatan tumpukannya semakin besar pula. Nilai kerapatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kerapatan Tumpukan BIS (kg/m3)

16 523,33±20,81A

30 456,66±20,81B

50 430,00±0,00BC

100 393,33±5,77C

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01).

Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit.

(28)

26 nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Perbedaan nilai kerapatan tumpukan menentukan karakteristik dalam pencampuran bahan.

Menurut Chang dan Lee (1985), kerapatan tumpukan lebih penting dari berat jenis bahan dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis. Kandungan nutrisi dan distribusi ukuran partikel diduga ikut mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan. Bungkil inti sawit dengan kadar lemak yang tinggi dan distribusi ukuran partikel kecil yang seragam cenderung memiliki nilai kerapatan tumpukan yang rendah dan bahan tersebut membutuhkan ruang yang lebih besar artinya bobot per satuan volume pada keadaan curah lebih kecil. Korelasi kerapatan tumpukan bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 90,16% dengan y sebagai nilai kerapatan tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y=-1,346x+516,8 (Gambar 9). Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 86,6% dengan persamaan y= -3,035x+596,6 (Harianto, 2011). Korelasi negatif memiliki arti bahwa pengayakan mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan dengan meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun.

Kerapatan Pemadatan Tumpukan

Kerapatan pemadatan tumpukan diukur setelah dilakukan pengukuran kerapatan tumpukan. Kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan dalam penentuan kapasitas silo dan pencampuran bahan.

Gambar 9. Korelasi Kerapatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan Y=-1,346x+516,8

(29)

27 Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai tertinggi kerapatan pemadatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 676,67 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 543,33 kg/m3. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit.

Nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.

Nomor Mesh Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)

16 676,67±15,27A

30 603,67±3,21B

50 570,33±0,57C

100 543,33±5,77D

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01).

(30)

28

Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai daya ambang. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin besar nilai daya ambang bungkil inti sawit. Daya ambang memiliki hubungan berkebalikan dengan tingginya kecepatan bahan jatuh. Semakin cepat bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar, semakin rendah daya ambang dari bungkil inti sawit. Demikian sebaliknya, semakin rendah kecepatan bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar maka semakin tinggi daya ambang yang dimiliki oleh bungkil inti sawit. Nilai daya ambang pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Daya Ambang pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Daya Ambang (m/s)

16 3,11±0,07 A

30 1,87±0,25B

50 1,63±0,25B

100 1,55±0,05B

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01).

Nilai tertinggi daya ambang berada pada nomor mesh 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,55 m/s dan terendah berada pada nomor mesh 16 dengan kecepatan bahan jatuh 3,11 m/s. Penelitian sebelumnya menunjukkan daya

(31)

29 ambang produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 50 dan 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,81 dan 1,79 m/s, sedangkan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 5,34 dan 4,09 m/s (Harianto, 2011). Hasil ini sesuai dengan pendapat Henderson dan Perry (1976) yang menyatakan daya ambang dikatakan besar bila semakin pendek jarak yang dicapai dalam satu menit.

Perolehan data menunjukkan semakin halus bungkil inti sawit maka semakin besar daya ambang yang dimiliki sehingga daya ambang meningkat dari mesh 16, 30, 50 dan 100. Hal ini berarti apabila terjadi proses pencurahan bahan dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar adalah lebih cepat terurut mulai mesh 16 sampai 100. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses pencurahan bahan karena dibutuhkan waktu yang lebih lama. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil besar daya ambang pada bungkil inti sawit. Gambar 11 menunjukkan korelasi kecepatan jatuhnya bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif sebesar 71,76%. Hal ini berarti bahwa meningkatnya nomor ayakan maka nilai daya ambang bungkil inti sawit juga meningkat (nilai daya ambang berhubungn terbalik dengan kecepatan jatuhnya bahan) dengan y sebagai kecepatan jatuhnya BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y = -0,014x+2,735. Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 69,28% dengan persamaan y = -0,018x+3,215 (Harianto, 2011).

y = -0,014x + 2.735

Gambar 11. Korelasi Kecepatan Jatuhnya BIS dan Nomor Ayakan Y=-0,014x+2,735

(32)

30

Sudut Tumpukan

Pengukuran sudut tumpukan dilakukan untuk menunjukkan kebebasan bergerak suatu partikel dari suatu tumpukan bahan. Kegunaan praktis dari sifat sudut tumpukan adalah dalam pemindahan dan pengangkutan bahan karena akan mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan material handling. Nilai sudut tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Sudut Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Sudut Tumpukan(°)

16 25,77±0,84 C

30 27,07±0,98 C

50 37,32±1,86 B

100 43,28±0,93 A

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01).

Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi sudut tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan nilai sudut tumpukan bahan. Nilai tertinggi sudut tumpukan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 43,28°dan terendah berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 25,77°. Gambar 12 menunjukkan korelasi sudut tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai positif yaitu sebesar 95,23% dengan y sebagai sudut tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y =0,217x+22,56.

y = 0,217x + 2,56

(33)

31 Korelasi tersebut menunjukkan besarnya pengaruh pengayakan terhadap besarnya nilai sudut tumpukan bungkil inti sawit. Besarnya nomor ayakan dalam pengayakan mempengaruhi nilai sudut tumpukan sebesar 95,23%. Semakin besar nomor ayakan maka semakin tinggi nilai sudut tumpukan pada bungkil inti sawit. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai sudut tumpukan tertinggi pada produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling berada pada nomor mesh 100 sebesar 43,19° dan terendah berada pada nomor mesh 4 sebesar 12,67° dengan korelasi sebesar 94,33% dengan persamaan y =0,25x+19,81 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan akan menentukan karakteristik aliran bahan dalam industri pakan. Nilai sudut tumpukan yang tinggi akan mempersulit proses produksi karena aliran bahan dalam bin akan lambat sehingga sering menyumbat silo.

Kelarutan Total

Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai kelarutan total. Nilai kelarutan total pada BIS berdasarkan ukuran ayakan. disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Kelarutan Total pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kelarutan Total(%)

16 18,13±1,22

30 23,33±1,67

50 20,80±1,44

100 22,27±3,61

Kelarutan total bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bungkil inti sawit yang terlarut dalam pelarut akuades sehingga diketahui pula kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kontaminasi bungkil inti sawit oleh lapisan luar (endokaprium) inti sawit akan meningkatkan kelarutan total bahan. Tinggi rendahnya nilai kelarutan total tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya komponen tidak larut dalam bahan pakan tersebut dan kontaminasi luar pada proses pengolahan pakan maupun pemalsuan bahan.

(34)

32 non pati maka semakin rendah kelarutan bahan dalam air, hal ini disebabkan polisakarida non pati sulit mengalami hidrolisa dalam air. Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya.

Perbedaan kelarutan total mengindikasikan kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan pakan, maka semakin rendah kelarutannya dalam air. Polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air.

Kelarutan total yang tinggi pada pakan mengindikasikan bahwa pakan tersebut memiliki kecernaan yang tinggi (Murni, 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh, kecernaan bungkil inti sawit Mesh 30 lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan dari bungkil inti sawit ukuran lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kelarutan total produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 16, 30, 50 dan 100, sedangkan terendah pada nomor mesh 4 dan 8 (Harianto, 2011). Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya (Suardi, 2002).

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit diukur untuk mengetahui pengaruh setelah diberikan kepada ternak. Nilai derajat keasaman (pH) pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Derajat Keasaman (pH) pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Derajat Keasaman(pH)

16 5,60±0,00

30 5,55±0,01

50 5,54±0,01

100 5,53±0,01

(35)

33

menunjukkan derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5.40-5.45 (Hariyanto, 2011). Derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit yang disajikan menyatakan bahwa bungkil inti sawit bersifat asam karena memiliki pH dibawah 7. Derajat keasaman (pH) dalam saluran pencernaan akan dipengaruhi oleh pH pakan karena kehadiran pakan dalam lambung akan meningkatkan pH lambung. Pengukuran derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit dimaksudkan untuk mendeteksi kondisi bahan jika kemungkinan suatu saat mengalami penurunan pH akibat proses produksi. Umumnya keasaman yang tinggi akan cenderung mengganggu kecernaan zat makanan (Tonnedy, 2006). Hal ini karena enzim pembantu pencernaan tidak dapat bekerja optimal.

Tahap 2 : Jumlah Gula Pereduksi dengan Penambahan Enzim Komersial dan Cairan Rumen pada Bungkil Inti Sawit

Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron (Lehninger, 1982).Peningkatan gula pereduksi pada bungkil inti sawit mengindikasikan adanya peningkatan ikatan gula yang dapat dipecah oleh enzim mannan. Semakin tinggi ikatan gula yang dapat dipecah, maka semakin baik kualitas bungkil inti sawit. Data hasil pengujian jumlah gula pereduksi pada bungkil inti sawit setelah diberi penambahan enzim mannan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Gula Pereduksi Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan dengan Penambahan Enzim

Jenis Enzim Jumlah Gula Pereduksi (mg/g)

Kontrol 4,806±0,04c

BIS+ Rumen 0,1ml/gram BIS 5,921±0,04b

BIS+ Enzim komersial 0,1ml/gram BIS 10,516±0,09a

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada BIS (P<0,05).

(36)

34 efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004).

Nilai gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan menunjukkan peningkatan setelah diberi enzim cairan rumen dibandingkan dengan nilai gula pereduksi bungkil inti sawit tanpa menambahan dari 4,806 mg/g meningkat menjadi 5,921 mg/g. Enzim cairan rumen yang ditambahkan memiliki aktivitas sebesar 0,013x106 U/liter enzim cairan rumen. Nilai gula pereduksi mengalami peningkatan lebih tinggi setelah bungkil inti sawit hasil ayakan ditambahkan dengan enzim mannan komersial yaitu 10,516 mg/g (setara 919,27x106 U/liter enzim mannanase komersial). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa nilai aktivitas enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses hidrolisis substrat yang digunakan, semakin tinggi angka yang diperoleh memberikan indikasi semakin banyak gula yang tereduksi (Handoko, 2010).

Nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dari penambahan enzim cairan rumen lebih kecil daripada nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim komersial. Namun, jika dilihat dari jumlah aktivitas dari enzim yang diberikan, kualitas enzim cairan rumen lebih baik. Aktivitas enzim mannanase pada cairan rumen jauh lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial, namun enzim cairan rumen dapat memberikan pengaruh pada peningkatan jumlah gula pereduksi bungkil inti sawit. Semakin tinggi aktivitas mannanase yang terkandung pada bungkil inti sawit, maka semakin pekat kecokelatan warna sampel hasil analisis gula pereduksi (Gambar 13).

(37)

35 Pengaruh peningkatan gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim cairan rumen tidak jauh berbeda dengan pengaruh dari enzim mannanase komersial. Pengaruh enzim cairan rumen yang tinggi dapat disebabkan karena terkandungnya beberapa enzim penghidrolisis serat selain enzim mannanase (selulase, amillase, protease, lipase). Pengujian gula pereduksi bungkil inti sawit hasil ayakan yang diberi penambahan enzim komersial dan enzim cairan rumen (Gambar 14) menghasilkan warna yang berbeda-beda pada hasil uji gula pereduksi.

Gambar 14. Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan Komersial dan dari Cairan Rumen

BIS+Enzim Mannan Cairan Rumen

BIS+Enzim Mannan

(38)

36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Nilai kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis bungkil inti sawit menurun seiring dengan menurunnya diameter lubang ayakan, sebaliknya sudut tumpukan dan daya ambang bungkil inti sawit meningkat. Penambahan enzim cairan rumen dapat meningkatkan total gula pereduksi produk bungkil inti sawit mesh 30 sebesar 23,2% meskipun memiliki aktivitas enzim mannanase yang lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial.

Saran

(39)

SIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM

MANNANASE

PADA

BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN

SKRIPSI

FITRIA TSANI FARDA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(40)

SIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM

MANNANASE

PADA

BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN

SKRIPSI

FITRIA TSANI FARDA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

i

RINGKASAN

FITRIA TSANI FARDA. D24070236. 2011. Sifat Fisik dan Kinerja Enzim

Mannanase pada Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir Erika B. Laconi, MS

Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit terus meningkat dengan perkiraaan total luas areal kelapa sawit sebesar 7 824 623 ha (Dirjen Perkebunan, 2010). Pembuatan minyak sawit (Crude Palm Oil, CPO) menghasilkan hasil samping berupa bungkil inti sawit (Palm Kernel Meal). Kendala utama pemberian bungkil inti sawit pada unggas adalah tingginya kandungan karbohidrat sukar larut yaitu mannan. Pengayakan dan perlakuan enzimatis merupakan metode yang digunakan saat ini dalam menangani permasalahan pada bungkil inti sawit. Pemberian enzim penghidrolisis serat pada bungkil inti sawit dapat meningkatkan kualitas bungkil inti sawit (Handoko, 2010). Penelitian ini mengkaji sifat fisik produk bungkil inti sawit hasil ayakan dengan ukuran ayakan berbeda serta mengkaji kinerja enzim pada bungkil inti sawit hasil ayakan terbanyak.

Perlakuan uji fisik dilakukan masing-masing tiga ulangan untuk menguji sifat fisik bungkil inti sawit giling berdasarkan empat jenis ukuran ayakan (mesh 16, mesh 30, mesh 50, mesh 100). Peubah yang diamati adalah berat jenis, daya ambang, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, derajat keasaman dan kelarutan total. Produk bungkil inti sawit dari mesh 30 kemudian ditambahkan enzim sebagai perlakuan dengan tiga ulangan yaitu pemberian enzim mannan komersial 0,1mL/gram BIS (setara dengan 919,27x106 U/liter), enzim cairan rumen 0,1mL/gram BIS (0,013x106 U/liter enzim cairan rumen) dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi berat jenis, sudut tumpukan, daya ambang, kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis bungkil inti sawit menurun seiring dengan menurunnya diameter lubang ayakan, sebaliknya sudut tumpukan dan daya ambang bungkil inti sawit meningkat seiring menurunnya diameter lubang ayakan. Pemberian enzim mannanase komersial dan pemberian enzim cairan rumen nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan gula pereduksi dari 4,806 mg/g menjadi 10,516 mg/g (meningkat sebesar 118,8%) dan 5,921 mg/g (meningkat sebesar 23,2%). Peningkatan gula pereduksi mengindikasikan adanya peningkatan karbohidrat sukar larut yang dapat dipecah. Penambahan enzim cairan rumen meningkatkan total gula pereduksi produk bungkil inti sawit mesh 30 sebesar 23,2% meskipun memiliki aktivitas enzim mannanase yang lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial.

(42)

ii

ABSTRACT

Phisycal Characteristic and Power of Mannanase Enzim of Palm Kernel Meal

Farda, F. T., Nahrowi, dan E. B. Laconi

The aim of this research were to examine physical characteristic and to evaluate performance of enzyme in hidrolyzing palm kernel meal. After milling, palm kernel meal was sieved using mesh 16, mesh 30, mesh 50, mesh 100 as treatments. The variables observed were a spesific grafity, floating rate, bulk density, compacted bulk density, angle of respose, acidity and total solubility. The palm kernel meal for sieving in mesh 30 was subjected to enzyme with following treatment i.e; commercial enzyme mannanase 0.1 ml/ g BIS (equivalent to 919.27x106 U/ liter), 0.1 ml of rumen fluid enzymes / BIS grams (equivalent to 0.013x106 U / liter) and controls. The results showed that sieving decreased (P<0.01) spesific grafity, bulk density and compacted bulk density, and increased angle of respose and floating rate. Addition of commercial enzyme mannanase and addition rumen fluid enzyme significantly (P <0.05) increased the amount of reducing sugars. It is concluded that spesific grafity, bulk density and compacted bulk density of palm kernel meal decreased and angle of respose and floating rate increased as decreasing the size of sieving. Rumen fluid enzyime was increased reducing sugar of palm kernel meal mesh 30 (23.2%), although mannanase activity of rumen lower than mannanase activity of commercial enzyme.

(43)

iii

SIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM

MANNANASE

PADA

BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN

FITRIA TSANI FARDA

D24070236

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(44)

iv Judul : Sifat Fisik dan Kinerja Enzim Mannanase pada Bungkil Inti Sawit

Hasil Ayakan Nama : Fitria Tsani Farda

NIM : D24070236

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc) (Prof. Dr. Ir Erika B. Laconi, MS) NIP : 19620425 198603 1 002 NIP : 19610916 198703 2 002

Tanggal Ujian : 25 Januari 2012 Tanggal Lulus :

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(45)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1989 di Lampung Timur, Lampung. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Anang Prayogi sebagai kepala sekolah dan Ibu Dewi Makhyati Rozakya sebagai kepala sekolah. Kakak kandung bernama Mamlu’lu’ah Novian Desi sebagai dokter di Lampung Timur, adik kandung bernama Darojat Ulil Amri sebagai Mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Ahmad Fathin Al Farisi sebagai siswa sekolah dasar.

Pendidikan taman kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1995 di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Teluk Dalem, pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD N 1 Teluk Dalem, pendidikan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP N 1 Way Jepara dan pendidikan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA N 1 Way Jepara, Lampung Timur.

Penulis diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru pada pilihan pertama.

(46)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan, baik secara moril maupun materil sehingga skripsi yang berjudul “Sifat Fisik dan Kinerja Enzim Mannanase pada Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan” ini dapat diselesaikan guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi peternakan. Pakan yang berkualitas merupakan salah satu hal yang dapat menunjang berkembangnya peternakan di Indonesia. Tingginya kebutuhan pakan memacu para peternak untuk dapat berpikir kreatif agar dapat memanfaatkan potensi yang ada di sekitar. Hasil samping industri pertanian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif bagi ternak untuk meningkatkan produksi. Industri kelapa sawit cukup banyak di Indonesia sehingga memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan, namun hasil samping dari industri pertanian memiliki beberapa kekurangan sehingga merupakan tantangan bagi para peternak untuk mengatasi kekurangan yang ada terutama dalam aspek nutrisi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sifat fisik dan kinerja enzim mannanase pada bungkil inti sawit hasil ayakan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak khususnya dalam peningkatan kualitas pakan dan pemanfaatan limbah industri pertanian serta memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, 30 Januari 2012

(47)

38

DAFTAR PUSTAKA

Amri, M. 2006. Uji biologis pemakaian bungkil inti sawit dan produk bungkil inti sawit fermentasi dalam pakan ikan mas dibandingkan pakan komersil. Jurnal Dinamika Pertanian. 2: 151-156.

Andriati, U. Y. 2000. Studi kelarutan gula dan komponen kimia polisakarida beberapa pakan konsentrat sumber energi yang berbeda kualitasnya. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Alimon, A. R. 2005. The nutritive value of palm kernel cake for animal feed. Palm Oil Dev 40:12-14.

Apriyantono, A., D. Fardiaz., N. Luhp., Sedernawati, & S. Budiyanto. 2000. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aspar, H. M. 2005. Malaysian palm kernel cake as animal feed. PalmOildev. 34:4-6.

Budiansyah, A., Resmi, K. G., Wiryawan, M. T., Soehartono, Y., Widyastuti, & N. Ramli. 2010. Isolasi dan karakterisasi enzim karbohidrase cairan rumen sapi asal rumah potong hewan. Med. Pet. Vol. 33 No. 1: 36-43.

Chong, C. H. 1999. Improving utilization of poultry feedstuffs with supplemental amino acid and anzymes. Tesis. The Faculty of Graduate Studies Departement of Animal Science, Univ of Manitoba, Winnipeg Manitoba, Canada.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan Indonesia (Kelapa Sawit) 2007 - 2010. Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Handoko, H. 2010. Isolasi dan karakteristik enzim pendegradasi serat peningkat kualitas bungkil inti sawit untuk pakan ayam pedaging[tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Henderson, S. M., & R. H. Perry. 2005. Effect of enzyme supplementation of palm kernel meal and brewer’s dried grain on the performance of broilers. Int J Poult Sci 4:76-80.

Kanti, A. 2005. Actinomycetes selulolitik dari tanah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Biodiversitas 6(2):85-89.

Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan perilaku fisik bahan pakan lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Med. Pet. Vol. 22, No 1: 1-11.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Terjemahan : Suhartono M. T. Erlangga, Jakarta.

McDonald P., R. A. Edwards & J. F. D Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 5th Ed. Longman scientific and tech, UK.

(48)

39 Murni, S. 2003. Aktivitas enzim cairan rumen pada beberapa bahan pakan dan

pengaruhnya terhadap performans broiler yang diberi ransum berbahan baku singkong. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ng, W. K. & Chong, K. K. 2002. The nutritive of palm kernel meal and the effect of

enzyme supplementation in practical diets for Red Hybrid Tilapia (Oreochromis sp.). AsianFisheriesSci. 15:167-176.

Piliang, W. G., Djojosoebagio, S. A. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. IPB Press, Bogor.

Pramayanti, D. I. 2000. Studi kelarutan gula dan komponen kimia polisakarida beberapa pakan sumber serat yang mendapat perlakuan amoniasi. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Qomariyah, N. 2004. Uji keasaman (pH), kelarutan, kerapatan tumpukan dan sudut tumpukan untuk mengetahui kualitas bahan pakan sumber protein. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Simanjuntak, S. D. D. 1998. Penggunaan Aspergillus niger untuk meningkatkan nilai gizi bungkil inti sawit dalam meningkatkan ransum broiler. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Situmorang, H. 2011. Kajian pengaruh pengayakan terhadap karakteristik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa. Skripsi. Departemen Inlu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor, Bogor.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia, Jakarta.

Stefanon, B., A. N. Pell, & P. Schofield. 1996. Effect of manity on digestion kinetics of water soluble and water-insoluble fractions of alfalfa and brome hay. J. Animal Sci. 74: 1104-1115.

Suardi, K. 2002. Sifat kimia dan kandungan energy metabolis ransum broiler berbahan baku gaplek yang mendapatkan perlakuan cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sue, T. T. 2005. Quality and characteristics of Malaysian palm kernel cakes/expellers. PalmOilDev. 34: 1-3

Sukria, H. A. & R. Krisnan. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. IPB Press, Bogor.

Suadnyana, I. W. 1998. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan sifat fisik pakan lokal sumber protein. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sundu, B., A. Kumar, & J. G. Dingle. 2004. Perbandingan dua produk enzim komersial pencerna beta mannan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. Univ Tadulako, Palu.

(49)

40 Tonnedy, E. I. R. 2006. Performa ayam broiler dengan pakan silase komersial.

Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Usman. 2002. Pengaruh jenis karbohidrat terhadap kecernaan nutrient pakan, kadar glukosa darah, efisiensi pakan dan pertumbuhan yuwana ikan Kerapu tikus (cromileptes altivelis). Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Winarno, F. G. 2010. Enzim Pangan. M-Brio Press, Bogor.

Yatno. 2009. Isolasi protein bungkil inti sawit dan kajian nilai biologinya sebagai alternative bungkil kedelai pada puyuh. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(50)

41

(51)

42

Lampiran 1. Hasil Analisis Proksimat Bungkil Inti Sawit

Nutrien Kandungan

BK/DM (%) 92,03

Abu/Ash(%) 6,81

PK/CP(%) 14,73

SK/CF(%) 47,34

LK/EE(%) 15,68

Beta-N/ NFE(%) 7,47

EB/GE(Kkal) 4,05

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB.

SK JK db KT F Sig.

Model Terkoreksi 27091,667a 3 9030,556 40,136 0,000 Intersep 2439008,333 1 2439008,333 1,084E4 0,000

Mesh 27091,667 3 9030,556 40,136 0,000

Galat 1800,000 8 225,000

Total 2467900,000 12

Total Koreksi 28891,667 11

Mesh N Subset, alfa = 0,01

1 2 3

mesh 100 3 3,9333E2

mesh 50 3 4,3000E2 4,3000E2

mesh 30 3 4,5667E2

mesh 16 3 5,2333E2

Sig. 0,017 0,061 1,000

Lampiran 2. Anova Kerapatan Tumpukan Bungkil Inti Sawit (Bulk Density)

(52)

43

Lampiran 3. Anova Kerapatan Pemadatan Tumpukan Bungkil Inti Sawit

(Compacted Bulk Density)

SK JK db KT F Sig.

Model Terkoreksi 29920,333a 3 9973,444 143,848 0,000 Intersep 4298427,000 1 4298427,000 6,200E4 0,000

Mesh 29920,333 3 9973,444 143,848 0,000

Galat 554,667 8 69,333

Total 4328902,000 12

Total Koreksi 30475,000 11

Uji Lanjut Duncan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Bungkil Inti Sawit (Compacted Bulk Density)

Mesh N Subset, alfa = 0,01

1 2 3 4

mesh 100 3 5,4333E2

mesh 50 3 5,7033E2

mesh 30 3 6,0367E2

mesh 16 3 6,7667E2

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

SK JK db KT F Sig.

Model Terkoreksi 360898,250a 3 120299,417 147,501 0,000

Intersep 1,625E7 1 1,625E7 1,992E4 0,000

Mesh 360898,250 3 120299,417 147,501 0,000

Galat 6524,667 8 815,583

Total 1,661E7 12

Total Koreksi 367422,917 11

(53)

44 Uji Lanjut Duncan Berat Jenis Bungkil Inti Sawit (Spesific Grafity)

Mesh N Subset, alfa = 0,01

1 2 3

mesh 100 3 9,8733E2

mesh 50 3 1,0510E3

mesh 30 3 1,1760E3

mesh 16 3 1,4400E3

Sig. 0,026 1,000 1,000

Lampiran 5. Anova Pengukuran Sudut Tumpukan Bungkil Inti Sawit (Angle of Respose)

SK JK db KT F Sig.

Model Terkoreksi 635,782a 3 211,928 127,411 0,000 Intersep 13260,101 1 13260,101 7,972E3 0,000

Mesh 635,782 3 211,927 127,411 0,000

Galat 13,307 8 1,663

Total 13909,190 12

Total Koreksi 649,089 11

Uji Lanjut Duncan Sudut Tumpukan Bungkil Inti Sawit (Angle of Respose)

Mesh N Subset, alfa = 0,05 dan 0,01

1 2 3

mesh 16 3 25,6000

mesh 30 3 27,0000

mesh 50 3 37,1667

mesh 100 3 43,2000

Gambar

Tabel 1.  Kandungan Nutrien dan Energi Bungkil Inti Sawit
Gambar 2.  Hubungan Laju Reaksi Suatu Enzim dengan pH Larutan.
Gambar 5. Skema Tahap I. Uji Fisik dan Kimia Bungkil Inti Sawit
Gambar 7. Perbedaan Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Pengayakan Menggunakan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh, jelas bahwa untuk mendapatkan servis bawah yang baik, maka perlu dilatih teknik yang baik selain itu kondisi fisik juga seperti daya ledak

Pondok Pesantren, guru bahasa Arab dan santri kelas I‟dady di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Umbulharjo Yogyakarta untuk memperoleh data tentang bagaimana pembelajaran

Analisis data sikap ilmiah siswa, pretest dan posttest tes hasil belajar kognitif siswa menggunakan program SPSS versi 17.0 for windows .Hasil penelitian menunjukan bahwa:

Pengaruh Model Embelajaran Berbasis Masalah Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Dan Sikap Ilmiah Siswa Pada Pembelajaran Sains SMP”, Thesis, Program studi

• Asesmen terfokus Asesmen terfokus --kasus medis: dilakukan pada pasien yang sadar, memiliki orientasi baik, kasus medis: dilakukan pada pasien yang sadar, memiliki

Sean&#34;utn&amp;a masu%%an UserI+ dan Pass*ord pada %ota% &amp;ang disedia%an daam #a ini untu% userI+ guna%an Username Portal Akademik    dan Pass*ord guna%an

Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui dan simpulkan bahwa pasar modal internasional adalah bagian penting dalam transaksi yang di lakukan antar negara baik berkaitan

Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi dan mengkaji tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jamb i, (2) Mengetahui faktor- faktor