• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT DAN BUNGKIL KELAPA SKRIPSI HARIANTO SITUMORANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT DAN BUNGKIL KELAPA SKRIPSI HARIANTO SITUMORANG"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT

DAN BUNGKIL KELAPA

SKRIPSI

HARIANTO SITUMORANG

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ii RINGKASAN

Harianto Situmorang. D24070080. 2011. Kajian Pengaruh Pengayakan terhadap Karakteristik Fisik Bungkil Inti Sawit dan Bungkil Kelapa. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir.Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawati, MS.

Sifat fisik bahan pakan merupakan hal penting dalam industri pakan. Penanganan, pengolahan dan penyimpanan dalam industri pakan tidak hanya membutuhkan informasi tentang komposisi kimia dan nilai nutrisi akan tetapi juga sifat fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dan membandingkan sifat fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa berdasarkan ukuran ayakan (sieving) dengan nomor mesh : 4 (4,76 mm), 8 (2,380 mm), 16 (1,0 mm), 30 (0,548 mm), 50 (0,589 mm), dan 100 (0,149 mm). Bahan yang digunakan adalah bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masing-masing sebanyak 50 kg kemudian diayak berjenjang berdasarkan ukuran ayakan terbesar (4,76 mm) ke ukuran ayakan terkecil (0,149 mm). Produk hasil ayakan diukur kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, sudut tumpukan, daya ambang, kelarutan total dan pH bahan. Data dari Rancangan Split Plot dianalisis ragamnya menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan Beda Nyata Terkecil (LSD). Hubungan ukuran ayakan dengan sifat fisik produk hasil ayakan ditentukan menggunakan

analisis regresi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengayakan (sieving) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap sifat fisik bahan. Semakin kecil ukuran ayakan semakin meningkatkan nilai sudut tumpukan dan daya ambang dan semakin menurunkan kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa. Berbeda dengan bungkil kelapa, nilai kelarutan total meningkat dan kandungan serat kasar menurun seiring dengan semakin kecil diameter lubang ayakan pada bungkil inti sawit. Koefisien korelasi bungkil inti sawit dan bungkil kelapa menunjukkan hubungan regresi linier yang erat antara ukuran ayakan dan sifat fisik produk hasil ayakan. Berat jenis yang tinggi pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa menunjukkan nilai kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan yang tinggi pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa. Selain itu, nilai berat jenis bungkil inti sawit lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik fisik bungkil inti sawit berbeda dengan karakteristik fisik bungkil kelapa. Bungkil inti sawit lebih membutuhkan ketelitian dalam penakaran, pencampuran dan penyimpanan jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

(3)

iii

 

ABSTRACT

Study on the Effect of Sieving to the Physical Characteristics of Palm Kernel Cake and Coconut Cake.

Situmorang, H., Nahrowi and L. Herawati

The physical properties of feedstuffs are important in the feed industry. Handling, processing and storage of the feedstuffs in the feed industry are not only need information about the chemical composition and nutritional value but also physical properties. The purpose of this study was to measure and compare the physical properties of palm kernel cake and coconut cake based on the size of the sieve (screening) with a mesh number: 4 (4,76 mm), 8 (2,380 mm), 16 (1,0 mm), 30 (0,548 mm) , 50 (0,589 mm), and 100 (0,149 mm). The material used was the palm kernel cake and coconut cake as much as 50 kg each. The materials were sifted based on the largest sieve size (4,76 mm) to the smallest sieve size (0,149 mm). The Sifted products were measured for their bulk density, compacted bulk density, specific gravity, angle of repose and floating rate, total solubility and pH. Data from Split Plot Design were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and tested further using Smallest Real Difference (LSD). The relationship between Sieve size and the physical properties of the products was determined using regression analysis. The results showed that the sifting (screening), the type of feedstuffs and their interactions significantly (P <0,01) affected the physical properties of the products. The smaller the size of the sieve, the higher the value of angle and the lower the floating rate, compacted bulk density and specific gravity in the palm kernel cake and coconut cake. Unlike the coconut cake, the total value of the solubility of palm kernel cake increased and crude fiber content decreased with the smaller diameter hole sieve. There were close relationship between sieve size and physical properties of the sieve product. The density value of palm kernel cake was higher compared with that of coconut cake. It can be concluded that the physical characteristics of palm kernel cake were different from the physical characteristics of coconut cake. Palm kernel cake requires more accuracy in dosing, mixing and storage when compared with coconut cake.

Keywords: palm kernel cake, coconut cake, screening, physic properties  

(4)

KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT

DAN BUNGKIL KELAPA

HARIANTO SITUMORANG D24070080

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

Judul Skripsi : :

Nama : Harianto Situmorang NIM : D24070080

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Nahrowi. M.Sc.) (Ir. Lidy Herawati. MS.) NIP. 19620425 198603 1 002 NIP. 19620914 198703 2 009

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat G Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian : 29 September 2011 Tanggal Lulus :

Kajian Pengaruh Pengayakan terhadap Karakteristik Fisik Bungkil Inti Sawit dan Bungkil Kelapa.

(6)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara pada tanggal 08 Februari 1990 dari pasangan Bapak M. Situmorang dan Ibu S. Sinaga. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Inpres Nomor 174588 Pangururan pada tahun 1995 dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Budi Mulia (SLTP BM) Pangururan. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMA 1) Pangururan pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui Program Undangan Saringan Masuk IPB (USMI IPB). Penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan selama di kampus, seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan pada tahun 2009/2010, megikuti magang individu di Japfa Comfeed cabang Tangerang dan sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah Integrasi Proses Nutrisi (IPN) pada bulan Februari – Juni 2011.

(7)

vii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia dan rahmatnya-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Kajian Pengaruh Pengayakan (Sieving) terhadap Karakteristik Fisik Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mulai bulan Mei – Juli 2011 bertempat di Laboratorium Industri Pakan dan Ilmu Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB.

Bungkil inti sawit dan bungkil kelapa adalah hasil ikutan industri pengolahan minyak inti sawit dan Industri minyak kelapa yang ketersediaannya di Indonesia cukup tinggi. Bersamaan dengan itu, dihasilkan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa yang cukup tinggi untuk membantu kesinambungan pakan tambahan bagi ternak. Pengayakan (sieving) merupakan salah satu bentuk dari perubahan fisik bahan menjadi lebih sederhana, mengurangi faktor luar seperti kontaminasi, dan mempermudah melakukan proses mekanisme industri dan meningkatkan kehomogenan bahan serta menghindari pemalsuan bahan pakan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2011

(8)

viii DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iii RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit ... 3

Penggunaan Bungkil Inti Sawit Sebagai Pakan ... 6

Bungkil Kelapa ... 6

Pengayakan (Sieving) ... 8

Perubahan Fisik Bahan ... 9

Sifat Fisik Bahan ... 9

Kerapatan Tumpukan (Bulk Density) ... 9

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) 10

Berat Jenis (Spesific Grafity) ... 11

Sudut Tumpukan (Angle of Respose) ... 12

Daya Ambang (Floating Rate) ... 13

Kelarutan Total ... 13

Derajad Keasaman (pH) ... 14

METODE ... 15

Lokasi dan Waktu ... 15

Bahan dan Peralatan ... 15

Komposisi Zat Makanan Bahan ... 15

Metode ... 15

Perlakuan ... 15

Rancangan Percobaan ... 16

Peubah yang Diamati ... 17

(9)

ix

Kerapatan Tumpukan (Bulk Density) ... 17

Kerapatan Pemadatan Tumpukan ... (Compacted Bulk Density) ... 17

Berat Jenis (Spesific Grafity) ... 17

Sudut Tumpukan (Angle of Respose) ... 18

Daya Ambang (Floating Rate) ... 18

Kelarutan Total ... 19

Derajad Keasaman (pH) ... 19

Prosedur ... 19

Tahapan Persiapan Bahan ... 19

Tahapan Pengayakan (Sieving) ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Pengamatan Umum Bahan ... 21

Kandungan Zat Makanan Bahan Pakan ... 22

Rasio Produk Hasil Ayakan ... 23

Sifat Fisik Bahan ... 24

Kerapatan Tumpukan (Bulk Density) ... 24

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) . 26

Berat Jenis (Spesific Grafity) ... 28

Sudut Tumpukan (Angle of Respose) ... 30

Daya Ambang (Floating Rate) ... 32

Kelarutan Total ... 34

Derajad Keasaman (pH) ... 35

Hubungan Pengayakan (Sieving) terhadap Serat Kasar ... 36

Hubungan Pengayakan (Sieving) terhadap Gross Energy ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

UCAPAN TERIMA KASIH ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(10)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit ... 4

2. Persyaratan Mutu Bungkil Kelapa ... 8

3. Kriteria dalam penilaian Kerapatan Tumpukan ... 10

4. Nilai Kerapatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan ... 10

5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan ... 11

6. Nilai Berat Jenis Beberapa Bahan Pakan ... 11

7. Klasifikasi Aliran Bahan Berdasarkan Sudut Tumpukan ... 12

8. Sudut Tumpukan Beberapa Bahan Pakan ... 12

9. Kelarutan Total Beberapa Bahan Pakan ... 13

10. Nilai Derajad Keasaman (pH) Beberapa Bahan Pakan ... 14

11. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit ... Sebelum dilakukan Pengayakan (Sieving) pada 100 % Bahan ... Kering (BK) ... 15

12. Nomor Mesh dan Diameter Lubang Ayakan ... 16

13. Pengamatan Umum Bahan Berdasarkan Ukuran Ayakan . ... 20

14. Rataan Kerapatan Tumpukan Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran ... Ayakan ... 24

15. Rataan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan ... 26

16. Rataan Berat Jenis Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan ... 28

17. Sudut Tumpukan Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan ... 30

18. Rataan Daya Ambang Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan. .. 32

19. Rataan Kelarutan Total Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan.. 34

20. Rataan Derajad Keasaman (pH) Bahan Pakan berdasarkan Ukuran . Ayakan. ... 36

21. Hubungan Pengayakan (Sieving) Terhadap Serat Kasar ... 37

22. Hubungan Pengayakan (Sieving) Terhadap Gross Energy ... 38

(11)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Buah Kelapa Sawit ... 3

2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit ... 3

3. Persentase Bagian- Bagian Kelapa Sawit berikut hasil Ikutannya ... 4

4. Komponen Pengolahan Tandan buah Kelapa Sawit dan Ekstraksi .... Bungkil Inti Sawit ... 5

5. Komposisi Penyusun Buah Kelapa ... 6

6. Bentuk Umum Bungkil Kelapa ... 7

7. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa ... 7

8. Bentuk dan Warna Produk Hasil Ayakan Bungkil Inti Sawit dan…… Bungkil Kelapa ... 21

9. Persentase Produk Hasil Ayakan Bungkil Inti Sawit dan Bungkil... Kelapa ... 23

10. Hubungan Kerapatan Tumpukan dengan Jenis Bahan berdasarkan.... Nomor Ayakan.. ... 25

11. Hubungan Kerapatan Pemadatan Tumpukan dengan Jenis Bahan... berdasarkan Nomor Ayakan ... ... 27

12. Hubungan Berat Jenis dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor... Ayakan ... 29

13. Hubungan Sudut Tumpukan dengan Jenis Bahan berdasarkan... Nomor Ayakan... ... 31

14. Hubungan Daya Ambang dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor.... Ayakan.... ... 33

15. Hubungan Kelarutan Total dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor. Ayakan ... 35

16. Hubungan Serat Kasar dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor... Ayakan.... ... 38

(12)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bungkil inti sawit (BIS) dan bungkil kelapa adalah hasil ikutan industri pengolahan inti sawit menjadi minyak inti sawit dan minyak kelapa yang ketersediaannya di Indonesia cukup tinggi. Menurut Dirjen Perkebunan (2010) perkiraaan total luas areal kelapa sawit tahun 2010 sebesar 7.824.623 ha dan luas areal produktif sebesar 4.953.382 ha dengan produksi minyak inti sawit mencapai 14. 629.503 ton. Bersamaan dengan itu, dihasilkan bungkil inti sawit cukup tinggi (diperkirakan 1,1 juta ton per tahun) untuk membantu kesinambungan pakan tambahan bagi ternak. Menurut Devendra (1977), bungkil inti sawit memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit (45-50%), namun bila dibandingkan dengan hasil ikutan kelapa sawit lainnya, bungkil inti sawit termasuk bagian yang paling rendah (4-5%) dari seluruh tandan buah sawit segar. Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering dengan jumlah sebesar 25% dari total daging buah kelapa. Bungkil kelapa masih mengandung protein 16-18%, karbohidrat, mineral dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal (Woodrof, 1979)

Jenis karbohidrat yang banyak dikembangkan pada bungkil kelapa dan bungkil inti sawit adalah karbohidrat yang mengandung komponen gula mannose. Beberapa laporan menyebutkan fungsinya untuk menghambat bakteri merugikan seperti Salmonella (Oyofo et al., 1989) atau sebagai imunostimulan (Sashidara dan Devegodwa, 2003). Mannan dikategorikan sebagai polisakarida dan banyak terdapat pada ragi, rumput laut, dan beberapa jenis tanaman (Kennedy dan White, 1988). Mannan dengan komposisi linier (1-4)-β-D-Manp merupakan komponen utama dari dinding sel bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (BIS).

Pengelolaan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa yang efisien dan efektif sangat dibutuhkan untuk dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan keseragaman dan kualitas fisik bahan pakan, dengan dasar teori untuk peningkatan nutrisi bahan pakan melalui penurunan kadar serat kasar secara fisik, hal ini bertujuan akhir untuk optimalisasi penggunaan bungkil tersebut dalam ransum.

(13)

2 Pengayakan (sieving) merupakan salah satu metode dalam menangani perubahan fisik bahan menjadi lebih sederhana, mengurangi faktor luar seperti kontaminasi dan mempermudah melakukan proses mekanisme industri dan meningkatkan kehomogenan bahan. Informasi proses dan pengayakan (sieving) dengan ukuran tertentu untuk mendapatkan kualitas produk fisik bungkil inti sawit masih terbatas, hal ini terlihat dari perkembangan proses pengayakan bahan hanya dilakukan untuk pemisahan dengan kontaminasi tanpa menentukan ukuran diameter lubang ayakan yang tepat pada bahan tersebut. Untuk itu perlu dikaji megenai pengaruh pengayakan (sieving) dengan berbagai ukuran terhadap karakteristik fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa untuk meningkatkan penggunaan bungkil tersebut dalam ransum khususnya unggas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari dan membandingkan sifat fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa meliputi berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, daya ambang, kelarutan total dan pH bahan dengan produk hasil pengayakan (sieving) berdasarkan jenjang ukuran mash dari tertinggi sampai terendah.

(14)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang mempunyai iklim tropis. Tanaman ini awalnya dikembangkan perusahaan besar dan kemudian diikuti perusahaan nasional dan rakyat.

Hasil utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Karnel Oil). Adapun hasil ikutannya berupa bungkil inti sawit (Gambar 2), serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung sawit. Hasil sampingan serat perasan buah dan tempurung sawit digunakan sebagai arang bakar. Adapun tandan kosong dan lumpur sawit merupakan sumber selulosa. (Naibaho, 1990). Gambar 1 menjelaskan struktur umum buah kelapa sawit (Aritonang, 1986) dan Gambar 2 menjelaskan bentuk umum bungkil inti sawit. Menurut Devendra (1977), bungkil inti sawit memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit namun bila dibandingkan dengan hasil ikutan kelapa sawit termasuk bagian yang paling rendah 4-5% dari tandan buah segar (Gambar 3).

Gambar 1. Struktur Buah Kelapa Sawit

Sumber: Naibaho (1990)

a Gambar 2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit

Endokaprium

Eksokaprium

Endokaprium Mesokaprium

(15)

4 Gambar 3. menjelaskan persentase bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya (Aritonang, 1986) sedangkan gambar 4. menjelaskan komponen pengolahan tandan buah kelapa sawit dan ekstraksi bungkil inti sawit (Aritonang, 1986). Secara umum, proses pengolahan menunjukkan kombinasi proses dengan menggunakan tekanan (press) dan ekstraksi.

Gambar 3. Persentase Bagian-Bagian Kelapa Sawit Berikut Hasil Ikutannya Sumber: Aritonang (1986)

Bungkil inti sawit di Indonesia sudah ditetapkan standar kualitasnya, yakni tertera pada SNI 01-0001-1987. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit Kandungan Nutrisi Peneliti

1 2 3 4 A. Analisis Proksimat a b Energi Metabolis, Kkal/kg 1480* - - - 1480 Bahan Kering, % 91 86 86 88,57 90,3 Protein Kasar, % 14 12,9 15,4 16,86 16,1 Lemak Kasar, % 8 9,4 4,6 6,82 0,8 Serat Kasar, % 23 16,9 9,6 15,12 15,7 Abu, % 6 5,6 9,6 6,58 4 Beta-N, % 49 41,2 52,8 54,62 63,5 Sumber: * Mustaffa et al. (1991) 1 Yeong dan Mukherjee. (1983), 2 Hartadi et al.

(1980) (Ekstraksi: a mekanik dan b kimia), 3 Keong (2004), 4 Hew dan Jalaludin (1996)

Minyak Inti Sawit (45-46%) Tandan Buah Segar

Tandan Kosong (55-58%) Serat Kelapa Sawit (12%) Minyak Sawit (18-20%) Inti Sawit (4-5%) Tempurung (8%) Lumpur Minyak Sawit Kering (2%) Bungkil Inti Sawit (45-46%)

(16)

6

Penggunaan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan

Pemanfaatan hasil sampingan pengolahan kelapa sawit berupa bungkil inti sawit telah dilakukan di Malaysia (Zahari & Alimon, 2005), Indonesia dan Afrika (Sinurat, 2003). Bahan pakan tersebut diberikan langsung baik dalam bentuk campuran bahan mengandung karbohidrat tinggi, mineral dan vitamin maupun dalam bentuk terpisah.

Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengujian nilai nutrisi bungkil inti sawit telah banyak dilakukan pada berbagai jenis ternak dan memberikan efek yang cukup baik terhadap tampilan produksinya. Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan bungkil inti sawit adalah untuk subsitusi bungkil kelapa dalam ransum ternak ruminansia, karena bungkil inti sawit mengandung protein dan energi yang tinggi serta imbalan mineral yang serasi bagi ternak ruminansia (Aritonang, 1986). Hasil penelitian Carvalho (2006) menunjukkan bahwa penggunaan bungkil inti sawit (solvent ekstract) yang tinggi dalam pakan sapi perah tidak mempengaruhi konsumsi dan produksi susu. Penggunaan bungkil inti sawit pada sapi potong dan sapi perah dilaporkan dapat menekan biaya pakan (Ummunna et al., 1980 & Carvalho. 2006).

Bungkil Kelapa

Gambar 5 menunjukkan komposisi penyusun buah kelapa. Bungkil kelapa (Gambar 6) adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering (testa dan meat).

Gambar 5. Komposisi Penyusun Buah Kelapa

S Sumber: Woodrof (1979) Eksokaprium Mesokaprium Endokaprium Kulit Daging Air

(17)

7 Gambar 6. Bentuk Umum Bungkil Kelapa

Mutu bungkil kelapa digolongkan dua jenis (Tabel 2). Kopra merupakan buah kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai sumber minyak, pengeringan kelapa tersebut biasanya dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan pengeringan buatan (Woodrof, 1979). Menurut Child (1964), bungkil kelapa masih mengandung protein, karbohidrat, mineral dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal. Kandungan protein yang cukup tinggi menyebabkan bungkil kelapa cukup baik apabila digunakan sebagai makanan ternak. Proses pembuatan bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa Sumber: Tarwiyah (2001)

Daging Buah

Pengeringan dengan Sinar Matahari

Penghancuran

Pemanasan pada Suhu 115°C

Pengepresan

Minyak Bungkil Kopra

(18)

8 Bungkil kelapa mengandung minyak yang tinggi maka mudah terjadi ketengikan, sehingga diusahakan tidak terlalu lama dalam proses penyimpanan. Persyaratan mutu bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan toleransi aflatoksin. Jenis bungkil kelapa dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kadar protein kasar. Bungkil kelapa jenis A memiliki kadar protein kasar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa jenis B. Persyaratan mutu bungkil kelapa menurut SNI 01-2904-1992 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan Mutu Bungkil Kelapa

Komposisi Jenis

A B

Air (% maksimum) 12 12 Protein Kasar (% minimum) 18 16 Serat Kasar (% maksimum) 14 16 Abu (% maksimum) 7 9 Lemak (% maksimum) 12 15 Asam Lemak Bebas (%

terdapat dalam Lemak) 7 9 Ca (%) 0,05-0,30 0,05-0,30 P(%) 0,40-0,75 0,40-0,75 Aflatoksin (ppb maksimum) 100 100 Sumber: SNI (1992) Penyaringan (Sieving)

Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan secara mekanik berdasarkan perbedaan ukuran partikel pada bahan tertentu (Khalil, 1999). Pengayakan (screening) dipakai dalam skala industri, sedangkan pengayakan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium. Menurut Khalil (1999), produk dari proses pengayakan/penyaringan ada dua meliputi ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize) dan ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan (undersize).

Dalam proses industri, pengayakan (sieving) biasanya digunakan untuk mendapatkan material yang berukuran tertentu dan seragam (Khalil, 1999). Pada proses pengayakan, material dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan pengayak dan pengayakan lebih cenderung dilakukan dalam keadaan kering.

(19)

9 Dalam penerapannya, penggunaan ayakan secara umum diarahkan untuk mengukur kadar keseragaman bahan dan mendapatkan ukuran partikel bahan. Nomor mesh 4 (4,76 mm) sampai nomor mesh 16 (1 mm) mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi kasar sedangkan nomor mesh 30 (0,548 mm) sampai nomor mesh 50 (0,28 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi medium dan nomor mesh 100 (0,149 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi halus.

Perubahan Fisik Bahan

Bahan atau komoditi yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pangan ataupun pakan merupakan produk pertanian penting diketahui sifat-sifat pada tiap komoditi tersebut yang berguna dalam penyediaan dan perancangan mesin, pengolahan komoditi, pengawetan produk, dan pengembangan suatu produk pangan atau pakan yang baru. Pengetahuan sifat fisik dan kimia bahan saling mempengaruhi kondisi bahan. Sifat fisik komoditi meliputi semua kondisi yang dapat diamati panca indra maupun yang hanya dapat diukur dengan menggunakan mesin (kehalusan bahan, keseragaman bahan, densitas).

Dalam penerapannya, Toharmat et al. (2006) menyebutkan bahwa sifat bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan, semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatannya atau bahan bahan tersebut semakin amba. Menurut Retnani et al. (2009), maka nilai kerapatan yang tidak stabil disebabkan oleh kelembaban yang relatif tinggi, cairan terkondensasi pada permukaan bahan menjadi basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroba pada pellet.

Sifat Fisik Bahan Kerapatan Tumpukan (Bulk Density)

Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dalam satuan kg/m3 (Khalil, 1999). Pengukuran kerapatan tumpukan (Bulk Density) dilakukan untuk menentukan volume ruang pada suatu bahan dengan berat jenis tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur dan elevator (Kolatac, 1996). Kerapatan tumpukan memiliki pengaruh terhadap daya campur dan ketelitian pengukuran secara otomatis seperti halnya dengan berat jenis. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya ambang dan stabilitas

(20)

10 pencampuran pakan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan kriteria dalam penilaian kerapatan tumpukan menurut Kolatac (1996) dan nilai kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Kerapatan Tumpukan Kerapatan Tumpukan Kriteria

< 450 kg/m3 Waktu alir lebih lama dan butuh ketelitian lebih dalam proses penimbangan, volumetris, dan gravimetris

> 500 kg/m3 Sulit dalam proses pencampuran serta mudah terpisah

> 1000 kg/m3 Waktu alir lebih cepat Sumber: Kolatac (1996)

Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Bahan Pakan Kerapatan Tumpukan (kg/m3)

Jagung 691,3

Sorghum 684,0

Bungkil Inti Sawit 503,2 Bungkil Kedelai 320,0 Tepung Ikan 435,3 Sumber: Khalil (1999)

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)

Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempati setelah melalui proses pemadatan. Perbedaan cara pemadatan akan berpengaruh terhadap nilai kerapatan pemadatan tumpukan, antara kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan terletak kapasitas silo dan container (Gauthama, 1998). Menurut Khalil (1999), kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kadar air suatu bahan. Selain kadar air dan ukuran partikel, besarnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dipengaruhi ketidaktepatan pengukuran (Sayekti, 1999). Besarnya nilai kerapatan pemadatan

(21)

11 tumpukan mementukan kapasitas pengisian tempat penyimpanan silo. Tabel 5 menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan.

Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Bahan Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)

Jagung 704,2

Sorghum 707,6

Bungkil Inti Sawit 700,7 Bungkil Kedelai 340,5 Tepung Ikan 562,0

Sumber: Khalil (1999)

Berat Jenis (Spesific Density)

Berat jenis diukur menggunakan prinsip Hukum Archimedes yaitu suatu benda dalam fluida akan mengalami Gaya Archimedes sebesar fluida yang dipindahkan dan arahnya ke atas. Menurut Gauthama (1998) bahwa berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan, daya ambang bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan serta menentukan tingkat ketelitian proses penakaran otomatis yang umum diperlukan dalam pabrik pakan. Tabel 6 menunjukkan nilai berat jenis beberapa bahan pakan.

Tabel 6. Nilai Berat Jenis Beberapa Bahan Pakan

Bahan Berat Jenis (kg/m3)

Jagung 1579,1

Sorghum 1221,4

Bungkil Inti Sawit 1574,3 Bungkil Kedelai 912,2

Tepung Ikan 1289,3 Sumber: Khalil (1999)

(22)

12

Sudut Tumpukan (Angle of Respose)

Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk antara bidang datar dengan ketinggian. Tumpukan akan terbentuk bila bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong serta mengukur kriteria kebebasan bergerak dari partikel pada sudut tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak sudut tumpukan yang terbentuk semakin kecil. Pengukuran sudut tumpukan merupakan metode yang cepat dan produktif untuk menentukan laju aliran bahan (Geldart et al., 1990).

Menurut Geldart et al. (1990), bahan pakan dengan sudut tumpukan yang tinggi mengakibatkan perlu proses pengadukan dalam silo agar bahan bisa menyebar sehingga mekanisme kerja dalam industri tidak efisien, akan tetapi bila sudut tumpukan kecil maka turunnya bahan akan menjadi serentak. Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan klasifikasi aliran bahan berdasarkan sudut tumpukan dan sudut tumpukan beberapa bahan pakan.

Tabel 7. Klasifikasi Aliran Bahan Berdasarkan Sudut Tumpukan Sudut Tumpukan Aliran

25-30° Sangat mudah mengalir 30-38° Mudah mengalir

38-45° Mengalir 45-55° Sulit mengalir

>55° Sangat sulit mengalir

Sumber: Fasina & Sokhansanj (1993)

Tabel 8. Sudut Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Sudut Tumpukan (°)

Jagung 0

Sorghum 15,9 Bungkil Inti Sawit 45,2 Bungkil Kedelai 12,5 Tepung Ikan 39,7

(23)

13

Daya Ambang (Floating Rate)

Daya ambang adalah jarak tempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari atas ke bawah pada bidang datar selama jangka waktu tertentu dengan satuan m/s. Semakin pendek jarak jatuh partikel bahan yang dicapai persatuan waktu pada jarak yang telah ditentukan maka daya ambang semakin besar. Daya ambang berperan penting dalam pengangkutan bahan melalui alat penghisap (pneumatic conveyer) agar bahan tidak terpisah berdasarkan ukuran dan berat partikel. Partikel yang mempunyai daya ambang yang tinggi akan mudah terhisap sedangkan bahan dengan daya ambang yang rendah akan jatuh lebih cepat dan cenderung bertumpuk pada bagian bawah (Khalil, 1999).

Kelarutan Total

Kelarutan total adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya (Vogel, 1978). Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, dan konsentasi bahan-bahan lain dalam larutan. Muchtadi et al. (1993) menyatakan bahwa pelarut adalah substansi pada fase yang sama (padat, cair, gas) sebagai bagian yang menyusun larutan. Pelarut yang baik adalah air, lebih lanjut dijelaskan bahwa air melarutkan atau mendispersi sebagai zat dengan sifat dwi kutub yang dimilikinya. Nilai kelarutan total untuk beberapa bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kelarutan Total Beberapa Bahan Pakan

Bahan Pakan Kelarutan Total (%BK)

Dedak 8,48 Onggok 9,10 Gaplek 9,32 Bungkil Kelapa 7,72 Jerami Padi 8,79 Sumber: Murni (2003)

Kelarutan bahan dalam air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil (gula dan alkohol) dan gugus O2 karbonil (aldehida dan keton) yang cenderung membentuk

ikatannya ion dengan air (Voet et al. (1999). Air juga melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air (Muchtadi et al., 1993).

(24)

14

Derajad Keasaman (pH)

Derajad keasaman (pH) merupakan suatu gambaran yang dapat memperlihatkan konsentrasi ion Hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Menurut Gaman dan Sherrington (1990), adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein memiliki banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa). Tiap-tiap molekul protein memiliki daya reaksi yang berbeda-beda dengan asam maupun basa, hal ini tergantung pada jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul protein tersebut. Derajad keasaman (pH) dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh pH pakan, kehancuran pakan dalam lambung akan menghasilkan pH lambung (Ange et al., 2000). Nilai pH beberapa pakan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Derajad Keasaman (pH) Beberapa Bahan Pakan Bahan Pakan Derajad Keasaman (pH) Jagung Kuning 6,1

Tepung Alfalfa 5,9

Rape Seed 5,3

Bungkil Kedele (Kadar Protein 53%) 6,6 Tepung Tulang 6,3 Tepung Daging 6,0 Sumber: Makkink (2003)

(25)

15

METODE Lokasi dan Waktu

Proses pengayakan (sieving) dilaksanakan di Laboratorium Industri Pakan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei hingga Juli 2011.

Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan adalah bungkil kelapa dan bungkil inti sawit masing-masing sebanyak 50 kg. Bungkil kelapa berasal dari PT. Mangga Dua Pulo Gadung sedangkan bungkil inti sawit berasal dari PT. Perkebunan Nusantara (PN) IV Lampung. Peralatan yang digunakan terdiri dari timbangan dengan kapasitas 5 kg, model sieve ayakan dengan nomor mesh (4, 8, 16, 30, 50 dan 100), stop watch, gelas ukur 50 ml, corong plastik, kertas manila, alumuniunm foil, seperangkat alat ukur sudut tumpukan, aquadest, oven 105°C, dan pH meter.

Komposisi Zat Makanan Bahan

Tabel 11 menunjukkan secara rinci nilai zat makanan bungkil inti sawit dan

bungkil kelapa berdasarkan 100 % bahan kering.

Tabel 11. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit

Zat Makanan Jenis Bahan

Bungkil inti sawit Bungkil kelapa

Abu (%) 7,38 8,29

Protein Kasar (%) 16,01 18,95 Lemak Kasar (%) 17,04 11,33 Serat Kasar (%) 51,44 38,89 Beta-N (%) 8,13 22,54 Gross Energy (kkal/kg) 4505 4559

Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2011)

(26)

16

Metode

Perlakuan

Perlakuan pengayakan yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari enam jenis berdasarkan nomor mesh, masing-masing mesh meliputi nomor mesh 4, 8, 16, 30, 50 dan 100. Diameter lubang ayakan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Nomor Mesh dan Diameter Lubang Ayakan Nomor Mesh Diameter Lubang

4 4,760 mm 8 2,380 mm 16 1,000 mm 30 0,548 mm 50 0,289 mm 100 0,149 mm Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dengan petak utama (Faktor A) adalah 6 ukuran ayakan (mesh) berbeda dan anak petak (Faktor B) adalah 2 jenis bahan pakan disertai 3 ulangan pada masing-masing pengujian (Steel dan Torrie 1996). Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan untuk perlakuan faktor A (mesh) taraf ke-i, faktor B

(jenis bahan) taraf ke-j dan ulangan ke-k. (µ, αi, βj) = Komponen aditif rataaan, pengaruh utama faktor A dan faktor B

(αβijk) = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

(βj) = Pengaruh faktor B (jenis bahan)

(αβij) = Interaksi faktor A dan B

(27)

17

(

δ

ik

)

= Komponen acak dari petak utama yang menyebar normal (0,σδ2)

eijk = Error perlakuan/pengaruh acak yang menyebar normal (0,σ2)

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan diuji menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significance Difference).

Peubah yang Diamati

Kerapatan Tumpukan (Bulk Density)

Kerapatan tumpukan diukur dengan cara mencurahkan bahan kedalam gelas ukur 50 ml dengan menggunakan corong dan sendok teh sampai volume 25 ml. Gelas ukur yang berisi bahan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kerapatan tumpukan adalah dengan cara membagi berat bahan dengan volume ruang yang ditempati, dirumuskan:

Volume ruang yang ditempati (ml) (g) pakan bahan Bobot KT =

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)

Pengukuran Kerapatan Pemadatan Tumpukan (KPT) hampir sama dengan pengukuran Kerapatan Tumpukan (KT), tetapi volume bahan dibaca setelah dilakukan pemadatan secara vertical selama 15 menit, dirumuskan:

Volume ruang setelah dimampatkan (ml) (g) pakan bahan Bobot KPT =

Berat Jenis (Spesific Grafity)

Berat Jenis diukur dengan cara memasukan masing-masing bahan kedalam galas ukur 50 ml dengan menggunakan sendok teh secara perlahan dengan volume 15 ml. Gelas ukur yang sudah berisi bahan ditimbang. Aquades sebanyak 50 ml dimasukan kedalam gelas ukur, untuk menghilangkan udara antar partikel maka dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk. Sisa bahan yang menempel pada pengaduk dimasukkan dengan menyemprotkan aquadest dan ditambahkan kedalam volume awal. Pembacaan volume akhir dilakukan setelah konstan. Perubahan volume

(28)

18 Aquadest merupakan volume bahan sesungguhnya. Besarnya Berat Jenis (BJ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Perubahan volume aquades(ml) (g) pakan bahan Bobot BJ =

Sudut Tumpukan (Angle of Respose)

Pengukuran dilakukan dengan cara menjatuhkan bahan pada ketinggian 15 cm melalui corong pada bidang datar . Kertas manila berwarna putih digunakan sebagai alas bidang datar. Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada di bawah corong. Untuk mengurangi pengaruh tekanan dan kecepatan laju aliran bahan, pengukuran bahan dilakukan dengan volume tertentu (100 ml) dan dicurahkan perlahan-lahan pada dinding corong dengan bantuan sendok pada posisi corong tetap sehingga jatuhnya bahan selalu dalam kondisi konstan. Sudut Tumpukan (ST) bahan ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan, besarnya Sudut Tumpukan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

d t d t tg 2 5 . 0 = =

α

Daya Ambang (Floating Rate)

Daya Ambang (DA) diukur dengan cara diukur dengan cara menjatuhkan 10 gram partikel bahan pada ketinggian 3 meter dari dasar lantai, kemudian diukur lamanya waktu (detik) yang dibutuhkan sampai mencapai lantai dengan menggunakan stopwatch. Lantai tempat jatuhnya bahan diberi alas dengan alumunium foil untuk memudahkan pengamatan saat bahan jatuh. Pengaruh udara diperkecil yaitu dengan cara menutup setiap lubang yang memungkinkan angin masuk (ventilasi, jendela, pintu). Daya ambang dihitung dengan cara membagi jarak jatuh (meter) dengan lamanya

(29)

19 waktu yang dibutuhkan (detik). Daya Ambang dapat dihitung menggunakan dengan rumus: Waktu (s) (m) jatuh Jarak DA =

Kelarutan Total (Total Solubility)

Diukur dengan cara membagi massa bahan terlarut dengan massa bahan pada kondisi awal dikali 100%, pelarut yang digunakan adalah aquadest. Kelarutan Total dapat dihitung menggunakan metode Stefanon et al. (1996) dengan rumus:

%

100

(x)

y)

-(x

Total

Kelarutan

=

x

Keterangan: x = Bahan dalam kondisi awal y = Bahan tidak larut.

pH bahan

pH bahan diukur dengan cara melarutkan sampel kedalam aquades dengan perbandingan 1:5 selama 15 menit selanjutnya diukur pHnya (Apriyantono et al., 2000).

Prosedur Tahap Persiapan Bahan

Sebelum dilakukan proses perlakuan bahan, bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masing-masing terlebih dahulu dihomogenkan selanjutnya diambil bahan secara representatif (SNI, 1989). Pengambilan sampel masing-masing bahan (bungkil inti sawit dan bungkil kelapa) dilakukan secara acak sebanyak 5 kg. Bahan selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik untuk diproses sesuai perlakuan pengayakan.

(30)

20

Tahapan Pengayakan (Sieving)

Setelah tahapan persiapan bahan dilaksanakan, selanjutnya bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masing-masing dilakukan pengayakan (sieving) berjenjang sesuai ukuran ayakan dari ukuran terbesar (mesh 4) sampai terkecil (mesh 100) dengan ulangan sebanyak tiga kali dengan waktu pegayakan selama 20 menit dengan pola gerakan ayakan dari kiri ke kanan secara berulang sampai didapatkan jumlah bahan sebanyak 1 kg berdasarkan masing-masing nomor ayakan. Hasil dari setiap ayakan ditimbang untuk mengetahui persentase bahan yang ada pada setiap ayakan (mesh). Setelah persentase didapat selanjutnya sampel dari setiap ayakan diuji sifat fisik meliputi: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, berat jenis, sudut tumpukan dan daya ambang menurut metode Khalil (1999). Sampel juga dianalisis kandungan Serat Kasar, Gross Energy, pH (Apriyantono et al., 2000) dan kelarutan total (Stefanon et al., 1996) .

(31)

21

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Umum Bahan

Pengamatan umum bahan merupakan tahapan untuk melihat kondisi bahan sebelum proses pengujian bahan dilakukan sesuai perlakuan. Pengamatan umum bungkil inti sawit dan bungkil kelapa berdasarkan ukuran ayakan (Tabel 13) serta gambar produk hasil ayakan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa (Gambar 8) menunjukkan perbedaan karakteristik fisik bahan pada masing-masing ayakan.

Tabel 13. Pengamatan Umum Bahan Berdasarkan Ukuran Ayakan Indikator

Pengamatan

Nomor mesh

Jenis Bahan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa Warna 4-100 Coklat Coklat

Bau 4-100 Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

Bentuk 4 Bongkahan *)

8 Butiran Kasar Butiran Kasar 30 Butiran Halus Tepung Kasar 100 Tepung Halus Tepung Halus Tekstur 4 Kasar Beragam *)

8 Kasar Seragam Kasar seragam 30 Halus Seragam Halus Seragam 100 Sangat Halus Sangat Halus

*) tidak ada bahan bungkil kelapa yang lolos pada nomor mesh 4.

Gambar 8. Bentuk dan Warna Produk Hasil Ayakan Bungkil Inti Sawit (A) dan Bungkil Kelapa (B)

A A A A A A

(32)

22 Berdasarkan pengamatan umum, warna bungkil inti sawit lebih cenderung menampilkan warna coklat yang lebih pekat dibandingkan bungkil kelapa, kondisi ini merata untuk setiap ayakan. Bau pada bungkil inti sawit lebih harum bila dibandingkan bungkil kelapa.

Nomor ayakan 4 mengidentifikasi kondisi fisik bungkil inti sawit didominasi bongkahan dengan tekstur kasar beragam sedangkan pada bungkil kelapa tidak teridentifikasi karena bahan tidak terayak pada nomor ayakan tersebut. Nomor mesh 8 mengidentifikasi kondisi fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa didominasi butiran kasar dengan tekstur kasar seragam. Nomor mesh 30 pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa memiliki persamaan dengan tekstur halus seragam sedangkan perbedaannya terletak pada bentuk bahan, bungkil inti sawit dominan dalam bentuk butiran halus sedangkan bungkil kelapa dominan dalam bentuk tepung kasar. Nomor mesh 50 memiliki kondisi yang hampir sama dengan nomor mesh 30. Nomor mesh 100 mengidentifikasikan kondisi bentuk dan tekstur yang sama pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa, kedua jenis bahan pada nomor mesh 100 memiliki bentuk tepung halus dan tekstur sangat halus.

Kandungan Zat Makanan Bahan Pakan

Kandungan zat makanan bungkil kelapa dan bungkil inti sawit sebelum dilakukan pengayakan (sieving) dapat dilihat pada Tabel 11. Menurut Chung dan Lee (1985), pengetahuan komposisi kimia perlu dilakukan karena akan mempengaruhi sifat fisik dan thermal butiran, pemindahan masa bahan, termasuk penyimpanan butiran, pengeringan, aerasi, pendinginan, dan pengolahan.

Tabel 11 menunjukkan bahwa bungkil inti sawit memiliki nilai Protein Kasar yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bungkil kelapa. Protein Kasar yang kecil pada bungkil inti sawit disebabkan oleh banyaknya kontaminasi luar yang menyebabkan Protein Kasar menurun dan Serat Kasar meningkat. Serat Kasar yang cukup tinggi pada bungkil inti sawit mengindikasikan pemakaian bungkil inti sawit lebih rendah untuk ternak monogastrik. Nilai Gross Energi pada bungkil inti sawit dan bungkil kelapa yang berkisar antara 4505-4559 kal/g menjadikan pertimbangan bahan ini sebagai sumber energi dalam penyusunan ransum.

(33)

23

Rasio Produk Hasil Ayakan

Gambar 9 menunjukkan persentase produk hasil ayakan bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Persentase ini menampilkan distribusi bahan yang berada pada masing-masing nomor ayakan.

Gambar 9. Persentase Produk Hasil Ayakan Bungkil Inti Sawit dan Bungkil Kelapa

Jumlah produk hasil ayakan terendah pada bungkil inti sawit berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 2,31 % dan tertinggi berada pada nomor mesh 30, yaitu sebesar 29,04 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kohesifitas bungkil inti sawit yang cukup tinggi menjadi faktor utama yang menghambat produk hasil ayakan melewati celah pada ukuran mesh sebelumnya (nomor mesh 30 dan 50). Berbeda halnya dengan bungkil kelapa, persentase bahan terendah berada pada nomor mesh 4 yaitu sebesar 0% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30 sebesar 35,89% yang jauh lebih tinggi dibandingkan bungkil inti sawit. Hasil ini disebabkan gaya kohesi (gaya partikel sejenis) pada bungkil kelapa lebih rendah dibandingkan bungkil inti sawit sehingga bahan lebih mudah terpisah dan bahan lebih mudah melewati celah pada masing-masing ukuran mesh.

Secara umum, produk bungkil inti sawit hasil ayakan berada pada nomor ayakan 8 sampai 50 sedangkan bungkil kelapa berada pada nomor ayakan 16 sampai 100. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran bahan lebih dominan berada pada nomor mesh tersebut. 8,13 16,13 18,63 29,04 25,74 2,31 0 2,6 22,56 35,89 27,03 11,92 0 5 10 15 20 25 30 35 40 4 8 16 30 50 100 P ers en ta se B a h a n ( %) Ayakan (mesh)

(34)

24

Sifat Fisik Bahan Kerapatan Tumpukan (Bulk Density)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi kerapatan tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin menurunkan (P<0,01) nilai kerapatan tumpukan. Bungkil inti sawit memiliki nilai kerapatan tumpukan yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil kelapa (Tabel 14).

Tabel 14. Rataan Kerapatan Tumpukan Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan

Keterangan: Huruf besar membandingkan antara jenis bahan yang berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0,01)

Nilai tertinggi kerapatan tumpukan berada pada nomor mesh 4, yaitu sebesar 802,33 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 50 dan 100, yaitu sebesar 380 ,00 dan 335,55 kg/m3, berbeda dengan interaksi nomor ayakan pada bungkil kelapa, nilai rataan kerapatan tumpukan tertinggi pada bungkil kelapa berada pada nomor mesh 8 dan 16, yaitu sebesar 472,50 dan 429,13 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 4. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai kerapatan tumpukan berdasar-kan ukuran ayaberdasar-kan yang aberdasar-kan menentuberdasar-kan karakteristik dalam pencampuran bahan. Tabel 14 menunjukkan nilai rataan kerapatan tumpukan bungkil inti sawit berdasarkan ayakan lebih beragam bila dibandingkan dengan bungkil kelapa. Hasil ini menunjukkan komponen bahan bungkil inti sawit lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa pada pengukuran kerapatan tumpukan.

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B ) Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

---kg/m3--- 4 802,33±29,27h - 8 660,00±25,98Bf 472,50±6,41Ac 16 527,33±28,02Bd 429,13±18,75Ac 30 462,00±12,12Bc 394,73±4,56Ab 50 380,00±38,74Aa 384,01±13,08Ab 100 335,33±8,74Ba 315,82±2,88Aa

(35)

25 Menurut Kolatac (1996), bahan dengan kerapatan tumpukan lebih besar dari 500 kg/m3 akan sulit mengalami pencampuran bahan karena bahan akan mudah terpisah karena gaya kohesi (gaya antara partikel sejenis) lebih rendah. Berdasarkan Tabel 13, bungkil inti sawit yang sulit mengalami pencampuran adalah bahan yang berada pada nomor mesh 4, 8 dan 16 dan untuk bungkil kelapa, seluruh produk hasil ayakan telah memenuhi standar dalam proses pencampuran bahan karena nilai kerapatan tumpukan berada di bawah 500 kg/m3. Nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada nomor mesh 50 menunjukkan respon yang sama. Hasil ini menunjukkan bahwa massa bahan tiap satuan volumenya relatif sama pada kedua jenis bahan.

Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran kerapatan tumpukan berdasarkan nomor ayakan menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 86,60% dengan persamaan y = -3,035x+596,6 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 95,39% dengan persamaan y = -1,518x+460,7 (Gambar 10).

Gambar 10. Hubungan Kerapatan Tumpukan dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor Ayakan

Nilai korelasi bungkil inti sawit lebih rendah jika dibandingkan dengan bungkil kelapa pada pengukuran kerapatan tumpukan. Hasil ini menunjukkan hubungan nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit pada masing-masing nomor ayakan lebih rendah jika dibandingkan dengan bungkil kelapa, hal ini disebabkan ukuran partikel pada bungkil inti sawit lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa. y = -3,035x + 596,6 R² = 0,756 y = -1,518x + 460,7 R² = 0,919 0 100 200 300 400 500 600 700 0 20 40 60 80 100 120 K er a pa ta n T um pu k a n (kg /m 3) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(36)

26

Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi kerapatan pemadatan tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin menurunkan (P<0,01) nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Bungkil inti sawit memiliki nilai kerapatan tumpukan yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil kelapa (Tabel 15).

Tabel 15. Rataan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan

Keterangan: Huruf besar membandingkan antara jenis bahan yang berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0,01)

Nilai kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit tertinggi berada pada nomor mesh 4 dan 8, yaitu sebesar 723,33 dan 696,67 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 50 dan 100 sebesar, yaitu 500,00 dan 493,33 kg/m3, berbeda dengan bungkil kelapa, nilai kerapatan pemadatan tumpukan bungkil kelapa tertinggi berada pada nomor mesh 8 dan 16 sebesar 508,53 dan 447,81 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 4. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai kerapatan pemadatan bahan berdasarkan ukuran ayakan yang akan menentukan karakteristik kapasitas penyimpanan bahan.

Tabel 15 menunjukkan nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit lebih beragam dibandingkan dengan bungkil kelapa. Hasil ini menunjukkan komponen bahan pada pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B )

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa ---kg/m3--- 4 723,33±28,87 d - 8 696,67±11,55Bd 508,53±7,39Ab 16 623,33±23,09Bc 447,81±5,83Ab 30 540,00±17,05Bb 428,61±5,34Aa 50 500,00±17,32Ba 413,81±4,94Aa 100 493,33±15,28Ba 392,26±7,69Aa

(37)

27 Berdasarkan Tabel 15, seluruh produk hasil ayakan berdasarkan nomor mesh pada bungkil inti sawit lebih sedikit membutuhkan luas tempat penyimpanan jika dibandingkan dengan produk hasil ayakan pada bungkil inti sawit. Hasil ini dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel pada setiap ayakan. Selain itu, kadar lemak yang tinggi pada bungkil inti sawit cenderung menyebabkan bungkil inti sawit lebih kohesif dibandingkan bungkil kelapa sehingga massa bahan cenderung lebih sedikit menempati ruang dalam setiap satuan volumenya.

Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan berdasarkan nomor ayakan menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 80,60% dengan persamaan y = -1,913x+648,4 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 82,46% dengan persamaan y = - 0,994x+478,1 (Gambar 11).

Gambar 11. Hubungan Kerapatan Pemadatan Tumpukan dengan Jenis Bahan ber-

dasarkan Nomor Ayakan

Nilai korelasi bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit pada pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan. Hasil ini menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan bungkil kelapa pada masing-masing nomor ayakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit, hal ini disebabkan keseragaman ukuran bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit. y = -1,913x + 648,4 R² = 0,649 y = -0,994x + 478,1 R² = 0,681 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 20 40 60 80 100 120 K er ap at an P em ad at an T um puk a n ( k g /m 3) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(38)

28

Berat Jenis (Spesific Bulk Density)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi berat jenis. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin menurunkan (P<0,01) nilai berat jenis bahan. Bungkil inti sawit memiliki nilai berat jenis yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil kelapa pada nomor mesh 4,8,16,30 dan 50 sedangkan bungkil kelapa memiliki berat jenis yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil inti sawit pada nomor mesh 100 (Tabel 16).

Tabel 16. Rataan Berat Jenis Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan

Keterangan: Huruf besar membandingkan antara jenis bahan yang berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0.01)

Nilai berat jenis bungkil inti sawit tertinggi berada pada nomor mesh 8, yaitu sebesar 1403,33 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 440,00 kg/m3, sedangkan nilai berat jenis bungkil kelapa tertinggi berada pada nomor mesh 8 sebesar 829,33 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 4. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai berat jenis bahan berdasarkan ukuran ayakan yang akan menentukan karakteristik dalam penakaran bahan secara otomatis pada industri pakan.

Tabel 16 menunjukkan nilai berat jenis bungkil inti sawit lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa. Hasil ini menunjukkan komponen bahan bungkil inti sawit pada pengukuran berat jenis lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B ) Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

---kg/m3--- 4 1403,33±41,63 p - 8 1410,00±36,06Bq 829,33±58,73Af 16 1236,67±60,28Bn 731,33±45,08Ae 30 886,67±15,28Bh 706,33±85,98Ae 50 646,67±41,63Be 632,00±11,14Ac 100 440,00±34,64Aa 508,33±36,30Ba

(39)

29 Berdasarkan Tabel 16, berat jenis yang tinggi menunjukkan perbedaan massa per satuan volumenya lebih besar dan membutuhkan ketelitian lebih rinci dalam proses penakaran otomatis. Hasil ini sesuai dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan partikel dengan kohesifitas yang tinggi pada bungkil menyebabkan bahan lebih mudah menempel satu sama lain, sehingga rongga antar partikel lebih kecil sehingga berat jenis meningkat. Nilai berat jenis yang tinggi mencirikan nilai kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan yang tinggi.

Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran berat jenis berdasarkan nomor ayakan menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 92,19% dengan persamaan y = -10,09x+1335 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 96,95% dengan persamaan y = -3,160x+810,1 (Gambar 12).

Gambar 12. Hubungan Berat Jenis dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor Ayakan

Nilai korelasi bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit pada pengukuran berat jenis. Hasil ini menunjukkan nilai berat jenis bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit, hal ini disebabkan kohesifitas bahan lebih tinggi pada bungkil inti sawit jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Sudut Tumpukan (Angle of Respose)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi sudut tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan (P<0,01) nilai sudut tumpukan bahan. Bungkil inti sawit memiliki nilai sudut tumpukan yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil kelapa berada pada nomor mesh 50 dan 100 sedangkan bungkil kelapa

y = -10,09x + 1335. R² = 0,850 y = -3,160x + 810,1 R² = 0,939 0 500 1000 1500 0 20 40 60 80 100 120 B era t J en is ( k g /m 3) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(40)

30 memiliki nilai sudut tumpukan yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil inti sawit berada pada nomor mesh 8 (Tabel 17).

Tabel 17. Rataan Sudut Tumpukan Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan

Keterangan : Huruf besar membandingkan antara jenis bahan berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0.01)

Nilai rataan sudut tumpukan bungkil inti sawit tertinggi berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 43,19° dan terendah berada pada nomor mesh 4, yaitu sebesar 12,67° sama halnya dengan bungkil kelapa, nilai tertinggi berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 43,19° dan terendah berada pada nomor mesh 4. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan akan menentukan karakteristik aliran bahan dalam industri pakan.

Tabel 17 menunjukkan nilai rataan sudut tumpukan bungkil kelapa lebih beragam dibandingkan dengan bungkil inti sawit. Hasil ini menunjukkan komponen bahan pada pengukuran sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan pada bungkil inti sawit lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Berdasarkan Tabel 17, nilai sudut tumpukan yang tinggi akan mempersulit proses produksi karena aliran bahan dalam bin akan lambat sehingga sering menyumbat silo. Bahan dengan sudut tumpukan yang tinggi cenderung terkonsentrasi di tengah sedangkan bahan dengan sudut tumpukan yang rendah cenderung mudah mengalir. Berdasarkan kriteria sudut tumpukan menurut Fasina dan Sokhansanj (1993), bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masih tergolong kriteria

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B ) Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

---(°)--- 4 12,67±1,44 a - 8 18,15±3,39Ab 22,79±1,05Ba 16 25,77±1,07Ac 26,65±2,74Ab 30 28,50±1,12Ad 26,84±1,59Ab 50 37,47±2,04Be 28,20±0,61Ab 100 43,19±2,90Be 38,49±6,12Ac

(41)

31 bahan yang dapat mudah mengalir yang memiliki sudut tumpukan berkisar antara (12°-45°).

Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran berat jenis berdasarkan nomor ayakan menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 94,33% dengan persamaan y = -0,25x+19,81 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 94,47% dengan persamaan y = -0,159x+21,49 (Gambar 13).

Gambar 13. Hubungan Sudut Tumpukan dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor

Ayak Ayakan

Nilai korelasi bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit pada pengukuran sudut tumpukan. Hasil ini menunjukkan hubungan sudut tumpukan dengan nomor ayakan pada bungkil kelapa lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit. Menurut Henderson dan Perry (1976) dalam penelitiannya yang menyatakan, sudut tumpukan yang tinggi akan cenderung mempengaruhi kesulitan pengangkutan bahan dan menimbulkan mekanisme industri yang tidak efisien. Bahan dengan sudut tumpukan yang tinggi akan membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan bahan dengan sudut tumpukan yang lebih rendah.

Daya Ambang (Floating Rate)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi daya ambang. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan (P<0,01) nilai daya ambang bahan (Tabel 18).

y = 0,254x + 19,81 R² = 0,894 y = 0,159x + 21,49 R² = 0,951 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 20 40 60 80 100 120 Sudut T u m p u k a n ( ) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(42)

32 Tabel 18. Rataan Daya Ambang Bahan Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan

Keterangan : Huruf besar membandingkan antara jenis bahan yang berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0,01)

Nilai daya ambang bungkil inti sawit tertinggi berada pada nomor mesh 50 dan 100 sebesar 1,81 dan 1,79 m/s dan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8 sebesar 5,34 dan 4,09 m/s sedangkan pada bungkil kelapa nilai daya ambang tertinggi berada pada nomor mesh 100 sebesar 1,51 m/s dan terendah masing-masing berada pada nomor mesh 8, 16, 30 dan 50 sebesar 3,26; 1,89; 1,94 dan 1,68 m/s. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai daya ambang berdasarkan ukuran ayakan yang akan menentukan karakteristik dalam menentukan pengangkutan bahan dalam industri pakan.

Tabel 18 menunjukkan interaksi antar nomor ayakan terhadap rataan pengukuran daya ambang. Nilai rataan daya ambang bungkil inti sawit lebih beragam dibandingkan bungkil kelapa. Hasil ini menunjukkan komponen bahan pada pengukuran daya ambang bungkil inti sawit lebih beragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Berdasarkan Tabel 18, nilai daya ambang bungkil kelapa lebih besar jika dibandingkan dengan bungkil inti sawit. Daya ambang dikatakan besar bila semakin pendek jarak yang dicapai dalam satu menit. Nilai daya ambang bungkil kelapa sama dengan nilai daya ambang bungkil inti sawit pada nomor mesh 30, 50, dan 100. Hasil ini dipengaruhi bobot partikel bungkil inti sawit lebih relatif sama untuk tiap satuan volumenya.

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B ) Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

---m/s--- 4 5,34±0,39 c - 8 4,09±0,86Bc 3,26±1,66Ab 16 2,49±0,64Bb 1,89±0,30Ab 30 2,22±0,46Ab 1,94±0,12Ab 50 1,81±0,15Aa 1,68±0,08Ab 100 1,79±0,47Aa 1,51±0,06Aa

(43)

33 Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran daya ambang berdasarkan nomor ayakan menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 69,28% dengan persamaan y = -0,018x+3,215 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 68,55% dengan persamaan y = -0,013x+2,584 (Gambar 14).

Gambar 14. Hubungan Daya Ambang dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor

Ayaka Ayakan

Nilai korelasi bungkil inti sawit lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa pada pengukuran daya ambang. Hasil ini menunjukkan hubungan daya ambang dengan nomor ayakan lebih tinggi pada bungkil inti sawit bila dibandingkan dengan bungkil kelapa, hal ini disebabkan bobot bahan tiap satuan volume pada bungkil inti sawit lebih besar sehingga kecepatan jatuh bahan lebih stabil sedangkan bobot bahan tiap satuan volume pada bungkil kelapa lebih kecil sehingga keragaman jatuh bahan lebih tinggi.

Kelarutan Total (Total Solubility)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya nyata (P<0,01) mempengaruhi kelarutan total. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan (P<0,01) nilai kelarutan total bungkil inti sawit dan menurunkan (P<0,01) kelarutan total bungkil kelapa. Bungkil kelapa memiliki nilai kelarutan total yang nyata (P<0,01) lebih besar dibandingkan bungkil inti sawit (Tabel 19). y = -0,018x + 3,215 R² = 0,489 y = -0,013x + 2,584 R² = 0,469 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 0 20 40 60 80 100 120 D aya A m b an g ( m/ s) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(44)

34 Tabel 19. Rataan Kelarutan Total Bahan Pakan berdasarkan Ukuran Ayakan

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B )

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa ---%--- 4 4,31±0,23 a - 8 4,89±0,19Aa 10,58±0,34Bc 16 5,69±0,17Ab 9,04±0,19Bb 30 5,72±0,09Ab 8,52±0,39Bb 50 6,08±0,10Ab 7,57±0,66Ba 100 6,39±0,16Ab 7,47±0,12Ba

Keterangan: Huruf besar membandingkan antara jenis bahan yang berbeda pada ayakan yang sama sedangkan huruf kecil membandingkan antara ayakan yang berbeda pada jenis bahan yang sama (P<0.01)

Nilai kelarutan total bungkil inti sawit tertinggi masing-masing berada pada nomor mesh 16, 30, 50 dan 100, yaitu sebesar 5,69; 5,72; 6,08 dan 6,39 % dan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8, yaitu sebesar 4,31 dan 4,89 %. Berbeda dengan bungkil kelapa, nilai kelarutan total tertinggi berada pada nomor mesh 8 sebesar 10,58% dan terendah berada pada nomor mesh 4. Hasil ini menunjukkan perbedaan nilai kelarutan total berdasarkan ukuran ayakan yang akan menentukan karakteristik dalam menentukan kecernaan bahan.

Tabel 19 menunjukkan kelarutan total bungkil inti sawit lebih seragam dibandingkan bungkil kelapa. Hasil ini menunjukkan bahwa komponen bahan terlarut pada bungkil inti sawit lebih seragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Berdasarkan Tabel 18, nilai kelarutan total bungkil inti sawit lebih kecil jika dibandingkan dengan bungkil kelapa. Hasil ini dipengaruhi kontaminasi bungkil inti sawit oleh lapisan luar (endokaprium) inti sawit. Semakin rendah kontaminasi akan meningkatkan kelarutan total bahan. Tinggi rendahnya nilai kelarutan total tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya komponen tidak larut dalam bahan pakan tersebut dan kontaminasi luar pada proses pengolahan pakan maupun pemalsuan bahan. Kelarutan total bahan (bungkil inti sawit dan bungkil kelapa) dipengaruhi juga oleh komponen kimia bahan. Semakin tinggi kandungan polisakarida bahan

(45)

35 khususnya polisakarida non pati maka semakin rendah kelarutan bahan dalam air, hal ini disebabkan polisakarida non pati sulit mengalami hidrolisa dalam air. Menurut Naibaho (1990), bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya.

Hubungan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa pada pengukuran kelarutan total berdasarkan nomor ayakan (8 sampai 100) menampilkan persamaan dalam bentuk linier. Korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 85,44% dengan persamaan y = 0,013x+5,217 dan korelasi yang dicapai bungkil kelapa yaitu sebesar 80,62% dengan persamaan y = - 0,028x+9,780 (Gambar 15).

Gambar 15. Hubungan Kelarutan Total dengan Jenis Bahan berdasarkan Nomor

Ayak Ayakan

Nilai korelasi bungkil inti sawit lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa pada pengukuran kelarutan total. Hasil ini menunjukkan hubungan kelarutan total dengan nomor ayakan pada bungkil inti sawit lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa, hal ini disebabkan komponen bahan terlarut pada bungkil inti sawit lebih seragam jika dibandingkan dengan bungkil kelapa.

Derajad Keasaman (pH)

Perlakuan ayakan, jenis bahan, dan interaksinya tidak nyata mempengaruhi derajad keasaman (pH). Derajad keasaman (pH) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5,40-5,45 sedangkan derajad keasaman (pH) bungkil kelapa berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5,40-5,43 (Tabel 20).

y = 0,013x + 5,217 R² = 0,738 y = -0,028x + 9,780 R² = 0,658 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 0 20 40 60 80 100 120 K el ar u tan T ot al (%) Nomor Ayakan

Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa

(46)

36 Tabel 20. Rataan Derajad Keasaman (pH) Pakan Berdasarkan Ukuran Ayakan

Berdasarkan Tabel 20, nilai derajad keasaman (pH) masing-masing bahan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam penerapannya, pengetahuan tentang derajad keasaman (pH) bahan dimaksudkan untuk mendeteksi kondisi bahan jika kemungkinan suatu saat mengalami penurunan pH akibat proses produksi. Menurut Sinurat (2003), umumnya keasaman yang tinggi akan cenderung mengganggu kecernaan zat makanan, hal ini karena enzim pembantu pencernaan tidak dapat bekerja optimal. Pakan dengan pH netral lebih palatabel dibandingkan dengan pakan dengan pH asam maupun pH basa.

Hubungan Pengayakan (Sieving) terhadap Serat Kasar

Perlakuan ayakan menunjukkan nilai serat kasar bungkil inti sawit lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa, semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin menurunkan serat kasar bungkil inti sawit dan semakin meningkatkan Serat Kasar bungkil kelapa (Tabel 21).

Nomor Mesh (Faktor A)

Jenis Bahan (Faktor B ) Bungkil Inti Sawit Bungkil Kelapa 4 5,45±0,01 - 8 5,44±0,01 5,42±0,01 16 5,42±0,01 5,41±0,01 30 5,42±0,01 5,40±0,01 50 5,41±0,01 5,41±0,01 100 5,40±0,01 5,43±0,01

Gambar

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Gambar 7.  Proses Pembuatan Bungkil Kelapa         Sumber: Tarwiyah (2001)
Tabel 3. Kriteria Penilaian Kerapatan Tumpukan
Tabel 5.  Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan  Bahan  Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m 3 )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, untuk memenuhi hal tersebut Lembaga Sertifikasi Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia (LS-PATI) merupakan sarana pelayanan publik dalam membuat Sertifikat Keahlian

satunya yang dimiliki para pembelajar sehingga tata bahasa terkadang digunakan untuk. menyusun kalimat untuk

Penelitian ini difokuskan pada penerapan metode problem solving dan media visual untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri

Berarti dapat disimpulkan tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara latihan propioseptif dengan menggunakan wobble board dan theraband exercise terhadap

Berdasarkan jawaban S03 pada soal nomor 2 terlihat bahwa S03 tidak menuliskan rumus dengan tepat yaitu rumus keliling lingkaran, selain itu juga siswa salah dalam

Berdasarkan hasil yang diperoleh, jelas bahwa untuk mendapatkan servis bawah yang baik, maka perlu dilatih teknik yang baik selain itu kondisi fisik juga seperti daya ledak

Dapat diinterpretasikan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel tayangan fashion dari internet dengan hasil belajar desain busana karena r hitung

[r]