Seks Pr anikah di Sur abaya)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Komunikasi Pada FISIP UPN ”Veteran”J awa Timur
Disusun Oleh :
Fanny Dwi Setyawan
0943010209
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Seks Pr anikah di Sur abaya) Oleh
Fanny Dwi Setyawan 0943010209
Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi Pr ogram Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur Pada Tanggal 18 J uli 2013
Menyetujui
Pembimbing Utama Tim Penguji
1. Ketua
Dr s. Saifuddin Zuhr i, Msi Dra. Sumardjijati, Msi
NPT. 370069400351 NIP. 196203231993092001
2. Sekr etaris
Dr s. Saifuddin Zuhr i, Msi NPT. 370069400351
3. Anggota
Dra. Diana Amalia, Msi NIP. 19630907 1991103 2001 Mengetahui
Pr anikah di Sur abaya)
Disusun Oleh :
Fanny Dwi Setyawan 0943010209
Telah disetujui untuk mengikuti ujian skr ipsi, oleh :
Pembimbing Utama
Dr s. Syaifuddin Zuhr i, Msi NPT. 370069400351
Mengetahui
Dekan
melimpahkan karunianya-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini atas bantuan dari beberapa pihak. Pada kesempatan yang baik ini, perkenankan penulis dengan menyampikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu guna mendukung kelancaran penyusunan skripsi ini.
Penulis dengan rasa hormat yang mendalam mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP., selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
6. Orang tuaku tercinta, yang telah memberikan bantuan baik materiil maupun moril, serta do’a.
7. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan guna meningkatkan mutu dari penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap, penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi peneliti lain yang tertarik untuk mendalaminya di masa yang akan datang.
Surabaya, Juli 2013
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu ... 9
2.2. Landasan Teori ... 11
2.2.1. Komunikasi ... 11
2.2.2. Tujuan Komunikasi ... 13
2.2.3. Perilaku Komunikasi ... 14
2.2.4. Teori Atribusi ... 15
2.2.5. Komunikasi Antarpribadi ... 17
2.2.6. Fungsi Komunikasi Antarpribadi ... 18
2.19.2.Seks Pranikah ... 25
2.2.10.Remaja ... 27
2.2.11.Tahap Perkembangan Remaja ... 29
2.3. Kerangka Berpikir ... 31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 33
3.2. Subjek Atau Key Informan Penelitian ... 34
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 36
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 36
3.5. Teknik Analisis Data ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 40
4.2. Penyajian Data dan Analisis Data ... 41
4.2.1.Identitas Responden ... 41
4.2.2.Analisis Data ... 43
4.3. Pembahasan ... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan ... 80
5.2.Saran ... 82
Tua Dengan Anak Pada Kasus Seks Pr anikah di Sur abaya)
Konflik dalam keluarga sering terjadi karena tersumbatnya aliran komunikasi antara orang tua dan anak. Orang tua yang sama-sama sibuk menyebabkan intensitas dan kualitas komunikasi menjadi sangat kurang dan tidak jarang pula menimbulkan perselisihan diantaranya, kegagalan komunikasi tersebut dapat diambil contoh adalah maraknya perilaku seks pranikah saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi orang tua dan anak pada kasus seks pranikah di Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif Informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak remaja berusia 18-21 tahun yang melakukan seks pranikah. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan depth interview. Dari hasil pengujian didapatkan hasil pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Ibu Yanti adalah pola komunikasi authoritarian (otoriter), pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Ibu Hesti adalah pola komunikasi permissive (permisif) dan pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Bapak Rusli adalah pola komunikasi permissive (permisif)
Keyword : Pola Komunikasi, Perilaku seks Pra Nikah, Remaja
ABSTRACT
Fanny Dwi Setyawan,
0943010209
Communication Patterns Parents With Children In Fr ee Sex Case (Descriptive Study of Communication Patterns of Parents With Childr en In Fr ee Sex Case Surabaya)1.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan istilah yang sangat popular terdengar sekarang ini,
meskipun sebenarnya manusia boleh dikatakan hampir tidak mungkin hidup tanpa
berkomunikasi. Penyampaian komunikasi yang digunakan pun bukan hanya secara
verbal tapi juga secara nonverbal. Hal dasar yang perlu diketahui, adalah komunikasi
berguna untuk memenuhi kebutuhan biologis kita, seperti makan dan kebutuhan
psikologis kita seperti kebahagiaan. Contoh bentuk komunikasi yakni diskusi,
pidato, demonstrasi, menangis, marah, tertawa, tersenyum, merupakan sebagian cara
manusia untuk berinteraksi, saling bertukar pendapat, mencurahkan perasaan,
menceritakan pengalaman, tidak jarang berkomunikasi juga digunakan untuk
mempengaruhi pemikiran orang lain untuk tujuan tertentu. Dari fungsi komunikasi
yang telah dijabarkan di atas yang salah satunya berfungsi untuk mencurahkan
perasaan dan bahkan menpengaruhi pemikiran orang lain untuk tujuan tertentu,
terlihat dalam bentuk komunikasi yang terjadi dalam hubungan pertemanan.
Sendjaja (2005:13) mengemukakan bahwa komunikasi memainkan peranan
penting dalam kehidupan manusia dan sebagian besar kegiatan komunikasi
berlangsung dalam situasi komunikasi antarpribadi. Sependapat dengan hal itu,
Rakhmat (2002:23) mengemukakan bahwa kepribadian terbentuk sepanjang hidup,
antara orang tua dan anak. Orang tua yang sama-sama sibuk menyebabkan intensitas
dan kualitas komunikasi menjadi sangat kurang dan tidak jarang pula menimbulkan
perselisihan diantaranya. Pergaulan antara keluarga dengan anak dalam sebuah
keluarga sangat memerlukan derajat keintiman, frekuensi pertemuan serta mutu
interaksi dari anggota keluarga. Banyak persoalan-persoalan keluarga terutama
antara orang tua dan anak yang biasa diselesaikan dengan komunikasi yang baik.
Hubungan keluarga dengan anak merupakan hubungan antarpribadi yang
pada dasarnya merupakan hubungan timbal balik, yang idealnya dipengaruhi oleh
sikap percaya, sikap positif, dan terbuka selain itu pada intinya merupakan
komunikasi langsung dimana masing-masing peserta komunikasi dapat beralih
fungsi, baik sebagai komunikator maupun komunikan dan reaksi yang diberikan
masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh langsung Oleh karena itu
hubungan orang tua dengan anak adalah hubungan antarpribadi maka komunikasi
yang terjadi adalah komunikasi antarpribadi. Menurut De Vito (2005:42) komunikasi
antarpribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua
orang atau diatantara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika.
Menurut Djamarah (2004:36) percakapan dalam hubungan keluarga bukan
hanya sekedar pertukaran informasi. Melalui pembicaraan anak maupun orang tua
dapat menyatakan perasaan hati, memperjelas pikiran, menyampaikan ide dan juga
menyampaiakn pendapat.
Kekegagalan dalam berkomunikasi antara keluarga dengan remaja
disebabkan karena adanya 1) gangguan: mekanik yaitu gangguan yang disebabkan
saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik, semantik yaitu bersangkutan
dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak yaitu melalui
penggunaan bahasa; 2) Kepentingan yaitu seseorang akan selektif dalam menanggapi
atau menghayati suatu pesan; 3) Motivasi Terpendam akan mendorong seseorang
berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya;
4) Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu
kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa
sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan
komunikasi.
Kegagalan komunikasi tersebut dapat diambil contoh adalah maraknya
perilaku seks pranikah saat ini. Perilaku seks pranikah tak dapat dihindari hadir
dengan deras dalam kehidupan masyarakat modern, dan tak bisa dipungkiri dengan
adanya dampak globalisasi dimana terjadi pertukaran budaya, dan pertukaran arus
informasi yang tak dapat dibendung.Globalisasi memaksa kita untuk akrab dengan
budaya lain yang tak semestinya merasuk dalam tubuh kita sebagai bangsa Indonesia
yang berasaskan ketimuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat ketimuran yang
memiliki perspektif norma dan kaidah yang kuat dalam bermasyarakat. Budaya
bangsa lain, dalam hal ini khususnya budaya bangsa barat, agaknya telah terlampau
agaknya sudah tak asing lagi (
http://id.scribd.com/doc/133192874/Perilaku-Seks-Bebas-Dalam-Perspektif-Ham-Dan-Demokrasi).
Secara umum, pengertian perilaku merupakan tindakan atau perbuatan suatu
organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari sedangkan seks adalah
berhubungan dengan : “reproduksi, perbedaan anatomi, dan reaksi fisik, namun
sekaligus lebih dari semua itu.”. Sementara itu, BKKBN mengemukakan tentang
pengertian seks adalah adalah kelamin. Sedangkan Seks pranikah dapat diartikan
sebagai hubungan intim sepasang manusia untuk memenuhi kepuasan seksual yang
dilakukan diluar hubungan yang sah (pernikahan). Perilaku seks pranikah di
Indonesia dipengaruhi oleh masuknya budaya asing yang tidak terfilter dengan baik.
evolusi seks yang mencuat di Amerika Serikat dan Eropa pada akhir tahun 1960-an
sudah merambah masuk ke Indonesia ini melalui piranti teknologi informasi dan
sarana-sarana hiburan lainnya yang semakin canggih
(
http://id.scribd.com/doc/133192874/Perilaku-Seks-Bebas-Dalam-Perspektif-Ham-Dan-Demokrasi).
BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)
menyatakan bahwa masalah remaja bukan hanya persoalan narkoba dan HIV/AIDS.
Persoalan seks pranikah kini juga menjadi masalah utama remaja di Indonesia.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri
Syarief mengatakan jumlah remaja Indonesia mencapai 63,4 juta jiwa atau sekitar
26.7 persen dari penduduk Indonesia. Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi
Kesehatan (Kemenkes) 2009 pernah merilis perilaku seks pranikah remaja dari
penelitian di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya.
Hasilnya menunjukkan sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah
pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, sebanyak 6,9 persen
responden telah melakukan hubungan seksual pranikah
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum
/12/11/28/me6fl5-seks-bebas-masalah-utama-remaja-indonesia).
Menurut Departemen Agama Pengaruh bebas ini seakan menjadi momok
menakutkan bagi bangsa Indonesia, hal ini karena kedua hal tersebut bisa merusak
masa depan anak-anak muda yang seharusnya merekalah pelanjut perjuangan bangsa
Indonesia dan jika ada yang melakukan dan hamil maka harus dinikahkan tanpa
harus menunggu anak lahir dengan alasan tidak ada keharaman pada anak zina
karena tidak ada nasab (keturunan). Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin
Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut
berisi tiga(3) ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan
dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut
pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.3.
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi
dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan, komunikasi antarpribadi
dapat memicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pentingnya situasi komunikasi
antarpribadi ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis.
Dialog itu sendiri adalah bentuk komunikasi antarpribadi yang menunjukan
terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk dialog ini
berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar
(Effendy,2003:42).
Masa remaja dapat dibagi menjadi menjadi masa remaja awal ( usia dari 10
tahun sampai dengan usia 13 tahun ), remaja madya (usia dari 14 tahun sampai
dengan usia 18 tahun) dan masa remaja akhir ( usia dari 18 tahun hingga usia 21
tahun ). Remaja yang diteliti dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 18-21
tahun karena merupakan kategori remaja akhir, dimana pada masa ini remaja sudah
mampu mengarahkan dorongan nafsu genitalnya menjadi hubungan interpersonal
yang disesuaikan dengan budaya, kesempatan dan persahabatan dengan seseorang
yang dianggap sesuai dan pada remaja ini dapat dianggap menjadi remaja yang
sesungguhnya (Monks, 2004:24).
Penelitian ini dilakukan di Surabaya hal tersebut karena Data terbaru yang
diterima Pemerintah Kota Surabaya, sebanyak 89 persen penularan HIV-AIDS di
kota Pahlawan ini pada tahun 2012 terjadi akibat hubungan seks. yang lebih
(http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2012-07 19/141649/
Suka_ Seks_Bebas,Ratusan_Warga_Surabaya_Terinfeksi_AIDS).
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka judul dalam penelitian ini
adalah “Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Pada Kasus Seks Pranikah (Studi
Deskriptif Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Pada Kasus Seks Pranikah di
Surabaya)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana pola orang tua dan anak pada kasus seks pranikah di Surabaya”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian yang ingin dicapai
adalah untuk mengetahui pola komunikasi orang tua dan anak pada kasus seks
pranikah di Surabaya
1.4. Manfaat peneltiian
Dari hasil penelitian peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan
informasi atau masukan yang bermanfaat antara lain :
1. Kegunaan Pr aktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak keluarga agar
dapat berkomunikasi dengan baik pada anak agar anak dapat memahami apa yang
2. Kegunaan Teor itis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya
pola komunikasi dan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Setyowati (2005) dengan judul Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Emosi Anak Pada Keluarga Jawa), tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam tentang penerapan pola komunikasi yang dilakukan oleh keluarga Jawa dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk usaha orang tua dalam menanamkan nilai-nilai budaya yang mendukung perkembangan emosi anak, serta alasan-alasan atas pemilihan pola komunikasi yang diterapkan. Hasil yang didapatkan adalah Penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap proses perkembangan emosi anak. Dalam proses komunikasi tersebut, anak akan belajar mengenal dirinya maupun orang lain, serta memahami perasaannya sendiri maupun orang lain
Penelitian lain dilakukan oleh Retnowati (2005) dengan judul pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak (kasus di kota Yogyakarta), tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengkaji pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak. Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah secara umum pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih berperan dominan dalam membentuk kemandirian anak melalui penanaman kesadaran untuk mandiri. Pola komunikasi linier juga bias membentuk kemandirian anak melalui efek komunikasi berupa ketundukan sedangkan pola komunikasi interaki dan transaksi melalui efek internalisasi
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati (2005) adalah objek penelitian dimana sebelumnya menggunakan permasalahan kemandirian anak dan pada penelitian ini menggunakan seks pranikah.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Komunikasi
Kata komunikasi atau Communication dalam istilah bahasa inggris berasal dari kata latin communicatus yang berarti menjadi milik bersama atau berbagi. Kata sifatnya communis yang bermakna umum atau bersama – sama. Sehingga dengan demikian komunikasi menurut Lexicographer (seorang ahli kamus bahasa), menunjuk pada suatu upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan (Marhaeni, 2009:31). Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process).
Schramm seperti dikutip oleh Suprapto (2006:24), menjelaskan bahwa komunikasi berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes) dengan seseorang. Yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap. Seperti dalam uraian ini, misalnya saya sedang berusaha berkomunikasi dengan para pembaca untuk menyampaikan ide bahwa hakikat sebuah komunikasi sebenarnya adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu (Suprapto, 2006:2-3).
yang efektif adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness), kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience)-nya. Menurutnya, sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai.
Sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan lebih dibandingkan mahluk hidup lainnya, manusia diciptakan sebagai mahluk sosial, yang artinya manusia tidak dapat terlepas dari individu yang lain. Dan untuk mendukung jalannya interaksi tersebut maka diperlukan komunikasi sebagai media atau penjembatan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Komunikasi yang sering digunakan dalam aktifitas lingkungan, sebagian besar tentu menggunakan komunikasi baik komunikasi verbal maupun nonverbal. Namun yang dimaksud dengan komunikasi itu sendiri.
Interaksi yang baik dapat berjalan seiring antar individu dapat mengkomunikasikan pesan secara baik, sehingga komunikan dapat mengerti pesan yang disampaikan oleh komunikator. Namun tidak sedikit dari individu yang sulit berkomunikasi, sehingga kesalahpahaman informasi menjadi dampak dari lemahnya komunikasi. Sesuai dengan definisi yang dijelaskan oleh Sarah Trenholm dan Arthut Jensen dalam kutipannya “A process by which a source transmits a messange to a receiver through some channel,”
saluran (Marhaeni, 2009:31). Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa seorang sumber pesan atau komunikator menyampaikan pesan kepada target sasaran atau komunikan melalui beragam saluran, saluran yang dipakai bisa dilakukan dalam berbagai media, temasuk dengan menjalin hubungan yang baik dengan media.
Hovland, Janis & Kelley mendefinisikan “Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus yang biasanya dalam bentuk kata-kata dengan tujuan mengubah perilaku orang-orang lainnya (khalayak)” (Marhaeni, 2009:27). Yang berarti pesan yang disampaikan di intepretasikan melalui berbagai bentuk, dapat berbentuk pesan verbal seperti foto-foto, desain gambar flyer yang menarik, advertorial, penukaran kartu nama, dan lain sebagainya. Sehingga target sasaran mengetahui informasi, hingga melakukan suatu tindakan untuk membeli atau memakai jasa tersebut.
2.2.2. Tujuan Komunikasi
Kegiatan komunikasi yang manusia lakukan sehari-hari tentu memiliki suatu tujuan tertentu yang berbeda-beda yang nantinya diharapkan dapat tercipta saling pengertian. Berikut tujuan komunikasi menurut Effendy (2003 : 11):
Dari empat poin yang dikemukakan oleh Effendi (2003 :12), dapat disimpulkan bahwa komunikasi bertujuan untuk merubah sikap, pendapat, perilaku, dan pada perubahan sosial masyarakat. Sedangkan fungsi dari komunikasi adalah sebagai penyampai informasi yang utama, mendidik, menghibur dan yang terakhir mempengaruhi orang lain dalam bersikap dan bertindak.
2.2.3. Perilaku Komunikasi
Menurut Hovland dalam Effendy (2001: 4) mendefinisikan proses komunikasi “the process by which individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other
individual (communicates)” Definisi tersebut diartikan proses oleh individu (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya berupa simbol verbal) untuk merubah perilaku individu lainnya (komunikan).
Dijelaskan bahwa setiap komunikator atau orang yang menyampaikan pesan melakukan penyampaian pesan melalui simbol-simbol secara verbal yang berarti semua jenis simbol-simbol yang menggunakan satu kata atau lebih, di mana bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasan, dan maksud kita, dimana bahasa verbal cenderung lebih menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Marhaeni, 2009:52).
Sehingga pesan atau informasi yang ingin dibentuk oleh komunikator dapat mempengaruhi perilaku atau keputusan dari komunikan.
Menurut Effendy (2003: 33), proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, antara lain:
1. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran oleh dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, syarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan perasaan komunikator kepada komunikan
2. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana media kedua (surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, TV, film, dan lain-lain) setelah memakai lambang sebagai media pertama proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan proses komunikasi primer untuk menembus ruang dan waktu, maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator harus mempertimbangkan sifat-sifat media yang akan digunakan.
2.2.4. Teori Atr ibusi
memahami alasan atau motivasi perilaku – perilaku (Devito, 2005 : 85).Teori ini diperkenalkan oleh Heider pada tahun 1985
melalui bukunya yang berjudul The Psychologi Interpersonal Relation. Heider mengemukakan, jika anda melihat perilaku orang lain, maka anda jug aharus melihat sebab tindakan seseorang. Dengan demikian anda sebagai pihak yang memulai komunikasi harus mempunai kemampuan untuk memprediksi perilaku yang tampak di depan anda. Heider mengungkapkan ada dua jenis atribusi, yaitu atribusi kausalitas danatribusi kejujuran (Liliweri, 1997 : 52).Contoh, jika anda mengamati perilaku seseorang pertama – tama anda harus bisa menentukan dahulu apa yang menyebabkan perilaku ituterjadi, apakah faktor situasional atau personal. Dalam teori atribusilazim disebut kualitas eksternal dan kualitas internal. Intinya hanya mempertanyakan perilaku orang lain tersebut dipengaruhi oleh factor situasional atau faktor – faktor personal. Itulah “atribusi kausalitas”.
pendapat umum maka kita makin percaya bahwa dia jujur (Devito, 2005 :86).
2.2.5. Komunikasi Antarpr ibadi
Terdapat beberapa pengertian komunikasi antarpribadi yang dikemukakan oleh para ahli komunikasi. DeVito (2005:11) menyatakan: “antarpribadi communication is defined as communication that takes place between two persons who have a clearly established relationship;
the people are in some way connected.” (DeVito, 2005:11). Menurut DeVito komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi diantara dua orang yang telah memiliki hubungan yang jelas, yang terhubungkan dengan beberapa cara. Jadi komunikasi antarpribadi misalnya komunikasi yang terjadi antara ibu dengan anak, dokter dengan pasen, dua orang dalam suatu wawancara, dsb.
Deddy Mulyana (2005:11) menyatakan: “komunikasi antarpribadi (antarpribadi communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal.” (Mulyana, 2005:73).
kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang lainnya yang langsung dapat diketahui balikannya
Dengan demikian, dari beberapa pendapat komunikasi antarpribadi tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik komunikasi antarpribadi adalah terjadi diantara dua orang yang memiliki hubungan yang jelas, berlangsung
2.2.6. Fungsi Komunikasi Antar pr ibadi
Komunikasi antarpribadi memiliki beberapa fungsi, diantaranya menurut A.W. Widjaja (2000: 9-10) bahwa fungsi komunikasi adalah untuk:
1.Informasi: pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan opini dan komentar yang dibutuhkan agar dapat dimengerti.
2.Sosialisasi (pemasyarakatan): penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif.
3.Motivasi: mendorong orang menentukan pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.
5.Pendidikan: pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual.
6.Memajukan kebudayaan: penyebaran hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu.
7.Hiburan: penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan image dari drama, tari, kesenian dan lain-lain untuk rekreasi, kesenangan kelompok dan individu.
8.Integrasi: menyediakan bagi bangsa, kelompok dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti dan menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain.
2.2.7. Pola Komunikasi
Pola komunikasi menurut Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa pola komunikasi dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara
yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1).
Contohnya perilaku dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dan lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas dasar kesamaan.
Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan Moss, 2001:26). Disini kita mulai melibatkan bagaimana proses interaksi menciptakan struktur system. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki. Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang mengaitkan dua komponen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada suatu aktifitas, dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas terjadinya hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi.
2.2.8. Bentuk Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak
Menurut (Yusuf, 2001:51) Pola komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Authoritarian (otoriter), Permissive (cenderung berperilaku bebas), Authoritative (demokratis) yakni sebagai berikut :
1. Pola komunikasi Authoritarian (otoriter)
a. Acceptence atau penerimaannya rendah tidak mendengarkan atau tidak memperdulikan pendapat atau aspirasi dari anak.
c. Bersikap mengkomando,memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa penjelasan dan kompromi.
d. Cenderung emosional, perilaku di dalam menghukum secara fisik. 2. Pola komunikasi Permissive (cenderung berperilaku bebas)
a. Acceptence atau penerimaannya tinggi adalah memberikankebebasan penuh terhadap anak untuk menyatakan dorongan serta keinginannya b. Kontrol terhadap hubungannya rendah yakni mau mendengarkan
pernyataan yang diungkapkan anak akan tetapi orang tuamembabaskan anak dalam mengambil segala keputusan.
c. Tidak memiliki perhatian dalam hubungan operasionalnya yakni membiarkan apapun yang terjadi pada anak, jika anak berbuat baik tidakmemberikan reward sedangkan jika anak berbuat tidak memberikan hukuman atau teguran.
3. Pola Komunikasi Authoritative (demokratis)
a. Acceptance atau penerimaannya tingggi namun kontrol terhadaphubungannya juga tinggi yakni adalah orang tua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk memberikan pendapat dan koreksiterhadap kehendaknya sehingga komunikasi dua arah lebih fleksibel.
c. Memberikan pengertian yakni dengan memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk sehingga anak dapat membedakan serta mampu mengambil keputusan sendiri sesuaidengan apa yang diharapkan oleh orang tua
2.2.9. Perilaku Seks pranikah 2.2.9.1. Perilaku
Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007:32). Perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungan dengan lingkungannya. Dengan perkataan lain, perilaku baru terjadi bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi. Sesuatu tersebut disebut rangsangan. Jadi suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi berupa perilaku tertentu itu. Bila dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni perilaku yang tidak tampak/terselubung (covert behavior) dan perilaku yang tampak (overt behavior). Perilaku yang tidak tampak ialah berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi, pengetahuan, dan lain-lain. Perilaku yang tampak antara lain berjalan, berbicara, berpakaian dan sebagainya (Machfoedz, 2005:45).
social. Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia.
Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, serta sikap (Notoatmodjo, 2007:32). Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Green (1980) yang dikutip oleh Notoatmojo (2007:32) mencoba menganalisis perilaku manusia, selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor:
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing Factors)
Adalah faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain:
1) Pengetahuan
Merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Dalam hal ini berupa informasi yang didapat dari manapun, seperti sekolah, orang tua, dan sebagainya. Pengetahuan ini sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
2) Sikap
3) Kepercayaan
Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.
4) Nilai-nilai
Nilai-nilai didalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umunya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama.
b. Faktor-faktor pendukung (Enabling Factors)
Adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, seperti media massa. c. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing Factors)
Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Dalam hal ini pengaruh dari lingkungan luar seperti pengaruh dari teman. Menurut Purwanto (1999:41) faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah keturunan yang berarti sebagai pembawaan atau heredity dan lingkungan yang berarti segala apa yang berpengaruh pada diri individu untuk berperilaku, lingkungan turut berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan atau kehidupan seseorang.
1. Keturunan
Keturunan diartikan pembawaan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Keturunan sering disebut pula dengan pembawaan, heredity.
2. Lingkungan
Lingkungan dalam pengertian psikologi adalah segala apa yang berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku seperti keluarga, sekolah, masyarakat.
2.2.9.2. Seks pranikah
Setelah memasuki masa remaja, setiap manusia baik pria maupun wanita merasakan adanya suatu dorongan seksual (nafsu birahi). Dorongan seksual ialah perasaan erotis terhadap lawan jenis dengan tujuan akhir melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Pada awalnya dorongan seksual muncul karena pengaruh hormon, tetapi kemudian ada faktor lain yang mempengaruhi dorongan seksual yaitu faktor psikis, rangsangan seksual dari luar dan pengalaman seksual sebelumnya (bercumbu, berciuman, dan sebagainya) disertai faktor coba-coba dan ingin tahu yang
akhirnya keterusan dan terjerumus dalam seks pranikah. (Tjokronegoro, 2000).
Seks pranikah juga diartikan bagaimana cara berpacaran, pengetahuan tentang alat kelamin dan cara memikat hati pria dan wanita. Seks pranikah merupakan hubungan seksual secara bebas yang dilakukan atas dasar “suka sama suka” (Sarwono, 2002:19). Seks pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami istri yang meliputi beberapa yaitu mulai dari menunjukkan perhatian dari lawan jenis, pacaran, kemudian melakukan lips kissing (ciuman bibir), genital stimulation (melakukan rangsangan pada alat genital), petting (saling menempelkan alat kelamin tanpa penetrasi), kemudian berlanjut pada hubungan seksual (Wijanarko, 1999:17).
Menurut Sarwono (2002:19), hal-hal yang berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah pada remaja adalah:
a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri remaja.
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja.
1) Penundaan usia perkawinan, baik secara hukum maupun norma sosial yang menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain)
3) Adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yaitu dengan adanya teknologi yang canggih seperti VCD, Internet, majalah, TV, video. Remaja cenderung ingin tahu dan ingin mencoba-coba serta meniru dengan apa yang dilihat dan didengarnya, khususnya karena remaja pada umunya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
4) Orang tua, ketidaktahuan orang tua maupun sikap yang masih menabukan pembicaraan seks dengan anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak tentang masalah ini akibatnya pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang. Peran orang tua dalam pendidikan anak sangatlah penting, terutama pemberian pangetahuan tentang seksualitas.
2.2.10.Remaja
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-21 tahun (Notoatdmojo, 2007:21)
Masa remaja disebut pula sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Dalam periode ini terjadi perubahan-perubahan yang besar mengenai kematangan dan fungsi–fungsi rokhaniah dan jasmaniah terutama fungsi seksual. Remaja mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-cita sendiri, dengan kesadaran tersebut mereka berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan dan sebagainya.
(2005) adalah masa yang dialami oleh remaja usia 12,5 sampai dengan 14,5 tahun dengan kematangan rata-rata 13 tahun.
Menurut World Health Organization ( WHO ), remaja adalah laki-laki dan perempuan berusia 10-19 tahun, dimana usia 12 tahun merupakan batas usia pubertas pada umumnya yaitu ketika secara biologis sudah mengalami kematangan seksual dan usia 20 tahun adalah usia ketika mereka pada umumnya secara sosial dan pisikologis mampu mandiri (Notoatmodjo, 2007).
Penulis menyimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pada fase ini mereka mengalami perkembangan mulai dari fisik hingga segi emosionalnya. Masa remaja merupakan masa yang sangat penting, sangat kritis dan sangat rentan, karena bila manusia melewati masa remajanya dengan kegagalan, maka akan menemukan kegagalan dalam perjalanan kehidupan pada fase berikutnya. Sebaliknya bila masa remaja itu diisi dengan penuh kesuksesan, kegiatan yang sangat produktif dan berhasil guna dalam rangka menyiapkan diri untuk memasuki fase selanjutnya, maka manusia itu akan mendapatkan kesuksesan dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, masa remaja menjadi kunci sukses dalam memasuki tahapan kehidupan selanjutnya
2.2.11.Tahap Per kembangan Remaja
a. Remaja Awal (Early Adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-13 tahun masih terheran– heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa.
b. Remaja Madya (Middle Adolescence)
kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.
c. Remaja Akhir (Late Adolescence)
Tahap ini (18-21 tahun) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal dibawah ini. 1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
2.3. Kerangka Berpikir
Pola komunikasi tercermin dari cara orang tua membangun komunikasi dengan anak. Dalam bukunya Raising a Responsible Child, Elizabeth Ellis (Shapiro, 1997:32) menyatakan bahwa para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anak-anaknya menemukan ada tiga gaya atau cara orang tua menjalankan perannya, yaitu gaya otoriter, permisif, dan otoritatif.
hanya dengan memberikan informasi faktual dan bernilai, tetapi juga dengan membantu anak mengembangkan kepercayaan untuk menjalankan perilaku yang efektif.
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa saat ini marak terjadi seks pranikah di Surabaya, hal tersebut harusnya menjadi perhatian dari orang tua agar dapat mengurangi perilaku seks pranikah di Surabaya salah satunya dengan cara pola komunikasi yang baik dengan anak. Penerapan pola komunikasi tergantung pada situasi, baik kondisi internal psikologis orang tua, juga disesuaikan dengan konteks dan karakteristik anak. Dalam hal ini orang tua dapat berperan sebagai sosok yang bisa dipercaya dan penasehat bagi anaknya dalam area yang penting tidak hanya dengan memberikan informasi factual dan bernilai, tetapi juga dengan membantu anak mengembangkan kepercayaan untuk menjalankan perilaku yang
Fenomena banyaknya perilaku seks pranikah saat ini dikalangan remaja
Peran Keluarga dalam mencegah perilaku seks pranikah pada remaja
Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam–dalamnya melalui pengumpulan data sedalam–dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang dikumpulkan sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukannya banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2006:58).
Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik pokok yang lebih mementingkan makna dan konteks, dimana proses penelitiannya lebih bersifatsiklus dari pada linier. Dengan demikian pengumpulan data dan analisa berlangsung secara simultan, lebih mementingkan ke dalam dibanding keluasan penelitian, sementara peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan pengamatan berperan serta (participant observation) yang didefinisikan mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara cermat sampai pada yang sekecil- kecilnya sekalipun dengan wawancara mendalam atau in- dept interview. (Moeleong,2002:117)
1. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek – praktek yang berlaku.
2. Membuat perbandingan atau evaluasi.
3. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.
4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
3.2. Subjek Atau Key Infor man Penelitian
Informan dalam penelitian kualitatif dipilih untuk mendapatkan informasi guna mendukung data yang diperoleh, dan sesuai dengan permasalahan penelitian. Untuk itu informan harus ditetapkan terlebih dahulu pada bidang yang sesuai dengan tema penelitian. Informan-informan tersebut diminta untuk bertukar pikiran dengan penulis, berbicara, atau membandingkan suatu kasus yang ditemukan oleh subyek lain, sehingga informan yang dipilih haruslah sesuai dengan kriteria yang berlaku guna menghindari data yang kurang akurat. Kriteria-kriteria yang dimaksud dalam menentukan informan tersebut menurut Spradley dalam Faisal antara lain :
1. Subyek yang sudah lama tinggal secara intensif dan menyatu dengan kegiatan yang menjadi obyek penelitian
3. Subyek yang mempunyai banyak waktu atau kesempatan untuk diminta informasi
4. Subyek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah terlebih dahulu
5. Subyek yang masih tergolong asing dengan peneliti.
Penempatan informan bagi peneliti adalah agar dalam waktu yang singkat banyak informasi yang dapat dijangkau, sehingga dijadikan informan sampling, karena informan dijadikan atau dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar pikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan oleh subyek lain. Informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak remaja yang melakukan seks pranikah sehingga diharapkan dengan begitu dapat diketahui pola komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak yang melakukan seks pra nikah.
mencerminkan populasinya). (Mulyana, 2010:187). Kriteria remaja dan orang tuanya adalah sebagai berikut :
1. Remaja Surabaya berusia 18-21 tahun yang pernah melakukan seks pranikah, remaja tersebut merupakan remaja akhir dimana remaja lebih matang dalam mengambil sebuah keputusan.
2. Orang tua dari remaja pernah melakukan seks pranikah yang ada pada poin 1 sehingga diharapkan peneliti mendapatkan masukan dari orang tua mengenai komunikasi yang terjalin dengan anak hingga sampai bisa melakukan seks pranikah
Penelitian ini menggunakan 6 informan yakni 3 informan remaja yang melakukan seks pranikah dan 3 orang merupakan orang tua dari remaja yang melakukan seks pranikah.
3.3. J enis dan Sumber Data
Adapun Jenis data dapat dibedakan menjadi 2 jenis data antara lain (Bungin, 2007):
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara survey lapangan atau langsung pada sumber data dengan cara pengamatan dan pengukuran dengan bertanya kepada narasumber yang dapat dijadikan informasi .
2. Data sekunder
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan : 1. Teknik Wawancara
Merupakan percakapan antara periset–seseorang yang berharap mendapatkan informasi. Wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah indepth interview atau wawancara mendalam, yaitu mendapatkan informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti (Bungin, 2007 : 110). Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara mendalam adalah suatu cara mendapatkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Penulis melakukan wawancara mendalam (indepth interview) kepada kurang lebih tiga orang informan yang menjadi narasumber atas penelitian yang dibuat oleh penulis ini dan informan tersebut, wawancara tersebut kesemuanya adalah masyarakat. 2. Observasi
menjelaskan fenomena penelitian, fenomena ini mencakup interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi di antara subjek yang diteliti. Namun tidak semua observasi bisa disebut sebagai suatu metode dalam penelitian, karena metode penggumpulan data melalui observasi memerlukan syarat-syarat tertentu agar bermanfaat bagi kegiatan penelitian.
3.5. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2001:103) adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data menurut Moleong adalah :
1. Data yang terkumpul dikategorikan dan dipilah-dipilah menurut jenis datanya.
2. Melakukan seleksi terhadap data mana yang dianggap data inti yang berkaitan langsung dengan permasalahan dan mana yang hanya merupakan data pendukung
3. Menelaah, mengkaji dan mempelajari lebih dalam data tersebut kemudian melakukan interprestasi data untuk mencari solusi dalam permasalahaan yang diangkat dalam penelitian.
dalam permasalahan penelitian. Jika ternyata ditemukan kategori yang dianggap belum sesuai atau dirasa kurang mendalam, peneliti akan melakukan wawancara ulang dengan informan sehingga ditemukan kejelasannya. Ketika data dianggap telah cukup maka wawancara dihentikan dan selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap data. Langkah selanjutnya adalah menjawab permasalah penelitian ini hingga diketemukan suatu kesimpulan dari hasil penelitian ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang diutarakan oleh keluarga informan
yakni orang tua dan anak, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi pola
komunikasi yang berbeda antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain pada
remaja yang melakukan hubungan seks pranikah. Dan dijumpai dari tiga keluarga
informan yang di ambil, keluarga informan menunjukkan bahwa remaja yang pernah
melakukan hubungan seks pranikah ditemukan dua keluarga menganut pola
komunikasi permissive (bebas) dan satu keluarga menganut pola komunikasi
authoritarian (otoriter). Pola komunikasi authoritarian (otoriter) cenderung memaksa
standar yang mutlak untuk dituruti. Orang tua tipe ini cenderung memaksa,
memerintah dan menghukum. Berbeda sekali dengan pola komunikasi permissive
(bebas) yang memberikan pengawasan cukup longgar. Orang tua tipe ini cenderung
memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang
Pola komunikasi yang diterapkan pada masing-masing keluarga informan dapat
dilihat segi perbedaannya dalam penerapan aturan, kontrol dan mengenai pergaulan
sebagai berikut ini :
1. Pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Ibu Yanti adalah pola
komunikasi authoritarian (otoriter), karena Bapak dari Sinta menetapkan aturan
yang ketat kepada Sinta dan mengharuskan Sinta untuk mematuhinya dan jika
melanggar maka akan mendapatkan hukuman.
2. Pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Ibu Hesti adalah pola
komunikasi permissive (bebas). Ibu Hesti yang single parent membuat
kurangnya kontrol terhadap Lina, Ibu Hesti juga membebaskan anaknya dalam
bergaul dan berharap dapat menjaga nama baik keluarga.
3. Pola komunikasi yang diterapkan oleh keluarga Bapak Rusli adalah pola
komunikasi permisif karena Bapak Rusli membebaskan anaknya dalam bergaul
dan tidak ada aturan khusus dirumah, Arif dan Bapak Rusli juga jarang bertemu
5.2. Saran
Dari kesimpulan yang didapatkan, maka beberapa saran yang dapat
diungkapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Anak seharusnya tidak melakukan seks pranikah karena dapat membuat malu
keluarga dan merugikan diri sendiri terutama bagi kaum perempuan.
2. Orang tua seharusnya juga memperhatikan aktifitas anak meskipun disibukkan
dengan karier kerjanya sehingga anak merasa di perhatikan dan tidak mengikuti
hal-hal yang negatif, hal ini diharapkan bisa meminimalisir jumlah terjadinya
hubungan seks pranikah pada anak.
3. Orang tua harus harus bisa membangun hubungan yang harmonis dengan anak,
yaitu dengan melakukan komunikasi yang terbuka dan efektif kepada anak
remajanya. Dalam berkomunikasi dengan anak yang harus diperhatikan adalah,
pertama mendengar supaya anak mau berbicara, kedua menerima terlebih dahulu
perasaan anak, dan ketiga berbicara supaya didengar.
4. Penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai pola komunikasi
dengan permasalahan yang berbeda seperti halnya mengenai remaja yang terkena
4.1.Gambar an Umum Objek Penelitian
Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya
merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Dengan jumlah
penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat
bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya
terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat
diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari
penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran
antara sura (ikan hiu) dan baya dan akhirnya menjadi kota Surabaya.Menurut Sensus
Penduduk Tahun 2010, Kota Surabaya memiliki jumlah penduduk sebanyak
2.765.908 jiwa. Dengan wilayah seluas 333,063 km², maka kepadatan penduduk Kota
Surabaya adalah sebesar 8.304 jiwa per km
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya).
Secara geografis, Surabaya terletak pada 07’ 12’- 07’ 21’ Lintang Selatan dan
112’ 36’ – 112’ 54’ Bujur timur. Dengan letaknnya di daerah tropis yang strategis
tersebut, Surabaya dapat dengan mudah dijangkau melalui jalur darat, udara dan laut.
Daerah Surabaya di sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan laut dengan selat
berbatasan dengan Sidoarjo dan Gresik. Surabaya dibagi dalam 5 wilayah yaitu,
Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, dan Surabaya
Pusat.
Penelitian ini dilakukan di Surabaya hal tersebut karena Data terbaru yang
diterima Pemerintah Kota Surabaya, sebanyak 89 persen penularan HIV-AIDS di
kota Pahlawan ini pada tahun 2012 terjadi akibat hubungan seks. yang lebih
memprihatinkan, dari keseluruhan temuan kasus HIV-AIDS di Surabaya, 62,7 persen
diantaranya tergolong usia produktif, yakni 20 sampai 39 tahun
(http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/Gaya_Hidup/2012-07 19/141649/
Suka_ Seks_Bebas,Ratusan_Warga_Surabaya_Terinfeksi_AIDS)
4.2. Penyajian Data dan Analisis Data
4.2.1. Identitas Responden
1. Keluar ga 1
Ibu Yanti, 43 tahun.Warga Manukan, Surabaya. Ibu Yanti ini adalah Ibu
dari Sinta. Ibu Sinta ini sehari-harinya adalah seorang ibu rumah tangga. Ibu Yanti ini
memiliki 2 orang anak yang satunya adalah Sinta. Tidak bekerja membuat Ibu Yanti
dapat berkonsentrasi untuk mengurus rumah dan anak-anak
Sinta, 20 tahun. Sinta ini putri dari Ibu Sinta. Sinta merupakan anak
Sulung dari 2 bersaudara, aktifitasnya hanya kuliah di salah satu Universitas Swasta
yang berada di Surabaya. Sinta ini merupakan anak yang aktif dalam organisasi, Sinta
2. Keluar ga 2
Ibu Hesti, 41 tahun. Warga Simorukun, Surabaya. Ibu Hesti adalah ibu dari
Lina. Saat ini ibu Hesti bekerja di salah satu perusahaan Swasta. Sehari-hari Ibu Hesti
berangkat pagi dan pulang malam. Ibu Hesti adalah seorang single parent yang telah
berpisah dengan suaminya 4 tahun yang lalu, saat ini Ibu Hesti belum berpikiran
untuk berencana menikah kembali.
Lina, 21 tahun. Lina ini adalah putri dari Ibu Hesti. Lina merupakan anak
satu-satunya yang dimiliki Ibu Hesti. Aktifitasnya hanya kuliah di salah satu
Universitas Negeri yang berada di Surabaya. Lina ini merupakan anak yang terbilang
aktif dan tidak bisa diam, banyak aktifitas yang dilakukannya bersama temannya
seperti halnya jalan-jalan.
3. Keluar ga 3
Bapak Rusli, 38 tahun Warga Alas Malang, Surabaya. Pak Rusli ini adalah
Bapak dari Arif yang merupakan salah satu sekian anak yang pernah melakukan
hubungan seks pranikah. Pak Rusli yang akrab disapa dengan Pak Rus ini
sehari-harinya bekerja sebagai tukang bangunan. Gaji yang tak menentu membuat Pak Rusli
tak selalu berada dirumah., sehingga waktu yang di gunakan untuk berkumpul di
rumah hanya sedikit, serta tidak bisa selalu mengkontrol aktifitas anak-anaknya di
rumah. Pak Rusli merupakan orang yang di disiplin dan tegas dalam menerapkan
Arif, 20 tahun, Arif ini putra dari Bapak Rusli. Rusli merupakan salah satu
karyawan di salah satu mall di Surabaya. Sehari-hari aktivitas Arif hanya kerja dan
bila libur jalan-jalan dengan teman-temannya bahkan ketika liburan Arif jarang
pulang karena keluar kota untuk rekreasi bersama teman-teman
4.2.2. Analisis Data
1. Hasil Wawancara Dengan Keluar ga I
Berikut ini adalah hasil wawancara dan kroscek dari informan Ibu Yanti
dengan anak remajanya Sinta. Wawancara dengan Ibu Yanti dilakukan di ruang tamu,
Ibu Yanti menyambut peneliti dengan ramah, peneliti bertemu dengan Ibu Yanti
setelah disambungkan oleh Sinta anaknya yang telah diwawancarai sebelumnya. Ibu
Yanti saat wawancara menggunakan daster dengan posisi rambut di ikat, karena
kebetulan suasana sedang santai, wawancara secara umum berjalan lancar namun ada
sedikit hambatan kecil yakni disaat Ibu Yanti beberapa kali kedatangan tamu yakni
dari tetangga dan orang mengantarkan paket.
Wawancara dengan Sinta dilakukan di sebuah taman dekat rumah pada sore
hari dengan terlebih dahulu membuat janji untuk bertemu, saat itu Sinta baru saja
pulang kuliah dan langsung bertemu dengan peneliti. Sinta menggunakan kemeja
berwarna biru dan celana jeans serta membawa tas ransel yang berisikan buku kuliah.
Hambatan selama wawancara dengan Sinta menyesuiakan waktu untuk bertemu
Peneliti saat memulai wawancara dengan kedua informan memancing
pembicaraan dengan basa-basi sambil santai dan memperkenalkan diri dahulu lalu
memulai pembiacaraan ringan dan dilanjutkan wawancara sesuai kebutuhan peneliti
sedangkan wawancara dengan Sinta dilakukan di sebuah taman agar lebih santai.
Dibawah ini adalah jawaban Ibu Yanti ketika pertama kali ditanya mengenai
apakah selalu memenuhi kebutuhan dari Sinta :
Ibu Yanti
Ya gak semua kebutuhan dia dituruti, mana yang perlu didahulukan diidahulukan dulu mana yang gak penting ya gak usah dulu lagian Sinta tak terlalu banyak menuntut anaknya.
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui bahwa Ibu Yanti tidak
selalu mementingkan kebutuhan Sinta, hanya kebutuhan yang penting yang
didahulukan.
Ibu Yanti juga memberikan pendapat mengenai kepribadian Sinta dirumah.
Berikut adalah petikan wawancara dengan ibu Yanti :
Ibu Yanti
Sebetulnya sih anaknya juga pendiam, penurut tapi namanya anak masih usia remajalah ya mas ya pasti ada bangkangnya mas kalau dikasih tau
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui bahwa Ibu Yanti
juga merasa wajar bila Sinta terkadang membangkang kalau dikasih tau karena
memang masih remaja.
Komunikasi yang terjadi antara ibu dan anak remaja putrinya penting
dilakukan, begitu pula yang terjadi pada keluarga ibu Yanti. Berikut adalah petikan
wawancara dengan ibu Yanti :
Ibu Yanti
Ya kalau curhat ya ada (pernah) tapi kan anak seusia gitu curhatnya kan lebih banyak di temennya. Di saya juga curhat tapi kan gak semua yang dia lakukan itu di utarakan kepada saya ya mungkin kalau sama temannya lebih enak ngomongnya.
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa bahwa Sinta jarang
curhat kepada ibunya dan hanya cerita biasa mengenai teman-temannya jika curhat
kepada ibunya.
Kontrol terhadap remaja putri perlu dilakukan khususnya dengan siapa saja
remaja bergaul begitu juga kontrol yang dilakukan Ibu Yanti terhadap remaja
putrinya Sinta. Berikut adalah petikan wawancara dengan Ibu Yanti
Ibu Yanti
Ohh iya pastinya, kalau gak gitu kan saya gak tau dia berteman dengan siapa, bergaul yang bagaimana. Cuman ya sebisa mungkin saya harus tau jadi harus dikontrol.
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui bahwa memang ada
Mengenai kontrol yang ada pada keluarga terhadap dirinya Sinta juga
mengemukakan pendapat. Berikut adalah pendapatnya :
Sinta
Masalah kontrol itu sudah pasti biarpun bapak kerja, bapak sepulang kerja sering menayakan sama ibu bagaimana keadaan saya dan ibu sendiri pengawasannya juga agak ketat, keluar rumah juga sulit,ya... akhirnya kalau mau keluar rumah harus secara sembunyi-sembunyi.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui memang adanya
kontrol ketat yang dilakukan oleh orang tuanya khususnya ibunya yang berada
dirumah, dan Sinta harus sembunyi-sembunyi jika ingin keluar rumah dalam arti
berbohong dan berasalan akan mengerjakan tugas. Seperti yang diungkapan Sinta
berikut ini :
Sinta
Ya kalau keluar rumah kan mereka gak mengijinkan mas, ya terpaksa harus bohong ya alasan ngerjain tugas kuliah dengan teman padahal tujuannya yang lainnya. Jenuh mas kalau dirumah setiap hari.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Sinta merasa tidak ada kebebasan didalam rumah dan dia merasa jenuh
Sinta
Ya gitu mas, kuliah aja kalau gak pulang tepat waktu ibu sms atau nelpon, nanya posisi lagi dimana. Padahalkan saya kan juga ingin ngobrol sebentar dengan teman dan gak langsung pulang .
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Setiap keluarga pasti mempunyai aturan untuk anak yang harus dipatuhi oleh
anak begitu pula dengan keluarga Ibu Yanti, berikut adalah petikan wawancara
dengan Ibu Yanti mengenai aturan yang ditetapkan dalam keluarga :
Ibu Yanti
Ada sih mas, aturannya harus dipakai jam 9 malam Sinta uda ada dirumah ya kan untuk kebaikannya sendiri apalagi Sinta ini anak perempuan jadi apa kata tetangga kalau keluar kelayapan malam – malam kan gak pantes.
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui memang benar ada
aturan dirumah untuk anak seperti halnya keluar malam maksimal jam 9 malam.
Mengenai aturan yang ada di rumah Sinta juga berpendapat atas hal tersebut,
berikut adalah petikan wawancaranya :
Sinta
Iya mas aturan dirumah ya kayak gitu slalu ditegakkan, kalau keluar rumah aja maksimal jam 9 uda harus dirumah itupun tujuan dan dengan siapa keluarnya sudah harus jelas.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Aturan yang dibuat memang untuk dipatuhi, dalam keluarga Ibu Yanti yang
Ibu Yanti
Kalau bapaknya sih keras mas jadi ketat. Pokoknya kalau sama aturan bapak ini Keras, tapi kalau saya masih bisa ngimbangi anak tapi ya saya harus tetap bertanggung jawab mas.
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui bahwa Bapaknya
Sinta merupakan orang yang keras dan semua aturan harus dipatuhi.
Pelanggaran aturan yang dibuat oleh keluarga juga pernah dilanggar oleh
Sinta sehingga mengharuskan Sinta mendapatkan hukuman, berikut adalah petikan
wawancara dengan Ibu Yanti :
Ibu Yanti
Pernah mas, kalau gak salah dia (Sinta) pulangnya kemalaman terus ditanyain bapaknya abis dari mana kok malam pulangnya dan gak kasih kabar, tapi gak jawab ya langsung bapaknya bentak kasar gitu ke dia (Sinta).
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas diketahui bahwa Sinta pernah pulang
malam dan tidak memberi kabar kepada keluarga sehingga harus dibentak dengan
Mengenai hukuman yang ada diberikan Sinta juga berpendapat mengenai
hukuman yang diterimanya dari Bapaknya, berikut adalah petikan wawancaranya :
Sinta
Iya pernah melanggar mas, ya kalau sanksinya sih mas kalau seumpama saya pulang telat tuh biasanya sama orang tua langsung di diemin atau tiba – tiba itu langsung dimarah – marahin dibentak – bentak kayak gitu mangkannya jadinya kalau mau pulang telat atau mau ngelanggar perintah atau aturan dari orang tua itu agak takut juga sih.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Mengenai kontrolling dan aturan yang ada di rumah sebenarnya Sinta merasa
tidak nyaman, berikut adalah petikan wawancara dengan Sinta :
Sinta
Sangat tidak nyaman mas, karena yang mereka lakukan benar-benar sudah berlebihan. Kebebasan sedikitpun saya gak dapatkan, saya pun juga pingin diperlakukan seperti anak pada umunya paling gak diberi kebebasan sedikit bukan dikekang seperti ini dan hal ini yang membuat saya gak betah dirumah.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Berdasarkan petikan wawancara diatas dapat diketahui bahwa Sinta sudah
merasa tidak nyaman dengan aturan yang ada dan menganggap kontrol yang
dilakukan sudah berlebihan
Mengenai efektivitas komunikasi yang sudah dijalankan dalam keluarga Ibu
Ibu Yanti
Kalau menurut saya sih efektif tapi gak tau menurut dia (sintanya) itu. Mungkin kalau dirumah itu cenderung takut akhirnya jadi nurut, tapi dibelakangnya diluar sana saya kan juga gak tau. Tapi selama ini menurut saya efektif
(Interview : 14 Juni 2013 pukul 10.15)
Berdasarkan petikan wawancara diatas diketahui bahwa Ibu Yanti merasa
komunikasi yang ada sudah efektif jika didalam rumah hal tersebut dapat dilihat dari
Sinta yang sering menurut namun Ibu Yanti juga berpendapat jika tidak dapat
mengontrol bila diluar rumah.
Sinta juga berpendapat mengenai keefektifan dalam berkomunikasi dengan
orang tuanya, berikut adalah petikan wawancara dengan Sinta :
Sinta
Nggak juga sih mas, aku orangnya gak begitu terbuka mending diam aja enak. Gak pernah sih curhat sama ibu masalah pribadi, enakan curhat sama teman lebih bebas dan gak ada perasaan takut dimarahi.
(Interview : 10 Juni 2013 pukul 16.00)
Sinta juga menjelaskan mengenai awal mulanya melakukan seks pranikah,
berikut adalah petikan wawancara dengan Sinta :
Sinta