• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMBINASI SELANG PEMERAHAN TERHADAP

PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU SAPI PERAH

SKRIPSI

RINA ATRIANA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

RINA ATRIANA. D14080303. 2012. Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998). Banyak penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produksi susu. Akan tetapi faktanya hanya sedikit yang dapat diterapkan peternak, khususnya pada peternakan skala rakyat. Selang pemerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui selang pemerahan yang tepat agar diperoleh produksi susu yang optimum baik secara kuantitas maupun komposisi.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan bujur sangkar latin 4x4 dengan 4 periode, 4 perlakuan dan 4 puting. Sapi yang digunakan adalah satu ekor sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi ketiga dan bulan laktasi ketiga. Susu yang diperoleh kemudian diukur volume dan diuji kualitasnya dengan menggunakan milkotester Master Pro 10211.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu untuk perlakuan A, B, C, dan D berturut-turut yaitu : 1404,30 ± 224,81, 1491,07 ± 224,81, 1535,80 ± 224,81, dan 1913,22 ± 224,81 g/puting/hari, dengan laju sekresi susu berturut-turut 117,02 ± 26,47, 124,54 ± 26,47, 129,11 ± 26,47, and 175,55 ± 26,47 g/jam. Kombinasi selang pemerahan yang berbeda berpengaruh (P<0.05) terhadap produksi dan laju sekresi susu sapi perah, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kadar lemak dan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu.

Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara selang pemerahan dengan produksi susu serta persentase kadar BKTL susu, dan hubungan yang berbanding terbalik antara selang pemerahan dengan laju sekresi susu. Analisis juga menunjukkan bahwa produksi susu berbanding terbalik dengan produksi lemak susu.

(3)

ABSTRACT

Effect of Milking Interval Combination on Milk Production and Milk Composition of Dairy Cows

Atriana, R., B. P. Purwanto and A. Murfi

Many research was focused on increasing milk production. But in fact, only a few farmer can apply it on their farm especially for small dairy farm which has no fund to provide an additional operating cost to optimize milk productions. Milking interval is one of the most important factor which affect milk production. The objective of this research was to determine the optimum time of milking interval to increase milk production, both of milk’s quantity and its quality. The data was analyzed by 4x4 latin square design with four treatments of milking intervals combination (A: 12/12, B: 13/11, C: 14/10 and D : 15/9) and four periods. Production and milk quality were observed for 16 days (one period) then the rate of milk secretion could be observed. The results showed that the average milk production for treatments A, B, C and D were: 1404,30 ± 224,81, 1491,07 ± 224,81, 1535,80 ± 224,81, and 1913,22 ± 224,81 g/nipple/day, with the secretion rate of 117,02 ± 26,47, 124,54 ± 26,47, 129,11 ± 26,47, and 175,55 ± 26,47 g/hour, respectively. These results showed that milking interval influenced milk (P <0.05) production and rate of milk secretion. Moreover, the milking interval was positively correlated with milk production, but negatively correlated with the rate of secretion with a correlation coefficient values which were 0,940 and -0,845, respectively. Whereas, the different milking interval not affect on fat and solid non fat (SNF) percentage. Furthermore, milk production negatively correlated with milk fat percentage. The conclusion of this research was an increasing the milk production can be adjusted by milking management.

(4)

PENGARUH SELANG PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI

DAN KOMPOSISI SUSU SAPI PERAH

RINA ATRIANA D14080303

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah

Nama : Rina Atriana NIM : D14080303

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.) NIP. 19600503 198503 1 003

Pembimbing Anggota,

(Ir. Andi Murfi M.Si) NIP. 19631229 198903 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr,Sc. ) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1990 di Karawang, Jawa Barat. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Endang Mulyana dan Ibu Tita Rohayati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Cipondoh 3, Karawang. Pendidikan lanjutan sekolah menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 2 Tirtamulya, dan pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Karawang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaniirahim,

Alhamdulillahirabil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan Terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah. Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Data yang menunjukkan bahwa produksi susu sapi di Indonesia yang masih sangat rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan susu nasional kemudian melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Sebagian besar susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masih berasal dari impor. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui selang pemerahan yang paling tepat diterapkan pada sapi-sapi perah di Indonesia untuk menghasilkan produksi susu yang tinggi dengan kualitas susu yang baik.

Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan-kekurangan dalam penelitian maupun penulisan skripsi ini, namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita semua.

Bogor, April 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

Sapi Perah Frisien Holstein ... 3

Masa Laktasi ... 4

Sekresi Susu ... 4

Produksi Susu ... 5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu ... 6

Waktu dan Selang Pemerahan ... 7

Komposisi Susu ... 8

MATERI DAN METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Prosedur ... 10

Rancangan dan Analisa Data ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Produksi Susu ... 13

Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Produksi Susu ... 16

Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Komposisi Susu ... 18

Hubungan Selang Pemerahan, Produksi, Laju Sekresi dan Komposisi Susu... 23

(9)

Kesimpulan... 26

Saran ... 26

UCAPAN TERIMA KASIH ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Komposisi Susu Masing-masing Bangsa Sapi ... 3 2. Mekanisme Pengambilan Data Produksi dan Kualitas Susu ... 11 3. Produksi Susu (ml) dan Laju Sekresi Susu (ml/jam) pada Setiap

Kombinasi Selang Pemerahan ... 17 4. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi

Protein, Produksi Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) dan Kecepatan Laju Sekresi Susu untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan ... 18 5. Hasil Pengukuran Berat Jenis (BJ), Kadar Lemak, Kadar Bahan

Kering Tanpa Lemak (BKTL), Kadar Protein, dan Kadar Laktosa untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan ... 19 6. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi BKTL,

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Produksi Susu (gram) ... 24 2. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Laju Sekresi Susu

(gram/jam) ... 24

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil analisis nilai intersep (a), koefisien regresi (b), dan koefisien

korelasi (r) dari selang pemerahan dengan produksi, laju sekresi dan komposisi susu sapi perah ... 32 2. Hasil analisis nilai intercept (a), koefisien regresi (b), dan koefisien

korelasi (r) dari selang pemerahan dengan produksi susu dan komposisi susu sapi perah berupa kadar dan produksi lemak serta kadar dan produksi BKTL susu... 32 3. Hasil Uji Analisis Ragam Perlakuan Selang Pemerahan terhadap

Berbagai Parameter ... 33 4. Hasil Uji Analisis Ragam Masing-masing Selang Pemerahan

terhadap Berbagai Parameter ... 35 5. Hasil Uji Analisis Ragam dan Uji Banding Tukey Produksi Susu

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi susu nasional perkapita per tahun terus meningkat, namun lebih dari 70% kebutuhan susu nasional harus dipenuhi dengan cara impor. Hal ini terjadi karena produksi susu nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara kuantitas dan terkadang secara kualitas pun susu yang dihasilkan oleh sapi perah lokal kalah bersaing dengan susu impor. Banyaknya susu impor beredar di Indonesia dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan peternak rakyat, karena secara tidak langsung harga susu ditentukan oleh kebijakan negara pengekspor. Seringkali susu impor memiliki harga lebih murah dibandingkan susu yang berasal dari peternakan rakyat dengan kualitas yang hampir sama. Oleh karena itu harus segera dilakukan upaya-upaya yang sadar dan terencana untuk mendongkrak produksi susu nasional, baik dengan skala peternakan rakyat maupun industri.

Berdasarkan kenyataan di lapangan lebih dari 80% peternakan sapi perah di Indonesia adalah peternakan rakyat. Sapi yang dipelihara tidak lebih dari lima ekor dengan tingkat produktivitas sapi yang masih rendah. Manajemen pemeliharaan yang diterapkan masih jauh dari standar, misalnya tidak adanya sistem recording dan tidak adanya pengujian kesehatan secara berkala terhadap sapi yang kemungkinan menderita mastitis atau penyakit lain yang sering menyerang ternak sapi perah. Menurut Santosa et al., (2009), pengendalian mastitis diutamakan dengan meminimalkan terjadinya infeksi silang antara puting yang terinfeksi ke puting susu yang sehat pada satu ternak atau antar ternak.

Faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Secara umum sapi diperah dua kali sehari dengan interval pemerahan yang berbeda-beda. Jumlah pemerahan 3 – 4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika hanya diperah dua kali sehari. Pemerahan lebih dari dua kali sehari biasanya dilakukan terhadap sapi-sapi yang produksi susunya tinggi. Peningkatan produksi susu akibat adanya pengaruh hormon prolaktin yang lebih banyak dihasilkan pada sapi yang diperah empat kali (Sudono et al., 2003).

(14)

mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B dan riboflavin yang tinggi. Indikator kualitas susu antara lain adalah tinggi rendahnya kadar lemak, protein, bahan padatan tanpa lemak, laktosa, dan berat jenis susu. Upaya yang dapat dilakukan agar persistensi kualitas susu segar bertahan lebih lama yaitu melalui proses pemerahan yang higienis hingga suhu yang sesuai saat proses penyimpanan dingin.

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Friesian Holstein (FH)

Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Sapi Friesian Holstein berwarna hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah) (Blakely dan Bade, 1994). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), sapi ini telah ada sejak 2000 tahun yang lalu.

Sapi FH termasuk salah satu jenis sapi perah yang banyak dipelihara karena beberapa faktor keunggulannya. Menurut Dematewewa et al. (2007), sapi Friesian Holstein mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany et al., 2008). Populasi sapi perah di Indonesia sampai dengan Juni 2011 tercatat 597 ribu ekor dan produksi susu nasional sampai dengan 2009 sebesar 19,2 juta liter (Badan Pusat Statistik, 2011). Sapi Friesian Holstein (FH) adalah sapi dengan produksi susu tertinggi dibanding jenis sapi perah yang lain, selain itu kadar lemak susunya rendah (Sudono et al., 2003).

Tabel 1. Komposisi Susu Masing-masing Bangsa Sapi Bangsa Sapi Air

Produktivitas susu yang dicapai sapi FH lokal masih lebih sedikit dibandingkan dengan sapi-sapi perah FH pada daerah iklim sedang. Peningkatan pengetahuan budidaya sapi perah masih diperlukan agar mampu mengoptimalkan produktivitasnya (Soedjana, 1999).

Masa Laktasi

(16)

mulai menurun setelah usia laktasi 2 bulan. Penurunan ini diikuti pula perubahan komposisi susu, diantaranya kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, kemudian pada 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak sudah mulai konstan, selanjutnya sedikit meningkat (Sudono et al., 2003). Sapi mencapai puncak produksi rata-rata tiga sampai enam minggu setelah melahirkan, kemudian berangsur-angsur menurun. Puncak produksi susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme, adanya infeksi penyakit serta pemberian pakan setelah melahirkan. Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak (Schmidt et al., 1988).

Penurunan produksi pada bulan ketujuh hingga kedelapan disebabkan sapi sudah kembali bunting. Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase kadar lemak dan protein yang dihasilkan. Persentase lemak dan protein berada pada titik terendah ketika produksi berada pada puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al., 1988). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), total produksi susu secara umum meningkat pada bulan pertama setelah melahirkan dan menurun secara berangsur-angsur, sebaliknya kadar lemak akan meningkat menjelang akhir laktasi.

Sekresi Susu

Susu disekresikan oleh unit-unit sekretori individual yang bentuknya menyerupai buah anggur yang disebut alveolus. Unit kecil ini berukuran 0,1 sampai 0,3 milimeter dan terdiri atas suatu lapisan dalam sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel-sel tersebut mensekresi susu dengan cara menyerap zat-zat dari dalam darah dan mensintesisnya menjadi susu (Blakely dan Bade, 1994). Hal ini karena unsur dasar pembentukan susu adalah kandungan darah (Alim dan Hidaka, 2002).

(17)

dibandingkan dengan lemak susu dan persentase lemak susu akan cenderung bertambah pada selang pemerahan yang lama (Schmidt, 1971).

Rata-rata kecepatan sekresi susu mengalami pengurangan mulai 10-12 jam setelah pemerahan sebelumnya, tetapi tidak langsung berkurang secara drastis. Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan adanya pelepasan hormon oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitari dan masuk ke dalam aliran darah. Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu memasuki sistem saluran yang lebih besar. Oleh karena pelepasan air susu hanya berlangsung 6 sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994).

Produksi Susu

Menurut Ensminger dan Tyler (2006), rata-rata produksi susu sapi perah Fries Holland adalah 10.209,96 kg per laktasi. Produksi susu akan meningkat pada bulan pertama laktasi dan akan menurun perlahan-lahan pada bulan berikutnya. Saat ini produksi susu sapi perah di Indonesia belum memenuhi kebutuhan konsumen. Selain jumlah ternak sapi perah yang masih sedikit, kemampuan memproduksi susu perekornya belum mencapai titik optimum (Sudarwanto, 1999). Menurut Sudono et al. (2003), produksi susu sapi FH di Indonesia rata-rata adalah 10 liter/ekor/hari.

Kebutuhan nutrien untuk laktasi jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan hidup pokok ataupun pada saat kebuntingan. Jika kebutuhan nutrisi tersebut tidak terpenuhi, maka sapi akan menggunakan cadangan mineral yang ada dalam tulang, seperti kalsium dan fosfor (Ensminger dan Tyler, 2006). Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga dan keempat. Menurut McNeilly (2001), produksi susu terbanyak akan dicapai pada umur 7-8 tahun. Semakin tua umur sapi akan diikuti dengan penurunan produksi secara bertahap. Produksi susu pada laktasi pertama (umur 2 tahun) adalah 77%, laktasi kedua (umur 3 tahun) 87%, laktasi keempat (umur 5 tahun) 94%, dan laktasi kelima (umur 6 tahun) 98% (Santosa et al.

2009).

(18)

Kemampuan sapi yang bervariasi dalam memproduksi susu merupakan karakteristik dari keturunan dan ini berbeda pula diantara bangsa dan individu (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Sudono et al. (2003), faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau berahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan. Campbell et al.

(2003) menyatakan bahwa sapi yang bertubuh besar secara normal mampu mensekresi susu lebih banyak dibanding dengan sapi berukuran kecil, tetapi mereka tidak efisien dalam mengubah nutrisi pada susu. Secara normal, sapi tidak akan mensekresi susu lebih dari 8-12 % berat badannya, kambing bisa mensekresi lebih dari 20% berat badannya.

Pakan dan manajemen juga akan berpengaruh terhadap kuantitas, komposisi dan palatabilitas susu (Acker, 1960). Pakan yang diberikan pada seekor sapi perah dewasa digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan pertumbuhan (Foley

et al., 1973). Sapi perah mempunyai daya produksi yang tinggi sehingga jika tidak mendapatkan makanan yang cukup, sapi tersebut tidak akan dapat memproduksi susu dengan baik (Ensminger dan Tyler, 2006).

Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering kandang. Produksi susu perhari mulai menurun setelah laktasi dua bulan. Menurut Calder (1996), sapi laktasi yang sedang bunting akan mengurangi produksi susu karena adanya pengaruh hormon yang akan mengurangi sekresi susu dan peningkatan kebutuhan zat-zat makanan untuk pertumbuhan dan hidup pokok dari fetus.

Apabila selang antara pemerahan tidak sama, maka produksi susu akan lebih banyak pada selang yang lebih lama, dan kandungan lemak akan lebih tinggi dari hasil pemerahan dengan interval yang lebih singkat (Eckles dan Anthony, 1956). Jika sapi perah diperah dua kali sehari dengan jarak waktu antar pemerahan sama akan sedikit sekali perubahan susunan susu tersebut. Produksi susu akan meningkat bergantung dari kemampuan sapi berproduksi, pakan yang diberikan, dan manajemen yang dilakukan peternak (Sudono et al., 2003).

(19)

menunjukkan bahwa sapi-sapi yang badannya besar akan menghasilkan susu lebih banyak daripada yang badannya kecil. Sapi yang sedang estrus juga akan mengalami penurunan produksi susu (Campbell et al., 2003). Produksi susu juga akan berkurang selama ternak mengalami stress panas. Pengaruh langsung stress panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis, dan mengurangi konsumsi pakan (Anderson

et al., 1985)

Waktu dan Selang Pemerahan

Sapi perah umumnya diperah dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pemerahan dapat dilakukan lebih dari dua kali jika produksi susu tinggi, misal sapi yang produksinya 20 liter per hari dapat diperah 3 kali sehari, serta sapi yang produksinya mencapai 25 liter per hari dapat diperah 4 kali sehari (Sudono et al., 2003).

Produksi susu pada ambing dalam keadaan kosong akan bertambah setelah diperah dengan memperlama selang pemerahan. Produksi susu di alveolus akan bertambah dengan lama selang pemerahan setelah 20 jam (McKusick et al., 2002). Selang pemerahan tetap, memiliki beberapa kepentingan untuk memperoleh produksi susu yang optimal. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Woodward (dalam Scmidt 1971) menunjukkan bahwa produksi susu sapi yang diperah selama tiga kali sehari dengan selang 6:7:11 jam perhari menghasilkan 3,90% susu lebih banyak dan memiliki kadar lemak lebih besar dari 5,2%. Pada waktu pemerahan lainnya, sapi yang diperah dengan selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam (Schmidt, 1971). Jumlah produksi susu dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003).

(20)

Schmidt dan Trimberger (1962) menyatakan bahwa selang pemerahan yang lama akan memiliki sisa susu yang lebih banyak. Sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam, dan 16:8 jam, memproduksi susu lebih rendah dibanding dengan selang pemerahan 12:12 jam.

Komposisi Susu

Komposisi susu berbeda-beda tergantung spesies dan keturunan, selain itu komposisi susu juga dipengaruhi faktor fisiologis dan lingkungan. Menurut Santosa

et al. (2009), faktor yang mempengaruhi komposisi dan kualitas susu antara lain jenis ternak, pakan yang diberikan, kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan, kebersihan dan sanitasi. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), komposisi susu terdiri atas air 87,2%, lemak 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, protein 3,5%, laktosa 4,9% dan mineral 0,7%. Menurut Rahman et al. (1992), berat jenis susu dipengaruhi oleh zat-zat padatan yang terkandung didalam susu seperti lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral.

Nilai berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar lemak dan kadar padatan tanpa lemak, yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air dalam susu (Eckles et al., 1984). Menurut SNI susu segar syarat minimum BJ pada sapi perah adalah 1,0270 (Badan Standarisasi Nasional, 2011).Sapi perah FH memiliki produksi susu yang tinggi namun dengan kadar lemak yang rendah. Faktor yang mempengaruhi kadar lemak selain produksi adalah frekuensi dan waktu pemerahan (Eckles dan Anthony, 1956). Kadar lemak susu dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum. Apabila kadar serat kasar rendah, maka kadar lemak rendah (Sudono, 1999). Syarat minimum lemak menurut (Badan Standarisasi Nasional, 2011) adalah 3,0%.

(21)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kandang sapi perah Laboratorium Lapang IPT Perah dan Laboratorium Uji Kualitas Susu Bagian IPT Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan yaitu Juli-Oktober 2011.

Materi

Ternak yang digunakan adalah satu ekor sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi ke-3 yang diperah dengan dua kali pemerahan, dengan kombinasi selang pemerahan yang berbeda untuk masing-masing puting yaitu 12:12, 13:11, 14:10, dan 15:9 jam. Pakan yang diberikan berupa rumput gajah sebanyak 20 kg perhari dan konsentrat komersil sebanyak 6 kg perhari. Alat yang digunakan adalah milk can, gelas ukur, saringan, alat tulis, plastik sampel, penunjuk waktu, timbangan dan milkotester Master Pro 10211.

Prosedur

Pakan sapi perah diberikan dua kali sehari dengan pemberian pagi dan sore, masing-masing 10 kg hijauan dan 3 kg konsentrat untuk sekali pemberian. Hijauan yang digunakan berupa rumput gajah yang telah cacah secara manual dengan panjang ± 20 cm. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat komersil dengan BK 82,7%.

(22)

Tabel 2. Mekanisme Pengambilan Data Produksi dan Kualitas Susu

Keterangan : A=perlakuan 12:12 jam, B=perlakuan 13:11 jam, C=Perlakuan 14:10 jam, D=perlakuan 15:9 jam.

Produksi susu harian (ml/puting/hari) melalui penjumlahan hasil pemerahan pagi dan sore menurut waktu dan perlakuan selang pemerahan yang telah ditentukan. Laju sekresi susu (ml/jam) diperoleh dari hasil pembagian produksi susu dan lamanya selang pemerahan. Pemerahan dilakukan dua kali sehari dengan cara manual menggunakan tangan yaitu pada pukul 05.00 WIB dan 17.00 WIB untuk perlakuan A, pukul 05.00 WIB dan 16.00 WIB untuk perlakuan B, pukul 05.00 WIB dan 15.00 WIB untuk perlakuan C, serta pukul 05.00 WIB dan 14.00 WIB untuk perlakuan D.

Rancangan dan Analisa Data

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) dengan empat perlakuan selang pemerahan, empat puting, dan empat periode pengambilan data. Peubah yang diamati adalah produksi dan kualitas susu sapi perah.

Yijk = µ + Li + Bj + Pk + ɛijk

Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

µ : rataan umum

Li : pengaruh puting ke-i

Bj : pengaruh periode ke-j

Pk : pengaruh selang pemerahan ke-k

ɛijk : pengaruh galat selang perlakuan ke-k, pada puting ke-i, dan periode ke-j

(23)
(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Susu

Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi sapi perah agar didapatkan kelahiran satu kali dalam setahun. Ketika kelahiran dapat diatur sehingga dihasilkan kelahiran sekali setahun, maka akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), rata-rata produksi susu sapi perah Friesian Holstein adalah 10.209,96 kg per laktasi. Produksi susu akan meningkat pada bulan pertama laktasi dan akan menurun perlahan-lahan pada bulan berikutnya. Apabila merujuk pada pendapat Ensminger dan Tyler (2006), artinya jika masa laktasi 305 hari maka produksi susu perhari sapi FH seharusnya adalah 33,48 kg/hari atau setara 32,56 liter/hari (BJ 1,028). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu sapi perah yang digunakan pada penelitian ini yang hanya sebesar 6,18 + 0,84 liter/hari. Menurut Sudono et al., (2003), produksi susu sapi FH di Indonesia rata-rata adalah 10 liter/ekor/hari. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kemampuan sapi perah yang digunakan pada penelitian kali ini, salah satunya adalah manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Pemberian pakan secara kuantitas masih belum memenuhi standar kebutuhan pakan untuk sapi perah dewasa. Pemberian pakan tidak dikondisikan sebelum dilakukan penelitian karena untuk menyesuaikan dengan keadaan riil di peternakan.

Sapi yang digunakan pada penelitian kali ini adalah sapi perah laktasi ketiga bulan ketiga dengan perkiraan bobot badan 353 kg (lingkar dada 166 cm). Pakan yang diberikan dua kali sehari terdiri atas hijauan dan konsentrat. Jenis hijauan yang digunakan adalah rumput gajah sebanyak 20 kg per hari. Menurut Despal et al.

(25)

banyak mengandung konsentrat akan menyebabkan menurunnya produksi asam asetat dalam rumen. Penurunan asam asetat dapat mengakibatkan rendahnya kadar lemak susu karena asam asetat merupakan bahan utama pembentuk lemak air susu.

Bobot sapi pada penelitian kali ini adalah 353 kg, oleh sebab itu kebutuhan pakan dalam bahan keringnya sekitar 14,12 kg jika mengacu pada Santosa et al.,

(2009) yang menyatakan bahwa pemberian pakan sapi perah dalam bahan kering adalah 4% bobot tubuhnya. Menurut penelitian Mariyono et al., (1991) di daerah Grati, Jawa Timur, konsumsi BK untuk sapi laktasi ketiga dengan bobot badan rata-rata tak lebih dari 350 kg adalah sebesar 12,61 kg atau sekitar 3,5% bobot tubuhnya.

Berdasarkan Miller (1979), kecernaan zat-zat makanan tertinggi pada sapi perah dapat dicapai ketika perbandingan bahan kering (BK) ransum asal hijauan dengan konsentrat sampai dengan 60:40. Jika kebutuhan BK 14,12 kg dengan perbandingan hijauan konsentrat 60:40, maka dibutuhkan hijauan dalam bentuk kering sebanyak 8,47 kg dan konsentrat sebanyak 5,65 kg. Diketahui bahwa BK rumput gajah sebesar 21,3%, artinya hijauan dalam bentuk segar yang diberikan sebanyak 20 kg jika dikonversi menjadi BK hanya 4,26 kg. Jumlah ini masih belum memenuhi kebutuhan pakan hijauan untuk sapi perah. Masih dibutuhkan lagi 4,21 kg hijauan dalam bentuk BK, atau setara dengan 20 kg hijauan rumput gajah dalam bentuk segar.

Pakan konsentrat yang digunakan pada penelitian kali ini memiliki nilai BK 82,7%. Total pemberian konsentrat perhari adalah 6 kg dalam bentuk segar, atau jika diubah menjadi bentuk kering diperoleh nilai 4,96 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrat yang diberikan masih belum mampu memenuhi kebutuhan harian sapi sebanyak 5,65 kg bahan kering. Pakan yang diberikan pada seekor sapi perah dewasa digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan pertumbuhan (Foley

et al., 1973). Kekurangan pakan dapat secara langsung menyebabkan rendahnya produktivitas sapi perah, terutama jika sapi mengalami kekurangan pakan setiap hari.

(26)

Campbell et al., (2003), sapi yang bertubuh besar secara normal mampu mensekresi susu lebih banyak dibanding dengan sapi berukuran kecil.

Selain faktor pakan, yang menyebabkan rendahnya produksi susu sapi yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu yang relatif tinggi. Menurut Atabany et al.

(2008), produksi susu per ekor perhari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya. Indonesia sebagai negara tropis cenderung memiliki suhu yang lebih tinggi dari suhu negara asal sapi perah FH yang beriklim sedang. Suhu lingkungan rata-rata pada tempat penelitian berkisar antara 29-33oC, sedangkan suhu nyaman sapi perah tidak lebih dari 23oC. Menurut Anderson et al. (1985), pengaruh langsung stress panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan hidup pokok untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis, dan mengurangi konsumsi pakan.

Rataan berat jenis pada penelitian ini adalah 1,0274 + 0,98. Nilai ini memenuhi standar Badan Standar Nasional Indonesia dalam SNI (2011) mengenai susu segar yaitu sebesar 1,0270. Berat jenis susu bergantung pada kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) dalam susu. Semakin tinggi kadar BKTL susu, maka berat jenis akan semakin tinggi. Bahan kering tanpa lemak merupakan total padatan susu setelah dikurangi kandungan lemak dalam susu. Semakin tinggi kadar BKTL maka kualitas susu dapat dikatakan semakin baik. Kandungan bahan kering tanpa lemak susu pada penelitian ini sebesar 7,77 + 0,20 %. Nilai ini sedikit dibawah nilai BKTL minimum 7,8% berdasarkan Badan Standaridisasi Nasional (2011). Menurut Schmidt (1971), BKTL susu maksimum pada awal laktasi dan menurun dengan cepat 2 sampai 3 bulan awal laktasi, kemudian meningkat kembali sampai akhir laktasi.

(27)

Hasil pengukuran kadar protein rata-rata pada penelitian ini 3,43 + 0,11 %. Meskipun nilai tersebut tergolong dibawah standar jika mengacu pada Winarno (1993) yang menyatakan bahwa kadar protein susu sapi segar sekitar 3,5%, namun kadar protein tersebut masih diatas batas minimum yang ditetapkan oleh SNI 3141.1-2011 yaitu sebesar 2,8%.

Laktosa adalah bagian dari komponen susu yang memberi rasa manis pada susu. Semakin tinggi persentase laktosa dalam susu, maka susu tersebut akan semakin manis dan memiliki kandungan energi yang lebih tinggi. Laktosa susu berbahan dasar monosakarida berupa glukosa dan galaktosa. Laktosa terdapat larut dalam air susu. Rataan persentase laktosa yang diperoleh dari penelitian ini adalah 3,67 + 0,11 %. Menurut Jenkins et al. (1984) dan Moallem et al. (1997), tinggi rendahnya laktosa dalam susu mengindikasikan tinggi rendahnya aktivitas mikroba rumen. Faktor penyebabnya karena aktivitas mikroba rumen sangat erat kaitannya dengan kerja enzim pencerna selulosa. Ketika pencernaan selulosa meningkat maka asam lemak terbang yang dihasilkan akan meningkat pula. Asam lemak yang meningkat akan meningkatkan glukosa. Lebih lanjut Arora (1995) menyatakan bahwa sebagian glukosa akan masuk ke kelenjar mamae dan diubah menjadi laktosa.

Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Produksi Susu

Selain pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan, manajemen pemerahan juga merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan. Jika sapi perah diperah dua kali sehari dengan jarak waktu yang sama antar pemerahan maka akan sedikit sekali menyebabkan perubahan susunan susu (Sudono et al., 2003). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa ada kemungkinan perbedaan produksi dan komponen susu yang dihasilkan apabila jarak waktu pemerahannya tidak sama.

(28)

hasil Schimdt dan Timberger (1962) disebabkan karena adanya perbedaan selang pemerahan yaitu 15:9 dengan 12:12 atau 10:14 maupun kondisi sapi yang tidak optimal pada penelitian ini akibat pemeliharaan yang kurang baik, yaitu pakan yang belum mencukupi kebutuhan harian sapi, kualitas hijauan yang rendah dan suhu lingkungan yang tinggi.

Tabel 3. Produksi Susu (ml) dan Laju Sekresi Susu (ml/jam) pada Setiap Kombinasi Selang Pemerahan

Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P <0,05)

Perbedaan hasil tersebut terjadi karena pemerahan pertama dilakukan pada sore hari untuk perlakuan 15:9, yaitu pada pukul 14.00, sedangkan pemerahan pagi dilakukan pukul 05.00 untuk semua perlakuan. Selama selang 9 jam tersebut, antara pukul 05.00 sampai dengan 14.00, ambing sudah mulai terisi penuh oleh air susu. Begitupun dengan selang pemerahan 15 jam, antara pukul 14.00 sampai dengan pukul 05.00, produksi susu menjadi lebih banyak karena interval yang lebih lama. Sebenarnya produksi susu bisa saja menjadi lebih tinggi jika selang pemerahan 15 jam dibagi lagi kedalam 2 kali waktu pemerahan. Menurut Blakely dan Bade (1994), rata-rata laju sekresi susu mengalami penurunan mulai 10-12 jam pasca pemerahan sebelumnya, akan tetapi tidak secara drastis. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perlakuan 15:9 jam memiliki nilai produksi susu yang lebih tinggi dari perlakuan lain. Sebaiknya jika dilakukan pemerahan lebih dari 2 kali sehari susu yang diperoleh menjadi lebih banyak. Namun dikarenakan produksi susu di Indonesia masih tergolong rendah, maka pemerahan lebih dari 2 kali sehari hanya akan meningkatkan biaya operasional pegawai dan belum menguntungkan.

(29)

produksi susu dengan satuan gram. Nilai produksi untuk tiap-tiap perlakuan yang berbeda antara lain, perlakuan 12:12 jam (1404,3 gram), 13:11 jam (1491,07 gram), 14:10 jam (1535,80 gram), dan perlakuan 15:9 (1913,22 gram). Produksi susu untuk perlakuan 15:9 menunjukkan nilai yang lebih banyak (P<0,05) dibandingkan perlakuan yang lainnya.

Laju sekresi susu untuk perlakuan selang pemerahan 15:9 didapat nilai sebesar 171 ml/jam. Laju sekresi pada selang pemerahan 15:9 adalah lebih cepat (P<0,05) dari laju sekresi susu untuk perlakuan selang pemerahan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena produksi susu yang diperoleh untuk perlakuan 15:9 ini lebih banyak (P<0,05) dari perlakuan yang lain. Diketahui bahwa laju sekresi susu diperoleh dari produksi susu dibagi dengan lamanya selang pemerahan. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa ketika satuannya dikonversi menjadi gram/jam, laju sekresi susu untuk perlakuan 15:9 tetap jauh lebih cepat (P<0,05) dibanding perlakuan yang lainnya.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi Protein, Produksi Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) dan Kecepatan Laju Sekresi Susu untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan

Kombinasi

A (12:12) 1404,30±224,8a 117,02±26,5a 54,08 ± 8,4a 108,58±17,6a 47,37±8,0a

B (13:11) 1491,07±224,8a 124,54±26,5a 56,74 ± 8,4a 116,54±17,6a 51,52±8,0a

C (14:10) 1535,80±224,8a 129,11±26,5a 56,35 ± 8,4a 119,55±17,6a 52,78±8,0a

D (15:9) 1913,22±224,8b 175,55±26,5b 72,28 ± 8,4b 148,92±17,6b 65,96±8,0b

Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P <0,05)

Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Komposisi Susu

(30)

terhadap BJ, persentase kadar lemak, kadar BKTL, kadar protein, dan kadar laktosa dalam susu segar. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Berat Jenis (BJ), Kadar Lemak, Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak, Kadar Protein dan Kadar Laktosa untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan

A (12:12) 1,027±0,0005a 3,79±0,05a 7,72±0,04a 3,41±0,02a 3,66±0,02a

B (13:11) 1,027±0,0005a 3,72±0,05a 7,81±0,04a 3,45±0,02a 3,70±0,02a

C (14:10) 1,027±0,0005a 3,67±0,05a 7,78±0,04a 3,43±0,02a 3,69±0,02a

D (15:9) 1,026±0,0005a 3,73±0,05a 7,77±0,04a 3,44±0,02a 3,69±0,02a

Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P< 0.05)

Secara umum komposisi susu sapi menurut Ensminger dan Tyler (2006), terdiri atas air 87,2%, lemak 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, protein 3,5%, laktosa 4,9% dan mineral 0,7%, namun banyak faktor yang mempengaruhi komposisi susu sapi perah. Menurut Santosa et al. (2009), faktor yang mempengaruhi komposisi dan kualitas susu antara lain jenis ternak, pakan yang diberikan, kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan, kebersihan dan sanitasi.

Standar nilai berat jenis susu segar menurut SNI No. 3141.1-2011 adalah 1,027 g/cm3. Berdasarkan hasil pengamatan, berat jenis dari susu untuk perlakuan 15:9 berada di bawah ketetapan SNI. Nilai rata-rata berat jenis untuk perlakuan A, B, dan C adalah 1,027 g/cm3, sedangkan untuk perlakuan D (15:9) lebih rendah yaitu 1,026 g/cm3. Menurut Rahman et al., (1992), berat jenis susu dipengaruhi oleh zat-zat padatan yang terkandung didalam susu seperti lemak, protein, laktosa dan mineral. Semakin banyak kandungan padatan dalam susu, maka nilai berat jenisnya akan semakin tinggi dan susu akan semakin kental. Nilai berat jenis yang rendah pada sampel menandakan bahwa susu tersebut mempunyai kandungan padatan yang lebih sedikit.

(31)

tersebut memenuhi standar minimal kadar lemak susu yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional melalui SNI (2011) yaitu sebesar 3,00%. Meskipun pakan hijauan yang diberikan masih dibawah standar pemberian, tapi karena produksi susu perhari tergolong rendah, maka kadar lemak akan cenderung tinggi.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 periode dengan masing-masing periode 16 hari, diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan selang pemerahan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap persentase kadar lemak susu. Persentase lemak susu cenderung konstan sesuai dengan pernyataan Sudono et al., (2003) yaitu kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, kemudian pada 2-3 bulan masa laktasi kadar lemak sudah mulai konstan, selanjutnya sedikit meningkat. Penelitian ini dilakukan setelah 3 bulan masa laktasi.

Berbeda dengan nilai kadar lemak dalam persen. Pada Tabel 4 disaat persentase kadar lemak tersebut dikonversi menjadi gram dengan cara mengalikannya dengan gram produksi harian, diperoleh kesimpulan bahwa perbedaan perlakuan selang pemerahan akan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat lemak susu (gram). Masing-masing nilai berat lemak susu untuk tiap perlakuan yaitu, perlakuan A 54,08 gram, B 56,74 gram, C 56,35 gram, dan perlakuan D sebesar 72,28 gram. Selanjutnya dilakukan pengujian lanjutan yaitu menggunakan uji banding Tukey, dan diperoleh kesimpulan bahwa kadar lemak susu dalam satuan gram untuk perlakuan 15:9 berbeda secara statistik dengan tiga perlakuan yang lain, yaitu perlakuan 12:12, 13:11, dan 14:10. Hal ini dapat terjadi dikarenakan persentase tersebut didapatkan dari gram produksi susu masing-masing perlakuan. Diketahui bahwa jumlah (gram) produksi susu untuk perlakuan 15:9 memiliki nilai paling tinggi dan hasil uji bandingnya menunjukkan bahwa gram produksi tersebut berbeda secara statistik dengan perlakuan yang lain.

(32)

Nilai persentase kadar protein pada Tabel 5 menunjukkan perlakuan 12:12 sebesar 3,41%, perlakuan 13:11 sebesar 3,42%, perlakuan 14:10 sebesar 3,43%, dan perlakuan 15:9 sebesar 3,44%. Persentase kadar protein susu tersebut masih memenuhi standar minimal yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (2011) yaitu sebesar 2,80%. Persentase protein masing-masing perlakuan ini tidak berbeda secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein susu selama proses pengambilan data atau bahkan selama laktasi cenderung tetap. Nilai kadar protein dalam bentuk gram memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan, yaitu perlakuan 15:9 jam memiliki nilai yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain dan berbeda secara statistik (P<0,05). Menurut Schmidt et al. (1988), sama halnya dengan lemak susu, protein susu juga berkorelasi negatif dengan produksi susu.

Bahan kering tanpa lemak (BKTL) dapat digunakan untuk menentukan harga jual susu, semakin tinggi persentasenya maka harga susu akan semakin mahal. Data hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan nilai persentase kadar bahan kering tanpa lemak pada perlakuan 12:12 sebesar 7,72%, perlakuan 13:11 sebesar 7,81%, perlakuan 14:10 sebesar 7,78%, dan perlakuan 15:9 sebesar 7,77%. Nilai tersebut bisa dikatakan masih berada dalam kadar BKTL yang telah ditetapkan Badan Standardisasi Nasional No 3141.1 dalam SNI (2011) yaitu sebesar 7,80%. Persentase tertinggi adalah pada perlakuan 13:11 jam, namun secara statistik persentase BKTL untuk masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai BKTL selanjutnya dapat mempengaruhi besar kecilnya berat jenis susu. Semakin tinggi persentase BKTL maka nilai berat jenis akan semakin tinggi.

Perlakuan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah bahan kering tanpa lemak susu dalam bentuk gram (Tabel 4). Nilai BKTL berturut-turut untuk keempat perlakuan adalah 108,58 gram untuk perlakuan A, 116,54 gram untuk perlakuan B, 119,55 gram perlakuan C, dan 148,92 untuk perlakuan D. Perlakuan D memiliki nilai gram BKTL yang lebih tinggi dari yang lain, dan setelah dilakukan uji banding terbukti berbeda secara statistik dari yang lainnya.

(33)

perlakuan 13:11 sebesar 3,70%, perlakuan 14:10 sebesar 3,69%, dan perlakuan 15:9 sebesar 3,69%. Persentase laktosa tertinggi terdapat pada perlakuan 13:11 jam, namun secara statistik persentase laktosa untuk masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu selang pemerahan dengan waktu yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi kadar laktosa susu. Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran produksi, kadar lemak, kadar BKTL, dan laju sekresi susu untuk setiap selang pemerahan.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi BKTL, dan Laju Sekresi Susu pada Setiap Selang Pemerahan

Selang pemerahan Produksi susu Laju sekresi Lemak BKTL

(jam) (gram) (gram/jam) (gram) (gram)

9 1075,2±137,78 119,44±22,3 46,04±7,02 84,13±10,69

10 679,38±137,78a 67,94±22,3a 27,03±7,02a 53,49±10,69a

11 703,58±137,78a 63,96±22,3ab 27,47±7,02a 55,42±10,69a

12 702,14±137,78a 58,52±22,3ab 27,04±7,02a 54,29±10,69a

13 787,49±137,78ab 60,58±22,3ab 29,26±7,02a 61,12±10,69ab

14 856,41±137,78b 61,17±22,3ab 29,32±7,02a 66,06±10,69b

15 841,23±137,78b 55,87±22,3b 26,24±7,02a 64,79±10,69b

Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P < 0.05)

(34)

Hasil pengujian uji banding Turkey menunjukkan bahwa selang pemerahan 10, 11, 12, dan 13 jam memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi susu, selang pemerahan 13 jam juga memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi susu dengan selang pemerahan 14 dan 15 jam, sedangkan selang pemerahan 10, 11, dan 12 jam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap produksi dibandingkan selang pemerahan 14 dan 15 jam.

Selang pemerahan juga berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju sekresi susu (g/jam). Secara statistik, diperoleh laju sekresi susu pada selang pemerahan 10 jam lebih cepat dari 15 jam. Nilai selang pemerahan 10 jam yaitu 67,94 g/jam, sementara selang pemerahan 15 jam sebesar 55,87 g/jam. Semakin lama selang pemerahan maka laju sekresi susu akan semakin lambat.

Data hasil pengukuran kadar lemak memperlihatkan bahwa semakin lama selang pemerahan kadar lemak cenderung meningkat. Namun hasil uji banding menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara statistik antara kadar lemak dan lamanya selang pemerahan. Berbeda dengan kadar lemak, nilai kadar bahan kering tanpa lemak dalam satuan gram ternyata dipengaruhi oleh selang pemerahan yang berbeda. Masing-masing waktu selang pemerahan menunjukkan perbedaan secara statistik (P<0,05) antara selang 10, 11, 12 jam dengan selang pemerahan 14 dan 15 jam. Semakin lama selang pemerahan makan jumlah BKTL (gram) akan semakin tinggi.

Hubungan Antara Selang Pemerahan, Produksi, Laju Sekresi Susu, dan Komposisi Susu

(35)

Gambar 1. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Produksi Susu (gram)

(36)

laju sekresi susu. Beberapa penelitian menunjukkan sekresi susu dan lemak susu

mengalami penurunan dengan memperpanjang selang pemerahan (Schmidt, 1971).

McKusick et al. (2002) menyatakan, bahwa produksi susu pada ambing dalam keadaan kosong akan bertambah setelah diperah dengan memperpanjang selang pemerahan. Rata-rata laju sekresi susu mengalami penurunan mulai 10-12 jam pasca pemerahan sebelumnya, tetapi tidak secara drastis.

Hasil analisis regresi dan korelasi antara selang pemerahan dan produksi lemak (gram) serta selang pemerahan dengan produksi BTKL susu (gram) diperoleh bahwa tidak ada korelasi antara selang pemerahan dengan persentase kadar lemak susu. Akan tetapi, antara selang pemerahan dengan persentase kadar BKTL susu berkorelasi positif (r=0,920). Ketika selang pemerahan diperpanjang selama 1 jam, maka akan dapat menaikkan produksi BKTL susu sebesar 2,72 gram.

Hubungan yang terjadi antara produksi susu dan persentase kadar lemak susu adalah ketika produksi naik sebanyak 1 gram, maka persentase kadar lemak akan turun sebanyak 3,64x10-5, hal ini mengacu pada persamaan regresi Y=0,0629-0,00003635X (r = -0,912). Begitu juga dengan persentase kadar BKTL dalam susu, berdasarkan persamaan regresi Y=0,08191-(0,56x10-5)X, kadar BKTL akan menurun sebanyak 0,56x10-5 ketika produksi susu bertambah sebanyak 1 gram (r = -0,6183). Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase kadar lemak dan protein yang dihasilkan. Persentase lemak dan protein berada dititik terendah ketika produksi berada pada puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al. 1988). Hal ini sesuai dengan pendapat Akers (2002) yang menyatakan bahwa produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu.

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Peningkatan produksi susu dapat dicapai dengan melakukan manajemen pemerahan yang sesuai. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan selang pemerahan yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap produksi dan laju sekresi susu. Perlakuan 15:9 jam memberikan hasil terbaik karena sapi dapat memproduksi susu lebih banyak tanpa menurunkan kualitas susu. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa produksi susu berbanding lurus dengan selang pemerahan Y = 283,67 + 38,2 X (r = 0,940) dan laju sekresi susu berbanding terbalik dengan selang pemerahan Y = 85,09 - 1,90 X (r = -0,845). Selanjutnya produksi susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu.

Saran

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Peningkatan produksi susu dapat dicapai dengan melakukan manajemen pemerahan yang sesuai. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan selang pemerahan yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap produksi dan laju sekresi susu. Perlakuan 15:9 jam memberikan hasil terbaik karena sapi dapat memproduksi susu lebih banyak tanpa menurunkan kualitas susu. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa produksi susu berbanding lurus dengan selang pemerahan Y = 283,67 + 38,2 X (r = 0,940) dan laju sekresi susu berbanding terbalik dengan selang pemerahan Y = 85,09 - 1,90 X (r = -0,845). Selanjutnya produksi susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu.

Saran

(39)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah akhirnya penulisan skripsi ini terselesaikan juga. Segala puji dan rasa syukur hanya bagi zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT. Selanjutnya terima kasih kepada kedua orang tua, Tita Rohayati dan Endang Mulyana atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Juga terima kasih kepada kakak tersayang Evi Novita dan adik satu-satunya, Ikhwan Al-Gaza. Terima kasih juga untuk keluarga di Guro atas kebaikannya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis berikan kepada dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi, Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr, serta bapak Ir. Andi Murfi, M.Si selaku dosen pembimbing anggota atas ilmu yang bermanfaat dan saran-saran dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas pertanyaan dan saran yang sangat membangun untuk skripsi penulis dari Dr. Ir. Rarah Ratih Aji M, DEA dan Dr. Ir. Suryahadi, DEA selaku dosen penguji pada ujian sidang sarjana. Terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si selaku panitia ujian sidang. Penulis juga berterima kasih kepada bapak Jufri Alkatiri, S.Fil, M.Si, M.A, atas semangat dan pengalaman yang dibagikan selama ini.

Terima kasih kepada sahabat-sahabat di IPTP 45 Irma, Feby, Gya, Ii, Vita atas teguran-teguran halusnya dan senantiasa sabar mengingatkan jika penulis berbuat khilaf, hanya Allah yang dapat membalas kebaikan kalian. Kepada teman-teman IPTP 45 yang lainnya, terima kasih atas penerimaan, semangat, dan kebersamaannya selama ini. Kepada teman-teman UKM Century, Emulsi, Omda Panatayuda, dan Himaproter penulis ucapkan terima kasih banyak.

April, 2012

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Acker, D. 1960. Animal Science and Industry. Prentice-Hall. Inc., Englewood Cliff, N. J, New York.

Akers, R. M. 2002. Lactation ant The Mamary Gland. First Edition. Iowa State Press, Iowa.

Alim, A. F. & T. Hidaka. 2002. Pakan dan Tata Laksana Sapi Perah. Dairy Technology Improvement Project in Indonesia. PT Sonysugema Pressindo, Bandung.

Anderson R. R., R. J. Collier, A. J. Guidry, C. W. Heald, R. Jennes, B. L., Larson & H. A. Tucker. 1985. Lactation. The lowa University Press. Ames. Lowa. Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi kedua. Universitas

Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Aryogi, N., K. Wardhani, & A. Musofie. 1994. Pola penyediaan hijauan pakan di daerah sentra pemeliharaan sapi perah di dataran tinggi di Jawa Timur. Proceedings Pertemuan Ilmiah Pengelolaan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Indonesia.

Atabany, A., B. P. Purwanto., T. Toharmat., & A. Anggraeni. 2008. Hubungan masa kosong dengan produktivitas pada sapi perah Friesian Holstein di Baturraden Indonesia. J. Media Peternakan. 08: 77-82. EISSN 2087-4634. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Susu

Segar. 01.3141.1998. http://www.bsn.go.id [April 2012]

Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI) Susu Segar bagian 1: Sapi 3141.1-2011. http://www.bsn.go.id [Maret 2012]

Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK). Jakarta. http://www.bps.go.id [Maret 2012].

Blakely, J. & D. H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Terjemahan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Calder, W. A. 1996. Size, Function and Life Story. Dover Publ. Inc, Mineola, New York.

Campbell, J. R., M. D. Kenealy, & K. L Campbell. 2003. Animal Science, The Biology, Care, and Production of Domestic Animal. McGraw-Hill, New York.

(41)

Despal, D. A. Astuti., D. M. Suci., I. G. Permana., N. A. Sigit, & T. Toharmat. 2007. Modul Kuliah Pengantar Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.

Eckles, H. & L. Anthony. 1956. Dairy Cattle and Milk Production. Edisi Kelima. The Macmillan Co., New York.

Eckles, C. H., W. R. Combs, & H. Macy. 1984. Milk and Milk Product. Edisi Keempat. Tata McGraw Hill Publisher Company. Ltd. Bombay, India.

Ensminger, M. E. 1971. Dairy Cattle Science. The Interstate Printers and Publisher. Inc. Danville, Illinois.

Ensminger, M. E., & H. D. Tyler. 2006. Dairy Cattle Science. Edisi Keempat. Upper Saddle River, New Jersey.

Foley, R. C., D. C. Bath, E. Bath, N. Dickinson & H. A. Tucker. 1973. Dairy Cattle Principles, Practice, Problem, Profit, Lea and Febiger, Philadelphia.

Jenkins, T. C., & D. L. Palmquist. 1984. Effect of fatty acid or calcium soap on rumen and total nutrient digestibility of dairy ration. J Dairy Sci. 67: 978-986.

Leaver, J. D. 1983. Milk Production : Science and Practice. Longman Group Limited. Essex, England.

Mariyono, M. A. Yusran., & A. Musofie. 1991. Efisiensi pakan sapi perah lokal pada empat bulan awal laktasi di daerah Grati-Pasuruan. J Ilmiah Peternakan Grati Vol 2.

McNeilly, A. S. 2001. Reproduction, Fertility and Development. CSIRO Publishing, 13:583-590.

McKusick, B. C., D. L. Thomas, Y. M. Berger, & P. G. Marnet. 2002. Effect of milking interval and alveolar versus cisternal milk accumulatiom and milk production and composition in dairy ewes. Journal Dairy Science, 85 : 2197-2206.

Miller, W. J. 1979. Dairy Cattle Feeding and Nutrition. Academic Press Inc. New York.

Moallem, U., Kaim, M., Folman, Y., & Saklan, D. 1997. Effect of calcium soaps of fatty acid and administration of somatotropin in early lactation on productive and reproductive performance of high producing dairy cow. J Dairy Sci. 80: 2127-2136.

Muchtadi, T. R., & Sugiono. 1992. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(42)

Santosa, K.A., K. Dwiyanto., & T. Toharmat. 2009. Profile Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. LIPI Press. Jakarta.

Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.

Schmidt, G. H., & G. W. Timberger. 1962. Effect of unequal milking on lactation milk, milk fat, and total solids production of cows. J Dairy Sci. 46: 19. Schmidt, G.H., L.D. Van Vleck, & M.F. Hutgens. 1988. Principles of Dairy Science.

Edisi Kedua. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Siregar, S.B. 1992. Sistem pemberian pakan dalam upaya meningkatkan produksi susu sapi perah. Wartazoa, (3-4) : 23-27.

Smith, V. R. 1969. Physiology of Lactation. Fifth Edition. Lowa State University Press, USA.

Soedjana, D. T. 1999. Analisis pengembangan dalam produksi susu nasional melalui peningkatan efisiensi. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Peternakan ARMP. II th. 1999/2000. Pusat Penelitian Peternakan Bogor.

Sudono, A. 1999. Produksi Sapi Perah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudono, A., R. F. Rosdiana, & B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sudarwanto, M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinis. Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB di Bogor (22 Mei 1999).

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Van Soest, P. J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant. O & B Book Co., Corvallis, Oregon.

Wattiaux, M. A. 2000. Milk Composition and Nutritional Value. Dairy Reseach and Development. Babcock Institute, Madison.

(43)
(44)

Lampiran 1. Lampiran 1.

1. Hasil analisis nilai intercept (a), koefisien regresi (b), dan koefisien korelasi (r) dari selang pemerahan dengan produksi, laju sekresi dan komposisi susu sapi perah

Produksi (gram) Laju sekresi (gram/jam) Produksi Lemak

(gram)

Produksi BKTL

(gram)

a b r a b r a b r a b r

Selang Pemeraha n (jam)

283,67 38,20 0,940 85,09 -1,90 -0,845 26,36 0,11 - 25,2 2,72 0,920

Lampiran 2.

2. Hasil analisis nilai intercept (a), koefisien regresi (b), dan koefisien korelasi (r) dari selang pemerahan dengan produksi susu dan komposisi susu sapi perah berupa kadar dan produksi lemak susu, serta kadar dan produksi BKTL susu

Produksi Lemak (gram) Kadar Lemak (%) Produksi BKTL

(gram)

Kadar BKTL (%)

a b r a b r a b r a b c

Produksi Susu (gram)

(45)

Lampiran 3. Hasil Uji Analisis Ragam Perlakuan Selang Pemerahan Terhadap Berbagai Parameter

1. Produksi susu (ml)

SK db JK KT Fhit F0,05

Puting 3 500563,84 166854,61

Periode 3 450814,99 150271,66

Perlakuan 3 582877,77 194292,59 12,68 4,76

Galat 6 91949,69 15324,95

Total 15 1626206,29

2. Laju Sekresi Susu (ml)

(46)

Periode 3 0,0195

Periode 3 475730,24 158576,75

Perlakuan 3 606515,20 202171,73 12,63 4,76

Galat 6 96051,43 16008,57

Total 15 1708227,48

8. Laju Sekresi Susu (gram/jam)

SK Db JK KT Fhit F0,05

9. Kadar Lemak Susu (gram)

SK Db JK KT Fhit F0,05

10. Kadar BKTL Susu (gram)

SK Db JK KT Fhit F0,05

Lampiran 4. Hasil Uji Analisis Ragam Masing-masing Selang Pemerahan Terhadap Berbagai Parameter

1. Produksi Susu (gram)

Tabel Analisis Ragam Produksi Susu

Source DF SS MS F P

(47)

Error 378 2.011E+07 53213 Total 383 2.201E+07

Rata-rata 761.71 CV 30.28

2. Laju Sekresi Susu (gram/jam)

Tabel Analisis Ragam Laju Sekresi Susu

Source DF SS MS F P

selang 5 5546 1109.10 3.15 0.0084 Error 378 132968 351.77

Total 383 138513

Rata-rata 61.374 CV 30.56

3. Kadar Lemak Susu (gram)

Tabel Analisis Ragam Produksi Lemak Susu

Source DF SS MS F P

selang 5 520 103.994 0.35 0.8825 Error 378 112490 297.593

Total 383 113010

Rata-rata 27.728 CV 62.22

4. Kadar BKTL Susu (gram)

Tabel Analisis Ragam Produksi BKTL Susu

Source DF SS MS F P

selang 5 9790 1957.98 5.86 0.0000 Error 378 126197 333.85

Total 383 135987

Rata-rata 59.195 CV 30.87

5. Kadar Protein Susu (gram)

Tabel Analisis Ragam Produksi Protein Susu

Source DF SS MS F P

perlakuan 3 12411.6 4137.21 27.29 0.0000 Error 252 38205.6 151.61

Total 255 50617.2 Rata-rata 54.405 CV 22.63

Lampiran 5. Hasil Uji Analisis Ragam dan Uji Banding Tukey Produksi Susu pada Periode yang Berbeda

1. Uji Analisis Ragam

(48)

Hasil DF SS MS F P

periode 3 2.885E+07 9617397 44.78 0.0000 Error 60 1.288E+07 214788

Total 63 4.174E+07

Rata-rata 6180.5 CV 7.50

2. Uji Banding Tukey

Periode Rata-rata Grup Homogen

(49)

RINGKASAN

RINA ATRIANA. D14080303. 2012. Pengaruh Kombinasi Selang Pemerahan terhadap Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (SNI, 1998). Banyak penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produksi susu. Akan tetapi faktanya hanya sedikit yang dapat diterapkan peternak, khususnya pada peternakan skala rakyat. Selang pemerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui selang pemerahan yang tepat agar diperoleh produksi susu yang optimum baik secara kuantitas maupun komposisi.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan bujur sangkar latin 4x4 dengan 4 periode, 4 perlakuan dan 4 puting. Sapi yang digunakan adalah satu ekor sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi ketiga dan bulan laktasi ketiga. Susu yang diperoleh kemudian diukur volume dan diuji kualitasnya dengan menggunakan milkotester Master Pro 10211.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu untuk perlakuan A, B, C, dan D berturut-turut yaitu : 1404,30 ± 224,81, 1491,07 ± 224,81, 1535,80 ± 224,81, dan 1913,22 ± 224,81 g/puting/hari, dengan laju sekresi susu berturut-turut 117,02 ± 26,47, 124,54 ± 26,47, 129,11 ± 26,47, and 175,55 ± 26,47 g/jam. Kombinasi selang pemerahan yang berbeda berpengaruh (P<0.05) terhadap produksi dan laju sekresi susu sapi perah, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kadar lemak dan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu.

Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara selang pemerahan dengan produksi susu serta persentase kadar BKTL susu, dan hubungan yang berbanding terbalik antara selang pemerahan dengan laju sekresi susu. Analisis juga menunjukkan bahwa produksi susu berbanding terbalik dengan produksi lemak susu.

(50)

ABSTRACT

Effect of Milking Interval Combination on Milk Production and Milk Composition of Dairy Cows

Atriana, R., B. P. Purwanto and A. Murfi

Many research was focused on increasing milk production. But in fact, only a few farmer can apply it on their farm especially for small dairy farm which has no fund to provide an additional operating cost to optimize milk productions. Milking interval is one of the most important factor which affect milk production. The objective of this research was to determine the optimum time of milking interval to increase milk production, both of milk’s quantity and its quality. The data was analyzed by 4x4 latin square design with four treatments of milking intervals combination (A: 12/12, B: 13/11, C: 14/10 and D : 15/9) and four periods. Production and milk quality were observed for 16 days (one period) then the rate of milk secretion could be observed. The results showed that the average milk production for treatments A, B, C and D were: 1404,30 ± 224,81, 1491,07 ± 224,81, 1535,80 ± 224,81, and 1913,22 ± 224,81 g/nipple/day, with the secretion rate of 117,02 ± 26,47, 124,54 ± 26,47, 129,11 ± 26,47, and 175,55 ± 26,47 g/hour, respectively. These results showed that milking interval influenced milk (P <0.05) production and rate of milk secretion. Moreover, the milking interval was positively correlated with milk production, but negatively correlated with the rate of secretion with a correlation coefficient values which were 0,940 and -0,845, respectively. Whereas, the different milking interval not affect on fat and solid non fat (SNF) percentage. Furthermore, milk production negatively correlated with milk fat percentage. The conclusion of this research was an increasing the milk production can be adjusted by milking management.

(51)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi susu nasional perkapita per tahun terus meningkat, namun lebih dari 70% kebutuhan susu nasional harus dipenuhi dengan cara impor. Hal ini terjadi karena produksi susu nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara kuantitas dan terkadang secara kualitas pun susu yang dihasilkan oleh sapi perah lokal kalah bersaing dengan susu impor. Banyaknya susu impor beredar di Indonesia dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan peternak rakyat, karena secara tidak langsung harga susu ditentukan oleh kebijakan negara pengekspor. Seringkali susu impor memiliki harga lebih murah dibandingkan susu yang berasal dari peternakan rakyat dengan kualitas yang hampir sama. Oleh karena itu harus segera dilakukan upaya-upaya yang sadar dan terencana untuk mendongkrak produksi susu nasional, baik dengan skala peternakan rakyat maupun industri.

Berdasarkan kenyataan di lapangan lebih dari 80% peternakan sapi perah di Indonesia adalah peternakan rakyat. Sapi yang dipelihara tidak lebih dari lima ekor dengan tingkat produktivitas sapi yang masih rendah. Manajemen pemeliharaan yang diterapkan masih jauh dari standar, misalnya tidak adanya sistem recording dan tidak adanya pengujian kesehatan secara berkala terhadap sapi yang kemungkinan menderita mastitis atau penyakit lain yang sering menyerang ternak sapi perah. Menurut Santosa et al., (2009), pengendalian mastitis diutamakan dengan meminimalkan terjadinya infeksi silang antara puting yang terinfeksi ke puting susu yang sehat pada satu ternak atau antar ternak.

Faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Secara umum sapi diperah dua kali sehari dengan interval pemerahan yang berbeda-beda. Jumlah pemerahan 3 – 4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika hanya diperah dua kali sehari. Pemerahan lebih dari dua kali sehari biasanya dilakukan terhadap sapi-sapi yang produksi susunya tinggi. Peningkatan produksi susu akibat adanya pengaruh hormon prolaktin yang lebih banyak dihasilkan pada sapi yang diperah empat kali (Sudono et al., 2003).

(52)

mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B dan riboflavin yang tinggi. Indikator kualitas susu antara lain adalah tinggi rendahnya kadar lemak, protein, bahan padatan tanpa lemak, laktosa, dan berat jenis susu. Upaya yang dapat dilakukan agar persistensi kualitas susu segar bertahan lebih lama yaitu melalui proses pemerahan yang higienis hingga suhu yang sesuai saat proses penyimpanan dingin.

Tujuan

(53)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Friesian Holstein (FH)

Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Sapi Friesian Holstein berwarna hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah) (Blakely dan Bade, 1994). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), sapi ini telah ada sejak 2000 tahun yang lalu.

Sapi FH termasuk salah satu jenis sapi perah yang banyak dipelihara karena beberapa faktor keunggulannya. Menurut Dematewewa et al. (2007), sapi Friesian Holstein mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany et al., 2008). Populasi sapi perah di Indonesia sampai dengan Juni 2011 tercatat 597 ribu ekor dan produksi susu nasional sampai dengan 2009 sebesar 19,2 juta liter (Badan Pusat Statistik, 2011). Sapi Friesian Holstein (FH) adalah sapi dengan produksi susu tertinggi dibanding jenis sapi perah yang lain, selain itu kadar lemak susunya rendah (Sudono et al., 2003).

Tabel 1. Komposisi Susu Masing-masing Bangsa Sapi Bangsa Sapi Air

Produktivitas susu yang dicapai sapi FH lokal masih lebih sedikit dibandingkan dengan sapi-sapi perah FH pada daerah iklim sedang. Peningkatan pengetahuan budidaya sapi perah masih diperlukan agar mampu mengoptimalkan produktivitasnya (Soedjana, 1999).

Masa Laktasi

(54)

mulai menurun setelah usia laktasi 2 bulan. Penurunan ini diikuti pula perubahan komposisi susu, diantaranya kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, kemudian pada 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak sudah mulai konstan, selanjutnya sedikit meningkat (Sudono et al., 2003). Sapi mencapai puncak produksi rata-rata tiga sampai enam minggu setelah melahirkan, kemudian berangsur-angsur menurun. Puncak produksi susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme, adanya infeksi penyakit serta pemberian pakan setelah melahirkan. Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak (Schmidt et al., 1988).

Penurunan produksi pada bulan ketujuh hingga kedelapan disebabkan sapi sudah kembali bunting. Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase kadar lemak dan protein yang dihasilkan. Persentase lemak dan protein berada pada titik terendah ketika produksi berada pada puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al., 1988). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), total produksi susu secara umum meningkat pada bulan pertama setelah melahirkan dan menurun secara berangsur-angsur, sebaliknya kadar lemak akan meningkat menjelang akhir laktasi.

Sekresi Susu

Susu disekresikan oleh unit-unit sekretori individual yang bentuknya menyerupai buah anggur yang disebut alveolus. Unit kecil ini berukuran 0,1 sampai 0,3 milimeter dan terdiri atas suatu lapisan dalam sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel-sel tersebut mensekresi susu dengan cara menyerap zat-zat dari dalam darah dan mensintesisnya menjadi susu (Blakely dan Bade, 1994). Hal ini karena unsur dasar pembentukan susu adalah kandungan darah (Alim dan Hidaka, 2002).

Gambar

Gambar 2. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Laju Sekresi Susu (gram/jam)
Tabel Analisis Ragam Produksi Susu
Tabel Analisis Ragam Laju Sekresi Susu
Gambar 1. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Produksi Susu (gram)
+3

Referensi

Dokumen terkait

 Mendiskusikan data hasil pengamatan/ percobaan, meng-analisis informasi kelainan- kelainan yang mungkin terjadi pada sistem pencernaan manusia dari berbagai sumber

Jika tekanan yang diberikan pada larutan lebih besar dari tekanan osmosis, maka pelarut murni akan keluar dari larutan melewati membran semipermeabel.. Peristiwa ini

Dari hasil berinteraksi dengan petani yang kami, kami mengetahui ada beberapa masalah yang umumnya terjadi pada petani, misalnya tentang mahalnya harga benih dan

Perbedaan hasil belajar pada materi mata pelajaran sistem komputer dari siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih

prestasi akademik mahasiswa (Y). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan angket. Metode dokumentasi digunakan untuk

Teori dan konsep yang dipakai pada terminal ini adalah Transit Oriented Development (TOD), TOD telah banyak diwujudkan di berbagai kota di dunia dan telah dikenal luas

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching pada materi laju reaksi di SMA Unggul Negeri 2

Dibandingkan November 2015, jumlah tamu domestik dan asing yang menginap di hotel bintang mengalami penurunan masing-masing sebesar 21,40 persen dan 38,51 persen.. Dilihat dari