• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Atmosfer Bawah Wilayah Tropis dan Subtropis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Atmosfer Bawah Wilayah Tropis dan Subtropis"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ATMOSFER BAWAH

WILAYAH TROPIS DAN SUBTROPIS

FELLA FAUZIAH HERMAYANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

FELLA FAUZIAH HERMAYANA. Planetary Boundary Layer of Tropical and Subtropical Atmospheres. (Under Direction of AHMAD BEY)

Planetary Boundary Layer is the lowest part of the atmosphere directly affected by the earth’s surface and responds to surface forcings within a time period of hourly to daily. The thickness of boundary layer varies over space and time, ranging from hundreds of meters to a few kilometers. The objective of this study consist of the analysis of Boundary Layer based on diurnal and nocturnal vertical profiles of meteorological properties and identification of characteristics

pertaining to tropical atmosphere (represented by Soekarno-Hatta (6.110S, 106.650E), Polonia

(3.560N, 98.680E), and Da Nang (16.030N, 108.200E) stations) and subtropical atmosphere

(represented by Perth (31.930S, 115.960E), Nanjing (32.000N, 118.800E), and Hakasskaja

(43.780N, 87.620E) stations). Virtual potential temperature, specific humidity, wind speed and

direction, atmospheric stability, and Bulk-Richardson number are used to estimate the boundary layer thickness. Vertical profile of the virtual potential temperature and specific humidity are used to determine the Mixed Layer heights during the day and Residual Layer heights during the night. On the other hand, the mean value of Turbulent Flow Thickness is derived from the vertical profile

of the Bulk-Richardson number (RiB). Analytical results of this study revealed that Mixed Layer

height in the tropical atmosphere varies in a range from 260 m to 1410 m, Residual Layer height varies in a range from 267 m to 925 m, whereas the Turbulent Flow Thickness variation is confined between 0 m to 335 m. In subtropical atmosphere Mixed Layer height varies in a range from 101 m to 1483 m, Residual Layer height varies in a range from 121 m to 1276 m, whereas the Turbulent Flow Thickness variation is confined between 0 m to 769 m. This study also revealed that, except during summer, Mixed Layer Heights in the tropics are normally higher than in the subtropics.

(3)

RINGKASAN

FELLA FAUZIAH HERMAYANA. Kajian Atmosfer Bawah Wilayah Tropis dan Subtropis. Dibimbing oleh AHMAD BEY.

Troposfer merupakan lapisan atmosfer paling bawah yang berbatasan langsung dengan permukaan bumi. Di antara permukaan bumi dan atmosfer terdapat lapisan yang disebut Planetary Boundary Layer (PBL) atau yang biasa dikenal dengan Atmospheric Boundary Layer (ABL). ABL merupakan bagian atmosfer bawah yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan merespon gaya-gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam sampai satu hari. Ketebalan ABL bervariasi terhadap ruang dan waktu, di mana ketebalannya dapat berkisar antara ratusan hingga ribuan meter.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik ABL berdasarkan profil vertikal diurnal dan nokturnal dari variabel-variabel meteorologi dan mengidentifikasi karakteristik ABL di wilayah tropis (diwakili oleh stasiun Soekarno-Hatta (6.110LS, 106.650BT), Polonia (3.560LU, 98.680BT), dan Da Nang (16.030LU, 108.200BT) dan wilayah subtropis (diwakili oleh stasiun Perth (31.930LS, 115.960BT), Nanjing (32.000LU, 118.800BT), dan Hakasskaja (43.780LU,

87.620BT)). Dalam penentuan ketebalan ABL digunakan variabel suhu potensial virtual,

kelembaban spesifik, arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, dan Bulk-Richardson number. Profil vertikal suhu potensial virtual dan kelembaban spesifik digunakan untuk menentukan ketinggian ABL yang diwakili oleh ketinggian Mixed Layer (ML) pada siang hari dan Residual Layer (RL) pada malam hari. Sedangkan ketinggian aliran turbulensi dapat ditentukan dari profil vertikal Bulk-Richardson number (RiB).

(4)

©Hak Cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mengutip

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut

tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

KAJIAN ATMOSFER BAWAH

WILAYAH TROPIS DAN SUBTROPIS

FELLA FAUZIAH HERMAYANA

G24080075

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

Pada

Program Studi Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul

: Kajian Atmosfer Bawah Wilayah Tropis dan Subtropis

Nama

: Fella Fauziah Hermayana

NRP : G24080075

Menyetujui,

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey

NIP. 19510823 197603 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen

Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, petunjuk, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Kajian Atmosfer Bawah Wilayah Tropis dan Subtropis”.

Karya ilmiah ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih patut penulis sampaikan pada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini yaitu:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, ilmu, pengarahan, bimbingan serta kritik dan saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc dan Bapak Muh. Taufik S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang memberikan bimbingan, arahan, nasehat serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

4. Orang tua penulis, Ir. Wahyu Hermawanto dan Ir. Reena Maryani atas segala bentuk dukungan, doa, kasih sayang, dan segalanya semoga karya ini bisa menjadi wujud kebanggan Bapak dan Ibu serta adik-adik tercinta, Fauzan Fadlurrahman Hermana dan Farah Fadhilah Hermahiroh, atas segalanya, semoga menjadi lebih baik; dan juga keluarga besar Sriyono dan Soemadi.

5. Mamas Firly Adhari Laras yang selalu memberikan dukungan, semangat, perhatian, nasihat, dan motivasinya selama ini.

6. Ferdy Aprihatmoko, Adhayani Dewi, Fithra Kamela, Fitra Dian Utami, Hanifah Nurhayati, Dody Setiawan, dan Aulia Maharani atas segala dukungan, suka duka, persahabatan dan kebersamaannya; Farrahdhina Fairuzy, Asep Ferdiansyah, dan Putri Asrianti, sebagai rekan sesama anak bimbingan Prof. Ahmad Bey, serta seluruh teman-teman GFM 45 lainnya (Faiz, Fe, Arif, Sintong, Aulia, Miftah, Yuda, Nae, Hanifah, Joy, Ketty, Fida, Dewa, Firman, Iput, Dody, Akfia, Fitra, Okta, Dilper, Asep, Mirna, Dewi, Fitri, Fauzan, Maria, Pacul, Tiska, Putri, Geno, Ruri, Nia, Dora, Nadita, Widya, Citra, Fatchah, Topik, Ria, Farah, Aila, Usel, Nisa’, Ratdil, Diyah, Emod, Mela, Pungki, Adit, Adi, Sarah, Yoga, Dicky, Mail, Ian) dan juga buat kakak kelas GFM 44 dan adik kelas GFM 46 atas persahabatan dan kerjasamanya.

7. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, Juni 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang dilahirkan di Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 19 Mei 1990 dari pasangan Wahyu Hermawanto dan Reena Maryani.

Penulis menyelesaikan masa sekolah TK Al-Huda tahun 1996, SD Bani Saleh 1 Bekasi tahun 2002, dan SMPN 1 Bekasi tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Bani Saleh Bekasi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) untuk jurusan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Atmospheric Boundary Layer (ABL) ... 1

2.1.1 Definisi dan Formasi ... 1

2.1.2 Struktur ... 2

2.1.3 Karakteristik ... 2

2.2 Parameter Atmospheric Boundary Layer (ABL) ... 3

2.2.1 Profil Vertikal Suhu Potensial dan Kelembaban ... 3

2.2.2 Profil Vertikal Kecepatan Angin ... 3

2.2.3 Stabilitas Atmosfer ... 3

2.3 Penelitian Tentang Atmospheric Boundary Layer (ABL) ... 4

2.3.1 Penelitian di O’Neill, Nebraska, US (1953) ... 4

2.3.2 Wangara Experiment, Australia (1967) ... 4

2.3.3 Teluk Benggala (2008) ... 5

2.4 Gambaran Umum Wilayah Kajian ... 5

III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan ... 6

3.2.1 Alat ... 6

3.2.2 Bahan ... 6

3.3 Metode Penelitian ... 7

3.3.1 Penentuan nilai variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter ABL ... 7

3.3.2 Penentuan profil vertikal dari variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter ABL ... 7

3.3.3 Penentuan besarnya ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah kajian ... 8

3.3.4 Penghitungan statistik dari nilai ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT ... 8

3.3.5 Penentuan besarnya intensitas turbulen ... 8

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Vertikal Suhu, Kelembaban, dan Kecepatan Angin ... 8

4.1.1 Wilayah Tropis ... 8

4.1.2 Wilayah Subtropis ... 11

4.2 Perbandingan Profil Vertikal Suhu Potensial Virtual, Kelembaban, dan Kecepatan Angin di Wilayah Tropis dan Subtropis ... 14

4.3 Batas Ketinggian ML, RL, dan TFT ... 15

4.4 Variabilitas Nilai Ketinggian ML, Ketinggian RL, dan TFT ... 16

4.5 Intensitas Turbulen ... 18

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 19

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Lokasi wilayah kajian ... 6

2 Statistik ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah tropis pada tiga

kelas waktu ... 17

3 Statistik ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah subtropis pada

tiga kelas waktu ... 17

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Letak Boundary Layer di Atmosfer ... 2

2 Komponen ABL pada siang hari dan malam hari ... 2

3 Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu potensial

virtual ... 4

4 Profil suhu potensial, kecepatan angin, dan Richardson number di O’Neill,

Nebraska, US pada 7 September 1953 14.35 LST ... 4

5 Variasi diurnal profil suhu potensial (a) pada siang hari; (b) pada malam hari;

dan (c) profil kelembaban spesifik dari penelitian Wangara ... 5

6 Profil vertikal (a) suhu potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q)

yang menunjukkan ketinggian ML dan (b) Bulk-Richardson number (RiB)

yang menunjukkan TFT pada tanggal 27 Desember 2008 Pukul 13:15 LT ... 5

7 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Soekarno-Hatta ... 9

8 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Polonia ... 10

9 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Da Nang ... 11

10 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Perth ... 12

11 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Nanjing ... 13

12 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1

Februari 2012 di Bandara Hakasskaja ... 14

13 Sketsa profil vertikal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan

kecepatan angin (V) di ABL pada siang hari dan malam hari di Bandara

Soekarno-Hatta ... 15

14 Sketsa profil vertikal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan

kecepatan angin (V) di ABL pada siang hari dan malam hari di Bandara Perth... 15

15 Profil vertikal (a) suhu potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q)

sebagai variabel penduga ketinggian ML dan RL; (b) Bulk-Ricahrdson

number (RiB) sebagai variabel penduga TFT di Soekarno-Hatta pada tanggal

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Daftar Istilah ... 22

2 Peta Wilayah Kajian ... 23

3 Profil Vertikal Suhu Potensial Virtual, Kelembaban Spesifik, dan Kecepatan

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atmosfer bumi terdiri dari empat lapisan, yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Troposfer merupakan lapisan yang paling bawah, sehingga troposfer dibatasi langsung oleh permukaan bumi. Di antara permukaan bumi dan atmosfer terdapat suatu lapisan yang disebut boundary layer. Menurut Tucker et al. (2009), Atmospheric Boundary Layer (ABL) atau yang biasa dikenal sebagai Planetary Boundary Layer (PBL) adalah lapisan paling bawah atmosfer yang dicirikan dengan adanya turbulensi yang terbentuk sebagai akibat dari interaksi antara atmosfer dengan permukaan, dalam jangka waktu kurang dari satu hari.

Ketinggian ABL bervariasi terhadap ruang dan waktu, sehingga dalam pendugaan ketinggian ABL digunakan variasi diurnal dari profil vertikal suhu, kelembaban, dan angin. Di daratan, ABL maksimum terjadi pada siang hari karena konveksi maksimum terjadi pada siang hari. Medeiros et al. (2005) menyatakan bahwa variasi ketebalan ABL di lautan cenderung lebih kecil dibandingkan di daratan karena lautan memliki kapasitas panas yang lebih besar dibandingkan daratan, sehingga lautan dapat menyerap sejumlah panas yang besar dengan perubahan suhu yang sangat kecil.

Secara umum, daerah yang beriklim tropis memiliki ABL yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah beriklim subtropis. Hal tersebut terjadi karena pada wilayah tropis mengalami penyinaran matahari maksimum yang kemudian menyebabkan suhu per-mukaan lebih tinggi dibandingkan suhu parsel udara di atasnya, sehingga ABL menjadi lebih tinggi. Tetapi ABL di wilayah subtropis dapat lebih tinggi dibandingkan di wilayah tropis ketika di wilayah subtropis sedang terjadi musim panas, sehingga pada siang hari ketinggiannya dapat mencapai 1 sampai 2 km (Kaimal et al. 1976).

Seibert et al. (2000) dan Affandi (2010) mengemukakan bahwa pendugaan ketinggian ABL sangat penting dalam pendugaan dispersi polutan, kegiatan penerbangan, dan peramalan cuaca pada masa yang akan datang. Selain itu, Thomson dan Fine (2003) juga menyatakan bahwa dengan mengetahui ketinggian ABL maka dapat diketahui proses-proses yang terjadi di lautan, seperti pertukaran udara, produktivitas, dan perubahan iklim jangka panjang, serta proses-proses yang terjadi di

permukaan dan di ABL sehingga dapat dibuat model prediksi yang sesuai.

Pada penelitian ini dilakukan pendugaan ketinggian ABL dari beberapa lokasi wilayah tropis dan subtropis yang ditunjukkan oleh besarnya ketinggian Mixed Layer (ML) pada siang hari dan ketinggian Residual Layer (RL) pada malam hari dengan terlebih dahulu menentukan variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakteristik ABL. Selain itu, juga ditentukan besarnya nilai Turbulent

Flow Thickness (TFT) yang menunjukkan

ketinggian aliran turbulensi serta ditentukan pula besarnya intensitas turbulen yang terjadi pada masing-masing wilayah kajian.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji variabel-variabel meteorologi yang mencirikan karakteristik ABL 2. Membuat profil vertikal dari

variabel-variabel meteorologi yang mencirikan karakteristik ABL

3. Menentukan ketinggian ML, RL, dan TFT pada masing-masing wilayah kajian 4. Membandingkan karakter ABL untuk

wilayah tropis dan subtropis

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Atmospheric Boundary Layer (ABL)

2.1.1 Definisi dan Formasi

Stull (1999) menjelaskan bahwa ABL adalah bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan merespon gaya-gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang. Gaya permukaan yang mempengaruhi ABL antara lain yaitu gaya gesekan antar lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah lapang yang menyebabkan modifikasi aliran. Besarnya ketebalan ABL bervariasi terhadap ruang dan waktu, di mana ketebalannya dapat mencapai ratusan hingga ribuan meter. Secara tidak langsung, ke-seluruhan troposfer dapat berubah dalam merespon gaya-gaya atau karakter permukaan, tetapi respon tersebut relatif lemah di luar batas ABL. Oleh karena itu, kalimat merespon gaya-gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang bukan berarti bahwa ABL akan mencapai keseimbangannya dalam waktu tersebut, tetapi perubahan paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut.

(15)

Turbulensi dihasilkan oleh shear angin dan gaya apung (bouyancy) yang berinteraksi dengan pemanasan permukaan. Apabila permukaan lebih panas dibandingkan dengan udara di atasnya, maka turbulensi yang terjadi akan lebih kuat. Sedangkan apabila per-mukaan lebih dingin dibandingkan udara di atasnya, maka turbulensi akan cenderung melemah (Hoffert dan Sud 1976). Seperti yang ditunjukkan Gambar 1, di atas lapisan ABL udara tidak dipengaruhi oleh turbulensi dan profil suhu sama dengan skenario atmosfer standar, sehingga lapisan ini disebut Free Atmosphere (FA) (Wyngaard 1985).

Gambar 1 Letak Boundary Layer di atmosfer (Modi-fikasi dari Stull 2000).

2.1.2 Struktur

Menurut Stull (2000) seperti yang di-tunjukkan pada Gambar 2, ABL terdiri dari tiga komponen yaitu Mixed Layer (ML) yang terbentuk pada siang hari saat kondisi atmosfer tidak stabil. Sedangkan pada malam hari, terdapat Stable Boundary Layer (SBL) yang terbentuk saat kondisi atmosfer stabil

dan Residual Layer (RL) yang terbentuk saat

kondisi atmosfer netral.

Pada ABL bagian bawah terdapat lapisan yang disebut Surface Layer (SL) dengan ketinggian mencapai 100 meter dari permukaan bumi. Pada lapisan ini gaya gesekan, konduksi panas, dan evaporasi dari permukaan menyebabkan kecepatan angin, suhu, dan kelembaban berubah terhadap ketinggian. Di mana suhu potensial meningkat secara perlahan-lahan terhadap ketinggian dan kelembaban meningkat secara cepat terhadap ketinggian (Gupta 1998). Tetapi pada lapisan SL aliran turbulen relatif konstan terhadap ketinggian, sehingga lapisan ini dapat disebut juga constant flux layer (Stull 2000).

Kaimal et al. (1976) menyatakan bahwa di atas SL terdapat lapisan ML yang terjadi pada siang hari. Pada lapisan ini suhu potensial, kelembaban, dan kecepatan angin cenderung konstan terhadap naiknya ketinggian. Di ML dicirikan dengan adanya turbulensi yang sangat kuat, sehingga lapisan ini sering

disebut juga Convective Boundary Layer (CBL) atau Convective Mixed Layer.

Entrainment Zone (EZ) merupakan lapisan yang sangat stabil dan berada di antara ML dan FA. Pada malam hari, di lapisan EZ tidak terjadi turbulensi, sehingga ketika malam hari lapisan ini disebut juga Capping Inversion (CI) (Sullivan et al. 1998).

Gambar 2 Komponen ABL pada siang hari dan malam hari (Modifikasi dari Stull 1999).

2.1.3 Karakteristik

ABL merupakan lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi antara ABL dan permukaan bumi dapat menyebabkan terjadinya proses-proses unik yang menunjukan karakteristik ABL. Karakteristik ABL tersebut dapat diketahui dari beberapa unsur-unsur meteorologi dan juga kondisi stabilitas atmosfer. Adapun unsur-unsur meteorologi yang mencirikan karakteristik ABL antara lain suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin.

Menurut Arya (2001) pada siang hari, terjadi pemanasan secara terus menerus dan pencampuran termal, sehingga menyebabkan ketebalan ABL meningkat sepanjang hari dan akan mencapai ketebalan maksimum ketika sore hari yang besarnya dapat mencapai 1 km (± 0.2 - 5 km). Selanjutnya saat matahari ter-benam, mulai terjadi pendinginan di daratan yang menyebabkan turbulensi semakin lemah sehingga ketebalan ABL hanya mencapai 100 m (± 20 – 500 m). Oleh karena itu, ketebalan ABL sangat dipengaruhi oleh pemanasan dan pendinginan di permukaan secara diurnal (harian).

(16)

banyak terjadi pemanasan selama siang hari dibandingkan pendinginan pada malam harinya. Oleh karena itu, ketebalan ABL di musim panas akan lebih tinggi. Sebaliknya, saat terjadi musim dingin malam hari akan lebih panjang dibandingkan siang hari, sehingga pendinginan permukaan akan lebih dominan. Oleh karena itu, ketebalan ABL menjadi lebih rendah pada musim dingin (Stull 2000).

2.2 Parameter Atmospheric Boundary Layer (ABL)

2.2.1 Profil Vertikal Suhu Potensial dan Kelembaban

Pemanasan permukaan menyebabkan lapisan thermal naik dari permukaan, sehingga menimbulkan turbulensi. Selain itu, gaya gesek permukaan yang menyebabkan angin dekat permukaan menjadi lebih lambat dibandingkan angin pada lapisan yang lebih tinggi juga dapat menimbulkan turbulensi. Turbulensi dihasilkan dari proses pen-campuran suhu potensial dekat permukaan yang nilainya relatif lebih rendah dengan suhu potensial dari suatu ketinggian yang nilainya lebih tinggi. Oleh karena itu, profil vertikal suhu potensial dapat digunakan untuk mengetahui ketebalan ABL.

Menurut Wallace dan Hobbs (2006) ketika siang hari evaporasi dari permukaan dapat menambahkan kelembaban di ABL. Oleh karena itu, kelembaban spesifik menurun terhadap ketinggian di SL dan ketika ke-lembaban ditambahkan dari permukaan, maka menyebabkan ML lebih lembab dibandingkan lapisan diatasnya yaitu FA dan menurun secara drastis di lapisan CI.

Ketika malam hari, udara lembab sebagian besar berada di bagian tengah dan atas dari ABL. Hal tersebut dapat terjadi karena intensitas turbulensi cenderung melemah. Pendinginan permukaan dapat menyebabkan pembentukan embun atau frost, yang dapat menurunkan kelembaban di lapisan ABL bagian bawah. Tetapi apabila embun atau frost tidak terbentuk maka kelembaban spesifik akan relatif seragam di lapisan ABL bagian tengah dan bawah (Wallace dan Hobbs 2006).

2.2.2 Profil Vertikal Kecepatan Angin Arya (1999) mengemukakan bahwa besar dan arah angin dekat permukaan serta variasinya terhadap ketinggian di ABL dapat terjadi karena turbulensi. Beberapa faktor yang penting dalam menentukan distribusi angin antara lain gradien suhu dan tekanan

horizontal, gesekan permukaan dan ka-rakteristik kekasapan, rotasi bumi, dan stabilitas yang disebabkan oleh siklus diurnal pemanasan dan pendinginan.

Beberapa jam setelah matahari terbit ketinggian ML hanya sebesar 300 m. Pada lapisan ini kecepatan angin cenderung homogen terhadap ketinggian dan akan mendekati nol ketika di permukaan. Pada siang hari saat ML menjadi lebih tebal, kecepatan angin tetap di dekat permukaan dan semakin meningkat dengan bertambahnya ketinggian. Setelah matahari terbenam, intensitas turbulensi berkurang dan gaya gesek permukaan menghasilkan angin yang lebih besar di lapisan bawah (Stull 2000).

2.2.3 Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer adalah kondisi yang menunjukkan kecenderungan parsel udara bergerak secara vertikal (naik atau turun). Stabilitas atmosfer terdiri dari dua macam, yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis. Pada stabilitas statis, dalam penentuan stabilitas atmosfer hanya mempertimbangkan gaya apung (bouyancy force). Sedangkan pada stabilitas dinamis dipertimbangkan pula faktor shear angin (Stull 2000).

Stabilitas statis memiliki tiga kondisi atmosfer, yaitu tidak stabil, netral, dan stabil. Kondisi atmosfer tersebut didasarkan pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian (lapse rate). Lapse rate memiliki tiga kategori, yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate).

Kondisi atmosfer tidak stabil adalah kondisi parsel udara cenderung terus naik atau turun dari posisi awalnya, biasanya terjadi ketika suhu lingkungan lebih cepat dingin dibandingkan suhu parsel atau laju penurunan suhu lingkungan lebih besar dibandingkan laju adiabatik kering (ELR>DALR). Sedangkan kondisi netral adalah kondisi parsel udara tetap pada posisi awalnya, biasanya terjadi ketika laju penurunan suhu parsel sama dengan laju penurunan suhu lingkungan (ELR = DALR).

Kondisi stabil adalah kondisi parsel udara cenderung kembali ke posisi awalnya setelah naik atau turun, biasanya terjadi ketika suhu parsel lebih cepat dingin dibandingkan suhu lingkungannya atau laju penurunan suhu lingkungan lebih kecil dibandingkan laju penurunan adiabatik kering (ELR<DALR).

(17)

pelengkap dari parameter stabilitas statis lokal yang dianggap kurang relevan dalam menggambarkan stabilitas atmosfer. Pada stabilitas statis lokal, stabilitas atmosfer ditunjukkan dengan parameter stabilitas statis (s) yang dirumuskan sebagai berikut :

Dalam menentukan stabilitas atmosfer pada masing-masing lapisan, parsel udara bergerak naik dan turun dari titik asal. Dalam prakteknya, dapat dilihat dari titik maksimum atau minimum suhu potensial virtual. Parsel udara bergerak naik atau turun dari posisi awalnya tergantung pada gaya apung parsel bukan lapse rate lokal. Gaya apung parsel pada setiap ketinggian diketahui dari perbedaan antara suhu potensial virtual parsel dengan suhu potensial virtual lingkungannya pada ketinggian tersebut. Gaya apung parsel udara hangat untuk naik dan gaya apung parsel udara dingin untuk turun. Kemudian parsel udara bergerak dari titik asalnya sampai ketinggian di mana parsel udara tersebut akan

neutrally bouyant (Tvp=Tv). Dengan demikian

stabilitas statis non-lokal dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu unstable, stable, neutral, dan unknown (Arya 1999).

Gambar 3 Karakteristik parameter stabilitas non-lokal berdasarkan suhu potensial virtual (Sumber: Arya 1999).

Stabilitas dinamis dapat ditentukan dengan menggunakan parameter Richardson number (Ri) yang tidak memiliki dimensi. Adapun rumus untuk menghitung Ri yaitu:

[ | | ]

Di mana θv merupakan suhu potensial virtual, U dan V merupakan kecepatan angin, dan g merupakan percepatan gravitasi.

Richardson number (Ri) menunjukkan rasio antara gaya apung dengan shear angin. Menurut Tjernstrom et al. (2008), nilai Ri dapat digunakan untuk mengetahui adanya aliran turbulensi yang terjadi pada suatu lapisan. Apabila Ri bernilai negatif maka turbulensi yang terjadi akan cenderung kuat, sedangkan apabila Ri bernilai negatif maka turbulensi yang terjadi akan melemah.

2.3 Penelitian Tentang Atmospheric Boundary Layer (ABL)

2.3.1 Penelitian di O’Neill, Nebraska, US (1953)

Penelitian mengenai profil vertikal suhu potensial dan kecepatan angin yang digunakan untuk mengidentifikasi ML dilakukan di

O’Neill Nebraska (US) pada tahun 1953.

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa suhu potensial dan kecepatan angin di ML cenderung konstan sampai ketinggian 1000 meter. Sedangkan Richardson number di ML kurang dari critical Richardson number (Ric)

yaitu sebesar 0.25, hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi turbulensi pada lapisan tersebut.

Gambar 4 Profil suhu potensial, kecepatan angin, dan

Richardson number di O’Neill, Nebraska,

US pada 7 September 1953 14.35 LST (Sumber: Benkley dan Schulman 1979).

Ketebalan ABL pada siang hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pemanasan permukaan. Ketebalan ABL maksimum ketika suhu permukaan mencapai maksimum, yaitu saat lapse rate berubah dari super adiabatik menjadi netral. Sedangkan ketika malam hari ABL akan menyusut karena terjadi pendinginan permukaan (Benkley dan Schulman 1979).

2.3.2 Wangara Experiment, Australia (1967)

(18)

hari ke-33 dengan menggunakan radiosonde. Selama pengukuran langit tampak cerah, sangat sedikit terjadi adveksi horizontal panas dan kelembaban, serta tidak ada kejadian yang berarti sepanjang 1000 km. Pada periode ini, permukaan cenderung kering dengan sedikit vegetasi (didominasi oleh rumput-rumput kering, legume, dan cottonbush).

Gambar 5 Variasi diurnal profil suhu potensial (a) pada siang hari; (b) pada malam hari; dan (c) profil kelembaban spesifik dari penelitian Wangara (Sumber: Arya 1999).

Arya (1999) mengemukakan bahwa sesaat setelah matahari terbit, permukaan menjadi hangat dan mulai terjadi transfer panas dari permukaan ke ABL, sehingga beberapa jam setelah matahari terbit ketinggian ABL dapat mencapai maksimum. Sedangkan ketika malam hari, sesaat setelah matahari terbenam, permukaan mulai mendingin dan terjadi transfer panas dari ABL ke permukaan. Oleh karena itu, ABL menjadi semakin dingin seiring dengan bertambahnya waktu, sehingga ketinggian ABL akan mencapai minimum.

Evaporasi dari permukaan menjadi intensif ketika siang hari dan akan semakin berkurang sampai malam hari (Gambar 5c). Dalam menghilangkan evaporasi yang intensif dari permukaan, profil kelembaban spesifik cenderung homogen pada siang hari di ABL, dengan nilai kelembaban spesifik yang berubah seiring dengan perubahan ML.

2.3.3 Teluk Benggala (2008)

Kajian variabilitas spasial dan temporal mengenai profil vertikal ABL di lautan dilakukan di sepanjang Teluk Benggala pada tanggal 26 Desember 2008 sampai 29 Januari 2009, di mana dalam penelitian ini membagi waktu menjadi tiga kelas, yaitu pagi hari (06:00 LT sampai 08:00 LT), siang hari (12:00 LT sampai 15:00 LT), dan malam hari (22:00 LT sampai 02:00 LT).

Gambar 6 Profil vertikal (a) suhu potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q) yang me-nunjukkan ketinggian ML dan (b)

Bulk-Richardson number (RiB) yang

menunjukkan TFT pada tanggal 27 Desember 2008 Pukul 13:15 LT (Sumber: Subrahamanyam et al. 2012).

Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, pada penelitian ini digunakan profil suhu potensial

virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q) untuk

mengidentifikasi ketinggian ML dan diguna-kan pula profil vertikal Bulk-Richardson

Number (RiB) untuk mengidentifikasi

besar-nya TFT. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketinggian ML berkisar antara 450 m sampai 1500 m dengan rata-rata 900 m, sedangkan TFT berkisar antara 125 m sampai 1475 m dengan rata-rata sebesar 581 m (Subrahamanyam et al. 2012).

2.4 Gambaran Umum Wilayah Kajian Dalam penelitian ini wilayah kajian meliputi dua daerah, yaitu daerah tropis dan daerah subtropis. Daerah tropis diwakili oleh tiga stasiun pengamatan yang terdiri dari Bandara Soekarno-Hatta (WIII), Bandara

b

a

(19)

Polonia (WIMM), dan Bandara Da Nang (VVDN). Sedangkan daerah subtropis juga diwakili oleh tiga stasiun pengamatan yaitu Bandara Perth (YPPH), Bandara Nanjing Lukou (ZSNJ), dan Bandara Hakasskaja (29862).

Bandara Soekarno-Hatta terletak di Jakarta dengan ketinggian 8 mdpl. Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya 27.70C dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 75-85%. Suhu rata-rata terendah di Jakarta adalah 230C yang sering terjadi pada bulan Juni sampai bulan September dan suhu rata-rata tertinggi adalah 330C yang sering terjadi pada bulan September dan bulan Agustus (http://www.climatetemp.info/).

Bandara Polonia terletak di Kota Medan dengan ketinggian 25 mdpl. Keadaan Kota Medan memililki suhu udara rata-rata setiap bulannya 26.20C dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 59-69%. Suhu rata-rata-rata-rata terendah adalah 220C yang sering terjadi pada bulan Januari sampai Maret dan bulan Juni sampai Desember, sedangkan suhu rata-rata tertinggi adalah 320C yang sering terjadi pada bulan April sampai bulan Agustus (http://www.climatetemp.info/).

Bandara Da Nang terletak di Kota Da Nang, Vietnam dengan ketinggian 7 mdpl. Kota Da Nang memiliki iklim monsoon tropis yang terdiri dari dua musim, yaitu musim kemarau yang dimulai dari akhir Mei sampai awal September dan musim hujan yang dimulai dari akhir November sampai pertengahan Februari. Suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 260C dan rata-rata kelembaban setiap bulan sebesar 83.4% (http://www.climatetemp.info/).

Bandara Perth terletak di barat Australia dengan ketinggian 60 mdpl. Keadaan Kota Perth memililki suhu udara rata-rata setiap bulannya 18.20C dan kelembaban udara rata-dengan ketinggian 12 mdpl. Wilayah Nanjing memiliki suhu udara rata-rata setiap bulannya mencapai 15.70C dan kelembaban udara rata-rata setiap bulannya berkisar antara 70-80%. Suhu ratarata terendah di Nanjing mencapai -20C pada bulan Januari dan suhu rata-rata tertinggi mencapai 320C yang sering terjadi pada bulan Juli dan bulan Agustus (http://www.climatetemp.info/).

Bandara Hakasskaja terletak di Rusia dengan ketinggian 256 mdpl. Wilayah Rusia mengalami musim dingin yang disertai dengan turunnya salju pada akhir bulan dan Februari. Kelembaban berkisar antara 64-86% (http://www.climatetemp.info/).

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB pada bulan Februari 2012 hingga bulan Juni 2012.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Microsoft Office untuk pengolahan data.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian

Tabel 1 Lokasi wilayah kajian

Wilayah Kode Stasiun Stasiun

Ketinggian Stasiun

(20)

ini adalah data radiosonde pada tanggal 1 Februari 2012 sampai 10 Februari 2012 dari enam stasiun pengamatan. Seperti yang ditunjukkan Tabel 1, terdapat tiga stasiun pengamatan di wilayah tropis yaitu Soekarno-Hatta (WIII), Polonia (WIMM), dan Da Nang (VVDN) dan tiga stasiun pengamatan di wilayah subtropis yaitu Perth (YPPH), Nanjing (ZSNJ), dan Hakasskaja (29862). Data tersebut dapat diunduh dari website WMO yaitu http://weather.uwyo.edu/upperair/ sounding.html sebagai data observasi yang diambil pada pukul 00 dan 12 UTC dan website NOAA yaitu http://ready.arl.noaa. gov.READYamet.php sebagai data prediksi yang diambil pada pukul 03, 06, 09, 15, 18, dan 21 UTC. Data tersebut terdiri dari data tekanan udara (P), ketinggian (Z), suhu udara (T), suhu titik embun (Td), kelembaban relatif (RH), kecepatan angin (M), dan arah angin

(α).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Penentuan nilai variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter ABL

a. Suhu virtual (Tv)

Suhu virtual adalah suhu yang harus dimiliki oleh udara kering agar memiliki kerapatan yang sama dengan udara lembab pada tekanan yang sama (Betts dan Bartlo 1991). Dalam menentukan suhu virtual, maka terlebih dahulu menentukan nilai dari variabel kelembaban, antara lain:

 Tekanan uap jenuh (es) dengan

 Kelembaban spesifik jenuh (qs)

Keterangan :

ɛ = Rd/Rv = 0.622 P = Tekanan udara (mb) (Stull 2000)

 Kelembaban spesifik (q)

(Riegel 1992)

 Suhu virtual (Tv) (Riegel 1992)

b. Suhu potensial virtual (θv)

Suhu potensial virtual merupakan suhu dari suatu parsel udara yang berpindah secara adiabatik pada ketinggian tertentu menuju ke ketinggian 1000 mb (Durre dan Yin 2008). Untuk menentukan suhu potensial virtual dapat digunakan persamaan :

Mixing ratio merupakan rasio antara massa uap air dengan massa udara kering (Riegel 1992).

Keterangan :

q = kelembaban spesifik (Riegel 1992)

d. Parameter stabilitas statis (s)

Parameter stabilitas statis merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi kestabilan atmosfer. Tetapi penggunaan parameter ini kurang mewakili kondisi stabilitas atmosfer, sehingga digunakan parameter stabilitas statis non-lokal untuk mengetahui kestabilan atmosfer (Arya 1999). Untuk menentukan parameter stabilitas statis digunakan persamaan :

(Arya 2001)

e. Bulk-Richardson number (RiB)

Richardson number merupakan rasio antara gaya bouyance (faktor konveksi) dengan shear angin. Nilai Ri digunakan untuk mengetahui turbulensi (Holton 2004).

(Subrahamanyam et al. 2012)

3.3.2 Penentuan profil vertikal dari variabel-variabel meteorologi yang menunjukkan karakter ABL

(21)

kelembaban spesifik, kecepatan angin, dan Bulk-Richardson number yang telah dihitung dapat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

3.3.3 Penentuan besarnya ketinggianML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah kajian

Pendugaan ketinggian ML dan ketinggian RL diketahui dari profil vertikal suhu

potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik

(q). Besarnya nilai θv dan q cenderung konstan

di sepanjang ML dan ketika θv dan q

mencapai kemiringan yang tajam maka menandakan bahwa pada ketinggian tersebut merupakan batas atas dari ML (Nair et al. 2011). Sedangkan pendugaan TFT dapat diketahui dari profil vertikal Bulk-Richardson

Number (RiB). Pada saat nilai RiB dibawah

critical value eqiuvalent (RiC) yang besarnya

0.25 maka alirannya akan turbulen (Arya 2001).

3.3.4 Penghitungan statistik dari nilai ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT

Statistik yang dihitung dalam penelitian ini yaitu menentukan kisaran nilai (range), rata-rata nilai (mean), standar deviasi, dan standar error dari besarnya ketinggian ML, RL, dan TFT.

3.3.5 Penentuan besarnya intensitas turbulen

Intensitas turbulen merupakan rasio antara standar deviasi dari kecepatan angin dengan rata-rata kecepatan angin (Arya 1999).

̅ ̅

Keterangan :

σu : standar deviasi komponen angin zonal

σv : standar deviasi komponen angin

meridional

̅ : rata-rata keccepatan angin (Arya 1999)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Vertikal Suhu, Kelembaban, dan Kecepatan Angin

4.1.1 Wilayah Tropis

Dalam menentukan karakter ABL digunakan profil vertikal variabel-variabel

ABL yaitu suhu potensial virtual (θv),

kelembaban spesifik (q), kecepatan angin (M), dan parameter stabilitas statis (s) yang digunakan sebagai pembanding dari parameter

stabilitas statis non-lokal (θ). Profil vertikal variabel-variabel ABL digunakan untuk menduga besarnya ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT. Adapun dalam menentukan nilai ketinggian ML dan ketinggian RL, profil vertikal variabel yang digunakan adalah suhu

potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik

(q). Sedangkan untuk menentukan nilai TFT digunakan profil vertikal dari variabel

Bulk-Richardson Number (RiB).

Pada penelitian ini pembagian wilayah tropis dan subtropis dilakukan berdasarkan klasifikasi iklim menurut daerah penerimaan radiasi surya, di mana wilayah tropis terletak di lintang 23.50LU-23.50LS dan wilayah subtropis terletak di lintang 23.50LU-66.50LU dan 23.50LS-66.50LS. Terdapat tiga lokasi wilayah tropis yang dikaji, yaitu Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Polonia, dan Bandara Da Nang. Bandara Soekarno-Hatta terletak di Jakarta pada 6.110LS dan 106.650BT dengan ketinggian stasiun pengamatan sebesar 8 mdpl untuk WMO dan 91 mdpl untuk NOAA.

Suhu potensial virtual merupakan suhu dari suatu parsel udara yang berpindah secara adiabatik pada ketinggian tertentu menuju ke ketinggian 1000 mb (Durre dan Yin 2008). Karakter suhu potensial virtual di Bandara Soekarno-Hatta pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari dan malam hari. Pola tersebut mengindikasikan bahwa ketinggian ABL paling besar terjadi pada siang hari dan akan semakin menurun pada pagi hari dan sore hari, kemudian mencapai minimum pada malam hari. Ketika siang hari suhu udara dekat permukaan maksimum, sehingga gaya apung yang terjadi akan maksimum pula (konveksi maksimum). Jadi semakin tinggi suhu permukaan, gaya apung akan semakin kuat, sehingga ABL semakin tinggi.

Kelembaban spesifik merupakan per-bandingan antara massa uap air dengan total massa udara yang ada di dalam atmosfer. Kelembaban spesifik di Soekarno-Hatta pada siang hari akan maksimum di dekat permukaan dan terus menurun pada lapisan SL, kemudian ketika memasuki lapisan ML, kelembaban akan cenderung homogen dan menurun secara drastis sampai mendekati nol saat memasuki FA. Sedangkan pada malam hari, permukaan mengalami pendinginan sehingga kelembaban pada malam hari cenderung lebih rendah.

(22)

Gambar 7 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Soekarno-Hatta.

Bandara Soekarno-Hatta secara vertikal, naik secara tajam pada lapisan SL dan semakin turun pada lapisan ML hingga mencapai FA. Kecepatan angin pada malam hari lebih besar dibandingkan pada siang hari, hal ini terjadi karena pengaruh turbulensi yang kuat pada siang hari. Sedangkan pada malam hari turbulensi mulai melemah, sehingga aliran angin cenderung laminar dengan kecepatan angin yang lebih kuat dibandingkan pada siang hari.

Variabel Bulk-Richardson number (RiB)

merupakan rasio antara faktor konveksi (bouyance force) dan faktor shear angin. RiB

merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya turbulensi. Jika ABL dalam kondisi unstable dan RiB<0,

maka turbulensi sangat kuat. Sedangkan apabila ABL dalam kondisi stable dan RiB>0,

maka turbulensi akan menghilang. Berdasarkan parameter stabilitas statis (s), stabilitas dinamis (RiB), dan stabilitas

non-lokal diketahui bahwa di Bandara Soekarno-Hatta pada siang hari kondisi atmosfer tidak

stabil yang diikuti dengan nilai RiB kurang

dari nol, sehingga terjadi turbulensi yang kuat. Sedangkan pada malam hari kondisi atmosfernya stabil yang diikuti dengan nilai RiB lebih besar dari nol, sehingga tidak terjadi

turbulensi pada malam hari.

(23)

Gambar 8 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Polonia.

Profil vertikal variabel kecepatan angin karakternya hampir sama dengan Bandara Soekarno-Hatta. Alirannya laminar pada malam hari dan pada siang hari terjadi turbulensi dengan kecepatan angin yang relatif kecil. Secara diurnal, kecepatan angin di Bandara Polonia lebih kecil dibandingkan di Bandara Soekarno-Hatta. Kondisi stabilitas atmosfer di Bandara Polonia tidak stabil pada siang hari dan stabil pada malam hari.

Bandara Da Nang terletak di sebelah barat Kota Da Nang, Vietnam yang berbatasan dengan Teluk Da Nang. Secara geografis Bandara Da Nang terletak pada 16.030LU dan 108.200BT dengan ketinggian stasiun peng-amatan 7 mdpl untuk WMO dan 255 mdpl untuk NOAA. Secara umum, Da Nang terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan yang terjadi pada bulan November sampai April dan musim kemarau yang terjadi pada bulan Mei sampai Oktober.

Profil suhu potensial virtual di Bandara Da Nang secara diurnal lebih kecil dibandingkan Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Polonia.

Hal tersebut disebabkan karena pada bulan Februari di wilayah Da Nang sedang terjadi musim hujan, sehingga suhu udara lebih rendah dan menyebabkan suhu potensial virtual juga rendah.

Sedangkan untuk variabel kelembaban spesifik di Bandara Da Nang secara diurnal lebih rendah dibandingkan dengan Bandara Soekarno-Hatta dan Polonia. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya evapo-transpirasi yang terjadi di wilayah tersebut. Sedangkan profil kecepatan angin secara vertikal terlihat bahwa kecepatan angin semakin besar dengan bertambahnya ke-tinggian.

(24)

Gambar 9 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Da Nang.

4.1.2 Wilayah Subtropis

Pada penelitian ini terdapat tiga lokasi wilayah subtropis yang dikaji, yaitu Bandara Perth, Bandara Nanjing, dan Bandara Hakasskaja. Bandara Perth terletak di barat Australia pada 31.930LS dan 115.960BT dengan ketinggian stasiun pengamatan 60 mdpl untuk WMO dan 155 mdpl untuk NOAA. Perth mengalami musim panas pada bulan Desember sampai Februari, yang dilanjutkan dengan musim gugur pada bulan Maret sampai Mei, musim dingin pada bulan Juni sampai September, dan musim semi pada bulan September sampai November. Secara diurnal, karakter suhu potensial virtual di Bandara Perth cenderung homogen pada malam hari dan siang hari dengan suhu potensial virtual semakin meningkat terhadap ketinggian. Besarnya suhu potensial virtual di Bandara Perth cukup tinggi. Hal ini terjadi karena saat bulan Februari di wilayah Perth sedang terjadi musim panas, sehingga suhu udaranya menjadi lebih tinggi dan

menyebabkan suhu potensial virtual yang tinggi pula.

Profil vertikal kelembaban spesifik di Bandara Perth memiliki pola yang sangat jelas, di mana kelembaban besar di dekat permukaan dan semakin menurun terhadap ketinggian di lapisan SL. Di lapisan ML kelembaban spesifik cenderung konstan kemudian semakin menurun pada siang hari dan malam hari di FA. Berdasarkan profil vertikal yang dibuat, pada pukul 23.00 nilai kelembaban masih cukup besar. Sedangkan berdasarkan teori yang ada kelembaban di SL saat malam hari pada umumnya rendah. Hal tersebut disebabkan karena terjadi pemanasan yang cukup tinggi pada saat siang harinya sehingga pada malam hari evaporasi masih terjadi.

(25)

Gambar 10 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Perth.

intensif, sehingga profil vertikal kecepatan angin menjadi lebih bervariasi. Hal ini disebabkan oleh kekasapan permukaan, sehingga gaya gesek udara menjadi besar yang menyebabkan aliran angin lebih bervariasi (acak/tidak beraturan). Sedangkan kecepatan angin pada malam hari besar karena turbulensi mulai melemah, sehingga aliran angin cenderung laminar dengan kecepatan angin yang lebih kuat dibandingkan pada siang hari. Secara horizontal kecepatan angin di Bandara Perth cukup tinggi. Kondisi stabilitas atmosfer di Bandara Perth pada siang hari tidak stabil dan menjadi stabil ketika malam hari.

Bandara Nanjing Lukou terletak di Kota Nanjing, Jiangsu, Cina. Secara geografis Bandara Nanjing terletak pada 32.000LU dan 118.800BT dengan ketinggian stasiun pengamatan 7 mdpl untuk WMO dan 39 mdpl untuk NOAA. Di Nanjing terjadi musim semi pada bulan Maret sampai Juni, musim panas pada bulan Juli sampai September, musim gugur pada bulan Oktober sampai pertengahan

Desember, dan musim dingin pada bulan Desember sampai Februari. Suhu potensial virtual di Bandara Nanjing secara horizontal lebih rendah dibandingkan di bandara-bandara sebelumnya, hal ini disebabkan karena pada bulan Februari di wilayah Nanjing sedang terjadi musim dingin. Selama musim dingin, pendinginan pada malam hari lebih lama dibandingkan pemanasan pada siang hari, sehingga suhunya semakin menurun dari pagi hari sampai malam hari. Profil vertikal suhu potensial virtual di Bandara Nanjing secara umum polanya hampir sama dengan bandara-bandara sebelumnya.

(26)

Gambar 11 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Nanjing.

saat menjelang malam hari. Kondisi atmosfer di Bandara Nanjing tidak stabil pada siang hari dan stabil pada malam hari.

Hakasskaja terletak di Rusia pada 43.780LU dan 87.620BT dengan ketinggian stasiun pengamatan sebesar 256 mdpl untuk WMO dan 521 mdpl untuk NOAA. Rusia mengalami musim dingin pada bulan November sampai April. Secara diurnal karakter suhu potensial virtual di Bandara Hakasskaja sangat kecil dibandingkan kelima bandara lainnya. Hal tersebut terjadi karena pada bulan Februari di Hakasskaja sedang terjadi musim dingin yang disertai dengan turunnya salju, sehingga suhu udara lebih rendah dan menyebabkan suhu potensial virtual yang rendah pula.

Begitu juga dengan profil kelembaban spesifik yang memiliki nilai paling kecil dibandingkan kelima bandara lainnya. Hal tersebut terlihat dari nilai kelembaban spesifik yang selalu kurang dari 5 g/kg baik pada pagi hari, siang hari, maupun malam hari. Salah

satu penyebab rendahnya kelembaban spesifik di Bandara Hakasskaja yaitu karena pada bulan Februari di Hakasskaja sedang terjadi musim dingin yang disertai dengan turunnya salju. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya evaporasi sangatlah kecil. Sedangkan untuk variasi kelembaban spesifik di Bandara Hakasskaja secara diurnal juga memiliki variasi yang kecil.

(27)

Gambar 12 Profil vertikal diurnal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (M) pada pagi hari, siang hari, dan malam hari tanggal 1 Februari 2012 di Bandara Hakasskaja.

4.2 Perbandingan Profil Vertikal Suhu Potensial Virtual, Kelembaban, dan Kecepatan Angin di Wilayah Tropis dan Subtropis

Profil vertikal suhu potensial virtual, kelembaban, dan kecepatan angin di Bandara Soekarno-Hatta, Polonia, Da Nang, Perth, Nanjing, dan Hakasskaja digunakan untuk membandingkan karakter ABL di wilayah tropis dan subtropis. Salah satu karakter ABL yang penting yaitu ketebalan ABL. Pada siang hari ABL lebih tebal dibandingkan pada malam hari, hal ini disebabkan penyinaran matahari yang intensif pada siang hari menyebabkan pemanasan permukaan menjadi maksimum. Besar kecilnya ketebalan ABL tergantung dari faktor konveksinya (gaya apung). Adapun besarnya gaya apung ter-gantung dari selisih antara energi yang terkandung di permukaan dan parsel udara di atasnya. Di mana apabila suhu permukaan semakin tinggi, maka selisihnya akan semakin besar, sehingga gaya apungnya juga akan

semakin besar. Hal itulah yang menyebabkan semakin tebalnya ABL di suatu wilayah. Pada malam hari, tidak terjadi pemanasan, sehingga suhu permukaan lebih rendah dibandingkan suhu udara di atasnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya inversi (pola suhu semakin meningkat dengan bertambahnya ketinggian) pada lapisan SL dan kondisi atmosfer menjadi stabil. Pada kondisi atmosfer yang stabil, gaya apung tidak terjadi maka ketebalan ABL akan menurun pada malam hari.

(28)

evapotranspirasi, sehingga udara lembab berada di bagian tengah dan atas ABL.

Gambar 13 Sketsa profil vertikal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (V) di ABL pada siang hari dan malam hari di Bandara Soekarno-Hatta.

Gambar 14 Sketsa profil vertikal suhu potensial virtual (θv), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (V) di ABL pada siang hari dan malam hari di Bandara Perth.

Profil kecepatan angin di wilayah tropis dan subtropis sesuai dengan Wallace dan Hobbs (2006) yaitu pola kecepatan angin naik secara tajam pada lapisan SL dan semakin

menurun sampai lapisan FA. Sesaat setelah matahari terbenam, intensitas turbulensi ber-kurang yang diikuti dengan gaya gesekan pada permukaan yang menyebabkan ke-cepatan angin di permukaan menjadi rendah kemudian akan semakin meningkat sampai malam hari dan alirannya menjadi laminar. Saat menjelang pagi hari, kecepatan anginnya menurun dan mencapai nilai minimum pada pagi hari dan menjelang siang hari kecepatan anginnya mulai naik lagi hingga sore hari yang disertai dengan terjadinya turbulensi yang kuat.

Profil vertikal suhu potensial virtual dan kelembaban spesifik yang terdapat pada wilayah tropis yang diwakili oleh Bandara Soekarno-Hatta dan wilayah subtropis yang diwakili oleh Bandara Perth (Gambar 13 dan Gambar 14) memiliki pola yang mirip dengan hasil dari penelitian Wangara (Arya 1999). Sesaat setelah matahari terbit, permukaan mulai memanas dan terjadi transfer panas dari permukaan ke ABL, sehingga suhu potensial virtual pada pagi hari rendah dan semakin meningkat pada siang hari. Ketika malam hari, permukaan mengalami pendinginan dan terjadi transfer panas dari ABL ke permukaan, sehingga suhu potensial virtual lebih rendah. Sedangkan untuk profil vertikal kelembaban spesifik akan semakin meningkat pada siang hari, karena terjadi evaporasi yang tinggi dan kelembaban akan semakin menurun sampai malam hari. Dari kedua wilayah kajian (tropis dan subtropis) terlihat bahwa pada wilayah subtropis polanya lebih jelas dibandingkan di wilayah tropis.

4.3 Batas Ketinggian ML, RL, dan TFT Seibert et al. (2000) menjelaskan bahwa profil suhu dan kecepatan angin yang didapatkan dari radiosonde di troposfer bagian bawah sering digunakan untuk estimasi ketinggian ML secara subjektif. Ketinggian ML adalah ketinggian di mana terjadi pencampuran polutan ataupun gas-gas yang tersebar secara vertikal akibat dari konveksi dan turbulensi yang dapat terbentuk dalam skala waktu satu jam.

Pada umumnya, profil vertikal suhu

potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik

(q) dapat digunakan untuk menentukan batas atas dari ML (Nair et al. 2011). Besarnya nilai

θv dan q cenderung konstan di sepanjang

lapisan ML dan RL, ketika θv dan q mencapai

(29)

Gambar 15 Profil vertikal (a) suhu potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q) sebagai variabel penduga ketinggian ML dan ketinggian RL; (b) Bulk-Richardson number (RiB) sebagai variabel penduga TFT di Soekarno-Hatta pada tanggal 3 Februari 2012 Pukul 13.00

yang menunjukkan profil vertikal θv dan q,

serta Bulk-Richardson number (RiB).

Gambar 15a menunjukkan bahwa pada siang hari terjadi konveksi maksimum,

sehingga besarnya θv cenderung konstan di

ML. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi pencampuran uap air yang homogen dari permukaan sampai ML dengan ketinggian 1410 m. Sedangkan nilai kelembaban spesifik pada ML tidak menunjukkan variasi yang besar yang berkisar antara 16 g/kg sampai 12 g/kg. Pada ketinggian 1410 m terjadi kemiringan yang cukup signifikan baik pada

profil θv maupun profil q yang menandakan

bahwa terdapat lapisan Stable Inversion Layer. Pada dasarnya pendugaan ketinggian RL sama dengan ketinggian ML, yang membedakan hanya ketinggian ML digunakan untuk menduga ABL ketika siang hari sedangkan ketika malam hari, ketinggian ABL diwakili oleh besarnya ketinggian RL.

Besarnya RiB dapat digunakan untuk

membedakan antara aliran yang turbulen dan laminar, di mana RiB merupakan besaran yang

tidak memiliki dimensi yang menunjukkan parameter stabilitas dinamis. Aliran laminar akan menjadi turbulen ketika nilai RiB

dibawah critical value eqiuvalent (RiC) yang

besarnya 0.25. Aliran turbulen akan tetap turbulen ketika RiB=1, tetapi akan menjadi

laminar saat RiB lebih besar dari 1 (Arya

2001). Berdasarkan Gambar 15b diketahui

bahwa aliran turbulen terjadi dari permukaan sampai ketinggian 205 m, di mana di sepanjang lapisan tersebut besarnya RiB

kurang dari 0.25. Di atas 205 m alirannya menjadi laminar. Lapisan dari permukaan sampai ketinggian 205 m disebut juga TFT. Berdasarkan hasil penentuan besarnya ke-tinggian ML dan TFT, maka dapat disim-pulkan bahwa proses pencampuran terjadi di sepanjang lapisan ML dengan ketinggian 1410 m, dengan aliran turbulen hanya terjadi dari permukaan sampai ketinggian 205 m.

4.4 Variabilitas Nilai Ketinggian ML, Ketinggian RL, dan TFT

Untuk menentukan variabilitas harian dari ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT, diwakili oleh ketinggian ML, ketebalan ABL pada malam hari diwakili oleh ketinggian RL, dan ketinggian aliran turbulensi yang diwakili oleh nilai TFT pada wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

(30)

situasinya sudah lebih kompleks. Ketinggian ML semakin meningkat secara perlahan-lahan pada pagi hari karena masih ada lapisan SBL pada malam sebelumnya yang menutupi lapisan ML yang baru tumbuh. Saat menjelang siang hari, udara yang berada di lapisan RL menjadi lebih panas, sehingga batas atas ML berkembang sampai ke dasar RL. Sejak saat itulah lapisan SBL sudah tidak ada lagi.

Ketika udara panas (thermal) sudah mencapai lapisan CI yang merupakan puncak dari lapisan RL terjadi gerak vertikal sehingga ML menurun secara cepat. Kemudian ML akan cenderung konstan pada siang hari dan akan mencapai maksimum saat menjelang

sore hari. Pada malam hari, terjadi pen-dinginan permukaan sehingga ML mulai menipis yang kemudian berubah menjadi SBL yang terjadi ketika kondisi atmosfer stabil. Dan di atas lapisan SBL terdapat lapisan RL yang tidak terpengaruh oleh pendinginan permukaan, oleh karena itu pada lapisan RL suhunya tetap adiabatic lapse rate yang berasal dari lapisan ML pada siang harinya.

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3, pada siang hari ABL lebih tebal dibandingkan pada malam hari dan pagi hari. Hal ini karena pada siang hari terjadi penyinaran radiasi matahari yang intensif, sehingga menyebabkan pe-manasan maksimum. Besarnya ketinggian ML tergantung pada beberapa faktor, antara lain

Tabel 2 Statistik ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah tropis pada tiga kelas waktu

Tropis Soekarno-Hatta Polonia Da Nang Kelas ML/RL (m) TFT (m) ML/RL (m) TFT (m) ML/RL (m) TFT (m)

Tabel 3 Statistik ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di wilayah subtropis pada tiga kelas waktu

(31)

konveksi termal, turbulensi, penutupan awan, dan pemanasan permukaan. Di daerah tropis ketinggian ML berkisar antara 260 m sampai 1410 m dan ketinggian RL berkisar antara 260 m sampai 925 m. Sedangkan di daerah subtropis ketinggian ML berkisar antara 100 m sampai 1490 m dan ketinggian RL berkisar antara 120 m sampai 1280 m. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stull (1999) bahwa ketinggian Mixed Layer di midlatitude dapat mencapai 1-2 km.

Dari hasil perhitungan ketinggian ML dan ketinggian RL pada masing-masing wilayah kajian diperoleh nilai yang hampir sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di Teluk Benggala di mana ketinggian ML dan ketinggian RL pada pagi hari, siang hari, dan malam hari berkisar antara 450-1500 m (Subrahamanyam et al. 2012).

Pada tiga stasiun pengamatan di wilayah subtropis, Bandara Perth memiliki ketinggian ML dan ketinggian RL yang paling besar dibandingkan Nanjing dan Hakasskaja. Hal tersebut dikarenakan pada bulan Februari di wilayah Perth sedang terjadi musim panas, sedangkan di wilayah Nanjing dan Hakasskaja sedang terjadi musim dingin. Seperti yang diketahui besarnya ketinggian ML dan ketinggian RL tergantung dari pemanasan permukaan, karena pada musim panas siang harinya lebih panjang daripada malam hari, sehingga ketinggian ML menjadi lebih besar. Kemudian ketika malam hari, permukaan masih menyimpan panas sehingga ketinggian RL juga lebih tinggi. Sedangkan pada musim dingin, siang hari lebih pendek dibandingkan dengan malam hari, maka ketinggian ML dan ketinggian RL akan lebih tipis. Adapun di daerah tropis rata-rata ketinggian ML dan ketinggian RL terbesar terjadi di Bandara Soekarno-Hatta. Hal tersebut terjadi karena cuaca di Bandara Soekarno-Hatta cenderung lebih panas dibandingkan Bandara Polonia dan Da Nang.

Turbulensi merupakan suatu aliran yang terjadi di ABL yang tidak beraturan dan memiliki karakter tiga dimensi. Turbulensi berperan penting dalam proses pertukaran momentum, massa, dan panas di sepanjang lapisan ABL. Turbulensi dipengaruhi oleh profil kecepatan angin dan biasanya terjadi di lapisan ML. Dalam mengidentifikasi aliran turbulensi dapat digunakan parameter

Bulk-Richardson number (RiB). Di dekat

permukaan, turbulensi menguat pada saat lapse rate dan akan melemah saat inversi. Besarnya TFT di daerah tropis berkisar antara 0 m sampai 335 m dengan rata-rata TFT

terbesar terdapat di Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan besarnya TFT di daerah subtropis berkisar antara 0 m sampai 770 m dengan rata-rata TFT terbesar terdapat di Bandara Perth. Hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian di Teluk Benggala di mana TFT berkisar antara 125 sampai 1475 m (Subrahamanyam et al. 2012).

Untuk observasi dalam jangka waktu yang pendek dan pada tempat yang terpisah-pisah, aliran turbulen sulit untuk dijelaskan karena turbulensi memiliki frekuensi waktu yang lebih besar dibandingkan frekuensi observasi. Selain itu, wilayah cakupan dari aliran turbulensi itu sendiri lebih kecil dibandingkan dengan wilayah cakupan ketika observasi. Di atas ABL terdapat lapisan FA yang tidak mengalami turbulensi.

Nilai standar deviasi menunjukkan besarnya penyimpangan nilai data tersebut dari nilai rata-ratanya. Semakin besar nilai standar deviasinya, maka semakin besar pula variasi datanya. Dari enam wilayah kajian yang dibahas dalam penelitian ini, Bandara Perth memiliki nilai standar deviasi yang terbesar. Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi nilai ketinggian ML, ketinggian RL, dan TFT di Bandara Perth lebih besar dibandingkan lima bandara lainnya.

Standar error menggambarkan variasi pada penduga nilai rata-rata, sehingga dapat diketahui besarnya nilai rata-rata yang bervariasi dari satu sampel ke sampel lainnya. Standard error mean dapat dihitung dari rasio antara standar deviasi dengan akar dari jumlah data sampel. Jadi nilai standar error akan turun apabila ukuran sampel diperbanyak dan standar deviasi sampel dikurangi. Secara keseluruhan, standar error tertinggi terdapat di Bandara Perth.

4.5 Intensitas Turbulen

Intensitas turbulen dapat diperoleh dari rasio antara standar deviasi dari kecepatan angin dengan rata-rata kecepatan angin. Besarnya intensitas turbulen menunjukkan kekuatan turbulen yang terjadi di ABL. Adapun intensitas turbulen pada wilayah kajian disajikan pada Tabel 4.

(32)

tertinggi untuk komponen angin meridional terdapat di Polonia.

Tabel 4 Besarnya intensitas turbulen pada masing-masing wilayah kajian

Ketika malam hari, turbulensi yang terjadi pada enam wilayah kajian sangat lemah atau bahkan hampir tidak ada. Menurut Salmond dan McKendry (2005) hal tersebut dapat terjadi karena shear angin yang terjadi di dekat permukaan menghasilkan gaya gesekan yang besarnya hampir sama dengan kondisi lingkungannya, sehingga turbulensi yang terjadi pada lapisan Nocturnal Boundary Layer (NBL) lemah.

Perubahan stabilitas atmosfer di ABL juga dapat mempengaruhi besar variasi intensitas turbulen. Pada siang hari, kondisi atmosfer tidak stabil, sehingga udara akan lebih mudah terangkat ke atas. Selain itu, ketika siang hari turbulensi sangat kuat, sehingga terjadi pencampuran udara di permukaan dengan udara di atasnya secara intensif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Friedrich et al. (2011) yaitu ketika kondisi atmosfer tidak stabil dengan nilai Richardson number negatif, maka intensitas turbulen akan besar. Dan sebaliknya ketika kondisi atmosfer stabil maka turbulensi akan lemah atau bahkan tidak ada.

Secara keseluruhan, intensitas turbulen di enam wilayah kajian hampir sama, yaitu rata-rata sebesar 0.3 sampai 0.4. Di mana intensitas turbulen terbesar terjadi di Polonia dan Hakasskaja. Besarnya intensitas turbulen rata-rata lebih besar dari 0.1 yang mengindikasikan bahwa turbulensi yang terjadi sangat kuat. Sedangkan apabila besarnya intensitas turbulen kurang dari 0.01 dapat dikatakan bahwa turbulensi yang terjadi lemah (Fluent Inc. 2003).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Salah satu karakter ABL yang penting adalah ketebalan ABL. Dalam menentukan ketebalan ABL digunakan profil vertikal

diurnal dan nokturnal dari variabel-variabel meteorologi yaitu suhu potensial virtual, kelembaban spesifik, kecepatan dan arah angin, Bulk-Richardson number, dan stabilitas atmosfer. Di wilayah tropis ketinggian ML berkisar antara 260 m sampai 1410 m, ketinggian RL berkisar antara 267 m sampai 925 m, dan TFT berkisar antara 0 m sampai 335 m. Ketinggian ML, RL, dan TFT tertinggi terdapat di Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan di wilayah subtropis ketinggian ML berkisar antara 101 m sampai 1483 m, ketinggian RL berkisar antara 121 m sampai 1276 m, dan TFT berkisar antara 0 m sampai 769 m. Ketinggian ML, RL, dan TFT tertinggi terdapat di Bandara Perth.

Pada umumnya ketebalan ABL di daerah tropis lebih besar dibandingkan di daerah subtropis, tetapi ketebalan ABL di daerah subtropis dapat lebih besar dibandingkan di daerah tropis apabila di daerah subtropis sedang terjadi musim panas. Kondisi ML, RL, dan TFT di wilayah kajian dipengaruhi oleh perbedaan gradien tekanan antara permukaan dan udara di atasnya, perbedaan suhu udara permukaan dengan suhu dari parsel udara di atasnya, kelembaban udara, dan faktor shear angin. Secara keseluruhan besarnya intensitas turbulen di wilayah tropis dan subtropis hampir sama, di mana aliran turbulen intensif pada siang hari.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengamatan pada wilayah kajian yang lebih banyak dan juga dalam jangka waktu yang lebih panjang, sehingga didapatkan pola ABL dalam dua musim untuk daerah tropis dan empat musim untuk daerah subtropis.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R. 2010. Studi Sensitifitas Skema Lapisan Batas Planer Dalam Simulasi Parameter Angin (Studi Kasus Wilayah Pantai Utara Papua). Megasains 1(4):230-238.

Arya PS. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. New York: Oxford University Press.

Arya PS. 2001. Introduction to Micrometeorology. Second Edition. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press, Inc.

Gambar

Gambar 1 Letak Boundary Layer di atmosfer (Modi-
Gambar 4 Profil suhu potensial, kecepatan angin, dan
Gambar 6 Profil vertikal (a) suhu potensial virtual (θv) dan kelembaban spesifik (q) yang me-
Tabel 1  Lokasi wilayah kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengguna Anggaran : KEMENTERIAN KESEHATAN RI Satker : Politeknik Kesehatan

Tujuan utama dari penelitian adalah melakukan kajian evaluasi analisa dimensi saluran primer eksisting Daerah Irigasi Sungai Tanang, Kabupaten Kampar dalam upaya mendukung

belajarnya menjadi lebih besar, sebaliknya siswa yang mendapat angka kurang, mungkin menimbulkan frustasi atau juga menjadi pendorong agar belajar lebih baik; (2)

A cornerstone of the Sustainability Roadmap is APP’s operation-wide High Conservation Value Forest (HCVF) assessment process.. The independent assessments for APP’s suppliers

Berdasarkan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran dan Evaluasi Dokumen Kualifikasi dengan ini POKJA II Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Bangka Tengah mengundang Saudara

Sehubungan dengan evaluasi seleksi umum pekerjaan Jasa Konsultansi Pembuatan Agenda Harian Pimpinan DPRD Kota Medan pada Sekretariat DPRD Kota Medan T.A 2017, maka dengan

[r]

Menurut Paulina (2003), Prinsip adalah sesuatu yang dipegang sebagai panutan yang utama dan menjadi dasar dalam upaya pembelajaran, baik bagi siswa maupun bagi guru dalam