• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN

AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN

PERAIRAN SELAT MAKASSAR

DWI FAJRIYATI INAKU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Selat Makassar” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(3)

ABSTRACT

DWI FAJRIYATI INAKU. Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait. Supervised by DJISMAN MANURUNG and I WAYAN NURJAYA.

Waters of the southearn of Makassar Strait is a region which relatively rich of organic matter because the phenomenon of upwelling along the south east monsoon. The purpose of this research was to analyze the distribution patterns and the development of upwelling areas in the southern of Makassar Strait. This study used chlorophyll-a data and sea surface temperature from level 1 of Modis image for two years (2009 and 2010). The result showed that phenomenon of upwelling that occurs in the southern Makassar Strait appears since early June, the strongest upwelling in August and disapear in October. The upwelling was indicated by declining of sea surface temperature and increasing of chlorophyll-a concentration. Analysis of wind direction and speed indicate that the upwelling occurs in the southern Makassar strait spread to southwest with and estimated upwelling area around 46000 km2.

(4)

RINGKASAN

DWI FAJRIYATI INAKU. Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Perairan Selat Makassar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG dan I WAYAN NURJAYA.

Perairan bagian selatan Selat Makassar merupakan kawasan yang relatif subur bila dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Suburnya perairan Selat Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi karena adanya penaikan massa air (upwelling) di Selat Makassar. Upwelling itu sendiri mempengaruhi tingkat produktifitas primer di perairan termasuk di perairan Selat Makassar. Namun, seberapa luas penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di perairan Selat Makassar pada musim timur ini belum dikaji lebih lanjut dan mendetail.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran dan pergerakan area upwelling di bagian selatan Selat MakassarPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011dengan lokasi penelitian berada di bagian selatan perairan Selat Makassar. . Penelitian ini menggunakan data klorofil dan suhu permukaan laut (SPL) dari citra Modis level 1 untuk periode tahun 2009 dan 2010 yang didukung dengan data oseanografi dan meteorologi perairan Selat Makasssar.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena upwelling yang terjadi di Selat Makassar untuk tahun 2009 dan 2010 mulai terlihat pada awal bulan Juni yang ditandai dengan menurunnya nilai SPL dan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada bagian selatan perairan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau Sulawesi. Fenomena memuncaknya upwelling ini terlihat pada periode bulan Agustus yang ditunjukkan dengan meluasnya daerah sebaran upwelling. Perkembangan dari upwelling mulai terlihat melemah sejak bulan September dan kemudian berakhir pada bulan Oktober yang ditunjukan dengan naiknya SPL dan menurunnya tingkat konsentrasi klorofil-a. Analisis lapisan termoklin di lokasi terjadinya upwelling menunjukkan bahwa terjadi perubahan lapisan termoklin akibat adanya pengangkatan massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas yang membuktikan bahwa bagian selatan Selat Makassar benar terjadi fenomena upwelling. Analisis arah dan kecepatan pergerakan angin menunjukkan bahwa upwelling yang terjadi di bagian selatan Selat Makassar menyebar ke arah barat daya Selat Makassar dengan estimasi daerah luasan upwelling mencapai ± 46000km2.

(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN

AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN

PERAIRAN SELAT MAKASSAR

DWI FAJRIYATI INAKU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat, berkah

dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul

“Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di bagian selatan

Perairan Selat Makassar”.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada

Mayor Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Segala upaya telah dilakukan demi tersusunnya tesis ini namun mengingat

keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka penyusunan tesis ini tentulah

tidak dapat mencapai titik kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat

diharapkan guna perbaikan lebih lanjut.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tesis ini,

walaupun disajikan dalam bentuk yang sederhana namun penulis berharap semoga

tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2011

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas

bimbingan dan saran yang diberikan selama masa penelitian dan penulisan

tesis ini.

2. Dr.Ir.Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai penguji tamu atas masukan dan

sarannya bagi perbaikan tesis ini.

3. Pimpinan dan Staff Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional

(LAPAN) Stasiun Parepare Sulawesi Selatan yang telah membantu dan

memberikan kemudahan selama pengambilan data.

4. Kedua orang tua, Ayahanda Yasin Inaku dan Ibunda Tuti Nusa atas segala

doa, kasih sayang, dan motivasi yang tak pernah putus hingga detik ini.

5. Beloved sister, Mulyati Inaku beserta kakak ipar Suharto Hasan untuk

cinta, doa, dan motivasinya. Buat dua malaikat kecil Nailah Ayesha Hasan

dan Syauqi Raihan Hasan yang selalu memberi warna indah dalam hidup.

6. Adinda tersayang, Awaluddin Inaku untuk hiburan, doa, dan motivasinya.

7. Risma Marwan beserta keluarga yang telah banyak membantu selama

pengambilan data di Kota Parepare.

8. Dr. Nurjannah Nurdin, S.T, M.Si, kakak sekaligus guru buat penulis atas

segala motivasi dan bimbingannya selama penulis menjalankan studi.

9. Gulam Arafat, teman dan sahabat terbaik yang telah begitu banyak

membantu sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

10. Iswara Crew (Rina, Weni, 3 Ratih, Uci, Ulfa, Julia, Meta, Fia, Hesti,

Wulan, Jay, Dinda) untuk semua yang telah diberi dan dibagi selama di

tanah perantauan.

11. Keluarga yang senantiasa hangat hingga saat ini, Bapak Mohammad Noor

dan Ibu Siti Zaenab B. atas segala doa dan dukungannya. Tak lupa, buat

Habil Noor, untuk semua kesabaran, pengertian, doa, dan dukungan yang

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Dili pada tanggal 02 Mei 1987, sebagai anak kedua dari tiga

bersaudara pasangan Bapak Yasin Inaku dan Ibu Tuti Nusa. Pendidikan sekolah

dasar diselesaikan di SDN 35 Kota Utara Gorontalo tahun 1998. Selanjutnya

penulis melanjutkan sekolah ke MTS Al-Huda Gorontalo dan lulus tahun 2001.

Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh hingga tahun 2004 di SMU Insan

Cendekia Gorontalo. Melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun

2004, penulis kemudian melanjutkan pendidikan Strata-1 di Jurusan Ilmu

Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan

lulus pada tahun 2008.

Sejak tahun 2008 penulis sempat terlibat dan aktif membantu sebagai

asisten di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2009, penulis

menempuh program Magister pada program studi Teknologi Kelautan di Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan minat Penginderaan Jauh dan

(12)
(13)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) ... 23

4.1.1 Pola Sebaran SPL dan Klorofil-a Secara Spasial ... 23

4.1.2 Pola Sebaran SPL dan Klorofil-a Secara Temporal ... 26

4.2 Pola Sebaran Klorofil-a ... 27

4.2.1 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Spasial... 27

4.2.2 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Temporal ... 31

4.3 Fluktuasi Upwelling ... 32

4.4 Faktor-faktor yang Menunjukkan Terjadinya Upwelling ... 35

4.4.1 Lapisan Termoklin ... 36

4.4.2 Curah Hujan ... 37

4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Upwelling ... 38

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Simpulan ... 43

5.2. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Spesifikasi kanal-kanal satelit pengamat Bumi MODIS ... 17

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka penelitian ... 4

2. Sirkulasi massa air ... 10

3 Sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) ... 12

4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai ... 13

5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh off shore wind... 14

6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean ... 14

7. Peta lokasi penelitian... 18

8. Diagram alir penelitian ... 22

9. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim barat tahun 2010 ... 23

10. Pola Sebaran SPL secara spasial pada musim peralihan I tahun 2010 ... 24

11. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim timur tahun 2010 ... 25

12. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim peralihan II tahun 2010 ... 25

13. Persentase tingkat penyebaran SPL ... 26

14. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim barat tahun 2010 ... 28

15. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim peralihan I 2010 ... 28

16. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim timur tahun 2010 ... 30

17. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim peralihan II 2010 ... 30

18. Persentase tingkat penyebaran klorofil-a ... 31

19. Fluktuasi upwelling ... 32

20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a tahun 2009 ... 33

21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a tahun 2010 ... 34

22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus ... 34

23. Profil suhu menegak ... 36

24. Jumlah rata-rata curah hujan stasiun Makassar ... 37

25. Pola pergerakan angin pada bulan November-Desember tahun 2010 ... 39

26. Pola pergerakan angin pada bulan Maret-April tahun 2010 ... 39

27. Pola pergerakan angin pada bulan Mei-Agustus tahun 2010 ... 40

28. Pola pergerakan angin pada bulan September-Oktober tahun 2010 ... 41

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pola pergerakan angin tahun 2009 ... 47

2. Pola sebaran suhu permukaan laut tahun 2009 ... 49

3. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a tahun 2009 ... 55

4. Pola sebaran suhu Permukaan laut tahun 2010 ... 61

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian selatan

dengan Laut Jawa dan laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan dengan

Pulau Kalimantan dan bagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya massa air

bersalinitas rendah dari daratan Pulau Kalimantan dan Sulawesi, serta pertukaran

massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui Laut Sulawesi,

Laut Flores dan laut Jawa mempengaruhi tingkat produktivitas primer di perairan

Selat Makassar.

Selat Makassar merupakan perairan yang relatif lebih subur bila

dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Suburnya perairan Selat

Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim

timur. Pada musim barat, tingginya tingkat kesuburan terjadi karena adanya run

off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah

hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi karena

adanya penaikan massa air (upwelling) di Selat Makassar (Illahude, 1978).

Illahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara (Agustus)

upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Terjadinya

upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi, oksigen

relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan homogen.

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengkaji daerah

upwelling di Selat Makassar. Penelitian diawali dengan penelitian berskala in situ

yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wyrtki (1961) dan Illahude (1970)

menunjukkan bahwa terjadi upwelling di bagian selatan perairan Selat Makassar.

Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Afdal (2004) dan Riyono (2006) dengan

menganalisis sebaran klorofil yang dikaitkan dengan kondisi hidrologi perairan

Selat Makassar dan menemukan adanya peningkatan konsentrasi klorofil di lokasi

yang sama. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Munandar (1998) dan

Rosyadi (2011) menggunakan data penginderaan jauh citra NOAA AVHRR dan

(18)

Makassar. Yuwono (2010) dan Rasyid (2010) juga menunjukkan adanya

penampakan tingkat produktifitas yang tinggi di selatan perairan Selat Makassar

dengan menggunakan citra satelit MODIS yang kemudian dihubungkan dengan

hasil tangkapan ikan. Semua penelitian tersebut baik yang berskala in situ maupun

dengan menggunakan teknologi peninderaan jauh menunjukkan terjadinya

upwelling dengan dugaan kehadirannya yang terjadi pada periode-periode tertentu

setiap tahunnya. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat

fenomena ini sebelumnya telah banyak dikaji namun metode yang digunakan

masih terpisah-pisah dengan batasan area upwelling yang belum jelas karena

daerah yang dikaji tentu tidaklah sempit. Oleh karena itu, poin yang kemudian

menjadi penting untuk dikaji adalah bagaimanakah fenomena upwelling beserta

pola sebarannya ini dapat diamati dengan lebih baik secara spasial maupun

temporal di bagian selatan perairan Selat Makassar dengan menggunakan bantuan

teknologi penginderaan jauh. Hasil dari kajian ini nantinya diharapkan dapat

memberikan informasi secara lengkap dan menyeluruh, karena mengingat

upwelling itu sendiri tentunya sangat berkaitan erat dengan tingkat produktifitas

primer yang ada di suatu kawasan termasuk di perairan Selat Makassar.

1.2. Perumusan masalah

Tingkat produktivitas primer yang tinggi di perairan disebabkan oleh

beberapa hal, salah satunya karena adanya pengkayaan yang disebabkan oleh

proses upwelling. Upwelling sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk

peristiwa pengangkatan massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas bahkan ada

yang sampai ke lapisan permukaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

perairan Selat Makassar merupakkan salah satu lokasi potensial terjadinya

upwelling

Illahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara

(Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan.

Terjadinya upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi,

oksigen relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan

homogen. Pada batas atas (lapisan permukaan) efek upwelling tidak begitu jelas.

(19)

plankton dan klorofil-a juga menunjukkan pengaruh pada upwelling terhadap

produktivitas perairan Selat Makassar bagian selatan.

Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton untuk

proses fotosintesis. Klorofil-a juga merupakan salah satu parameter indikator

tingkat kesuburan perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat

dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, suhu, salinitas, nitrat,

dan fosfat (Afdal dan Riyono, 2004). Kandungan nutrien perairan sangat berkaitan

erat dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi kandungan nutrien

perairan maka semakin tinggi juga konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya, di perairan

bebas faktor suhu perairan berhubungan terbalik dengan konsentrasi klorofil-a.

Umumnya pada lokasi upwelling, suhu perairan relatif lebih rendah namun

konsentrasi klorofil-a justru relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah

sekitarnya. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa di pantai barat laut Australia SPL

pada musim barat yaitu 29 0C dan mengalami penurunan menjadi 24 0C pada

musim timur (Juli – Agustus) saat terjadi upwelling.

Adanya perubahan pada beberapa kondisi perairan diantaranya suhu dan

klorofil-a tersebut tentunya dapat dimanfaatkan untuk memantau fenomena

upwelling melalui teknologi penginderaan jauh. Berdasarkan data yang diperoleh

dari teknologi penginderaan jauh ini dapat diketahui nilai sebaran Suhu

Permukaan Laut (SPL) dan konsentasi klorofil-a yang kemudian selanjutnya dapat

digunakan dalam memantau pola sebaran dan perkembangan area upwelling di

bagian selatan perairan Selat Makassar.

1.3. Kerangka pemikiran

Salah satu perairan Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas primer

cukup tinggi sepanjang tahunnya adalah Selat Makassar. Hal itu disebabkan oleh

beberapa faktor, salah satunya yaitu karena adanya fenomena upwelling yang

terjadi di bagian selatan Selat Makassar. Berdasarkan beberapa penelitian,

sebelumnya diketahui bahwa perairan Selat Makassar bagian selatan mengalami

fenomena upwelling pada bulan-bulan tertentu di musim timur. Adanya fenomena

ini tentunya menjadi penting untuk diketahui dengan mengkaji pola penyebaran

upwelling secara spasial maupun temporal di bagian selatan perairan di Selat

(20)

analisis data penginderaan jauh dengan memanfaatkan data sebaran SPL dan

klorofil-a melalui citra MODIS Level 1 yang merupakan data harian dan memiliki

resolusi spasial 1 km. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan data

pendukung berupa data meteorologi dan osenografi bagian selatan perairan Selat

Makassar. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit

dianggap tepat karena dapat menjangkau perairan yang luas secara sinoptik.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.4. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola penyebaran dan

perkembangan area upwelling di bagian selatan perairan Selat Makassar.

1.5. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola

penyebaran dan perkembangan area upwelling di bagian selatan perairan Selat

Makassar.

data pendukung data pendukung Citra Satelit MODIS Perairan Selat Makassar

Data Oseanografi

Analisis pola sebaran dan perkembangan area

(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suhu

Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu

adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang

terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar

matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari

adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila

letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970).

Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor,

diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat,

arus-arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta

pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada

hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh

karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di

daerah-daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999).

Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di

lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan

yang terdiri atas:

a) Lapisan homogen

Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m

dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan

ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur,

lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim

barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari

perairan.

b) Lapisan termoklin

Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas

(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada

lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan

termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m

(22)

termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C

pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.

c) Lapisan dalam

Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya

mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada

daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.

d) Lapisan dasar

Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada

samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai

5000 m.

Kondisi suhu permukaan umumnya dipengaruhi oleh arus permukaan,

penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan

intensitas radiasi matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada

musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar

antara 29-30oC dan di bagian khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28oC. Pada

musim Timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30oC

dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28oC

(Wyrtki, 1961).

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena

mendapat radiasi siang hari. Karena pengaruh angin maka lapisan teratas antara

50–70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 280C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan ini sering disebut lapisan

homogen. Namun, karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa

menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai

kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari

lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat

disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan

adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan

ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).

Illahude (1999) mengemukakan bahwa Suhu Permukaan Laut (SPL) di Selat

Makassar selama musim timur berkisar 28,2-28,7oC dan pada musim barat naik

(23)

pada 60-300 m dengan suhu menurun dari 27,0oC hingga 10,0oC dengan gradien

mencapai 0,7oC/m.

2.2. Klorofil-a

Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu Chloros artinya hijau dan

phyllos artinya daun. Ini diperkenalkan tahun 1818, dimana pigmen tersebut

diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut organik. Hans Fischer

peneliti klorofil yang memperoleh nobel prize winner pada tahun 1915 berasal

dari Technishe Hochschule, Munich Germany.

Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan

bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis

tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia.

Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas yang ditunjukkan dengan

besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan

pelagis. Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi

60% dari produktifitas yang ada di laut.

Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson.

Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari sebaran

konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a

tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi

upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur.

Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di

perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai

konsantrasi nutrien di perairan lebih kecil. Nontji (2005) menyatakan bahwa

konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim

barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Fitoplankton sebagai tumbuhan

yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis

dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara

dan menghasilkan senyawa seperti karbohidrat. Karena adanya kemampuan untuk

membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai

produsen primer. Oleh karena itu kandungan korofil-a dalam perairan merupakan

salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat

(24)

Laju produktifitas primer lingkungan laut ditentukan oleh bebagai faktor

fisika. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik

adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel

(fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang

produktifitas primer dan kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan

informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah

bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi

klorofil-a yang hampir homogen.

Menurut Nybakken (1992), produktifitas primer perairan pantai sepuluh kali

lipat produktifitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar

zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan lepas pantai.

Perairan pantai menerima sejumlah unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalam bentuk

PO4 dan NO3 melalui run off (aliran air) dari daratan. Zat-zat hara ini menjadi

sumber nutien bagi pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton.

2.3 Pola Angin dan Arus

Letak geografis sangat berperan dalam menentukan pergerakan arus di

perairan Selat Makassar. Dengan letak selat yang memanjang dalam arah

utara-selatan, maka sepanjang tahun arus permukaan tidak mengalami perubahan arah,

yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah

pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar

bagian Selatan.

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa secara umum gerakan arus

permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus permukaan laut antara lain:

(1) Bentuk topogafi dasar laut dan pulau-pulau yang ada disekitarnya; (2) Gaya

Coriolis dan Arus Ekman; (3) Perbedaan tekanan air; (4) Arus musiman;

(5)Upwelling dan sinking dan (6) Perbedaan densitas.

Terdapat tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu

dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik

(Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan

sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari

(25)

penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga

tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water

(NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera

Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Ketika sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air ini akan berbelok ke arah timur

bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini kemudian terus bergerak

memasuki ujung selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki ujung

selatan Samudera Pasifik selatan. Pada ujung bagian selatan Samudera Hindia

sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar khatulistiwa dan naik ke

permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera

Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati

khatulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997).

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem

peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh

tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air

yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa

air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik

mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang

dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) atau biasa disebut Indonesian

Seas Throughflow. ARLINDO dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera Hindia Tropis

melalui perairan Indonesia.

Menurut Wyrtki (1987), arus-arus permukaan yang melintas di Indonesia

sangat menarik, karena hal ini menunjukkan pertalian yang erat antar arah dan

kekutan arus dan kekuatan dan peralihan musim (monson) di Indonesia. Selain

itu, arus sangat erat dengan proses-proses oseanografi lainnya, antara lain

terjadinya proses upwelling dan downwelling yang terjadi di Laut Banda dan

(26)

Gambar 2. Sirkulasi Massa Air (the great conveyor belt) (W. Broecker 1997).

ARLINDO merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal

iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air

dengan salinitas rendah yang dibawa oleh ARLINDO diketahui mempengaruhi

perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al.

2004).

Selat Makassar merupakan perairan yang terletak antara Pulau Kalimantan

dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara

dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah selatan. Kondisi oseanografi

Selat Makassar ini selain dipengaruhi oleh dinamika oseanografi dalam selat itu

sendiri juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan

iklim. Perairan pantai Kalimantan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang

mengapit Selat Makassar juga berperan terhadap dinamika massa air selat tersebut

(Illahude, 1978).

Pada bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari tenggara,

mencapai puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim timur

karena angin bertiup dari timur ke barat. Pada bulan Desember-April dipengaruhi

oleh angin musim dari barat laut, mencapai puncaknya pada bulan

Desember-Februari dan disebut sebagi musim barat karena angin bertiup dari barat ke timur.

(27)

dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode

musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005).

Pergantian angin muson dari muson barat ke muson timur menimbulkan

berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makassar. Selama angin

muson barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya

nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada muson timur, terjadi peningkatan salinitas

akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang

bersalinitas tinggi dari Samudra Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke

perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961).

Selain tingkat salinitas, perubahan pada arus permukaanpun terjadi, hal ini

dipengaruhi dengan adanya angin muson. Selama muson timur, massa air dari

Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir

bersama ke Laut Jawa. Pada muson barat, massa air dari Laut Jawa bertemu

dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah

Laut Flores.

Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang

berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor

maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat

Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat

bertiupnya angin muson tenggara antara Juli–September dan minimum saat muson barat laut antara November–Februari (Meyers et al., 1995; Gordon et al., 1999; Hautala et al., 2001).

Pada Gambar 3 sistem arus lintas Indonesia menunjukkan adanya aliran

massa air yang mengalir sepanjang tahun dari arah utara ke selatan perairan Selat

Makassar dan juga arus permukaan yang mengalir dari laut Jawa masuk ke Selat

(28)

Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia di Perairan Indonesia (Gordon et al. 1996)

2.4 Upwelling

Upwelling didefinisikan sebagai fenomena naiknya massa air yang dingin

dan berat serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan atas atau

menuju permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan

kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Hutabarat

dan Evans, 1985).

Laut dikenal memiliki stratifikasi massa air secara vertikal yaitu air di

lapisan dalam mempunyai suhu lebih rendah dan zat hara lebih tinggi

dibandingkan di permukaan. Peristiwa upwelling menyebabkan suhu lebih rendah

dan zat hara menjadi lebih tinggi di permukaan. Di daerah upwelling, lapisan

termoklin akan naik, bahkan mungkin mencapai permukaan dan terjadi anomali

suhu rendah di permukaan dibanding sekitarnya (Smith, 1968).

Upwelling yang terjadi di laut lepas sering dijumpai di sepanjang

khatulistiwa dimana angin pasat bertiup sepanjang tahun, menyebabkan daerah

divergen berkembang begitu kuat, sehingga lapisan termoklin bergerak vertikal ke permukaan. Keadaan pada daerah divergen tersebut menimbulkan “kekosongan” pada lapisan permukaan yang diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya

(29)

Terdapat tiga proses yang menyebabkan yang dapat menyebabkan

terjadinya upwelling. Pertama, ketika terdapat tikungan yang tajam di garis pantai

yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan

massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi

kekosongan tersebut.

Gambar 4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004)

Kedua, ketika terjadi proses upwelling, dimana upwelling itu sendiri terjadi

karena adanya angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup

besar dan dalam waktu yang cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar

dengan garis pantai atau benua, garis pantai berada di sebelah kiri dari angin

untuk Belahan Bumi Utara atau di sebelah kanan dari angin untuk Belahan Bumi

Selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang timbul akibat perputaran bumi pada

porosnya) massa air yang bergerak sejajar dengan garis pantai akan dibelokkan

arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus angin ke laut lepas. Angin

(30)

Gambar 5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh offshore wind (Thurman and Trujillo, 2004)

Selain dua kejadian di atas, upwelling juga dapat terjadi bila arus dalam

(deep current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang

kemudian arus tersebut dibelokkan ke atas menuju permukaan (Barnes dan

Hughes, 1988).

Gambar 6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean (Thurman and Trujillo, 2004)

Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini

disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)

dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan

menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air

permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada

air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti

kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam

(31)

Menurut Wyrtki (1961), upwelling dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Tipe stationer, yaitu bila upwelling terjadi sepanjang tahun meskipun dengan

intensitas yang bervariasi, misalnya upwelling di pantai Peru.

2. Tipe periodic, yaitu bila upwelling yang terjadi hanya selama satu musim saja,

contohnya upwelling di Selat Makassar bagian selatan (Illahude, 1971).

3. Tipe berganti, yaitu upwelling dan sinking terjadi bergantian dalam satu tahun.

Pada satu musim (misalnya musim timur di Indonesia) terjadi upwelling dan

musim berikutnya (musim barat) terjadi sinking. Tipe seperti ini terjadi di Laut

Banda dan laut Arafura.

Menurut Diposaptono (2010), upwelling di bagian selatan perairan Selat

Makassar terjadi pada waktu musim tenggara (Juni – September). Pada saat terjadi upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu berkisar antara 26,4oC– 27,8oC, kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik dengan

mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi.

2.5 Sistem Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh (inderaja) merupakan teknologi yang

digunakan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan

jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah terhadap data yang diperoleh

dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau

gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1987).

Dalam kaitannya dengan teknologi inderaja, maka segala bentuk informasi

tersebut akan direkam oleh sebuah alat yang dinamakan sensor. Pada sistem

penginderaan jauh, warna air laut menjadi transfer radiasi dalam sistem sinar

matahari ke perairan dan ke sensor satelit. Sensor pada satelit menerima pantulan

radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari

pada saat menuju perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul

udara, dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan

diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti

fitoplankton (Sutrisno,2002).

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah

adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.

(32)

seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near

sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang

dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro (Susilo,

1997).

2.7 Satelit MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah

satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite,

yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National

Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program

jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan,

atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. Satelit Terra berhasil

diluncurkan pada Desember 1999 dan kemudian disempurnakan dengan satelit

Aqua pada tahun 2002.

MODIS mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan

whisk-broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view atau tampilan

lebih dari 2300 km menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada

siang hari dan emisi termal 13 siang/malam di seluruh penjuru bumi. Resolusi

spasial MODIS berkisar dari 250-1000 m (Janssen dan Huurneman, 2001).

MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian

705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar

cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan

gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band (36

interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1

µm=1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega byte

setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bit, artinya obyek dapat dideteksi dan

dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen

citranya pixel (picture element) berukuran 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7)

dan 1.000 m (band 8-36) dalam dunia penginderaan jauh (remote sensing), ini

dikenal dengan resolusi spasial. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di

permukaan bumi setiap hari untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari

(33)

Data yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal

yakni warna perairan, suhu permukaan laut (SPL), dan produktifitas primer

perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Seluruh produk tersebut sangat

berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut, dan

kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.

Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS

Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang (nm)

Resolusi Spasial (m)

Darat/Awan/Aerosols Boundaries 1 620-670 250

2 841-876 250

Darat/Awan/Aerosols Properties 3 459-479 500

4 545-565 500

Surface/Cloud Temperature 20 3.660-3.840 1000

21 3.929-3.989 1000

22 3.929-3.989 1000

23 4.020-4.080 1000

Atmospheric Temperature 24 4.433-4.498 1000

25 4.482-4.549 1000

Cirrus Clouds Water Vapor 26 1.360-1.390 1000

27 6.535-6.895 1000

28 7.175-7.475 1000

Cloud Properties 29 8.400-8.700 1000

Ozone 30 9.580-9.880 1000

Surface/Cloud Temperature 31 10.780-11.280 1000

32 11.770-12.270 1000

Cloud Top Altitude 33 13.185-13.485 1000

34 13.485-13.785 1000

35 13.785-14.085 1000

36 14.085-14.385 1000

(34)

3 METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011

dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01o00'00"– 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT (Gambar 7).

(35)

3.2 Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop dengan perangkat

lunak sebagai pendukung dalam pengolahan data, perangkat lunak yang dimaksud

yaitu Microsoft Excel 2007, Modis browser, Modis Project, Envi 4.2, Er Mapper

7.0, Surfer 9.0, Ocean Data View 3.0.1 dan Arc Gis 9.3. Sedangkan bahan yang

digunakan adalah data Suhu Permukaan Laut (SPL) dan data klorofil-a dari citra

MODIS, selain itu digunakan pula data pendukung berupa data oseanografi dan

data meteorologi wilayah Perairan Selat Makassar.

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Penginderaan Jauh

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data citra satelit MODIS level

1 dengan resolusi 1 km dalam format HDF (Hierarchical Data Format). Data

sebaran SPL dan Klorofil-a adalah data harian selama dua tahun (2009 – 2010) dengan citra SPL dan klorofil-a untuk mendapatkan data time series. Pemetaan

pola sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a sebagai data pendukung dilakukan

dengan mendownload data tahun 2009 dan 2010 pada Lembaga Penerbangan dan

Antariksa Nasional Stasiun Parepare Sulawesi Selatan.

3.3.2 Data Oseanografi

Data oseanografi meliputi data profil suhu menegak yang diperoleh dari

World Ocean Database (WOD) untuk bulan yang mewakili musim barat dan

musim timur.

3.3.3 Data Meteorologi

Data meteorologi yang merupakan data sekunder meliputi data curah hujan

yang diperoleh dari World Meteorogical Organization (WMO), kecepatan angin

rata-rata, lamanya hari hujan, dan arah angin yang diperoleh dari Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat Jakarta.

3.4 Pengolahan Data

3.4.1 Data Suhu Permukaan Laut (SPL)

Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara

(36)

yang ada kemudian dipotong wilayahnya (crooping) dengan menggunakan

perangkat lunak Modis Project. Wilayah yang dipotong adalah wilayah yang

berada pada posisi antara 01o00'00" – 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT. Hasil croopingan diolah dengan menggunakan perangkat lunak

Modis Browser dan keluaran (output) yang diinginkan berupa data ASCII (*.asc)

yang didalamnya terdiri dari variabel bujur, lintang dan nilai estimasi suhu

permukaan Laut (SPL). Ekstraksi data SPL dilakukan dengan menggunakan kanal

31 dan 32 pada Modis dengan menerapkan algoritma Miami Pathfinder (2001):

Modis_SST = c1 + c2*T31 + c3*T31-32 + c4*(sec( - 1)*T31-32

dimana: T31, T32 = Brightness temperatur dari kanal 31 dan kanal 32

= Sudut zenith satelit

Konstanta (c1, c2, c3, danc4) dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Modis

Koefisien T30-T31≤ 0.7 T30-T31≥ 0.7

Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara

mendownload citra klorofil-a MODIS Level 1 wilayah Perairan Selat Makassar.

Citra yang ada kemudian dipotong wilayahnya (crooping) dengan menggunakan

perangkat lunak Modis Project. Wilayah yang dipotong adalah wilayah yang

berada pada posisi antara 01o00'00" – 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT. Hasil croopingan diolah dengan menggunakan perangkat lunak

Modis Browser dan keluaran (output) yang diinginkan berupa data ASCII (*.asc)

(37)

Ekstraksi data SPL dilakukan dengan menggunakan kanal 31 dan 32 pada Modis

dengan menerapkan algoritma OC3M O’Reilly et al. (2000):

Ca = 100.283-2.753R+1.457R2+0.659R3-1.403R4, R = log10(Rrs443>Rrs488/Rrs551)

Dimana: Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

R = Rasio reflektansi

Rrs = Remote sensing reflectance

3.4.3 Pembuatan Kontur Sebaran SPL dan Klorofil-a

Proses pembuatan garis kontur untuk SPL dan klorofil-a ini dibuat dengan

menggunakan perangkat lunak surfer 9.0 melalui menu countur map dengan cara

mengoverlay kontur-kontur dari setiap citra yang dipilih.

3.4.4 Data Angin

Pengolahan data angin dimulai dengan download data angin dengan format

netcdf (*.nc). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial berukuran 1,5° x

1,5° dengan cakupan area global. Data yang digunakan adalah data perwakilan

harian dari setiap bulan untuk tahun 2009 dan 2010 dengan interval 6 jam, yaitu :

Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00. Selanjutnya dilakukan cropping sesuai

dengan lokasi penelitian dengan perangkat lunak Ocean Data View (ODV).

Proses selanjutnya adalah dengan mengekstrak data berformat (*.nc) dengan

menggunakan ODV menjadi data berformat teks (*.txt). Hasil yang diperoleh

berupa data u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] harian yang

terpilih dari setiap bulan pada tahun 2009 dan 2010 yang mewakili daerah Selat

Makassar. Data bujur, lintang, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters

[m/s] dengan format (*.txt) diproses dengan Surfer 9.0 dengan cara grid data

bulanan. Tahap selanjutnya yaitu overlay antara vektor (arah pergerakan angin)

dengan basemap (darat) sehingga menghasilkan tampilan arah pergerakkan angin.

3.4.5 Curah hujan

Data curah hujan diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika (BMKG) Pusat serta dari climate online Berau of Meteorology (BOM).

Data tersebut merupakan jumlah curah hujan (mm) harian yang kemudian

dirata-ratakan menjadi bulanan. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk

(38)
(39)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)

Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan

tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan dengan

baik pola sebaran SPL baik secara spasial maupun temporal. Analisis citra

dilakukan pada beberapa hari yang terpilih dari setiap bulannya.

4.1.1 Pola Sebaran SPL Secara Spasial

Berdasarkan hasil olahan citra satelit MODIS level 1 terlihat bahwa pola

sebaran SPL secara spasial di Perairan Selat Makassar menunjukkan pola

penyebaran yang berbeda. Namun, walaupun pola tiap bulannya berbeda tapi

secara umum, variabilitas suhu di Perairan Selat Makassar tidak terlalu berbeda

jauh atau nilai yang terlihat relatif homogen. Kisaran suhu yang terlihat berkisar

antara 26-31ºC.

(40)

Secara spasial terlihat bahwa pola penyebaran SPL di bagian selatan

Perairan Selat Makassar pada bulan Desember-Februari (Musim Barat)

memperlihatkan penyebaran suhu yang relatif tinggi yaitu berada pada kisaran

29-31ºC. Kisaran suhu yang relatif tinggi ini masih terlihat pula pada periode bulan

Maret-April (Musim Peralihan I).

Gambar 10. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan I tahun 2010

Memasuki awal periode musim timur yaitu bulan Mei mulai terlihat adanya

gejala penurunan suhu di bagian selatan Selat Makassar. Penurunan ini pun

semakin terlihat pada bulan Juni dan Juli yang mengindikasikan adanya gejala

permulaan upwelling. Pada bulan Juli-Agustus fenomena ini semakin terlihat jelas

dengan pola penyebaran suhu yang terstratifikasi dengan jelas secara horizontal di

bagian selatan Selat Makassar (Gambar 11).

Pada periode bulan September-Oktober (Musim Peralihan II) sebaran SPL

menunjukkan bahwa indikasi adanya upwelling mulai melemah yang ditandai

dengan menurunnya luasan daerah upwelling dan naiknya SPL di bagian selatan

Selat Makassar jika dibandingkan dengan periode musim sebelumnya yaitu

Musim Timur.

(41)

Gambar 11. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Timur tahun 2010

Gambar 12. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan II tahun 2010

Secara umum, fenomena upwelling pada musim timur dan peralihan II

(Gambar 11 dan 12) menunjukkan adanya pola sebaran SPL secara spasial yang

dimulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi yang kemudian meluas hingga laut

(42)

0%

selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL

mengalami peningkatan sebesar 0.8°C mencapai nilai sekitar 29.4°C. Tingginya

SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik

yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan

Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL

lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut

sesuai dengan penelitian ini, dimana terlihat bahwa pada bulan-bulan yang

termasuk dalam musim timur (Juni-Agustus) yang disajikan pada Gambar 11

terlihat bahwa nilai SPL yang lebih rendah cenderung bergerak ke arah Laut

Flores.

4.1.2 Pola Sebaran SPL Secara Temporal

Nilai SPL pada periode bulan Mei-Agustus (musim timur) berkisar antara

26.5-31.2oC. Kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 26.5oC tersebut

ditemukan di bagian selatan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau

Sulawesi. Rendahnya kisaran nilai ini jika dibandingkan dengan bulan-bulan

sebelumnya menunjukkan adanya fenomena upwelling. Menurut Yahya (2000)

bahwa sebaran SPL di Selat Makassar rata-rata berkisar antara 24-30.34°C,

dengan suhu tertinggi ditemukan pada musim peralihan barat-timur, suhu perairan

mengalami penurunan selama musim timur, kemudian meningkat kembali

memasuki musim peralihan timur-barat.

(a) (b)

(43)

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis persentase tingkat penyebaran SPL

terlihat bahwa secara umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010

dimulai pada bulan Juni yang terjadi di bagian selatan Selat Makassar dan

mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Bulan Agustus memperlihatkan

fenomena meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat nilai yang rendah yang

mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling.

4.2. Pola Sebaran Klorofil-a

Hasil olahan citra Modis level 1 untuk menganalisis pola sebaran

konsentrasi klorofil-a menunjukkan hasil yang baik secara spasial dan temporal.

Pemilihan data yang ditampilkan pada analisis ini sama dengan pemilihan data

pada analisis pola penyebaran SPL yaitu dengan memilih perwakilan harian pada

setiap bulan untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang pola penyebaran

klorofil di bagian selatan Selat Makassar.

4.2.1 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Spasial

Berdasarkan hasil olahan citra Modis level 1 diperoleh pola sebaran

konsentrasi klorofil-a perairan Selat Makassar. Secara spasial, tingkat konsentrasi

klorofil-a terlihat berbeda untuk setiap musim. Pada Musim Barat yaitu pada

periode bulan November-Februari terlihat bahwa tingkat konsentrasi klorofil-a di

perairan Selat Makassar rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan musim

lainnya. Namun tingkat konsentrasi yang relatif tinggi ditemui di daerah pesisir.

Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari daratan yang

disebabkan oleh tingkat curah hujan yang relatif tinggi pada musim ini sehingga

memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir. Pada

periode bulan April-Mei (Musim Peralihan I) pola sebaran konsentrasi klorofil-a

(44)

Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Barat II tahun 2010

(45)

Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a pada periode Musim

Timur yaitu terhitung sejak bulan Mei-Agustus terlihat bahwa pada awal Musim

Timur di bulan Mei adanya tanda-tanda peningkatan konsentrasi klorofil-a di

bagian permukaan wilayah selatan Selat Makassar belum terlihat. Konsentrasi

klorofil-a meningkat dengan tingkat konsentrasi yang relatif tinggi mulai terlihat

pada bulan Juni dan maksimum di periode bulan Agustus. Tingginya konsentrasi

klorofil-a pada periode bulan di Musim Timur yang telah diawali dengan

menurunnya SPL di kawasan ini menunjukkan terjadinya upwelling. Hal ini

sesuai dengan Wyrtki (1961) dan Illahude (1978) yang menjelaskan bahwa

upwelling pada daerah ini terjadi pada Musim Timur yaitu bulan Juni-Agustus.

Pada awal Musim Peralihan II yaitu pada bulan September, pola

penyebaran upwelling secara spasial masih terlihat jelas. Akhir Musim Peralihan

II ini (Oktober) diperkirakan sebagai akhir dari fenomena upwelling, ini terlihat

dari penampakan konsentrasi klorofil-a yang mulai menurun kembali di akhir

Musim Peralihan II ini (Gambar 17).

Adanya tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Musim

Timur dan Peralihan II ini disebabkan oleh meningkatnya unsur hara di bagian

permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002) yang menjelaskan

bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi di lapisan

permukaan Selat Makassar yang diindikasikan diakibatkan oleh upwelling masih

ditemukan hingga musim peralihan II pasca Musim Timur. Tingkat konsentrasi

klorofil yang ditemukan berada pada kisaran 0.16-1.41 mg/m3. Hal tersebut sesuai

dengan hasil penelitian ini dimana tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi

ditemukan di selatan Selat Makassar dengan kisaran nilai sebesar 0.8-1.2 mg/m3

yang menunjukkan terjadinya fenomena upwelling. Pada bulan Juni terlihat bahwa

pola sebaran konsentrasi klorofil yang relatif tinggi masih berada di sekitaran

daerah pesisir khususnya bagian selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan

Juli-Agustus pola penyebarannya mulai terlihat meluas ke arah barat daya pulau

(46)

Gambar 16. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Timur tahun 2010

(47)

4.2.2 Pola Sebaran Klorofil Secara Temporal

Data klorofil-a dari satelit MODIS dipetakan pada bagian selatan Selat

Makassar sehingga diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode

Januari-Desember 2009 dan 2010. Tingkat konsentrasi klorofil-a yang ditemukan untuk

keseluruhan bulan berada pada kisaran 0.76-1.38 mg/m3.

(a) (b)

Gambar 18. Persentase tingkat penyebaran klorofil-a pada beberapa bulan tahun (a) 2009 dan (b) 2010

Berdasarkan analisis persentase tingkat penyebaran klorofil-a secara

temporal di bagian selatan Selat Makassar tahun 2009 dan 2010 terlihat bahwa

peningkatan konsentrasi klorofil-a dimulai sejak bulan Juni dimana konsentrasi

klorofil-a mulai naik pada kisaran 0.8-0.9 mg/m3 yang kemudian memuncak pada

bulan Agustus dengan konsentrasi klorofil-a di atas 1.0 mg/m3.

Adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a ini terlihat jelas dengan

meluasnya pola penyebaran di bagian selatan Selat Makassar. Hasil ini tidak jauh

berbeda dengan pola penyebaran yang terlihat di tahun 2009 dan ini menunjukkan

bahwa ternyata fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada Musim Timur

dengan pola penyebaran yang hampir sama.

(48)

4.3 Fluktuasi Upwelling

Berdasarkan hasil analisis pola penyebaran SPL dan klorofil-a untuk tahun

2009 dan 2010 diketahui bahwa terbentuknya SPL rata-rata dimulai pada bulan

Juni. Menurunnya SPL ini diikuti kemudian dengan meningkatnya konsentrasi

klorofil-a yang menyebar di perairan bagian selatan Selat Makassar. Terbentuknya

SPL untuk tahun 2010 dimulai pada minggu kedua bulan Juni kemudian

memuncak pada minggu kedua Agustus dan berakhir di minggu kedua bulan

Oktober. Terbentuknya SPL di minggu kedua bulan Juni ini diikuti dengan

meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni yang

kemudian memuncak pada minggu keempat bulan Agustus dan berakhir di

minggu keempat bulan September.

(a) (b) (c)

(49)

0

pertama bulan Juni ini diikuti pula dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a

pada minggu ketiga bulan Juni yang kemudian meningkat di minggu ketiga bulan

Agustus dan berakhir pada minggu ketiga bulan September.

Pada saat kejadian upwelling memuncak yaitu di bulan Agustus, pola

penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi.

Menurut Rosyadi (2011), penyebaran ini menyebar ke barat daya Pulau Sulawesi

sekitar 330 km. Secara lebih rinci, pola penyebaran ini kemudian dianalisis

perkembangannya tiap bulan sejak terbentuk sampai berakhirnya SPL dan

klorofil-a tersebut untuk mengetahui luasan penyebaran SPL dan klorofil-a yang

kemudian diestimasi sebagai daerah penyebaran upwelling.

Setelah dilakukan analisis pola penyebaran SPL dan klorofil secara bulanan

untuk mengestimasi luasan daerah yang diindikasikan terjadi upwelling,

selanjutnya dilakukan analisis pola penyebaran secara mingguan di bulan Agustus

(Gambar 20 dan 21). Bulan Agustus menjadi bulan yang dipilih karena

berdasarkan analisis variabilitas SPL dan klorofil-a baik secara spasial maupun

temporal diketahui bahwa bulan Agustus merupakan bulan dimana tingkat

penyebaran SPL dan klorofil-a memuncak.

Gambar 20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2009

(50)

0

Gambar 21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2010

Berdasarkan analisis pola penyebaran suhu dan klorofil-a terlihat bahwa

memuncaknya fenomena upwelling untuk tahun 2009 yang terjadi di bulan

Agustus dimulai pada minggu kedua, hal ini ditunjukkan dengan semakin

menurunnya SPL pada minggu kedua yang kemudian diikuti dengan

meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga. Hasil ini tidak jauh

berbeda dengan pola penyebaran suhu dan klorofil-a untuk tahun 2010.

Fenomena upwelling mulai memuncak pada minggu kedua Agustus yang

ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL yang diikuti dengan meningkatnya

konsentasi klorofil-a di minggu keempat bulan Agustus.

Gambar 22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus 2010

(51)

Pola penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di bulan

Agustus menunjukkan bahwa penurunan suhu diikuti dengan peningkatan

konsentrasi klorofil-a. Menurut Valiela (1984), hal ini disebabkan karena

fitoplankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi

pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini dikarenakan lebih

efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju

fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan

kondisi yang ada. Selain itu, perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu

tinggi. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi karena

tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton.

Terjadinya penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a diikuti

dengan meluasnya daerah sebaran upwelling untuk tahun 2009 dan 2010.

Meningkatnya total luasan daerah yang diindikasikan merupakan area upwelling

untuk tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 dengan pola penyebaran

mengarah ke arah barat daya dengan estimasi luasan mencapai sekitar ± 46000

km2 (Gambar 22).

4.4 Faktor-faktor yang menunjukkan terjadinya Upwelling

4.4.1 Lapisan Termoklin

Berdasarkan hasil analisis pada sebaran nilai SPL terlihat bahwa secara

umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010 yang terjadi di bagian

selatan perairan Selat Makassar dimulai pada bulan Juni dan mencapai puncaknya

pada bulan Agustus. Minggu pertama bulan Agustus memperlihatkan fenomena

meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat yang rendah yang

mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling.

Indikasinya terjadinya upwelling pada periode Mei-Agustus (Musim Timur)

didukung pula dengan berubahnya lapisan termoklin (Gambar 23).

Data profil suhu menegak bagian selatan perairan selat Makassar

menunjukkan bahwa lapisan termoklin pada Musim Barat dimulai pada

kedalaman 42 m dengan penurunan suhu mulai dari 28oC, sedangkan untuk

Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling menunjukkan bahwa lapisan

(52)

penurunan suhu mulai dari 27oC dan titik non upwelling dimulai pada kedalaman

33 m dengan penurunan suhu mulai 28 oC. Berdasarkan hasil pengukuran ini

terlihat bahwa lapisan termoklin mengalami perubahan atau kenaikan saat musim

timur (Juni-Agustus) pada titik upwelling, hal ini secara langsung menunjukkan

bahwa pada musim timur terjadi penaikan massa air yang menyebabkan

berubahnya lapisan termoklin. Terjadinya penaikan massa air ini menunjukkan

terjadinya upwelling di Selat Makassar dimana upwelling tersebut menyebabkan

terangkatnya massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas.

Gambar 23. Profil suhu menegak (a) Bulan Desember (Musim Barat) (b) Bulan Agustus (Musim Timur) (Sumber:World Ocean Database, 2005) (a)

Gambar

Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS
Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 9. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Barat tahun 2010
Gambar 11. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Timur tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala

Untuk itu, dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum dengan membuat konsentrasi larutan paracetamol yang memberikan absorbansi 0,434 karena pada absorbansi ini

Prosedur penilaian adalah langkah-langkah yang digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Penelitian pada dasarnya

Kesan Teknik silvikultur terhadap pencirian asas dan sifat fizikal Gigantochloa scortechiini di dirian semulajadi didapati mempunyai perbezaan yang ketara antara umur

Pada kontes sapê sono’, yang dinilai adalah keserasian dalam cara berjalan setiap pasangan sapi pada jalur sepanjang 25 meter yang harus ditempuh dalam waktu

Di samping beberapa nama tersebut yang menyeru kepada bangsanya untuk bangkit berjuang, pengarang lain yang mempunyai pemikiran, hasrat dan nada perjuangan yang sama ialah

poslije Krista od Rimljana te posljedično širenje Židova u četiri ugla zemlje iz Palestine (eng. Destruction of the Second Temple in 70 AD by the Romans and the consequent

Untuk menjawab permasalahan di atas , penulis melakukan penelitian dengan menggunakan t e knik wawancara dan studi dokumen. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis