ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN
AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN
PERAIRAN SELAT MAKASSAR
DWI FAJRIYATI INAKU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Selat Makassar” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
ABSTRACT
DWI FAJRIYATI INAKU. Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait. Supervised by DJISMAN MANURUNG and I WAYAN NURJAYA.
Waters of the southearn of Makassar Strait is a region which relatively rich of organic matter because the phenomenon of upwelling along the south east monsoon. The purpose of this research was to analyze the distribution patterns and the development of upwelling areas in the southern of Makassar Strait. This study used chlorophyll-a data and sea surface temperature from level 1 of Modis image for two years (2009 and 2010). The result showed that phenomenon of upwelling that occurs in the southern Makassar Strait appears since early June, the strongest upwelling in August and disapear in October. The upwelling was indicated by declining of sea surface temperature and increasing of chlorophyll-a concentration. Analysis of wind direction and speed indicate that the upwelling occurs in the southern Makassar strait spread to southwest with and estimated upwelling area around 46000 km2.
RINGKASAN
DWI FAJRIYATI INAKU. Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di Bagian Selatan Perairan Selat Makassar. Dibimbing oleh DJISMAN MANURUNG dan I WAYAN NURJAYA.
Perairan bagian selatan Selat Makassar merupakan kawasan yang relatif subur bila dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Suburnya perairan Selat Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi karena adanya penaikan massa air (upwelling) di Selat Makassar. Upwelling itu sendiri mempengaruhi tingkat produktifitas primer di perairan termasuk di perairan Selat Makassar. Namun, seberapa luas penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di perairan Selat Makassar pada musim timur ini belum dikaji lebih lanjut dan mendetail.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran dan pergerakan area upwelling di bagian selatan Selat MakassarPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011dengan lokasi penelitian berada di bagian selatan perairan Selat Makassar. . Penelitian ini menggunakan data klorofil dan suhu permukaan laut (SPL) dari citra Modis level 1 untuk periode tahun 2009 dan 2010 yang didukung dengan data oseanografi dan meteorologi perairan Selat Makasssar.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena upwelling yang terjadi di Selat Makassar untuk tahun 2009 dan 2010 mulai terlihat pada awal bulan Juni yang ditandai dengan menurunnya nilai SPL dan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada bagian selatan perairan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau Sulawesi. Fenomena memuncaknya upwelling ini terlihat pada periode bulan Agustus yang ditunjukkan dengan meluasnya daerah sebaran upwelling. Perkembangan dari upwelling mulai terlihat melemah sejak bulan September dan kemudian berakhir pada bulan Oktober yang ditunjukan dengan naiknya SPL dan menurunnya tingkat konsentrasi klorofil-a. Analisis lapisan termoklin di lokasi terjadinya upwelling menunjukkan bahwa terjadi perubahan lapisan termoklin akibat adanya pengangkatan massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas yang membuktikan bahwa bagian selatan Selat Makassar benar terjadi fenomena upwelling. Analisis arah dan kecepatan pergerakan angin menunjukkan bahwa upwelling yang terjadi di bagian selatan Selat Makassar menyebar ke arah barat daya Selat Makassar dengan estimasi daerah luasan upwelling mencapai ± 46000km2.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN
AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN
PERAIRAN SELAT MAKASSAR
DWI FAJRIYATI INAKU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat, berkah
dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul
“Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Area Upwelling di bagian selatan
Perairan Selat Makassar”.
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada
Mayor Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Segala upaya telah dilakukan demi tersusunnya tesis ini namun mengingat
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka penyusunan tesis ini tentulah
tidak dapat mencapai titik kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diharapkan guna perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tesis ini,
walaupun disajikan dalam bentuk yang sederhana namun penulis berharap semoga
tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas
bimbingan dan saran yang diberikan selama masa penelitian dan penulisan
tesis ini.
2. Dr.Ir.Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai penguji tamu atas masukan dan
sarannya bagi perbaikan tesis ini.
3. Pimpinan dan Staff Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
(LAPAN) Stasiun Parepare Sulawesi Selatan yang telah membantu dan
memberikan kemudahan selama pengambilan data.
4. Kedua orang tua, Ayahanda Yasin Inaku dan Ibunda Tuti Nusa atas segala
doa, kasih sayang, dan motivasi yang tak pernah putus hingga detik ini.
5. Beloved sister, Mulyati Inaku beserta kakak ipar Suharto Hasan untuk
cinta, doa, dan motivasinya. Buat dua malaikat kecil Nailah Ayesha Hasan
dan Syauqi Raihan Hasan yang selalu memberi warna indah dalam hidup.
6. Adinda tersayang, Awaluddin Inaku untuk hiburan, doa, dan motivasinya.
7. Risma Marwan beserta keluarga yang telah banyak membantu selama
pengambilan data di Kota Parepare.
8. Dr. Nurjannah Nurdin, S.T, M.Si, kakak sekaligus guru buat penulis atas
segala motivasi dan bimbingannya selama penulis menjalankan studi.
9. Gulam Arafat, teman dan sahabat terbaik yang telah begitu banyak
membantu sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.
10. Iswara Crew (Rina, Weni, 3 Ratih, Uci, Ulfa, Julia, Meta, Fia, Hesti,
Wulan, Jay, Dinda) untuk semua yang telah diberi dan dibagi selama di
tanah perantauan.
11. Keluarga yang senantiasa hangat hingga saat ini, Bapak Mohammad Noor
dan Ibu Siti Zaenab B. atas segala doa dan dukungannya. Tak lupa, buat
Habil Noor, untuk semua kesabaran, pengertian, doa, dan dukungan yang
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Dili pada tanggal 02 Mei 1987, sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan Bapak Yasin Inaku dan Ibu Tuti Nusa. Pendidikan sekolah
dasar diselesaikan di SDN 35 Kota Utara Gorontalo tahun 1998. Selanjutnya
penulis melanjutkan sekolah ke MTS Al-Huda Gorontalo dan lulus tahun 2001.
Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh hingga tahun 2004 di SMU Insan
Cendekia Gorontalo. Melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun
2004, penulis kemudian melanjutkan pendidikan Strata-1 di Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan
lulus pada tahun 2008.
Sejak tahun 2008 penulis sempat terlibat dan aktif membantu sebagai
asisten di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2009, penulis
menempuh program Magister pada program studi Teknologi Kelautan di Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan minat Penginderaan Jauh dan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) ... 23
4.1.1 Pola Sebaran SPL dan Klorofil-a Secara Spasial ... 23
4.1.2 Pola Sebaran SPL dan Klorofil-a Secara Temporal ... 26
4.2 Pola Sebaran Klorofil-a ... 27
4.2.1 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Spasial... 27
4.2.2 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Temporal ... 31
4.3 Fluktuasi Upwelling ... 32
4.4 Faktor-faktor yang Menunjukkan Terjadinya Upwelling ... 35
4.4.1 Lapisan Termoklin ... 36
4.4.2 Curah Hujan ... 37
4.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Upwelling ... 38
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1 Simpulan ... 43
5.2. Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Spesifikasi kanal-kanal satelit pengamat Bumi MODIS ... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka penelitian ... 4
2. Sirkulasi massa air ... 10
3 Sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) ... 12
4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai ... 13
5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh off shore wind... 14
6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean ... 14
7. Peta lokasi penelitian... 18
8. Diagram alir penelitian ... 22
9. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim barat tahun 2010 ... 23
10. Pola Sebaran SPL secara spasial pada musim peralihan I tahun 2010 ... 24
11. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim timur tahun 2010 ... 25
12. Pola sebaran SPL secara spasial pada musim peralihan II tahun 2010 ... 25
13. Persentase tingkat penyebaran SPL ... 26
14. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim barat tahun 2010 ... 28
15. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim peralihan I 2010 ... 28
16. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim timur tahun 2010 ... 30
17. Pola sebaran klorofil-a secara spasial pada musim peralihan II 2010 ... 30
18. Persentase tingkat penyebaran klorofil-a ... 31
19. Fluktuasi upwelling ... 32
20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a tahun 2009 ... 33
21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a tahun 2010 ... 34
22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus ... 34
23. Profil suhu menegak ... 36
24. Jumlah rata-rata curah hujan stasiun Makassar ... 37
25. Pola pergerakan angin pada bulan November-Desember tahun 2010 ... 39
26. Pola pergerakan angin pada bulan Maret-April tahun 2010 ... 39
27. Pola pergerakan angin pada bulan Mei-Agustus tahun 2010 ... 40
28. Pola pergerakan angin pada bulan September-Oktober tahun 2010 ... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Pola pergerakan angin tahun 2009 ... 47
2. Pola sebaran suhu permukaan laut tahun 2009 ... 49
3. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a tahun 2009 ... 55
4. Pola sebaran suhu Permukaan laut tahun 2010 ... 61
1 PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan
Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian selatan
dengan Laut Jawa dan laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan dengan
Pulau Kalimantan dan bagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya massa air
bersalinitas rendah dari daratan Pulau Kalimantan dan Sulawesi, serta pertukaran
massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui Laut Sulawesi,
Laut Flores dan laut Jawa mempengaruhi tingkat produktivitas primer di perairan
Selat Makassar.
Selat Makassar merupakan perairan yang relatif lebih subur bila
dibandingkan dengan perairan lainnya di Indonesia. Suburnya perairan Selat
Makassar terjadi sepanjang tahun baik pada musim barat maupun pada musim
timur. Pada musim barat, tingginya tingkat kesuburan terjadi karena adanya run
off dari daratan Kalimantan maupun Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah
hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur penyuburan terjadi karena
adanya penaikan massa air (upwelling) di Selat Makassar (Illahude, 1978).
Illahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara (Agustus)
upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Terjadinya
upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi, oksigen
relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan homogen.
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengkaji daerah
upwelling di Selat Makassar. Penelitian diawali dengan penelitian berskala in situ
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wyrtki (1961) dan Illahude (1970)
menunjukkan bahwa terjadi upwelling di bagian selatan perairan Selat Makassar.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Afdal (2004) dan Riyono (2006) dengan
menganalisis sebaran klorofil yang dikaitkan dengan kondisi hidrologi perairan
Selat Makassar dan menemukan adanya peningkatan konsentrasi klorofil di lokasi
yang sama. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Munandar (1998) dan
Rosyadi (2011) menggunakan data penginderaan jauh citra NOAA AVHRR dan
Makassar. Yuwono (2010) dan Rasyid (2010) juga menunjukkan adanya
penampakan tingkat produktifitas yang tinggi di selatan perairan Selat Makassar
dengan menggunakan citra satelit MODIS yang kemudian dihubungkan dengan
hasil tangkapan ikan. Semua penelitian tersebut baik yang berskala in situ maupun
dengan menggunakan teknologi peninderaan jauh menunjukkan terjadinya
upwelling dengan dugaan kehadirannya yang terjadi pada periode-periode tertentu
setiap tahunnya. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat
fenomena ini sebelumnya telah banyak dikaji namun metode yang digunakan
masih terpisah-pisah dengan batasan area upwelling yang belum jelas karena
daerah yang dikaji tentu tidaklah sempit. Oleh karena itu, poin yang kemudian
menjadi penting untuk dikaji adalah bagaimanakah fenomena upwelling beserta
pola sebarannya ini dapat diamati dengan lebih baik secara spasial maupun
temporal di bagian selatan perairan Selat Makassar dengan menggunakan bantuan
teknologi penginderaan jauh. Hasil dari kajian ini nantinya diharapkan dapat
memberikan informasi secara lengkap dan menyeluruh, karena mengingat
upwelling itu sendiri tentunya sangat berkaitan erat dengan tingkat produktifitas
primer yang ada di suatu kawasan termasuk di perairan Selat Makassar.
1.2. Perumusan masalah
Tingkat produktivitas primer yang tinggi di perairan disebabkan oleh
beberapa hal, salah satunya karena adanya pengkayaan yang disebabkan oleh
proses upwelling. Upwelling sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk
peristiwa pengangkatan massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas bahkan ada
yang sampai ke lapisan permukaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perairan Selat Makassar merupakkan salah satu lokasi potensial terjadinya
upwelling
Illahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara
(Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan.
Terjadinya upwelling menyebabkan salinitas tinggi, SPL rendah, densitas tinggi,
oksigen relatif rendah dan fosfat tinggi terutama pada batas bawah dari lapisan
homogen. Pada batas atas (lapisan permukaan) efek upwelling tidak begitu jelas.
plankton dan klorofil-a juga menunjukkan pengaruh pada upwelling terhadap
produktivitas perairan Selat Makassar bagian selatan.
Klorofil-a merupakan pigmen penting yang terdapat pada fitoplankton untuk
proses fotosintesis. Klorofil-a juga merupakan salah satu parameter indikator
tingkat kesuburan perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat
dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, suhu, salinitas, nitrat,
dan fosfat (Afdal dan Riyono, 2004). Kandungan nutrien perairan sangat berkaitan
erat dengan konsentrasi klorofil-a dimana semakin tinggi kandungan nutrien
perairan maka semakin tinggi juga konsentrasi klorofil-a. Sebaliknya, di perairan
bebas faktor suhu perairan berhubungan terbalik dengan konsentrasi klorofil-a.
Umumnya pada lokasi upwelling, suhu perairan relatif lebih rendah namun
konsentrasi klorofil-a justru relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah
sekitarnya. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa di pantai barat laut Australia SPL
pada musim barat yaitu 29 0C dan mengalami penurunan menjadi 24 0C pada
musim timur (Juli – Agustus) saat terjadi upwelling.
Adanya perubahan pada beberapa kondisi perairan diantaranya suhu dan
klorofil-a tersebut tentunya dapat dimanfaatkan untuk memantau fenomena
upwelling melalui teknologi penginderaan jauh. Berdasarkan data yang diperoleh
dari teknologi penginderaan jauh ini dapat diketahui nilai sebaran Suhu
Permukaan Laut (SPL) dan konsentasi klorofil-a yang kemudian selanjutnya dapat
digunakan dalam memantau pola sebaran dan perkembangan area upwelling di
bagian selatan perairan Selat Makassar.
1.3. Kerangka pemikiran
Salah satu perairan Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas primer
cukup tinggi sepanjang tahunnya adalah Selat Makassar. Hal itu disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya yaitu karena adanya fenomena upwelling yang
terjadi di bagian selatan Selat Makassar. Berdasarkan beberapa penelitian,
sebelumnya diketahui bahwa perairan Selat Makassar bagian selatan mengalami
fenomena upwelling pada bulan-bulan tertentu di musim timur. Adanya fenomena
ini tentunya menjadi penting untuk diketahui dengan mengkaji pola penyebaran
upwelling secara spasial maupun temporal di bagian selatan perairan di Selat
analisis data penginderaan jauh dengan memanfaatkan data sebaran SPL dan
klorofil-a melalui citra MODIS Level 1 yang merupakan data harian dan memiliki
resolusi spasial 1 km. Data tersebut kemudian dihubungkan dengan data
pendukung berupa data meteorologi dan osenografi bagian selatan perairan Selat
Makassar. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit
dianggap tepat karena dapat menjangkau perairan yang luas secara sinoptik.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.4. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola penyebaran dan
perkembangan area upwelling di bagian selatan perairan Selat Makassar.
1.5. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola
penyebaran dan perkembangan area upwelling di bagian selatan perairan Selat
Makassar.
data pendukung data pendukung Citra Satelit MODIS Perairan Selat Makassar
Data Oseanografi
Analisis pola sebaran dan perkembangan area
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu
Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu
adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang
terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar
matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari
adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila
letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970).
Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor,
diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat,
arus-arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta
pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada
hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh
karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di
daerah-daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999).
Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di
lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan
yang terdiri atas:
a) Lapisan homogen
Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m
dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan
ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur,
lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim
barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari
perairan.
b) Lapisan termoklin
Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas
(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada
lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan
termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m
termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C
pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.
c) Lapisan dalam
Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya
mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada
daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.
d) Lapisan dasar
Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada
samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai
5000 m.
Kondisi suhu permukaan umumnya dipengaruhi oleh arus permukaan,
penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan
intensitas radiasi matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada
musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar
antara 29-30oC dan di bagian khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28oC. Pada
musim Timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30oC
dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28oC
(Wyrtki, 1961).
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena
mendapat radiasi siang hari. Karena pengaruh angin maka lapisan teratas antara
50–70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 280C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan ini sering disebut lapisan
homogen. Namun, karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa
menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai
kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari
lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan
adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan
ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).
Illahude (1999) mengemukakan bahwa Suhu Permukaan Laut (SPL) di Selat
Makassar selama musim timur berkisar 28,2-28,7oC dan pada musim barat naik
pada 60-300 m dengan suhu menurun dari 27,0oC hingga 10,0oC dengan gradien
mencapai 0,7oC/m.
2.2. Klorofil-a
Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu Chloros artinya hijau dan
phyllos artinya daun. Ini diperkenalkan tahun 1818, dimana pigmen tersebut
diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut organik. Hans Fischer
peneliti klorofil yang memperoleh nobel prize winner pada tahun 1915 berasal
dari Technishe Hochschule, Munich Germany.
Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan
bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis
tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia.
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas yang ditunjukkan dengan
besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan
pelagis. Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi
60% dari produktifitas yang ada di laut.
Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson.
Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari sebaran
konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a
tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi
upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur.
Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di
perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai
konsantrasi nutrien di perairan lebih kecil. Nontji (2005) menyatakan bahwa
konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim
barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Fitoplankton sebagai tumbuhan
yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis
dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara
dan menghasilkan senyawa seperti karbohidrat. Karena adanya kemampuan untuk
membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai
produsen primer. Oleh karena itu kandungan korofil-a dalam perairan merupakan
salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat
Laju produktifitas primer lingkungan laut ditentukan oleh bebagai faktor
fisika. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik
adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel
(fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang
produktifitas primer dan kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan
informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah
bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi
klorofil-a yang hampir homogen.
Menurut Nybakken (1992), produktifitas primer perairan pantai sepuluh kali
lipat produktifitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar
zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan lepas pantai.
Perairan pantai menerima sejumlah unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalam bentuk
PO4 dan NO3 melalui run off (aliran air) dari daratan. Zat-zat hara ini menjadi
sumber nutien bagi pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton.
2.3 Pola Angin dan Arus
Letak geografis sangat berperan dalam menentukan pergerakan arus di
perairan Selat Makassar. Dengan letak selat yang memanjang dalam arah
utara-selatan, maka sepanjang tahun arus permukaan tidak mengalami perubahan arah,
yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah
pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar
bagian Selatan.
Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa secara umum gerakan arus
permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus permukaan laut antara lain:
(1) Bentuk topogafi dasar laut dan pulau-pulau yang ada disekitarnya; (2) Gaya
Coriolis dan Arus Ekman; (3) Perbedaan tekanan air; (4) Arus musiman;
(5)Upwelling dan sinking dan (6) Perbedaan densitas.
Terdapat tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu
dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik
(Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan
sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari
penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga
tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water
(NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera
Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Ketika sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air ini akan berbelok ke arah timur
bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini kemudian terus bergerak
memasuki ujung selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki ujung
selatan Samudera Pasifik selatan. Pada ujung bagian selatan Samudera Hindia
sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar khatulistiwa dan naik ke
permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera
Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati
khatulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997).
Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem
peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh
tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air
yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa
air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik
mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang
dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) atau biasa disebut Indonesian
Seas Throughflow. ARLINDO dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera Hindia Tropis
melalui perairan Indonesia.
Menurut Wyrtki (1987), arus-arus permukaan yang melintas di Indonesia
sangat menarik, karena hal ini menunjukkan pertalian yang erat antar arah dan
kekutan arus dan kekuatan dan peralihan musim (monson) di Indonesia. Selain
itu, arus sangat erat dengan proses-proses oseanografi lainnya, antara lain
terjadinya proses upwelling dan downwelling yang terjadi di Laut Banda dan
Gambar 2. Sirkulasi Massa Air (the great conveyor belt) (W. Broecker 1997).
ARLINDO merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal
iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air
dengan salinitas rendah yang dibawa oleh ARLINDO diketahui mempengaruhi
perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al.
2004).
Selat Makassar merupakan perairan yang terletak antara Pulau Kalimantan
dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara
dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah selatan. Kondisi oseanografi
Selat Makassar ini selain dipengaruhi oleh dinamika oseanografi dalam selat itu
sendiri juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan
iklim. Perairan pantai Kalimantan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang
mengapit Selat Makassar juga berperan terhadap dinamika massa air selat tersebut
(Illahude, 1978).
Pada bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari tenggara,
mencapai puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim timur
karena angin bertiup dari timur ke barat. Pada bulan Desember-April dipengaruhi
oleh angin musim dari barat laut, mencapai puncaknya pada bulan
Desember-Februari dan disebut sebagi musim barat karena angin bertiup dari barat ke timur.
dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode
musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005).
Pergantian angin muson dari muson barat ke muson timur menimbulkan
berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makassar. Selama angin
muson barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya
nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada muson timur, terjadi peningkatan salinitas
akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang
bersalinitas tinggi dari Samudra Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke
perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961).
Selain tingkat salinitas, perubahan pada arus permukaanpun terjadi, hal ini
dipengaruhi dengan adanya angin muson. Selama muson timur, massa air dari
Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir
bersama ke Laut Jawa. Pada muson barat, massa air dari Laut Jawa bertemu
dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah
Laut Flores.
Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang
berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor
maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat
Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat
bertiupnya angin muson tenggara antara Juli–September dan minimum saat muson barat laut antara November–Februari (Meyers et al., 1995; Gordon et al., 1999; Hautala et al., 2001).
Pada Gambar 3 sistem arus lintas Indonesia menunjukkan adanya aliran
massa air yang mengalir sepanjang tahun dari arah utara ke selatan perairan Selat
Makassar dan juga arus permukaan yang mengalir dari laut Jawa masuk ke Selat
Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia di Perairan Indonesia (Gordon et al. 1996)
2.4 Upwelling
Upwelling didefinisikan sebagai fenomena naiknya massa air yang dingin
dan berat serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan atas atau
menuju permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan
kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Hutabarat
dan Evans, 1985).
Laut dikenal memiliki stratifikasi massa air secara vertikal yaitu air di
lapisan dalam mempunyai suhu lebih rendah dan zat hara lebih tinggi
dibandingkan di permukaan. Peristiwa upwelling menyebabkan suhu lebih rendah
dan zat hara menjadi lebih tinggi di permukaan. Di daerah upwelling, lapisan
termoklin akan naik, bahkan mungkin mencapai permukaan dan terjadi anomali
suhu rendah di permukaan dibanding sekitarnya (Smith, 1968).
Upwelling yang terjadi di laut lepas sering dijumpai di sepanjang
khatulistiwa dimana angin pasat bertiup sepanjang tahun, menyebabkan daerah
divergen berkembang begitu kuat, sehingga lapisan termoklin bergerak vertikal ke permukaan. Keadaan pada daerah divergen tersebut menimbulkan “kekosongan” pada lapisan permukaan yang diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya
Terdapat tiga proses yang menyebabkan yang dapat menyebabkan
terjadinya upwelling. Pertama, ketika terdapat tikungan yang tajam di garis pantai
yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan
massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi
kekosongan tersebut.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004)
Kedua, ketika terjadi proses upwelling, dimana upwelling itu sendiri terjadi
karena adanya angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup
besar dan dalam waktu yang cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar
dengan garis pantai atau benua, garis pantai berada di sebelah kiri dari angin
untuk Belahan Bumi Utara atau di sebelah kanan dari angin untuk Belahan Bumi
Selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang timbul akibat perputaran bumi pada
porosnya) massa air yang bergerak sejajar dengan garis pantai akan dibelokkan
arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus angin ke laut lepas. Angin
Gambar 5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh offshore wind (Thurman and Trujillo, 2004)
Selain dua kejadian di atas, upwelling juga dapat terjadi bila arus dalam
(deep current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang
kemudian arus tersebut dibelokkan ke atas menuju permukaan (Barnes dan
Hughes, 1988).
Gambar 6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean (Thurman and Trujillo, 2004)
Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini
disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)
dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan
menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air
permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada
air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti
kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam
Menurut Wyrtki (1961), upwelling dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Tipe stationer, yaitu bila upwelling terjadi sepanjang tahun meskipun dengan
intensitas yang bervariasi, misalnya upwelling di pantai Peru.
2. Tipe periodic, yaitu bila upwelling yang terjadi hanya selama satu musim saja,
contohnya upwelling di Selat Makassar bagian selatan (Illahude, 1971).
3. Tipe berganti, yaitu upwelling dan sinking terjadi bergantian dalam satu tahun.
Pada satu musim (misalnya musim timur di Indonesia) terjadi upwelling dan
musim berikutnya (musim barat) terjadi sinking. Tipe seperti ini terjadi di Laut
Banda dan laut Arafura.
Menurut Diposaptono (2010), upwelling di bagian selatan perairan Selat
Makassar terjadi pada waktu musim tenggara (Juni – September). Pada saat terjadi upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu berkisar antara 26,4oC– 27,8oC, kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik dengan
mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi.
2.5 Sistem Penginderaan Jauh
Teknologi penginderaan jauh (inderaja) merupakan teknologi yang
digunakan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan
jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah terhadap data yang diperoleh
dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau
gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1987).
Dalam kaitannya dengan teknologi inderaja, maka segala bentuk informasi
tersebut akan direkam oleh sebuah alat yang dinamakan sensor. Pada sistem
penginderaan jauh, warna air laut menjadi transfer radiasi dalam sistem sinar
matahari ke perairan dan ke sensor satelit. Sensor pada satelit menerima pantulan
radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari
pada saat menuju perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul
udara, dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan
diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti
fitoplankton (Sutrisno,2002).
Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah
adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.
seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near
sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang
dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro (Susilo,
1997).
2.7 Satelit MODIS
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah
satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite,
yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National
Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program
jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan,
atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. Satelit Terra berhasil
diluncurkan pada Desember 1999 dan kemudian disempurnakan dengan satelit
Aqua pada tahun 2002.
MODIS mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan
whisk-broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view atau tampilan
lebih dari 2300 km menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada
siang hari dan emisi termal 13 siang/malam di seluruh penjuru bumi. Resolusi
spasial MODIS berkisar dari 250-1000 m (Janssen dan Huurneman, 2001).
MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian
705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar
cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan
gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band (36
interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1
µm=1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega byte
setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bit, artinya obyek dapat dideteksi dan
dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen
citranya pixel (picture element) berukuran 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7)
dan 1.000 m (band 8-36) dalam dunia penginderaan jauh (remote sensing), ini
dikenal dengan resolusi spasial. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di
permukaan bumi setiap hari untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari
Data yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal
yakni warna perairan, suhu permukaan laut (SPL), dan produktifitas primer
perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Seluruh produk tersebut sangat
berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut, dan
kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.
Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS
Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang (nm)
Resolusi Spasial (m)
Darat/Awan/Aerosols Boundaries 1 620-670 250
2 841-876 250
Darat/Awan/Aerosols Properties 3 459-479 500
4 545-565 500
Surface/Cloud Temperature 20 3.660-3.840 1000
21 3.929-3.989 1000
22 3.929-3.989 1000
23 4.020-4.080 1000
Atmospheric Temperature 24 4.433-4.498 1000
25 4.482-4.549 1000
Cirrus Clouds Water Vapor 26 1.360-1.390 1000
27 6.535-6.895 1000
28 7.175-7.475 1000
Cloud Properties 29 8.400-8.700 1000
Ozone 30 9.580-9.880 1000
Surface/Cloud Temperature 31 10.780-11.280 1000
32 11.770-12.270 1000
Cloud Top Altitude 33 13.185-13.485 1000
34 13.485-13.785 1000
35 13.785-14.085 1000
36 14.085-14.385 1000
3 METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011
dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01o00'00"– 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT (Gambar 7).
3.2 Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop dengan perangkat
lunak sebagai pendukung dalam pengolahan data, perangkat lunak yang dimaksud
yaitu Microsoft Excel 2007, Modis browser, Modis Project, Envi 4.2, Er Mapper
7.0, Surfer 9.0, Ocean Data View 3.0.1 dan Arc Gis 9.3. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah data Suhu Permukaan Laut (SPL) dan data klorofil-a dari citra
MODIS, selain itu digunakan pula data pendukung berupa data oseanografi dan
data meteorologi wilayah Perairan Selat Makassar.
3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Data Penginderaan Jauh
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data citra satelit MODIS level
1 dengan resolusi 1 km dalam format HDF (Hierarchical Data Format). Data
sebaran SPL dan Klorofil-a adalah data harian selama dua tahun (2009 – 2010) dengan citra SPL dan klorofil-a untuk mendapatkan data time series. Pemetaan
pola sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a sebagai data pendukung dilakukan
dengan mendownload data tahun 2009 dan 2010 pada Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional Stasiun Parepare Sulawesi Selatan.
3.3.2 Data Oseanografi
Data oseanografi meliputi data profil suhu menegak yang diperoleh dari
World Ocean Database (WOD) untuk bulan yang mewakili musim barat dan
musim timur.
3.3.3 Data Meteorologi
Data meteorologi yang merupakan data sekunder meliputi data curah hujan
yang diperoleh dari World Meteorogical Organization (WMO), kecepatan angin
rata-rata, lamanya hari hujan, dan arah angin yang diperoleh dari Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat Jakarta.
3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Data Suhu Permukaan Laut (SPL)
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara
yang ada kemudian dipotong wilayahnya (crooping) dengan menggunakan
perangkat lunak Modis Project. Wilayah yang dipotong adalah wilayah yang
berada pada posisi antara 01o00'00" – 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT. Hasil croopingan diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Modis Browser dan keluaran (output) yang diinginkan berupa data ASCII (*.asc)
yang didalamnya terdiri dari variabel bujur, lintang dan nilai estimasi suhu
permukaan Laut (SPL). Ekstraksi data SPL dilakukan dengan menggunakan kanal
31 dan 32 pada Modis dengan menerapkan algoritma Miami Pathfinder (2001):
Modis_SST = c1 + c2*T31 + c3*T31-32 + c4*(sec( - 1)*T31-32
dimana: T31, T32 = Brightness temperatur dari kanal 31 dan kanal 32
= Sudut zenith satelit
Konstanta (c1, c2, c3, danc4) dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Modis
Koefisien T30-T31≤ 0.7 T30-T31≥ 0.7
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mendownload citra klorofil-a MODIS Level 1 wilayah Perairan Selat Makassar.
Citra yang ada kemudian dipotong wilayahnya (crooping) dengan menggunakan
perangkat lunak Modis Project. Wilayah yang dipotong adalah wilayah yang
berada pada posisi antara 01o00'00" – 07o50'07" LS dan posisi 114o27'96" – 120o47'35" BT. Hasil croopingan diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Modis Browser dan keluaran (output) yang diinginkan berupa data ASCII (*.asc)
Ekstraksi data SPL dilakukan dengan menggunakan kanal 31 dan 32 pada Modis
dengan menerapkan algoritma OC3M O’Reilly et al. (2000):
Ca = 100.283-2.753R+1.457R2+0.659R3-1.403R4, R = log10(Rrs443>Rrs488/Rrs551)
Dimana: Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)
R = Rasio reflektansi
Rrs = Remote sensing reflectance
3.4.3 Pembuatan Kontur Sebaran SPL dan Klorofil-a
Proses pembuatan garis kontur untuk SPL dan klorofil-a ini dibuat dengan
menggunakan perangkat lunak surfer 9.0 melalui menu countur map dengan cara
mengoverlay kontur-kontur dari setiap citra yang dipilih.
3.4.4 Data Angin
Pengolahan data angin dimulai dengan download data angin dengan format
netcdf (*.nc). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial berukuran 1,5° x
1,5° dengan cakupan area global. Data yang digunakan adalah data perwakilan
harian dari setiap bulan untuk tahun 2009 dan 2010 dengan interval 6 jam, yaitu :
Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00. Selanjutnya dilakukan cropping sesuai
dengan lokasi penelitian dengan perangkat lunak Ocean Data View (ODV).
Proses selanjutnya adalah dengan mengekstrak data berformat (*.nc) dengan
menggunakan ODV menjadi data berformat teks (*.txt). Hasil yang diperoleh
berupa data u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s] harian yang
terpilih dari setiap bulan pada tahun 2009 dan 2010 yang mewakili daerah Selat
Makassar. Data bujur, lintang, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters
[m/s] dengan format (*.txt) diproses dengan Surfer 9.0 dengan cara grid data
bulanan. Tahap selanjutnya yaitu overlay antara vektor (arah pergerakan angin)
dengan basemap (darat) sehingga menghasilkan tampilan arah pergerakkan angin.
3.4.5 Curah hujan
Data curah hujan diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Pusat serta dari climate online Berau of Meteorology (BOM).
Data tersebut merupakan jumlah curah hujan (mm) harian yang kemudian
dirata-ratakan menjadi bulanan. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL)
Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan
tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan dengan
baik pola sebaran SPL baik secara spasial maupun temporal. Analisis citra
dilakukan pada beberapa hari yang terpilih dari setiap bulannya.
4.1.1 Pola Sebaran SPL Secara Spasial
Berdasarkan hasil olahan citra satelit MODIS level 1 terlihat bahwa pola
sebaran SPL secara spasial di Perairan Selat Makassar menunjukkan pola
penyebaran yang berbeda. Namun, walaupun pola tiap bulannya berbeda tapi
secara umum, variabilitas suhu di Perairan Selat Makassar tidak terlalu berbeda
jauh atau nilai yang terlihat relatif homogen. Kisaran suhu yang terlihat berkisar
antara 26-31ºC.
Secara spasial terlihat bahwa pola penyebaran SPL di bagian selatan
Perairan Selat Makassar pada bulan Desember-Februari (Musim Barat)
memperlihatkan penyebaran suhu yang relatif tinggi yaitu berada pada kisaran
29-31ºC. Kisaran suhu yang relatif tinggi ini masih terlihat pula pada periode bulan
Maret-April (Musim Peralihan I).
Gambar 10. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan I tahun 2010
Memasuki awal periode musim timur yaitu bulan Mei mulai terlihat adanya
gejala penurunan suhu di bagian selatan Selat Makassar. Penurunan ini pun
semakin terlihat pada bulan Juni dan Juli yang mengindikasikan adanya gejala
permulaan upwelling. Pada bulan Juli-Agustus fenomena ini semakin terlihat jelas
dengan pola penyebaran suhu yang terstratifikasi dengan jelas secara horizontal di
bagian selatan Selat Makassar (Gambar 11).
Pada periode bulan September-Oktober (Musim Peralihan II) sebaran SPL
menunjukkan bahwa indikasi adanya upwelling mulai melemah yang ditandai
dengan menurunnya luasan daerah upwelling dan naiknya SPL di bagian selatan
Selat Makassar jika dibandingkan dengan periode musim sebelumnya yaitu
Musim Timur.
Gambar 11. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Timur tahun 2010
Gambar 12. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan II tahun 2010
Secara umum, fenomena upwelling pada musim timur dan peralihan II
(Gambar 11 dan 12) menunjukkan adanya pola sebaran SPL secara spasial yang
dimulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi yang kemudian meluas hingga laut
0%
selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL
mengalami peningkatan sebesar 0.8°C mencapai nilai sekitar 29.4°C. Tingginya
SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik
yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan
Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL
lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian ini, dimana terlihat bahwa pada bulan-bulan yang
termasuk dalam musim timur (Juni-Agustus) yang disajikan pada Gambar 11
terlihat bahwa nilai SPL yang lebih rendah cenderung bergerak ke arah Laut
Flores.
4.1.2 Pola Sebaran SPL Secara Temporal
Nilai SPL pada periode bulan Mei-Agustus (musim timur) berkisar antara
26.5-31.2oC. Kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 26.5oC tersebut
ditemukan di bagian selatan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau
Sulawesi. Rendahnya kisaran nilai ini jika dibandingkan dengan bulan-bulan
sebelumnya menunjukkan adanya fenomena upwelling. Menurut Yahya (2000)
bahwa sebaran SPL di Selat Makassar rata-rata berkisar antara 24-30.34°C,
dengan suhu tertinggi ditemukan pada musim peralihan barat-timur, suhu perairan
mengalami penurunan selama musim timur, kemudian meningkat kembali
memasuki musim peralihan timur-barat.
(a) (b)
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis persentase tingkat penyebaran SPL
terlihat bahwa secara umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010
dimulai pada bulan Juni yang terjadi di bagian selatan Selat Makassar dan
mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Bulan Agustus memperlihatkan
fenomena meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat nilai yang rendah yang
mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling.
4.2. Pola Sebaran Klorofil-a
Hasil olahan citra Modis level 1 untuk menganalisis pola sebaran
konsentrasi klorofil-a menunjukkan hasil yang baik secara spasial dan temporal.
Pemilihan data yang ditampilkan pada analisis ini sama dengan pemilihan data
pada analisis pola penyebaran SPL yaitu dengan memilih perwakilan harian pada
setiap bulan untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang pola penyebaran
klorofil di bagian selatan Selat Makassar.
4.2.1 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Spasial
Berdasarkan hasil olahan citra Modis level 1 diperoleh pola sebaran
konsentrasi klorofil-a perairan Selat Makassar. Secara spasial, tingkat konsentrasi
klorofil-a terlihat berbeda untuk setiap musim. Pada Musim Barat yaitu pada
periode bulan November-Februari terlihat bahwa tingkat konsentrasi klorofil-a di
perairan Selat Makassar rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan musim
lainnya. Namun tingkat konsentrasi yang relatif tinggi ditemui di daerah pesisir.
Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari daratan yang
disebabkan oleh tingkat curah hujan yang relatif tinggi pada musim ini sehingga
memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir. Pada
periode bulan April-Mei (Musim Peralihan I) pola sebaran konsentrasi klorofil-a
Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Barat II tahun 2010
Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a pada periode Musim
Timur yaitu terhitung sejak bulan Mei-Agustus terlihat bahwa pada awal Musim
Timur di bulan Mei adanya tanda-tanda peningkatan konsentrasi klorofil-a di
bagian permukaan wilayah selatan Selat Makassar belum terlihat. Konsentrasi
klorofil-a meningkat dengan tingkat konsentrasi yang relatif tinggi mulai terlihat
pada bulan Juni dan maksimum di periode bulan Agustus. Tingginya konsentrasi
klorofil-a pada periode bulan di Musim Timur yang telah diawali dengan
menurunnya SPL di kawasan ini menunjukkan terjadinya upwelling. Hal ini
sesuai dengan Wyrtki (1961) dan Illahude (1978) yang menjelaskan bahwa
upwelling pada daerah ini terjadi pada Musim Timur yaitu bulan Juni-Agustus.
Pada awal Musim Peralihan II yaitu pada bulan September, pola
penyebaran upwelling secara spasial masih terlihat jelas. Akhir Musim Peralihan
II ini (Oktober) diperkirakan sebagai akhir dari fenomena upwelling, ini terlihat
dari penampakan konsentrasi klorofil-a yang mulai menurun kembali di akhir
Musim Peralihan II ini (Gambar 17).
Adanya tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Musim
Timur dan Peralihan II ini disebabkan oleh meningkatnya unsur hara di bagian
permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam.
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002) yang menjelaskan
bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi di lapisan
permukaan Selat Makassar yang diindikasikan diakibatkan oleh upwelling masih
ditemukan hingga musim peralihan II pasca Musim Timur. Tingkat konsentrasi
klorofil yang ditemukan berada pada kisaran 0.16-1.41 mg/m3. Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian ini dimana tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi
ditemukan di selatan Selat Makassar dengan kisaran nilai sebesar 0.8-1.2 mg/m3
yang menunjukkan terjadinya fenomena upwelling. Pada bulan Juni terlihat bahwa
pola sebaran konsentrasi klorofil yang relatif tinggi masih berada di sekitaran
daerah pesisir khususnya bagian selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan
Juli-Agustus pola penyebarannya mulai terlihat meluas ke arah barat daya pulau
Gambar 16. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Timur tahun 2010
4.2.2 Pola Sebaran Klorofil Secara Temporal
Data klorofil-a dari satelit MODIS dipetakan pada bagian selatan Selat
Makassar sehingga diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode
Januari-Desember 2009 dan 2010. Tingkat konsentrasi klorofil-a yang ditemukan untuk
keseluruhan bulan berada pada kisaran 0.76-1.38 mg/m3.
(a) (b)
Gambar 18. Persentase tingkat penyebaran klorofil-a pada beberapa bulan tahun (a) 2009 dan (b) 2010
Berdasarkan analisis persentase tingkat penyebaran klorofil-a secara
temporal di bagian selatan Selat Makassar tahun 2009 dan 2010 terlihat bahwa
peningkatan konsentrasi klorofil-a dimulai sejak bulan Juni dimana konsentrasi
klorofil-a mulai naik pada kisaran 0.8-0.9 mg/m3 yang kemudian memuncak pada
bulan Agustus dengan konsentrasi klorofil-a di atas 1.0 mg/m3.
Adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a ini terlihat jelas dengan
meluasnya pola penyebaran di bagian selatan Selat Makassar. Hasil ini tidak jauh
berbeda dengan pola penyebaran yang terlihat di tahun 2009 dan ini menunjukkan
bahwa ternyata fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada Musim Timur
dengan pola penyebaran yang hampir sama.
4.3 Fluktuasi Upwelling
Berdasarkan hasil analisis pola penyebaran SPL dan klorofil-a untuk tahun
2009 dan 2010 diketahui bahwa terbentuknya SPL rata-rata dimulai pada bulan
Juni. Menurunnya SPL ini diikuti kemudian dengan meningkatnya konsentrasi
klorofil-a yang menyebar di perairan bagian selatan Selat Makassar. Terbentuknya
SPL untuk tahun 2010 dimulai pada minggu kedua bulan Juni kemudian
memuncak pada minggu kedua Agustus dan berakhir di minggu kedua bulan
Oktober. Terbentuknya SPL di minggu kedua bulan Juni ini diikuti dengan
meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni yang
kemudian memuncak pada minggu keempat bulan Agustus dan berakhir di
minggu keempat bulan September.
(a) (b) (c)
0
pertama bulan Juni ini diikuti pula dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a
pada minggu ketiga bulan Juni yang kemudian meningkat di minggu ketiga bulan
Agustus dan berakhir pada minggu ketiga bulan September.
Pada saat kejadian upwelling memuncak yaitu di bulan Agustus, pola
penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi.
Menurut Rosyadi (2011), penyebaran ini menyebar ke barat daya Pulau Sulawesi
sekitar 330 km. Secara lebih rinci, pola penyebaran ini kemudian dianalisis
perkembangannya tiap bulan sejak terbentuk sampai berakhirnya SPL dan
klorofil-a tersebut untuk mengetahui luasan penyebaran SPL dan klorofil-a yang
kemudian diestimasi sebagai daerah penyebaran upwelling.
Setelah dilakukan analisis pola penyebaran SPL dan klorofil secara bulanan
untuk mengestimasi luasan daerah yang diindikasikan terjadi upwelling,
selanjutnya dilakukan analisis pola penyebaran secara mingguan di bulan Agustus
(Gambar 20 dan 21). Bulan Agustus menjadi bulan yang dipilih karena
berdasarkan analisis variabilitas SPL dan klorofil-a baik secara spasial maupun
temporal diketahui bahwa bulan Agustus merupakan bulan dimana tingkat
penyebaran SPL dan klorofil-a memuncak.
Gambar 20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2009
0
Gambar 21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2010
Berdasarkan analisis pola penyebaran suhu dan klorofil-a terlihat bahwa
memuncaknya fenomena upwelling untuk tahun 2009 yang terjadi di bulan
Agustus dimulai pada minggu kedua, hal ini ditunjukkan dengan semakin
menurunnya SPL pada minggu kedua yang kemudian diikuti dengan
meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga. Hasil ini tidak jauh
berbeda dengan pola penyebaran suhu dan klorofil-a untuk tahun 2010.
Fenomena upwelling mulai memuncak pada minggu kedua Agustus yang
ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL yang diikuti dengan meningkatnya
konsentasi klorofil-a di minggu keempat bulan Agustus.
Gambar 22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus 2010
Pola penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di bulan
Agustus menunjukkan bahwa penurunan suhu diikuti dengan peningkatan
konsentrasi klorofil-a. Menurut Valiela (1984), hal ini disebabkan karena
fitoplankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi
pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini dikarenakan lebih
efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju
fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan
kondisi yang ada. Selain itu, perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu
tinggi. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi karena
tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton.
Terjadinya penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a diikuti
dengan meluasnya daerah sebaran upwelling untuk tahun 2009 dan 2010.
Meningkatnya total luasan daerah yang diindikasikan merupakan area upwelling
untuk tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 dengan pola penyebaran
mengarah ke arah barat daya dengan estimasi luasan mencapai sekitar ± 46000
km2 (Gambar 22).
4.4 Faktor-faktor yang menunjukkan terjadinya Upwelling
4.4.1 Lapisan Termoklin
Berdasarkan hasil analisis pada sebaran nilai SPL terlihat bahwa secara
umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010 yang terjadi di bagian
selatan perairan Selat Makassar dimulai pada bulan Juni dan mencapai puncaknya
pada bulan Agustus. Minggu pertama bulan Agustus memperlihatkan fenomena
meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat yang rendah yang
mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling.
Indikasinya terjadinya upwelling pada periode Mei-Agustus (Musim Timur)
didukung pula dengan berubahnya lapisan termoklin (Gambar 23).
Data profil suhu menegak bagian selatan perairan selat Makassar
menunjukkan bahwa lapisan termoklin pada Musim Barat dimulai pada
kedalaman 42 m dengan penurunan suhu mulai dari 28oC, sedangkan untuk
Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling menunjukkan bahwa lapisan
penurunan suhu mulai dari 27oC dan titik non upwelling dimulai pada kedalaman
33 m dengan penurunan suhu mulai 28 oC. Berdasarkan hasil pengukuran ini
terlihat bahwa lapisan termoklin mengalami perubahan atau kenaikan saat musim
timur (Juni-Agustus) pada titik upwelling, hal ini secara langsung menunjukkan
bahwa pada musim timur terjadi penaikan massa air yang menyebabkan
berubahnya lapisan termoklin. Terjadinya penaikan massa air ini menunjukkan
terjadinya upwelling di Selat Makassar dimana upwelling tersebut menyebabkan
terangkatnya massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas.
Gambar 23. Profil suhu menegak (a) Bulan Desember (Musim Barat) (b) Bulan Agustus (Musim Timur) (Sumber:World Ocean Database, 2005) (a)