INDONESIA JAYA, SERANG, BEKASI, JAWA BARAT
RADEN YULI NURYANTI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
RADEN YULI NURYANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
porosus) di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD.
Taman Buaya Indonesia Jaya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Bekasi, Jawa Barat. Penangkaran ini tidak hanya menangkarkan
jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus)
untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelli) yang secara nasional dan internasional keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik penangkaran dan mengidentifikasi ukuran keberhasilan penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya.
Penelitian dilakukan di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya pada bulan Februari - Oktober 2012. Alat yang digunakan antara lain kamera digital, alat tulis, tallysheet, panduan wawancara, termometer dry and wet serta buaya muara dan pengelola penangkaran sebagai objek penelitian. Teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif, ukuran keberhasilan penangkaran dianalisis secara kuantitatif.
Teknik penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu perkandangan, pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi, serta pemanfaatan hasil. Teknik penangkaran termasuk kategori pengelolaan intensif. Kegiatan penangkaran buaya muara di Taman
Buaya Indonesia Jaya dapat dikategorikan berhasil, dengan tingkat
perkembangbiakan induk buaya muara bernilai sedang (50,32%), daya tetas telur sedang (42,32%) dan angka kematian rendah (27,35%). Keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran.
porosus in Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat. Under Supervision of BURHANUDDIN MASY’UD.
Taman Buaya Indonesia Jaya is one of the captive crocodiles in Bekasi, Jawa Barat. This captivity is not only breed commercial crocodiles such as estuarine crocodiles (Crocodylus porosus) for their skin and meat, but also breed
siamese crocodiles (Crocodylus siamensis) and false gharial (Tomistoma
schlegelli). Those two species are endangered extinct national and internationally.
This research was aimed to study captive breeding techniques and identify measures of success Crocodylus porosus in Taman Buaya Indonesia Jaya.
The research was conducted in Taman Buaya Indonesia Jaya on February until October 2012. Instrument used include digital camera, stationery, tally sheet, meter, litmus, interview guide, dry and wet thermometer and object of the
research was Crocodylus porosus and manager from Taman Buaya Indonesia
Jaya. The data of captive breeding techniques was analyzed descriptive, measures
of success Crocodylus porosus from Taman Buaya Indonesia Jaya were
quantitative analysis.
Captive breeding techniques of Crocodylus porosus in Taman Buaya
Indonesia Jaya consists of five main activities such as caging, feeding, diseases and keeping healthy, reproduction and production usage. Techniques on captive breeding include in intensive management category. Activity of captive breeding from Taman Buaya Indonesia Jaya can be categorized success were reproduction rate (50,32%), moderate egg hatching rate (42,32%) and low mortality (27,35%). An aspect social economics of society around captivity is influence by their participation on management activity.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik
Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di Penangkaran Taman Buaya
Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skrpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta
dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Bekasi, Jawa Barat.
Nama : Raden Yuli Nuryanti
NIM : E34089002
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS. NIP. 195811211986031003
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya lah penulis diberi kelancaran dalam menyelesaikan Karya Ilmiah
ini. Karya Ilmiah dengan judul “Teknik Penangkaran Buaya Muara
(Crocodylus porosus) di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat” dengan pembimbing Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS. Ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan pada Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema ini dipilih karena dalam melakukan
kegiatan penangkaran buaya muara (Crocodylus porosus) diperlukan pengetahuan
mengenai cara penangkaran yang tepat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi pihak pengelola dala kegiatan penangkaran.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam penyusunan
skripsi ini masih terdapat kekurangannya. Kritik dan saran yang membangun
untuk penyempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan.
Bogor, Maret 2013
ii tanggal 17 Juli 1989 sebagai anak kedua dari dua bersaudara
pasangan R.H.M Sudirman BE dan Wasitoh. Penulis menempuh
jalur pendidikan dari SDN Citeureup 03 lulus tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP di SLTP
Puspanegara Yayasan Indocement Tunggal Prakarsa tahun 2005.
Penulis juga menempuh jalur SMA di SMA Negeri 03 Bogor
tahun 2005-2008. Tahun 2008 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi dan tahun 2010 pindah ke
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi HIPOTESA dan IMEPI
Jabagbar tahun 2009-2010 dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan tercatat sebagai anggota Fotografi
Konservasi (FOKA) tahun 2010-2011. Penulis pernah menjabat sebagai
bendahara biro kekeluargaan HIMAKOVA tahun 2010 hingga 2011. Tahun 2011
penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di Cagar Alam
Pangandaran dan Gunung Syawal, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan
Pendidikan Gunung Walat tahun 2012 dan tahun 2012 penulis melakukan Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga di
Desa Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat.
Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Teknik Penangkaran Buaya
Muara (Crocodylus porosus) Di Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya,
Serang, Bekasi, Jawa Barat” untuk memperoleh gelar sarjana, dibimbing oleh
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.
Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tuaku tercinta, Bapak R.H.M Sudirman B.E dan Ibu Wasitoh atas doa,
kasih sayang, dukungan moril, serta motivasi untuk penulis, kakak-kakakku
dan keponakan tersayang, Raden Herry Cong Sudirman dan Sulasmi serta
Raden Nadine Ayudya Sawitri yang telah memberikan semangat, serta
keluarga besar penulis atas semua doa untuk penulis.
2. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku dosen pembimbing atas kesabaran
dan telah memberikan motivasi, nasehat serta bimbingannya.
3. Dr. Ir. Supriyanto yang telah bersedia menjadi dosen penguji untuk ujian
komprehensif dan terima kasih atas semua masukan dan koreksi.
4. Dr. Ir. Tutut Sunarminto yang telah bersedia menjadi ketua sidang untuk
ujian komprehensif dan terima kasih atas semua masukan dan koreksi.
5. Resti Meilani S.Hut, M.Si yang telah menjadi moderator saat seminar skripsi.
6. Lukman Arifin, Arsyad, Supriyadi, Jeffry atas dukungan yang diberikan
kepada penulis sehingga dapat melaksanakan penelitian di Penangkaran
Taman Buaya Indonesia Jaya, serta seluruh pihak pengelola Penangkaran
Taman Buaya Indonesia Jaya yang telah membantu, membimbing, dan
memberikan informasi yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi.
7. Herman selaku laboran di Laboratorium Konservasi Ex-Situ atas bantuan
informasinya.
8. Ridwan Sulaeman yang selama ini telah membantu dalam memberikan do’a,
cinta, kasih sayang, perhatian, pengertian dan nasehat.
9. Ika Sarita A, Tama, Sihab, Dito, Nida, Nisa, Endah, Dita H, Sinta S, Wahyu I,
Joko, Romi, Ivana Grace, Tere, Vani, Ratna , Sahri M, Tri, Perti, Amir, Daus
atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.
moril hingga akhir penyelesaian skripsi ini.
12. Tim Magang Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga-Sukabumi (Amrul
Ilmana, Math Alpy dan Mundi Laksono) terimakasih atas dorongan moril
hingga akhir penyelesaian skripsi ini.
13. Keluarga besar Himakova atas pembelajaran berorganisasi.
14. Keluarga besar DKSHE atas bantuannya terutama untuk Ibu Ratna, Ibu Titin,
Pak Acu, dan Ibu Evan serta segenap staf tata usaha yang telah banyak
membantu persiapan administrasi dari awal penelitian hingga proses ujian
komprehensif.
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah
membantu dan memberikan andil dalam proses kematangan jiwa penulis serta
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
1.3 Manfaat ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Deskripsi Umum Buaya Muara ... 4
2.2 Penangkaran ... 8
2.3 Status Perlindungan Buaya Muara ... 9
2.4 Animal Welfare ... 9
BAB III METODE PENELITIAN ... 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11
3.2 Alat dan Bahan ... 11
3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 11
3.5 Analisis Data ... 14
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17
4.1 Sejarah,Tujuan,Manfaat dan Struktur Organisasi Penangkaran ... 17
4.2 Kondisi Fisik ... 18
4.3 Kondisi Biotik ... 18
4.4 Sarana dan Prasarana ... 18
5.2 Pengelolaan Pakan ... 31
5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan ... 35
5.4 Pengelolaan Reproduksi ... 39
5.5 Pengelolaan Pemanfaatan Hasil ... 44
5.6 Analisis Dampak Penangkaran terhadap Lingkungan Sekitar ... 54
5.6 Ukuran Keberhasilan Pengelolaan Penangkaran ... 55
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1 Kesimpulan ... 57
6.2 Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
No. Halaman
1 Jenis dan metode pengumpulan data ... 12
2 Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan ... 21
3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya ... 22
4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda ... 23
5 Fungsi dan ukuran kandang pembesaran ... 24
6 Fungsi dan ukuran kandang induk ... 25
7 Perlengkapan kandang buaya muara di dalam setiap jenis kandang ... 27
8 Perkiraan jumlah pemberian pakan ... 34
9 Kandungan gizi pakan buaya muara ... 35
10 Jenis penyakit, gejala dan pengobatan buaya muara ... 36
11 Produk dari bagian tubuh buaya muara ... 46
12 Komposisi daging alligator ... 47
13 Jenis produk yang dijual ... 49
14 Fasilitas Pendukung ... 53
No. Halaman
1 Suhu kandang penangkaran bulan Februari 2012 ... 64
2 Grafik kelembaban kandang bulan Februari 2012 ... 64
3 Produksi telur buaya muara tahun 2010. ... 64
4 Produksi telur buaya muara tahun 2011 ... 64
5 Kematian anakan buaya muara. ... 65
6 Jumlah induk betina buaya muara. ... 65
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa yang
memiliki 1585 jenis burung atau 17% dari burung dunia, 700 jenis mamalia atau
12% dari mamalia dunia, 511 jenis reptilian dan 270 jenis amfibia atau 16% dari
amfibia dunia (Primack 2010). Saat ini keanekaragaman jenis satwaliar di
Indonesia dalam keadaan terancam punah karena banyak populasi yang menurun
dari tahun ke tahun. Penyebab terancamnya satwaliar adalah penurunan habitat
alami (Ehrlich dan Sodhi 2010). Selain penurunan habitat, pemanfaatan satwaliar
secara berlebihan juga menjadi penyebab punahnya satwaliar (Cadman 2007).
Manusia berburu satwaliar untuk dimakan dagingnya, diambil bagian-bagian
tubuhnya untuk obat, dijadikan hewan peliharaan, atau diperjualbelikan sebagai
barang komoditas (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Salahsatu dari jenis reptilia
yakni buaya muara (C. porosus) merupakan satwa liar yang mempunyai potensi
besar yang dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat.
Barang-barang yang dapat dihasilkan dari buaya muara dapat berupa daging, kulit,
dan bagian tubuh buaya yang lain seperti lemak, empedu, tangkur, gigi dan juga
kuku. Kulit buaya muara dapat digunakan sebagai kerajian tangan seperti tas, ikat
pinggang, jaket, sepatu, sandal, dompet, koper. Daging buaya muara dapat
digunakan sebagai sumber protein yang tinggi. Bagian kuku dan gigi dari buaya
muara dapat dijadikan sebagai asesoris sedangkan bagian empedu, tangkur dan
lemaknya dapat dijadikan untuk obat tradisional (Arifin 2008).
Nilai ekonomi tinggi inilah yang menyebabkan permintaan terhadap buaya
muara (C. porosus) terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menimbulkan
rangsangan kepada masyarakat untuk mengeksploitasi buaya muara sebanyak
mungkin dari alam. Penangkapan dan perburuan terhadap buaya muara
merupakan salah satu penyebab utama kepunahan. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya-upaya perlindungan, salah satunya melalui kegiatan penangkaran
agar eksploitasi buaya muara dari alam dapat dikurangi sehingga kelestariannya
Berkurangnya populasi buaya muara disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya, kerusakan habitat yang disebabkan pembalakan liar sehingga habitat
alami buaya mengalami degradasi, perburuan secara liar dan lemahnya
pengetahuan dari masyarakat setempat mengenai pelestarian lingkungan
khususnya pada buaya muara (Ariantiningsih 2008). Upaya menangani hal ini
maka diperlukan usaha pelestarian untuk buaya muara yang bertujuan untuk
menjaga buaya muara dari kepunahan melalui kegiatan penangkaran.
Seiring dengan membaiknya populasi, status buaya muara di Indonesia
dan Australia dalam daftar CITES dari Appendix I ke Appendix II pada tahun
1985. Pemindahan status populasi ke Appendix II diikuti dengan diizinkannya
pembukaan kembali industri yang berorientasi pada ekspor buaya muara. Buaya
muara sangat sulit bertahan hidup di habitat aslinya karena banyaknya predator di
habitatnya dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. sampai umur lima
tahun (Lindy dan Carr 2010). Saat ini penangkaran buaya muara banyak diminati
karena buaya muara mempunyai nilai komoditi yang berkualitas sangat baik dan
merupakan jenis satwa yang mempunyai ukuran besar dibandingkan dengan
buaya yang lainnya.
Kegiatan penangkaran dilakukan dengan melalui cara pemeliharaan,
perkembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa
dan penyelamatan satwa yang bertujuan untuk menambah dan memulihkan
populasinya dan menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa.
Kondisi penangkaran juga harus disesuaikan dengan habitat aslinya agar satwa
dapat beradaptasi dan mencegah satwa stress. Selain itu, penangkaran harus bisa
memperhatikan kesejahteraan satwa itu sendiri. Berdasarkan latar belakang di atas
maka perlu dilakukan penelitian mengenai teknik penangkaran di Taman Buaya
Indonesia Jaya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan
kepada pihak pengelola Taman Buaya Indonesia Jaya dalam kegiatan
penangkaran, khususnya dalam hal penangkaran buaya muara (C porosus) yang
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari teknik penangkaran buaya muara di Taman Buaya Indonesia
Jaya.
2. Mengidentifikasi ukuran keberhasilan penangkaran buaya muara di
penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai tambahan informasi bagi pengelola penangkaran Taman Buaya
Indonesia Jaya.
2. Bahan masukan bagi pengelola untuk perbaikan kegiatan pengelolaan
penangkaran buaya muara sehingga dapat mengembangkan dan
mengoptimalkan potensi buaya muara sesuai dengan prinsip kesejahteraan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Umum Buaya Muara 2.1.1 Taksonomi dan morfologi
Buaya merupakan jenis reptil yang menurut evolusinya sudah ada sejak
dua juta tahun yang lalu. Jenis buaya yang terdapat di dunia sekitar 24 jenis, dan
di Indonesia hanya terdapat 5 jenis yaitu buaya muara (Crocodylus porosus),
buaya air tawar Irian (Crocodylus novaeguineae), buaya supit (Tamistoma
schlegelii), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya rawa (Crocodylus
palustris) (Iskandar 2009).
Dalam sistem klasifikasi Chiasson (1962) buaya muara diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kelas : Reptilia
Subkelas : Archosauria
Ordo : Crocodilia
Famili : Crocodilidae
Genus : Crocodylus
Spesies : Crocodylus porosus
Nama ilmiah : Crocodylus porosus Schneider (1801)
Buaya muara memiliki tubuh berwarna abu-abu hijau tua, terutama pada
individu dewasa, sedangkan individu muda berwarna lebih abu-abu muda
kehijauan dengan bercak-bercak hitam. Pada ekornya terdapat bercak berwarna
hitam membentuk belang yang utuh (Iskandar 2009).
Gambar 1 Buaya muara (Sumber : www.afcd.gov.uk, 18 Juli 2012).
Berdasarkan morfologinya buaya muara merupakan jenis buaya terbesar di
dijumpai individu berukuran sekitar 3-5 meter (Rosenzweig 2008). Berikut ini
adalah gambar kepala buaya muara dilihat dari penampang lateral dan dorsal
(Gambar 2).
(A) (B)
Gambar 2 Kepala buaya muara (A) Lateral dan (B) Dorsal.
Tengkoraknya memiliki lubang pelipis (foramen temporal) atas dan bawah
yang jelas dan sama sekali tidak terdapat lubang mata berbentuk buah cemara
(foramen pineal). Lubang hidungnya sebelah dalam bermuara pada bagian paling
belakang langit-langit (palatum), masuk ke dalam tenggorok. Pada bagian depan
organ ini terdapat katup kulit yang bisa menutup lubang hidung tersebut dari
rongga mulutnya. Dengan demikian hewan ini masih bisa bernapas meskipun
mulutnya terbuka dalam air karena lubang hidung bagian luar terletak pada ujung
moncong yang menyembul di permukaan air. Pada saat berendam dalam air,
matanya terletak pada bagian atas sisi kepalanya, dan telinganya terlindung oleh
suatu katup kulit sehingga tidak kemasukan air (REI 2008).
Buaya muara memiliki rahang yang panjang dan dilengkapi gigi berbentuk
kerucut. Susunan gigi dan ukuran tidak teratur, pada ukuran normal jumlah gigi
Buaya Muara sisi rahang bagian atas berjumlah 17 dan bagian bawah 15. Gigi ke
empat, ke delapan dan ke sembilan umumnya jauh lebih besar, empat gigi pertama
terpisah dari gigi- gigi di sebelah belakangnya (MEM 2009).
Buaya muara dalam bahasa Inggris dan bahasa perdagangan internasional
mempunyai nama Saltwater Crocodile yang telah dipopulerkan oleh orang
berkebangsaan Australia. Adapun nama daerah buaya ini yakni buaya katak,
buaya bekatak dan buaya air asin. Buaya merupakan binatang reptil berdarah
dingin (cool-blooded), yaitu suhu tubuh mereka memiliki suhu tubuh yang sama
dengan lingkungan sekitarnya, misalnya di dalam air maupun suhu udara. Mereka
mampu mengatur suhu tubuh mereka dengan cara berjemur, menyelam atau
buaya, oleh sebab itu mereka hanya dapat bertahan hidup apabila habitat mereka
di atau dekat dengan sungai, muara, danau, laut, dan rawa (Dennard 2004).
Morgan (2007) menyatakan bahwa buaya muara dewasa melakukan
komunikasi dengan sesamanya mereka mengeluarkan banyak suara. Suara-suara
ini biasanya berupa suara seperti mendengkur, menggeram, batuk dan melenguh.
Sedangkan untuk buaya yang baru menetas akan mengeluarkan suara berupa
ciatan untuk memanggil induknya. Suara ini dihasilkan dengan cara
menggembungkan kantung di bawah tenggorokannya.
Buaya muara hidupnya terutama pada daerah muara sungai. Hampir semua
buaya senang berjemur pada pagi hari, dan menyelam atau menyeburkan diri jika
ada suara yang tidak bersahabat. Ada catatan bahwa jenis ini kadang-kadang
dijumpai di laut lepas (Iskandar 2009).
Buaya muara dalam ekosistem berperan sebagai predator atau sebagai
pemangsa satwa yang lebih kecil sehingga tidak menimbulkan populasi yang
berlebihan terhadap satu jenis satwa. Akan tetapi keberadaan buaya muara ini
terancam punah yang diakibatkan oleh adanya kerusakan habitat, berkurangnya
habitat dan perburuan secara liar (Ariantiningsih 2008).
2.1.2 Pakan buaya muara
Park and Wildlife Service of the Northern Territory (2010) menyatakan
bahwa mangsa utama buaya muda berupa serangga, amfibi, binatang berkulit
keras, binatang melata kecil dan ikan, sedangkan untuk buaya dewasa memangsa
binatang-binatang yang ukurannya lebih besar sebagai makanannya seperti kerbau
liar, binatang ternak dan monyet. REI (2008) menyatakan bahwa, ketika masih
muda buaya muara makan cacing, kumbang, ketam, dan amfibia, setelah
mencapai ukuran yang lebih besar buaya makan ikan dan unggas air, dan bila
sudah dewasa mereka makan mamalia berukuran sedang. Ada juga yang menyeret
mangsanya ke dalam gua di tebing sungai dan membiarkannya sedikit membusuk
2.1.3 Penyebaran buaya muara
Britton (2003) menyatakan bahwa, buaya muara tersebar hampir di seluruh
perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang
mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Buaya
muara juga terdapat di Australia Utara, Bangladesh, Brunei, Myanmar, Kamboja,
Cina, India, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline,
Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Srilanka, Thailand dan Vietnam.
Sedangkan di Indonesia menurut REI (2008) penyebaran buaya muara dapat
ditemukan di seluruh perairan Indonesia, seperti sungai-sungai dan di laut dekat
muara.
2.1.4 Habitat buaya muara
Majid (2009) menyatakan bahwa habitat sarang buaya muara banyak
berada di dekat kolam air sehingga mempermudah induk buaya muara untuk
menjaganya. Buaya muara dalam ekosistem berperan sebagai predator atau
sebagai pemangsa satwa yang lebih kecil sehingga tidak menimbulkan populasi
yang berlebihan terhadap satu jenis satwa. Akan tetapi keberadaan buaya muara
ini terancam punah yang diakibatkan oleh adanya kerusakan habitat,
berkurangnya habitat dan perburuan secara liar (Ariantiningsih 2008).
2.1.5 Perkembangan dan pertumbuhan buaya muara
Pada buaya jantan pertumbuhannya lebih cepat dari pada buaya betina,
sedangkan untuk pertumbuhan seksual keduanya lebih cepat pada musim hujan
daripada musim panas. Pada jantan mengalami kematangan seksual sekitar umur
17 tahun dan panjang sekitar 3,3 m, pada betina mengalami kematangan seksual
sekitar umur 12 tahun dan panjang sekitar 2,3 m (MEM 2009). Tingkat kematian
buaya muara sangat tinggi dari telur sampai umur dewasa di habitat aslinya,
rata-rata telur yang menetas sekitar 25% dari jumlah telur yang ada, penyebabnya
karena faktor tanah yang tidak sesuai, perubahan suhu dan iklim, juga karena
2.2 Penangkaran
Penangkaran adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan budidaya flora
dan fauna liar dan pengelolaannya menyangkut usaha mengumpulkan bibit,
mengembangbiakan, memelihara, membesarkan, dan restocking dengan tujuan
mempertahankan kelestarian satwaliar dan tumbuhan alam tersebut, maupun
memperbanyak populasinya untuk memenuhi kebutuhan manusia (Direktorat
Jendral PHPA 1985).
2.2.1 Kegiatan penangkaran
Kegiatan penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan atas
izin Menteri Kehutanan. Izin dapat diberikan kepada: (1) Setiap orang (2) Badan
hukum (3) Koperasi, atau (4) Lembaga Konservasi. Izin penangkaran yang
diberikan tersebut juga sekaligus merupakan izin untuk dapat menjual hasil
penangkaran setelah memenuhi standar kualifikasi penangkaran tertentu. Standar
kualifikasi penangkaran ditetapkan dengan dasar: (1) Batas jumlah populasi jenis
tumbuhan dan satwa hasil penangkaran (2) Profesionalisme kegiatan penangkaran
(3) Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan (Efendi
2012).
2.2.1.1 Kesehatan
Gangguan fisik yang biasa diderita oleh buaya yakni trauma dengan gejala
adanya luka-luka pada tubuh buaya yang disebabkan oleh perkelahian,
penangkapan, tidak hati-hati dalam pengangkutan. Untuk menangani hal tersebut
dapat diberi obat luka anti infeksi apabila luka yang dialami serius buaya yang
luka segera dibawa ke dokter hewan untuk mendapatkan pengobatan yang
memadai. Untuk menghilangkan stress pada buaya maka sekitar kandang
diusahakan dalam keadaan tenang. Selain itu, penyakit yang disebabkan oleh
kekurangan gizi yang disebabkan oleh faktor tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
2.3 Status Perlindungan Buaya Muara
Jenis satwa yang masuk ke dalam Appendix I merupakan jenis yang
terancam punah akibat adanya perburuan dan perdagangan. Diantara jenis satwa
yang termasuk ke dalam Appendix I antara lain kera tidak berekor, kukang, panda,
cetah, macan tutul dan harimau. Appendix II merupakan jenis yang dalam keadaan
tidak terancam punah akan tetapi jika tidak dilakukan pemantauan atau
monitoring maka jenis yang masuk ke dalam Appendix II ini akan terancam
punah, contohnya buaya muara. Appendix III merupakan jenis yang diidentifikasi
untuk membuat peraturan dan bertujuan untuk mencegah atau membatasi
pemanfaatan jenis yang disesuaikan dengan negara masing-masing. Buaya muara
dimasukkan dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade
of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang hanya boleh
diperdagangkan dari hasil penangkaran dan dalam jumlah terbatas (Setiadi 2011).
2.4 Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare)
Kesejahteraan satwa yaitu hal atau keadaan sejahtera, keamanan,
keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran. Kesejahteraan
memiliki banyak aspek yang berbeda dan tidak ada ungkapan sederhana,
permasalahannya sangat banyak dan beragam. Animal Welfare pada kualitas
hidup satwa, kondisi satwa, dan perawatan atau perlakuan terhadap satwa (Dallas
2006).
Appleby dan Hughes (1997) menyatakan masalah kesejahteraan itu
bermacam-macam, karena kesejahteraan bukan suatu yang sederhana dari yang
baik sampai yang buruk, menyangkut banyak aspek yang berbeda. Satu
kesimpulan dari perbedaan aspek-aspek tersebut yaitu kebebasan (The Five
Freedoms), Farm Animal Welfare Council (1992) diacu dalam Appleby dan
Hughes (1997) menyatakan bahwa idealnya satwa harus (1) bebas dari rasa lapar
dan haus, (2) bebas dari rasa tidak nyaman, (3) bebas dari rasa sakit, luka dan
penyakit, (4) bebas untuk menampilkan perilaku alami, dan (5) bebas dari rasa
takut dan tekanan.
Upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan kesejahteraan
membiarkan satwa hidup dengan perjalanan fungsi biologisnya (Moss, 1992). Di
Indonesia kesejahteraan satwa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pada pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud kesejahteraan satwa adalah usaha
manusia memelihara hewan, yang meliputi pemeliharaan lestari hidupnya hewan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia
Jaya yang terletak di Desa Suka Ragam Kecamatan Serang, Kabupaten Bekasi,
Provinsi Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Oktober 2012. Taman Buaya Indonesia Jaya ini memiliki areal
seluas 1,5 hektar.
Gambar 3. Peta Lokasi Bekasi, Jawa Barat.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kamera digital, alat tulis,
tallysheet, panduan wawancara, meteran, kertas lakmus dan termometer dry-wet.
Bahan atau obyek yang digunakan untuk penelitian ini adalah buaya muara
(Crocodylus porosus).
3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian mencakup dua kategori yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan dari
narasumber asli (pihak pertama). Data sekunder merupakan data yang sudah
sebagai pendukung data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
observasi lapang, wawancara, studi literatur dan dokumentasi. Jenis dan metode
pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data
No Data yang diambil
Jenis Data Metode pengumpulan data
Primer Sekunder Observasi Wawancara
Studi
Penjelasan jenis data primer yang dikumpulkan berdasarkan Tabel 1
adalah sebagai berikut :
1. Pakan terdiri dari : jenis pakan, sumber pakan, jumlah pakan yang dimakan,
waktu pemberian pakan dan cara pemberian pakan.
2. Penyakit dan perawatan kesehatan kandang terdiri dari : jenis penyakit yang
pernah dialami, sedang dan sering diderita oleh buaya muara dan cara
perawatan.
3. Derajat keasaman (pH) sumber air yang digunakan untuk pengairan kolam
dalam kandang buaya muara.
4. Reproduksi terdiri dari : pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, musim
kawin dan jumlah telur yang dihasilkan, serta tahapan penetasan telur.
5. Perkandangan terdiri dari : (a) jenis kandang, (b) jumlah dan ukuran kandang,
(c) kontruksi kandang, (d) sarana dan prasarana kandang (tempat makan,
minum dan bersarang), (e) suhu dan kelembaban kandang, (f) perawatan
kandang.
6. Pemanfaatan hasil terdiri dari : pemanfaatan hasil dari penangkaran berupa
Adapun data sekunder yang dikumpulkan meliputi :
1. Peta lokasi penangkaran (peta Bekasi).
2. Kondisi umum penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.
Penjelasan metode pengumpulan data berdasarkan Tabel 1 adalah :
1. Observasi lapang dilakukan dengan cara mengamati dan mengikuti secara
langsung pelaksanaan pengelolaan penangkaran buaya oleh petugas lapang di
lapang. Dalam pelaksanaannya peneliti terlibat dalam kegiatan pemeliharaan
buaya muara bersama-sama dengan Animal keeper di lokasi penelitian.
a. Pengamatan langsung dilakukan terhadap buaya muara yang dipelihara di
penangkaran yang meliputi aspek : (i) pakan (jenis pakan yang diberikan,
jumlah,waktu dan cara pemberian pakan), (ii) jenis penyakit yang sedang
diderita oleh buaya muara, (iii) reproduksi (penentuan jenis kelamin dan
perlengkapan penetasan telur), (iv) kandang (jenis, kontruksi, sarana dan
prasarana kandang, jumlah buaya muara dalam kandang, dan perawatan
kandang), (v) produk yang dijual di penangkaran, (vi) satwa lain yang
dipelihara di penangkaran, (vii) vegetasi yang terdapat di penangkaran, (viii)
fasilitas yang terdapat di penangkaran.
b. Pengukuran dilakukan terhadap kandang, suhu, derajat keasaman sumber air
dan kelembaban kandang adalah :
- Pengukuran setiap jenis kandang dilakukan dengan mengukur panjang
(m), lebar (m), dan tinggi (m) dengan menggunakan alat ukur meteran.
- Pengukuran kelembaban dan suhu dalam kandang dengan menggunakan
termometer dry-wet. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari sampai
dengan sore hari dengan cara menggantungkan termometer di dalam
kandang.
- Pengukuran derajat keasaman sumber air dengan menggunakan kertas
lakmus ke dalam kolam yang digunakan untuk pengairan ke kolam yang
terdapat dalam kandang buaya muara.
c. Mengikuti kegiatan bersama Animal keeper dengan aktif mengikuti perawatan
2. Wawancara
Wawancara dilakukan secara langsung dengan pendekatan sosial.
Penentuan responden dilaksanakan berdasarkan purposive sampling. Responden
yang diwawancarai yakni pemilik penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia
Jaya, Kepala Bagian Umum, karyawan khususnya petugas (Animal keeper)
penangkaran, masyarakat yang berada di sekitar lokasi penangkaran.
a. Wawancara kepada pemilik penangkaran buaya Taman Buaya Indonesia Jaya
mengenai sejarah, tujuan dan manfaat didirikan penangkaran.
b. Wawancara kepada Kepala Bagian Umum mengenai seluruh aspek
pengelolaan penangkaran.
c. Wawancara kepada Animal keeper yang menangani buaya muara mengenai
seluruh aspek teknis pengelolaan penangkaran.
d. Wawancara kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi penangkaran
Taman Buaya Indonesia Jaya yang terkena dampak positif dan negatif dengan
adanya keberadaan penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.
e. Studi literatur yakni data yang dikumpulkan melalui studi pustaka dari
berbagai macam informasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk
mendukung data yang dihasilkan. Studi literatur diperoleh dari penelusuran
dokumen penangkaran buaya TBIJ, perpustakaan dan internet.
3. Dokumentasi
Data hasil observasi lapang dan wawancara didukung dengan dokumentasi
berupa foto dan rekaman video agar data dapat berkesinambungan antara
observasi lapang, wawancara dan dokumentasi.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Analisis deskriptif
Data mengenai aspek teknis penangkaran dianalisis secara deskriptif untuk
menggambarkan dan menentukan tingkat aplikasi teknis dan manajemen
penangkarannya termasuk ke dalam kriteria kurang berhasil, cukup berhasil dan
berhasil. Semua data yang terkumpul dilengkapi dengan bentuk bagan, tabel,
skema dan gambar agar memperjelas dan mempermudah pemahaman mengenai
keberhasilan pengelolaan penangkaran dilakukan dengan menggunakan kriteria
utama yaitu (a) aspek teknis penangkaran dengan menggunakan indikator utama
reproduksi dan (b) aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dengan
menggunakan indikator keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan penangkaran seperti menjadi tenaga kerja dan mendirikan
warung makan di areal penangkaran maupun di sekitar penangkaran.
Ukuran keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dikategorikan
menjadi dua kriteria kualitatif, yakni :
1. Berhasil apabila penangkaran dapat menghasilkan keturunan dari jenis
buaya muara yang ditangkarkan.
2. Tidak berhasil apabila penangkaran belum dapat menghasilkan keturunan
dari jenis buaya muara yang ditangkarkan.
Ukuran keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat
sekitar penangkaran dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yakni :
1. Berhasil apabila penangkaran dapat memberikan manfaat sosial ekonomi
secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar
penangkaran.
2. Tidak berhasil apabila penangkaran tidak dapat atau belum memberikan
manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada
masyarakat sekitar penangkaran.
Manfaat secara langsung dapat dilihat dari adanya warga masyarakat
sekitar penangkaran yang menjadi tenaga kerja di penangkaran, terdapat warung
makan dan toko souvenir di areal penangkaran. Sedangkan untuk manfaat secara
tidak langsung dapat dilihat dari penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya
menjadi salah satu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian warga setempat,
jasa transportasi menjadi ramai, nama daerah (Cibarusah) menjadi terkenal,
aksesbilitas dan fasilitas umum menjadi lebih baik.
3.4.2 Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung faktor biologis satwa
yang meliputi perkembangbiakan induk betina buaya muara, daya tetas telur
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran
Tumbuhan dan Satwaliar.
Rumus yang digunakan untuk menghitung biologis satwa sebagai berikut :
a. Persentase perkembangbiakan induk betina (PR)
PR =
T
X 100% Tt
Ket:
t = ∑ induk betina yang berkembangbiak
Tt = ∑ induk betina seluruhnya
b. Persentase daya tetas telur (DTT)
DTT = α X 100%
β
Ket:
α = ∑ telur yang menetas
β = ∑ total telur yang ditetaskan
c. Persentase kematian anakan buaya muara (MR)
MR =
Mt = ∑ total anakan buaya muara seluruhnya
Kriteria
0% -30% : Rendah
31%-60% : Sedang
≥ 61% : Tinggi
Analisis kesejahteraan buaya di penangkaran ditentukan dengan menelaah
praktek pengelolaan buaya muara yang dikaitkan dengan prinsip kesejahteraan
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat dan Struktur Organisasi Penangkaran 4.1.1 Sejarah penangkaran
Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya seluas 1,5 hektar ini dibangun
sejak tahun 1993, sebelumnya tahun 1971-1983 buaya-buaya teresebut berada di
Taman Buaya Bandengan Jakarta Utara, kemudian dipindahkan ke daerah Pluit
sampai tahun 1992. Karena letaknya dekat daerah pemukiman penduduk maka
tempat itu direkomendasikan untuk pindah di tempat yang lebih aman. Kemudian
dipilihlah Desa Suka Ragam sebagai tempat penangkaran buaya hingga sekarang.
4.1.2 Tujuan penangkaran
Tujuan didirikannya penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya adalah :
1. Sebagai sarana konservasi untuk mencegah kepunahan buaya, khususnya
buaya muara.
2. Sebagai tujuan ekonomi (komersial).
3. Sebagai sarana rekreasi, pendidikan, pengetahuan dan penelitian.
4.1.3 Manfaat penangkaran
Manfaat yang diharapkan dari penangkaran ini adalah agar kelestarian
buaya muara (Crocodylus porosus) tetap terjaga, menambah kecintaan terhadap
satwa agar buaya muara tidak cepat punah serta dapat menciptakan lapangan
pekerjaan bagi warga setempat.
4.1.4 Struktur organisasi penangkaran
Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dikelola oleh pemiliknya
langsung yakni Bapak Lukman Arifin yang dibantu oleh kedua putranya yakni
Suryadi dan Jeffry. Penangkaran ini juga memiliki 17 pegawai dan 5 orang
4.2 Kondisi Fisik 4.2.1 Luas dan letak
Penangkaran ini memiliki luas areal ± 1.5 hektar. Lokasi penangkaran ini
terletak di Desa Suka Ragam Kecamatan Serang Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Untuk mencapai lokasi ini bila ditempuh dari kota Bekasi dengan menggunakan
sepeda motor sekurangnya membutuhkan waktu satu setengah jam untuk sampai
di lokasi ini. Tetapi, jika menggunakan mobil pribadi atau angkutan umum bisa
lebih dari dua jam. Ada dua rute untuk bisa sampai di tempat penangkaran buaya
ini. Apabila anda berada di daerah Bekasi kota, Karawang, anda bisa langsung
menuju Cikarang kota melewati jalur biasa.
Jika menggunakan jalan tol, keluar pintu tol Cikarang Jababeka, kemudian
menuju arah Cibarusah. Jika anda naik kendaraan umum, dari terminal Cikarang
anda naik KOASI K17. Taman Buaya, sangat familiar di masyarakat setempat.
Rute kedua bisa ditempuh bagi anda yang berada di daerah Bogor, Cibubur, dan
sekitarnya. Yaitu rute Cilengsi-Taman Buah Mekarsari kemudian anda akan
sampai di jalan raya Jonggol-Cibarusah, di pertigaan pasar Serang belok kiri
menuju ke arah utara, anda akan sampai di Taman Buaya Indonesia Jaya. Dari
pasar Serang anda juga bisa naik angkot K 17 yang menuju Cikarang.
4.3 Kondisi Biotik
Selain buaya di dalam penangkaran terdapat satwa lain seperti monyet
ekor panjang, ular sanca, ular weling, ular cobra juga terdapat pohon angsana,
kembang sepatu, sengon, beringin, nangka.
4.4 Sarana dan Prasarana
Di dalam penangkaran terdapat rumah yang menjadi tempat tinggal
pengelola. Selain itu, ada arena bermain untuk anak-anak seperti ayunan dan
permainan lainnya, terdapat mushola di sudut taman ini dan atraksi buaya (atraksi
4.5 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran
Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya tereletak di RT 06, Kelurahan
Cibarusah. Berdasarkan wawancara, jumlah warga RT 06 terdiri dari 71 KK
dengan jumlah jiwa 274 orang terdiri dari 121 laki-laki dan 126 perempuan.
Rata-rata warga RT 06 menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
seperti memasak, mandi dan mencuci, sedangkan untuk keperluan air minum
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Perkandangan
Kandang merupakan tempat tinggal bagi hewan peliharaan dan sangat
dibutuhkan bagi setiap hewan. Sama dengan halnya buaya muara yang dipelihara
melalui penangkaran. Tipe dan jenis kandang bagi masing-masing buaya tidaklah
sama, tergantung dari ukuran sifat dan habitat alami satwa tersebut. Kandang
buaya muaraadalah habitat buatan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan buaya
muara. Kandang buaya yang digunakan pada penangkaran mempunyai tipe yang
berbeda dan ukurannya sesuai dengan umur masing-masing buaya, tetapi
fungsinya tetap sama.Dalam satu kandang diperbolehkan memelihara buaya yang
berukuran relatif sama, hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan yang
tidak seimbang dalam mendapatkan makanan dan pemangsaan diantara
buaya-buaya tersebut. Penangkaran merupakan salah satu upaya pengembangbiakan
jenis di luar habitat aslinya. Agar penangkaran buaya muara berhasil dibutuhkan
suasana habitat penangkaran yang mirip dengan habitat alaminya. Aspek
perkandangan yang harus diperhatikan yakni jenis, fungsi, kontruksi,
perlengkapan dan perawatan kandang.
5.1.1 Jenis kandang
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian di penangkaran Taman
Buaya Indonesia Jaya terdapat lima jenis kandang yaitu kandang pertunjukkan,
kandang anakan, kandang buaya muda, kandang pembesaran dan kandang
perkembangbiakan atau induk.
5.1.1.1 Kandang pertunjukkan
Kandang pertunjukkan adalah kandang yang disiapkan dan digunakan
untuk mempertunjukkan atraksi buaya muara. Jumlah kandang ini hanya satu unit
yang berukuran besar. Jumlah buaya muara yang terdapat dalam kandang ini
delapan ekor. Atraksi ini dikenal dengan sebutan Atraksi Joko Tingkir. Kandang
datang atau sedang beristirahat sehingga dapat menyaksikan secara langsung
atraksi buaya muara. Selain atraksi buaya muara pada kandang pertunjukkan ini
juga terdapat kesenian debus bersama ular berbisa yang berasal dari Banten.
Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Fungsi dan ukuran kandang pertunjukkan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya
Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)
diacu dalam Suwandi (1991).
Berdasarkan Tabel 2 bahwa ukuran kandang pertunjukkan buaya muara di
penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya sudah sesuai dengan kebutuhan buaya
muara sehingga sudah ideal dalam memberi ruang gerak buaya muara. Kedalaman
kolam pertunjukkan buaya muara sudah melebihi kedalaman optimal kolam
sehingga buaya muara bebas berendam. Berdasarkan pengamatan letak kandang
tersebut tergolong strategis karena sesuai dengan tujuan utama yaitu sebagai
kandang pertunjukkan sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat atraksi
buaya (Gambar 4).
5.1.1.2 Kandang anakan buaya muara
Kandang anakan buaya muara adalah kandang yang digunakan untuk
anakan buaya muara yang baru menetas sampai berumur enam bulan. Jumlah
kandang anakan buaya muara ini berjumlah empat kandang. Tiap kandang
berjumlah 25 ekor. Kandang anakan buaya muara terletak di luar ruangan. Anakan
buaya memiliki sifat penakut sehingga membutuhkan tempat yang aman. Kondisi
kandang yang terdapat di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya memiliki
ukuran yang sesuai untuk ruang bergerak bagi anakan buaya muara. Fungsi dan
ukuran kandang anakan buaya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya
No Fungsi
Sumber : *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) diacu dalam Suwandi (1991).
Kandang anakan buaya yang terdapat di penangkaran Taman Buaya
Indonesia Jaya terletak di ruangan terbuka berukuran 5,5 m x 4,7 m x 3,2 m untuk
anakan buaya yang berumur 0-3 minggu dan ruangan dengan ukuran 14 m x 9 m x
3.8 m untuk anakan buaya muara berumur 3 minggu- 6 bulan. Bolton (1989)
menyebutkan bahwa anakan buaya bersifat penakut sehingga memerlukan tempat
yang aman, dalam hal ini desain kandang sebaiknya mempunyai tempat yang
bersembunyi sehingga dapat mengurangi tingkat stres oleh gangguan manusia dan
kendaraan. Kondisi ini tidak sesuai dengan kandang anakan buaya yang terdapat
di penangkaran ini karena kandang anakan buaya terletak di ruangan yang terbuka
seharusnya kandang anakan buaya muara harus berada di ruangan tertutup karena
anakan buaya masih dalam keadaan kritis sehingga mempunyai senitifitas yang
tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta mempunyai resiko kematian
sehingga anakan buaya dapat bergerak dengan bebas dan memenuhi salah satu
prinsip kesejahteraan satwa yang telah disebutkan oleh Appbley dan Hughes
(1997) yaitu bebas dari rasa tidak nyaman (Gambar 5).
(a)
(b)
Gambar 5 Kondisi kandang anakan buaya muara (a) Tampak dalam dan (b) Tampak luar.
5.1.1.3 Kandang buaya muda
Kandang buaya muda merupakan kandang yang dipersiapkan untuk
pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari kandang anakan berumur > 6 bulan
sampai 1 tahun (Gambar 6). Fungsi dan ukuran kandang buaya muda dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda
No Fungsi
Tabel 4 menunjukkan bahwa ukuran kandang buaya muda sudah sesuai
dengan kebutuhan buaya muda dan kedalaman kolam sudah mencukupi anakan
buaya muara dapat bergerak dengan bebas.
5.1.1.4 Kandang pembesaran
Kandang pembesaran atau kandang remaja merupakan kandang yang
digunakan untuk membesarkan buaya muara yang berumur 2-4 tahun yang siap
untuk dipotong yang telah memiliki kriteria tertentu dan kandang ini juga
digunakan untuk membesarkan calon indukan. Kandang ini berisi buaya remaja
berjumlah 15 ekor. Pada kandang tersebut sudah dilengkapi dengan kolam, tempat
berjemur, sarang dan tempat berteduh. Keadaan kandang seperti ini sudah baik
karena sudah dilengkapi dengan adanya kolam, tempat berjemur dan tempat
berteduh (Gambar 6). Fungsi dan ukuran kandang buaya muda dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Fungsi dan ukuran kandang pembesaran
No
Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)
diacu dalam Suwandi (1991).
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa luas lantai dan kedalaman kolam pada
kandang buaya berumur > 1 tahun sudah ideal karena kebutuhan buaya sudah
terpenuhi dan tinggi pada kedua jenis kandang tersebut sudah sesuai sehinggan
buaya tidak bisa keluar dari kolam dalam kandang. Namun, pada kandang ini juga
pernah ditemukan buaya muara yang mengalami luka-luka akibat perkelahian
karena luas lantai kandang yang terdapat di penangkaran ini terlalu sempit
sehingga buaya yang terdapat dalam kandang tidak bebas bergerak, berendam dan
Gambar 6 Kondisi kandang pembesaran.
5.1.1.5 Kandang induk
Kandang induk atau pembiakan adalah kandang yang digunakan oleh
induk buaya muara yang berumur >8 tahun. Pada kandang ini induk buaya muara
membuat sarang, kawin dan bertelur. Fungsi dan ukuran kandang induk dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Fungsi dan ukuran kandang induk
No
Sumber : *Bolton (1981) diacu dalamRatnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987)
diacu dalam Suwandi (1991).
Berdasarkan Tabel 6 kandang ini juga memiliki luas lantai dengan ukuran
yang sudah ideal sehingga memudahkan untuk induk buaya muara melakukan
kegiatan kawin, berendam dan berjemur. Dalam kandang ini jumlah jantan lebih
sedikit dibandingkan dengan yang betina, sehingga satu ekor jantan dapat
Gambar 7 Kandang induk buaya muara.
5.1.1.6 Kandang khusus
Pada penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini juga terdapat kandang
untuk jenis buaya putih (albino) dan buaya buntung. Dalam kandang ini buaya
muara albino dan buntung mendapatkan perlakuan khusus karena pada buaya ini
terdapat nilai spiritual. Banyak masyarakat yang berdatangan untuk mengambil air
kolam di kandang khusus ini karena dipercayai dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit dan dipermudahkan mendapatkan jodoh. Kandang khusus ini
dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
Gambar 8 (a) Kandang buaya albino dan kandang buaya buntung.
5.1.2 Kontruksi kandang
Kandang yang terdapat di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya
merupakan kandang bersifat permanen dan box plastik. Konstruksi kandang
permanen terdiri atas pagar berupa tembok beton, jaring kawat besi. Konstruksi
kandang yang terdapat disana disesuaikan dengan jenis satwa yang dipelihara
tahan terhadap benturan dan mencegah buaya keluar dari dalam kandang. Pagar
berupa tembok beton juga dilengkapi dengan kawat ram agar memudahkan
pengunjung untuk melihat buaya dan kawat ram tersebut berfungsi untuk
mengatur sirkulasi udara. Kontruksi kandang tersebut sesuai dengan pernyataan
Bolton (1989) bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring
kawat besi serta tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari
bahan-bahan tersebut. Pada kandang ada yang diberikan atap dan ada juga yang
tidak diberikan atap.
Dallas (2006) menyatakan bahwa plastik merupakan bahan yang dianjurkan
dalam pemeliharaan reptil karena mempunyai permukaan tidak kasar, mengikuti
perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan dan mudah didapatkan.
Penangkaran ini sudah menggunakan box plastik hanya untuk anakan buaya yang
baru menetas karena box plastik memiliki permukaan yang halus sehingga kulit
anakan buaya dapat terhindar dari gesekan. Selain itu box plastik mudah
dibersihkan, dan mudah diperoleh.
5.1.3 Perlengkapan dalam kandang
Hal yang terpenting dalam kandang yakni perlengkapan kandang. Buaya
merasa nyaman di dalam kandang jika di dalam kandang memiliki perlengkapan
kandang seperti di habitat aslinya. Perlengkapan kandang yang terdapat di
penangkaran TBIJ disesuaikan dengan kebutuhan buaya berdasarkan kelas umur.
Tabel 7 Perlengkapan kandang buaya muara di dalam setiap jenis kandang
No. Perlengkapan
Kandang
Jenis Kandang
Anakan Remaja Induk Pertunjukkan Buaya
Muda
1. Daratan
2. Vegetasi - -
3. Sarang - - - -
4. Kolam
Berdasarkan dari hasil Tabel 7 semua jenis kandang mempunyai kolam
dan daratan. Kolam dan daratan merupakan kebutuhan utama buaya untuk
mendukung segala kegiatan buaya di dalam kandang. Kolam digunakan oleh
oleh buaya untuk berjemur dan meletakkan pakan. Perlengkapan dalam kandang
yang dibuat oleh pengelola penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya terdiri dari
dua bagian yaitu daerah daratan dan daerah berair (kolam). Berdasarkan hasil
pengamatan bahwa kebiasaan buaya muara yaitu buaya muara akan menstabilkan
kondisi suhu dan kelembaban dengan memanfaatkan perlengkapan yang telah
diberikan oleh pengelola. Buaya muara akan menghangatkan tubuhnya dengan
berjemur dibawah sinar matahari dan untuk mendinginkan tubuhnya buaya muara
akan bergerak ke daerah yang berair (kolam). Hasil pengamatan yang telah
dilakukan penyediaan perlengkapan kandang di penangkaran Taman Buaya
Indonesia Jaya sudah memenuhi kebutuhan buaya muara. Buaya muara bebas
melakukan segala aktifitasnya seperti kawin, bersarang, berenang, berjemur dan
berlindung. Vegetasi yang terdapat dalam kandang antara lain sengon
(Paraserianthes falcataria), beringin (Ficus benjamina), dadap duri (Erythrina
lithosperma) dan rumput-rumputan.
5.1.4 Perawatan kandang
Perawatan kandang dilakukan bertujuan untuk menjaga kebersihan
kandang agar tetap bersih sehingga buaya muara nyaman tinggal di dalamnya
(Gambar 9). Selain itu, pembersihan kandang juga bertujuan untuk menghindari
berkembang biaknya bakteri penyakit. Kegiatan pembersihan kandang dilakukan
sesuai kondisinya. Apabila kandang sudah terlihat kotor maka kandang akan
dibersihkan namun tergantung dengan waktu pemberian makan karena sisa-sisa
makanan yang menempel di lantai yang tidak dibersihkan akan menimbulkan
berbagai macam jenis penyakit dan menimbulkan suasana bau yang tidak nyaman.
Biasanya pembersihan kandang dilakukan 2 kali dalam satu minggu. Namun, ada
juga kandang yang tidak dibersihkan sama sekali. Kandang yang tidak dibersihkan
(a) (b)
Gambar 9 Pembersihan kandang oleh Animal Keeper (a) Menyikat kolam
kandang dan (b) Menyiram kolam kandang
Pembersihan di luar kandang dilakukan setiap hari. Perawatan kandang
bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang agar buaya muara dapat hidup
dengan sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit.
Menurut Setio dan Takandjandji (2007), tindakan yang dibutuhkan untuk
menjaga kebersihan kandang adalah :
a. Mengeruk, menyikat dan menyapu kotoran yang melekat pada bagian-bagian
kandang untuk dibuang pada tempat pembuangan yang telah disiapkan.
b. Menyemprot atau menyiram dengan air pada bagian kandang yang telah
dibersihkan secara rutin dua kali sehari.
c. Menyemprot kandang dengan desinfektan secara reguler satu bulan sekali.
5.1.5 Pengelolaan limbah dan kualitas perairan
Limbah yang dihasilkan dari penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya
adalah limbah padat yang berasal dari kotoran buaya muara. Limbah ini dialirkan
langsung ke sawah-sawah penduduk sekitar penangkaran yang digunakan sebagai
pupuk kandang yang membuat subur. Dalam Permentan Nomor
02/Pert/Hk.060/2/2006, pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan hewan yang
telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
sesuai dengan jenis buaya yang hidup di area tersebut, serta belum adanya
pencemaran oleh limbah industri atau lainnya akibat aktivitas manusia.
Pada penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya sumber air berasal dari
kolam tanah. Air dari kolam disedot dengan bantuan diesel kemudian disalurkan
dengan menggunakan selang. Kualitas air di penangkaran ini tergolong dalam
kategori baik karena berasal dari bak penampungan. Bak penampungan memiliki
fungsi untuk menampung air sehingga dapat menjamin pasokan air jika pompa
sewaktu-waktu mengalami kerusakan. Untuk memenuhi kebutuhan air tiap
kandang, air dari bak penampungan dialirkan dengan menggunakan selang
panjang, sesuai dengan yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990), bahwa
sebaiknya tidak mengalirkan air dari satu kolam untuk mengisi kolam berikutnya
karena untuk menghindari adanya kontaminasi atau penularan penyakit dari satu
kolam ke kolam lainnya.
5.1.6 Suhu dan kelembaban kandang
Berdasarkan hasil pengukuran suhu kandang di penangkaran buaya muara
Taman Buaya Indonesia Jaya menunjukkan kondisi suhu yang relatif stabil. Suhu
kandang pada pagi hari berkisar 25-29°C, siang hari berkisar 30-33°C, dan sore
hari berkisar antara 29-31°C. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Frye
(1991) bahwa suhu optimal untuk reptil di daerah tropis berkisar 29,5-37°C.
Kondisi suhu di penangkaran TBIJ ini juga sesuai dengan pernyataan Elmir
(2008) bahwa buaya di penangkaran relatif masih dapat mengkonsumsi makanan
pada kisaran temperatur udara 24,5-34°C. Kondisi suhu kandang di penangkaran
TBIJ dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Grafik suhu kandang di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya.
Gambar 10 menunjukkan bahwa suhu kandang di penangkaran Taman
Buaya Indonesia Jaya cukup stabil untuk memanaskan suhu tubuh buaya muara
melakukan basking (berjemur) dan pada siang hari buaya muara akan berendam di
air agar badannya dingin.
Kelembaban kandang pada pagi hari berkisar 84-92%, siang hari berkisar
73-85% dan sore hari berkisar 78-85%. Kelembaban kandang di penangkaran
TBIJ sesuai dengan pernyataan Frye (1991), bahwa kelembaban kandang reptil di
daerah tropis sekurang-kurangnya berkisar antara 80-90%. Fluktuasi kelembaban
dalam kandang dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Grafik kelembaban kandang di penangkaran.
Gambar 11 menunjukkan bahwa kelembaban kandang di penangkaran
Taman Buaya Indonesia Jaya lebih tinggi pada waktu pagi hari dibandingkan pada
waktu siang dan sore hari hal ini diakibatkan pada pagi hari suhu kandang dan
intensitas cahaya matahari yang masuk relatif lebih rendah. Kelembaban tinggi
atau terlalu rendah akan berpengaruh pada kesehatan buaya itu sendiri.
Kelembaban tinggi dapat mengakibatkan tumbuhnya bakteri atau jamur
sedangkan kelembaban rendah dapat menyebabkan buaya mengalami dehidrasi
(Power 2010). Di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya ini pengaturan suhu
dan kelembaban masih dilakukan secara alami belum dilakukan dengan teknologi
canggih.
5.2 Pengelolaan Pakan
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
organisme. Pada buaya, pemberian pakan ditunjukan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan pokok, akan tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi yang
setinggi-tingginya. Bahkan karena biaya makanan dalam usaha penangkaran merupakan
biaya tidak tetap terbesar, tingkat produksi tersebut harus diusahakan dapat
tercapai dengan biaya makanan yang semurah-murahnya (Harto 2010).
Buaya muara termasuk kategori hewan karnivora yakni pemakan daging.
Sesuai dengan tubuhnya buaya muara membutuhkan makanan dalam jumlah yang
banyak. Semakin besar ukuran tubuhnya makin banyak pula kebutuhan
makannya. Jadi, jumlah makanan buaya muara disesuaikan dengan ukuran
tubuhnya (Iskandar 2009).
5.2.1 Jenis dan sumber pakan
Simanungkalit (2009) jenis makanan yang diberikan pada buaya muara
mempunyai bahan dasar ikan segar, udang, kepiting dan daging yang dipotong
kecil dan halus. Bila ikan segar kurang kemudian diberikan ikan yang telah
diawetkan maka akan terjadi kekurangan vitamin. Jenis makanan buaya muara di
penangkaran ini terdiri dari dua macam yaitu mangsa hidup dan mangsa mati yang
terdiri dari ayam, bebek, ikan dan daging sapi (sudah dipotong-potong). Untuk
mangsa hidup buaya muara, biasanya bebek sedangkan yang lain diberikan dalam
keadaan sudah mati yakni ayam dan daging sapi. Elmir (2008) menyatakan bahwa
pemilihan pakan yang tepat dapat mempercepat pertumbuhan buaya di
penangkaran jika dibandingkan pertumbuhan buaya di alam.
Makanan berupa ayam, daging sapi dan bebek di datangkan dari tempat
potong hewan sedangkan untuk ikan beli di pasar Bekasi. Selain dari pasar Bekasi
sumber pakan berasal dari tempat pemotongan ayam yang terdapat di Bekasi dan
dari pengunjung yang datang. Masyarakat sekitar penangkaran juga ikut
berkontribusi dalam ketersediaan pakan karena masyarakat tersebut memberikan
hewan ternaknya yang sudah mati untuk pakan buaya yang terdapat di
penangkaran. Pakan yang diberikan untuk buaya juga harus tetap memperhatikan
kualitas pakan yang diberikan karena dengan pemilihan pakan yang tepat maka
akan mempercepat pertumbuhan buaya di penangkaran. Pakan yang paling
disukai buaya muara adalah ayam. Jenis pakan yang diberikan oleh pengelola
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 12 Jenis pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya (a) Ayam broiler; (b) Daging sapi; (c) Ikan dan (d) Bebek.
5.2.2 Jumlah dan cara pemberian pakan
Pemberian pakan di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya biasanya
dilakukan 2 kali dalam seminggu. Jumlah makanan disesuaikan dengan jumlah
individu dan ukuran. Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran Taman
Buaya Indonesia Jaya dapat dilihat pada Tabel 8.
Pakan buaya muara dibedakan antara dewasa, remaja, dan anakan. Untuk
buaya muara dewasa dan remaja hampir sama, ada perbedaan pada jenis makanan
hidup, pada buaya muara dewasa diberikan daging sapi dan ayam hidup
sedangkan pada buaya muara remaja tidak diberikan, hanya diberikan
potongan-potongan daging atau ayam mati. Sedangkan pada buaya muara anakan yang baru
menetas sampai berumur 1-2 minggu tidak diberi makan karena di dalam
tubuhnya masih mengandung persediaan makanan, setelah berumur di atas 2
minggu buaya anakan diberi makan berupa udang dan ikan. Ikan ini dipotong
Tabel 8 Perkiraan jumlah pemberian pakan di penangkaran Taman Buaya
2.590-4.550 777-1.365 400-1000 Kurang
4 Remaja
Dilihat dari Tabel 8 jumlah pakan anakan buaya muara di Taman Buaya
Indonesia Jaya sudah mencukupi untuk melakukan aktivitas dengan adanya
perilaku agresif karena anakan buaya muara tidak kelaparan. Jumlah pakan pada
buaya muda sampai dengan indukan masih kurang dengan kebutuhan yang
seharusnya diberikan namun berdasarkan pengamatan kondisi buaya terlihat
dalam keadaan baik-baik saja tidak terlihat kekurangan pakan. Jika jumlah pakan
kurang akan dilakukan sistem roling pada tiap kandang (bergantian) dalam
pemberian pakan.
Pemberian mangsa hidup pada buaya muara di penangkaran Taman Buaya
Indonesia Jaya bertujuan untuk tidak menghilangkan naluri alamiah pada buaya
muara itu sendiri yaitu naluri berburu dan memangsa. Buaya muara berburu
mangsa dengan cara yang unik, yaitu cukup dengan mengambil posisi diam. Hal
ini dilakukan sebagai salah satu strategi kamuflase untuk memperoleh mangsanya.
Biasanya mangsa akan terpedaya dan sama sekali tidak menyadari mendekati
mulut buaya. Kemudian ia mampu bergerak cepat menyambar mangsanya. Yang
paling berbahaya dari buaya muara adalah gigitannya yang sangat kuat, sehingga
dapat meremukkan tulang dari mangsanya. Gigi-gigi buaya muara umumnya
Sehingga dengan rahang yang sangat kuat ditunjang dengan deretan gigi yang
menyerupai gergaji, maka jarang ada mangsa yang dapat lolos dari gigitannya
(Iskandar 2009).
5.2.3 Kandungan gizi pakan
Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya menambahkan vitamin pada
pakan buaya hal ini dimaksudkan untuk menambah nafsu makan, mengurangi
stres dan menjaga ketahanan tubuhnya dari serangan berbagai penyakit. Buaya
yang terdapat di penangkaran akan tumbuh lebih cepat apabila pakan yang
diberikan memperhatikan gizi yang baik. Kondisi ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Bolton (1981) bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik dan
pemberian makanan yang lengkap dalam jumlah maupun mutunya maka
pertumbuhan buaya untuk mencapai ukuran potongan ekonomis dapat dicapai
dalam waktu yang relatif lebih cepat. Kandungan gizi pakan buaya di
penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Kandungan gizi pakan buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya
No Jenis pakan Kandungan gizi
1. Daging sapi Protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, air 1)
2. Ayam Protein, kalori, lemak, kolesterol, riboflavin, asam nicotenat, kalsium,
fosfor, zat besi, vitamin A dan B. 2)
3. Bebek Protein, lemak, vitamin, rivboflavin, mineral, niacin, tiamin 3)
4. Ikan Kalori, protein, lemak, kaslium, fosfor, zat besi, air 4)
Sumber : 1) Petra (2006); 2), Petra (2006); 3)Guntoro (2012); 4) Kholisoh (2000).
5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan
Secara umum buaya adalah jenis satwa reptil yang kebal terhadap
serangan penyakit. Namun karena berbagai macam kondisi kesehatan buaya
muara dapat terganggu apabila kondisi kolam dalam kandang kotor, sisa-sisa
makanan dan pengaruh cuaca yang ekstrim. Jenis penyakit, gejala dan pengobatan
penyakit yang menyerang buaya muara di penangkaran Taman Buaya Indonesia
Tabel 10 Jenis Penyakit, gejala dan pengobatan buaya muara di Taman Buaya Indonesia Jaya
No. Jenis Penyakit Gejala Pengobatan
1. Jamur kulit Bercak putih seperti panu Belum ada upaya pengobatan
2. Cacat tubuh Ekor buntung pada anakan dan
indukan buaya muara
Tidak dilakukan pengobatan
3. Stres Sering menyendiri dan tidak
aktif bergerak
Pemberian vitamin noptressa
4. Luka-luka Luka pada bagian tubuh buaya
muara
Pemberian obat merah atau betadine antiseptik
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola penangkaran. Uraian jenis
penyakit buaya muara sebagai berikut :
1. Jamur kulit (White spot)
Jamur kulit merupakan penyakit yang menular. Penyakit ini dapat
menyebabkan kerusakan pada kulit buaya sehingga dapat menurunkan nilai
ekonomi/komersial produk buaya. Biasanya jamur kulit ini disebabkan oleh air
kolam yang kotor dan kurang bersihnya saat pembersihan kandang, pakan yang
mengandung banyak lemak (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Ratnani (2007) jamur kulit adalah penyakit kulit yang penularannya melalui air
yang kotor atau kurang bersih pada waktu pembersihan kandang, pakan yang
kurang, hingga rendahnya temperatur air yang biasanya dibawah 24°C. Menurut
Permatasari (2002) pencegahan jamur kulit dilakukan dengan memberikan
potassium permanganate pada air kolam dan pemberian copper sulphate dalam air
untuk mengangkut fungi pada dasar kolam sebelum diberikan air baru, sedangkan
pengobatannya dilakukan dengan pemberian spectrum luas sebagai bakterisidal
dan fungisidal. Dari hasil wawancara dengan petugas penangkaran, bahwa Animal
Keeper belum mengetahui cara pengobatan buaya yang terserang penyakit.