• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Pemberiau Makauan Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porosus) pada Penaugkarau PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Serang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengaruh Pemberiau Makauan Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porosus) pada Penaugkarau PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Serang"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

STUD1 PENGARUH PEMBERJAN MAKANAN TERHADAP

PERTUMBUHAN BUAYA MUARA (Crocodylus porosus) PADA

PENANGKARAN PT EKANZNDYA KARSA DI CIKANDE,

KABUPATEN SERANG

MAGHLEB YUDINNA ELMIR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERUCANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi "Studi Pengaruh Pemberian

Makanan Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porosus) Pada

Penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Serang" adalah benar merupakao hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

(3)

STUD1 PENGARUH PEMB&&AN MAKANAN TERHADAP

PERTUMBUHAN BUAYA MUARA (Crocodylus porosus)

PADA

PENANGKARAN PT E

m

Y

A

KARSA DI CIKANDE,

KABUPATEN SERANG

Oleh:

MAGHLEB YUDINNA ELMIR

C24103050

SKIUPS1

Sebagai salah satu syarat

untuk

memperoleh gelar Sarjana Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

LER/IBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Studi Pengaruh Pemberian Makanan Terhadap

Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porostrs) Pada

Penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande,

Kabupaten Serang

Nama Mahasiswa : Maghleb Yudinna Elmir

Nomor Pokok : C24103050

Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

I. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nvoman S Nuitia M.Sc, MM

130 350 060

Drs. Ismu Sutanto Suwelo 130 055 774

11. Pakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

-

i.

s ,

. .

,~ - , > . ,.

%, .. Dr. Ir. lndra Java. M.Sc

., . .

'

131 578 799

(5)

Maghleb Yudinna Elmir

.

C24103050

.

Studi Pengaruh Pemberiau Makauan Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porosus) pada Penaugkarau PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Serang

.

Dibawah bimbiugan I Nyoman S. Nuitja dan Ismu Sutanto Suwelo

Buaya Muara merupakan satwa yang bernilai ekonomis tinggi, karena buaya tersebut tidak hanya diimanfaatkan untuk industri kulit saja, bahkan telah diketahui pula bahwa banyak industri lain seperti industri obat - obatan, makanan, dan pupuk yang memanfaatkan buaya sebagai bahan baku industrinya. Pola

pemanfaatan Buaya Muara yang masih mengupayakan metode eksploitatif ini

mengakibatkan dampak pada terjadinya p e n m a n populasi buaya di dam, sehingga perlu dilakukan upaya penangkaran. Pennasalahan pada penangkaran buaya umumnya adalah berkaitan dengan pembiayaan yang cukup tinggi dalam memenuhi kuantitas pembelian pakan buaya dalam jumlah besar. Sehingga diperlukan pencarian jenis pakan altematif yang dapat rnemenuhi syarat ketersediaan dan harga yang terjangkau.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari jenis pakan yang dapat dijadiikan altematif pilihan, mendeskripsikan keefektifan (secara kualitas dan kuantitas) kegiatan pemberian pakan, dan melakukan pendugaan terhadap hubungan panjang

- berat buava dan hubuncran berat - lebar dada buava oada Buava Muara di

.

A

penangkar&. Penelitian berlangsung pada penangkaran buaya milk PT Ekanindya Karsa yang terletak di Desa Parigi, Kecamatan Cikande, Kabupaten .

Serang, Banten.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa jenis pakan limbah ikan dapat menjadi pilihan pakan pengganti yang sebelumnya hanya mengandalkan jenis pakan kepala ayam. Hal ini terbukti dari tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap komposisi gizi, pertarnbahan panjang total, berat tubuh, dan lebar dada. Bahkan apabila dilihat dari efisiensi biaya produksi pakan dengan luasan M i t yang dihasilkan antara buaya percobaan yang diberikan pakan jenis kepala ayam dan limbah ikan, dapat terlihat bahwa jenis pakan limbah ikan dapat memberikan hasil yang lebii baik dengan harga pakan yang relatif lebih murah dibandimgkan jenis pakan kepala ayam. Namun tingkat konsumsi limbah ikan tidak terlalu baik.

Dari hubungan panjang - berat diketahui bahwa buaya mengalami

pertambahan berat yang lebih dominan dibandingkan pertambahan panjang. Sementara itu dari hubungan berat tubuh - lebar dada diketahui bahwa setiap

pertambahan berat tubuh sebesar 1 satuan akan diibti dengan pertambahan lebar

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat clan

rahmat-Nya, d i i a penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Studi Pengaruh Pemberian Makanau Terhadap Pertumbuhan Buaya Muara (Crocodylus porosus) Pada Penangkaran PT Ekanindya Karsa di Cikande, Kabupaten Serang" ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman S. Nuitja, M.Sc, MM dan Drs. Ismu Sutanto

Suwelo yang telah memberikan arahan dan biibingannya dalam

penyusunan skripsi ini

2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku Komisi Pendidikan S1

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

3. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS yang

telah berkenan menguji hasil penelitian ini serta memberi masukan yang

sangat berarti bagi penulis

4. Ir. Zairion, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Kardiyo

Prapto Kardiyo, serta Ir. Yon Vitner, M.Si atas nasehat dan b i i n g a n

selama masa studi penulis di Institut Pertanian Bogor

5. Bapak Rachmat, Bapak Erick, Bapak Yana, Bapak Djoko, Bapak Eman,

Bapak Iyon dan seluruh pekerja di penangkaran atas bantuan dan

kesabarannya selama penulis melakukan pengambilan data di penangkaran

6. Seluruh dosen dan segenap Civitas Akademika Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan serta Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

7. Keluarga tercinta, papa, mama, dan adik

-

adii atas dukungan, doa,

semangat, dan kasih sayangnya yang begitu tulus kepada penulis

8. Rekan - rekan MSP40 atas semangat dan bantuannya selama masa studi

penulis dii Institut Pertanian Bogor

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

(7)

membangun untuk penulisan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2008

(8)

DAFTAR IS1

Halaman

...

PRAKATA

DAFTAR IS1

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR TABEL

...

...

DAFTAR LAMPIRAN

I

.

PENDAHULUAN

...

1.1 Latar Belakang

...

1.2 Perurnusan masalah

1.3 Tujuan

...

...

1.4 Manfaat

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buaya Muara (Crocodylus porosus)

2.1.1 Taksonomi, Morfologi. Biologi. Habitat dan Penyebaran

...

2.1.2 Makanan, Tingkah Laku Makan dan Sistem Pencemaan

...

2.1.3 Perhmbuhan

...

...

2.2 Kegiatan Penangkaran

...

2.2.1 PT Ekanindya Karsa

111

.

METODOLOGI PENELITIAN

...

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2 Alat clan Bahan

...

3.3 Prosedur Penelitian

...

3.3.1 Studi Pengamh Perbedaan Pemberian Perlalpan Makanan

...

3.3.2 Studi Pertumbuhan

3.4 Analisa Data

...

3.4.1 Rancangan Percobaan

...

3.4.2 Analisa Proksimat Kandungan Gizi

...

3.4.3 Konsumsi Pakan

.

.

3.4.4 Efisiensi Pakan

...

...

3.4.5 Hubungan Panjang-Berat

...

3.4.6 Hubungan Berat-Lebar Dada

3.4.7 Analisa Efisiensi Biaya Pakan dan Waktu Pembesaran Buaya

.

IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Pakan Percobaan

...

...

4.2 Konsumsi Pakan Percobaan

...

4.3 Pertambahan Panjang Total Buaya Muara

...

4.4 Pertambahan Berat Tubuh Buaya Muara

...

4.5 Pertambahan Lebar Dada Buaya Muara

...

4.6 Efisiensi Pakan

...

4.7 Hubungan Panjang - Berat

...

4.8 Hubungan Berat - Lebar Dada

vi

(9)

...

4.9 Efisiensi Biaya Pakan dan Waktu Pembesaran Buaya 49

4.10 Pengelolaan Sumberdaya Hayati Buaya

...

51

V

.

KESWPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

...

53 5.2 Saran

...

54
(10)
[image:10.602.76.505.98.808.2]

Gambar

1

.

2

.

3

.

4

.

5

.

Halaman

Crocodylusporosus Schneider (1801)

...

5

Peta penyebaran buaya muara di dunia

...

10

Flowchart prosedur penelitian

...

20

Jenis pakan yang dicobakan

...

21

Kurva hubungan panjang . berat

...

43
(11)

DAFTARTABEL

Tabel Halaman

1

.

Jumlah makanan untuk setiap individu buaya per hari di

penangkaran

...

11

2

.

Perbandingan pertumbuhan buaya muara di penangkaran dan

buaya muara liar

...

15

3

.

Perbandiigan pertumbuhan buaya muara dan buaya air tawar di

penangkaran

...

15

4

.

Struktur tabel sidii ragarn (Uji F . Tk

.

Kepercayaan 95 %)

RAL

...

24

5

.

Perbandingan satuan harga bahan makanan tiap perlakuan

perbedaan berat makanan dengan pertumbuhan

...

30

...

6

.

Komposisi kimia pakan percobaaan 31

...

7

.

Konsumsi pakan rata . rata per ekor per bulan 33

8

.

Tabel hubungan antara konsumsi pakan setiap perlakuan dengan

...

temperatur udara dan temperatur air 35

...

9

.

Pertambahan panjang total rata - rata per ekor per bulan 37

...

10

.

Pertambahan berat tubuh rata - rata per ekor per bulan 38

...

1 1

.

Pertambahan lebar dada rata . rata per ekor per bulan 40

12

.

Efisiensi pakan per ekor per bulan

...

41

...

13

.

Konversi harga dan pertambahan berat tubuh 50

...

[image:11.595.113.495.123.570.2]
(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data mentah konsumsi pakan harian

...

59

2. Data pengukuran pertumbuhan panjang, berat dan lebar dada 8 ekor buaya yang dicobakan

...

61

3. Data rnentah pengukuran temperatur udara dan air harian

...

62

4. Data mentah pengukuran pertumbuhan diiensi panjang, berat dan lebar dada 300 ekor buaya

...

63

5. TSR konsumsi pakan

...

66

6. TSR panjang total

...

66

7. TSR berat tubuh

...

66

8. TSR lebar dada

...

66

9. Efisiensi pakan

...

66
(13)

1.1 Latar Belakang

Kekayaan sumber daya perikanan Indonesia, secara garis besar terdiri dari

sumber daya yang hidup liar di perairan dan sebagian kecil sudah mampu

didomestikasi dalam bentuk budidaya, termasuk pula binatang buaya. Industri

kerajinan kulit buaya mempakan salah satu industri yang kini sudah berkembang

di berbagai belahan dunia. Demikian pula halnya di Indonesia, dimana buaya

cukup banyak ditemukan baik jenis maupun jumlahnya. Di Indonesia diietahui

terdapat 5 jenis buaya, yaitu Buaya Muara (Crocodylus porosus), Buaya Rawa

(Crocodylus palustuis), Buaya Siam (Crocodylus siamensis), Buaya Papua

(Crocodylus novaeguineae), dan Senyulong/Julung (Tomistoma schlegelii).

Seiring dengan perkembangan industri ini, kini semua jenis buaya tersebut diburu

pada habitatnya karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tidak hanya untuk

industri kulit saja, bahkan telah diketahui pula bahwa banyak industri lain seperti

industri obat - obatan, makanan, dan pupuk yang memanfaatkan buaya sebagai bahan baku industrinya. Pemburuan sejak lama dan tems menems mengakibatkan

turunnya jumlah populasi buaya secara drastis di alam, bahkan beberapa jenis

buaya sudah punah dari wilayah Indonesia. Pemerintah menetapkan bahwa

seluruh jenis buaya, masuk ke dalam daftar binatang yang dilindungi berdasarkan

Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/U/5/1978 dalam mang lingkup satwa -

satwa yang dilindungi.

Dari berbagai jenis buaya yang dimanfaatkan kulitnya, Buaya Muara

m e ~ p a k a n jenis buaya yang paling banyak diminati pasar. Motif - motif kulit

Buaya Muara yang kecil - kecil serta ukuran buaya yang cukup besar, membuat

industri kerajinan kulit banyak menggunakan jenis Buaya Muara sebagai bahan

baku kulit untuk dijadikan produk kerajinan tas, dompet, ikat pinggang, dan kerajinan lainnya.

Pola pemanfaatan buaya yang masih mengupayakan metode eksploitatif

ini mengakibatkan dampak pada terjadinya p e n m a n populasi buaya di dam.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh manusia adalah dengan

(14)

menghasilkan ketunman yang pada taraf yang dianggap memuaskan baik dari segi

kualitas dan kuantitas. Lembaga Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) telah menetapkan bahwa jenis Buaya Muara telah masuk ke dalam Appendix 11, dimana tejadi pelarangan

segala bentuk perdagangan buaya kecuali berupa hasil

-

hasil penangkaran.

Seperti yang dilakukan oleh PT Ekanindya Karsa. Perusahaan industri produk

kerajinan kulit pemegang merk mode RAFLO ini telah berdiri sejak tahun 1990.

Buaya yang ditangkarkan di perusahaan ini adalah jenis Buaya Muara dan Buaya

Papua dengan jumlah buaya yang ditangkarkan mencapai lebih dari 3000 ekor.

Kapasitas produksi barang jadi yang dapat dihasilkan perusahaan ini sebulannya

dapat mencapai 3500 pcshulan. Pasaran produk jadi Raflo sekitar 90% diekspor

ke negara-negara Jepang, Hongkong, Italia, dan Perancis.

Makin bertambah tingkat pemanfaatan buaya di pasaran nasional dan

intemasional, maka keperluan jumlah perusahaan penangkaran buaya akan terns

bertambah. Diharapkan penangkaran buaya ini dapat mengakomodir kebutuhan

ekonomi manusia tersebut tanpa mengesampingkan upaya pemulihan jumlah

populasi Buaya Muara pada habitat aslinya.

1.2 Perumusan Masalah

Makanan merupakan salah satu aspek penting bagi setiap makhluk hidup

untuk dapat melakukan berbagai kegiatan secara optimal. Jenis dan jumlah

makanan yang tepat akan memberikan pengaruh pada besarnya laju pertumbuhan

makhluk hidup tersebut, begitu pula halnya pada buaya. Pada habitat buatan atau

penangkaran diketahui bahwa buaya diberikan makanan secara teratur dalam

seharinya. Hal ini berbeda sekali dengan buaya pada habitat aslinya dimana ia

memperoleh makanan dengan terlebih dahulu memburu mangsanya. Oleh karena

itu dapat mengakibatkan perbedaan tingkah laku (respon) buaya dalam menerima

makanannya dan tentu saja pengaruhnya pada kecepatan pertumbuhan buaya

tersebut. Tingkah laku dapat dideterminasi menggunakan beberapa parameter

biologi seperti tunman genetik (genetic inheritance) yang dipelajari dengan melalui pemberian perlakuan yang dicobakan serta faktor

-

faktor fisiologi seperti
(15)

perhitungan pertambahan ukuran buaya tersebut. Dimensi pengukuran yang

m u m dilakukan pada buaya di penangkaran adalah pengukuran panjang, berat,

dan lebar dada.

Jumlah dan jenis makanan yang berbeda diduga dapat memberikan

pengaruh pada kecepatan dan besarnya pertumbuhan buaya. Dari sejumlah

penelitian sebelumnya diietahui bahwa buaya khususnya spesies Crocodylus

porosus atau Buaya Muara mempakan tipe pemakan segala jenis daging. Selama

ini penangkaran milik PT Ekanindya Karsa memberikan jenis makanan kepala

ayam kepada buaya yang ditangkarkan mulai dari kelas ukuran hatchling, raising,

slaughter, hingga buaya breeding. Permasalahan terjadi ketika ketersediaan jenis pakan kepala ayam mulai mengalami gangguan akibat isu flu burung yang

merebak di tanah air akhir

-

akhir ini. Begitu pula halnya dalam pembelian jenis pakan yang jumlahnya harus tepat dalam rangka pemenuhan kebutuhan makan

buaya. Hal ini berkaitan dengan permasalahan pembiayaan yang cukup tinggi

untuk

diieluarkan perharinya hanya

untuk

membeli makanan dalam jumlah besar.

Sehingga diperlukan pencarian jenis pakan alami alternatif lainnya selain kepala

ayam yang mampu memenuhi syarat ketersediaan dan harga yang tidak terlalu

jauh berbeda atau bahkan lebih murah dibandingkan dengan pakan sebelumnya,

tanpa mengesampingkan upaya pengelola pemsahaan

untuk

memacu

pertumbuhan buaya di penangkaran.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

untuk

mencari jenis pakan alami selain kepala

ayam

untuk

dijadikan pilihan pengganti serta mendeskripsikan keefektifan

kegiatan pemberian makanan kepada Buaya Muara yang terdapat di penangkaran.

Selain itu diharapkan pula penelitian ini dapat melakukan analisa terhadap

pengamatan pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan Buaya Muara

tersebut. Percobaan dilakukan dengan melakukan studi kesukaan makanan antara

jenis pakan kepala ayam dan pakan alternatif alami lain (dalam penelitian ini

dicobakan jenis pakan limbah ikan). Pengamatan terhadap konsumsi pakan

dilakukan dalam rentang waktu yang teratur. Selain itu dilakukan pula

(16)

pertumbuhan buaya. Dalam ha1 ini dilakukan pengukuran terhadap dimensi

panjang total, berat tubuh, dan lebar dada kepada buaya percobaan yang memiliki

ukuran yang sama / relatif homogen.

Pengamatan lain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan

pendugaan terhadap hubungan panjang - berat buaya dan hubungan berat - lebar

dada buaya dalam penangkaran. Untuk mengetahui ha1 ini perlu dilakukan

pencatatan terhadap dimensi pertumbuhan panjang, berat, dan lebar dada buaya

dalam berbagai kelompok ukural yang akan digunakan sebagai data penunjang.

Pola pertumbuhan yang ditemukan dapat dijadikan asumsi untuk melakukan

pendugaan kecepatan pertumbuhan dimensi panjang, berat, dan lebat dada pada

umur buaya tertentu.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai sumber informasi mengenai keefektifan kegiatan pemberian

makanan Crocodylus porosus di habitat penangkaran diliiat dari

parameter tertentu yaitu pertumbuhan (dimensi panjang total, berat tubuh,

dan lebar dada), hubungan panjang - berat buaya, dan hubungan berat -

lebar dada buaya terhadap jenis makanan yang diberikan kepada buaya

tersebut. ,

2.

Sebagai informasi awal untuk melakukan pemikiran selanjutnya tentang

manajemen pengelolaan d m konservasi terhadap Buaya M~mra yang

(17)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buaya Muara (Crocodylus porosus)

2.1.1 Taksonorni, Morfologi, Biologi, Habitat, dan Penyebaran

Taksonomi Buaya Muara (Gambar 1) menurut Goin et al. (1978) adalah :

Kingdom : Animalia

Kelas : Reptilia

Sub kelas : Archosauria

Ordo : Crocodylia

Famili : Crocodylidae

Sub Famili : Crocodylinae

Genus : Crocodylus

Spesies : porosus

Nama ilrniah : Crocodylusporosus Schneider (1 801)

Nama mum : Saltwater crocodile, Salty crocodile, Estuarine crocodile,

Indo-Pacific crocodile, Buaya muara (Indonesia), Kone Huala (Papua New

(18)

Buaya muara dikenal sebagai jenis buaya yang berukuran besar dan

bermoncong pendek. Masing - masing ahli memiliki data kisaran ukuran jenis

Buaya Muara yang berbeda - beda. Nuitja (1979) mengemukakan bahwa ukuran

Buaya Muara terpanjang yang pemah ditemui adalah 20 feet (6,l meter) dengan

rata - rata panjangnya berkisar antara 12 - 14 feet (3,65 - 4,27 meter). Sementara

itu, Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa panjang badan jantan dewasa bisa

mencapai 6 meter - 10 meter dan panjang betina dewasa mencapai 4 meter. Tak

jauh berbeda dengan kedua pemyataan di atas, sebuah situs

l~tt~~://~~~~~~.~1i~111h.~iii.eclu (5 Februari 2007) menyebutkan bahwa buaya jantan

dewasa dapat menjangkau ukuran dari 6 hingga 7 meter, sementara betina

dewasanya berukuran lebii kecil yaitu berkisar antara 2,5 hingga 3 m. Bobot

Buaya Muara dewasa bervariasi, tetapi umumnya diietahui bahwa untuk bobot

yang melebii 1.000 kg menunjukkan pendugaan ukuran panjangnya yang dapat

mencapai sekitar 6 meter.

Buaya Muara merniliki kulit yang benvama coklat kotor sampai hitam

dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut

umur dan ukuran tubuh (Masyud et al., 1993). Sementara itu Nuitja (1979) menyebutkan bahwa bagian atas tubuh Buaya Muara dewasa berwama gelap

kuning kehijauan dan bagian bawah tubuhnya benvama kekuningan. Pada sitw

l~~tp:~~~~~~~~.llmi~1i.~1tl.ed~i (5 Februari 2007) ditambahkan pula bahwa Buaya

Muara memiliki corak tubuh belang - belang hingga bagian bawah panggul, tetapi

tidak ditemukan pada bagian perut.

Buaya Muara memiliki ekor yang panjang dan h a t , yang selain digunakan

untuk berenang, dapat pula digunakan sebagai alat persenjataan d i i y a dalam

menyerang maupun bertahan (Goin et al., 1978). Untuk membedakan jenis buaya

jantan dan betina, D i e n PHPA (1985) menjelaskan bahwa perbedaan jenis

kelamin dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya buaya jantan berekor

tegak, sementara buaya betina berekor rebah. Akan tetapi hal ini masih menjadi

perdebatan ilmiah di kalangan para ahli, karena sebagian besar berpendapat bahwa

tidak terdapat ciri - ciri kelamin sekunder yang jelas pada jenis hewan buaya.

Sandjojo (1982) mengatakan bahwa buaya bernafas dengan menggunakan

(19)

yaig sudah terpisah sempurna oleh sekat serambi dan lebih sempurna

dibandigkan dengan reptil lainnya. Buaya tidak dapat bernafas dalam air tetapi

dapat tinggal di dalam air dengan mengurangi kecepatan metabolisme tubuhnya.

Buaya kecil dapat bertahan dalam air selama 30 menit, sementara itu buaya besar

dapat bertahan sampai 2 jam. Pada saat di dalam air, buaya bemafas dengan

mengeluarkan nostril (berfungsi sebagai hidung) dari dalam

air.

Lever (1975)

dalam Sandjojo (1982) juga menambahkan bahwa ketika beristirahat, buaya akan

bernafas dengan sangat lambat karena hanya -membutuhkan s e d i t energi.

Kecepatan bernafas buaya akan meningkat ketika ia melakukan gerakan

penyerangan, kopulasi, dan lainnya.

Dalam perilaku sosialnya, buaya umumnya mempunyai tingkatan

kekuasaan sendiri di dalam kelompoknya (Harto, 2001). Buaya jantan yang

menguasai teritori akan berenang di sekitar teritorinya dan hanya akan beristirahat

sejenak pada waktu siang hari pada saat buaya lainnya berjemur di daratan. Jika

ada buaya lain yang mernasuki wilayahnya, buaya tersebut akan

mempertahankannya dengan berkelahi. Buaya jantan yang mempunyai wilayah

tersendi diketahui bahwa buaya tersebut tidak mau mempunyai pasangan atau

istri bersama dengan buaya jantan lainnya (Grzirnek, 1975 in Sandjojo, 1982).

Buaya merupakan binatang berdarah d i g i n yang temperatur tubuhnya

bervariasi tergantung dengan temperatur di limgkungan sekitarnya (Garnett, 1989).

Harto (2001) menjelaskan bahwa pada pagi hari, buaya akan k e l w dari dalam air

untuk berjemur. Hal ini diaksudkan untuk menaikkan suhu tubuhnya hingga

mencapai suhu tub& yang normal untuk melakukan kegiatan, serta untuk

mengembaliian kalori yang hilang selama di dalam air pada malam hari. Pada

saat matahari inulai terik, umumnya buaya akan membuka mulutnya sebagai

mekanisme pendinginan dimana evaporasi dari membran mulutnya membantu

menjaga temperatur tubuhnya menjadi konstan pada tingkat yang panas. Harto

(2001) juga memaparkan bahwa pada siang hari, buaya akan masuk ke dalam

semak yang lembab, dan kadang - kadang berkubang atau kembali ke dalam air.

Buaya M w a diketahui mencapai kedewasaannya pada ukuran panjang 3

(20)

meter pada buaya betina dan 3 meter untuk buaya jantan atau umur minimum 10

tahun untuk buaya betina dan 15 tahun untuk buaya jantan (Dirjen PHPA, 1985).

Masyud et al., (1993) menjelaskan bahwa di alam, Buaya Muara mulai

berkembang biak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan 15 tahun

pada jantan. Disebutkannya juga bahwa masa hidup buaya dapat mencapai 60 -

80 tahun dengan masa potensial reproduksi 25 - 30 tahun. Buaya bereproduksi

pada musim hujan yang berlangsung antara bulan November hingga Maret.

Disamping itu umumnya Buaya Muara ditemukan memijah di perairan tawar,

dimana jantan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila jantan

lainnya bemaha masuk ke daerah tersebut.

Buaya berkembang biak dengan cara bertelur, dimana jumlah telur yang

dihasilkan setiap musim adalah sebanyak 10 - 75 butir dengan rata-rata 44 butir dan lama pengeraman 78 - 114 hari dengan rata-rata 98 hari, sementara itu berat telur yang dihasilkan sebesar 69 - 11 8 gram dengan rata-rata 93 gram. Setelah telur menetas, panjang anak buaya yang dihasilkan adalah 20 - 30 cm (Masyud et

al., 1993).

D i e n PHPA (1985) menyebutkan bahwa tipe sarang telur Buaya Muara

adalah tipe mound, dengan diameter, tinggi, clan suhu dalam sarang berukuran masing - masing 1,2 meter hingga 2,3 meter, 0,4 meter hingga 0,76 meter, dan 30

OC - 37,2 OC. Musirn bertelur Buaya Muara berbeda - beda berdasarkan daerah

penyebarannya. Di Australia Utara berlangsung antara Bulan Oktober - Juni, di

Srilanka pada Bulan Juni - September dan di daerah Papua pada Bulan Oktober

sampai April.

Pada l ~ n p : ~ I ~ ~ ~ ~ ~ . i l i ~ ~ ~ ~ l ~ . ~ ~ f l . e d ~ i (5 Febmari 2007) dijelaskan bahwa tipe

sarang rnound adalah tipe sarang yang terdiri dari bagian - bagian tanaman dan lurnpur. Sarang dibangun selama Bulan November hingga Maret selama musim

hujan dan ditempatkan pada bagian atas permukaan daratan agar terhindar dari

kemgian akibat banjir. Situs tersebut juga menyebutkan bahwa hasil riset untuk

kepentingan penangkaran dan konservasi telah mengetahui adanya perbedaan

suhu pengeraman yang dapat menentukan jenis kelamin dari anak buaya mana

yang dapat bertahan hidup. Anak buaya jantan akan lebii banyak dihasilkan pada

(21)

lebih banyak diasilkan pada sarang yang memiliki suhu di atas maupun di

bawahnya.

Nuitja (1979) mengemukakan bahwa habitat peneluran Buaya Muara

umumnya ditumbuhi oleh formasi tumbuhan Paku (Acrostichum aureum), Bluntas

(Pluchea indica), Bakung (Susum malayanum), Gelam (Melaleuea sp.), Pulai

(Alstonia angustiloba), Terenteng (Cemnpnosperma auriculata), Ketapang

(Terminalia cattapa), Ramin (Cenysty2us bancanus), Geranggang (Cratoxylon arborescens), Meranti Batu (Shorea teysmaniana), Merbau (Zntsia palembanica),

dan Raja Bunga (Adenanthera temarindifiia).

Sandjojo (1982) mengatakan bahwa buaya adalah jenis satwa yang sangat

tergantung pada adanya air, dimana air berperan sebagai media hidup bagi buaya

tersebut. Lebii lanjut, Sandjojo (1982) menambahkan pula bahwa pada siang hari, buaya biasa berjemur di tepi sungai terbuka.

Buaya jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tingkat salinitas

perairan. Oleh karena itu, Buaya Muara yang juga dikenal dengan nama Bakatak

ini umumnya ditemukan di perairan payau di sekitar kawasan pantai dan saliitas

< 0,5. Terkadang Buaya Muara juga dapat ditemukan hadir di sungai air tawar,

peralihan (billabongs), dan rawa. Pergerakan menuju habitat yang berbeda - beda

umumnya terjadi antara musim hujan dan kemarau. Juvenil dari jenis buaya ini

tumbuh di perairan tawar. Setelah mencapai ukuran semi dewasa, terkadang buaya

- buaya ini dipaksa untuk mencari teritorinya yang lain menuju area bersalinitas oleh buaya - buaya dewasa yang telah terlebih dahulu mendominasi habitat

tersebut untuk kepentingan bereproduksinya ( i ~ n p : / l \ z ~ ~ ~ ~ . t l m ~ i h . ~ ~ f l . e d ~ ~ , 5

Februari 2007). Selain itu diketahui pula bahwa tanaman jenis Nipah (Nypa fiuticans), Paku (Acrostichum aureum), dan Pidada (Sonneratia sp.) umumnya

mudah ditemui di sekitar daerah habitat Buaya Muara (Nuitja, 1979).

Menurut Dirjen PHPA (1985), penyebaran Buaya Muara sangat luas yaitu

meliputi daerah delta Sungai Gangga, Pantai Bengal di India bagian Tenggara

hingga Ceylon, Birma, Malaysia, Thailand, Indochina, Philipina, Australia, Papua

New Guinea, Pulau Solomon, Pulau Kokos, Fiji, dan daerah barat daya daratan

China. Di Indonesia, daerali penyebarannya meliputi hampir seluruh wilayah

(22)
[image:22.595.117.502.131.358.2]

Kalimantan, Sulawesi, T i o r , Halmahera, Kepulauan AITL dan Irian Jaya

(Gambar 2).

Gambar 2. Peta penyebaran buaya muara di dunia (littp:ii~~u-i+.flmnl~.~~il.edu, 5

Februari 2007)

2.1.2 Makanan, Tingkah Laku Makan, dan Sistem Pencernaan

Makanan merupakan faktor pembatas bagi makhluk hidup. Makanan

dibutuhkan sebagai sumber energi yang digunakan setiap makhluk hidup untuk

tumbuh dan berkembang biak. Buaya Muara adalah tipe hewan kamivora

sehingga memakan berbagai jenis daging. Kemampuan buaya untuk hidup baik di

darat maupun di air menyebabkan buaya mendapatkan jenis makanan yang sangat

beragam.

Pada situs &>:l'n~n.mnri~lebio.orr: (5 Februari 2007), ketika muda

Crocodylus porosus memangsa terbatas hanya pada organisme kecil seperti serangga, amphibi, crustacea, ikan kecil, dan reptil. Ketika mulai dewasa, Buaya

Muara memakan mangsa yang berukuran lebih besar dibandiigkan sebelumnya

seperti kepiting lumpur, kura-kura, ular, burung, kerbau, babi jantan liar, dan

monyet. Ross (1989) menambahkan bahwa pada dasarnya jenis Crocodilian di

(23)

mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tetap tidak kehilangan

kemampuannya dalam menangkap mangsa berukuran kecil.

Buaya bermoncong panjang dan langsing seperti Gavialis gangeticus,

Tomistoma sp., dan beberapa spesies dari jenis Crocodylus adalah pemangsa ikan

sejati, meskipun buaya tersebut juga memakan berbagai jenis hewan air lainnya

serta mamalia dalam ukuran kecil. Sementara itu buaya yang bermoncong lebih

berat, lebar, dan kuat seperti jenis porosus dan paIushis memakan mangsa yang berukuran lebii besar. Jenis buaya tersebut juga ditemukan menyerang dan

memangsa manusia (Ross, 1989). Sandjojo (1982) mengatakan bahwa buaya juga

memakan bangkai dan terkadang bahkan mengubur mangsanya terlebih dahulu

untuk dimasakkan. Fungsi dimasakkan disini diduga adalah sebagai cara untuk

membuat makanan tersebut mengalami pembusukan.

Pada Tabel 1 di bawah ini, Soewarno in Sarwono (1993) menuliskan

bahwa perbedaan umur juga menjadi faktor pembeda jenis dan jumlah makanan

[image:23.595.88.511.429.657.2]

yang diberikan.

Tabel 1. Jumlah makanan untuk setiap individu buaya per hari di penangkaran

Dirjen PHPA (1985) mengemukakan bahwa variasi jenis makanan buaya

tergantung pada usianya. Setelah ukuran buaya mencapai panjang 2 meter ke atas,

maka buaya tersebut dapat mulai memangsa jenis mamalia dan bahkan bangkai

(24)

Buaya Muara berukuran 1,5 hingga 1,67 meter di Sungai Paloh (Kalimantan

Barat), diietahui bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah Ikan

Belanak (Mugil sp.) disusul oleh berbagai jenis crustacea dan Ikan Bulan

-

Bulan

(Megalop sp.). Berbeda dengan hasil analisa makanan terhadap jenis Buaya

Muara lainnya di daerah Australia, bahwa buaya muda memakan jenis ikan - ikan

kecil, burung, insekta, dan crustacea, sedangkan buaya dewasa memakan jenis

ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia.

Hasil penelitian Taylor (1979) pada 289 ekor Buaya Muara di alam,

Australia Utara yang berukuran tidak lebih dari 180 cm menunjukkan bahwa porsi

terbesar makanan buaya tersebut adalah Kepiting Mangrove dari sub famili

Sesarminae dan udang dari genus Macrobrachiurn. Selain itu diietahui pula

bahwa jenis ikan yang ditemukan paling banyak adalah jenis Pseudogobius sp.

yang merupakan jenis ikan perenang lambat yang terdapat di tepi permukaan air.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Garnett dan Murray (1986) pada

Buaya Muara di penangkamn telah berhasil menyimpulkan bahwa Buaya Muara

akan mendapatkan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian makanan jenis daging babi dan daging sapi dibandingkan dengan jenis ikan.

Ross (1989) menjelaskan bahwa buaya bukan tipe pemangsa aktif, tetapi

lebii sering menunggu mangsa yang datang ke tempat sekitar habitatnya. Hal ini

dilakukan dalam rangka menghemat energinya. Situs http://v,,i\\\z .mariilehio.olg (5

Februari 2007) juga mencantumkan bahwa ketika sedang mengintai mangsa,

umumnya Buaya Muara bersembunyi di dalam air dengan hanya memperlihatkan

lubang hidung, mata, dan bagian punggungnya saja. Ketika mangsa mendekat, ia

dengan cepat keluar dari air dan menyerang. Setelah berhasil membunuh, buaya

akan langsung menelan mangsanya. Selanjutnya Goin et al. (1978) menjelaskan

bahwa pada saat melumpuhkan mangsanya, Buaya Muara menggunakan gigi,

ekor, dan kaki-kakinya yang kuat. Gigi digunakan untuk memotong tapi tidak

digunakan untuk mengunyah. Susunan gigi Buaya Muara terdii dari Pre-Maxilla

sebanyak 4-5 buah, Maxilla sebanyak 13-14 buah, dan Mandibular sebanyak 15

buah, sehingga jumlah total gigi Buaya Muara berkisar antara 64-68 buah gigi

(25)

dapat melarikan cliri, sedangkan apabila mangsanya berukuran terlalu besar maka

buaya akan melakukan teknik merotasi mangsanya tersebut secara berulang-ulang

di dalam

air.

Sementara itn Pope (1956) mengatakan bahwa setelah buaya

melumpuhkan mangsanya dengan cara menyeretnya ke dalam air, setelah itu

buaya tersebut akan cepat menelannya. Sedangkan bagi mangsa yang lebih besar

akan dibunuh terlebih dahulu dan kemudian dibagi menjadi beberapa bagian

sehingga akan lebii mudah untuk ditelan.

Dalam menangkap mangsanya, buaya menggunakan berbagai indera yang

dimilikinya. Pada Buaya Muara, diketahui bahwa baik indera penciuman maupun

indra pendengarannya berkembang dengan baik. Alat penciuman buaya disebut

dengan organ Jacobson yang digunakan untuk mengenal musuh, mangsa, dan

pasangannya (Harto, 2001). Sedangkan indera penglihatan pada jenis Alligator

dan Caiman diketahui berperan lebih penting dibandingkan indera penglihatan

pada jenis Crocodilian. Jenis Crocodilian umumnya akan menggunakan indera

pengliatannya untuk menangkap mangsa di atas permukaan

air,

tetapi akan

bergantung pada indera lainnya bila akan menangkap mangsa di dalam air (Ross,

1989).

Sandjojo (1982) menjelaskan bahwa sistem pencemaan buaya bermula

dari rongga mulut dengan gigi - gigi penggunting yang kuat untuk menangkap

dan mengoyak mangsa. Lidah terdapat di dasar mulut dan tidak dapat dijulurkan

keluar. Antara rongga mulut dan kerongkongan dipisahkan oleh dua katup besar

(Velum platinum). Kerongkongan (oesophagus) bermula dari pharynx sampai

perut dan berselaput lendir. Antara ujung oesophagus dengan perut dijaga oleh

sphincter. Oesophagus ini dapat dipakai untuk menyirnpan makanan sementara

(Harto, 2001). Sebelah perut bagian kiri dipisahkan dengan sebelah kanan dengan "kerah" tebal dari otot dan selaput spons. "Kerah" ini diduga memiliki fungsi sebagai penggiliig makanan hingga menjadi partikel yang kecil. Perut dipisahkan

dengan usus kecil oleh pyroric sphincter tebal. Usus dua belas jari terletak pada

permukaan anterior dan dorsal dari perut bergabung dengan usus halus. Buaya

memiliki panheas, hati, dan liipa. Usus besar (rectum) berdiameter dua kali

lebih besar dari usus kecil dan dipisahkan dengan usus kecil oleh ileoconic kloaka.

(26)

buaya memiliki fungsi yang sama seperti gizzard pada b-g, dan seperti halnya

pada b w g , buaya juga diketahui menelan objek yang keras untuk membantu

menghancurkan makanan (Goin et al.

,

1978).

Kebutuhan makanan buaya berbeda - beda tergantung dari berbagai

faktor, seperti spesies, jenis kelamin, umur, keaktivan, dan keadaan lingkungan

(Masyud et al., 1993). Buaya liar di dam umurnnya mencari makanan pada

malam hari saat suhu lingkungan men- (Lang, 1987 in Harto, 2001). Selain

temperatur juga salinitas perairan, dan tipe habitat yang berbeda juga turut

mempengarulli komposisi fiekuensi makanan yang dimakan oleh Buaya Muara

liar (Taylor, 1979). Garnett dan Murray (1986) turut menjelaskan bahwa

kepadatan populasi buaya di kandang pada sistem penangkaran yang terlalu tinggi

akan menimbulkan interaksi signifikan pada tingkat stres buaya. Hal ini dapat

mempengaruhi tingkat konsumsi buaya tersebut pada makanannya.

Permatasari (2002) inenjelaskan bahwa tingkat kelaparan buaya

dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, penyakit maupun stres. Buaya dapat

bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa bulan karena buaya dapat

menyimpan dan mengkonversi energi hasil yang dimakan dalam bentuk lemak

(Ross, 1989). Jika terlalu lama berpuasa, mengakibatkan pertumbuhan buaya

terhambat dan kondisi buaya menjadi lemah.

2.1.3 Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah suatu perubahan d i e n s i panjang, ukuran, berat,

jurnlah, dan volume dalam waktu tertentu. Seperti makhluk hidup pada umumnya,

bahwa pada suatu waktu tertentu buaya akan melewati batas pertumbuhan

maksimum dimana laju pertumbuhan buaya tersebut akan menjadi terhambat.

Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik,

kecepatan pertumbuhan buaya di penangkaran akan lebii baik dibandingkan

buaya liar yang hidup di dam, juga Buaya Muara di penangkaran mempunyai

kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Buaya Air Tawar

(27)
[image:27.595.115.497.113.237.2]

Tabel 2. Perbandingan pertumbuhan buaya muara di penangkaran dan buaya muara liar di d a m

I I I I

Sumbcr : Whittakcr et al. (1985) &an Webb (1978) in Masyud er al. (1993)

Tabel 3. Perbandingan pertumbuhan buaya muara dan buaya air tawar di

penangkaran

Surnber : Lever (1978) in Masyud et al. (1993)

Balton (1979) in Masyud et al. (1993) mengemukakan bahwa rata - rata pertumbuhan panjang total Buaya Muara (C. porosus) yang dipelihara dalam

kandang dan diberi makan rata - rata 80 gram ikan per ekor per hari adalah sebesar 40 cm per tahun pada tiga tahun pertama, atau diperoleh pertambahan

panjang total selama tiga tahun sebanyak 120 cm. Selain it- dikatakan pula

bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik dan pemberian makanan yang

lengkap dan sempuma baik jurnlah maupun mutunya, serta penanganan

perkandangan secara baik dengan sistem pengaliran air dalarn kandang yang

teratur dan bersih maka pertumbuhan buaya akan mencapai ukuran potong

ekonomis yang relatif lebih cepat. Ukuran potong ekonomis berdasarkan

Keputusan Dirjen PHPA adalah lebar perut (lebar dada) 30 - 46 cm atau sekitar

[image:27.595.119.501.297.446.2]
(28)

2.2 Kegiatan Penangkaran

Sejak tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Buaya Muara sebagai

satwa yang di'ndungi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.

327Kpts/U/5/1978. Di dunia internasional C. porosus yang hidup di Indonesia ditetapkan ke dalam Appendix 11, yang melarang segala bentuk perdagangan

buaya kecuali berupa hasil - h a i l penangkaran. Maka sejak tahun 1980-an, telah

banyak dikembangkan upaya - upaya penangkaran buaya di Indonesia. Pada

tahun 2006, menurut h t t n : ~ . ' s c a . u n e u - ~ ~ c i ~ ~ c . o ~ ~ r (5 Februari 2007), CITES telah

mengatur kuota terbaru bagi pemanfaatan Buaya Muara di Indonesia yaitu

sebanyak 15 ribu ekor yang berasal dari F1 (keturunan pertama dari induk PI)

melalui perkawinan individu induk yang juga berasal dari penangkaran.

Yang dimaksudkan dengan penangkaran buaya adalah usaha pengembang

- biakan jenis buaya tertentu serta mengatur kehidupan buaya dengan teknii -

teknik tertentu sehingga diperoleh manfaat yang sebesar - besarnya bagi manusia

tanpa mengganggu keseiinbangan populasi buaya tersebut di alam (Dirjen PHPA,

1985). Manfaat dari usaha penangkaran buaya

ini,

antara lain adalah sebagai

berikut (Diien PHPA, 1985) :

1. Diperoleh hasil berupa kulit buaya untuk bahan baku industri kerajinan kulit

2. Diperoleh h a i l berupa daging buaya sebagai bahan makanan substitusi protein

hewani untuk peningkatan pendapatanatau peningkatan gizi masyarakat

3. Sebagai suatu upaya peningkatan produktivitas lahan

4. Menciptakan

I

penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat

5. Sebagai usaha pelestarian buaya

2.2.1 PT Ekanindya Kana

Usaha produk fashion berbahan baku M i t hewan reptil seperti buaya, ulm piton, dan biawak yang dibangun oleh PT Ekanindya Karsa, telah dirintis sejak

tahun 1990. Pada awal berdii, kulit buaya sebagai bahan baku produk kerajinan

didapatkan dari pengambilan langsung di dam. Akan tetapi sejak tahun 1999, PT

Ekanindya Karsa telah memiliki penangkaran sendiri. Jenis buaya yang

ditangkarkan terdiri dari Buaya Muara (C. porosus) dan Buaya Papua (C.

(29)

terbagi menjadi 4 kelas (PT Ekanindya Karsa, 2007) seperti dijelaskan sebagai

berikut :

1. Anak buaya (Hatchling) : ukuran panjang tubuh < 60 cm 2. Buaya muda (Raising) : ukuran lebar dada c: 12 inchi

3. Buaya potong (Slaughter) : ukuran lebar dada 12 inchi 4. Induk (Parent Stock) : ukuran lebar dada > 25 inchi

Perusahaan yang dibangun pada lahan seluas 11.000 m2 ini dapat

menghasilkan produk kulit reptil hingga 15.000 lembar/bulan. Khusus untuk M i t

buaya, kapasitas produksi PT Ekanindya Karsa dapat mencapai 2.000 lembar kulit

setiap bulannya. Kulit - kulit tersebut dapat dijadian produk fashion dan kerajinan seperti tas, dompet, ikat pinggang, dan lainnya. Sementara kapasitas produk jadi tersebut dapat mencapai 3.500 pcs setiap bulannya. Produk

perusahaan dengan lisensi bermerek RaJo mencapai pasar lokal dan intemasional.

Produk - produk RaJo dapat ditemukan di Jakarta dan Bali maupun di luat negeri

seperti Jepang, Australia, Amerika, dan Korea.

Dari berbagai jenis M i t buaya yang dijadikan bahan baku kerajinan M i t ,

Buaya Muara merupakan jenis buaya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Disamping ukuran tubuh yang besar, juga karena memilii motif kulit yang kecil,

dan tidak adanya pengapuran (osteoderms) pada Mit perutnya (Bolton, 1989).

Setiap kulit buaya yang dihasilkan terbagi berdasarkan mutu kulit tersebut ke

dalam 3 kelas. Kelas 1 terklasifikasi sebagai mutu terbaik, d i a n a anggota badan

(kepala hingga ekor) dan Mitnya, lengkap dan mulus, serta bentuk morfologi

buaya yang normal. Sementara kelas 2 merupakan M i t dengan kategori dengan

adanya sediit kecacatan pada bagian ekorl kepala/ pinggiran badan, akan tetapi

bagian tengah badan harus tetap lengkap dan mulus. Kemudian bentuk badan

buaya normal, jurnlah sisik ekor tidak sampai 20 baris. Cacat pada kulit hewan

dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu cacat alamiah, dan cacat akibat kesalahan

pekerja saat pengulitan. Mutu kulit terendah yang dapat diproduksi termasuk ke

dalam kelas 3, dimana standat kulit berada di bawah standat kelas 1 dan 2 yaitu

keadaan sisik yang sudah terlepas.

Selain menjalankan industri tersebut secara mandiri, PT Ekanindya Karsa

(30)

pemanfaatan kulit yang dapat dijadikan bahan baku kerajinan kulit, daging yang

dapat dikonsumsi sebagai sumber bahan makanan dan obat - obatan. Gigi dan tengkorak dapat dijadikan sebagai benda dekoratif, off-set, asbak, dan aksesori

lainnya. Sisa potongan kulit yang tidak dapat dirnanfaatkan sebagai produk tas,

dompet maupun ikat pinggang dapat diolah kembali menjadi gantungan kunci dan

kolase produk tekstil. Bahkan tinja buayapun dapat dijadikan sebagai pupuk

penyubut tanaman.

Selain sebagai penyedia sunber bahan baku kulit, penangkaran buaya

milik PT Ekanindya Karsa dikenal sebagai salah satu penangkaran buaya terbesar

di Indonesia, mampu memberikan nilai lebih bagi kebutuhan masyarakat. PT

Ekanindya Karsa (2007) memaparkan target dan langkah - langkah ke depan

dengan adanya penangkaran buaya tersebut sebagai berikut :

1. Sebagai sarana pendidikan dan sosialisasi antara manusia dengan buaya

2. Pola pemanfaatan lestari yang diharapkan pada akhiniya dapat

menyeimbangkan populasi buaya eksitu dan insitu

3. Menambah peluang ke rja bagi masyarakat sekitar

4. Menghasilkan produk nilai tarnbah

5. Meningkatkan riset dan pembangunan teknologi yang berkaitan dengan

(31)

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tentang studi pengaruh perbedaan pemberian perlakuan

makanan dan pertumbuhan Buaya Muara ini berlangsung dari akhir bulan Mei

sampai akhir bulan Juli tahun 2007. Penelitian berlangsung pada penangkaran

buaya milik PT Ekanindya Karsa yang terletak di Desa Parigi, Kecamatan

Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Analisa proksiiat kandungan gizi dilakukan

di Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut

Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Penelitian mengenai pengaruh perbedaan pemberian perlakuan makanan

pada pertumbuhan ini membutuhkan materi sebagai berikut yakni 8 ekor Buaya

Muara dengan h a n lebar dada 12

*

1 inchi. Untuk melengkapi percobaan

ini

dilakukan juga pengukuran terhadap 300 ekor buaya terdiri dari baby hingga

pembesaran (rearing). Bahan makanan yang digunakan pada percobaan ini adalah

kepala ayam sebagai perlakuan 1 dan limbah ikan sebagai perlakuan 2. Peiientuan

jenis makanan telah mempertimbangkan ketersediaan sumber makanan yang

murah, berkualitas dan mudah didapat. Yang digunakan pada penelitian

ini

adalah

alat tulis, tagging, alat pelumpuh listrik berkekuatan 12 volt, tali, timbangan

digital, plastik, alat

ukur

panjang, alat ukur berat, alat pengukur temperatur udara,

alat pengukur temperatur air, dan kamera.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Studi Pengaruh Perbedaan Pemberian Perlakuan Makanan

Penelitian dilakukan dengan mengamati sampel acak dari populasi yang

homogen yaitu Buaya Muara berukuran lebar dada 12

*

1 inchi. Pengamatan

dilakukan terhadap junlah sampel sebanyak 8 ekor buaya, diiana masing -

masing perlakuan dicobakan kepada 4 ekor buaya yang berlaku sebagai

ulangannya. Alur prosedur pada penelitian ini digambarkan pada Gambar 3

(32)

(Parameter Penunjang)

1. Konsumsi Pakan (setiap pemberian pakan)

[image:32.595.103.516.64.452.2]

c. Lebar Dada

Gambar 3. Flowchart prosedur penelitian

Setiap dua ekor buaya menempati kandang berukuran 2 meter x 1 meter x

1 meter. Kandang terdiri dari bagian kering yang digunakan oleh buaya untuk

berjemur serta bagian yang terendam air dengan ketinggian air sekitar 20 cm.

Sumber air baku yang digunakan berasal dari pengolahan air yang terpusat,

sehingga diharapkan tidak adanya fluktuasi terhadap faktor - faktor yang dapat mempengaruhi kualitas air. Nilai pH air dipertahankan 6,5 - 7 dan air diganti

setiap dua hari sekali sebagai bagian dari sanitasi kandang.

Buaya Muara tersebut diberikan makanan berupa kepala ayam (perlakuan

1) dan limbah ikan (perlakuan 2) setiap dua hari, masing - masing buaya

diberikan makanan sebesar 250 gmm. Pemberian makanan dilakukan bersamaan

pada sore hari. Pemilihan fiekuensi pemberian makanan serta waktu pemberian

(33)

penangkaran tersebut. Selma masa penelitian, buaya - buaya tersebut tidak

diberikan tambahan suplemen seperti vitamin dan premix (aquamix) yang biasa

diberikan di penangkaran sebagai tambahan nutrisi.

Sumber bahan pakan berupa kepala ayam dibeli dari peternakan ayam di

PT Charoen Pokphand. Sementara itu jenis pakan berupa limbah ikan dibeli dari

tempat pelelangan ikan Kronjo dan kadang kala di Jakarta. Limbah ikan yang

diberikan terdiri dari ikan - ikan air laut dan air tawar, sisa dari hasil tangkapan nelayan yang tidak dapat dianfaatkan sebagai sumber bahan makanan langsung

bagi manusia. Jenis ikan tersebut terdiri dari campwan ikan tongkol, bawal hitam,

kembung, nila, dan bandeng.

[image:33.595.170.455.351.546.2]

Pada Gambar 4 berikut terlihat perbedaan jenis makanan yang dicobakan.

Gambar 4 bagian kiri menunjukkan jenis pakan kepala ayam, dan bagian kanan

merupakan Gambar jenis pakan limbah ikan.

Gambar 4. Jenis pakan yang dicobakan

Makanan yang akan diberikan terlebih dahulu dicuci sampai bersih.

Setelah itu dilakukan penimbangan bobot makanan hingga mencapai berat 250

gram. Setelah makanan diberikan, dilakukan pengukuran temperatur udara di

sekitar kandang dan pengukwan temperatm air di dalam kandang. Keesokan

paginya dilakukan pembersihan kandang dan penimbangan bobot makanan yang

tersisa. Hasil pengurangan bobot makanan yang diberikan dengan bobot makanan

(34)

Pada awal penelitian, masing - masing buaya tersebut diukur panjang total

(dalam satuan centimeter), berat tubuh (dalam satuan kilogram), dan lebar dada

(dalam satuan centimeter). Setelah diberikan makanan tersebut selama waktu

tertentu, lalu akan diukur panjang total, berat tubuh, dan lebar dada akhir dari

masing - masing ekor buaya tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 30 hari,

diiana waktu penelitian berlangsung selama 60 hari.

Sebelum dilakukan penelitian, setiap sampel buaya terpilii akan diberikan makanan yang biasa diberikan di penangkaran pada waktu bersamaan. Selain itu

buaya juga dipuasakan selama 1 hari, agar pada saat percobaan diiulai tingkat

kelaparan setiap sampel buaya diasumsikan berada pada kondisi yang sama.

Untuk menghindari kesalahan pencatatan pengukuran setiap buaya

dilakukan tagging. Bahan tag berupa plastik memiliki pengait pada kedua

ujungnya. Tag dipasang pada buaya setelah dilakukan pencantuman nomor urut.

Pada alat tag terdapat perbedaan warna, yang menunjukkan jenis kelamin buaya tersebut. Tag benvama oranye menunjukkan buaya yang berkelamin betina dan

tag benvarna kuning menunjukkan buaya yang berkelamin jantan. Tag dipasang

pada bagian ekor, agar buaya tidak cacat.

3.3.2 Studi Pertumbuhan

Yang diukur adalah : panjang total (TL), berat tubuh (W), lebar dada,

hubungan antar dimensi tersebut, dan model pertumbuhan. Sebagai data

penunjang, dilakukan pula pengukuran terhadap 300 ekor Buaya Muara sampel

acak yang terdapat di penangkaran. Buaya yang diukur berdasarkan pada

kelompok ukuran, yakni : anak muda (Hatchling), buaya muda (Raising) dan

buaya potong (Slaughter).

Data penunjang diharapkan dapat menjadi pembanding data sebelumnya

agar dapat dilakukan pendugaan pada keadaan buaya apabila jenis pakan limbah

ikan diberikan dari sejak buaya tersebut menetas hingga dewasa.

Pada saat melakukan pengukuran panjang, berat, dan lebar dada, buaya

terlebih dahulu dilumpuhkan dengan alat setrurn listrik berkekuatan 12 volt.

Penggunaan alat setrum ini dimaksudkan mengurangi pergerakan buaya sehingga

(35)

menggunakan meteran jahit atau bangunan dengan ketelitian 1,O mrn. Buaya

dibaringkan pada tempat datar dan dilakukan pengukuran panjang mulai dari

ujung mulut hingga pangkal ekor yang sudah terlebi dahulu diluruskan. Lebar

dada diukur dengan menggunakan alat ukur panjang yang sama. Pengukuran

dimulai dari tonjolan kulit keras baris ketiga pada bagian punggung buaya.

Pengukuran dilakukan dengan cara mengelilingi tubuh buaya tersebut. Untuk

menghindari pengukuran diameter (keliling) maka pengukuran lebar dada dibatasi

hingga tonjolan kulit keras terluar saja. Sementara itu pengukuran berat tubuh

menggunakan timbangan sentisimal pabrik dengan kapasitas maksimurn hingga

berat 500 kg dan ketelitian 200 gram.

3.4 Analisa Data

3.4.1 Rancangan Percobaan

Dalam pengolahan data pada studi pengaruh perbedaan pemberian

perlakuan makanan dan pertumbuhan Buaya Muara ini, rancangan percobaan

dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Randomize Complete

Design). Rancangan percobaan ini dilakukan dalam menganalisis data konsumsi

pakan, pertambahan panjang total, pertambahan berat tubuh, pertambahan Lebar

dada dan konversi ransum.

Model linier aditif secara umurn dari rancangan satu faktor dengan

rancangan acak lengkap dapat dituliskan sebagai berikut :

y.

= p

+

Ti

+

Ei

Keterangan :

Yi

= Pengamatan pada perlakuan kepala ayam dan limbah ikan

1 - - 1,2,

...

,

x (Perlakuan kepala ayam dan limbah ikan)

P

= Rataan umum

Ti = Pengaruh perlakuan kepala ayam dan limbah ikan

Ei

= Pengaruh acak pada perlakuan kepala ayam dan limbah ikan
(36)

Hipotesis yang dapat diuji pada pengamatan studi pengamh perbedaan

pemberian perlakuan makanan dan pertumbuhan Buaya Muara ini adalah :

H o : x , = x2=O

(perlakuan jenis pakan kepala ayam dan limbah ikan tidak berpengamh

terhadap konsumsi pakan, pertambahan panjang total, pertambahan berat tubuh,

dan pertambahan lebar dada buaya yang diamati)

HI : paling sedikit ada satu perlakuan (i) dimana xi # 0

Kaidah keputusan yang akan diambil adalah :

F-Hitung > F-Tabel = Tolak Ho F-Hitung < F-Tabel = Terima Ho

3.4.2 Analisa Proksimat Kandungan Gizi

Analisa proksimat digunakan untuk mengetahui komposisi kimia pakan

percobaan. Dilakukannya analisa proksimat ini diharapkan terdapatnya gambaran

secara garis besar mengenai kualitas tiap - tiap pakan percobaan.

3.4.2.1 Kadar Air

Sebanyak 1 gram sampel segar dalam botol timbangan diiasukkan ke

dalam oven pada suhu 105 OC selama 8 jam, lalu ditimbang. Kadar air dihitung

dengan rumus :

Bobot Sampel (segar - kering)

Kadar Air = ~ 1 0 0 %

(37)

3.4.2.2 Kadar Abu

Sebanyak 1 gram sampel kering ditempatkan dalam wadah porselin dan

dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 OC

selama 1 jam, lalu ditimbang.

Bobot Abu

Kadar Abu = ~ 1 0 0 %

Bobot Sampel Kering

3.4.2.3 Kadar Lemak Kasar

Sebanyak 2 gram sampel kering disebar di atas kapas yang beralas kertas

saring dan digulung membentuk thimble, lalu diasukkan ke dalam labu soxhlet.

Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak

berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan

dalam oven pada suhu 100 OC selama 1 jam.

Bobot Lemak Terekstrak

Kadar Lemak = ~ 1 0 0 %

Bobot Sampel Kering

3.4.2.4 Kadar Protein Kasar

Sebanyak 0,25 gram sampel kering ditempatkan dalam labu Kjehdahl 100

ml dan ditambahkan 0,25 gram Selenium dan 3 ml HzS04 pekat. Kemudian

dilakukan destruksi @emanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai

larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%,

lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi

campuran 10 ml H3B03 2% dan 2 tetes indikator Brom Cesol Green - Methyl Red

benvama merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml

dan benvarna hijau kebiian, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan

HzS04 0,l N sampai berwama merah muda. Perlakuan yang sama juga dilakukan

terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung

(38)

Keterangan :

S = volume titran sampel (ml) B = volume titran blanko (ml) w = bobot sampel kering (mg)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4,38

(faktor perkalian untuk jamur umum)

3.4.2.5 Kadar Serat Kasar

Sebanyak 1 gram sampel kering dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1,25 %,

dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit.

Kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman (4, : 10 cm) dan dengan

bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20 - 30 ml air

mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali

dengan 100 ml NaOH 1,25 % selama 30 menit. Dilanjutkan dengan penyaringan

dan dibilas berturut - t m t dengan 25 ml H2S04 1,25 % mendidii, 2,s ml air sebanyak 3 kali dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke

cawan porselin dan diieringkan dalam oven 130 OC selama 2 jam. Setelah dingin

residu beserta cawan porselin ditimbang (A), kemudian dimasukkan dalam tanur

600 OC selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B).

Bobot Serat Kasar

Kadar Serat Kasar = ~ 1 0 0 %

Bobot Sampel Kering

Keterangan :

Bobot Serat Kasar = w - w0

w = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur

w = A - (Bobot Kertas Saring

+

Cawan) x (Bobot Residu

+

Kertas Saring

+

Cawan)

A

w0 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur

0 B - Bobot Cawan

w = x (Bobot Residu

+

Cawan)

B

3.4.2.6 Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode Carbohydrate by

dzfference yaitu = 100 %

-

(Kadar Air

+

Abu

+

Protein

+

Lemak). Sementara itu
(39)

dapat dicema dari suatu bahan pangan. Kadar tersebut ditentukan dengan cara

yaitu = 100 % - (Kadar Air

+

Abu

+

Protein

+

Lemak

+

Serat Kasar).

3.4.2.7 Nilai Energi (Kalori)

Kalori dari suatu bahan pangan dihitung dengan menjumlahkan kalori dari

protein, lemak dan karbohidrat yang dikandung bahan tersebut. Kalori protein,

lemak dan karbohidrat diperoleh dengan cara mengalikan kadar protein, lemak

dan karbohidrat yang telah ditentukan dengan faktornya masing - masing. Untuk

jamur pada umumnya faktor yang digunakan sebesar 4,O kal/gram bobot kering

sampel (protein), 8,37 kal/grarn bobot kering (lemak) dan 4,2 kallgram

(karbohidrat N-free).

Kalori= (Kadar Protein x 4,O)

+

(Kadar Lemak x 8,37)

+

(Kadar Karbohidrat x 4,2)

3.4.3 Konsumsi Pakan

FC=FI-FO

Keterangan :

FC = Bobot konsumsi pakan - gram (Feed Consumption)

FI = Bobot pakan yang diberikan - gram (Feed In)

FO = Bobot pakan yang tidak dimakan

-

gram (Feed Out)

3.4.4 Efisiensi Pakan

Keterangan :

E = Efisiensi pakan (%)

Wt = Bobot total buaya pada akhir penelitian (gram)

Wo = Bobot total buaya pada awal penelitian (gram)

D = Bobot total buaya yang mati selama penelitian (gram)

F = Bobot total makanan yang diionsumsi (gram)

3.4.5 Hubungan Panjang-Berat

Berat dianggap sebagai fungsi dari panjang (Effendie, 1997). Oleh karena

itu perlu dilakukan analisa hubungan panjang - berat agar dapat diketahui

gambaran dan trend hubungan tersebut. Hubungan panjang - berat dapat dijadiian

(40)

tersebut dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut

(Setyobudiandi, 2005):

Keterangan :

W = Berat buaya (kg)

L = Panjang total buaya (cm)

a = Konstanta

b = Koefisien pertumbuhan

Model hubungan panjang

-

berat ini menyerupai model hubungan panjang

-

berat yang terdapat pada ikan. Hubungan ini mengikuti pola hukurn kubik dari 2 parameter yang dijadikan dasar analisis. Nilai koefisien b digunakan untuk

menduga laju pertumbuhan kedua parameter yang dianalisa. Berdasarkan pola

hubungan linier maka dapat dilihat bahwa korelasi parameter dari hubungan

panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat

keeratan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesis :

1. Bila b = 3, dikatakan hubungan yang isometrik (pola pertumbuhan

panjang sama dengan pola pertumbuhan berat)

2. Bila b # 3, diiatakan memiliki hubungan allometrik, yaitu :

a). bila b > 3 Allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan)

b). bila b < 3 Allometrik negatif (pertarnbahan panjang lebih dominan)

3.4.6 Hubungan Berat-Lebar Dada

Pada berbagai literatur mengenai pertumbuhan buaya diketahui bahwa

terdapat hubungan antara diiensi berat tubuh dan lebar dada, diiana pada

umumnya setiap pertambahan berat tubuh akan diiringi dengan pertambahan lebar

dada. Hubungan berat - lebar dada tersebut dapat diketahui dengan menggunakan

(41)

2. Logaritmik

Y

=

a+

bLn(x)

3. Polinimial

Y = & + ~ x + c

4. Eksponensial

Y

=

aebx

5. Power

Y

= a x b

Keterangan :

Y = Lebar dada (cm)

X = Berat (kg)

a, b, c = Konstanta

Jenis - jenis dan persamaan model tersebut didapat dari analisa

menggunakan Microsoji Excel. Penentuan model pertumbuhan dengan koefisien

determinasi (R2). Pemilihan model yang digunakan akan mengacu pada nilai

koefisien detenninasi yang paling besar.

3.4.7 Analisa Efisiensi Biaya Pakan dan Waktu Pembesaran Buaya

Dari data pertambahan dimensi pertumbuhan (satuan panjang total dan

lebar dada) dan harga satuan bahan makanan buaya yang digunakan, akan dilihat

keefektifan biaya pembelian bahan makanan dan waktu pembesaran buaya

berdasarkan penentuan berat optimal bahan makanan yang digunakan untuk

meningkatkan pertumbuhan buaya (diiensi panjang dan lebar dada) sebanyak x

satuan (Tabel 5). Diharapkan hasil analisa ini akan membantu penangkaran

menentukan berat optimal makanan yang paling murah dan efisien secara waktu

dari bahan makanan yang dianggap paling disukai oleh Buaya Muara dari hasil

(42)
[image:42.602.106.510.110.268.2]

Tabel 5. Perbandingan satuan harga bahan makanan tiap perlakuan perbedaan berat makanan dengan pertumbuhan

I

Kepala Ayam

I

x

gram

I

A

I

C

Rataan Pertambahan

Pertumbuhan

Panjang dan Lebar

dada Buaya Harga

(RP Per kg) Perlakuan

I I I

Berat Makanan

(gram per kali

makan)

D

B

(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Pakan Percobaan

Berdasarkan hasil analisis proksirnat pada laboratorium Biologi Hewan,

Pusat Antar Universitas (PAU), IPB terhadap bahan 2 jenis pakan yang

dicobakan, diperoleh komposisi kimianya seperti yang disajikan dalam Tabel 6.

Dari Tabel 6 di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan komposisi gizi

setiap jenis pakan. Kadar air yang terkandung dalam kedua jenis pakan cukup

besar. Akan tetapi jenis pakan kepala ayam mengandung lebih banyak kadar air

dibandingkan jenis pakan limbah ikan yaitu sebesar 7628 % dari bobot sampel segar. Anwar (1985) menjelaskan bahwa kadar air dapat mempengaruhi

penampilan, tekstur serta cita rasa makanan. Disamping itu kandungan air dalam

bahan pangan akan turut menentukan kesegaran dan daya tahan bahan pakan

terhadap kemungkinan akan tumbuhnya mikroba. Kandungan air yang banyak

akan memperbesar kemungkinan tumbuhnya mikroba tersebut. Untuk

[image:43.599.118.506.235.517.2]

memperpanjang daya tahan suatu bahan, Anwar (1985) menyarankan agar Tabel 6. Komposisi kimia pakan percobaaan

0,43

1,77

376,2599

Karbohidrat Kasar (%) Segar

Kering

4 4 5

18,76

(44)

kandungan kadar air dalam bahan pakan dihilangkan terlebih dahulu dengan cara

melakukan pengeringan terhadap bahan pakan.

Kadar abu didapatkan dari perbandingan bobot sampel kering yang habis

terbakar dengan bobot sampel kering. Kadar abu dalam kedua pakan diharapkan

tidak terlalu besar, agar dapat menunjukkan berapa besar bobot pakan yang dapat

dimanfaatkan oleh buaya dalam percobaan h i . Kadar abu terbesar terdapat pada

jenis pakan limbah ikan, yaitu sebesar 18,83 % dari bobot sampel kering. Sementara itu kadar abu dari jenis pakan kepala ayam adalah sebesar 14,92 %.

Lemak merupakan jenis zat gizi yang berguna sebagai penghasil energi,

cadangan makanan, penahan keluar atau hilangnya panas tubuh serta pelarut

vitamin A, D, E dan K agar lebii mudah terserap. Pada kedua jenis pakan

tersebut, kandungan lemak tidak terlalu jauh berbeda. Limbah ikan merupakan

jenis pakan yang memilii kandungan lemak sedikit lebih besar, yaitu senilai

10,83 % dari bobot sampel keringnya. Farakkasi (1983) mengatakan bahwa lemak

juga berperan penting dalam penyerapan Ca. Hal ini tentu cukup penting dalam

penentuan pemberian pakan untuk buaya terutama untuk pembentukan tulang

buaya yang masih berusia muda.

Pada Tabel 6 di atas, diketahui bahwa limbah ikan merupakan jenis pakan

yang mengandung kadar protein yang lebih besar, yaitu sebesar 68,57 % dari bobot keringnya dibandingkan dengan jenis pakan kepala ayam yang bemilai

55,65 % dari bobot keringnya. Farakkasi (1983) menjelaskan bahwa kualitas protein dalam suatu bahan pakan ditentukan oleh daya cema, banyaknya protein

yang dapat terserap serta banyaknya asam amino yang dikandungnya.

Serat kasar merupakan salah satu dari unsur yang terkandung dalam

karbohidrat seperti selulosa, lignin dan lainnya. Serat kasar tidak dapat dicema

langsung oleh hewan monogastrik seperti buaya dimana seluruli sistem

pencemaannya menggunakan bantuan enzirn. Serat kasar umumnya berfimgsi

sebagai pemelihara daya gerak buaya serta kesehatan saluran pencernaan (Anwar,

1985). Sumber - surnber bahan makanan yang inengandung serat kasar umumnya

terdapat pada tumbuhan dan kayu - kayuan, sehing

Gambar

Gambar 1 .
Tabel
Gambar 2. Peta penyebaran buaya muara di dunia (littp:ii~~u-i+.flmnl~.~~il.edu, 5 Februari 2007)
Tabel 1. Jumlah makanan untuk setiap individu buaya per hari di penangkaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

• Contoh : Pembelian alat pemotong pada UKM keripik apel senilai 7 juta dapat memberikan keuntungan selama empat tahun : 1 juta; 1,75 juta; 2,5 juta; 3,25 juta. Hitunglah

PUSKESMAS KECAMATAN GAMBIR KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT TAHUN ANGGARAN

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

[r]

Peserta yang diundang menghadiri tahap pembuktian kualifikasi adalah pimpinan perusahaan yang tertera di dalam Akta atau staff yang diberikan kuasa oleh pimpinan

 It is important to improve access to quality drinking water by children, familly, school, working palce, and community.  Efforts should be made to educate

Perubahan nama menjadi Buaya Putih yang sebelumnya bernama Buaya Mangap.. karena ingin memperhalus makna yang sebelumnya dianggap memiliki