1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Balikpapan, Kalimantan Timur, merupakan kota pesisir berupa teluk yang memiliki banyak muara sungai dan arus serta gelombang yang relatif tenang (Yani, 2003). Potensi sumberdaya pesisir yang tinggi telah mendapat perhatian Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangannya. Salah satu kegiatan pengembangan sumberdaya ini berada di sekitar Sungai Somber, sungai yang tergolong sungai kecil yang bermuara ke Teluk Balikpapan (BPMPPT, 2011). Bagian hilir Sungai Somber terdapat beragam aktifitas manusia, seperti
perkapalan, industri, pemukiman dan pertanian (Yani, 2003). Namun demikian, berbagai aktifitas tersebut dapat mempengaruhi kualitas perairan sungai karena potensi masukan antropogenik (senyawa organik maupun non-organik) dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai menuju estuari (BPMPPT, 2011).
2
sumber alami (Mille et al., 2006). Sumber alami hidrokarbon di perairan dapat berasal dari tanaman tingkat tinggi di daratan (nC23-35) dan plankton (nC15-21).
Nilai carbon preference index (CPI) juga dapat digunakan untuk mengindikasi bahwa keberadaan hidrokarbon dapat dipengaruhi oleh minyak jika nilai CPI kurang dari atau mendekati 1.
Penelitian mengenai senyawa hidrokarbon khususnya senyawa alifatik dan aromatik di perairan estuari dan laut telah banyak dilakukan baik pada sedimen maupun air. Hal tersebut mencakup sumber-sumber hidrokarbon dan bagaimana pola penyebarannya pada sedimen di perairan (Mille et al., 2006; Peng et al., 2008; Martins et al., 2010; Maioli et al., 2011; Martins et al., 2011). Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) digunakan untuk mengevaluasi sumber polusi di perairan estuari (Maioli et al.,2010) dan PAH juga menjadi salah satu kontaminan pencemaran laut yang dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem laut (Elias et al., 2007). Memperhatikan potensi buangan hidrokarbon yang dapat mencemari lingkungan perairan dan kemungkinan pengembangan aktifitas Sungai Somber, penelitian tentang karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik
aromatik hidrokarbon perlu dilakukan.
1.2. Tujuan
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Sungai Somber merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Empat Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Balikpapan, yaitu Sub DAS Wain, Sub DAS Semoi, Sub DAS Sepaku dan Sub DAS Riko. Areal Sub DAS Somber tergolong tidak lebar serta berupa dataran rendah di sepanjang kiri dan kanan Sungai Somber serta berbukit di bagian hulu dan di sisi tenggara. Akan tetapi informasi tentang tingkat erosi bagian hulu Sub DAS Somber ini tergolong masih kurang (BPMPPT, 2011).
Sisi tenggara Sungai Somber terdapat kegiatan industri perkapalan dan pergudangan yang telah berkembang dengan baik. Disamping itu, sebagian lahan pada sisi tenggara Sungai Somber masih ditumbuhi pohon bakau. Sisi barat laut (kanan menuju hulu) Sungai Somber umumnya masih berupa hutan bakau dan belum ada kegiatan industri perkapalan. Kegiatan di tepi badan air hanya alat penangkap ikan statis berupa sero yang digunakan untuk menjebak ikan saat air surut (BPMPPT, 2011).
Sungai Somber bagian hilir digunakan sebagai pelabuhan kapal khusus ferry dan aktifitas dok kapal, industri kayu lapis, pertanian dan permukiman penduduk. Aktifitas-aktifitas yang terjadi di sekitar sungai menyebabkan
4
2.2. Hidrokarbon
Hidrokarbon merupakan senyawa organik paling sederhana yang terdiri dari karbon dan hidrogen yang berikatan pada kerangka dasarnya yaitu karbon. Hidrokarbon juga menjadi komponen materi organik yang masuk ke lingkungan perairan selain karbohidrat, protein, lignin dan tannin (Chester, 1990) yang termasuk ke dalam kelas senyawa lipid.
Hidrokarbon merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan sebagai penanda asal-usul sedimen pada suatu perairan. Komposisi hidrokarbon dapat ditemukan dalam sedimen yang menggambarkan peranan relatif dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu biogenik, diagenetik, petrogenik dan
pyrogenik (Lipiatou et al., 1997; Hostettler et al., 1999 in Mostafa et al., 2009).
n-alkana merupakan salah satu hidrokarbon yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi di daratan (nC23–nC35) maupun mikroorganisme di perairan seperti
plankton dan alga (nC15–nC21) (Chester, 1990).
2.2.1. Hidrokarbon alifatik
5
alkena dan aromatik yang memiliki ikatan rangkap dua (double bond) (Peters and
Moldowan, 1993) dan alkuna yang memiliki ikatan rangkap tiga.
Hidrokarbon alifatik di perairan dapat terakumulasi dalam sedimen (Wakeham et al., 2004 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik berasal dari sumber alami termasuk biogenik dan dari sumber antropogenik (petrogenik). Hidrokarbon alifatik antropogenik dalam sedimen sebagian besar berasal dari sisa-sisa minyak dengan komponen n-alkana, alkana bercabang dan siklik (hopana dan sterana) (Gambar 1), dan biasanya mengandung komponen Unresolved Complex Mixture (UCM) (Doskey, 2001 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik dapat masuk dari atmosfir dan komponen lilin tanaman (vegetation waxes) yang terlepas ke udara melalui proses pelapukan (Azevedo et al., 1999;
Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010).
Gambar 1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik (n-alkana, alkana bercabang, hopane, sterana)
Rasio konsentrasi n-alkana bernomor ganjil dan genap, umumnya ditunjukkan sebagai Carbon Preference Index (CPI) yang digunakan untuk
6
mengindikasikan sumber n-alkana (Azevedo et al., 1999; Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010). Ada beberapa nilai CPI yang menjadi indikasi dari mana hidrokarbon berasal (Mazurek et al., 1989; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010), yaitu:
CPI 0.96-1.01 : sumber petrogenik CPI 0.93-1.2 : buangan kendaraan CPI 1.2-5 : pembakaran kayu CPI > 4: sumber biogenik
CPI 6-30 : lapisan lilin (wax) tanaman tingkat tinggi CPI 10 : kebakaran hutan
2.2.2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) adalah senyawa yang terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik (benzene) yang memiliki enam atom karbon (C) (Neff, 1979). Contoh senyawa PAH diantaranya adalah phenanthrene,
fluoroanthene dan benz[a]anthracene yang masing-masing memiliki tiga sampai empat cincin aromatik (benzene), kecuali pada fluoroanthene yang juga berikatan dengan siklopentana (Gambar 2). PAH merupakan senyawa kimia karsinogenik yang terbentuk oleh pembakaran bahan organik yang tidak sempurna pada proses antropogenik seperti pembakaran fosil dan proses alami seperti kebakaran hutan (Harvey, 1998 in Orecchio et al., 2009; Pitts et al., 2000 in Itoh et al., 2008).
7
(a) (b) (c)
Gambar 2. Struktur senyawa aromatik (a) Phenanthrene, (b) Fluoranthene dan (c) Benz[a]anthracene
PAH secara umum dibentuk oleh berbagai macam proses, seperti biosintesis, diagenesis bahan organik yang memproduksi bahan bakar fosil dan pembakaran tidak sempurna dari bahan organik (Neff, 1979). Nikolaou et al.
(2009) in Nugraha (2011) membagi tiga kategori sumber PAH yaitu:
1. PAH petrogenik, yang terkait dengan petroleum (minyak), termasuk minyak mentah dan produk penyulingannya.
2. PAH biogenik, yang berasal dari proses biologi atau tahap awal dari diagenesis pada sedimen laut (misal: perylene).
3. PAH pyrogenik, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) dan material organik seperti kayu.
8
2.3. Sedimen
Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sedimen terdiri dari beberapa komponen yang bervariasi, tergantung dari lokasi,
kedalaman, dan geologi dasar (Forstner dan Witman, 1983 in Mulyawan, 2005). Sedimen di dasar laut berasal dari berbagai sumber materi (Wibisono, 2005; Sanusi, 2006), yaitu:
1. Sedimen Lithogenous, berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai (fluvial transport) dan angin (aeolian
transport) yang masuk ke lingkungan laut.
2. Sedimen Hydrogenous, terbentuk akibat proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia yang terlarut dalam laut.
3. Sedimen Biogenous, berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah cangkang (shell) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous).
4. Sedimen Cosmogenous, berasal dari luar angkasa yang ditemukan di dasar laut.
9
Proses lain yang terjadi pada sedimen adalah diagenesis. Menurut Peters dan Moldowan (1993), diagenesis merupakan perubahan yang terjadi secara biologi, fisika dan kimia pada bahan organik dalam sedimen khususnya perubahan signifikan akibat bahang (heat). Beberapa faktor yang berperan terhadap
diagenesa sedimen adalah perubahan fisik lingkungan (peningkatan penimbunan, suhu dan tekanan), kimiawi (kandungan oksigen, mineral dan potensi redoks) dan biologi (aktifitas bakteri, jenis bakteri).
Umumnya daerah aliran sungai (DAS) selalu membawa endapan lumpur akibat erosi yang terjadi secara alami dari pinggiran sungai dan hampir seluruh kandungan sedimen akan meningkat terus akibat erosi dari tanah pertanian kehutanan, konstruksi, dan pertambangan (Darmono, 2001). Sedimen yang terbawa oleh sungai tentu membawa bahan organik dan anorganik yang akan mempengaruhi kondisi perairan.
Bahan organik pada sedimen berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan liat (Keller dan Wibel, 1991 in Mulyawan, 2005).
Sedimen muara (estuari) merupakan tempat mengendap dan
10
pada sedimen halus lebih tinggi jika dibandingkan dengan sedimen yang kasar karena pada sedimen kasar partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral (Boehm, 1987
in Mulyawan, 2005). Tabel 1 merupakan klasifikasi sedimen berdasarkan ukurannya (Wibisono, 2005).
Tabel 1. Ukuran besar butir sedimen menurut Skala Wentworth
Nama Partikel Ukuran (mm) Pasir sangat halus (very fine
sand)
1/16 – 1/8 Lanau (Silt) Lanau kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16 Lanau sedang (medium silt) 1/64 – 1/32 Lanau halus (fine silt) 1/128 – 1/64 Lanau sangat halus (very fine
silt)
1/256 – 1/128 Lempung (Clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256
Lempung sedang (medium clay)
1/1024 – 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024 Lempung sangat halus (very
fine clay)
11
2.4. Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GC-MS)
Kromatografi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menguraikan suatu campuran. Komponen-komponen dalam kromatografi akan terdistribusi ke dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase bergerak (Khopkar, 2003).
GC–MS merupakan singkatan dari Gas Chromatography - Mass
Spectrometry. Kromatografi gas merupakan metode analisis senyawa pada suatu sampel yang dipisahkan secara fisik sebelum pengukuran, sedangkan spektrometri massa adalah suatu metode analisis dimana sampel dikonversi menjadi ion-ion gas dan kemudian dilakukan pengukuran terhadap massa ion-ion tersebut. GC
berfungsi sebagai inlet sampel bagi MS dan MS berfungsi sebagi detektor GC (Shimadzu, 2002).
Data yang dihasilkan oleh GC – MS akan ditampilkan dengan
kromatogram (GC) dan spektrum massa (MS) dimana sumbu x menunjukkan waktu penyimpanan (retention time) dan sumbu y menunjukkan intensitas. Masing-masing puncak (peak) pada kromatogram menunjukkan satu senyawa. Spektrum massa memiliki base peak (m/z) dan dapat memberikan informasi tentang berat molekul dan struktur kimia (Shimadzu, 2002)
GC-MS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, dan sakarosa bersifat tidak menguap,
sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat MS. Kriteria menguap pada GC-MS adalah:
1. Pada kondisi vakum tinggi, tekanan rendah. 2. Dapat dipanaskan.
12
Gambar 3. Diagram alir prosedur kerja GC-MS Gas Chromatography –
Mass Spectrometry
Mass Spectrometer Gas Chromatograph
Pemisahan >> Kolom GC
Fase diam dan bergerak (dorongan gas He) Sampel (senyawa)
Ionisasi
Senyawa akan terpisah injeksi
Pemisahan ion sesuai dengan m/z masing-masing ion
Pengukuran
kelimpahan/intensitas
Penurunan suhu dan tekanan MS
Mass analyzer
Detector
13
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian yang meliputi analisis laboratorium dan analisis data dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011. Cuplik sedimen yang dianalisis di laboratorium merupakan cuplik sedimen yang diambil di sekitar muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Selanjutnya, cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer di Laboratorium Pilot Plan PAU-IPB. Analisis hidrokarbon dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang.
14
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1. Cuplik sedimen
Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari muara Sungai Somber yang telah dikeringkan dan dihomogenkan.
3.2.2. Peralatan laboratorium
Peralatan penelitian berupa soxhlet, round bottle glass, gelas beaker, gelas erlenmeyer, gelas ukur, kolom pemisah (funnel glass), kolom kromatografi, pipet tetes, gelas vialyang telah dicuci dengan sabun teepol dan dibilas dengan air. Peralatan kemudian dikeringkan dengan oven (800C) selama 24 jam dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah kering, alat yang akan digunakan dibilas dengan methanol (MeOH), diklorometana (DCM) dan n-
heksana secara berurutan (Prartono, 1995). Selain peralatan tersebut juga digunakan peralatan lain sepertti Rotary Evaporator (untuk penguapan), stirrer (untuk hidrolisis) dan GC – MS (untuk identifikasi) (Lampiran 1).
3.2.3. Pelarut organik
Pelarut organik yang digunakan adalah methanol (MeOH; Merck;
15
3.2.4. Pereaksi
1) Anhydrous Sodium Sulfat
Anhydrous sodium sulfat dibilas dengan diklorometana (DCM), kemudian diaktivasi (500ºC; 4 jam) menggunakan oven. Selanjutnya, didinginkan pada desikator dan disimpan hingga akan digunakan (Prartono, 1995).
2) Bubuk Tembaga Aktif
Tembaga aktif disiapkan menurut prosedur dari Blumer (1957) in Prartono (1995). Tembaga (II) sulfat ditimbang 45 g , kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades dan ditambahkan Hydrochloric Acid (2 M; 20 ml). Bubuk seng ditimbang 15 g dan dilarutkan dalam 25 ml akuades. Kemudian larutan seng dimasukkan dalam larutan tembaga (II) sulfat secara perlahan dan diaduk. Pengadukan terus dilakukan hingga terbentuk endapan tembaga dari warna merah hingga merah kecokelatan. Cairan
dipermukaan kemudian dibuang. Endapan tembaga dibilas dengan DCM dan n-heksana.
3.2.5. Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040 – 0.063 mm)
Silika gel yang digunakan pada kolom kromatografi (0.040 – 0.063 mm; Merck, Jerman) dideaktivasi dengan 5% akuades. Tahap awal deaktivasi, silika gel (8 g) dimurnikan melalui ekstraksi menggunakan alat soxhlet (6 jam) dengan campuran n-heksana - methanol (1:1) sebanyak 120 ml. Silika yang telah
diekstraksi kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil.
16
disimpan dalam desikator selama 30 menit. Deaktivasi silika gel dilakukan dengan menambah akuades 5% (0.4 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi silika 95% (7.6 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang. Secara umum, jumlah akuades (5%) yang ditambahkan berdasarkan persamaan (1) dan (2) (Prartono, 1995).
Wt =
Ws
0.95
Wh = Wt - Ws dimana :
Wt = total (berat SiO2 + H2O) Ws = berat SiO2
Wh = berat H2O yang ditambahkan
3.3. Pengambilan Cuplik Sedimen
3.3.1. Waktu dan tempat
Pengambilan cuplik sedimen dilaksanakan pada 27 Januari 2011 di Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur. Secara geografi lokasi penelitian berada pada 1º12’30”LS-1º13’30”LS dan 116º49’30”BT-116º51’00”BT. Pengambilan cuplik sedimen dilakukan pada enam titik. Namun, untuk penelitian ini hanya menggunakan cuplik sedimen yang diambil pada dua titik, yaitu bagian hulu dan muara yang berjarak ± 2.14 kilometer.
3.3.2. Perlakuan cuplik sedimen
Pengumpulan cuplik sedimen dilakukan pada bagian hulu dan muara Sungai Somber. Titik pengambilan cuplik sedimen dilihat posisinya (lintang dan bujur) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Cuplik
17
sedimen permukaan dikoleksi dengan menggunakan alat Van Veen grab dengan hanya satu kali pengambilan (tanpa pengulangan). Cuplik sedimen kemudian disimpan pada wadah botol. Selanjutnya, disimpan dalam kotak es yang telah diberi es batu. Cuplik sedimen dibekukan dengan freezer untuk analisis lebih lanjut di laboratorium.
3.4. Prosedur analisis hidrokarbon
1) Ekstraksi
Cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer (24 jam), kemudian dihomogenkan menggunakan saringan dengan mesh size 250 µm. Cuplik sedimen yang telah dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Selanjutnya cuplik sedimen diekstraksi dengan 120 mL pelarut campuran (1:1) diklorometana (DCM) dan methanol (MeOH) menggunakan soxhlet selama 24 jam.
Hasil ekstraksi diuapkan dengan rotary evaporator hingga tersisa ekstrak kurang lebih 2 ml. Ekstrak dihidrolisis dengan 6% KOH dalam MeOH (30 ml; 12 jam) (Prartono, 1995). Setelah hidrolisis dilakukan pemisahan antara fraksi netral dan fraksi asam lemak. Fraksi netral didapat melalui ekstraksi dengan n-heksana (3x30 ml) dan sisanya adalah fraksi asam lemak.
2) Fraksinasi
18
mengelut kolom dengan 50 ml n-heksana, (II) fraksi aromatik diperoleh dengan mengelut campuran 20 ml dari n-heksana : diklorometana (9 : 1) diikuti oleh 60 ml campuran n-heksana : diklorometana (1 : 1) dan (III) fraksi polar diperoleh dengan mengelut campuran 25 ml dari 25% etil asetat dalam n-heksana.
Selanjutnya, hasil tiap fraksi diuapkan (tanpa nitrogen) hingga diperoleh kurang lebih 2 ml dan dimasukkan ke dalam gelas vial. Sampel yang telah dimasukkan dalam gelas vial kemudian diuapkan dengan nitrogen hingga kering. Pelarut n-heksana ditambahkan sebanyak 0.5 ml ke dalam gelas vial bila akan dianalisis dengan GC-MS (Prartono, 1995).
3) Analisis kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS)
Analisis kromatografi gas–spektrometri massa (Gas Chromatography–Mass Spectrometry/ GC-MS) menggunakan
kromatografi gas Shimadzu QP2010 yang dilengkapi dengan kolom silika DB-5 ms (panjang 30 m; 0.32 mm diameter dalam; dan 0.25 µm ketebalan lapis film) serta helium sebagai gas pendorong. Kromatografi gas
19
4) Identifikasi hidrokarbon
Hidrokarbon diidentifikasi dan menggunakan kromatografi gas dan kromatografi gas–spektrometri massa. Identifikasi hidrokarbon dilakukan dengan membandingkan indeks relative retention dan mass spectra
dengan data literatur.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Perhitungan parameter molekuler
Nilai Carbon Preference Index (CPI) untuk n-alkana/ HC dihitung dengan persamaan (3) dan (4) berikut (Prartono, 1995; Silva et al., 2008) :
n-alkana=
Keterangan:
∑n-alkana ganjil Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon ganjil
m sampai n
∑n-alkana genap Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon genap
m sampai n
20
TAR HC =
C27 + C29 + C31
C15 + C17 + C19
3.5.2. Penentuan nomor karbon
Penentuan nomor karbon pada senyawa n-alkana adalah dengan menghitung bobot molekul yang muncul pada spektra massa (Lampiran 3). Bentuk fragmentasi ion dicirikan oleh kelompok peak dimana penghubung peak
pada setiap kelompok bernilai 14 (CH2) satuan massa. Peak terluas pada tiap
kelompok merepresentasikan fragmen CnH2n+1 dan m/z = 14n+1, dan disertai
dengan fragmen CnH2n dan CnH2n-1 (Silverstein et al., 1991). Secara sederhana
dituliskan dengan persamaan:
dimana:
x = nomor karbon (n-alkana)
m = bobot molekul yang muncul pada peak spektra massa 14 = berat molekul CH2
... (5)
………(6)
14 2
21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana)
4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik
Identifikasi hidrokarbon alifatik (n-alkana) dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa alifatik yang telah direkam selama 50 menit. Karakteristik
n-alkana yang muncul pada spektra massa dicirikan dengan mass to charge ratio
(m/z) 57. Selain itu juga dilihat berdasarkan molecular peak yang menunjukkan nilai bobot molekul senyawa n-alkana untuk menentukan nomor karbon pada senyawa n-alkana.
4.1.2. Hasil analisis
Karakteristik sebaran n-alkana pada sedimen di hulu dan hilir (muara) Sungai Somber yang terdeteksi berkisar antara nC13 sampai nC33 (Gambar 5 dan
6). Sebaran juga menunjukkan kecenderungan monomodal dengan Cmax pada
bagian hulu dan muara berturut-turut terdapat pada nomor karbon nC29 dan nC27 .
Nilai Carbon Preference Index (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah
1.00 dan 1.17, sedangkan pada muara nilai CPI15-21dan CPI21-31adalah 1.22 dan
22 Gambar 5. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik(n-alkana) pada sedimen di bagian hulu Sungai Somber, Balikpapan,
Kalimantan Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.00
CPI21-31= 1.17
TARHC = 1.63
C17
Pristana
C18 Phytana
C31 C21
C23
C25 C27
C29
C33 C13
C15
C17
C19
UCM
Waktu (menit)
23 Gambar 6. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan
Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.22
CPI21-31= 1.14
TARHC = 4.40
C17 C18
Pristana
Phytana
UCM
Waktu (menit)
C13 C15
C19
C17 C33
C29
C31 C27
C25 C23
C21
24
Kisaran nilai CPI tersebut dapat mengindikasikan bahwa terdapat
kontaminasi antropogenik pada sedimen perairan yang disebabkan oleh masukan limbah yang berasal dari aktifitas manusia dan industri yang berada di sekitar sungai dari hulu hingga ke muara. Nilai CPI15-21 pada bagian hulu berada pada
kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan hidrokarbon berasal dari sumber petrogenik (minyak mentah dan hasil penyulingannya, tidak termasuk minyak nabati).
Indikasi lain yang juga digunakan untuk menunjukkan kontribusi minyak adalah adanya Unresolved Complex Mixture (UCM) yang merupakan bagian hidrokarbon yang mengalami degradasi. UCM dapat diketahui dengan naiknya satu atau dua baseline yang membentuk punggung bukit (hump) pada
kromatogram gas (Gao et al., 2007). Kontaminasi petroleum (minyak) di hulu dan muara Sungai Somber, Balikpapan diduga berasal dari aktifitas pelabuhan, perkapalan, industri pertanian, pemukiman dan kegiatan masyarakat lainnya yang terjadi di bagian hilir hingga muara Sungai Somber, Balikpapan (Yani, 2003). Hal ini tentunya akan berdampak pada lingkungan sekitar, khususnya hutan bakau dan lingkungan perairan serta biota yang ada di dalamnya.
Sebaran biomarkern-alkana pada rantai pendek C<20 berasal dari organisme laut seperti alga, sedangkan biomarker dengan rantai panjang C>20 menunjukkan bahwa n-alkana berasal dari tanaman tingkat tinggi (Killops and
Killops, 1993). Oleh karena itu, perbedaan rasio antara C>20 dan C<20
digunakan untuk menduga kontribusi allotonus dan autotonus dengan menghitung nilai TARHC (Gao et al., 2007). Nilai dari TARHC pada sedimen Muara Sungai
25
bahwa masukan hidrokarbon yang berasal dari masukan terestrial (alotonus) (Meyers, 1997 in Nugraha, 2011) lebih besar jika dibandingkan dengan hidrokarbon yang berasal dari perairan (Gao et al., 2007) sehingga memiliki peranan yang lebih besar.
Tingginya intensitas nilai C>20 ini dapat dipahami karena di sekitar Sungai Somber banyak ditemukan daerah yang ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove. Intensitas atau kelimpahan hidrokarbon berdasarkan luas area lebih tinggi pada bagian muara. Namun demikian, intensitas di mulut estuari adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah hulu estuari. Hal ini dapat
menunjukkan tingkat perbedaan proses akumulasi materi. Pada Sungai (estuari) Somber, rendahnya akumulasi materi diduga berkaitan dengan proses
hidrodinamika estuari, dimana pada daerah hulu estuari menunjukkan kondisi yang relatif tenang dibandingkan dengan daerah mulut estuari.
Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa
26
100 200 300 400 500
0
Gambar 7. Spektra massa senyawa hopana di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Hopana merupakan sikloalkana bercabang yang terdiri dari lima atau enam cincin karbon yang menggambarkan biomarker dengan karakteristik sebaran struktur dan sterokimia isomer yang tinggi pada minyak dan sedimen (Peters and
Modolwan, 1993). Hopana yang terdapat pada sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur berasal dari fitoplankton dan bakteri.
Senyawa hopana (m/z 191) pada sedimen dapat dijadikan indikator tingkat kematangan termal sedimen. Kebanyakan senyawa hopana berasal dari hasil reduksi bakteri hopanotetrol. Senyawa ini berada dalam bentuk tidak stabil pada proses diagenesis sehingga dipakai untuk mengindikasikan tingkat kematangan termal rendah (Ourrisson et al., 1979 in Yuanita, 2007).
4.2. Isoprenoid
Identifikasi senyawa isoprenoid pada dasarnya sama dengan identifikasi senyawa n-alkana. Umumnya senyawa isoprenoid terdiri dari 20 atom karbon atau kurang (Peters and Moldowan, 1993). Senyawa isoprenoid yang
teridentifikasi pada sedimen adalah senyawa isoprenoid yang memiliki ciri m/z 57 yaitu pristana (C19) dan phytana (C20). Umumnya senyawa pristana muncul
setelah n-alkana C17 dan phytana setelah n-alkana C18 (Gambar 8 dan 9).
m/z X
27
100 200 300 400 500 600
0
Gambar 8. Spektra massa isoprenoid pristana (Pr) di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur
100 200 300 400 500
0
Gambar 9. Spektra massa isoprenoid phytana (Ph) di sedimen Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur
Pada dasarnya analisis fingerprint senyawa isoprenoid hampir sama
dengan senyawa n-alkana. Namun pada analisis senyawa isoprenoid (pristana dan phytana) tidak dilakukan perhitungan bobot molekul untuk menentukan nomor karbon karena pristana (Pr) memiliki nomor karbon C18 dan phytana (Ph) dengan
nomor karbon C20. Analisis fingerprint dengan kromatografi gas memiliki
beberapa keterbatasan. Tingginya konsentrasi senyawa n-parafin (n-alkana)dan senyawa asiklik isoprenoid dibandingkan dengan senyawa lain menyebabkan senyawa n-alkana dan isoprenoid muncul bersamaan pada kromatogram (Peters
and Moldowan, 1993).
Senyawa isoprenoid pristana (Pr) dan phytana (Ph) pada sedimen Muara Sungai Somber dideteksi berdasarkan intensitas spektra utama (base peak) m/z 57. Keberadaan senyawa isoprenoid pristana dan phytana diduga berasal dari
28
plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Kondisi lingkungan sekitar Muara Sungai Somber dan iklim akan mempengaruhi kelimpahan plankton di perairan, sehingga akan mempengaruhi keberadaan senyawa isoprenoid pristana dan phytana.
Pristana (C19) dan phytana (C20) merupakan senyawa isoprenoid yang
paling melimpah pada minyak mentah (Wang et al.,2006). Pristana diidentifikasi sebagai produk dari klorofil-a melalui proses pencernaan kopepoda (Blumer et al., 1971 in Prartono, 1995). Pristana dan phytana juga ditemukan pada jaringan tumbuhan vascular (Picea glauca) (Meyer et al., 1995 in Prartono, 1995). Namun, pristana juga dapat bersumber dari zooplankton (Blumer et al.,1963 in Medeiros
et al.,2005). Hidrokarbon isoprenoid pristana dan phytana adalah hasil
perubahan fitol pada lapisan sedimen dan yang lainnya merupakan hasil alami isoprenoidil dan bukan unsur utama dari kebanyakan biota teresterial (Peters and Moldowan, 1993).
4.3. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
Senyawa PAH pada sedimen di bagian hulu dan muara tidak terdeteksi. Hal ini diduga karena konsentrasi senyawa PAH pada sedimen yang dianalisis sangat kecil sehingga tidak dapat dideteksi.
29
Tabel 2. PAH yang menjadi polutan utama menurut EPA 1997 (Wang dan Fingas 2003)
Senyawa Kode Nomor Cincin Ion Target
Biphenyl Bph 2 154
Acynaphtylene Acl 3 152
Acenapthene Ace 3 153
Anthracene An 3 178
Fluoroanthene Fl 4 202
Pyrene Py 4 202
Benz[a]anthracene BaA 4 228
Benzo[b]fluoranthene BbF 5 252
Benzo[k]fluoranthene BkF 5 252
Benzo[e]pyrene BeP 5 252
Benzo[a]pyrene BaP 5 252
Perylene Pe 5 252
Indeno[1,2,3-cd]pyrene IP 6 276
Dibenz[a,h]anthracene DA 5 278
30
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik hidrokarbon di sedimen Muara Sungai Somber memiliki kisaran rantai karbon alifatik nomor karbon C13-33 dengan monomodal di Cmax berturut-turut nC29 dan nC27. Hal ini
mengindikasikan masukan komponen allocththonous lebih dominan. Komposisi sumber hidrokarbon ini menunjukkan indikasi campuran biogenik dan petrogenik berdasarkan nilai CPI 1.00-1.22. Indikasi petrogenik juga ditunjukkan oleh keberadaan UCM (unresolved complex mixture-hidrokarbon terdegradasi) pristana, phytana dan hopana. Dalam penelitian ini komponen PAH belum terdeteksi baik di hulu maupun di muara Sungai Somber.
5.2. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah:
1. Analisis lebih lanjut mengenai komponen lipid biomarker lainnya pada sedimen perairan muara Sungai Somber.
KARAKTERISTIK
ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON
DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER,
TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
RINGKASAN
RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN. Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber, Teluk
Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh TRI PRARTONO.
Sungai Somber adalah salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Aktifitas perkapalan dan pelabuhan yang terjadi di sekitar sungai berpotensi menghasilkan buangan limbah yang mengandung hidrokarbon. Keberadaan hidrokarbon di lingkungan perairan dapat menjadi kontaminan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Dalam hal ini diperlukan informasi
mengenai karakteristik hidrokarbon di muara Sungai Somber, khususnya pada sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik alifatik dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) di sedimen Muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.
Analisis laboratorium hidrokarbon alifatik dan PAH dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011 di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang. Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari Muara Sungai Somber. Analisis hidrokarbon pada cuplik sedimen diawali dengan
ekstraksi dengan pelarut campuran methanol (MeOH) dan diklorometana (DCM). Ekstrak selanjutnya difraksinasi dengan pelarut n-heksana (hidrokarbon alifatik) dan pelarut campuran DCM : n-heksana (PAH).
Hidrokarbon (alifatik dan PAH) dideteksi dan diidentifikasi spektra massanya dengan kromatografi gas – spektrometri massa (GC-MS). Perhitungan numerik yang dilakukan adalah perhitungan nilai carbon preference index (CPI) dan
teresterial to aquatic ratio (TARHC). Nilai CPI digunakan untuk melihat ada atau
tidaknya dominasi karbon ganjil atau genap pada kisaran nomor karbon tertentu, sedangkan nilai TARHC digunakan untuk menentukan apakah masukan
hidrokarbon lebih dipengaruhi oleh autohtonus atau alohtonus.
Senyawa hidrokarbon yang ditemukan memiliki kisaran nomor karbon C13-33
pada bagian hulu dan muara. Berdasarkan kisaran nomor karbon diperoleh nilai CPI (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah 1.00 dan 1.17, sedangkan pada
muara adalah 1.22 dan 1.14. Nilai CPI (C15-21) pada bagian hulu yang berada pada
kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan adanya kontribusi dari sumber petrogenik (petroleum). Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa n-alkana pada sedimen, tetapi juga terdapat senyawa hopana dan isoprenoid (Pristana dan Phytana) serta UCM (Unresolved Complex Mixture -hidrokarbon terdegradasi). Nilai TARHC yang diperoleh pada hulu dan muara
berturut-turut adalah 1.63 dan 4.40 yang menunjukkan bahwa masukan
hidrokarbon dari teresterial (alohtonus) lebih besar dibandingkan masukan dari perairan (autohtonus).
Komposisi sumber hidrokarbon menunjukkan campuran biogenik dan
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KARAKTERISTIK ALIFATIK DAN POLISIKLIK
AROMATIK HIDROKARBON DI SEDIMEN MUARA SUNGAI
SOMBER, TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
© Hak cipta milik Rizki Fitri Andriyana Pohan, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
KARAKTERISTIK
ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON
DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER,
TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
RIZKI FITRI ANDRIYANA POHAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Judul : KARAKTERISTIK ALIFATIK DAN POLISIKLIK AROMATIK HIDROKARBON DI SEDIMEN MUARA SUNGAI SOMBER, TELUK BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
Nama : Rizki Fitri Andriyana Pohan
NRP : C54070002
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc NIP. 19600727 198601 1 006
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara Sungai Somber,
Balikpapan, Kalimantan Timur”dapat terselesaikan.
Hidrokarbon merupakan hal menarik untuk diteliti karena merupakan kontaminan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan. Analisis terhadap karakteristik hidrokarbon pada sedimen muara diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai hidrokarbon serta peranannya di lingkungan perairan laut. Skripsi ini memberikan informasi tentang karakteristik hidrokarbon pada sedimen, khususnya hidrokarbon alifatik dan polisiklik aromatik
hidrokarbon di muara Sungai Somber.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Namun demikian, informasi yang sedikit ini akan sangat bermanfaat.
Bogor, Maret 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan, Sumatera Utara, 3 Mei 1989 dari ayah Muhammad Anwar Toba dan ibu Derlina Harahap. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Padangsidimpuan pada tahun 2007. Tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa mata kuliah Ekologi Perairan (2009), Asisten mata kuliah Sosiologi Umum (2009) dan Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia (2010). Selain itu penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB (2008-2009) sebagai Wakil Ketua II dan Dewan Perwakilan Mahasiswa FPIK (2009-2010) sebagai Ketua Komisi Administrasi dan Keuangan.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi yang berjudul
“Karakteristik Alifatik dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon di Sedimen Muara
UCAPAN TERIMAKASIH
Atas terselesaikannya skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. 2. Papa dan Mama beserta adik-adik penulis atas kasih sayang, dukungan
semangat dan doanya.
3. Dr. Ir. Tri Prartono, M. Sc. selaku dosen pembimbing skripsi atas saran, kritik, bimbingan dan kesabarannya dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Mohammad Agung Nugraha, S. Pi, M. Si. atas waktu dan tenaga serta dampingannya selama penulis melakukan penelitian.
5. Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah khususnya Mbak Pipit atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 6. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M. Sc. selaku dosen Pembimbing Akademik yang
telah banyak memberikan arahan dalam hal akademik selama penulis menempuh studi di Departemen ITK.
7. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M, Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran yang bermanfaat.
8. Dr. Henry M. Manik, S. Pi, M. T. selaku Komisi Pendidikan Departemen ITK. 9. Warga ITK, khususnya teman-teman ITK’44 atas dukungan semangat dan
doanya.
x
DAFTAR PUSTAKA ... 31
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik ... 5 2. Struktur senyawa aromatik ... 7 3. Diagram alir prosedur kerja GC – MS ... 12 4. Peta lokasi pengambilan cuplik sedimen di Muara Sungai Somber,
Balikpapan, Kalimantan Timur ... 13 5. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada
sedimen di bagian hulu Sungai Somber, Kalimantan Timur ... 22 6. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada
sedimen di muara Sungai Somber, Kalimantan Timur ... 23 7. Spektra massa senyawa hopana di sedimen Muara Sungai
Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 26 8. Spektra massa isoprenoid pristana (Pr) di sedimen Muara Sungai
Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 27 9. Spektra massa isoprenoid phytana (Ph) di sedimen Muara Sungai
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat yang digunakan pada analisis hidrokarbon ... 35 2. Karakteristik hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di
Muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur ... 36 3. Beberapa spektra massa n-alkana pada sedimen di Muara
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Balikpapan, Kalimantan Timur, merupakan kota pesisir berupa teluk yang memiliki banyak muara sungai dan arus serta gelombang yang relatif tenang (Yani, 2003). Potensi sumberdaya pesisir yang tinggi telah mendapat perhatian Pemerintah Daerah dalam upaya pengembangannya. Salah satu kegiatan pengembangan sumberdaya ini berada di sekitar Sungai Somber, sungai yang tergolong sungai kecil yang bermuara ke Teluk Balikpapan (BPMPPT, 2011). Bagian hilir Sungai Somber terdapat beragam aktifitas manusia, seperti
perkapalan, industri, pemukiman dan pertanian (Yani, 2003). Namun demikian, berbagai aktifitas tersebut dapat mempengaruhi kualitas perairan sungai karena potensi masukan antropogenik (senyawa organik maupun non-organik) dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai menuju estuari (BPMPPT, 2011).
2
sumber alami (Mille et al., 2006). Sumber alami hidrokarbon di perairan dapat berasal dari tanaman tingkat tinggi di daratan (nC23-35) dan plankton (nC15-21).
Nilai carbon preference index (CPI) juga dapat digunakan untuk mengindikasi bahwa keberadaan hidrokarbon dapat dipengaruhi oleh minyak jika nilai CPI kurang dari atau mendekati 1.
Penelitian mengenai senyawa hidrokarbon khususnya senyawa alifatik dan aromatik di perairan estuari dan laut telah banyak dilakukan baik pada sedimen maupun air. Hal tersebut mencakup sumber-sumber hidrokarbon dan bagaimana pola penyebarannya pada sedimen di perairan (Mille et al., 2006; Peng et al., 2008; Martins et al., 2010; Maioli et al., 2011; Martins et al., 2011). Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) digunakan untuk mengevaluasi sumber polusi di perairan estuari (Maioli et al.,2010) dan PAH juga menjadi salah satu kontaminan pencemaran laut yang dapat memberikan dampak negatif bagi ekosistem laut (Elias et al., 2007). Memperhatikan potensi buangan hidrokarbon yang dapat mencemari lingkungan perairan dan kemungkinan pengembangan aktifitas Sungai Somber, penelitian tentang karakteristik hidrokarbon alifatik dan polisiklik
aromatik hidrokarbon perlu dilakukan.
1.2. Tujuan
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Sungai Somber merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Empat Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Balikpapan, yaitu Sub DAS Wain, Sub DAS Semoi, Sub DAS Sepaku dan Sub DAS Riko. Areal Sub DAS Somber tergolong tidak lebar serta berupa dataran rendah di sepanjang kiri dan kanan Sungai Somber serta berbukit di bagian hulu dan di sisi tenggara. Akan tetapi informasi tentang tingkat erosi bagian hulu Sub DAS Somber ini tergolong masih kurang (BPMPPT, 2011).
Sisi tenggara Sungai Somber terdapat kegiatan industri perkapalan dan pergudangan yang telah berkembang dengan baik. Disamping itu, sebagian lahan pada sisi tenggara Sungai Somber masih ditumbuhi pohon bakau. Sisi barat laut (kanan menuju hulu) Sungai Somber umumnya masih berupa hutan bakau dan belum ada kegiatan industri perkapalan. Kegiatan di tepi badan air hanya alat penangkap ikan statis berupa sero yang digunakan untuk menjebak ikan saat air surut (BPMPPT, 2011).
Sungai Somber bagian hilir digunakan sebagai pelabuhan kapal khusus ferry dan aktifitas dok kapal, industri kayu lapis, pertanian dan permukiman penduduk. Aktifitas-aktifitas yang terjadi di sekitar sungai menyebabkan
4
2.2. Hidrokarbon
Hidrokarbon merupakan senyawa organik paling sederhana yang terdiri dari karbon dan hidrogen yang berikatan pada kerangka dasarnya yaitu karbon. Hidrokarbon juga menjadi komponen materi organik yang masuk ke lingkungan perairan selain karbohidrat, protein, lignin dan tannin (Chester, 1990) yang termasuk ke dalam kelas senyawa lipid.
Hidrokarbon merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan sebagai penanda asal-usul sedimen pada suatu perairan. Komposisi hidrokarbon dapat ditemukan dalam sedimen yang menggambarkan peranan relatif dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu biogenik, diagenetik, petrogenik dan
pyrogenik (Lipiatou et al., 1997; Hostettler et al., 1999 in Mostafa et al., 2009).
n-alkana merupakan salah satu hidrokarbon yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi di daratan (nC23–nC35) maupun mikroorganisme di perairan seperti
plankton dan alga (nC15–nC21) (Chester, 1990).
2.2.1. Hidrokarbon alifatik
5
alkena dan aromatik yang memiliki ikatan rangkap dua (double bond) (Peters and
Moldowan, 1993) dan alkuna yang memiliki ikatan rangkap tiga.
Hidrokarbon alifatik di perairan dapat terakumulasi dalam sedimen (Wakeham et al., 2004 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik berasal dari sumber alami termasuk biogenik dan dari sumber antropogenik (petrogenik). Hidrokarbon alifatik antropogenik dalam sedimen sebagian besar berasal dari sisa-sisa minyak dengan komponen n-alkana, alkana bercabang dan siklik (hopana dan sterana) (Gambar 1), dan biasanya mengandung komponen Unresolved Complex Mixture (UCM) (Doskey, 2001 in Peng et al., 2008). Hidrokarbon alifatik dapat masuk dari atmosfir dan komponen lilin tanaman (vegetation waxes) yang terlepas ke udara melalui proses pelapukan (Azevedo et al., 1999;
Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010).
Gambar 1. Beberapa contoh struktur senyawa hidrokarbon alifatik (n-alkana, alkana bercabang, hopane, sterana)
Rasio konsentrasi n-alkana bernomor ganjil dan genap, umumnya ditunjukkan sebagai Carbon Preference Index (CPI) yang digunakan untuk
6
mengindikasikan sumber n-alkana (Azevedo et al., 1999; Kalaitzoglou et al., 2004; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010). Ada beberapa nilai CPI yang menjadi indikasi dari mana hidrokarbon berasal (Mazurek et al., 1989; Tao et al., 2005 in Maioli et al., 2010), yaitu:
CPI 0.96-1.01 : sumber petrogenik CPI 0.93-1.2 : buangan kendaraan CPI 1.2-5 : pembakaran kayu CPI > 4: sumber biogenik
CPI 6-30 : lapisan lilin (wax) tanaman tingkat tinggi CPI 10 : kebakaran hutan
2.2.2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) adalah senyawa yang terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik (benzene) yang memiliki enam atom karbon (C) (Neff, 1979). Contoh senyawa PAH diantaranya adalah phenanthrene,
fluoroanthene dan benz[a]anthracene yang masing-masing memiliki tiga sampai empat cincin aromatik (benzene), kecuali pada fluoroanthene yang juga berikatan dengan siklopentana (Gambar 2). PAH merupakan senyawa kimia karsinogenik yang terbentuk oleh pembakaran bahan organik yang tidak sempurna pada proses antropogenik seperti pembakaran fosil dan proses alami seperti kebakaran hutan (Harvey, 1998 in Orecchio et al., 2009; Pitts et al., 2000 in Itoh et al., 2008).
7
(a) (b) (c)
Gambar 2. Struktur senyawa aromatik (a) Phenanthrene, (b) Fluoranthene dan (c) Benz[a]anthracene
PAH secara umum dibentuk oleh berbagai macam proses, seperti biosintesis, diagenesis bahan organik yang memproduksi bahan bakar fosil dan pembakaran tidak sempurna dari bahan organik (Neff, 1979). Nikolaou et al.
(2009) in Nugraha (2011) membagi tiga kategori sumber PAH yaitu:
1. PAH petrogenik, yang terkait dengan petroleum (minyak), termasuk minyak mentah dan produk penyulingannya.
2. PAH biogenik, yang berasal dari proses biologi atau tahap awal dari diagenesis pada sedimen laut (misal: perylene).
3. PAH pyrogenik, yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) dan material organik seperti kayu.
8
2.3. Sedimen
Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal. Sedimen terdiri dari beberapa komponen yang bervariasi, tergantung dari lokasi,
kedalaman, dan geologi dasar (Forstner dan Witman, 1983 in Mulyawan, 2005). Sedimen di dasar laut berasal dari berbagai sumber materi (Wibisono, 2005; Sanusi, 2006), yaitu:
1. Sedimen Lithogenous, berasal dari pelapukan (weathering) batuan dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai (fluvial transport) dan angin (aeolian
transport) yang masuk ke lingkungan laut.
2. Sedimen Hydrogenous, terbentuk akibat proses pengendapan atau mineralisasi elemen-elemen kimia yang terlarut dalam laut.
3. Sedimen Biogenous, berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah cangkang (shell) yang mengandung Ca, Mg (calcareous) dan Si (siliceous).
4. Sedimen Cosmogenous, berasal dari luar angkasa yang ditemukan di dasar laut.
9
Proses lain yang terjadi pada sedimen adalah diagenesis. Menurut Peters dan Moldowan (1993), diagenesis merupakan perubahan yang terjadi secara biologi, fisika dan kimia pada bahan organik dalam sedimen khususnya perubahan signifikan akibat bahang (heat). Beberapa faktor yang berperan terhadap
diagenesa sedimen adalah perubahan fisik lingkungan (peningkatan penimbunan, suhu dan tekanan), kimiawi (kandungan oksigen, mineral dan potensi redoks) dan biologi (aktifitas bakteri, jenis bakteri).
Umumnya daerah aliran sungai (DAS) selalu membawa endapan lumpur akibat erosi yang terjadi secara alami dari pinggiran sungai dan hampir seluruh kandungan sedimen akan meningkat terus akibat erosi dari tanah pertanian kehutanan, konstruksi, dan pertambangan (Darmono, 2001). Sedimen yang terbawa oleh sungai tentu membawa bahan organik dan anorganik yang akan mempengaruhi kondisi perairan.
Bahan organik pada sedimen berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan liat (Keller dan Wibel, 1991 in Mulyawan, 2005).
Sedimen muara (estuari) merupakan tempat mengendap dan
10
pada sedimen halus lebih tinggi jika dibandingkan dengan sedimen yang kasar karena pada sedimen kasar partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral (Boehm, 1987
in Mulyawan, 2005). Tabel 1 merupakan klasifikasi sedimen berdasarkan ukurannya (Wibisono, 2005).
Tabel 1. Ukuran besar butir sedimen menurut Skala Wentworth
Nama Partikel Ukuran (mm) Pasir sangat halus (very fine
sand)
1/16 – 1/8 Lanau (Silt) Lanau kasar (coarse silt) 1/32 – 1/16 Lanau sedang (medium silt) 1/64 – 1/32 Lanau halus (fine silt) 1/128 – 1/64 Lanau sangat halus (very fine
silt)
1/256 – 1/128 Lempung (Clay) Lempung kasar (coarse clay) 1/640 – 1/256
Lempung sedang (medium clay)
1/1024 – 1/640 Lempung halus (fine clay) 1/2360 – 1/1024 Lempung sangat halus (very
fine clay)
11
2.4. Kromatografi Gas – Spektrometri Massa (GC-MS)
Kromatografi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menguraikan suatu campuran. Komponen-komponen dalam kromatografi akan terdistribusi ke dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase bergerak (Khopkar, 2003).
GC–MS merupakan singkatan dari Gas Chromatography - Mass
Spectrometry. Kromatografi gas merupakan metode analisis senyawa pada suatu sampel yang dipisahkan secara fisik sebelum pengukuran, sedangkan spektrometri massa adalah suatu metode analisis dimana sampel dikonversi menjadi ion-ion gas dan kemudian dilakukan pengukuran terhadap massa ion-ion tersebut. GC
berfungsi sebagai inlet sampel bagi MS dan MS berfungsi sebagi detektor GC (Shimadzu, 2002).
Data yang dihasilkan oleh GC – MS akan ditampilkan dengan
kromatogram (GC) dan spektrum massa (MS) dimana sumbu x menunjukkan waktu penyimpanan (retention time) dan sumbu y menunjukkan intensitas. Masing-masing puncak (peak) pada kromatogram menunjukkan satu senyawa. Spektrum massa memiliki base peak (m/z) dan dapat memberikan informasi tentang berat molekul dan struktur kimia (Shimadzu, 2002)
GC-MS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, dan sakarosa bersifat tidak menguap,
sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat MS. Kriteria menguap pada GC-MS adalah:
1. Pada kondisi vakum tinggi, tekanan rendah. 2. Dapat dipanaskan.
12
Gambar 3. Diagram alir prosedur kerja GC-MS Gas Chromatography –
Mass Spectrometry
Mass Spectrometer Gas Chromatograph
Pemisahan >> Kolom GC
Fase diam dan bergerak (dorongan gas He) Sampel (senyawa)
Ionisasi
Senyawa akan terpisah injeksi
Pemisahan ion sesuai dengan m/z masing-masing ion
Pengukuran
kelimpahan/intensitas
Penurunan suhu dan tekanan MS
Mass analyzer
Detector
13
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian yang meliputi analisis laboratorium dan analisis data dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2011. Cuplik sedimen yang dianalisis di laboratorium merupakan cuplik sedimen yang diambil di sekitar muara Sungai Somber, Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Selanjutnya, cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer di Laboratorium Pilot Plan PAU-IPB. Analisis hidrokarbon dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang.
14
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1. Cuplik sedimen
Cuplik sedimen yang digunakan berasal dari muara Sungai Somber yang telah dikeringkan dan dihomogenkan.
3.2.2. Peralatan laboratorium
Peralatan penelitian berupa soxhlet, round bottle glass, gelas beaker, gelas erlenmeyer, gelas ukur, kolom pemisah (funnel glass), kolom kromatografi, pipet tetes, gelas vialyang telah dicuci dengan sabun teepol dan dibilas dengan air. Peralatan kemudian dikeringkan dengan oven (800C) selama 24 jam dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah kering, alat yang akan digunakan dibilas dengan methanol (MeOH), diklorometana (DCM) dan n-
heksana secara berurutan (Prartono, 1995). Selain peralatan tersebut juga digunakan peralatan lain sepertti Rotary Evaporator (untuk penguapan), stirrer (untuk hidrolisis) dan GC – MS (untuk identifikasi) (Lampiran 1).
3.2.3. Pelarut organik
Pelarut organik yang digunakan adalah methanol (MeOH; Merck;
15
3.2.4. Pereaksi
1) Anhydrous Sodium Sulfat
Anhydrous sodium sulfat dibilas dengan diklorometana (DCM), kemudian diaktivasi (500ºC; 4 jam) menggunakan oven. Selanjutnya, didinginkan pada desikator dan disimpan hingga akan digunakan (Prartono, 1995).
2) Bubuk Tembaga Aktif
Tembaga aktif disiapkan menurut prosedur dari Blumer (1957) in Prartono (1995). Tembaga (II) sulfat ditimbang 45 g , kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades dan ditambahkan Hydrochloric Acid (2 M; 20 ml). Bubuk seng ditimbang 15 g dan dilarutkan dalam 25 ml akuades. Kemudian larutan seng dimasukkan dalam larutan tembaga (II) sulfat secara perlahan dan diaduk. Pengadukan terus dilakukan hingga terbentuk endapan tembaga dari warna merah hingga merah kecokelatan. Cairan
dipermukaan kemudian dibuang. Endapan tembaga dibilas dengan DCM dan n-heksana.
3.2.5. Silika gel 60 (ukuran partikel 0.040 – 0.063 mm)
Silika gel yang digunakan pada kolom kromatografi (0.040 – 0.063 mm; Merck, Jerman) dideaktivasi dengan 5% akuades. Tahap awal deaktivasi, silika gel (8 g) dimurnikan melalui ekstraksi menggunakan alat soxhlet (6 jam) dengan campuran n-heksana - methanol (1:1) sebanyak 120 ml. Silika yang telah
diekstraksi kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan aluminium foil.
16
disimpan dalam desikator selama 30 menit. Deaktivasi silika gel dilakukan dengan menambah akuades 5% (0.4 g) pada gelas beker yang sebelumnya telah diisi silika 95% (7.6 g) dan diaduk hingga gumpalan menghilang. Secara umum, jumlah akuades (5%) yang ditambahkan berdasarkan persamaan (1) dan (2) (Prartono, 1995).
Wt =
Ws
0.95
Wh = Wt - Ws dimana :
Wt = total (berat SiO2 + H2O) Ws = berat SiO2
Wh = berat H2O yang ditambahkan
3.3. Pengambilan Cuplik Sedimen
3.3.1. Waktu dan tempat
Pengambilan cuplik sedimen dilaksanakan pada 27 Januari 2011 di Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur. Secara geografi lokasi penelitian berada
pada 1º12’30”LS-1º13’30”LS dan 116º49’30”BT-116º51’00”BT. Pengambilan cuplik sedimen dilakukan pada enam titik. Namun, untuk penelitian ini hanya menggunakan cuplik sedimen yang diambil pada dua titik, yaitu bagian hulu dan muara yang berjarak ± 2.14 kilometer.
3.3.2. Perlakuan cuplik sedimen
Pengumpulan cuplik sedimen dilakukan pada bagian hulu dan muara Sungai Somber. Titik pengambilan cuplik sedimen dilihat posisinya (lintang dan bujur) dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Cuplik
17
sedimen permukaan dikoleksi dengan menggunakan alat Van Veen grab dengan hanya satu kali pengambilan (tanpa pengulangan). Cuplik sedimen kemudian disimpan pada wadah botol. Selanjutnya, disimpan dalam kotak es yang telah diberi es batu. Cuplik sedimen dibekukan dengan freezer untuk analisis lebih lanjut di laboratorium.
3.4. Prosedur analisis hidrokarbon
1) Ekstraksi
Cuplik sedimen dikeringkan dengan alat freeze-dryer (24 jam), kemudian dihomogenkan menggunakan saringan dengan mesh size 250 µm. Cuplik sedimen yang telah dikeringkan kemudian ditimbang sebanyak 10 g. Selanjutnya cuplik sedimen diekstraksi dengan 120 mL pelarut campuran (1:1) diklorometana (DCM) dan methanol (MeOH) menggunakan soxhlet selama 24 jam.
Hasil ekstraksi diuapkan dengan rotary evaporator hingga tersisa ekstrak kurang lebih 2 ml. Ekstrak dihidrolisis dengan 6% KOH dalam MeOH (30 ml; 12 jam) (Prartono, 1995). Setelah hidrolisis dilakukan pemisahan antara fraksi netral dan fraksi asam lemak. Fraksi netral didapat melalui ekstraksi dengan n-heksana (3x30 ml) dan sisanya adalah fraksi asam lemak.
2) Fraksinasi
18
mengelut kolom dengan 50 ml n-heksana, (II) fraksi aromatik diperoleh dengan mengelut campuran 20 ml dari n-heksana : diklorometana (9 : 1) diikuti oleh 60 ml campuran n-heksana : diklorometana (1 : 1) dan (III) fraksi polar diperoleh dengan mengelut campuran 25 ml dari 25% etil asetat dalam n-heksana.
Selanjutnya, hasil tiap fraksi diuapkan (tanpa nitrogen) hingga diperoleh kurang lebih 2 ml dan dimasukkan ke dalam gelas vial. Sampel yang telah dimasukkan dalam gelas vial kemudian diuapkan dengan nitrogen hingga kering. Pelarut n-heksana ditambahkan sebanyak 0.5 ml ke dalam gelas vial bila akan dianalisis dengan GC-MS (Prartono, 1995).
3) Analisis kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS)
Analisis kromatografi gas–spektrometri massa (Gas Chromatography–Mass Spectrometry/ GC-MS) menggunakan
kromatografi gas Shimadzu QP2010 yang dilengkapi dengan kolom silika DB-5 ms (panjang 30 m; 0.32 mm diameter dalam; dan 0.25 µm ketebalan lapis film) serta helium sebagai gas pendorong. Kromatografi gas
19
4) Identifikasi hidrokarbon
Hidrokarbon diidentifikasi dan menggunakan kromatografi gas dan kromatografi gas–spektrometri massa. Identifikasi hidrokarbon dilakukan dengan membandingkan indeks relative retention dan mass spectra
dengan data literatur.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Perhitungan parameter molekuler
Nilai Carbon Preference Index (CPI) untuk n-alkana/ HC dihitung dengan persamaan (3) dan (4) berikut (Prartono, 1995; Silva et al., 2008) :
n-alkana=
Keterangan:
∑n-alkana ganjil Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon ganjil
m sampai n
∑n-alkana genap Cm-n = penjumlahan luas area berdasarkan nomor karbon genap
m sampai n
20
TAR HC =
C27 + C29 + C31
C15 + C17 + C19
3.5.2. Penentuan nomor karbon
Penentuan nomor karbon pada senyawa n-alkana adalah dengan menghitung bobot molekul yang muncul pada spektra massa (Lampiran 3). Bentuk fragmentasi ion dicirikan oleh kelompok peak dimana penghubung peak
pada setiap kelompok bernilai 14 (CH2) satuan massa. Peak terluas pada tiap
kelompok merepresentasikan fragmen CnH2n+1 dan m/z = 14n+1, dan disertai
dengan fragmen CnH2n dan CnH2n-1 (Silverstein et al., 1991). Secara sederhana
dituliskan dengan persamaan:
dimana:
x = nomor karbon (n-alkana)
m = bobot molekul yang muncul pada peak spektra massa 14 = berat molekul CH2
... (5)
………(6)
14 2
21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana)
4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik
Identifikasi hidrokarbon alifatik (n-alkana) dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa alifatik yang telah direkam selama 50 menit. Karakteristik
n-alkana yang muncul pada spektra massa dicirikan dengan mass to charge ratio
(m/z) 57. Selain itu juga dilihat berdasarkan molecular peak yang menunjukkan nilai bobot molekul senyawa n-alkana untuk menentukan nomor karbon pada senyawa n-alkana.
4.1.2. Hasil analisis
Karakteristik sebaran n-alkana pada sedimen di hulu dan hilir (muara) Sungai Somber yang terdeteksi berkisar antara nC13 sampai nC33 (Gambar 5 dan
6). Sebaran juga menunjukkan kecenderungan monomodal dengan Cmax pada
bagian hulu dan muara berturut-turut terdapat pada nomor karbon nC29 dan nC27 .
Nilai Carbon Preference Index (CPI15-21dan CPI21-31) pada bagian hulu adalah
1.00 dan 1.17, sedangkan pada muara nilai CPI15-21dan CPI21-31adalah 1.22 dan
22 Gambar 5. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik(n-alkana) pada sedimen di bagian hulu Sungai Somber, Balikpapan,
Kalimantan Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.00
CPI21-31= 1.17
TARHC = 1.63
C17
Pristana
C18 Phytana
C31 C21
C23
C25 C27
C29
C33 C13
C15
C17
C19
UCM
Waktu (menit)
23 Gambar 6. Kromatogram m/z 57 fraksi hidrokarbon alifatik (n-alkana) pada sedimen di muara Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan
Timur ( = n-alkana; = Hopana) CPI15-21= 1.22
CPI21-31= 1.14
TARHC = 4.40
C17 C18
Pristana
Phytana
UCM
Waktu (menit)
C13 C15
C19
C17 C33
C29
C31 C27
C25 C23
C21
24
Kisaran nilai CPI tersebut dapat mengindikasikan bahwa terdapat
kontaminasi antropogenik pada sedimen perairan yang disebabkan oleh masukan limbah yang berasal dari aktifitas manusia dan industri yang berada di sekitar sungai dari hulu hingga ke muara. Nilai CPI15-21 pada bagian hulu berada pada
kisaran 0.96-1.01 yaitu 1.00 mengindikasikan hidrokarbon berasal dari sumber petrogenik (minyak mentah dan hasil penyulingannya, tidak termasuk minyak nabati).
Indikasi lain yang juga digunakan untuk menunjukkan kontribusi minyak adalah adanya Unresolved Complex Mixture (UCM) yang merupakan bagian hidrokarbon yang mengalami degradasi. UCM dapat diketahui dengan naiknya satu atau dua baseline yang membentuk punggung bukit (hump) pada
kromatogram gas (Gao et al., 2007). Kontaminasi petroleum (minyak) di hulu dan muara Sungai Somber, Balikpapan diduga berasal dari aktifitas pelabuhan, perkapalan, industri pertanian, pemukiman dan kegiatan masyarakat lainnya yang terjadi di bagian hilir hingga muara Sungai Somber, Balikpapan (Yani, 2003). Hal ini tentunya akan berdampak pada lingkungan sekitar, khususnya hutan bakau dan lingkungan perairan serta biota yang ada di dalamnya.
Sebaran biomarkern-alkana pada rantai pendek C<20 berasal dari organisme laut seperti alga, sedangkan biomarker dengan rantai panjang C>20 menunjukkan bahwa n-alkana berasal dari tanaman tingkat tinggi (Killops and
Killops, 1993). Oleh karena itu, perbedaan rasio antara C>20 dan C<20
digunakan untuk menduga kontribusi allotonus dan autotonus dengan menghitung nilai TARHC (Gao et al., 2007). Nilai dari TARHC pada sedimen Muara Sungai
25
bahwa masukan hidrokarbon yang berasal dari masukan terestrial (alotonus) (Meyers, 1997 in Nugraha, 2011) lebih besar jika dibandingkan dengan hidrokarbon yang berasal dari perairan (Gao et al., 2007) sehingga memiliki peranan yang lebih besar.
Tingginya intensitas nilai C>20 ini dapat dipahami karena di sekitar Sungai Somber banyak ditemukan daerah yang ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove. Intensitas atau kelimpahan hidrokarbon berdasarkan luas area lebih tinggi pada bagian muara. Namun demikian, intensitas di mulut estuari adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah hulu estuari. Hal ini dapat
menunjukkan tingkat perbedaan proses akumulasi materi. Pada Sungai (estuari) Somber, rendahnya akumulasi materi diduga berkaitan dengan proses
hidrodinamika estuari, dimana pada daerah hulu estuari menunjukkan kondisi yang relatif tenang dibandingkan dengan daerah mulut estuari.
Hasil analisis cuplik sedimen tidak hanya menunjukkan adanya senyawa