• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Sludge pada Konversi Jerami Padi Menjadi Biogas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penambahan Sludge pada Konversi Jerami Padi Menjadi Biogas"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

INFLUENCE OF SLUDGE ADDITION ON RICE STRAW CONVERSION TO BIOGAS

Nurzakiyah, Muhammad Romli, and Suprihatin

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Bogor, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone +62 857 191 464 06, e-mail:

ABSTRACT

The principal problems which have become the main focus of society are environmental problem and energy scarce. The main cause of the problems is the high consumption of fossil fuels. The purpose of this research is to find out effect of sludge composition on rice straw convertion to biogas. The fermentation were conducted with 1.5 L reactors and fermentation during 30 days. This aims to determine the effect of the use of sludge on the conversion of rice straw into biogas. Activated sludge were use as additional substrate with two composition, 225 g on the composition rice straw:sludge 5:3 and 375 g in composition rice straw:sludge 3:5. The maximum gas production was reached 18.382 L/kg TS in 1st running and 11.602 L/kg TS in 2nd running or 27.67816 L/g VS (1st running) and 18.93871 L/g VS (2nd running) by composition rice straw:sludge 3:5. The highest phosphate levels produced by rice straw:sludge 5:3 was 0.60 %, the carbon highest in rice straw:sludge 3:5 was 38.40 %, and nitrogen in rice straw:sludge 5:3 was 1.80 %.

(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Limbah pertanian dan perindustrian memiliki dua potensi yang bertolak belakang, yaitu potensi yang merugikan dan potensi yang menguntungkan bagi manusia. Limbah tersebut berpotensi untuk memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat petani jika dikelola dengan baik. Namun limbah tersebut juga akan menjadi masalah bagi masyarakat sekitar area pertanian khususnya dan manusia pada umumnya, jika pengelolaannya dilakukan dengan serampangan atau bahkan tidak.

Salah satu limbah pertanian adalah jerami. Jerami merupakan bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, dan tangkai malai). Jumlah produksi jerami padi cukup banyak, bergantung pada luas tanam padi. Perbandingan antara bobot gabah yang dipanen dengan jerami padi (grain straw ratio) pada saat panen pada umumnya 2:3. Pada saat produksi gabah nasional 54 juta ton pada tahun 2005, berarti terdapat 81 juta ton jerami yang dihasilkan pada tahun tersebut, pada tahun 2010 diperkirakan produksi jerami padi sampai 84 juta ton (Makarim 2007).

Salah satu peningkatan yang dilakukan adalah dengan mengkonversi jerami menjadi sumber energi alternatif biogas. Pengkonversian ini dilakukan sehubungan dengan permasalahan yang kini menjadi fokus bersama yaitu lingkungan hidup dan kelangkaan energi. Perubahan iklim yang tidak menentu (global warming) menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Seperti disimpulkan oleh kelompok peneliti di bawah naungan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC), emisi 6 gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global (global warming) yaitu karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksa fluorida, HFC, dan PFC. Emisi gas tersebut disebabkan oleh tingginya ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil, hanya saja tidak diimbangi dengan ketersediaannya. Ketersediaan bahan bakar fosil yang irrenewable menjadi faktor utama kelangkaan energi. Biogas menjadi jawaban sebagai altenatif pilihan sumber energi.

(3)

Sampah organik, limbah pertanian, dan limbah peternakan merupakan material yang umum digunakan untuk menghasilkan biogas.

Revolusi industri pada kenyataannya berkontribusi pada permasalahan lingkungan. Limbah (buangan) industri yang tidak dikelola dengan baik, berpotensi mengurangi kemampuan lingkungan. Limbah industri berupa sludge merupakan lumpur aktif yang berasal dari lubang pengeluaran unit pengelolaan limbah pada suatu industri. Tidak banyak industri yang memanfaatkan limbahnya menjadi produk-produk potensial, melainkan diserahkan kepada pihak lain. Sejauh ini telah dilakukan penelitian untuk memanfaatkan lumpur industri sebagai bahan bangunan seperti batako. Alternatif lain terhadap pemanfaatan sludge dengan mengelolanya menjadi biogas mengingat limbah tersebut adalah limbah organik.

Pada umumnya, pembuatan biogas dari jerami maupun sludge telah dilakukan. Nilai konversi jerami menjadi biogas mencapai 250-350 liter/kg berat kering (Arati 2009). Pada penelitian ini, akan dilakukan pencampuran kedua bahan untuk mendapatkan volume gas yang optimum.

Lebih jauh pemanfaatan jerami dan sludge dapat tidak hanya sebatas konversi menjadi biogas, namun juga terdapat potensi perolehan kembali unsur hara melalui daur ulang bahan pasca terkonversi menjadi biogas dalam bentuk pupuk padat organik dan air lindi (pupuk cair) hasil proses anaerobik. Melalui fermentasi media padat pada fermentasi limbah padat jerami padi dengan campuran sludge diharapkan bisa menghasilkan biogas dan pupuk organik.

1.2 TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh penambahan sludge pada proses konversi jerami padi menjadi biogas.

2. Mendapatkan rasio pencampuran terbaik dalam kinerja fermentasi limbah padat jerami padi dan sludge menjadi biogas.

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOGAS

Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran sayur) difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali et al. 2007). Menurut Wahyuni (2009) biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik.

Menurut Widodo et al (2006), teknologi biogas di Indonesia telah berkembang sejak lama namun aplikasi penggunaannya sebagai sumber energi alternatif belum berkembang secara luas. Beberapa kendalanya yaitu kekurangan technical expertise, reaktor biogas tidak berfungsi akibat bocor atau kesalahan konstruksi, desain tidak user friendly, penanganan masih secara manual, dan biaya konstruksi yang mahal. Kendala tersebut dapat disikapi dengan cara merawat unit instalasi biogas, diantaranya:

1. Mengaduk campuran kotoran dan air yang terdapat pada digester setiap hari dengan menggunakan bambu panjang agar kerak yang terdapat pada permukaan campuran tidak menghambat produksi gas.

2.

Agar digester dapat terus menghasilkan gas secara optimal, maka secara periodik digester perlu dikuras/dibersihkan. Pembersihan digester dapat dilakukan setiap 5 atau 6 tahun sekali. Pembersihan digester dilakukan dengan terlebih dahulu membuang gas metan dalam digester. Setelah tutup bagian atas dibuka, digester dikuras, kemudian ditutup kembali dan kotoran dapat dimasukkan kembali (Anonim 2009).

2.2 KOMPOSISI BIOGAS

Teknologi biogas menghasilkan gas yang sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) serta beberapa kandungan gas lain yang

jumlahnya kecil diantaranya hidrogen sulfida (H2S), ammonia (NH3), hidrogen (H2), dan

nitrogen (N2). Pambudi (2008) menyebutkan bahwa energi yang terkandung dalam biogas

tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Kandungan metana yang tinggi mempunyai

energi (nilai kalor) yang besar, sedangkan kandungan metana yang rendah mempunyai energi (nilai kalor) yang rendah. Pembentukan gas metana biasanya terjadi pada hari ke 10-14 sebesar 54 % dan karbondioksida (CO2) sebesar 27%. Selanjutnya biogas dapat

dimanfaatkan untuk menyalakan kompor (Wahyuni 2009). Penjelasan mengenai

(5)

Tabel 1. Komposisi biogas

Sumber : Karellas et.al (2010)

Pemanfatan gas metan sebagai sumber energi berperan positif dalam upaya mengatasi masalah global (efek rumah kaca) yang berakibat pada perubahan iklim global. Kesetaraan energi dan pemanfaatannya yang dihasilkan oleh teknologi biogas dalam 1 m3 digambarkan oleh tabel 2 berikut:

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan energi lain

Sumber energi Kapasitas

Elpiji 0.46 kg

Minyak tanah 0.62 liter

Minyak solar 0.52 liter

Bensin 0.80 liter

Gas kota 1.50 m³

Kayu bakar 3.50 kg

Sumber : Wahyuni (2009)

Tabel 3. Aplikasi energi biogas

Aplikasi 1m3 biogas setara dengan Penerangan 60-100 watt lampu bohlam selama 6 jam

Memasak dapat memasak 3 jenis masakan untuk keluarga (5-6 orang)

Pengganti bahan bakar tenaga

0.7 kg minyak tanah dapat menjalankan satu motor tenaga kuda selama 2 jam

Pembangkit tenaga listrik Dapat menghasilkan 1.25 kWh listrik Sumber: Kristoferson dan Bakalders 1991 dalam Hambali (2007)

Peningkatan kualitas biogas dapat dilakukan dengan beberapa parameter yaitu menghilangkan hidrogen sulfur, kandungan air, dan karbon dioksida. Hidrogen sulfur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi. Apabila gas ini dibakar, maka akan

Komponen Jumlah

Metana (CH4) 55-75%

Karbon dioksida (CO2) 25-45%

Karbon Monoksida (CO) 0-0,3%

Nitrogen (N2) 1-5%

Hidrogen (H2) 0-3%

Hidrogen sulfida (H2S) 0,1-0,5%

(6)

membentuk senyawa baru bersama oksigen yaitu sulfur dioksida (SO2) atau sulfur

trioksida (SO3) dan pada saat yang sama akan membentuk sulfur acid (H2SO3) yaitu

senyawa yang lebih korosif. Konsentrasi hidrogen sulfur yang masih ditoleransi yaitu 5 ppm. Penghilangan karbondioksida bertujuan untuk meningkatkan kualitas biogas sehingga gas tersebut dapat juga digunakan untuk bahan bakar kendaraan, sedangkan kandungan air berpotensi pada menurunnya titik penyalaan biogas serta dapat menimbulkan korosif (Switenia, dkk 2008).

2.3 BAHAN BAKU BIOGAS

Pada umumnya semua bahan organik yang mudah membusuk seperti jerami padi yang memiliki rasio C/N 68, kotoran hewan, serta kotoran manusia dapat dijadikan biogas. Hanya saja biogas kotoran manusia terkendala pada aspek kepantasan (sosial). Kotoran unggas maupun hewan ternak dipilih karena ketersediaannya yang melimpah, memiliki keseimbangan nutrisi, mudah dicerna, dan relatif dapat diproses secara biologi.

Hardyanti (2007) menyebutkan bahwa biogas dengan zat penyusun yang berbeda (variasi bahan baku) akan menghasilkan nilai kalor yang berbeda pula, tergantung pada mutu substrat. Potensi biogas berbagai jenis bahan diperlihatkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan

Bahan Produksi Biogas

(L/kg TS)

Kadar Metana

(%)

Waktu Tinggal

(hari)

Pisang (Buah dan daun) 940 53 15

Rumput 450-530 55-57 20

Jagung (batang secara keseluruhan)

350-500 50 20

Jerami (dicacah) 250-350 58 30

Tanaman rawa 380 56 20

Kotoran ayam 300-450 57-70 20

Kotoran sapi 190-220 68 20

Sampah (fraksi organik) 380 56 25

Sumber : Arati (2009), modifikasi. *)TS= total solids/ bahan kering

2.4 FERMENTASI ANAEROBIK

Fermentasi anaerob berarti selama proses fermentasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Analognya, proses ini meniru mekanisme proses yang terjadi pada perut ruminansia yaitu proses pencernaan secara anaerobik. Produk akhir dari proses fermentasi ini adalah gas metana (CH4). Beberapa alasan yang dipakai untuk penggunaan

(7)

Tabel 5. Keuntungan dan kerugian fermentasi anaerobik

Keuntungan Kerugian

Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan yang lama Manfaat produk yang dihasilkan Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan

fosfor Dapat menghasilkan senyawa metana

sebagai sumber energi potensial

Sangat sensitif terhadap efek perubahan temperature

Hanya membutuhkan reaktor dengan volume yang kecil

Menghasilkan senyawa yang beracun seperti H2S

2.5 BAKTERI METANOGEN

Jenie (1993) mengatakan bahwa saat ini telah dikenal berbagai jenis bakteri metana di alam. Namun pengetahuan mengenai mekanisme bakteri metana tersebut dalam proses metabolismenya masih belum terungkap secara rinci. Kesulitannya adalah melakukan pengisolasian dan mengidentifikasi karena karakteristik yang dimilikinya beragam. Bakteri metana yang telah berhasil diidentifikasi terdiri dari empat genus yaitu :

1. Methanobacterium, bakteri bentuk batang dan tidak berspora

2. Methanobacillus, bakteri bentuk batang dan berspora

3. Methanococcus, bakteri bentuk kokus atau kelompok koki yang

membagi diri

4. Methanoosarcina, bakteri bentuk sarcina pada sudut 90° dan

tumbuh dalam kotak yang terdiri dari 9 sel.

Bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Penurunan 2 oC secara mendadak pada slurry mungkin secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhannya dan laju produksi gas. Tidak hanya itu, tingginya materi pereduksi seperti nitrit atau nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri metanogen.

Yani dan Darwis (1990) menerangkan bahwa bakteri metanogen sangat restriktif terhadap alkohol dan asam organik, yang dijadikan sumber karbon. Oksidasi substrat secara tunggal oleh salah satu species bakteri seringkali tidak sempurna, oleh karena itu produk degradasi parsial dapat dijadikan sumber substrat oleh species lainnya untuk pembentukan gas metana. Sejumlah species dan senyawa organik yang dapat berperan sebagai substrat serta produk (senyawa-senyawa) yang dihasilkan terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Species bakteri metanogen

Bakteri Substrat Produk

Metanobacterium formicum CO2 CH4

M. mobilis Format CH4

(8)

M. sohngenii Propionat CH4

M. suboxydans Kaproat, Butirat CH4 + CO2

Metanococcus mazei Asetat, Butirat Asetat, Propionat

M. vanielii H20 + CO2, Format CH4 + CO2

Metanosarcina bakteri H2O + CO2, Metanol, Asetat CH4, CH4, CH4 + CO2

M. metanica Butirat CH4 + CO2

Sumber: Price dan Cheremisinoff (1981)

2.6 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS

Secara umum proses pembentukan biogas yaitu fermentasi bahan organik kompleks menjadi gas oleh mikroorganisme anaerob. Berdasarkan aliran bahan baku, reaktor biogas (biodigester) dibedakan menjadi:

1. Bak (batch) – Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk mengetahui potensi gas dari limbah organik.

2. Mengalir (continuous) – Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu. Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT).

Bapat et al. (2006) di dalam Prasetio (2010) menambahkan satu jenis fermentasi yaitu feed batch. Fermentasi feed batch merupakan proses fermentasi dengan penambahan nutrien pada interval waktu tertentu dan tak ada media yang dipindahkan, berbeda dengan fermentasi kontinyu yang dilakukan penambahan feed secara terus-menerus serta produknya dipindahkan secara bersamaan.

Menurut Haq dan Soedjono (2009) penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung terus secara berantai sampai pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi bahan organik yang dapat dihidrolisa.

1. Hidrolisis

Grup mikroorganisme hydrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek. Senyawa tersebut diantaranya adalah glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbon dioksida, dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan bakteri seperti selullase, protease, dan lipase.

Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul selulosa yang merupakan molekul dengan berat yang tinggi menjadi selulobiose (glukosa-glukosa) dan menjadi glukosa bebas (free glucose). Glukosa kemudian difermentasi secara anaerob menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti asetat, propionat, butirat, H2, dan CO2.

(9)

bahan organik yang terdapat dalam slurry maka mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta semakin banyak bahan organik yang dapat diubah menjadi metana.

2. Asidogenesis

Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis. Pada proses ini bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol). 3. Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam)

Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari

molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aseton penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak (Radar Tarakan online 2008). Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat. Salah satunya adalah degradasi asam propionate oleh Synthophobacter wolinii (Weismann 1991).

4. Metanogenesis (Tahap Pembentukan Metan)

Tahapan metanogenesis merupakan tahapan konversi anaerobik terakhir dan paling menentukan, yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon

dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya. Bakteri yang terlibat pada proses ini yaitu bakteri metanogenik dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang terdiri atas Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus (Radar Tarakan online 2008). Pada proses di dalam reaktor, pertumbuhan bakteri ini bergantung pada temperatur, keasaman, serta jumlah material organik yang akan dicerna. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk ammonia dan jumlah substrat yang digunakan. Bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi, misalnya bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat

untuk membentuk metana dan CO2 (Amaru 2004). Haq dan Soedjono (2009)

menyebutkan bahwa bakteri ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri methanogen sangat tergantung pada bakteri lainnya yang terdapat pada tahap sebelumnya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

2.7 FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI TEKNOLOGI

PROSES BIOGAS

(10)

diumpankan ke dalam digester sebagai input. Hal ini adalah phisiko-kimia yang kompleks dan proses biologis yang melibatkan berbagai faktor dan tahapan bentuk dan dinamakan sebagai faktor abiotis. Faktor-faktor yang memengaruhi proses fermentasi bahan organik menjadi biogas meliputi:

1. Starter

Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain:

• Starter alami, yaitu lumpur aktif sebagai lumpur kolam ikan, air comberan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik.

• Starter semi buatan, yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.

• Starter buatan, yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratoriun dengan media buatan.

2. Komposisi nutrien

Menurut Hartono (2009), parameter penting pada proses anaerobik adalah total bahan organik yang merupakan ukuran suatu material seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Seluruh substrat itu dapat dikonversi menjadi asam-asam teruapkan dan metan. Ketersediaan nutrisi yang cukup berpengaruh pada gas metan yang akan dihasilkan.

3. Ukuran Bahan

Laju produksi biogas dapat ditingkatkan melalui pemberian pretreatment substrat. Maksudnya yaitu menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul sederhana sehingga mikroorganisme lebih mudah mendegradasi bahan tersebut. Bahan dengan ukuran lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan bahan dengan ukuran lebih kecil memiliki luas kontak permukaan yang lebih besar dibandingkan bahan berukuran besar (Sulaeman 2007). Wahyuni (2009) menguatkan bahwa degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah berserat dapat secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu memperkecil ukuran partikel.

4. Rasio C/N

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam rasio karbon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tidak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya produksi metan akan menjadi rendah, sebaliknya apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan akan terakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang berdampak pada meningkatnya pH pada digester (Wahyuni 2009).

(11)

mengandung karbon (C) seperti jerami atau N (misalnya urea) perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N tersebut. Berikut tabel 7 yang menunjukkan kadar N dan rasio C/N dari beberapa jenis bahan organik:

Tabel 7. Kandungan C dan N beberapa jenis bahan

Bahan organik Rasio C/N Kadar N (%) Kekeringan bahan (%)

Kotoran ayam 15 6.3 25

Kotoran kuda 25 2.8 -

Kotoran sapi, kerbau 18 1.7 18

Tinja manusia 6-10 5.5-6.5 11

Buangan BPH 2 7-10 -

Sampah kota 54 1.05 -

Jerami jelai 68 1.05 -

Sayuran 12 3.6 -

Rumput muda 12 4 -

Sumber : Care (2011)

Dalam sistem biodigesti yang bekerja dengan baik, karbon adalah satu-satunya unsur yang hilang dalam jumlah besar. Nitrogen dan fosfor akan tersisa dalam jumlah yang sama tapi dalam konsentrasi yang lebih tinggi karena bahan lain sudah terdigesti.

5. Temperatur

Hampir seluruh aktivitas biologi dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur dapat menghambat atau mempercepat pertumbuhan mikroba, penguraian bahan organik, produksi gas, penggunaan substrat, dan banyak aktivitas biologi lainnya. Salah satu alasannya adalah karena berbagai aktivitas biologi melibatkan reaksi-reaksi berbantuan enzim, sedangkan enzim sangat sensitif terhadap perubahan temperatur (Hartono 2009).

Hartono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan temperatur operasinya, proses anaerob secara garis besar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu psycrofil, mesofil, dan termofil. Pada umumnya digester anaerob beroperasi pada temperatur mesofil yaitu 20-45°C. Kondisi ini dipilih karena mikroba-mikroba di alam lebih banyak yang bersifat mesofil daripada psychrofil dan termofil. Selain itu, sludge retention time (SRT) dalam digester mesofil (4-6 minggu) juga lebih pendek daripada dalam digester psychrofil (12 minggu) dengan suhu 5-25°C, sedangkan temperatur termofil yaitu 50-70°C. Laju degradasi bahan organik pada temperatur termofil lebih cepat daripada sistem psychrofil dan mesofil. Oleh karena itu SRT termofil juga sangat singkat, namun pengendalian temperatur termofil lebih sulit dan mahal daripada mesofil dan psycrhofil. Kondisi pengoperasian proses anaerobik tersebut diperlihatkan oleh Tabel 8.

Tabel 8. Kondisi pengoperasian proses anaerobik

(12)

Suhu

Mesofilik 35 °C

Termofilik 54 °C

pH 7-8

Waktu retensi 10-30 hari

Laju pembebanan 0.15-0.35 kg VS/m3/hari Hasil biogas 4.5-11 m3/kg VS Kandungan metana 60-70 % Sumber : Engler et al. (2000)

Dalam seluruh jenis temperatur anaerob, sangat penting untuk menjaga konsistensi temperatur di seluruh bagian tangki. Jika terjadi variasi temperatur, maka akan menghambat atau menonaktifkan bakteri anaerob tertentu termasuk bakteri metanogen yang memiliki rentang adaptasi temperatur sangat sempit.

7. Nilai pH

Perubahan pH akan membawa perubahan pada sistem biologis. Hal ini karena aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH. Pada umumnya mikroba anaerob beraktivitas pada pH optimum antara 6-7.5. Rentang pH ini dapat dikontrol oleh buffer alami berupa amonium (NH+4) dan bikarbonat (HCO-3). Ion amonium diperoleh dari deaminasi asam-asam amino dan material yang mengandung nitrogen dan amino lainnya seperti DNA, RNA, Adenosin Tri Phosphat (ATP), dan enzim. Ion bikarbonat diperoleh dari karbondiokasida yang diproduksi selama hidrolisis, pembentukan asam dan metanogenesis (Hartono 2009).

Wahyuni (2009) menyebutkan bahwa derajat keasaman (pH) di dalam digester merupakan fungsi waktu di dalam digester tersebut. Pada tahap awal proses fermentasi, asam organik dalam jumlah besar diproduksi oleh bakteri pembentuk asam, sehingga pH di dalam digester bisa mencapai di bawah 5. Kemudian proses pencernaan berlangsung dan nilai pH berangsur normal seiring dengan pembentukan NH4 hasil dari penguraian nitrogen.

8. Kadar Air

Menurut Haq dan Soedjono (2009), dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tergantung kadar air. Kelembaban 36-99 % akan menaikkan produksi gas 67 %. Kenaikan tersebut dicatat pada rentang kelembaban 60-78 % dan cenderung sama pada kelembaban yang lebih tinggi. Sisa kelembaban dapat menghambat aktivitas methanogen. Menurut Triyanto (1992), bahan umpan yang baik mempunyai kandungan padatan 7 %-9 %.

Rahman (2007) mengatakan bahwa mikroorganisme pembusuk akan tumbuh subur pada bahan yang memiliki kadar air sekitar 90%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan sangat mudah mengalami proses pembusukkan atau pendegradasian secara mikrobiologi.

9. Inhibitor

(13)

lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam. Amonia (NH4) pada

konsentrasi 50-200 mg/l dapat merangsang pertumbuhan mikroba. Namun apabila konsentrasinya diatas 1500 mg/l akan mengakibatkan keracunan.

10. Pengadukan

Proses pengadukan ditujukan untuk mendapatkan campuran substrat dan bakteri fermentasi yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Pengadukan selama proses dekomposisi untuk mencegah terjadinya benda-benda mengapung pada permukaan cairan. Di samping itu, pengadukan akan memberikan kondisi temperatur yang seragam untuk proses tersebut.

11. Waktu tinggal di dalam digester

Waktu tinggal di dalam digester adalah rata-rata periode waktu saat input masih berada dalam digester dan proses fermentasi oleh bakteri metanogen. Waktu tinggal juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu di atas 35 °C mengakibatkan produksi gas menjadi rendah (Wahyuni 2009). Anonim (2006) menyebutkan bahwa pada umumnya biogas masing-masing variasi mulai terbentuk pada hari pertama setelah pengisian dan terus meningkat secara signifikan hingga akhirnya mencapai kondisi statis. Pengetahuan mengenai waktu pencapaian kondisi statis berimplikasi pada pengetahuan waktu tinggalnya (HRT). Hal ini berguna untuk jadwal pengisian substrat jika akan diaplikasikan di lapangan.

2.8 JERAMI PADI

Jerami merupakan bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, dan tangkai malai). Pada waktu tanaman dipanen, jerami adalah bagian tanaman yang tidak diambil. Bobot Jerami padi merupakan fungsi dari ketersediaan air, varietas, nisbah gabah/jerami, cara budidaya, kesuburan tanah, musim, iklim dan ketinggian tempat. Jerami terdiri atas daun, pelepah daun, ruas atau buku. Ketiga unsur ini relatif kuat karena mengandung silika dan selulosa yang tinggi sehingga pelapukanya memerlukan waktu. Namun jika diberi perlakuan tertentu akan mempercepat terjadi perubahan strukturnya (Makarim 2007).

Produksi jerami padi di Indonesia juga merupakan salah satu yang terbesar. Pada Tabel 9 berikut dapat dilihat data produksi jerami padi diberbagai negara.

Tabel 9. Data perkiraan produksi jerami diberbagai negara

Negara Luas

Panen (‘000 ha) Produksi (‘000 Ton) Prakiraan Produksi Jerami (‘000 Ton)’)

Cina 30.503 190.168 285.252

India 44.600 161.500 242.250

Indonesia 11.523 51.000 76.500

Bangladesh 10.700 35.821 53.732

Vietnam 7.655 32.554 48.831

Thailand 10.048 23.403 35.105

Myanmar 6.211 20.125 30.188

(14)

Jepang 1.770 11.863 17.796

Brasil 3.672 11.168 16.752

Amerika Serikat

1.232 8.669 13.004

Korea Selatan

1.072 7.067 10.600

Pakistan 2.312 7.000 10.500

Nepal 1.550 4.030 6.045

Nigeria 2.061 3.277 4.916

‘) angka perkiraan, berdasarkan grain ratio 2:3

Sumber : Maclean et al. (2002) didalam Makarim (2007)

Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0.4% N, 0.02%P, 1.4%K dan 5.6% Si (Makarim 2007). Jerami padi mengandung 40-43% C (Makarim 2007).

Fermentasi biogas dapat dibuat dari berbagai residu tanaman dan sumber bahan organik, termasuk jerami padii. Setiap kilogram jerami dihasilkan 0,25 m3 gas metan dan residunya mengandung 38% C (Makarim 2007). Jerami relatif sulit terdekomposisi. Hanya 9-16% dari produksi total, sehingga untuk mempercepat produksi gas jerami perlu dikomposkan terlebih dahulu (Makarim 2007). Makarim (2007) juga menyatakan bahwa dari sisi kuantitas, jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia. Jerami padi harganya sangat murah dan memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu mencapai 39%. Komposisi kimia lainnya yaitu hemiselulosa 27.5%, lignin 23.5% dan abu 10%. Potensi jerami kurang lebih 1.4 kali dari hasil panen.

2.9

SLUDGE

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Namun berdasarkan nilai ekonomisnya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah yang melalui suatu proses lanjut sehingga memberikan suatu nilai tambah, sedangkan limbah non-ekonomis adalah suatu limbah walaupun telah dilakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan limbah B-3 yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya (Kristanto 2002).

Limbah padat industri pangan terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, dan air merupakan bahan-bahan yang mudah terdegradasi secara biologis dalam sebuah bioreaktor baik secara aerob maupun anaerob serta menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama menimbulkan bau busuk.

(15)

Sludge merupakan endapan padat yang secara alami berada di dalam air dan air limbah, atau benda yang bukan endapan padat tetapi secara pengentalan kimia dan flokulasi biologi dapat mengendap dan dialirkan dari tangki pembuangan limbah. Sementara menurut Sugiharto (1987), lumpur (sludge) yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan manusia.

Sistem pengolahan air limbah aerobik secara konvensional dengan menggunakan lumpur aktif merupakan pengolahan air limbah yang paling populer dilakukan baik pada instalasi pengolahan air limbah domestik atau pada industri. Namun proses pengolahan ini kurang begitu menguntungkan karena menghasilkan banyak lumpur aktif dan hingga saat ini belum ada penyelesaian secara terintegrasi. Biasanya lumpur dikeringkan dan selanjutnya dibuat sebagai tanah urukan atau dibakar. Sehingga pembuangan lumpur aktif dari tahun ke tahun semakin meningkat, padahal lahan yang dipergunakan untuk menampung buangan lumpur aktif (landfill) sangat terbatas. Pengolahan lumpur aktif dengan pembakaran biasanya menggunakan alat incinerator yang membutuhkan biaya mahal. Disamping itu proses aerobik memerlukan lahan yang luas, capital cost tinggi (sistem mekanik atau aerasi dilakukan dengan sistem difusi), dan biaya operasional tinggi (kebutuhan nutrien dan kebutuhan energi selama aerasi adalah tinggi). Pengolahan limbah secara anaerobik dapat menghasilkan gas yang terdiri atas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) yang dikenal sebagai biogas.

Di samping limbah cair, industri juga menghasilkan limbah padat. Berdasarkan sifatnya, pengolahan limbah padat industri terbagi menjadi dua yaitu limbah padat dengan pengolahan dan limbah padat tanpa pengolahan. Limbah padat tanpa pengolahan dapat dibuang ke tempat tertentu yang difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir karena limbah tersebut tidak mengandung unsur kimia yang beracun dan berbahaya. Berbeda dengan limbah padat yang mengandung senyawa kimia berbahaya dan beracun atau yang setidak-tidaknya menimbulkan reaksi baru, limbah semacam ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir. Selain itu, secara garis besar limbah padat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: limbah padat yang mudah terbakar, limbah padat yang sukar terbakar, limbah padat yang mudah membusuk, debu, lumpur (sludge), dan limbah yang dapat di daur ulang (Kristanto 2002).

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4, serta sel biomassa baru. Proses ini

menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Pengolahan secara biologi (pengolahan sekunder) dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien (Anonim 2011).

(16)

Bakteri juga menghasilkan polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter. Di samping itu ada pula mikroorganisme berfilamen yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla. Jumlah bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat yang disebabkan oleh tingkat oksigen dalam difusi. Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhadap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.

Sludge memiliki manfaat yang sama dengan pupuk kandang terutama dalam memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Sludge memiliki kelebihan lain yaitu setelah keluar dari digester biasanya sludge telah matang karena telah mengalami proses penguraian di dalam alat (Setiawan 1996).

2.10 PUPUK ORGANIK

Jerami Padi dapat digunakan langsung pada tanah karena mengandung nutrient organik. Namun, nutrien tersebut tidak langsung memberikan hasil yang optimal pada tanah dalam bentuk inorganik seperti nitrat (NO3-) dan fosfat (PO3-) melainkan perlu aktivitas bakteri untuk memecah nutrient organik kompleks menjadi sederhana dan akhirnya menjadi nutrient inorganik (Polprasert, 1989). Fermentasi anaerobik tidak menghilangkan banyak nutrien dari jerami maupun peternakan tetapi menyediakan nutrien yang dibutuhkan. Menurut Kristanto (2002), bahan kimia yang terdapat di dalam limbah diuraikan secara biokimia, sehingga menghasilkan bahan organik baru yang lebih bermanfaat.

Menurut Murbandono (2002), pupuk merupakan bahan-bahan yang diperlukan tanah baik langsung maupun tidak langsung. Hasil pengomposan dapat digunakan untuk pupuk tanaman yang dikenal sebagai pupuk organik. Secara umum, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik yang didegradasi secara organik. Pengomposan banyak dilakukan terhadap limbah yang mudah membusuk, limbah padat perkotaan, buangan industri, lumpur pabrik, dan sebagainya. Sludge yang berasal dari biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti fosfor (P), magnesium (Mg), kalsium (Ca), kalium (K), tembaga (Cu), dan seng (Zn).

(17)

Tabel 10. Syarat mutu pupuk organik padat dan cair

No Parameter Satuan Kandungan Pupuk Organik

Padat Cair

1 C-Organik % Min 15 ≥ 4.5

2 C/N ratio 12-25 -

3 Bahan ikutan (karikil, beling, plastik) % Maks 2 -

4 Kadar air % 20 ≤ x ≤ 35 -

5 Logam berat : Pb

Cd Hg As

ppm ppm ppm ppm

≤ 100 ≤ 20

≤ 2 ≤ 20

≤ 100 ≤ 20

≤ 2 ≤ 20

6 pH ≥ 4 - ≤ 8 ≥ 4 - ≤ 8

7 Kadar total (N + P2O5 + K2O) % Dicantumkan Dicantumkan

8 Mikroba pathogen (E. coli, Salmonella)

cell/ml Dicantumkan Dicantumkan

9 Unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Co, Fe) ppm Dicantumkan Dicantumkan

Sumber: Soekiman (2005)

(18)

III. METODE PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor dan dimulai pada bulan April 2011 sampai Juli 2011.

3.2 ALAT DAN BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah padat pertanian berupa jerami padi dari persawahan di Desa Cikarawang wilayah lingkar kampus IPB Dramaga, serta sludge (lumpur aktif) yang diambil dari unit pengolahan limbah (effluent tank) PT. Sinar Meadow International Indonesia, Jakarta. Kotoran sapi yang digunakan berasal dari Fakultas Peternakan IPB.

Bahan kimia untuk analisis yang digunakan adalah H2SO4 0,02N, NaOH 6N,

Asam Borat 2%, CuSO4.5H2O, K2SO4, H2SO4 pekat, larutan amonium molibdat, larutan

SnCl2, larutan K2Cr2O7 0.0167 M, reagen H2SO4, larutan FAS 0.1 M, indikator ferroin,

larutan buffer 4, larutan buffer 7, dan aquades.

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi reaktor biogas kapasitas 1.5 liter (botol AMDK), akuarium, selang akuarium, tali rafia, pemberat, dan thermostat. Peralatan uji yang digunakan pH meter, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, alat destilasi, labu ukur, labu kjeldhal, oven, tanur, cawan, desikator, gegep, dan timbangan digital.

3.3 TAHAPAN PENELITIAN

3.3.1 KARAKTERISASI BAHAN

Analisis awal dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan yang digunakan yaitu sludge dan jerami. Karakterisasi yang dilakukan terdiri atas kadar air, kadar abu, TS (Total Solids), TVS (Total Volatile Solids) dan rasio C/N yang ditujukan untuk menentukan variasi komposisi bahan. Setelah didapat formula bahan yang tepat, dilanjutkan dengan persiapan campuran kedua bahan tersebut.

3.3.2 FERMENTASI ANAEROB

(19)

menghasilkan penurunan COD terbesar yaitu 15.83 %. Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi fresh sebanyak 200 g yang didapat dari peternakan sapi Fakultas Peternakan IPB. Penambahan kotoran sapi dimaksudkan untuk starter pada proses fermentasi. Campuran jerami padi, lumpur aktif, dan kotoran sapi bertujuan agar bakteri dapat tumbuh dan hidup sehingga dapat menguraikan senyawa organik yang nantinya menghasilkan metana. Banyaknya kotoran sapi yang ditambahkan didasarkan pada penelitian Hardyanti (2007).

Proses berlangsung secara anaerob pada botol 1,5 liter dan suhu operasi diatur konstan yaitu 32 oC dengan menggunakan thermostat yang diletakkan di dalam akuarium. Botol dibuat terendam di dalam akuarium. Gas yang terbentuk dialirkan ke dalam gelas ukur yang diletakkan terbalik berisi air penuh, sehingga jumlah gas yang terbentuk adalah jumlah ruang udara yang terdapat di dalam gelas ukur tersebut. Setiap harinya dilakukan pengukuran volume gas yang terbentuk. Pengukuran produksi biogas harian dilakukan untuk mengetahui perlakuan komposisi sludge yang dapat menghasilkan gas terbanyak atau optimum. Rancangan bioreaktor akan diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bioreaktor

(20)
(21)

Gambar 2. Diagram alir penelitian Jerami Padi

Jerami 0.1-0.5 cm

perbandingan 3:5 (225 gr)

dan 5:3 (375 gr)

Fermentasi anaerobik pada suhu 32oC selama 30 hari Pengecilan ukuran : 0.1-0.5 cm

Biogas

Pengukuran volume biogas yang terbentuk setiap hari

Pengukuran TS-TVS, COD, pH bahan padat dan lindi setiap 3

hari sekali

Kompos

Pengukuran kadar karbon, nitrogen, dan fosfat

(awal dan akhir) Kotoran sapi

200 gr

Sludge perbandingan

3:5 (225 gr) dan 5:3

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jerami padi dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya yang melimpah serta kemudahan dalam mendapatkannya. Romli (2010) menerangkan bahwa sludge merupakan produk samping yang dihasilkan dari proses penanganan limbah cair, berupa suspensi padatan anorganik dan organik (antara 1-5%), yang bercampur dalam cairan (efluen) yang mengandung berbagai jenis padatan terlarut. Hasil yang diperoleh dari analisis sludge dan jerami ditunjukkan pada tabel 11 dan table 12 di bawah ini:

Tabel 11. Karakteristik sludge Kadar air

(%)

Kadar abu (%)

pH % TS %TVS (wet) % TVS (dry) C (%) N (%) Rasio C/N 96.66 1.05 6.23 3.34 2.29 68.55 45.8 2.4 19.08

Tabel 12. Karakteristik jerami

Bahan Baku Karakteristik Nilai

Jerami Kering Kadar Air (%) 17.41

Kadar Abu (%) C (%) N (%) Rasio C/N 28.31 38 0.5 76 Total Solid (%)

Total Volatile Solid (wb) (%)

82.59 54.28 Total Volatile Solid (db) (%) 65.72 Campuran Jerami dan sludge

(bahan yang digunakan), dengan

komposisi 3:5

Kadar Air (%) 81.36

Kadar Abu (%) C (%) N (%) Rasio C/N 6.28 32.15 0.90 35.7 Total Solid (%)

Total Volatile Solid (wb) (%)

18.64 12.36 Total Volatile Solid (db) (%) 66.32 Campuran Jerami dan sludge

(bahan yang digunakan), dengan komposisi 5:3

Kadar Air (%) 78.10

(23)

Total Solid (%) 21.90 Total Volatile Solid (wb) (%) 14.93 Total Volatile Solid (db) (%) 68.18

Dari hasil analisis pada tabel di atas menunjukkan bahwa jerami kering yang digunakan memiliki kadar air yang rendah, sedangkan pada campuran jerami dan sludge dengan komposisi 3:5 kadar air cukup tinggi yaitu sebesar 81.36% dan pada jerami:sludge komposisi 5:3 sebesar 78.10%. Berkaitan dengan produksi biogas, Price (1981) menjelaskan bahwa perbedaan kadar air 36-99% akan meningkatkan produksi biogas sebesar 67%. Kandungan air dalam substrat dan homogenitas sistem memengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kandungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem menbuat kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih intim.

Van Buren (1979) juga menguatkan bahwa agar dapat beraktivitas normal, bakteri penghasil biogas memerlukan substrat dengan kadar air 90% dan kadar padatan 8-10%. Jika bahan yang digunakan merupakan bahan berjenis kering, maka perlu ditambah air, tetapi jika substratnya berbentuk lumpur, maka tidak perlu banyak penambahan air. Penambahan air akan meningkatkan konsentrasi oksigen yang bersifat racun bagi bakteri anaerob, sedangkan kadar air yang rendah mengakibatkan terjadinya akumulasi asam asetat yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri metanogen. Kandungan air akan berkaitan langsung dengan ketersediaan oksigen untuk aktivitas mikroorganisme aerobik. Bila kadar bahan berada kisaran 40-60% maka mikroorganisme pengurai aerobik akan bekerja secara optimal dan menyebabkan dekomposisi bahan berjalan cepat. Namun jika di atas 60%, yang berperan adalah bakteri anaerobik. Hasil analisis menunjukkan padatan total hasil karakterisasi bahan awal pada jerami kering sebesar 82.59% sedangkan pada jerami:sludge komposisi 3:5 sebesar 18.64% dan pada jerami:sludge komposisi 5:3 sebesar 21.90%. Nilai ini sesuai dengan kondisi kadar padatan optimum fermentasi biogas.

Kriteria lain yang juga sering digunakan pada proses fermentasi anaerobik adalah kandungan Volatile Solid atau padatan organik. Siregar (2005) menerangkan bahwa padatan-padatan (TS, SS, DS, serta fraksi volatile dan fixed) dapat digunakan untuk menetukan kepekatan air limbah, efisiensi proses, dan beban unit proses. Nilai tersebut menunjukkan seberapa besar proses degradasi atau penguraian suatu bahan oleh mikroorganisme. Padatan organik atau volatile solid dari hasil analisis menunjukkan nilai yang cukup besar yaitu 65.72% pada bahan jerami kering. Padatan organik mengalami kenaikan setelah dicampurkan dengan sludge yaitu 66.32% pada jerami:sludge komposisi 3:5 dan 68.18% pada jerami:sludge komposisi 5:3. Kenaikan tersebut menunjukkan peluang yang cukup besar untuk dikonversikan menjadi sejumlah biogas hasil proses fermentasi anaerobik karena persentase teruapkannya padatan organik yang besar.

(24)

kadar air yang tinggi yaitu 96.66%, kadar abu 1.05%, padatan total 3.34%, serta padatan organik (db) sebesar 68.55% dan 2.29% (wb). Selain itu, sludge juga memiliki nilai COD yang besar yaitu 71200 mg/l. Penambahan air pada campuran jerami dan sludge tetap diperlukan walaupun sludge mengandung kadar air yang tinggi karena jerami yang digunakan memiliki kadar air yang rendah. Selanjutnya dilakukan penambahan kotoran sapi sebagai inokulum awal. Selain untuk mendapatkan padatan total yang sesuai, juga rasio C/N yang tepat sehingga pertumbuhan mikroorganisme pada proses ini dapat maksimal.

Sulaeman (2007) menyebutkan bahwa unsur C/N merupakan karakteristik terpenting dalam bahan organik dan berguna untuk mendukung proses pengomposan. Unsur N banyak terbentuk dari protein sedangkan unsur C banyak dibentuk oleh karbohidrat, selulosa, lemak, asam-asam organik, dan alkohol (Susanto,dkk 1988). Dalam hal ini jerami berperan sebagai penyedia karbon dan sludge sebagai penyedia nitrogen. .

Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0.4% N, 0.02 %P, 1.4 %K dan 5.6% Si dan jerami padi mengandung 40-43% C (Makarim 2007). Dari hasil karakterisasi awal diperoleh rasio C/N sebesar 76 untuk jerami kering. Rasio C/N jerami mengalami penurunan setelah dicampur sludge. Penurunan pada jerami:sludge komposisi 3:5 menjadi 35.7 dan pada jerami:sludge komposisi 5:3 menjadi 32.17. Nilai tersebut masih terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan rasio yang ditetapkan untuk proses anaerobik (digesti) yaitu 25-30.

Selain sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme, kotoran sapi digunakan sebagai sumber inokulum bagi bakteri metanogen yang akan merombak asam asetat, CO2,

dan H2 menjadi metana. Keberadaan bakteri di dalam usus besar ruminansia membantu

proses fermentasi sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat (Sufyandi 2001).

4.2. PENGARUH KOMPOSISI SUBSTRAT

4.2.1 PRODUKSI BIOGAS

Biogas yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan dapat dilihat di lampiran. Adapun produksi gas disajikan oleh Gambar 3. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa jerami:sludge komposisi 3:5 memiliki produksi gas yang lebih banyak baik pada proses 1 maupun proses 2. Banyaknya gas yag dihasilkan sebesar 3.29714 L/kg Biomassa pada proses 1 dan 1.608 L/kg Biomassa pada proses 2. Perbedaan ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda, karena tidak dilakukan kontrol apapun terhadap faktor lingkungan, hanya saja suhu dijaga stabil pada rentang mesofilik. Menurut penelitian Hartono dan Kurniawan (2009), laju produksi biogas yang terbuat dari komposisi bahan jerami (75%) dan kotoran kerbau (25%) menghasilkan gas 6,5 ml/jam atau 0,156 liter/hari dengan waktu fermentasi selama 60 hari. Menurut Arati (2009) produksi biogas dengan bahan jerami berkisar antara 250-350 liter/kg TS dengan waktu fermentasi 30 hari.

(25)

ternyata menghasilkan gas yang melebihi hasil tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi sludge yang telah mengalami berbagai proses di dalam unit pengelolaan limbah. Sama halnya dengan kotoran yang telah mengalami pemasakan di dalam perut ruminansia. Sludge banyak mengandung zat pengurai yang baik untuk menghidrolisis bahan yang masih baru. Selain itu, kondisi bahan yang lebih berair berpengaruh pada peningkatan produksi gas seperi yang telah dibahas sebelumnya. Adanya pengecilan ukuran juga berdampak pada peningkatan produksi gas ditambah karena berarti mengurangi kerja mikroorganisme dalam fase aklimatisasi (penyesuaian).

Menurut Sulaeman (2007), bahan dengan ukuran lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan bahan dengan ukuran lebih kecil memiliki luas kontak permukaan yang lebih besar dibandingkan bahan berukuran besar. Pengecilan ukuran sebagai perlakuan awal berpotensi menghasilkan biogas yang secara signifikan meningkat. Agar didapat keseragaman kecepatan penguraian, maka ukuran bahan dapat dibuat menjadi lebih kecil dengan cara dicacah manual atau mekanis (menggunakan mesin). Dengan begitu akses bagi substrat terhadap enzim akan lebih baik (Romli 2010).

Yadvika et al. (2004) menyatakan bahwa untuk meningkatkan hasil biogas dalam proses fermentasi anaerobik, maka bahan baku substrat perlu dilakukan pre-treatment. Pre-treatment ini dimaksudkan untuk menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul sederhana, sehingga mikroba lebih mudah mendegradasinya. Salah satu pre-treatment adalah pre-digestion bahan baku. Semakin kecil ukuran suatu bahan maka bidang sentuh bahan akan semakin luas sehingga akan mempercepat laju reaksi karena banyak bagian bahan yang saling bertumbukan secara efektif (intim) yang menyebabkan proses degradasi bahan organik menjadi optimum. Berdasarkan literature tersebut, maka jerami yang digunakan diberikan pre-treatment berupa pencacahan dengan ukuran 0.1-0.5 cm.

(26)

(b) 2nd running

Gambar 3. Produksi gas

Gambar tersebut juga menerangkan bahwa produksi gas rata-rata kumulatif semakin lama meningkat. Pada jerami:sludge komposisi 3:5 gas sudah mulai dihasilkan pada hari pertama dan pada jerami:sludge komposisi 5:3 pada hari kedua. Namun, produksi gas yang besar diawal proses bukan berarti memiliki kandungan metan (CH4)

yang besar. Bisa jadi gas yang dihasikan adalah CO2 atau H2S. Mengacu pada pernyataan

Care (2011), gas yang pertama terbentuk belum bisa dimanfaatkan karena didominasi oleh CO2, selanjutnya biogas terbentuk pada hari ke 4–5 sesudah biodigester terisi penuh dan

mencapai puncak pada hari ke 20–25. Paimin (2000) juga menyebutkan bahwa biogas terbentuk setelah hari ke-5. Oleh karena itu, untuk memastikan kandungan gas yang terbentuk perlu dilakukan gas chromatography. Alternatif lain untuk mengetahui kandungan metan yaitu melalui uji bakar. Hanya saja pada penelitian ini gas yang terbentuk tidak ditampung melainkan dibuang begitu saja sehingga ketika dilakukan uji bakar, tidak mencukupi. Produksi gas optimum pada jerami:sludge komposisi 3:5 cenderung lebih tidak stabil jika dibandingkan dengan jerami:sludge komposisi 5:3. Menurut penelitian Kota (2009), produksi gas optimum dari bahan jerami padi berlangsung pada selang hari ke tujuh hingga hari ke 21.

Produksi biogas juga bervariasi disebabkan oleh variasi sifat-sifat biokimia. Dua atau lebih bahan-bahan dapat digunakan bersama-sama dengan beberapa persyaratan produksi gas atau pertumbuhan normal bakteri metan yang sesuai. Beberapa sifat input ini mempunyai dampak yang nyata pada tingkat produksi gas, seperti nisbah C/N, pengadukan dan konsistensi input, dan padatan tak stabil (Abdullah, dkk 1998).

(27)

(Romli 2010). Hipotesis menunjukkan bahwa kadar substrat yang tinggi seharusnya mengakibatkan efisiensi perombakan bahan yang tinggi sehingga biogas yang dihasilkan harusnya semakin banyak. Hal ini bisa saja terjadi karena menurut Gijzen (1987) di dalam Rohim (1991), ternyata tingkat konversi asam lemak menguap makin rendah pada tingkat kadar substrat yang lebih tinggi. Namun penelitian menunjukkan jerami:sludge komposisi 3:5 yang menghasilkan gas terbanyak. Hal ini disebabkan tingginya produksi asam dalam tahapan proses yang cukup lama yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi asam. Romli (2010) memperkuat pernyataan tersebut bahwa secara eksperimental telah dibuktikan bahwa akumulasi asam laktat terjadi ketika reaktor anaerobik mengalami lonjakan beban organik. Pada kondisi demikian, berpengaruh juga pada nilai pH yakni dibawah netral yang berakibat bakteri metanogenik tidak dapat bekerja dengan baik, bahkan mati.

Menurut Buyukkamaci dan Fillibeli (2004), nilai pH pada awal perlakuan menunjukkan proses pengasaman dan perubahan bahan organik. Keasaman ini kemungkinan terjadi karena aktivitas bakteri asetogenik. Perubahan pH menjadi basa menandakan adanya perombakan bahan organik, yaitu proses metagonesis yang menggunakan asam asetat, CO2, dan hidrogen untuk menghasilkan metana sehingga nilai

keasaman berangsur-angsur akan menuju pH yang lebih basa. Perubahan pH menjadi 8.5 masih dalam taraf optimum produksi biogas, karena bakteri metanogen bisa tumbuh pada pH 6.5-8.5. Perolehan nilai pH bahan selama fermentasi diperlihatkan pada lampiran yang menunjukkan bahwa pH semakin asam dengan bertambahnya waktu.

Pembentukan biogas yang kecil bisa juga dipengaruhi oleh padatan total bahan. Romli (2010) menyebutkan bahwa total solid merupakan padatan terlarut dan tersuspensi, organik dan anorganik dalam limbah, berupa bahan kering (residu) dari proses penguapan sampel pada suhu 105 °C selama 48 jam (bobot konstan). Penurunan padatan menguap total terjadi karena pembentukan asam yang berlangsung cepat. Beberapa hari menjelang berakhirnya proses fermentasi biasanya dicapai kondisi yang lebih stabil sehingga meningkatkan laju produksi gas kumulatif. Hal ini menunjukkan efisiensi perombakan padatan menguap sudah mencapai maksimal, meskipun belum semua padatan menguap terdekomposisi. Beberapa penyebab terjadinya tidak semua padatan terdekomposisi karena adanya penghambatan substrat atau inhibitor di dalam substrat.

Namun menurut Romli (2010), sulit menetapkan batas nilai konsentrasi tertentu suatu bahan bersifat toksik atau inhibitif, karena efek ini tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasinya tetapi juga oleh kondisi lingkungan, misalnya pH, suhu, dan konsentrasi bahan-bahan lain yang mungkin bersifat sinergis atau antagonis terhadap bahan toksik yang dimaksud.

(28)

4.2.2 PENURUNAN PADATAN ORGANIK (TVS (db))

Produksi gas yang dihasilkan berdasarkan nilai VS ditunjukkan oleh Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, gas yang dihasilkan semakin lama semakin meningkat hingga akhirnya kembali turun yang menandakan bahwa bahan organik telah habis dihidrolisis oleh mikroorganisme. Produksi gas terbanyak baik proses 1 maupun proses 2 dihasilkan oleh jerami:sludge komposisi 3:5 yakni 27.67816 L/kg VS (proses 1) dan 18.93871 L/kg VS (proses 2). Prajayana (2011) dalam penelitiannya menghasilkan gas sebesar 8.4890 L/g VS. Jika dibandingkan, maka produksi gas campuran jerami dengan sludge berdasarkan padatan tak jenuh memiliki hasil yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tingginya padatan organik tak stabil yang terkandung dalam sludge. Hal ini sesuai dengan Widodo dkk (2006) yang menjelaskan bahwa potensi produksi biogas dari bahan-bahan organik, dapat dikalkulasi berdasarkan kandungan padatan tak stabil. Semakin tinggi kandungan padatan tak stabil dalam satu unit volume dari kotoran sapi segar akan menghasilkan produksi gas yang lebih banyak.

Fraksi Volatile Solid (VS) dalam digester anaerob merupakan parameter yang penting dan dapat digunakan untuk perhitungan pembebanan. Semakin tinggi kosentrasi VS semakin tinggi pula pembebanan. VS merupakan bahan makanan untuk proses hidrolisis dan pembentukan asam secara anaerob (Hartono 2009). Volatie solid (VS) adalah jumlah padatan yang menguap pada bahan dalam pembakaran di atas suhu 550 °C atau disebut padatan tidak stabil. Padatan yang menguap berasal dari kandungan organik bahan. Menurut Boullaghui et al. (2003) dalam Rahman (2007) menjelaskan bahwa pada proses produksi biogas secara anaerobik, terjadi penurunan kandungan TVS dengan efisiensi pendegradasian antara 58-75% pada akhir proses. Penurunan nilai TVS menunjukkan bahwa kandungan padatan organik telah dirombak menjadi senyawa volatile fatty acid, alkohol, CO2 dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2

pada tahap metanogenesis.

(29)

(b) 2nd running Gambar 4. Produksi gas

Menurut Palupi (1994), proses pengubahan substrat menjadi senyawa-senyawa pembentuk biogas akan menurunkan bahan padatan organik dalam sistem. Nilai padatan volatile dapat berkurang antara 2.07-10.5% pada proses pembuatan biogas secara anaerobik. Persen penurunan TVS yang cukup besar mengindikasikan bahan organik tersebut dapat didegradasi secara baik oleh mikroorganisme dan berpotensi menghasilkan biogas.

Ketidaksesuaian bakteri asam dan metan dapat menyebabkan produksi gas tidak optimal. Hal ini diperkuat oleh Romli (2010) bahwa masalah utama dalam proses konversi anaerobik adalah kemungkinan tidak seimbangnya populasi mikroorganisme dalam reaktor. Bakteri pembentuk metana memiliki laju pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibanding bakteri pembentuk asam. Dominasi bakteri pembentuk asam menyebabkan kondisi asam pada reaktor yang dapat menurunkan aktivitas bakteri pembentuk metana atau bahkan menginhibisi.

Pengukuran nilai pH menunjukkan bahwa nilai pH pada komposisi 3:5 pada awal dimasukkan sampel adalah 6.2. Nilai pH ini lebih tinggi dari nilai pH pada percobaan yang dilakukan oleh Prajayana (2011) karena terdapat campuran sludge yang memiliki pH tinggi pada perlakuan jerami:sludge komposisi 3:5. Nilai pH terus naik hingga hari ke 24 (8.6) dan turun hingga hari ke-30 menjadi 8.2. pH lindi pada jerami:sludge komposisi 3:5 cenderung lebih stabil, diawali dengan nilai pH 7.3 dan relatif konstan pada kisaran 7.5-8.5 hingga hari ke 30.

(30)

optimum 7.8-8.2. Oleh karena itu laju pembentukan metan jauh lebih cepat dibandingkan laju pembentukan asam sehingga gas yang dihasilkan akan meningkat.

Nilai pH pada awal perlakuan pertama menunjukan proses pengasaman dan perombakan bahan organik. Keasaman ini kemungkinan terjadi karena aktivitas bakteri asetogenik (Buyukkamaci dan Filibeli 2004). Pembentukan asam asetat oleh bakteri asetogenik penting untuk kelanjutan produksi gas metana pada proses selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih berada dalam tahap asidifikasi, dimana bakteri asetonik mendominasi proses dekomposisi bahan.

Perubahan pH menjadi basa menandakan adanya perombakan bahan organik, yaitu proses metanogenesis yang menggunakan asam asetat, CO2 dan hidrogen untuk

menghasilkan metana, sehingga nilai keasaman berangsus-angsur akan menuju pH yang lebih basa. Perubahan pH menjadi 8.5 masih dalam taraf optimum produksi biogas, karena bakteri methanogen bisa tumbuh pada pH 6.5-8.5 (Buyukkamaci dan filibeli 2004).

Dalam proses yang baik, bakteri asam dan bakteri metan memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Asetogenesis dapat terjadi hanya jika tekanan parsial hidrogen dijaga tetap rendah oleh aktivitas bakteri pembentuk metana (Siregar 2005). Pada penelitian ini tidak dilakukan kontrol tekanan. Solusi yang ditawarkan pada permasalahan ini yaitu perlu dilakukannya pengendalian tingkat alkalinitas dan konsentrasi VFA agar dapat mencegah terjadinya situasi tersebut (Romli 2010).

4.2.3 PERUBAHAN COD (

Chemical Oxygen Demand

)

Pengukuran COD dilakukan terhadap dua produk fermentasi ini yaitu digestat dan lindi karena keduanya berperan dalam menggambarkan pembentukan biogas. Selengkapnya mengenai kandungan COD bahan dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan hasil pengamatan pada perubahan nilai COD pada digestat, seperti pada Gambar 5, tampak dari semua perlakuan nilai COD bahan padat jerami mengalami mengalami penurunan pada awal hingga pertengahan waktu percobaan. Penurunan ini menunjukan terjadi penguraian substrat oleh bakteri ataupun mikroorganisme lainya. Pada selang waktu tersebut bakteri berkembang biak untuk mengurai bahan organik. Pertengahan hingga akhir perlakuan terlihat adanya perubahan kecenderungan, yaitu mengalami kenaikan pada semua perlakuan. Kenaikan ini kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya kandungan senyawa organik yang baru terdegradasi pada pertengahan perlakuan anaerob. Hal ini didukung dengan berkurangnya laju penurunan VS pada pertengahan hingga akhir perlakuan, dibanding dengan awal hingga pertengahan perlakuan. Kenaikan nilai COD bahan ini bukan berarti konsumsi senyawa organik oleh bakteri berhenti, namun laju penguraian senyawa organik kompleks menjadi senyawa sederhana lebih cepat daripada konsumsi substrat oleh bakteri. Menurut Triyanto (1992), kenaikan nilai COD disebabkan oleh hadirnya senyawa-senyawa organik sederhana akibat hidrolisis polimer organik tetapi senyawa tersebut belum dirombak lebih lanjut oleh bakteri menjadi biogas.

(31)

bahan organik yang mudah terdekomposisi seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang dilanjutkan dengan perombakan bahan organik sederhana hasil dekomposisi bahan-bahan seperti gula, asam lemak, dan asam amino yang terdapat pada substrat. Perombakan ini akan menyebabkan penurunan COD. Sebaliknya, hidrolisis polimer organik yang berjalan lambat akan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang justru akan menaikkan nilai COD. Namun jika senyawa tersebut dirombak menjadi biogas, COD akan kembali turun. Semakin lama waktu fermentasi, kontak antara bakteri dengan limbah dan lumpur akan semakin lama dan waktu untuk menguraikan senyawa organik juga semakin lama. Penelitian yang dilakukan oleh Anonim (2011) dengan memfermentasikan activated sludge dan limbah cair selama 30 hari didapat penurunan COD sebesar 15.83 %. Romli (2010) menerangkan bahwa metode yang paling sederhana untuk memperkirakan perolehan biogas adalah melalui suatu analisa neraca masa berdasarkan nilai COD semua komponen yang masuk ke dalam dan keluar reaktor, termasuk biogas.

(a) 1st running

[image:31.612.116.469.281.673.2]

(b) 2nd running

(32)

(a) 1st running

[image:32.612.154.463.80.459.2]

(b) 2nd running

Gambar 6. Perubahan COD Lindi

Pada pengamatan nilai COD lindi, seperti tampak pada Gambar 6, pada semua perlakuan mengalami penurunan dari awal hingga akhir perlakuan. Hal ini berbeda dibandingkan dengan nilai COD pada bahan padat jerami, dimana pada pertengahan hingga akhir percobaan perlakuan mengalami kenaikan nilai COD. Hal ini menunjukkan adanya proses perombakan substrat oleh bakteri.

Dohanyos dan Zabranska (2001) di dalam Romli (2010) menyatakan bahwa nilai COD dapat dikorelasikan dengan kandungan VS suatu sampel. Nilai VS dapat digunakan untuk memperkirakan produksi biogas. Namun, hubungan COD dan VS bersifat empiris, bervariasi dari satu sampel ke sampel lainnya. Nilai rasio COD/VS untuk sludge proses lumpur aktif berkisar antara 1.35-1.60 dan untuk sludge primer berkisar antara 1.0-1.6. Dengan demikian estimasi produksi biogas akan lebih tepat bila dihitung dari neraca masa berbasis COD.

(33)

4.3. KARAKTERISTIK DIGESTAT DAN LINDI

Di samping mengurangi volume buangan, teknologi biogas juga memberikan keuntungan lain berupa lumpur yang dikeluarkan dari effluent biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Romli (2010), digestat merupakan lumpur yang terdiri dari padatan tak tercerna, massa sel, nutrient terlarut, bahan inert, dan air. Digestat dengan kualitas baik dapat digunakan untuk perbaikan struktur tanah dan yang kurang baik dapat digunakan untuk landfilling atau bioremediasi tanah. Lindi adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Menurut Schmidt (2005), kondisi sludge biogas mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Tabel 13. Kondisi sludge biogas

COD (mg/l) BOD/COD % Kandungan unsur hara (utama)

500-2500 0.5

N P K

1.45 1.10 1.10

[image:33.612.155.460.309.362.2]

Dari proses fermentasi ini selain dihasikan gas juga dihasilkan digestat (kompos) dan lindi. Limbah padat jerami padi yang difermentasi telah mengalami proses dekomposisi anaerobik. Secara teoritis digestat hasil fermentasi bahan bisa digunakan sebagai pupuk organik yang berguna bagi tanaman, sehingga dapat menggembalikan kembali (daur ulang) unsur hara kedalam tanaman. Karakteristik kualitas digestat dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Karakteristik digestat hasil fermentasi

No Sampel Kadar

Air (%)

Kadar Abu

(%) N (%)

K (%)

P (%)

pH

1 Perlakuan awal 76.9 8.1 0.7 36.3 0.2 7.3 2 Komposisi Jerami 3:5 72.0 13.2 1.4 38.4 0.4 8.2 3 Komposisi Jerami 5:3 67.8 13.6 1.8 31.7 0.6 8.6

Berdasarkan hasil pengamatan, seperti pada Tabel 14, karakteristik digestat hasil fermentasi pada perlakuan awal memiliki kadar air 76.9%, kadar abu 8.1%, N 0.7%, C 36.3%, P 0.2%, dan pH 7.3. Pada jerami:sludge komposisi 3:5 memiliki karakteristik, yaitu : kadar air 72.0%, kadar abu 13.2%, N 1.4%, C 38.4%, P 0.4%, dan pH 8.2. Pada jerami:sludge komposisi 5:3 memiliki karakteristik, yaitu : kadar air 67.8%, kadar abu 13.6%, N 1.8%, C 31.7%, P 0.6% dan pH 8.6.

[image:33.612.153.511.494.576.2]
(34)

No Sampel N (ppm) K (%) P (ppm)

pH

1 Perlakuan awal 2700 0,2 68 8,2

2 Perbandingan Jerami 3:5 315 3,2 94 8,6

3 Perbandingan Jerami 5:3 124 1,2 72 8,0

Hasil pengamatan pada lindi hasil fermentasi, untuk perlakuan awal memiliki karakteristik yaitu : N 0.27%, C 0.2%, P 68 ppm dan pH 8.2. Pada jerami:sludge komposisi 3:5 memiliki karakteristik yaitu : N 315 ppm, C 3.2%, P 94 ppm dan pH 8.6. Pada jerami:sludge komposisi 5:3 memiliki karakteristik yaitu: N 124 ppm, C 1.2%, P 72 ppm dan pH 8.0. Standar kualitas pupuk organik adalah seperti tampak pada Tabel 16 berikut:

Tabel 16. Standar kualitas kompos

P

Ada beberapa parameter kualitas pupuk kompos, dari hasil pengamatan pada digestat hasil fermentasi, pada beberapa parameter mendekati kualitas standar pupuk kompos sesuai SNI 19-7030-2004. Pada parameter kadar P dan N sesuai dengan standar. Namun, pada kadar air serta pH nilainya masih lebih besar dari pada standar pupuk kompos. Pada lindi hasil fermentasi nilai kandungan P dan N masih terlalu kecil dibandingkan dengan standar yang ada. Proses fermentasi limbah padat jerami padi menjadi selain menghasilkan biogas, juga kompos hasil fermentasinya pun dapat dimanfaatkan kembali dan dapat mendaur ulang unsur hara kedalam tanah. Berdasarkan nilai tersebut, sludge yang dihasilkan belum cukup memenuhi baku mutu yang ditetapkan untuk dapat digunakan sebagai pupuk organik. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses composting lanjutan untuk mendapatkan pupuk yang mendekati standar mutu.

Parameter Satuan SNI 19-7030-2004 (Standar

mutu kompos)

Total N Nisbah C/N P2O5

K2O

pH KTK Kadar air.

% - % % - Meq %

0.4 10-25 0,1 0,2 6,8-7,5 --

(35)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap fermentasi anaerobik jerami padi dengan penambahan sludge yang berasal dari instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) industri dengan dua komposisi yang berbeda terhadap parameter volume gas, TS-TVS, COD, pH, kadar C, kadar N, dan kadar P didapatkan hasil sebagai berikut:

Gas terbesar dihasilkan oleh jerami:sludge komposisi 3:5 yaitu 3.29714 L/kg biomassa pada proses 1 dan 1.608 L/kg biomassa pada proses 2 atau 27.67816 L/kg VS (proses 1) dan 18.93871 L/kg VS (proses 2). Adapun gas yang dihasilkan oleh penelitian Prajayana (2011) dengan bahan yang sama yaitu jerami padi menghasilkan gas sebesar 1.60 L/kg biomassa. Pada penelitian ini ternyata menghasilkan gas yang melebihi hasil tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi sludge yang telah mengalami berbagai proses di dalam unit pengelolaan limbah. Sama halnya dengan kotoran yang telah mengalami pemasakan di dalam perut ruminansia. Sludge banyak mengandung zat pengurai yang baik untuk menghidrolisis bahan yang masih baru serta kondisi bahan yang lebih berair berpengaruh pada peningkatan produksi gas. Kondisi jerami yang telah busuk juga berdampak pada peningkatan produksi gas ditambah lagi dengan adanya pengecilan ukuran karena berarti mengurangi kerja mikroorganisme dalam fase aklimatisasi (penyesuaian). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan sludge pada proses konversi jerami padi menjadi biogas memberikan dampak positif terhadap peningkatan volume gas yang dihasilkan. Namun berdasarkan padatan yang menguap, gas yang diproduksi tidak optimum dikarenakan banyaknya air yang terkandung pada bahan serta lingkungan yang semakin asam seiring bertambahnya waktu.

Pupuk organik dengan kadar fosfat tertinggi dihasilkan oleh digestat jerami:sludge komposisi 5:3 yaitu sebesar 0.60%, karbon tertingi pada digestat jerami:sludge komposisi 3:5 yaitu sebesar 38.4%, dan nitrogen pada digestat jerami:sludge komposisi 5:3 yaitu sebesar1.8%.

5.2

SARAN

Penggunaan sludge pada proses konversi jerami menjadi biogas belum menghasilkan hasil yang optimal. Untuk itu perlu dilakukan beberapa perbaikan yaitu:

1. Perlu dilakukan penambahan variasi perbandingan jerami dan sludge sehingga di dapat rasio C/N yang sesuai dengan standar pembentukan biogas yang optimal.

2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai komposisi gas yang dihasilkan yang terkandung didalam biogas.

(36)

PENGARUH PENAMBAHAN

SLUDGE

PADA KONVERSI

JERAMI PADI MENJADI BIOGAS

SKRIPSI

NUR ZAKIYAH

F34070117

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah KI,. Siregar K. A, dan N. Agustina, S. E. dkk. 1998. Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Buku Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Amaru K. 2004. Rancang bangun dan uji kinerja bioreaktor plastik polyethilene skala kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan Kab. Garut). [Skripsi]. Universitas Padjajaran, Bandung. Tidak Diterbitkan

Anonim. 2006. Heating value. www.en.wikipedia.org/wiki/Heating_value (Diakses pada Januari 2011)

______. 2006. Biogas Production. www.habmigern, 2003. Html (Diakses Januari 2011)

______. 2009.

18 Mei 2011)

______. 2011.

APHA. 1992. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater Treatment. American Public Health Association, NewYork.

Arati JM. 2009. Evaluating the economic feasibility of anaerobic digestion of kawangware market waste. [Thesis]. Kansas State University, Manhattan, Kansas.

Buyukkamaci N, Fillibeli A. 2004. Volatile fatty acid formation in an anaerobic hybrid reactor. Process Biochemistry39: 1040-1047.

Capah RL. 2006. Kandungan nitrogen dan fosfor pupuk organik cair dari sludge instalasi gas bio dengan penambahan tepung tulang ayam dan tepung darah sapi. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Care K. 2011. Cara Mudah Membuat Digester Biogas.

Departemen Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi “Pokok-pokok Pikiran dan Permasalahan Pemanfaatan Biofuel”. 2006. Seminar Nasional Biofuel “Implementasi Biofuel sebagai Energi Alternatif.

Engler CR, M.J. MC. Farland, dan RD. Lacewell. 2000. Economic and Environmental Impact of Biogas Production and Use. http//:dallas.edu/biogas/eaei.html. (6 Mei 2011). Gijzen HJ. 1987. Anaerobic Digestion of Cellulatic Waste by Rumen Derived Process.

Bibliotech., Den Haag.

Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Haq PS dan Soedjono ES. 2009. Potensi lumpur tinja manusia sebagai penghasil biogas. Jurusan Teknik Lingkungan. FTSP-ITS, Surabaya.

Hardyanti N dan Endro S. 2007. Uji pembuatan biogas dari kotoran gajah dengan variasi penambahan urine gajah dan air. Jurnal Presipitasi Vol.3 No.2 2007. ISSN: 1907-187X.

Hartono R dan Teguh K. 2009. Produksi biogas dari jerami padi dengan penambahan kotoran kerbau. Prosiding

Gambar

Tabel 1. Komposisi biogas
Tabel 7. Kandungan C dan N beberapa jenis bahan
Tabel 9. Data perkiraan produksi jerami diberbagai negara
Tabel 10. Syarat mutu pupuk organik padat dan cair
+7

Referensi

Dokumen terkait

memberikan sosialisasi pajak lebih giat dengan cara membagikan brosur yang berisi tata cara perhitungan pajak terutang untuk orang pribadi kepada wajib pajak agar

Bab ini memaparkan hal-hal yang meliputi: latar belakang penelitian yang diawali dengan fenomena perubahan dari Telkom Learning Center menjadi Telkom Corporate

Selhnjutnya dalam ayat (4) dinyatakan, rencana ke j a dan anggaran yang dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas. Maka jelasiah bahwa ketentuan

Penyalir parit pencegat/saluran pemotong (interceptor drain) Penyalir parit pencegat dibuat untuk memotong aliran air tanah yang masuk ke daerah longsoaran. Parit ini digali

Berdasarkan Berit a Acara Penet apan Pemenang seleksi Umum Nomor : 056/ PPBJ-DPUPE/ LS/ 2013 Tanggal 24 mei 2013, Kami Panit ia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas

Pelaksanaan Pilkada di daerah yang menjadi lokasi penelitian secara umum berjalan dengan baik, tertib, aman, lancar dan demokratis. Untuk mendukung pelaksanaan Pilkada,

Jika ‘intelektual’ di Eropa adalah sebutan bagi mereka yang tidak mau setia atau terikat kecuali pada pemikirannya sendiri (bahkan tidak kepada bangsa, negara, dan agamanya

Wadah yang digunakan adalah wadah yang terbuat dari bahan tara pangan ( food grade ) dan bersih. Depot Air Minum wajib memeriksa wadah yang dibawa konsumen